Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS EFEK TUNDA WAKTU TERHADAP PERFORMA SISTEM

KENDALI BERBASIS JARINGAN


Rahmat Wahyu Pratama, RM Sisdarmanto Adinandra, ST., M.Sc,. Ph.D, Alvin Sahroni, ST., M.Eng

Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia

Abstrak Teknologi jaringan data telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir dengan
berbagai keunggulannya. Banyak industri yang mengaplikasikannya untuk kebutuhan otomasi dan
pengendalian jarak jauh. ZigBee adalah suatu protokol jaringan yang sering digunakan pada sistem
kendali berbasis jaringan atau networked control system (NCS). NCS adalah suatu sistem kendali
kalang tertutup yang melalui jaringan secara real time. Penerapan NCS tidak pernah terlepas dari
adanya tundaan (delay) yang berupa delay jaringan dan delay perangkat. Penelitian ini mencoba
untuk mencari tahu pengaruh delay terhadap performa sistem, baik pada fase transien maupun
steady state dengan metode by experiment. Sistem yang digunakan adalah sistem kendali kalang
tertutup dimana sinyal kendali dikirimkan secara wireless dengan pengendali berupa PLC dan
protokol jaringan komunikasi Zigbee. Pengujian dilakukan dengan mengubah-ubah jarak uji untuk
mengetahui pengaruh delay jaringan tx dan variabel wait (waktu tunggu sebelum pengiriman
paket data) dan post (waktu tunda sebelum pengolahan paket data terkirim) untuk mengetahui
pengaruh delay perangkat. Pengujian dilakukan di 2 kondisi yaitu dengan dan tanpa gangguan.
Dari hasil pengujian diketahui bahwa gangguan menyebabkan settling time meningkat dan
konfigurasi wait dan post natural menghasilkan nilai maximum overshoot terbaik. Perangkat XBee
S1 yang digunakan sangat sensitif terhadap packet loss sehingga osilasi pada keadaan steady state
sering terjadi.
Keyword: Networked Control System, delay, Zigbee, PLC

I. PENDAHULUAN
Teknologi jaringan data telah berkembang pesat dalam
40-50 tahun belakangan. Penggunaan jaringan menyediakan
banyak keunggulan, diantaranya adalah memungkinkan
transfer data secara jarak jauh, pertukaran data antar
pengguna, mengurangi kompleksitas pada wiring, serta
kemudahan dalam pemeliharaan.
Banyak perusahaan di dunia industri yang telah
mengaplikasikan jaringan untuk kebutuhan otomasi dan
pengendalian jarak jauh. Sistem kendali di industri terdiri atas
peralatan-peralatan yang saling terhubung dalam suatu
jaringan, sehingga memungkinkan terjadinya proses
komunikasi diantara peralatan-peralatan tersebut. Dalam
proses komunikasi tersebut terjadi suatu pertukaran data.
Untuk menjamin validitas data yang dipertukarkan, maka
diperlukan seperangkat aturan yang mengatur mengenai
sistem komunikasi antara perangkat-perangkat dalam sistem
kendali tersebut. Seperangkat aturan tersebut dinamakan
protokol.
Dunia industri telah mengenal beberapa protokol
jaringan untuk pengendalian, seperti Control Industrial
Protocols (CIP), Controller Area Network (CAN), Modbus
RTU, Profibus, dan lain-lain. Sementara itu, teknologi tanpa
kabel atau wireless telah berkembang secara pesat dan tidak
asing lagi bagi masyarakat melalui perangkat smart phone
yang telah menyediakan fasilitas koneksi 3G yang memiliki
kecepatan akses hingga 14 Mbit/s, sangat jauh apabila
dibandingkan dengan teknologi dial-up modem pada PC yang
lazim digunakan sekitar 20 tahun lalu yang hanya memiliki
kecepatan sekitar 56 Kbit/s. Karena kecepatan dan kemudahan
aksesnya, maka jaringan nirkabel berkecepatan tinggi tersebut
telah dimanfaatkan oleh berbagai aplikasi kendali, terutama di
dunia industri. Salah satunya adalah wireless sensor networks
(WSN).
Wireless Sensor Network atau sensor jaringan nirkabel
merupakan suatu jaringan nirkabel yang terdiri dari beberapa
sensor yang diletakkan ditempat - tempat yang berbeda untuk
me-monitoring kondisi suatu plant (Arrosyid, Tjahjono, &
Sunarno, 2009). WSN telah berhasil memanfaatkan kemajuan
teknologi telekomunikasi wireless untuk berbagai aplikasi
monitoring. Beberapa diantaranya adalah deteksi kebakaran
hutan, monitoring untuk tingkat polusi udara, telemedika,
SCADA, dan lain-lain. WSN diizinkan untuk beroperasi pada
frekuensi 2,4 GHz. Terdapat 3 buah standar IEEE yang
berkaitan dengan jaringan wireless yang dapat digunakan
untuk aplikasi WSN, yaitu IEEE 802.11 untuk wireless local
area network (WLAN/WiFi), IEEE 802.15.1 untuk wireless
personal area networks (WPAN/Bluetooth), dan IEEE
802.15.4 untuk low rate wireless personal area network (LRWPAN).

