bagi
masing-masing
sistem perekonomian,
33
The substance of the eminent Socialist gentlemans speech is that makin a profit is a sin,
but it is my belief that the real sin is taking a loss Wiston Churchill, The New International
Websters Pocket Questations Dictionary, Trident Press International, United States 2005, hal. 44
34
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2008, hal. 9
35
R. Mujiyanto, Pengantar Hukum Dagang, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan dan
Larangan Praktik Monopoli, Liberty bekerja sama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Jayanabra Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hal. 49
36
M. Manullang, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 47
negara
berusaha
mendapatkan
emas
sebanyak
mungkin
melalui
37
Ibid
Kedua sisitem ini disebut juga masa sebelum Kapitalisme atau Pra Kapitalisme
39
Di dalam manorial estate, pelaku utama perekonomian adalah orang-orang yang bekerja
di lapangan pertanian dengan pimpinan kaum bangsawan. Susunan masyarakat pada masa itu
sedemikian rupa sehingga seorang bangsawan dapat mengatakan bahwa semua kekuasaan yang
ada padanya untuk memimpin masyarakat dalam lingkungannya berdasarkan kehendak Tuhan; di
mana kehidupan yang dialami seseorang menurut pendapat pada masa itu merupakan nasib, yang
sudah ditakdirkan Tuhan, lihat M. Manullang, loc.cit.
40
Menurut paham ini, sumber kekayaan adalah perdagangan.
41
Kaum Physiocrat berpendapat bahwa untuk mencapai kemakmuran, manusia
membutuhkan bahan-bahan atau barang-barang yang nyata dan ini hanya dapat dihasilkan oleh
pertanian.
38
42
dan Komunisme merupakan dua paham yang berbeda meskipun ada orany yang
berpendapat bahwa itu merupakan dua hal yang semacam/sejenis. Perbedaannya
dapat dilihat dari tujuan sistem ekonomi Sosialisme adalah ekonomi kesejahteraan
sedangkan dalam sistem ekonomi Komunisme adalah ekonomi perintah. Dalam
ekonomi Sosialisme, lebih banyak bersifat anjuran daripada bersifat perintah. 45 Di
Indonesia sendiri, Pasal 33 UUD tahun 1945 yang merupakan dasar acuan
normatif menyusun kebijakan perekonomian nasional yang menjelaskan bahwa
tujuan pembangunan ekonomi ialah berdasarkan demokrasi yang bersifat
kerakyatan dengan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia melalui
pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar. 46
Persaingan atau competition dalam bahasa Inggris oleh Webster
didefinisikan sebagai a struggle or contest between two or more persons for
the same objects. Dengan memperhatikan terminology tersebut, dapat
disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur sebagai
berikut.
a. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling mengungguli.
b. Ada kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang sama.
Persaingan sering dikonotasikan negatif karena dianggap mementingkan
kepentingan sendiri. Walaupun pada kenyataannya seorang manusia, apakah pada
kapasitasnya sebagai individual maupun anggota suatu organisasi, secara ekonomi
45
Ibid, hal 80
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, selanjutnya disebut sebagai
Ningrum Natasya II, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal 1
46
47
Ibid, hal. 23
Gunawan Widjaja, Merger dalam Persfektif Monopoli, Jakarta , PT. Raja Grafindo
Perkasa, 1999, hal 10.
49
Arie Siswanto, Op.cit, hal 14-17
sistem
kepemilikan
individual,
dimana
seseorang
50
51
Ibid
52
Ibid, hal. 58
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, London,
Modern Library edition, 1973, hal 423 (dalam Ningrum Natasya Sirait I, Op.cit., hal. 53).
53
Dewasa ini sudah lebih 80 negara di dunia yang telah memiliki UndangUndang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli dan lebih dari 20 negara lainnya
sedang berupaya menyusun aturan perundangan yang sama. Langkah negaranegara tersebut, sementara mengarah pada satu tujuan yaitu meletakkan dasar bagi
suatu aturan hukum untuk melakukan regulasi guna menciptakan iklim persaingan
usaha yang sehat. Persaingan usaha yang sehat (fair competition) merupakan salah
satu syarat bagi Negara-negara mengelola perekonomian yang berorientasi pasar.
