Anda di halaman 1dari 20

Bissinosis Penyakit Akibat Kerja

Pada Pekerja Garmen


Pendahuluan
Paparan debu di lingkungan kerja dapat menimbulkan berbagai penyakit paru
kerjayang mengakibatkan gangguan fungsi paru dan kecacatan. Meskipun angka
kejadiannya tampak lebih kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyebab
cacat yang lain,terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang,
khususnya di negara-negara yang sedang giat mengembangkan industri.Penilain dampak
paparan debu pada manusia perlu dipertimbangkan seperti sumber paparan/ jenis pabrik,
lamanya paparan, paparan dari sumber yang lain, pola aktivitas sehari-hari serta
penilaian terhadap faktor-faktor penyerta yang potensial berpengaruh misalnya umur,
gender, etnis, kebiasaan merokok dan faktor alergen.Pabrik tekstil yang memakai kapas
sebagai bahan dasar memberi risiko paparan debukapas pada saluran nafas pekerja.
Salah satu bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh karena penghisapan debu kapas,
hemp atau flax sebagai bahan dasar tekstil adalah Bisinosis
Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh
pencemaran debu atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru.
Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik
tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas serta pabrik atau bekerja lain yang
menggunakan kapas atau tekstil; seperti tempat pembuatan kasur, pembuatan jok kursi
dan lain sebagainya.
Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-tanda awal
penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada dada, terutama pada hari
Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu). Secara psikis setiap hari Senin bekerja
yang menderita penyakit bisinosis merasakan beban berat pada dada serta sesak nafas.
Isi
7 Langkah Diagnosis Okupasi
1. Diagnosis klinis
a) Anamnesis
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk membantuk menegakkan
1

diagnosis :
Riwayat penyakit sekarang :
Apakah terdapat rasa berat di dada?
apakah disertai batuk-batuk dan suara mengi??
Dimana saja timbul gejala? Apakah di rumah dan di tempat bekerja terdapat
keluhan sama??
Kapan saja timbul keluhan?
Jenis pekerjaan yang dilakukan ??
Apakah di tempat bekerja sering berhubungan dengan bahan-bahan dari
kain, kapas, atau sisa-sisa garmen?
Apakah mempunyai kebiasaan merokok?
Apakah di tempat kerja ada orang lain yang mengalami keluhan serupa??
Apakah ada keluhan lain?
Riwayat penyakit dahulu :
Apakah mempunyai riwayat asma atau penyakit respiratori lain??
Riwayat pekerjaan
Sudah berapa lama bekerja di tempat sekarang?1
Pernah bekerja di mana saja selama ini? Dan pekerjaan apa saja yang

dilakukan?
Bahan apa saja yang sering ditemui di tempat kerja??
Seberapa sering terkena bahan-bahan itu?
Apakah menggunakan alat pelindung diri?
Bagaimana ventilasi udara di tempat bekerja? Apakah ruangannya tertutup?

Untuk keluhan sesak napas pasien, ditanyakan sesuai dengan kriteria sesak nafas
menurut American Thoracic Society (ATS)

: (0 )tidak ada Tidak ada sesak nafas

kecuali exercise berat (1 ) ringan Rasa nafas pendek bila berjalan cepat mendatar atau
mendaki (2) sedang Berjalan lebih lambat dibandingkan orang lain sama umur karena
sesak atau harus berhenti untuk bernafas saat berjalanmendatar (3 )berat Berhenti
untuk bernafas setelah berjalan 100 meter/beberapamenit, berjalan mendatar (4 )
Sangat berat Terlalu sesak untuk keluar rumah, sesak saat mengenakan
ataumelepaskan pakaian.
b) Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memeriksa bentuk toraks, sela iga, serta

keadaan fisik pasien seutuhnya. Pada orang normal, bentuk toraks simetris dan
sela iga normal. Retraksi abnormal ruang sela iga bawah pada saat inspirasi
terjadi pada keadaan asma berat, PPOK, dan obstruksi saluran napas atasUntuk
menyingkirkan DD yang lainnya seperti PPOK
Palpasi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menekan toraks atau dada pasien untuk
mengetahui normal tidaknya pasien. Jika terdapat tonjolon atau adanya rasa
nyeri jika ditekan, maka patut dicurigai adanya indikasi penumpukan cairan
pada paru pasien atau adanya inflamasi dan emfisema pada paru pasien.
Perkusi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengetukan jari pemeriksa ke salah satu
tangannya yang terletak dibagian dada pasien untuk mendengarkan suara-suara
yang timbul. Normalnya suara paru pasien sonor. Jika suara paru pasien
berubah ketika diketukkan menjadi, redup maka patut dicurigai adanya
penumpukan cairan pada paru pasien. Ataupun menjadi hipersonor maka perlu
dicurigai adanya kelainan paru seperti emfisema.
Auskultasi
Dilakukan dengan meletakkan stetoskop pada toraks pasien. Kemudian kita
meminta pasien menarik nafas dan menghembuskan nafas. Didengarkan suara
saat pasien menarik nafas dan menghembuskan nafas. Normalnya terdengar
suara vesikuler pada hampir seluruh lapang paru. Apabila terdapat suara ronki
perlu dipikirkan adanya penumpukan lendir pada paru seperti pada penyakit
bronkitis.3
c) Pemeriksaan penunjang
Spirometri
Spirometer adalah alat untuk mengukur volume udara yang dihirup dan
dihembuskan, alat ini terdiri dari sebuah tong berisi udara yang terapung pada
sebuah wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan
udara keluar masuk tong melalui sebuah selang penghubung, tong akan naik
atau turun yang kemudian dicatat sebagai suatu spirogram. Pencatatan tersebut