Gambar 1. Aplikasi WSN

Networked Control System (NCS) atau sistem kendali


berbasis jaringan merupakan suatu sistem kendali kalang
tertutup yang melalui jaringan secara real-time. Sistem kendali
berbasis jaringan merupakan salah satu sistem kendali yang
erat kaitannya dengan aplikasi WSN. Pada sistem kendali
berbasis jaringan pengendali dan plant diletakkan pada lokasi
yang berbeda. Hal tersebut yang membedakan sistem kendali
berbasis jaringan dengan sistem kendali konvensional. Sebagai
contoh, di industri, pengendali diletakkan pada control room.
Sedangkan plant yang terdiri dari aktuator dan sensor
diletakkan di process area. Sinyal kendali dari pengendali
dikirim dan diterima oleh aktuator melalui sepasang perangkat
komunikasi wireless. Pembacaan sensor kemudian dikirimkan
kembali ke pengendali dengan perangkat komunikasi wireless
untuk diolah. Protokol yang digunakan pada sistem kendali
berbasis jaringan biasanya mengacu pada standar IEEE
802.15.4 seperti MiWi, WirelessHART, dan The ZigBee.
(Bauer, 2013)
Terlepas dari jenis protokol jaringan yang digunakan,
secara keseluruhan sistem kendali berbasis jaringan selalu
dipengaruhi oleh waktu tunda, sehingga sering terjadi
keterlambatan dalam penyampaian data. Waktu tunda
mungkin tidak terlalu berpengaruh pada sistem kalang terbuka
seperti sistem on-off secara estafet di pabrik-pabrik, tapi akan
sangat berpengaruh pada plant yang menggunakan sistem
kalang tertutup karena dibutuhkannya data umpan balik yang
dikirim melalui jaringan untuk memperbaiki error output.
Waktu tunda jaringan akan sangat berpengaruh karena akan
menurunkan performa dari sistem. Oleh karena itu, untuk
menangani waktu tunda pada sistem kendali berbasis jaringan
dibutuhkan suatu analisis yang mendalam mengenai proses
pengiriman dan penyampaian data pada jaringan sehingga
dapat ditemukan suatu metodologi yang tepat untuk
menangani waktu tunda tersebut.
Penelitian ini mencoba mencari solusi atas permasalahan
mengenai waktu tunda yang disebabkan oleh jarak yang
menyebabkan menurunnya performa sistem, dengan cara
menganalisis perilaku sistem yang diuji terhadap jarak mulai
dari 0 sampai 10 meter. Dari hasil analisis tersebut diharapkan
dapat diketahui apa saja yang menyebabkan terjadinya
tundaan dan sejauh mana sistem dapat terjaga keandalannya.
A. Respon Transien
Respon sistem yang berarti perubahan perilaku output
terhadap sinyal input terdiri dari dua kawasan yaitu kawasan
waktu dan kawasan frekuensi. Respon waktu dari sebuah
sistem kendali terdiri dari dua bagian, yaitu respon transien
dan respon steady-state. Respon transien adalah spesifikasi
respon sistem yang diamati mulai saat terjadinya perubahan
sinyal input sampai respon masuk ke dalam steady-state.
Sedangkan respon steady-state adalah keadaan saat output
sistem mulai memasuki steady-state hingga waktu yang tak
terbatas. (Ogata, 2010)
Karakteristik dari sistem kendali dapat dilihat dari respon
transien yang dimilikinya. Ketika sistem diberikan sinyal step,
respon dari variabel proses/output sistem diukur perubahannya
terhadap waktu. Dalam analisis karakteristik respon transien
terhadap masukan unit step, secara umum terdapat beberapa
parameter yang harus ditentukan, yaitu (Ogata, 2010):

3
1. Delay time, ; yaitu waktu yang dibutuhkan oleh respon
untuk mencapai setengah dari nilai akhir untuk pertama
kalinya.
2. Rise time, ; yaitu waktu yang dibutuhkan oleh respon
untuk meningkat dari nilai 10% sampai 90%, 5% sampai
95%, atau 0% sampai 100% dari nilai akhir. Untuk sistem
orde dua teredam, nilai rise time biasanya adalah 0% sampai
100%, sedangkan sistem teredam lebih adalah 10% sampai
90%.
3. Peak time, ; adalah waktu yang dibutuhkan oleh respon
untuk mencapai puncak pertama dari overshoot.
4. Maximum (percent) overshoot,
; adalah nilai puncak
maksimal dari kurva respon diukur dari nilai kesatuan (set
point), atau nilai yang menyatakan perbandingan antara nilai
maksimum respon yang melampaui nilai steady state
dibandingkan dengan nilai steady state. Jika nilai steady
state akhir respon berbeda dengan nilai kesatuan, maka
umumnya digunakan nilai maximum (percent) overshoot
untuk menunjukkan tingkatan stabilitas sistem.
5. Settling time, ; adalah waktu yang dibutuhkan oleh respon
untuk mencapai 5% atau 2% dari nilai akhir.

Gambar 2. Grafik respon sistem (Ogata, 2010)


B. Sistem Kendali Berbasis Jaringan
Teori kendali klasik mengandalkan pada asumsi bahwa
komunikasi antara sensor, aktuator, dan pengendali adalah
ideal, yang berarti bahwa data terkomunikasi dan terkomputasi
dengan tanpa tundaan (zero delay) dan kepresisian tak hingga.
Asumsi tersebut dapat diterima ketika komunikasi dan
komputasi pada perangkat keras yang digunakan telah cukup
cepat apabila dibandingkan dengan dinamika, yang berarti
perangkat keras mampu membaca dan mengikuti segala
perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem secara realtime. Tetapi kenyataannya, komunikasi digital selalu
menyebabkan adanya tundaan dan keterbatasan dalam
kepresisian sehingga teori klasik tersebut tidak lagi berlaku
apabila diterapkan. Hal tersebut dapat diatasi dengan
mengembangkan teori sistem kendali berbasis jaringan.
(Bauer, 2013)

Gambar 3. Blok diagram dari sistem kendali berbasis jaringan.

