Anda di halaman 1dari 24

ASKEP PADAPASIEN

GUILLAIN BARRE
SYNDROM

Oleh:

RESTIANA RUBA
C.10.14201.039
IIIA

PROGRAM S1 KEPERAWATAN DAN NERS


2012/2013
STIK STELLA MARIS

MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas bimbingan dan rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyusun makalah ini yang berjudul ASKEP PADA PASIEN GUILLAIN
BARRE SYNDROME dengan baik dan dapat selesai tepat pada waktunya.
Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih buat dosen pembimbing saya Ibu Mathilda Paseno
skep, Ns. dan juga berkat kerja sama semua pihak khusunya teman- teman kelompok dan temanteman lain yang ada dilingkungan STIK STELLA MARIS.
Saya menyadari bahwa makalah saya ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu
saya sangat mengharapkan partisipasi dan dukungan dari teman-teman dalam upaya
penyempurnaan makalah saya ini.
Sebelumnya kami ucapkan terima kasih dan minta maaf jika ada kata atau sesuatu hal yang
kurang berkenan di hati dosen dan teman-teman sekalian.

Penulis
Restiana Ruba

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
GBS adalah penyakit langka atau yang jarang terjadi, menyebabkan kelemahan dan
kehilangan sensasi yang biasanya sembuh total dalam waktu mingguan atau bulanan.
Nama GBS berdasarkan nama 2 orang dokter dari perancis yaitu Guillain
(Ghee-lan) dan Barre (Bar-ry) yang menemukan pada tahun 1916 pada tentara yang
terkena paralisis, tetapi kemudian sembuh. Penyakit ini mengenai sekitar 1 dari 40.000
tiap tahunnya yaitu sekitar 1500 orang tiap tahunnya di Inggris. Penyakit ini bisa timbul
pada semua usia akan tetapi lebih sering pada usia tua. Lebih sering pada pria
dibandingkan wanita. Bukan penyakit keturunan, bukan penyakit menular. Akan tetapi
penyakit ini sering berkembang seminggu atau dua minggu bahkan sampai setelah
infeksi pada usus atau tenggorokan.
1.1.

Tujuan Umum
Mahasiswa memiliki wawasan tentang konsep asuhan

keperawatan

GBS.

Dengan konsep dan teori tersebut mahasiswa mampu melakukan pengkajian,


merumuskan dan menetapkan diagnosa, membuat perencanaan, mengimplementasikan
serta melakukan evaluasi dari implementasi yang telah dilakukan kemudian
mendokumentasikan seluruh proses dan hasil asuhan keperawatan.
1.2.

Tujuan khusus :
Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa diharapkan dapat :
I.

II.

Memahami konseptual GBS


a) Menjelaskan pengertian GBS
b) Menjelaskan anatomi fisiologi GBS
c) Menyebutkan etiologi GBS
d) Menjelaskan patofisiologi GBS
e) Menyebutkan manifestasi klinik GBS
f) Menyebutkan pemeriksaan diagnostik GBS
g) Menyebutkan komplikasi GBS
h) Menyebutkan penatalaksanaan medik GBS
Mengaplikasikan Asuhan Keperawatan GBS
a. Membuat pengkajian keperawatan
b. Merumuskan diagnosa keperawatan
c. Merencanakan asuhan keperawatan
d. Mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan

e. Mengevaluasi asuhan keperawatan

BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP MEDIK
1. Definisi
GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan
kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun.
GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barr (baca

Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap
kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis.
Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialil.
GBS merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstermitas tubuh yang
disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit yang sistematis.
Jadi disimpulkan bahwa GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh menyerang
sistem selaput saraf yang menyebabkan kelemahan akut ekstermitas tubuh. Pada umumnya
penyakit ini didahului oleh infeksi. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degerasi
selaput mielin dari saraf perifer dan kranial.
Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di
semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula.
Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Penyakit ini sering ditemukan pada usia produktif
(20 40 tahun). Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, terinfeksi
atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau tiga
minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.