dikalibrasi ke besarnya perubahan volume.


Pemeriksaan spirometri digunakan untuk mengetahui adanya gangguan di
paru-paru dan saluran pernapasan. Alat ini sekaligus digunakan untuk
mengukur fungsi paru. Pasien yang dianjurkan untuk melalukn pemeriksaan ini
antara lain : pasien yang mengeluh sesak napas, pemeriksaan berkala bagi
pekerja pabrik, pederita PPOK, penyandang asma, dan perokok. Secara
sederhana beberapa parameter yang diukur pada pemeriksaan spirometri
adalah:
Tidal volume (TV). Volume udara yang masuk atau keluar paru selama satu
kali bernapas. Nilai rata-rata pada keadaan istirahat = 500 ml.
Volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume, VCI) . Volume
tambahan yang dapat secara maksimal dihirup melebihi tidal volume istirahat.
VCI dihasilkan oleh kontraksi maksimum diafragma, otot antariga eksternal,
dan otot inspirasi tambahan. Nilai rata-ratanya = 3000 ml.
Kapasitas inspirasi (KI). Volume maksimum udara yang dapat dihirup pada
akhir ekspirasi normal tenang (KI = VCI + TV). Nilai rata-ratanya = 3.500 ml.
Volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume, VCE). Volume
tambahan udara yang dapat secara aktif dikeluarkan oleh kontraksi maksimum
melebihi udara yang dikeluarkan secara pasif pada akhir tidal volume biasa.
Nilai rata-ratanya = 1.000 ml.
Volume residual (VR). Volume miminum udara yang tersisa di paru bahkan
setelah ekspirasi maksimum. Nilai rata-ratanya = 1.200 ml. Volume residual
tidak dapat diukur secara langsung dengan spirometer karena volume udara ini
tidak keluar-masuk paru. Namun, volume ini dapat diukur secara tidak langsung
melalui teknik-teknik dilusi-gas berupa penghirupan (inspirasi) gas-pelacak
(tracer gas) yang tidak berbahaya dalam jumlah tertentu, misalnya helium.
Kapasitas residual fungsional (KRF) Volume udara di paru pada akhir ekspirasi

pasir normal (KRF = VCE + VR). Nilai rata-ratanya = 2.200 ml.


Kapasitas vital (KV). Volume maksimum udara yang dapat dikeluarkan selama
satu kali bernapas setelah inspirasi maksimum. Subyek mula-mula melakukan
inspirasi maksimum, kemudian melakukan ekspirasi maksimum (KV = VCI + TV
+ VCE). KV mencerminkan perubahan volume maksimum yang dapat terjadi di
dalam paru. Volume ini jarang dipakai karena kontraksi otot maksimum yang
terlibat menimbulkan kelelahan, tetapi bermanfaat untuk menilai kapasitas
fungsional paru. Nilai rata-ratanya = 4.500 ml.
Kapasitas paru total (KPT). Volume udara maksimum yang dapat ditampung
oleh paru (KPT = KV + VR). Nilai rata-ratanya = 5.700 ml.
Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume, FEV).
Volume udara yang dapat diekspirasi selama detik pertama ekspirasi pada
penentuan KV. Biasanya FEV1 adalah sekitar 84%; yaitu, dalam keadaan normal
80% udara yang dapat dipaksa keluar dari paru yang mengembang maksimum
dapat dikeluarkan dalam 1 detik pertama. Pengukuran ini memberikan indikasi laju
aliran udara maksimum yang dapat terjadi di paru.

Pada keadaan klinis yang biasanya digunakan adalah perbandingan FEV1 : FVC.
gambar 1nilai spirometri 1
Rumus yang digunakan adalah FEV1/FVC lalu dikalikan dengan 100%. FEV1
adalah ekskresi paksa udara yang mampu dikeluarkan oleh pasien dalam waktu 1
5

