Abstrak Teknologi jaringan data telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir dengan
berbagai keunggulannya. Banyak industri yang mengaplikasikannya untuk kebutuhan otomasi dan
pengendalian jarak jauh. ZigBee adalah suatu protokol jaringan yang sering digunakan pada sistem
kendali berbasis jaringan atau networked control system (NCS). NCS adalah suatu sistem kendali
kalang tertutup yang melalui jaringan secara real time. Penerapan NCS tidak pernah terlepas dari
adanya tundaan (delay) yang berupa delay jaringan dan delay perangkat. Penelitian ini mencoba
untuk mencari tahu pengaruh delay terhadap performa sistem, baik pada fase transien maupun
steady state dengan metode by experiment. Sistem yang digunakan adalah sistem kendali kalang
tertutup dimana sinyal kendali dikirimkan secara wireless dengan pengendali berupa PLC dan
protokol jaringan komunikasi Zigbee. Pengujian dilakukan dengan mengubah-ubah jarak uji untuk
mengetahui pengaruh delay jaringan tx dan variabel wait (waktu tunggu sebelum pengiriman
paket data) dan post (waktu tunda sebelum pengolahan paket data terkirim) untuk mengetahui
pengaruh delay perangkat. Pengujian dilakukan di 2 kondisi yaitu dengan dan tanpa gangguan.
Dari hasil pengujian diketahui bahwa gangguan menyebabkan settling time meningkat dan
konfigurasi wait dan post natural menghasilkan nilai maximum overshoot terbaik. Perangkat XBee
S1 yang digunakan sangat sensitif terhadap packet loss sehingga osilasi pada keadaan steady state
sering terjadi.
Keyword: Networked Control System, delay, Zigbee, PLC
I. PENDAHULUAN
Teknologi jaringan data telah berkembang pesat dalam
40-50 tahun belakangan. Penggunaan jaringan menyediakan
banyak keunggulan, diantaranya adalah memungkinkan
transfer data secara jarak jauh, pertukaran data antar
pengguna, mengurangi kompleksitas pada wiring, serta
kemudahan dalam pemeliharaan.
Banyak perusahaan di dunia industri yang telah
mengaplikasikan jaringan untuk kebutuhan otomasi dan
pengendalian jarak jauh. Sistem kendali di industri terdiri atas
peralatan-peralatan yang saling terhubung dalam suatu
jaringan, sehingga memungkinkan terjadinya proses
komunikasi diantara peralatan-peralatan tersebut. Dalam
proses komunikasi tersebut terjadi suatu pertukaran data.
Untuk menjamin validitas data yang dipertukarkan, maka
diperlukan seperangkat aturan yang mengatur mengenai
sistem komunikasi antara perangkat-perangkat dalam sistem
kendali tersebut. Seperangkat aturan tersebut dinamakan
protokol.
Dunia industri telah mengenal beberapa protokol
jaringan untuk pengendalian, seperti Control Industrial
Protocols (CIP), Controller Area Network (CAN), Modbus
RTU, Profibus, dan lain-lain. Sementara itu, teknologi tanpa
kabel atau wireless telah berkembang secara pesat dan tidak
asing lagi bagi masyarakat melalui perangkat smart phone
yang telah menyediakan fasilitas koneksi 3G yang memiliki
kecepatan akses hingga 14 Mbit/s, sangat jauh apabila
dibandingkan dengan teknologi dial-up modem pada PC yang
lazim digunakan sekitar 20 tahun lalu yang hanya memiliki
kecepatan sekitar 56 Kbit/s. Karena kecepatan dan kemudahan
aksesnya, maka jaringan nirkabel berkecepatan tinggi tersebut
telah dimanfaatkan oleh berbagai aplikasi kendali, terutama di
dunia industri. Salah satunya adalah wireless sensor networks
(WSN).