2. Anatomi Fisiologi

Neuron terdiri dari:


1. Axon
Axon merupkan serat saraf utama neuron, yang berfungsi menghantarkan impuls
keluar dari badan sel.
Axon adalah bagian yang menyampaikan impuls ke neuron lain, otot dan kelenjar.
Berukuran panjang dan berbentuk silinder tipis, tempat lewatnya sinyal listrik yang
dimulai dari dendrit dan badan sel. Akson mentransmisikan sinyal awal ke neuron
lain atau ke otot atau ke kelenjar. Akson juga disebut serabut saraf, banyak serabut
saraf yang melintas bersama disebut saraf. Pada beberapa saraf, akson akan ditutup
lapisan lemak yang terisolasi, yang disebut myelin.
2. Badan sel
Badan sel merupakan bagian utama neuron yang berisi inti dan sel. Badan sel
merupakan tempat mengolah informasi.
3. Dendrite.
Dendrit adalah bagian penerima input neuron, berukuran pendek dan bercabangcabang, yang merupakan perluasan dari badan sel.
Dendrite berbentuk seperti antena, dan merupakan tempat penerimaan sinyal dari
sel saraf lain. Denrit mengumpulkan impuls saraf dari neuron lain atau ujung saraf
sensorik.
4. Nodus neurofibra
Nodus neurofibra disebut juga nodus ranfier yang merupakan bagian akson yang
tidak dibungkus oleh myelin. Nodus neurofibra berfungsi untuk mempercepat

transmisi impuls saraf. Adanya nodus ranvier tersebut memungkinkan saraf


meloncat dari satu nodus ke nodus yang lain, sehingga impuls lebih cepat sampai
pada tujuan.
5. Sel Schwann
Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat) untuk
membentuk selubung myelin.
6. Selubung myelin
Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung Schwann.
Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi myelin berlemak yang
membantu mempercepat perjalanan dan mencegah impuls pudar atau bocor.
Selubung myelin sebagai isolator listrik, mencegah arus pendek antara akson, dan
mempasilitasi konduksi. Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana akson
tidak tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan
ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier memperkuat
potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini adalah dasar konduksi
saltatori (meloncat).
3. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Kehamilan atau dalam masa nifas.
Umur
Jenis kelamin
Paling banyak pasien-pasien dengan sindrom ini ditimbulkan oleh adanya infeksi, 1
sampai 3 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik. Pada beberapa keadaan.
Dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedaha. Ini juga dapat terjadi dapat diakibatkan
oleh infeksi virus primer, reaksi imun, cedera medula spinalis dan beberapa proses lain atau
sebuah kombinasi proses.
Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak
adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang
terserang.

Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem
kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan
menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan.
Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan
bekerja sebagaimana mestinya.
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal. Dahulu sindrom ini di duga di sebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhirakhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagian penyebab. Teori yang dianut
sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response
maupun

immune

mediated

process.

Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi saluran nafas
bagian atas atau saluran pencernaan. Penyebab infeksi pada umumnya virus dari kelompok
herpes. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan
endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya.
4. Patofisiologi
Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang membungkus
saraf perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak. Gejala GBS menghilang pada
saat serangan autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila kerusakan
badan sel terjadi selama serangan, beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi.
Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis yang berkembang
ke atas tubuh. Otot pernafasan dapat terkena dan menyebabkan kolaps pernafasan. Fungsi
kardiovaskular dapat terganggu karena gangguan fungsi saraf autonom (Corwin, 2009).
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun lewat
mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated
demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responnya
terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan sistem
penghantaran implus terganggu.

Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan
myelin saraf perifer, dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi
difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena
axon telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya
dimulai beberapa minggu setelah proses peradangan/infeksi terjadi. Dimielinasi merupakan
keadaan dimana lapisan myelin hancur serta hilang pada beberapa segmen. hal tersebut
menyebabkan hilangnya konduksi saltatori yang mengakibatkan penurunan kecepatan
konduksi serta terjadinya hambatan konduksi. Kelainan ini terjadi cepat namun reversibel
karena sel Schwann dapat berdegenerasi dan membentuk myelin baru. Namun pada banyak
kasus, demielinasi menyebabkan hilangnya akson dan deficit permanen (Djamil, 2010).

5.