Teori kendali jaringan yang mempelajari sifat-sifat dari


sistem kendali menyatakan bahwa komunikasi secara real time
antara sensor, aktuator, dan pengendali tidak selalu sempurna.
Secara spesifik, beberapa aspek dari jaringan yang dapat
mempengaruhi performa dari sistem adalah sebagai berikut
(Donkers, 2011):
Keterbatasan media komunikasi
Ketika beberapa sensor dan aktuator harus berkomunikasi
melalui suatu jaringan bersama, tidak mungkin untuk
mengirimkan seluruh sinyal sensor dan aktuator secara
serempak. Perlunya suatu penjadwalan pada protokol jaringan
untuk memberikan waktu pada tiap node untuk mengirimkan
datanya masing-masing.
Interval dari pengambilan sampel yang bervariasi
Pada sistem kendali berbasis jaringan, setiap node jaringan
memiliki kemampuan proses yang terbatas dan local clock
yang digunakan untuk mencuplik data memiliki tingkat
akurasi yang rendah.
Tundaan pada transmisi yang bervariasi
Dibutuhkan sejumlah waktu tertentu selama sistem
melakukan pencuplikan dan pengiriman data serta
mengeksekusi algoritma kendali. Terkadang jaringan dapat
diduduki oleh perintah lain sehingga menyebabkan data
dikirimkan secara berbeda pada setiap transmisi.
Paket data yang terputus
Transmisi gagal karena paket data bertabrakan dengan
paket data lain ataupun data mengalami kerusakan ketika
melalui lapisan fisik pada jaringan.
Kuantisasi dari sinyal yang ditransmisikan
Kuantisasi terjadi karena data yang ditransmisikan
dikirimkan dalam paket yang memiliki panjang pesan yang
terbatas.
Fenomena-fenomena tersebut dapat menurunkan
performa dan mengganggu stabilitas dari sistem secara
keseluruhan. Efek yang ditimbulkan dari kelima hal tersebut
cukup bervariasi tergantung dari jenis jaringan yang
digunakan
Waktu tunda yang penting dan harus dipertimbangkan
dalam analisis sistem kendali jaringan adalah tundaan dari
sensor ke pengendali
dan tundaan dari pengendali ke
aktuator
. Tundaan pada saat transmisi dibagi menjadi 2
bagian, yaitu tundaan perangkat dan tundaan jaringan.
Tundaan perangkat terdiri atas waktu tunda yang terjadi pada
node sumber dan node tujuan. Waktu tunda pada node sumber
terdiri dari waktu preprocessing
dan waktu tunggu
.
Sedangkan waktu tunda pada node tujuan adalah
postprocessing
Waktu tunda jaringan terdiri dari jumlah
antara waktu transmisi data dan tundaan propagasi pada
jaringan
. Waktu tunda keseluruhan dapat dinyatakan
dengan persamaan 1. (Lian, Moyne, & Tilbury, 2002;
Tipsuwan & Chow, 2003)
(1)

4
rendah (sehingga dapat menggunakan baterai dengan ukuran
kecil), serta reliabilitas yang tinggi (Kinney, 2003).
II. PERANCANGAN SISTEM

Gambar 4. Diagram pewaktuan pengiriman data antara dua


node (Lian, Moyne, & Tilbury, 2002).
Waktu preprocessing
Waktu preprocessing adalah waktu yang dibutuhkan oleh
node sumber untuk mendapatkan data dari lingkungan
eksternal (aktuator/plant)
kemudian memproses dan
mengubahnya ke bentuk yang sesuai dengan format data
jaringan. Hal ini sangat bergantung pada karakteristik
perangkat keras dan lunak yang digunakan.
Waktu tunggu
Waktu tunggu terjadi saat node sumber menunggu antrian
ketersediaan jaringan sebelum mengirim paket data. Hal ini
sangat terkait dengan jumlah data yang harus dikirim dan lalu
lintas data pada jaringan. Faktor utama yang mempengaruhi
cepat atau lambatnya waktu tunggu adalah jenis protokol
jaringan yang digunakan, jenis pesan, dan beban pada lalu
lintas jaringan.
Waktu transmisi pada jaringan
Waktu transmisi adalah hal yang paling menentukan dalam
sistem jaringan, karena bergantung pada data rate, ukuran
pesan, dan jarak antara 2 node. Waktu transmisi dapat
dinyatakan dengan persamaan 2. Dimana N adalah panjang
pesan dalam bit,
adalah kecepatan data per bit per satuan
waktu, dan
adalah waktu propagasi. Selama kecepatan
transmisi pada media komunikasi adalah 2.108 m/s,
dapat diabaikan pada kendali jaringan skala kecil (100 meter
atau kurang).
(2)
Waktu postprocessing
Adalah waktu yang dibutuhkan oleh node tujuan untuk
menerjemahkan data jaringan kemudian memprosesnya dan
memberikan output kepada aktuator.
C. ZigBee
Penggunaan teknologi ZigBee sebagai protokol jaringan
telah mulai dikenal sejak awal tahun 2000-an. ZigBee
bukanlah suatu protokol jaringan komunikasi yang digunakan
untuk pengiriman data yang besar dengan transfer rate yang
tinggi. Protokol ini cocok untuk sistem dengan transfer rate
rendah dan jarak yang jauh, sehingga cukup tepat untuk
diaplikasikan pada sistem pengendalian di dunia industri.
ZigBee memilki transfer rate sekitar 250Kbps, yang lebih
rendah dibandingkan dengan WPAN lain seperti bluetooth
yang mempunyai transfer rate hingga 1Mbps. Sedangkan
jarak atau range kerja dari ZigBee sendiri adalah sekitar 76 m,
lebih jauh dibandingkan dengan Bluetooh (Suryani & Rizal).
Teknologi ini mendukung berbagai macam topologi, seperti
bintang, mesh, dan lainnya. Keunggulan teknologi ZigBee
diantaranya adalah harganya yang murah, konsumsi daya yang

Perancangan sistem kendali jaringan dengan plant motor


DC meliputi perancangan perangkat keras (hardware) dan
perangkat lunak (software). Sistem yang dirancang bertujuan
untuk membuat kecepatan motor DC tetap stabil berdasarkan
set point yang telah ditentukan. Selanjutnya, sistem diberikan
gangguan berupa halangan pada sisi kanan dan kiri serta jarak
antara pengendali dan plant yang dijauhkan yang bertujuan
untuk mengetahui pengaruh gangguan tersebut terhadap
performa sistem kendali jaringan yang telah dirancang. Blok
diagram sistem seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Blok diagram sistem.