detik, sedangkan FVC adalah volume udara yang mampu dikeluarkan oleh pasien
setelah inspirasi maksimal. Bermakna obstruktif bila ratio itu kurang dari 70%.
Sedangkan pada bisinosis biasanya penurunan pada FEV1 sudah mempunyai
makna diagnostik. Penurunan FEV1 10% atau lebih yang diukur pada pekerja saat
hari senin atau hari pertama masuk kerja setelah liburan sudah membantu
menegakkan diagnosis.
Rontgen toraks
Umumnya pada penyakit bissinosis tidak terdapat kelainan pada stadium atau
tingkat dan 1. Tetapi pada tingkat 2 dan 3 bisa menimbulkan kelainan.
Pemeriksaan tempat kerja
Di sini dapat dilakukan pengukuran kadar kapas di tempat pekerjaan. Kadar kapas
dalam lingkungan kerja dapat diukur dengan alat pengukur debu yang dapat
diletakkan di lokasi kerja dengan ketinggian breathing zone, antara mulut dan
hidung yaitu sekitar 1,5 m dari lantai untuk jangka waktu tertentu yang disebut
ventrical elutriator. Alat ini dapat mengukur kadar debu kapas respirabel dan kadar
debu kapas total. Ada pula alat pengukur debu kapas yang disebut personal
sampler yang dapat diikatkan pada tali pinggang karyawan, sehingga kadar debu
yang diukur lebih banyak berhubungan dengan lama pemaparan karyawan.
NAB debu kapas adalah 0,2 mg/m3 serat yang respirabel.
Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ( batuk kronik berulang ) merupakan keadaan yang disebabkan oleh
berbagai penyebab dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu berturut-turut dan/atau berulang paling sedikit 3X dalam 3 bulan dengan
atau tanpa gejala respiratorik lainnya Penyebab penyakit bronkitis kronik paling
sering dijumpai adalah virus tetapi bakteri juga berperan dalam penyebab penyakit
ini. Rhinovirus, RSV ( respiratory syncitial virus ), parainfluenza, influenza,
adenovirus, enterovirus, dan bakteri : H. Influenza, Strep.pneumonia, Staf.aureus.
Bronkitis kronik dapat merupakan tanda adanya penyakit paru atau penyakit
sistemik yang mendasari. Keadaan yang berhubungan dengan bronkitis kronik,
antara lain ;
a.

Penyakit Jantung bawaan ( congenital heart defect ), baik pada katup maupun

myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya


tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
b.

Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut merupakan sumber bakteri yang
dapat menyerang dinding bronchus. Infeksi bronkitis berulang : klamidia,
pertussis.

c.

Asthma, TBC paru, kistik fibrosis, imunodefisiensi, sindrom kartegener dan


imotil silia.

Pasien dengan bronkitis kronis akan mengalami :


a.

Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana
akan meningkatkan produksi mukus.

b.

Mukus lebih kental

c.

Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus.


Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan dan
meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,
kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi
mukus akan meningkat.

d.

Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan
normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronkitis kronis mula-mula mempengaruhi
hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.

e.

Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas,
terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kolaps, dan udara
terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan
penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis.

f.

Kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana


terjadi penurunan PaO. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO

g.

Terlihat cyanosis sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia


(overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah
sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary.

h.

Selama infeksi pasien akan mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan
pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan
timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF

2.

Pajanan yang dialami


Umunya bisinosis diakibatkan oleh debu akibat kapas atau bahan garmen. Secara
singkat kita perlu mengetahui tahap-tahap pengolahan kapas sehingga dapat
mengetahui pekerja di bagian mana yang rentan mengalami penyakit ini.
Proses sebelum di pabrik
Proses ini terdiri dari proses panen dan pemilahan. Panen dikerjakan baik
dengan tangan maupun mesin. Selama proses ini, berbagai bahan organik
dapat mencemari kapas. Proses pemanenan yang menggunakan mesin
lebih banyak pencemaran yang berasal baik dari daun atau ranting
tanaman sendiri maupun tanah. Pemilahan adalah memisahkan biji kapas
dari seratnya dengan mesin khusus yang disebut mesin gin. Pemaparan
dengan debu kapas dimulai pada proses ini. Selanjutnya biji kapas yang

sudah dipisahkan dapat diolah menjadi minyak.


Proses di pabrik
Proses di dalam pabrik terdiri dari beberapa proses, antara lain:
a.
Pembongkaran (opening)
Kapas yang diterima di pabrik dikeluarkan dari karung untuk
selanjutnya didiamkan selama 24 jam agar kapas tersebut dapat
b.

memuai.
Pengadukan (blowing)
Kapas yang sudah memuai kemudian dimasukkan ke dalam mesin
blowing. Dengan bantuan arus angin panas dalam mesin, kapas
diaduk-aduk, dilonggarkan sehingga serat-serat dengan berbagai
kualitas tercampur rata serta dibersihkan dari pencemaran dan seratserat pendek. Hasil pengadukan tersebut merupakan lembaran kapas
yang tebal disebut lap. Mesin blowing biasanya tertutup sehingga

c.

proses disini tidak banyak mengeluarkan debu.