Manifestasi Klinis
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang
berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih
kembali.
Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot
wajah. Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki
atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau

mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau
memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll).
Gejala lanjutan dari GBS yaitu antara lain sebagai berikut :
1. Kelemahan
a) Gambaran klinis klasik kelemahan adalah asenden dan simetris. Anggota tubuh
bagian bawah biasanya terlibat sebelum anggota badan atas. Otot-otot proksimal
mungkin terlibat lebih awal dari yang lebih distal. Batang tubuh, kelenjar, dan
otot pernafasan dapat dipengaruhi juga.
b) Kelemahan berkembang akut selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan
bisa berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia yang komplit dengan
kegagalan ventilasi. Puncak defisit dicapai oleh 4 minggu setelah pengembangan
awal gejala. Pemulihan biasanya dimulai 2-4 minggu setelah kemajuan berhenti.
2. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe lower
motor neuron. Pada sebagian besar kelumpuhan di mulai dari kedua eksremitas
bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak atas dan saraf
kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota dikenai secara anggota kemudian
menyebar ke badan dan saraf kranialis.
3. gangguan sensibilitas
parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif biasanya minimal. Rasa nyeri
otot sering di temui seperti rasa nyeri setelah suatu aktivitas fisik.
4. Gangguan saraf kranilis
yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai pada
satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di temukan berat antara
kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa
terjadi akibat terkena N.IV atau N.III. bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan
gangguan sukar menelan disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan gangguan
pernapasan karena paralis dan laringeus.
5. gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi
yang berfluktusi, hilangnya keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau

inkontenensia urin jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari
6.

satu atau dua minnggu.


kegagalan pernapasan.
kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal
bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis
pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33%
penderita.
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya
jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan
hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal;
setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala
klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi.
Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan
naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
2) Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi
saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal)
dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian
proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus
GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan
potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan
SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan
dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien
GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan
denervasi EMG.

3) Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan
fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang
ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia
bukanlah salah satu gejala
.
4) Elektrokardiografi (EKG)
menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase
QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
5) Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
6) Pemeriksaan patologi anatomi
umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase
lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan
demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer
dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik
intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal
proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear
lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
7. Penatalaksanaan medik
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi

beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas Sindrom,


Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit
perawatan intensif.
a. Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas
darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda
kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan
pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan
ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko
terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi
respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk
mengetahui progresivitas penyakit.
b. Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting
karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau
hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah
takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu
kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid,
propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan
pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk
menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik.
Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat
2 atau 3.
c. Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik
ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat
membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila
dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma
yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari
dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai

pada

plasmaferesis,

karena

Plasma

pasien

harus

diganti

dengan suatu substitusi plasma.


d. Pengobatan imunosupresan:
Pengobatan imunosupresan berfungsi untuk menekan pembentukan antibody.
Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin
atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat
penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin)
diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin intervena
lebih

menguntungkan

dibandingkan

plasmaparesis

karena

efek

samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis aintenance 0.4


gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai
untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa
adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang
setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen
ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan
sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
e. Perawatan umum :
Perawatan immobilisasi : Mencegah timbulnya luka baring/bed sores
dengan perubahan posisi tidur.
f. Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting.
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif
dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
g. Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang
lumpuh.
h. Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang
lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
i. Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.
j. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
k. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada prognosis yang lanjut adalah

1. Kolaps pernafasan dan kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian.


kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak
di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan
kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita.
2. Kelemahan beberapa otot dapat menetap (Corwin, 2009).
3. Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam
paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis
permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi (Israr, dkk, 2009).

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian pola kesehatan :
1) Pola nutrisi dan metabolik
a) DS : Pasien mengatakan pasien merasa lemah, tidak kuat untuk mengunyah
menelan.