Inti dari ekonomi pasar adalah desentralisasi keputusan, berkaitan dengan apa,
berapa banyak, dan bagaimana produksi. Ini berarti individu harus diberi
ruang gerak tertentu untuk pengambilan keputusan. Suatu proses pasar hanya
dapat
dikembangkan
di
dalam
struktur
pengambilan
keputusan
yang
untuk
menerapkan
Undang-Undang
Antimonopoli
dan
mengharamkan kegiatan pengusaha yang curang telah dimulai sejak lima puluh
tahun sebelum Masehi. Peraturan Roma yang melarang tindakan pencaturan atau
pengambilan keuntungan secara berlebihan, dan tindakan bersama yang
mempengaruhi perdagangan jagung. Demikian pula Magna Charta yang
ditetapkan tahun 1349 di Inggris telah pula mengembangkan prinsip-prinsip yang
berkaitan dengan restraint oftrade atau pengekangan dalam perdagangan yang
mengharamkan monopoli dan perjanjian-perjanjian yang membatasi kebebasan
individual untuk berkompetisi secara jujur. 54
Hukum Persaingan Usaha menjadi sesuatu hal yang sangat diperhatikan
pada saat ini di berbagai negara. Walaupun dalam beberapa konteks, cara pandang
dan sikap terhadap Hukum ini memiliki beberapa perbedaan di beberapa negara:
1. Amerika
54
Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2007, hal. 7
Berbagai nama telah diberikan terhadap aturan hukum yang menjadi dasar
terselenggaranya persaingan usaha yang sehat. Pada tahun 1980, atas inisiatif
senator John Sherman dari partai Republik, Kongres Amerika Sertikat
mengesahkan undang-undang dengan judul Act to Protect Trade and Commerce
Againts Unlawful Restraints and Monopolies, yang lebih dikenal dengan
Sherman Act disesuaikan dengan nama penggagasnya. Akan tetapi, dikemudian
hari muncul serangkaian aturan perundang-undangan sebagai perubahan atau
tambahan untuk memperkuat aturan hukum sebelumnya. Kelompok aturan
perundang-undangan tersebut diberi nama Antitrust Law, karena pada awalnya
aturan hukum tersebut ditujukan untuk mencegah pengelompokan kekuatan
industri-industri yang membentuk trust (sejenis kartel atau penggabungan)
untuk memonopoli komoditi-komoditi strategis dan menyingkirkan para pesaing
lain yang tidak tergabung dalam trust tersebut. Antitrust Law terbukti dapat
mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada sekelompok perusahaan sehingga
perekonomian lebih tersebar, membuka kesempatan usaha bagi para pendatang
baru, serta memberikan perlindungan hukum bagi terselenggaranya proses
persaingan yang berorientasi pada mekanisme pasar.
2. Jepang
Pada tanggal 14 April 1947, Majelis Nasional (Diet) Jepang mengesahkan
undang-undang yang diberi nama Act Concerning Prohibition of Private
Monopoly and Maintenance of Fair Trade (Act No. 54 of 14 April 1947). Nama
lengkap aslinya adalah Shiteki Dokusen no Kinshi Oyobi Kosei Torihiki no
55
Penelope Kent, Frameworks Law of the European Union, Pearson Education Limited,
England, 1992, hal. 226
56
Sebuah
undang-undang
yang
secara
khusus
mengatur
menelurkan
konsep
Rancangan
Undang-undang
tentang
perlu
pembangunan.
ditumbuhkan
untuk
menjadi
Perusahaan-perusahaan
lokomotif
tersebut
hanya
58
fasilitas
monopoli
perlu
ditempuh
karena
menjaga
berlangsungnya
praktik
KKN
demi
kepentingan kroni mantan Presiden Soeharto dan pejabatpejabat yang berkuasa pada waktu itu.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama
tiga
dasawarsa,
selain
menghasilkan
banyak
kemajuan,
yang
kemudahan-kemudahan
yang
berlebihan,
sehingga
per
negara.
Ketergantungan
pada
bantuan
asing,
ini
yaitu
yang
menciptakan dan
61
62
Ibid, hal 36
Ibid
harmonisasi
hukum
dan
keberadaan
fenomena
Ibid, hal 37
Ibid, hal 37-38
Tahun 1997 , pemakai merek tanpa izin dapat dituntut secara perdata
maupun pidana.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas juga memuat ketentuan yang melarang penguasaan sumber
ekonomi dan pemusatan kekuaran ekonomi pada suatu kelompok atau
golongan tertentu melalui tindakan merger, konsolidasi, dan akuisisi
perseroan; hal ini dapat dilakukan asalkan memperhatikan kepentingan
perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan, serta
kepentingan masyarakat, termasuk pihak ketiga yang berkepentingan
dan persaingan bisnis yang sehat dalam perseroan, mencegah monopoli
dan monopsoni. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sebelum
ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaruran larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masih diatur secara
parsial dan tersebar ke dalam berbagai perundang-undangan yang ada.
Realitanya, antara teori undang-undang dan praktik malah sama
sekali bertolak belakang. Selama kurun waktu sekitar 15 (lima belas)
tahun terakhir, perekonomian Indonesia dipenuhi tindakan-tindakan
yang bersifat monopolistik dan tindakan-tindakan persaingan usaha
yang curang (unfair business practices), misalnya pembentukan Badan
Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) pada 1991 yang
memberikan kewenangan tunggal untuk membeli cengkeh dari para
petani cengkeh dan kewenangan menjualnya kepada para produsen
kemudahan
fasilitas.
Semua
itu
dengan
dalih
untuk
ekonomi
nasional.
Butir-butir
yang
tertera
dalam
Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi yang Perlu Diperhatikan dalam Implementasi
UU No. 5/1999, dalam Mencermati Prinsip dan Visi UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Newsletter Nomor 37 Tahun X, Yayasan Pusat
Pengkajian Hukum, Jakarta, 1999, hal 27
pengusaha
kuat
yang
tidak
didukung
oleh
semangat
sistem
politik
yang
demokratis
melalui
koreksi
terhadap
perkembangan
ekonomi
yang
mengatakan
melenceng dari nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar Tahun 1945.