Nilai set point dan konstanta PID dimasukkan ke dalam
PLC LG Master K120S melalui software CIMON D yang
berfungsi sebagai interface antara user dan pengendali. Output
dari PLC berupa duty cycle OFF dari fungsi PWM. Data PWM
tersebut kemudian diolah dan diubah ke dalam bentuk data
serial oleh mikrokontroler (C) 1. Selanjutnya, C 1 akan
mengirim data serial tersebut secara wireless melalui XBee A.
Data serial kemudian diterima oleh XBee B dan diubah
menjadi sinyal PWM oleh C 2. Output PWM dari C 2 yang
masih berbentuk digital dengan tegangan 5 VDC diubah ke
bentuk analog 24 VDC oleh driver motor.
Sebagai suatu sistem kendali kalang tertutup, pengendali
membutuhkan data pembacaan sensor dari plant untuk
mendapatkan nilai error. Untuk mendapatkan nilai tersebut
digunakan sebuah roda cacah tipis yang dikopel dengan poros
motor serta sebuah sensor optocoupler untuk menghasilkan
pulsa berdasarkan jumlah lubang yang terbaca. Pulsa yang
terbaca dikirim melalui kabel kepada modul input PLC. PLC
melalui fungsi high speed counter kemudian menghitung
kecepatan motor dalam satuan rotation per minute (rpm).
Aksi kendali PID bertugas untuk membuat kecepatan
motor stabil sesuai dengan nilai set point yang dimasukkan
dengan toleransi steady state error sebesar 5%. Respon sistem
yang dapat diamati dari software CIMON D menjadi acuan
dalam proses tuning PID. Apabila respon sistem sudah stabil

5
dan sesuai dengan yang diharapkan, maka proses tuning
dihentikan dan diuji dengan nilai set point yang bervariasi.

melakukan trigger ke relay pada modul input PLC dengan


baik.

A. Sistem Minimum C
Sistem minimum C pada sistem ini digunakan untuk
mengirim data dalam bentuk serial, karena tidak mungkin data
dari PLC sebagai pengendali yang berbentuk data duty cycle
PWM langsung dikirim melalui XBee. Pada penelitian ini C
yang digunakan adalah ATMEGA 8 yang memiliki 28 pin.
Schematic dari sistem minimum C yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 7. Rangkaian sensor optocoupler.
C. Kendali PID pada PLC

Gambar 8. Blok diagram aksi kendali PID pada PLC.

Gambar 6. Schematic sistem minimum C.


Penelitian ini menggunakan XBee S1 sebagai perangkat
komunikasi. Ada 4 pin dari modul XBee yang digunakan,
yaitu VCC, DIN, DOUT, dan GND. Untuk menghindari
kerusakan, perlu digunakan sebuah voltage regulator untuk
menurunkan tegangan menjadi 3,3 VDC yang merupakan
tegangan kerja dari modul XBee, yang pada penelitian ini
menggunakan sebuah trimpot dan IC LM 317 yang turut
dipasang pada sistem minimum.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan
modul XBee adalah level tegangan yang digunakan. Modul
XBee menggunakan level tegangan 3,3 VDC, sedangkan C
bekerja pada tegangan 5 VDC. Untuk itu, perlu ditambahkan
suatu rangkaian level shifting untuk memberikan sinyal 3,3
VDC ke XBee dan sinyal 5 VDC ke C.
B. Perancangan Sensor Optocoupler
Pulsa yang terkirim ke PLC tergantung dari hasil
pembacaan sensor optocoupler. Sensor optocoupler terdiri
dari 2 bagian yaitu led dan photo transistor. Bila cahaya yang
terpancar dari led tidak sampai kepada sensor photo transistor
karena terhalang oleh bagian dari roda cacah maka output dari
optocoupler akan berlogika rendah (0). Sedangkan ketika
kondisi sebaliknya output dari optocoupler adalah logika
tinggi (1). Output saat logika tinggi adalah 5 VDC, dimana
nilai tegangan tersebut belum mampu untuk membuat trigger
pada relay di modul input PLC. Oleh karena itu digunakan
rangkaian switching pada bagian ground dengan IRF 540 yang
terhubung dengan PLC agar tegangan sumber 24 VDC dapat

Kendali PID adalah sebuah aksi kendali untuk membuat


nilai output sesuai dengan nilai set point/set value (SV).
Kendali PID membandingkan nilai SV dengan nilai
pembacaan sensor atau dikenal dengan present value (PV).
Ketika terdapat perbedaan antara nilai SV dan PV yang
diistilahkan dengan nilai error (E), pengendali akan
memberikan output berupa nilai manipulation value (MV)
untuk menghilangkan nilai E tersebut. Pada sistem ini, nilai
MV diubah dalam bentuk duty cycle PWM untuk
menggerakkan motor DC.
Fungsi-fungsi yang digunakan pada aksi kendali PID
untuk PLC LG Master K120S diantaranya adalah high speed
counter yang bertugas menghitung kecepatan motor dan
menghasilkan PV, PID dan PID cal sebagai penghitung dan
penghasil output kendali PID berupa MV, dan PWM sebagai
output dari PLC.
D. Perancangan Sistem SCADA
Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA)
pada sistem ini menggunakan software CIMON D. SCADA
digunakan untuk memudahkan user dalam memasukkan
konstanta PID dan set point serta memantau respon dari plant.
Agar register-register yang digunakan pada PLC dapat
terintegrasi dengan sempurna ke CIMON D, perlu dibuat suatu
database yang terdiri dari Tag Name, Tag Type, I/O Device,
I/O Address, Initial Value, Additional Function, dan
Description. Database pada sistem ini seperti terlihat pada
Gambar 9.