DO : pasien terlihat lemas, Nampak pasien susah menelam makanan yang


diberikan, ampak pasien tidak menghabiskan makanan yang diberikan.
2) Pola eliminasi
DS : Pasien mengatakan terasa pada otot-otot abdomen, pasien mengatakan
tidak kuat untuk mengedan bila ingin BAB, pasien mengatakan tidak ada
sensasi anus dan berkemih.
DO : tampak pasien tidak BAB dalam 1 hari, dan jarang berkemih.
3) Pola aktivitas dan latihan
DS : Pasien mengatakan pasien merasa lemas sehinggah tidak mampu untuk
melaksanakan aktivitas sehari-hari seperti biasa, pasien mengatakan terasa
lemas pada dan kakinya
DO : tampak pasien dibantu makan, mandi, BAK dan BAB, tampak pasien
tidak mampu menggenggam.
4) Pola tidur dan istirahat
DS : Pasien mengatakan susah tidur karena cemas.
DO : Tampak pasien menguap, tampak pasien masih mengantuk.
B. Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektik berhubungan dengan peningkatan sekresi mucus.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot
pernapasan.
3. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan disfungsi sistem saraf
otonom yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran balik
vena.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
5. Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kerusakan neuromuskuler yang mempenagaruhi reflek menelan dan fungsi GI.
6. ansietas berhubungan dengan krisis situasional.
C. Perencanaan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektik berhubungan dengan peningkatan sekresi
mucus.
Tujuan/ kriteria hasil :
Bersiha jalan nafas kembali efektif setelah diberikan tindakan.
Intervensi:
Mandiri
a. Kaji fungsi paru, adanya bunyi nafas tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
dan kekentalan sputum.

R/ : Memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian fungsi pernapasan


dengan interval yang teratur adalah penting karena pernafasan yang tidak efektif
dan adanya kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot
interkostal dan diafragma yang berkembang dengan cepat.
b. Auskultasi bunyi napas, catat tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronchi
R/ : peningkatan resistensi jalan napas dan atau akumulasi sekret akan megganggu.
c.
Berikan posisi fowler dan semifowler.
R/ : peninggian kepala tempat tidur memudahkanuntuk bernafas, meningkatkan
ekspansi dada, dan meningkatkan batuk lebih efektif.
Ajarkan cara batuk efektif
R/ : Klien berada pada resiko tinggi bila tidak dapat batuk dengan efektif untuk

d.

membersihkan jalan nafas dan mengalami kesulitan dalam menelan yang dapat
menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal nafas akut.
e.

Lakukan fisioterapi dada.


R/ : terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif
f. Penuhi hidrasi cairan via oral, seperti minum air putih dan pertahankan intake
cairan 2.500 ml/hr.
R/ : pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang kental dan dapat
membantu pemenuhan cairan yang dapat kelur dari tubuh.
g. Lakukan
pengisapan
lender
di
R/ :

jalan

nafas.

pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan

nafas menjadi bersih.


2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot
pernapasan
Tujuan/kriteria hasil :
Mendemonstrasikan ventilasi adekuat dengan tidak ada tanda distress pernapasan, dan
pola napas efektif.
Intervensi
Mandiri
a. Pantau frekuensi, kedalaman dan kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan kerja
napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa.
R/ : peningkatan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot
pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi
b.

mekanik
Kaji adanya perubahan sensasi terutama adanya penurunan respon

R/ : penurunan sensasi sering kali (walau tidak selalu ) mengarah pada kelemahan
motorik
c. Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara kalau pasien masih dapat
berbicara.
R/ : merupakan

inikator

yang

baik

terhadap

gangguan

fungsi

pernapasan/menurunnya kapasitas paru


Auskultasi bunyi napas, catat tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti

l.
ronchi

R/ : peningkatan resistensi jalan napas dan atau akumulasi sekret akan megganggu
proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan (seperti
e.

f.

g.
h.

pneumonia)
Tinggikan kepala tempat tidur atau letakan pasien pada posisi duduk bersandar
R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan
dan membatasi terjadinya resiko aspirasi secret
Kolaborasi
Lakukan pemantaan terhadap analisa gas darah, oksimetri nadi secara teratur
R/ : menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan kebutuhan
untuk/keefektifan dari intervensi
Lakukan tinjau ulang terhadap foto rontgen
R/ : adanya perubahan merupakan indikasi dari kongesti paru dan atau atelektasis
Berikan obat ata bantu dengan tindakan pembersihan pernapasan, seperti latihan
pernapasan, perkusi dada, fibrasi, dan drainase postural
R/ : memperbaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis dengan memobilisai sekret
dan meningkatkan ekspansi alveoli paru.