Carding
Lembaran kapas hasil pengadukkan diteruskan ke bagian carding
untuk disisir, diluruskan, disejajarkan dan dibersihkan lebih lanjut
dari pencemaran serta bahan yang tidak terpakai seperti serat pendek

dan tipis. Gigi-gigi mesin carding pada waktu-waktu tertentu


dibersihkan dari debu dan serat-serat yang lengket, disikat dan
kemudian digosok dengan kain lunak. Pekerjaan ini dilakukan
dengan tangan atau kadang-kadang dengan mesin. Selanjutnya gigigigi mesin diruncingkan. Karyawan yang mengerjakan pekerjaan
tersebut disebut stripper dan grinder. Mesin carding biasanya
d.

terbuka dan sangat mngeluarkan banyak debu.


Flyer
Hasil pengolahan carding disebut sliver, berupa tali kapas tebal
kemudian dimasukkan ke dalam mesin flyer untuk dijadikan tali
kapas yang lebih halus, disebut roving yang merupakan bentuk akhir

e.

sebelum dijadikan benang.


Spinning
Spinning merupakan bagian akhir pembuatan benang. Disini roving
diolah menjadi benang. Tempat yang berdebu menurut urutannya
ialah ruang carding, pengadukan, pembongkaran dan bagian akhir

f.

pembuatan benang.
Penenunan
Benang jadi yang merupakan hasil pengolahan pemintalan akhirnya
ditenun dan dijadikan bahan jadi di penenunan. Pertenunan yang
mengolah benang jadi tidak lagi mengeluarkan banyak debu kedalam
lingkungan kerja dibandingkan pemintalan yang mengolah kapas

3.

berupa barang mentah 4


Hubungan pajanan dengan penyakit
Bahan dasar sebuah pabrik garment tentu adalah kain, dalam proses pemintalan
atau pembuatan kain akan melewati berbagai proses dengan mengolah kapas,
pemaparan debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke
dalam paru-paru yang akan menyebabkan bisinosis. Untuk mengetahui itu
adalah bisinosis atau penyakit pneumoconiosis akibat hubungan kerja ini tentu
harus dikorelasikan dengan kapan dan dimana gejala sesak itu muncul, pada
kasus dengan gejala yang muncul setiap senin mulai masuk kerja atau setelah
libur, itu merupakan salah satu tanda penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan karena hanya muncul gejala ketika berada di tempat kerja saja.
Secara umum terdapat tiga faktor yang berpengaruh pada inhalasi bahan

pencemar ke dalam paru, yaitu faktor komponen fisik, faktor komponen kimiawi
dan faktor penjamu/penderita sendiri.
Aspek komponen fisik yang pertama adalah keadaan dari bahan yang di inhalasi
tersebut (gas,debu,uap). Ukuran dan bentuk juga berpengaruh, dalam proses
penimbunan di paru, demikian pula kelarutan dan nilai higroskopisnya.
Komponen kimiawi yang berpengaruh antara lain adalah kecenderungan untuk
bereaksi dengan jaringan sekitarnya, keasaman atau tingkat alkalisitas yang
tinggi dapat merusak silia dan sistem enzim. Bahan-bahan tersebut dapat
menimbulkan fibrosis yang luas di paru dan dapat bersifat sebagai antigen yang
masuk paru, faktor manusianya (host) amat penting diperhitungkan sistem
pertahanan paru baik secara anatomis maupun fisiologis. Gangguan faktor ini
bisa diakibatkan oleh bahan bawaan ataupun oleh karena faktor lingkungan. Silia
yang aktif dapat membersihkan debu yang menempel, asap rokok juga jelas
mempengaruhi daya pertahanan paru.
Lamanya paparan dan kerentanan individu yang terpapar perlu diperhatikan.
Partikel-partikel debu yang berdiameter lebih dari 15 mikron tersaring keluar
pada saluran nafas bagian atas. Partikel 5-15 mikron tertangkap pada mukosa
saluran yang lebih rendah dan kembali disapu ke laring oleh kerja mukosiliar,
selanjutnya akan ditelan. Bila partikel ini mengiritasi saluran nafas atau
melepaskan zat-zat yang merangsang respon imun, dapat timbul penyakit
pernafasan misalnya bronkitis.
Partikel-partikel berdiameter antara 0,5-5 mikron (debu yang ikut dengan
pernafasan) dapat melewati sistem pembersihan mukosiliar dan masuk ke
saluran nafas terminal serta alveoli. Dari sana debu ini akan dikumpulkan oleh
sel-sel scavenger (makrofag) dan dihantarkan kembali ke sistem mukosiliar atau
ke sistem limfatik. Partikel berdiameter kurang dari 0,5 mikron kemungkinan
tetap mengambang dalam udara dan tidak di retensi. Partikel-partikel panjang
atau yang berdiameter kurang dari 3 mikron dengan panjang sampai 100 mikron
dapat mencapai saluran nafas terminal, namun tidak dibersihkan oleh makrofag;
akan tetapi partikel ini mungkin pula ditelan oleh lebih dari satu makrofag dan
dibungkus dengan bahan protein kaya besi, sehingga terbentuk badan-badan
abses yang khas.1