MULAI
MULAI

AA == 0.37
0.37
BB == 2.13
2.13

JIKA
JIKA PIND2
PIND2 == 00

Gambar 9. Database untuk sistem SCADA.


Tampilan animasi terdiri dari dua bagian, yaitu bagian
input dan output. Bagian input terdiri dari button untuk
mengaktifkan keseluruhan sistem dan dynamic tag untuk
memasukkan nilai proportional, integral, derivative, dan set
point. Sementara pada bagian output terdiri dari indicator
lamp, dynamic tag untuk menampilkan nilai manipulation
value, RPM, dan PWM value, serta trend untuk menampilkan
grafik respon sistem. Tampilan animasi pada penelitian ini
ditunjukkan oleh Gambar 10.

MULAI
MULAI TIMER1
TIMER1
SAMPAI
SAMPAI PIND2
PIND2 == 11

STOP
STOP TIMER
TIMER 11
XX == TIMER1
TIMER1

YY == A*X+B
A*X+B

KIRIM
KIRIM YY

SELESAI
SELESAI

Gambar 11. Flowchart pemrograman C 1.

Gambar 10. Tampilan user interface.


Perlu diketahui PLC LG Master K120S memiliki aturan
tersendiri dalam memasukkan konstanta PID, dengan aturan
nilai
dikalikan 100. Sedangkan untuk
dan
dikalikan
10. Hal ini dikarenakan pada program ladder tidak mengenal
angka pecahan desimal. Oleh karena itu pada tampilan
SCADA nilai konstanta PID akan menyesuaikan dengan
aturan dari PLC.
E. Pemrograman C
Pemrograman pada C memiliki tujuan untuk mengubah
data PWM dari PLC menjadi data serial yang siap dikirim
melalui XBee. Langkah yang pertama kali dilakukan adalah
melakukan kalibrasi antara nilai PWM dari PLC dengan nilai
timer dari C 1 dengan menggunakan rumus persamaan
regresi linier sederhana (Sugiyono, 2008). Persamaan regresi
digunakan agar nilai data serial yang dikirim oleh C sesuai
dengan nilai PWM dari PLC.
=

(3)

(4)

(5)

Pada C 2, hal yang pertama kali dilakukan adalah


mengambil data serial, yang diwakilkan oleh variabel A. Data
ini tidak bisa langsung dikeluarkan dalam bentuk PWM
karena masih bertipe string. Untuk itu perlu digunakan
variabel S yang berisi perintah Val untuk mengubah data
tersebut menjadi tipe byte. Berikutnya data yang telah
berbentuk byte tersebut dikalikan dengan nilai 2,5 agar sesuai
dengan skala PWM pada C 2 yaitu 0 255 (8 bit), yang
kemudian dikeluarkan dalam bentuk PWM dengan perintah
Pwm1a.

7
MULAI
MULAI

4500

M
M == 2.5
2.5

TUNGGU
TUNGGU DATA
DATA
SERIAL
SERIAL

Kecepatan (rpm)

4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
KONVERSI
KONVERSI DATA
DATA
SERIAL
SERIAL KE
KE BYTE
BYTE (S)
(S)

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Duty cycle PWM (%)


YY == M*S
M*S

KELUARKAN
KELUARKAN NILAI
NILAI
PWM
PWM
PWM1A
PWM1A == YY

SELESAI
SELESAI

Gambar 12. Flowchart pemrograman C 2.


F. Konfigurasi XBee
Untuk melakukan konfigurasi pada XBee digunakan
software XCTU. Agar XBee dapat berkomunikasi secara point
to point diperlukan pengaturan beberapa parameter di XCTU
yaitu pada Personal Area Network ID (PAN ID), Destination
Address Low (DL), dan 16 bit Source Address (MY). XBee A
dan B dapat saling berkomunikasi bila:
Nilai parameter DL-XBee A = MY-XBee B
Nilai parameter MY-XBee A = DL-XBee B
XBee A dan XBee B memiliki PAN ID yang sama
Pada penelitian ini nilai PAN ID pada XBee A = 3001,
sedangkan DL = 2 dan MY = 1. Sedangkan pengaturan
parameter pada XBee B yang bertugas untuk menerima data
memiliki nilai PAN ID = 3001, DL = 1 dan MY = 2.

Gambar 13. Grafik kecepatan motor terhadap nilai PWM.


Kecepatan motor bergerak naik dari duty cycle PWM
30% hingga 100%, sehingga dapat disimpulkan bahwa motor
dapat bekerja cukup baik dan siap untuk dikondisikan sebagai
plant pada penelitian ini.
B. Pengambilan data baseline
Sebelum dilakukan pengambilan data baseline terlebih
dulu dilakukan tuning PID dengan metode trial and error.
Dari beberapa kali tuning didapatkan konstanta PID yang
terbaik yaitu = 1,1, = 1,6, dan = 0,8. Nilai konstanta ini
teruji pada 3 set point yaitu 3200, 3400, dan 3600 rpm.
Data baseline digunakan sebagai dasar untuk mengetahui
kondisi ideal dari sistem. Pada pengambilan data baseline,
seluruh hardware terhubung dengan kabel sehingga tidak
terdapat adanya tundaan dan kondisi ideal dari sistem dapat
tercapai. Pengambilan data baseline untuk masing-masing set
point yaitu 3200, 3400, dan 3600 rpm dilakukan sebanyak 5
kali. Dari grafik yang diperoleh dari SCADA dapat ditentukan
nilai maximum overshoot ( ) dan settling time ( ) dari
masing-masing pengujian.
30
25
20

III. PENGUJIAN DAN ANALISIS


A. Pengujian open loop
Sebelum dilakukan pengujian kestabilan sistem terhadap jarak,
terlebih dahulu dilakukan pengujian secara open loop untuk
mengetahui karakteristik dari kecepatan motor terhadap output
duty cycle PWM dari PLC.