3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan disfungsi sistem saraf


autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran
balik vena
Tujuan/kriteria hasil :
mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, distritmia jantung terkontrol atau
tidak ada
Intervensi
Mandiri
a. ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi.
R/ : perubahan pada tekanan darah ( hipertensi berat/hipotensi) teerjadi sebagai
akibat kehilangan alur dasri saraf simpati untuk mempertahankan tonus vaskuler
perifer.
b. pantau frekuensi jantung dan iramanya

R/ : sinus takikardi/bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari gangguan saraf


otonom simpatis autonom atau tidak ada hambatasn terhadap refleks yang
menyebabkab henti jantung.
c. pantau suhu tubuh.
R/; perubahan pola tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu
( seperti ketidakmampuan berkeringat).
d. ubah posisi pasien secara teratur
R/ perubahan sirkulasi/pengumpulan vaskuler yang meningkatkan resiko iskemia
Kolaborasi
e. berikan pengobatan :
- cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi
R/ mungkin di perlukan untuk mengoreksi/mencegah hipovolemia/hipertensi,tetapi
harus di gunakan secara berhati-hati karena pasien dengan gangguan tonus vaskuler
mungkin sensitif pada adanya peningkatan kecil dalam volume sirkulasi.
- beri obat seperti antihipertensi dengan kerja pendek
R/: kadang-kadang di gunakan untuk menghilangkan hipertensi yang menetap atau
gangguan mediasi outo
- heparing
R/: di gunakan untuk menurunkan resiko tromboflebilitis.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
Tujuan/kriteria hasil :
Mempertahankan fungsi tubuh dengan tidak ada komplikasi ( kontraktur, dekubitus)
Intervensi
Mandiri
a. kaji kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5
R/ : menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat
tercapainya tujuan/harapan pasien
b. berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman
R/ : menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko terjadinya
iskemia/ kerusakan pada kulit.
c. sokong eksremitas dan persendian dengan bantal
R/ : mempertahankan eksremitas dalam posisi fisilogis, mencegah kontraktur dan
kehilangan fungsi sendi
d. lakukan latihan rentang gerak pasif.
R/ : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi
sendi.
Kolaborasi
f. konfirmasikan dengan/ rujuk ke bagian terapi fisik/ terapi okupasi

5. Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan kerusakan neuromuskuler yang mempenagaruhi ketidakmampuan
menelan.
Tujuan/kriteria hasil :
Mendomensterasikan berat badan stabil, normalisasi nilai- nilai laboratorium dan tidak
tanda malnutrisi
Intervensi
Mandiri
a. kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk pada keadaan teratur
R/ : kelemahan otot dan refleks yang hiperaktif/ hipoaktif dapat mengindikasikan
kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui selang NG dan sebagainya
b. auskultasi bising usus, evaluasi adanya distensi abdomen
R/ : perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari paralisis/imobilisasi
c. catat masukan kalori setiap hari
R/ : mengidentifikasi kekurangan makanan dan keutuhannya
d. catat makanan yang di sukai/ tidak disukai oleh pasien dan termasuk dalam pilihan
diet yang di kehendakinya. Berikan makanan setengah padat/cair
R/ :meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat meningkatkan usaha untuk
makan. Makanan lunak/ setengah padat mkmenurunkan resiko terjadinya aspirasi
e. anjurkan untuk makan sendiri jika memunkinkan
R/ : derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan
sendiri
g. timbang berat badan setiap hari
R/ : mengkaji keefektifan aturan diet
Kolaborasi
h. berikan diet tinggi kalori atau protein nabati
R/ : makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi.
i. pasang /pertahankan selang NG.
R/ : dapat di berikan jika pasien tidak mampu untuk menelan( jika refleks menelan
mengalam gangguan untuk pemasukan makanan, kalori , elektrolit dan mineral.
6. ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Tujuan/kriteria hasil :
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat di atasi
Intervensi
Mandiri
a. tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur.
R/ : memberikan keyakianan bahwa bantuan segera dapat di lakukan jika pasien
secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan.
b. berikan perawatan primer/ hubunagan perwat yang konsisten