Wireless Sensor Network atau sensor jaringan nirkabel
merupakan suatu jaringan nirkabel yang terdiri dari beberapa
sensor yang diletakkan ditempat - tempat yang berbeda untuk
me-monitoring kondisi suatu plant (Arrosyid, Tjahjono, &
Sunarno, 2009). WSN telah berhasil memanfaatkan kemajuan
teknologi telekomunikasi wireless untuk berbagai aplikasi
monitoring. Beberapa diantaranya adalah deteksi kebakaran
hutan, monitoring untuk tingkat polusi udara, telemedika,
SCADA, dan lain-lain. WSN diizinkan untuk beroperasi pada
frekuensi 2,4 GHz. Terdapat 3 buah standar IEEE yang
berkaitan dengan jaringan wireless yang dapat digunakan
untuk aplikasi WSN, yaitu IEEE 802.11 untuk wireless local
area network (WLAN/WiFi), IEEE 802.15.1 untuk wireless
personal area networks (WPAN/Bluetooth), dan IEEE
802.15.4 untuk low rate wireless personal area network (LRWPAN).
3
1. Delay time, ; yaitu waktu yang dibutuhkan oleh respon
untuk mencapai setengah dari nilai akhir untuk pertama
kalinya.
2. Rise time, ; yaitu waktu yang dibutuhkan oleh respon
untuk meningkat dari nilai 10% sampai 90%, 5% sampai
95%, atau 0% sampai 100% dari nilai akhir. Untuk sistem
orde dua teredam, nilai rise time biasanya adalah 0% sampai
100%, sedangkan sistem teredam lebih adalah 10% sampai
90%.
3. Peak time, ; adalah waktu yang dibutuhkan oleh respon
untuk mencapai puncak pertama dari overshoot.
4. Maximum (percent) overshoot,
; adalah nilai puncak
maksimal dari kurva respon diukur dari nilai kesatuan (set
point), atau nilai yang menyatakan perbandingan antara nilai
maksimum respon yang melampaui nilai steady state
dibandingkan dengan nilai steady state. Jika nilai steady
state akhir respon berbeda dengan nilai kesatuan, maka
umumnya digunakan nilai maximum (percent) overshoot
untuk menunjukkan tingkatan stabilitas sistem.
5. Settling time, ; adalah waktu yang dibutuhkan oleh respon
untuk mencapai 5% atau 2% dari nilai akhir.
4
rendah (sehingga dapat menggunakan baterai dengan ukuran
kecil), serta reliabilitas yang tinggi (Kinney, 2003).
II. PERANCANGAN SISTEM
5
dan sesuai dengan yang diharapkan, maka proses tuning
dihentikan dan diuji dengan nilai set point yang bervariasi.
A. Sistem Minimum C
Sistem minimum C pada sistem ini digunakan untuk
mengirim data dalam bentuk serial, karena tidak mungkin data
dari PLC sebagai pengendali yang berbentuk data duty cycle
PWM langsung dikirim melalui XBee. Pada penelitian ini C
yang digunakan adalah ATMEGA 8 yang memiliki 28 pin.
Schematic dari sistem minimum C yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 7. Rangkaian sensor optocoupler.
C. Kendali PID pada PLC
MULAI
MULAI
AA == 0.37
0.37
BB == 2.13
2.13
JIKA
JIKA PIND2
PIND2 == 00
MULAI
MULAI TIMER1
TIMER1
SAMPAI
SAMPAI PIND2
PIND2 == 11
STOP
STOP TIMER
TIMER 11
XX == TIMER1
TIMER1
YY == A*X+B
A*X+B
KIRIM
KIRIM YY
SELESAI
SELESAI
(3)
(4)
(5)
7
MULAI
MULAI
4500
M
M == 2.5
2.5
TUNGGU
TUNGGU DATA
DATA
SERIAL
SERIAL
Kecepatan (rpm)
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
KONVERSI
KONVERSI DATA
DATA
SERIAL
SERIAL KE
KE BYTE
BYTE (S)
(S)
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
KELUARKAN
KELUARKAN NILAI
NILAI
PWM
PWM
PWM1A
PWM1A == YY
SELESAI
SELESAI
Maximum
overshoot (%)
15
10
Settling time
(s)
5
0
3200
3400
3600
dan
8
masing-masing set point sangat kecil, atau dapat dikatakan
pada saat keadaan steady state sistem cukup stabil.