Maximum
overshoot (%)

15
10

Settling time
(s)

5
0
3200

3400

3600

Set point (rpm)

Gambar 14. Perbandingan nilai

dan

Terlihat bahwa nilai maximum overshoot mengalami


penurunan pada tiap kenaikan nilai set point. Sedangkan untuk
settling time nilainya tidak menunjukkan tren yang serupa.
Nilai settling time untuk kecepatan 3200 dan 3400 rpm hampir
sama, sedangkan nilai settling time terendah berada pada nilai
3600 rpm. Hal ini berarti konstanta PID yang digunakan
memiliki nilai paling baik pada set point 3600 rpm. Sedangkan
pada keadaan steady state nilai steady state error untuk

8
masing-masing set point sangat kecil, atau dapat dikatakan
pada saat keadaan steady state sistem cukup stabil.
C. Skenario pengujian
Setelah didapatkan data baseline, langkah selanjutnya
adalah melakukan pengujian pengiriman sinyal kendali secara
wireless. Terdapat 2 buah skenario, yaitu pengujian dengan
adanya media penghalang/pengganggu sinyal di daerah
pengujian dan pengujian tanpa adanya media pengganggu.
Pada skenario I, diletakkan beberapa buah meja di sisi kanan
dan kiri di sepanjang jarak pengujian.
Sedangkan untuk pengujian untuk skenario II dilakukan
tanpa adanya media pengganggu. Kedua pengujian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap
respon sistem.
Pengiriman sinyal kendali melalui jaringan tidak terlepas
oleh adanya delay. Pada pengujian ini diberlakukan penetapan
nilai wait dan post untuk mengetahui pengaruhnya terhadap
performa sistem. Nilai wait diberikan pada pihak transmitter
dengan memberikan tundaan sebelum perintah pengiriman
data. Sedangkan post diberikan pada pihak receiver dengan
memberikan tundaan sebelum perintah pengambilan data.
Pemberian tundaan tersebut dilakukan pada program di C
dengan perintah waitms. Nilai kedua variabel tersebut diubahubah dengan konfigurasi sebagai berikut:
1. Normal (tanpa tundaan)
2.
wait = post = 10 ms
3.
wait = post = 100 ms
4.
wait = 200 ms, post = 100 ms
Penentuan nilai kedua variabel tersebut didasarkan pada
hasil percobaan sebelumnya dimana didapatkan fakta bahwa
yang diperkecil akan mampu memperbaiki
wait dan
post
respon sistem. Pengujian saat kondisi normal bertujuan untuk
mengetahui respon sistem saat sinyal kendali langsung
dikirimkan dan diterima tanpa jeda waktu. Nilai 10 ms pada
pengujian kedua didasarkan pada nilai tundaan terbaik pada
saat percobaan. Waktu 100 ms pada pengujian ketiga
diperoleh dari hasil percobaan dimana nilai tersebut
merupakan nilai tundaan maksimal yang mampu diterima oleh
C dan XBee. Sedangkan nilai yang berbeda antara
transmitter (200 ms) dan receiver (100 ms) digunakan untuk
mengetahui respon sistem saat nilai tundaannya berbeda.
Data yang diamati pada pengujian ini dibagi menjadi 2,
yaitu pada respon transien dan kondisi steady state, dengan
pengambilan data 3 kali untuk tiap set point dan sampel waktu
60 detik pada tiap pengujian. Pada fase transien parameter
yang diamati adalah nilai maximum overshoot dan settling
time. Sedangkan pada kondisi steady state hal yang diamati
adalah kondisi steady state dimulai dari saat sistem melewati
fase transien hingga detik ke 60.
Osilasi merupakan hal natural yang terjadi pada saat
kondisi steady state. Oleh karena itu, untuk mengetahui
tingkat kestabilan sistem pada kondisi steady state, penulis
mengklasifikasikan tingkat osilasi menjadi 3, yaitu:
1. Ringan: saat sistem berosilasi tanpa melewati nilai
toleransi steady state error (5%) dan mampu kembali ke
kondisi steady state dalam waktu kurang dari 2 detik.
2. Sedang: saat sistem berosilasi hingga melewati nilai
toleransi steady state error dan mampu kembali dalam
waktu kurang dari 60 detik ke kondisi steady state.

3. Berat: saat sistem berosilasi hingga melewati nilai toleransi


steady state error dan tidak kembali ke kondisi steady
state.
D.
1)

Hasil pengujian dan analisis skenario I


Respon transien

Gambar 15. Nilai maximum overshoot pada set point 3200


rpm untuk skenario I.

Gambar 16. Nilai settling time pada set point 3200 rpm untuk
skenario I.
Hasil dari seluruh pengujian pada skenario I memiliki
tren yang serupa seperti Gambar 15. Dari hasil pengujian
dapat terlihat bahwa nilai maximum overshoot untuk
keseluruhan pengujian nilainya sangat bervariasi. Dari hasil
pengujian didapatkan fakta bahwa sinyal kendali yang
ditransmisikan secara wireless ternyata dapat memperbaiki
nilai maximum overshoot. Hal ini dapat terjadi karena
perbedaan karakteristik dari output PWM dari PLC dan C,
dimana output dari C ternyata lebih baik dari PLC.
Perubahan nilai set point dari 3200, 3400, dan 3600 rpm
ternyata juga memiliki pengaruh untuk performa sistem. Dapat
dilihat dari hasil percobaan dimana hasilnya menunjukkan
bahwa semakin tinggi nilai set point yang diberikan, maka
nilai maximum overshoot akan semakin kecil.
Sedangkan untuk nilai settling time secara umum
nilainya selalu berada diatas baseline. Hal ini cukup wajar,
karena dengan pengiriman sinyal kendali secara wireless maka
sistem menjadi lebih sulit untuk mencapai kondisi steady
state. Data yang acak setelah jarak 3 meter disebabkan oleh