R/ : meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan


kecemasan
c. berikan bentuk komunikasi alternatif jika di perlukan
R/ : menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi.
d. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan
yang menetap, kehilanagn fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan
penyebuhan /perbaikan.
Kolaborasi
e. berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan pasien
termasuk orang terdekat.
R./ : pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan
akan melakukan aktivitas dan keterlibatan pasien dan juga orang terdekat dalam
perencenaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol
terhadap diri atas kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan harga diri.
D. Evaluasi
1) Bersiha jalan nafas kembali efektif
2) Ventilasi adekuat dengan tidak ada tanda distress pernapasan, dan pola napas
efektif.
3) mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, distritmia jantung terkontrol
atau tidak ada
4) Mempertahankan fungsi tubuh dengan tidak ada komplikasi ( kontraktur,
dekubitus)
5) Berat badan stabil, normalisasi nilai- nilai laboratorium dan tidak tanda malnutrisi
6) Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat di atasi
E. Discharge planning
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi
Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari untuk mengelola makanan
Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman.
Penderita memerlukan istirahat
Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat. (Samsuridjal D dan Heru S,
2003)
Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kondisi fisik anak
Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping
Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan
untuk mengatasi gejala tersebut
Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan. (Suriadi & Rita
Y, 2001)

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa GBS adalah penyakit yang langka dan dapat disembuhkan akan tetapi nyeri
ringan masih timbul dan derajat penyembuhan tergantung dari derjat kerusakan saraf yang
terjadi pada fase infeksi. Guillain - Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis
yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Manifestasi klinis berupa
kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko komplikasi
pencernaan.
3.2 Kritik
Makalah ini masih belum cukup sempurna dan masih ada banyak kesalahan sehingga saya
mohon kritik dan saran yang membangun guna untuk menyempurnakan makalah saya yang
selanjutnya.
3.3 Saran
Berusaha dan selalu bekerja sama akan membawa kita menuju keberhasilan dalam
menyelesaikan masalah dan mengerjakan tugas serta melakukan tugas dengan penuh tanggung
jawab akan membuat kita semakin menjadi dewasa dan mandiri.
Saran untuk :
1. Keilmuan

Kelumpuhan pada penderita GBS memerlukan penatalaksanaaan yang baik untuk


mencegah komplikasi dan meningkatkan prognosa, salah satunya latihan gerak pasif. Perlu
adanya penelitian tentang efektivitas latihan gerak pada GBS.
2. Perawat
Perawat hendaknya senantiasa mengembangkan diri dan menambah pengetahuan dalam
memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan GBS terutama tentang
perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya. Penderita GBS memerlukan perawatan yang
baik untuk meningkatkan kesembuhan dan mencegah komplikasi. Kelumpuhan pada GBS
memerlukan latihan gerak pasif yang sebaiknya dilakukan sesuai batas toleransi klien untuk
mencegah kontraktur dan paralisis lebih lanjut. Keterlibatan keluarga dalam intervensi
hendaknya ditingkatkan sehingga tujuan yang ingin dicapai klien juga ikut benar-benar
berperan dan berusaha mencapai tujuan yang direncanakan.
3. Klien dan keluarga
Klien dan keluarga hendaknya berpartisipasi aktif dalam pemberian intervensi yang
direncanakan sebagai upaya penyembuhan serta bekerjasama mematuhi terapi yang
diberikan. Semangat klien untuk sembuh akan membantu keberhasilan intervensi.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta
Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol.3 Edisi 8.
EGC :Jakarta
Mutakhi Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika : Jakarta
http://siyulopecri.blogspot.com/2011/09/askep-gbs.html
http://www.scribd.com/doc/46961824/Askep-Klien-Dengan-Gbs
http://www.scribd.com/doc/94097082/Asuhan-Keperawatan-Pada-Klien-Dengan-GbsGuillain

Anda mungkin juga menyukai