10

Secara ringkas dikatakan bahwa reaksi-reaksi yang timbul akibat debu yang
terinhalasi pada jaringan paru tergantung antara lain pada:
a. Sifat alamiah kimia dari debu
Umumnya debu anorganik yang terinhalasi dalam jumlah yang cukup dan
waktu yang lama menimbulkan fibrosis paru, walaupun beberapa debu
anorganik tidak bersifat fibrosinogenik dapat juga menimbulkan gangguan
fungsi paru. Reaksi yang lebih berat tergantung pada daya larut partikel/agen.
Partikel yang mudah larut sehingga dapat mencapai alveoli akan
menimbulkan reaksi yang lebih akut.
b. Ukuran debu
Partikel-partikel dengan ukuran yang lebih besar akan mengalami
penimbunan di saluran nafas bagian atas, sedangkan yang lebih kecil di
saluran nafas bagian bawah.
c. Kadar partikel debu
Kadar partikel debu yang rendah dalam udara inhalasi, dapat dibersihkan
secara komplit, namun semakin tinggi kadamya maka semakin banyak
yang mengalami deposisi di paru.
d. Lamanya paparan
Pada bisinosis, memerlukan waktu paparan selama 5 tahun
e. Kerentanan individu
Hal ini sulit diperkirakan karena individu yang berbeda dengan paparan
yang sama akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Sarie M. dkk (1982)
menyimpulkan bahwa peranan saraf otonom cukup penting dalam respon
terhadap bahan iritan. Gangguan keseimbangan antara rangsangan vagus
dan simpatolitik tampaknya mempengaruhi sensitivitas seseorang terhadap
paparan rangsang debu atau gas. Diperkirakan juga dalam paparan terhadap
bahan kimia dan debu dapat merusak epitelium saluran nafas, sensitasi
reseptor sensoris sehingga dapat meningkatkan refleks bronkokonstriksi.
f. Pembersihan partikel debu
Terdapat dua mekanisme pembersihan partikel debu, yaitu mukosiliaris dan
pengaliran limpatik. Efisiensi mekanisme ini bervariasi tiap individu.
Pembersihan partikel tergantung dari mana partikel tersebut didepositkan.
Partikel yang tertinggal di atas mukus siliaris epitelium, sistem silia akan
mendorong partikel tersebut ke faring, kemudian akan ditelan atau
dibatukkan keluar bersama mukus. Partikel yang tertimbun pada daerah

11

distal, pada saluran nafas yang tidal (mengandung silia dibersihkan lebih
lambat, partikel ini akan difagositir oleh makrofag kemudian dibawa ke
saluran nafas yang dilapisi epitel bersilia sehingga ikut terbang melalui
mukus. Sebagian partikel akan tertinggal di parenkim paru atau dibawa
oleh makrofag melalui sistem limfatik.
Evidence Based Pajanan dengan Penyakit
Angka-angka prevalensi bisinosis antara 20% hingga 50% telah dilaporkan
pada ruang-ruang penyisiran (cardroom) kapas dengan kadar debu respirasi
antara 0,35 mg/m3 dan 0,60 mg/m3. Prevalensi kurang dan 10% ditemukan
pada ruang kerja dengan kadar debu respirasi kurang dari 0,1 mg/m3. Akan
tetapi, dari suatu penelitian pada para pekerja pemisahan biji (biasanya
bekerja musiman), telah dilaporkan rasa sesak pada dada pada permulaan
kerja pada 19% pekerja yang terpapar kadar debu respirasi 0,11 mg/m3.
Jadi, bahkan dengan kadar debu respirasi serendah 0,1 mg/m3 pun dapat
timbul gejala pada sebagian pekerja setelah kembali dari liburan tahunan.
Penurunan VEP1 pertahun lebih besar didapatkan diantara para pekerja
tekstil dengan riwayat paparan debu yang lama, bila dibandingkan dengan
subjek yang tidak terpapar. Penelitian tentang prevalensi bisinosis yang
dilakukan pada karyawan pabrik tekstil di berbagai negara bervariasi antara
1-88% dan pada umumya bergantung pada kadar debu lingkungan kerja
dan lamanya paparan. Prevalensi bisinosis tidak selalu berkorelasi positif
antara timbulnya gangguan saluran pernafasan dengan tingginya kadar
debu di lingkungan kerja.5
4.

Pajanan yang dialami cukup besar


Sesudah debu anorganik dan bahan pertikel terinhalasi akan melekat pada
permukaan mukosa saluran napas (bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris
dan alveolus) karena tempat tersebut basah sehingga mudah ditempeli debu.
Pada awalnya paru-paru memberikan respons berupa inflamasi dan fagositosis
terhadap debu yang masuk oleh makrofag alveolus. Makrofag memfagositosis
debu dan membawa partikel debu ke bronkiolus terminalis. Di situ dengan gerak
mukosiliar debu diusahakan keluar dari paru. sebagian partikel debu diangkut ke

12

pembuluh limfe sampai limfonodi regional di hilus paru. Bila paparan debu
banyak, di mana gerak mukosiliar sudah tidak mampu bekerja, maka
debu/partikel akan tertumpuk di permukaan mukosa saluran napas, akibatnya
partikel debu akan tersusun membentuk anyaman kolagen dan fibrin dan
akibatnya paru (saluran napas) menjadi kaku sehingga compliance paru
menurun. Penyakit paru akibat tertimbunnya debu/partikel di paru atau saluran
napas disebut pneumoconiosis. Sesudah terjadi pneumokoniosis, misalnya
paparan debu sudah berhenti, maka fibrosis paru yang telah terjadi tidak dapat
hilang.
5.