9
adanya pantulan sinyal yang disebabkan oleh meja yang ada di
sekitar daerah pengujian.
Pantulan sinyal dapat menyebabkan hilangnya paket data
sehingga memperpanjang nilai settling time. Kecenderungan
dari sistem ini adalah menuju nilai kecepatan tertinggi apabila
dalam jangka waktu tertentu tidak mendapatkan sinyal kendali
yang dibutuhkan. Kasus yang terjadi pada pengujian ini adalah
pada fase sesaat setelah rise time, paket data sering hilang
sehingga sistem menuju ke kecepatan tertinggi dan tidak
kembali ke steady state, seperti ditunjukkan oleh Gambar 16.
Hal ini menyebabkan nilai rata-rata settling time menjadi
sangat tinggi karena apabila mencapai kondisi ini maka nilai
settling time adalah 60 detik. Kondisi seperti ini biasanya
terjadi saat jarak yang makin dijauhkan, karena menambah
jarak akan sama dengan menambah efek pantulan dan
menambah frekuensi hilangnya paket data.

Gambar 17. Buruknya respon sistem yang diakibatkan oleh


tundaan transmisi dan hilangnya paket data.
Besarnya nilai settling time juga dipengaruhi oleh
tundaan pada saat transmisi sinyal kendali, yang dikenal
dengan tundaan transmisi atau tx. Hal ini diketahui dari
beberapa pengujian untuk jarak yang jauh, dimana terkadang
sistem tidak langsung merespon saat tombol start ditekan,
seperti juga dapat terlihat pada Gambar 16. Tundaan tersebut
merupakan hal alamiah dan normal terjadi pada transmisi
sinyal secara wireless.
Dari hasil pengamatan pada pengujian skenario ini dapat
disimpulkan bahwa konfigurasi 1 (normal) pada transmisi
sinyal kendali secara wireless merupakan konfigurasi terbaik
dalam hal parameter maximum overshoot. Namun konfigurasi
apapun tidak mampu untuk membuat nilai settling time tetap
bertahan di daerah sekitar nilai baseline, karena kuatnya
pengaruh dari lingkungan. Pantulan dari benda di sekitar
tempat pengujian membuat nilai settling time cukup tinggi,
dapat dilihat dari cukup banyaknya pengujian yang mencapai
nilai tertinggi (60 detik) yang berarti sistem tidak pernah
mencapai kestabilan dan juga menyebabkan tingginya nilai
rise time.

2)

Osilasi pada kondisi steady state


Berat

Sedang

Data 1
Data 2

Ringan

Data 3

4 5 6
Jarak (m)

10

Gambar 18. Kondisi steady state keadaan normal pada set


point 3200 rpm untuk skenario I.
Secara umum sistem berosilasi ringan dan tetap stabil
pada jarak 0 3 meter, hanya pada beberapa pengujian karena
sebab yang tidak diketahui sistem tidak mencapai kestabilan
pada jarak kurang dari 3 meter. Selain itu dapat diamati bahwa
konfigurasi wait dan post tidak berpengaruh pada tingkat osilasi
pada kondisi steady state. Namun dari keseluruhan konfigurasi
terdapat kecenderungan bahwa untuk jarak yang jauh
frekuensi osilasi sedang dan berat akan lebih besar. Hal ini
menunjukkan bahwa efek lingkungan yang menyebabkan
pantulan ditambah dengan efek dari jarak yang jauh akan
mengakibatkan osilasi meningkat pada keadaan steady state.
E.
1)

Hasil pengujian dan analisis skenario II


Respon transien

Gambar 19. Nilai maximum overshoot pada set point 3200


rpm untuk skenario II.

10
tidak adanya penghalang justru mempunyai pengaruh pada
keadaan steady state, karena peningkatan osilasi tidak
memiliki kecenderungan ke suatu jarak tertentu. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa ternyata tundaan yang
menyebabkan menurunnya performa sistem dapat terjadi
kapan saja dan di jarak berapa saja, dan sulit untuk diketahui
penyebabnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A.
Gambar 20. Nilai settling time pada set point 3200 rpm untuk
skenario II.
Dari hasil pengujian dapat terlihat bahwa nilai maximum
overshoot untuk keseluruhan pengujian nilainya juga sangat
bervariasi. Serupa dengan skenario I, ternyata konfigurasi 1
(normal) memiliki nilai yang paling baik untuk parameter
maximum overshoot, dimana nilai yang melewati baseline
paling sedikit diantara konfigurasi lainnya.
Untuk nilai settling time, ternyata datanya cenderung
tersebar dan tidak dipengaruhi oleh jarak pada saat pengujian
09 meter. Namun, keseluruhan hasil pengujian menunjukkan
tren yang sama untuk jarak 10 meter dimana nilainya
cenderung naik. Jika diperhatikan, walaupun nilai settling time
cenderung lebih tersebar namun rata-rata nilainya tidak
sebesar pada skenario I, dimana pada skenario II hanya 1 kali
sistem tidak pernah mencapai kestabilan.
Dari pengujian skenario II dapat disimpulkan bahwa
konfigurasi normal tetap memiliki hasil yang paling baik
dalam parameter maximum overshoot. Untuk setiap
konfigurasi memiliki kecenderungan yang sama, yaitu nilai
naik pada jarak 10 meter. Sedangkan konfigurasi apapun tetap
tidak berpengaruh untuk nilai settling time. Nilai settling time
untuk skenario II lebih baik daripada skenario I, hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh dari jarak pengujian tidak lebih
besar daripada pengaruh gangguan yang disebabkan oleh
lingkungan.
2)

Osilasi pada kondisi steady state


Berat

Sedang

Data 1
Data 2

Ringan

Data 3

4 5 6
Jarak (m)

10

Gambar 21. Kondisi steady state keadaan normal pada set


point 3200 rpm untuk skenario II.