C. Skenario pengujian
Setelah didapatkan data baseline, langkah selanjutnya
adalah melakukan pengujian pengiriman sinyal kendali secara
wireless. Terdapat 2 buah skenario, yaitu pengujian dengan
adanya media penghalang/pengganggu sinyal di daerah
pengujian dan pengujian tanpa adanya media pengganggu.
Pada skenario I, diletakkan beberapa buah meja di sisi kanan
dan kiri di sepanjang jarak pengujian.
Sedangkan untuk pengujian untuk skenario II dilakukan
tanpa adanya media pengganggu. Kedua pengujian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap
respon sistem.
Pengiriman sinyal kendali melalui jaringan tidak terlepas
oleh adanya delay. Pada pengujian ini diberlakukan penetapan
nilai wait dan post untuk mengetahui pengaruhnya terhadap
performa sistem. Nilai wait diberikan pada pihak transmitter
dengan memberikan tundaan sebelum perintah pengiriman
data. Sedangkan post diberikan pada pihak receiver dengan
memberikan tundaan sebelum perintah pengambilan data.
Pemberian tundaan tersebut dilakukan pada program di C
dengan perintah waitms. Nilai kedua variabel tersebut diubahubah dengan konfigurasi sebagai berikut:
1. Normal (tanpa tundaan)
2.
wait = post = 10 ms
3.
wait = post = 100 ms
4.
wait = 200 ms, post = 100 ms
Penentuan nilai kedua variabel tersebut didasarkan pada
hasil percobaan sebelumnya dimana didapatkan fakta bahwa
yang diperkecil akan mampu memperbaiki
wait dan
post
respon sistem. Pengujian saat kondisi normal bertujuan untuk
mengetahui respon sistem saat sinyal kendali langsung
dikirimkan dan diterima tanpa jeda waktu. Nilai 10 ms pada
pengujian kedua didasarkan pada nilai tundaan terbaik pada
saat percobaan. Waktu 100 ms pada pengujian ketiga
diperoleh dari hasil percobaan dimana nilai tersebut
merupakan nilai tundaan maksimal yang mampu diterima oleh
C dan XBee. Sedangkan nilai yang berbeda antara
transmitter (200 ms) dan receiver (100 ms) digunakan untuk
mengetahui respon sistem saat nilai tundaannya berbeda.
Data yang diamati pada pengujian ini dibagi menjadi 2,
yaitu pada respon transien dan kondisi steady state, dengan
pengambilan data 3 kali untuk tiap set point dan sampel waktu
60 detik pada tiap pengujian. Pada fase transien parameter
yang diamati adalah nilai maximum overshoot dan settling
time. Sedangkan pada kondisi steady state hal yang diamati
adalah kondisi steady state dimulai dari saat sistem melewati
fase transien hingga detik ke 60.
Osilasi merupakan hal natural yang terjadi pada saat
kondisi steady state. Oleh karena itu, untuk mengetahui
tingkat kestabilan sistem pada kondisi steady state, penulis
mengklasifikasikan tingkat osilasi menjadi 3, yaitu:
1. Ringan: saat sistem berosilasi tanpa melewati nilai
toleransi steady state error (5%) dan mampu kembali ke
kondisi steady state dalam waktu kurang dari 2 detik.
2. Sedang: saat sistem berosilasi hingga melewati nilai
toleransi steady state error dan mampu kembali dalam
waktu kurang dari 60 detik ke kondisi steady state.
Gambar 16. Nilai settling time pada set point 3200 rpm untuk
skenario I.
Hasil dari seluruh pengujian pada skenario I memiliki
tren yang serupa seperti Gambar 15. Dari hasil pengujian
dapat terlihat bahwa nilai maximum overshoot untuk
keseluruhan pengujian nilainya sangat bervariasi. Dari hasil
pengujian didapatkan fakta bahwa sinyal kendali yang
ditransmisikan secara wireless ternyata dapat memperbaiki
nilai maximum overshoot. Hal ini dapat terjadi karena
perbedaan karakteristik dari output PWM dari PLC dan C,
dimana output dari C ternyata lebih baik dari PLC.