Peranan faktor individu


Status kesehatan fisik: atopi/alergi, riwayat penyakit dalam keluarga,

kebiasaan olahraga.
Status kesehatan mental
Ada atau tidak masalah dalam kejiwaannya, masalah baik diluar pekerjaan
(dalam keluarga) atau pun masalah di lingkungan tempat bekerja (atasan /
sesama pekerja).

Hygiene perorangan
Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang
mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan
yang dialami. Dimana seperti terdapat kecenderungan yang lebih besar
untuk terjadinya Bisinosis pada pekerja yang mempunyai keluhan
obstruksi akut maupun kronis. Faktor resiko menunjukkan bahwa pria
cenderung menderita Bisinosis 1,8 kali daripada wanita. Kemungkinan
temuan ini erat kaitannya dengan kebiasaan merokok, dimana perokok
lebih dominan pada pria.6

6.

Faktor lain di luar pekerjaan


Dicari apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit, atau
apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan
penyebab penyakit. Antaranya hobi, kebiasaan merokok, pajanan di rumah,
pekerjaan sambilan. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu
dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
Kebiasaan merokok mempunyai hubungan yang paling bermakna secara statistic
terhadap terjadinya Bisinosis. Hal ini berarti karyawan yang merokok

13

mempunyai resiko untuk menderita bisinosis 3,3 kali lebih besar disbanding
dengan karyawan yang tidak merokok.
7.

Diagnosis okupasi
Bissinosis
Bisinosis adalah penyakit paru akibat kerja yang penyebabnya hirupan debu
kapas, rami, dan sisal. Oleh karena penemuan gejala inilah maka timbul istilah
demam senin pagi atau Monday morning fever. Istilah byssinosis
dikemukakan oleh seorang dokter berkebangsaan prancis yang bernama Proust
dan istilah ini diambil dari bahasa yunani yang berarti linan atau rami halus.
Karakteristik untuk penyakit bisinosis adalah adanya rasa hari Senin atau
sindrom hari Senin (Monday feelings atau Monday syndrome) pada
bisinosis tingkat dini (1/2 dan 1), yaitu keluhan berat di dada dan pendek nafas
pada hari-hari senin (hari pertama sesudah tidak bekerja 2 hari Sabtu dan
Minggu), tetapi keluhan tersebut tidak dirasakan pada hari-hari lainnya. Tentu
saja, seperti yang telah disebutkan bahwa keluhan ini tidak semata-mata pada
hari senin tetapi pada hari dimana pekerja masuk kembali ke tempat kerja setelah
libur beberapa hari.2,6
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berat atau ringannya grade bisinosis
ditentukan oleh lamanya bekerja di industri tekstil dan jumlah paparan debu.
Tanda-tanda awal penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada
dada, terutama pada hari Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu),
demam, nyeri otot.
Gambaran bisinosis berbeda dengan asma, dimana pada asma terdapat reaksi
cepat antara 10 30 menit setelah terpajan protein antigen untuk menimbulkan
gejala, sedangkan gejala pada bisinosis adalah reaksi lambat yang membutuhkan
waktu hingga beberapa jam. Perbedaan lain, yaitu bisinosis mengenai sebagian
pekerja yang terpajan sedangkan asma hanya sebagian kecil saja. Selain itu, pada
bisinosis tidak ada riwayat keluarga dan riwayat asma seperti pada penderita
asma.
Diagnosis bisinosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat klinis dan riwayat
pajanan.
Ada 3 kriteria untuk diagnosis klinis bisinosis, yaitu :
i.
Riwayat paparan yang pasti terhadap dedu kapas
ii.
Gejala-gejala bissinosis yang dikenal dengan kuestioner standar ( BMRC)

14

dan pada beberapa kasus manifestasi klinis bronchitis kronis ( WHO,


iii.

technical report series No. 684 tahun 1983)


Penurunan kapasitas ventilasi selama jam kerja, yang lebih berat pada
penderita bisinosis daripada individu normal dan pada umumnya lebih
tinggi pada hari pertama minggu kerja dibandingkan hari lainnya.

Derajat bissinosis yang ditentukan dari kapasitas ventilasi serta kuesioner


standarnya
- Derajat 0: tidak ada bissinosis
- Derajat : kadang-kadang rasa dada tertekan atau sesak napas pada tiap hari
-

pertamaminggu bekerja
Derajat 1: rasa dada tertekan atau sesak napas pada tiap hari pertama minggu

kerja.
Derajat 2: rasa berat di dada dan sukar bernapas tidak hanya pada hari

pertama bekerja, tetapi juga pada hari lain minggu kerja.