Dapat diamati bahwa tingkat osilasi pada skenario II


cenderung lebih tersebar. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata

Kesimpulan

1. Nilai maximum overshoot justru cenderung berada di


bawah baseline, yang berarti sistem menjadi lebih ideal.
Hal ini cukup menjadi pertanyaan, karena semestinya nilai
maximum overshoot berada di atas baseline. Berdasarkan
fakta tersebut, dapat dianalisis bahwa output PWM dari C
ternyata lebih baik dari output PWM dari modul PLC. Hal
ini sangat berkaitan dengan konfigurasi hardware diantara
keduanya, dimana C mengeluarkan data PWM dari pin
digital output sehingga tegangan rata-ratanya menjadi lebih
baik dan stabil. Sedangkan output PWM dari PLC sangat
bergantung dari kondisi relay pada modul output, dimana
relay mempunyai sifat mekanis sehingga output-nya tidak
sebaik output dari C.
2. Waktu tunda perangkat yaitu wait dan post adalah hal yang
alamiah terjadi pada sistem kendali berbasis jaringan. Dari
pengujian yang sudah dilakukan, ternyata konfigurasi pada
kondisi normal atau dengan kata lain nilai kedua variabel
adalah natural (tidak ditetapkan) dimana sinyal kendali
langsung dikirimkan dan diterima tanpa jeda waktu
memiliki kecenderungan untuk menghasilkan nilai
overshoot yang lebih kecil diantara konfigurasi lainnya.
3. Gangguan yang disebabkan oleh pantulan-pantulan benda
di sekitar perangkat transmisi memiliki pengaruh yang
cukup besar pada tingginya nilai settling time. Gangguan
menyebabkan hilangnya paket data, dimana XBee sangat
sensitif terhadap hal tersebut. Hal ini juga terkait dengan
karakteristik sistem dimana saat data sinyal kendali yang
dibutuhkan tidak juga diterima pada jangka waktu tertentu,
maka sistem akan membawa plant ke nilai kecepatan
tertinggi dan tidak akan mencapai steady state. Selain itu
settling time tinggi juga disebabkan oleh tundaan transmisi
yang menyebabkan nilai rise time menjadi lama. Kedua hal
tersebut biasanya terjadi untuk jarak pengujian yang jauh,
sehingga dapat disimpulkan bahwa gangguan lingkungan
ditambah dengan jarak maka akan memperburuk settling
time.
4. Jarak tidak terlalu berpengaruh pada performa sistem
kendali berbasis jaringan, karena jarak pengujian yang
hanya 0-10 meter tidak sebanding dengan kecepatan
transmisi data di udara yaitu 2.108 m/s. Hal ini dibuktikan
dari nilai settling time pengujian tanpa gangguan yang
lebih kecil daripada saat pengujian dengan gangguan.
Terganggunya kestabilan pada kondisi steady state lebih
disebabkan oleh hilangnya paket data pada saat transmisi.
5. Data osilasi sedang dan berat yang tersebar pada keadaan
tanpa gangguan menunjukkan bahwa tundaan dapat terjadi
kapan saja dan dimana saja, sehingga sangat sulit untuk

11
mengukur dan mengetahui penyebabnya. Tundaan yang
terjadi pada fase transien dapat diabaikan apabila hanya
diinginkan kondisi sistem pada keadaan steady state, dan
begitu pula sebaliknya.
B.

Saran

1. Untuk penelitian yang berkaitan dengan sistem kendali


berbasis jaringan ke depannya akan lebih baik apabila
pengendali langsung menggunakan C atau dengan
software MATLAB Simulink, karena akan mempermudah
dalam konfigurasi baik hardware maupun software dan
lebih memungkinkan untuk membuat komunikasi secara 2
arah sehingga penelitian ini bisa menjadi lebih baik dan
mendalam.
2. Perlu dipertimbangkan penggunaan XBee jenis lain atau
bahkan protokol jaringan komunikasi lain dalam penerapan
sistem kendali berbasis jaringan. Hal ini dikarenakan
modul XBee S1 yang digunakan sangat sensitif pada
hilangnya paket data sehingga waktu tunda yang terjadi
menjadi lebih sulit untuk diukur.

V. DAFTAR PUSTAKA
Arrosyid, M. H., Tjahjono, A., & Sunarno, E. (2009).
Implementasi Wireless Sensor Network untuk
Monitoring Parameter Energi Listrik Sebagai
Peningkatan Layanan Bagi Penyedia Energi Listrik.
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Surabaya.
Bauer, N. (2013). Networked Control Systems From Theory to
Experiments. Technische Universiteit Eindhoven.
Eindhoven: Ipskamp Drukkers.
Donkers, T. (2011). Network and Event-Triggered Control
Systems. Technische Universiteit Eindhoven.
Eindhoven: Ipskamp Drukkers.
Kinney, P. (2003). ZigBee Technology: Wireless Control that
Simply Works. Communications Design Conference,
(p. 16).
Lian, F.-L., Moyne, J., & Tilbury, D. (2002, March). Network
Design Consideration for Distributed Control
Systems. IEEE TRANSACTIONS ON CONTROL
SYSTEMS TECHNOLOGY, 10(2), 297-307.
National Instruments. (2011, March). Retrieved from National
Instrument Web site: http://www.ni.com/whitepaper/3782/en/
Ogata, K. (2010). Modern Control Engineering (5th ed.). New
Jersey, United States of America.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung,
Indonesia: Alfabeta.
Suryani, V., & Rizal, A. (n.d.). Analisis Kelayakan
Penggunaan Protokol Wireless Untuk Transmisi
Data Pada Wireless Body Area Network (WBAN).
Institut Teknologi Telkom, Bandung.
Tipsuwan, Y., & Chow, M.-Y. (2003, February). Control
methodologies in networked control systems.

Anda mungkin juga menyukai