Perubahan nilai set point dari 3200, 3400, dan 3600 rpm
ternyata juga memiliki pengaruh untuk performa sistem. Dapat
dilihat dari hasil percobaan dimana hasilnya menunjukkan
bahwa semakin tinggi nilai set point yang diberikan, maka
nilai maximum overshoot akan semakin kecil.
Sedangkan untuk nilai settling time secara umum
nilainya selalu berada diatas baseline. Hal ini cukup wajar,
karena dengan pengiriman sinyal kendali secara wireless maka
sistem menjadi lebih sulit untuk mencapai kondisi steady
state. Data yang acak setelah jarak 3 meter disebabkan oleh
9
adanya pantulan sinyal yang disebabkan oleh meja yang ada di
sekitar daerah pengujian.
Pantulan sinyal dapat menyebabkan hilangnya paket data
sehingga memperpanjang nilai settling time. Kecenderungan
dari sistem ini adalah menuju nilai kecepatan tertinggi apabila
dalam jangka waktu tertentu tidak mendapatkan sinyal kendali
yang dibutuhkan. Kasus yang terjadi pada pengujian ini adalah
pada fase sesaat setelah rise time, paket data sering hilang
sehingga sistem menuju ke kecepatan tertinggi dan tidak
kembali ke steady state, seperti ditunjukkan oleh Gambar 16.
Hal ini menyebabkan nilai rata-rata settling time menjadi
sangat tinggi karena apabila mencapai kondisi ini maka nilai
settling time adalah 60 detik. Kondisi seperti ini biasanya
terjadi saat jarak yang makin dijauhkan, karena menambah
jarak akan sama dengan menambah efek pantulan dan
menambah frekuensi hilangnya paket data.
2)
Sedang
Data 1
Data 2
Ringan
Data 3
4 5 6
Jarak (m)
10
10
tidak adanya penghalang justru mempunyai pengaruh pada
keadaan steady state, karena peningkatan osilasi tidak
memiliki kecenderungan ke suatu jarak tertentu. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa ternyata tundaan yang
menyebabkan menurunnya performa sistem dapat terjadi
kapan saja dan di jarak berapa saja, dan sulit untuk diketahui
penyebabnya.
Sedang
Data 1
Data 2
Ringan
Data 3
4 5 6
Jarak (m)
10
Kesimpulan
11
mengukur dan mengetahui penyebabnya. Tundaan yang
terjadi pada fase transien dapat diabaikan apabila hanya
diinginkan kondisi sistem pada keadaan steady state, dan
begitu pula sebaliknya.
B.
Saran
V. DAFTAR PUSTAKA
Arrosyid, M. H., Tjahjono, A., & Sunarno, E. (2009).
Implementasi Wireless Sensor Network untuk
Monitoring Parameter Energi Listrik Sebagai
Peningkatan Layanan Bagi Penyedia Energi Listrik.
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Surabaya.
Bauer, N. (2013). Networked Control Systems From Theory to
Experiments. Technische Universiteit Eindhoven.
Eindhoven: Ipskamp Drukkers.
Donkers, T. (2011). Network and Event-Triggered Control
Systems. Technische Universiteit Eindhoven.
Eindhoven: Ipskamp Drukkers.
Kinney, P. (2003). ZigBee Technology: Wireless Control that
Simply Works. Communications Design Conference,
(p. 16).
Lian, F.-L., Moyne, J., & Tilbury, D. (2002, March). Network
Design Consideration for Distributed Control
Systems. IEEE TRANSACTIONS ON CONTROL
SYSTEMS TECHNOLOGY, 10(2), 297-307.
National Instruments. (2011, March). Retrieved from National
Instrument Web site: http://www.ni.com/whitepaper/3782/en/
Ogata, K. (2010). Modern Control Engineering (5th ed.). New
Jersey, United States of America.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung,
Indonesia: Alfabeta.
Suryani, V., & Rizal, A. (n.d.). Analisis Kelayakan
Penggunaan Protokol Wireless Untuk Transmisi
Data Pada Wireless Body Area Network (WBAN).
Institut Teknologi Telkom, Bandung.
Tipsuwan, Y., & Chow, M.-Y. (2003, February). Control
methodologies in networked control systems.