Derajat 3: gejala seperti derajat 2 ditambah berkurangnya toleransi terhadap
aktivitas secara menetap dan atau pengurangan kapasitas ventilasi.

Penatalaksanaan
1. Beta2-Agonis Long Acting 5
Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi kerja
panjang lebih dari 12 jam. Cara kerja obat beta 2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor
beta2-adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan
konsentrasi siklik AMP . Beta2-agonis long acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos
saluran nafas, meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas vaskuler dan
dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Juga menghambat reaksi asma
segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh alergen, dan menghambat peningkatan respon
saluran nafas akibat induksi histamin. Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler,
tremor otot skeletal dan hipokalemi.
2.
Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang pasti
belum diketahui. Obat ini terutama menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh
IgE dari sel mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain
(makrofag, eosinofil, monosit). Obat ini diberikan untuk pencegahan karena dapat

15

menghambat reaksi asma segera dan reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen, latihan,
udara dingin dan sulfur dioksida. Pemberian jangka panjang menyebabkan penurunan nyata
dari jumlah eosinofil pada cairan BAL dan penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik.
Bisa digunakan jangka panjang setelah asma timbul, dan akan menurunkan gejala dan
frekuensi eksaserbasi.
Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding
sodium kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan
pelepasan mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan begitu asma
timbul.

3. Teofilin lepas lambat


Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan asma.
Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin
karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV,
yang berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi.
Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek
antiinflamasi.
Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas
lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena
mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal
yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.
Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem organ
yang berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling
sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek
kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan.
4. Kortikosteroid
Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti. Beberapa
yang ditawarkan adalah berhubungan dengan metabolism asam arakidonat, juga sintesa
leukotrien dam prostaglandin, mengurangi kerusakan mikrovskuler, menghambat produksi
dan sekresi sitokin, mencegah migrasi dan aktivasi sel radang dan meningkatkan respon

16

reseptor beta pada otot polos saluran nafas.


Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki fungsi
paru, mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala,mengurangi frekuensi dan
beratnya eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Dosis tinggi dan jangka panjang
kortikosteroid inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat karena dapat
menurunkan pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi efek samping
sistemik.
Prednison, prednisolon dan metilprednisolon adalah kortikosteroid oral pilihan karena
mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh yang relatif pendek dan efek
yang ringan terhadap otot bergaris. Pendapat lain menyatakan kortikosteroid sistemik
dipakai pada penderita dengan penyakit akut, pasien yang tidak tertangani dengan baik
memakai bronkodilator dan pada pasien yang gejalanya menjadi lebih jelek walaupun telah
diberi pengobatan maintenance yang baik.
Pencegahan
1. Primer
Pada pencegahan dapat dilakukan penyuluhan kepada tenaga kerja seperti
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja, penyuluhan mengenai
kesehatan para tenaga kerja berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya.
Kepada pekerja perlu diberi penyuluhan mengenai kebersihan perorangan,
makanan yang nilai gizinya sesuai dengan jenis pekerjaan, gerak badan untuk
kesehatan (olahraga), pertolongan pertama pada kecelakaan, perilaku K3 yang
baik dan lain-lain.
2. Sekunder
Ventilasi, baik lokal, maupun umum. Ventilasi umum antara lain dengan
mengalirkan udara ke ruang kerja melalui pintu dan jendela, tapi cara ini biasanya
mahal harganya. Cara ventilasi lokal, yang disebut pompa keluar setempat,
biasanya biayanya tidak seberapa sedangkan manfaatnya besar dalam melindungi
para pekerja.
Tindakan pencegahan paling umum adalah dengan membasahi permukaan tanah
dan bijih. Mesin-mesin yang berpotensi menimbulkan debu (mis: belt conveyor)
juga mesti diberi pelindung agar debu tidak tersebar. Sedang di tambang bawah
tanah, ventilasi yang cukup merupakan prasyarat penting untuk mengurangi kadar
debu.

17

Agar perlindungan menjadi maksimal, pekerja mesti dibekali dengan respirator


(masker anti debu). Respirator dilengkapi dengan filter hingga mampu mencegah
partikel debu terhirup ke dalam paru-paru.

Pengendalian debu
Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal yaitu
pencegahan terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap
manusia yang terkena dampak.
o Pencegahan Terhadap Sumbernya
Pengontrolan debu diruang kerja terhadap sumbernya antara lain:
Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu diruang kerja dengan
Local Exhauster atau dengan melengkapi water sprayer pada

cerobong asap.
Substitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak

mengeluarkan debu.
o Pencegahan Terhadap Transmisi
Upaya paling praktis dalam pencegahan debu adalah menggunakan air.
Air dapat digunakan untuk menyemprot coal face dan loose rock, dan
pada permukaan setelah blasting, dumping, atau berbagai rock
handling process. Akan tetapi, banyak pekerjaan underground
kekurangan supply air yang cukup.
Ventilasi yang baik juga penting untuk mengeliminasi debu. Setiap
tempat kerja seharusnya memiliki supply udara bersih untuk
mengencerkan

atau

mengangkut

airborne

dust.

Akan

tetapi,

underground ventilation, terutama di negara berkembang, sering buruk


akibat buruknya fasilitas.
o Pencegahan Terhadap Tenaga Kerja
Perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja terhadap
bahaya kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Antara lain
dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker.
Penggunaan APD merupakan alternative lain untuk melindungi pekerja
dari bahaya kesehatan. Namun APD harus sesuai dan adekuat. Alatalat pelindung harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki daya pencegah kuat terhadap bahaya yang ada.
b. Konstruksi dan kemampuan harus memenuhi standar yang berlaku.

18

c. Ringan, efisien, dan nyaman dipakai.


d. Tidak mengganggu gerakan yang diperlukan.
e. Tahan lama, pemeliharaan mudah, dan bagian-bagian mudah diganti atau
diperoleh.

Pengendalian administratif
Pengendalian administratif mungkin bias sebagai pilihan yang berguna atau
tindakan tambahan untuk mengurangi pajanan pegawai dalam bahaya pekerjaan.
Tindakan ini dapat berbentuk perluasan dan rotasi pekerjaan, pembatasan jam
kerja pada operasi berbahaya, atau malah pemberian tugas ulang pada pekerjaan
sementara. Pelatihan pekerja untuk mengenal bahaya pekerjaan, cara bekerja
secara aman, dan hal yang harus dilakukan dalam keadaan darurat atau bila

penyakit akibat kerja timbul,adalah satu aspek lain pencegahan yang penting.
3. Tersier
Pre-worker check-up
Semua pekerja harus menjalani pemeriksaan medis sebelum bekerja dan berkala
dengan mengutamakan upaya untuk mendeteksi pre-existing lung disease dan

perkembangan pneumokoniosis.
Penerangan sebelum bekerja
Suatu penjelasan agar pekerja mengetahui dan mentaati peraturan dan undangundang yang berlaku serta tahu adanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja,
sehingga d apat bekerja lebih berhati-hati.
Pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang berbahaya
dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja.
Kebersihan perorangan dan pakaiannya, merupakan hal yang penting, terutama
untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan bahan kimia

serta partikel lain.


Pemeriksaan kesehatan berkala
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan dan mencegah penyakit jabatan

dalam tingkatan sedini mungkin. Prioritas diberikan kepada pekerja yang:


bekerja di lingkungan berbahaya
dipindahkan dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain,
menderita penyakit menahun,
perlu diperiksa atas permintaan dokter keluarganya, atau keinginannya sendiri,
bekerja lagi setelah penyakitnya sembuh.7
Penutup
Untuk mencegah terjadinya obstruksi saluran napas pada karyawan yang terpapar dengan
19

debu kapas, semua karyawan yang melamar untuk bekerja di pabrik tekstil hendaknya
menjalani penyaringan khusus yang dimulai dengan wawancara terpimpin dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, spirometri, foto paru dan tes kulit terhadap
beberapa allergen inhalan umum. Kepada karyawan yang baru diterima, hendaknya
diberikan penyuluhan tentang kesehatan kerja, bahaya pemaparan debu kapas dan gejala
dini obstruksi saluran napas. Mereka dianjurkan segera melaporkan diri kepada dokter
perusahaan bila merasa dada tertekan, batuk dan sesak yang ada hubungannya dengan
lingkungan kerja. Instansi pemerintah diharapkan agar dapat mengawasi pabrik-pabrik
yan mengolah kapas dengan jalan mengukur kadar debu dalam lingkungan kerja,
memeriksa mesin, kualitas udara dalam pabrik, mengontrol pemakaian filter, respiratoir
dan masker dan bila perlu memperketat izin operasi pabrik.
Daftar pustaka
1. Jeyaratnam J, Koh D. Buku ajar praktikum kedokteran kerja. Jakarta: Penerbit buku
2.

kedokteran EGC; 2010.hal. 85-7, 359-62.


Sumamur PK. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Gunung

3.

Agung ; 2006.
Purwanto, Amin M. Hubungan antara paparan debu kapas dengan kelainan faal

4.

paru : Penelitian pada pabrik pemintal X. J. Respir Indo, 1996.hal. 16:22-8


Levy.S.B. Occupational HEALTH: recognizing and preventing work-related disease

5.

and injury. Edisi 4. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2000. Hal 491-2


Rahmatullah P. Pneumonitis dan penyakit paru lingkungan. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI;

6.

2007.h.1030-1.
Harrington,Gill .Buku Saku Kesehatan Kerja. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran

7.

EGC ; 2003.
Jeyaratnam J, Koh D. Buku ajar praktikum kedokteran kerja. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC, 2010. Hal 85-7, 359-62.

20

Anda mungkin juga menyukai