Dibandingkan dengan proses pembentukan undang-undang pada
umumnya, proses pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
termasuk tidak lazim. Perbedaan ini terlerak pada pihak yang
mengajukan rancangan undang-undang. Selama ini dalam praktik
kenegaraan kita, rancangan undang-undang disiapkan dan diajukan oleh
pemerintah untuk kemudian dibahas bersama-sama DPR. Tetapi tidak
demikian dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun yang
mempersiapkan
rancangannya
adalah
DPR
yang
kemudian
Keuangan
dan
Industri Pembangunan
dengan
judul
ini
Departemen
Perindustrian
dan
Perdagangan,
telah
dengan
judul
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Laporan
Ketua
Pansus
untuk
mempersiapkan
Indonesia
dalam
menjalankan
kegiatan
usahanya
di
berdasarkan
keseimbangan
antara
kepentingan
pelaku
usaha
dan
69
70
nasional
sebagai
salah
satu
upaya
untuk
terwujudnya
kesejahteraan
rakyat
berdasarkan
sehingga dapat
mendorong pertumbuhan
meneegah praktik
monopoli dan/atau
71
Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.)., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di
Indonesia, Proyek ELIPS, Jakarta, 2000, hal. 52-53
72
Barrier to entry; Legal restrictions (e.g. Patents, licensing, requirements) on entering the
market.
73
Ibid
Ibid, hal. 54-55
(Per se Violations atau Perse Rule) ataupun dengan pendekatan Rule of Reason.
Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kedua prinsip ini. Dimana dalam
prinsip Perse Illegal dinyatakan setiap perjanjian atau kegiatan tertentu sebagai
illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan perjanjian
atau kegiatan usaha tersebut. Sedangkan prinsip Rule of Reason merupakan
pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk
membuat evalasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna
menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan bersifat menghambat atau
mendorong persaingan. 76
Tetapi dalam kenyataan dalam kasus-kasus persaingan, penggunaan kedua
pendekatan ini tidak mudah untuk diterapkan. Karena tidak semua orang
mempunyai persepsi yang sama terhadap pengetian yang menyatakan suatu
tindakan dinyatakan mutlak melanggar ataupun dapat diputuskan setelah melihat
argumentasi dan alasan rasional tindakannya. Banyak metode yang dicoba para
akademisi, ahli Hukum Persaingan dan Praktisi Hukum untuk menetapkan
aplikasi ini walaupun tidak bersifat mutlak. Oleh sebab itu selama waktu ini,
perdebatan masih tetap berlangsung dalam Hukum Persaingan ketika menentukan
ukuran faktor reasonableness 77 tersebut.
76
Ibid
Ibid, Under the Per Se Test, the plaintiff must simply prove that practice accurred m
and the defendant then is precluded from attending to justify the restraint.
79
dengan
memperbandingkan
alasan
dan
konsekwensi
yang
menyeluruh
dalam
pendekatan
Rule
of
Reason
dengan
American Bar Association, Section of Antitrust Law, hal 133. Under the traditional Rule
of Reason, the plaintiff bears the initial burden of proving that an agreement has had or is likely to
have a substantially adverse effect on competition. If the plantiff meets its initial burden, the
burden sift to the defencdant to demonstrate the precompetitive virtue of the alleged wrongful
conduct. If the defendant does demonstrate precompetitive virtues, the plaintiff must show that the
challenged conduct is not reasonably necessary to achieve the stated objective. Ibid, hal. 105
Indiana Federation of Dentist, 476 U.S., 106 S.Ct. 2009, 90 L.Ed.2d 445 Tahun
1986. Dalam kasus ini Asosiasi Dokter Gigi Negara Bagian Indiana dituduh
melakukan tindakan yang mengahambat persaingan dengan menetapkan bahwa
anggotannya harus menolak memberikan x-ray yang dibutuhkan untuk klaim
asuransi. Tuduhan ini didasarkan pada adanya konspirasi horizontal yang
mengakibatkan konsumen tidak mendapat pilihan dalam menentukan pelayanan
yang diinginkan karena adanya syarat tersebut. William R. Andersen mengatakan
bahwa pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara mengukur akibat kerugian atau
keuntungan yang ditimbulkan dari suatu tindakan dalam proses persaingan tanpa
perlu melihat Sebagaimana analisis ini yang menggunakan Perse Illegal, Test
Quick Look lebih melihat pada sisi hambatan yang sifatnya terlihat sebagai anto
persaingan. Dalam hal ini pihak yang diduga melakukan pelanggaran akan
diminta untuk membuktikan bahwa hambatan yang dilakukan tidaklah bersifat
anto persaingan, dan bila alasan pembenaran ini diterima, maka kemudian untuk
dilanjutkan dengan analisis yang menggunakan Rule of Reason.
Pasal-pasal dalam undang-undang No. 5 Tahun 1999 menggambarkan
bentuk dari pendekatan Perse Illegal ini melalui pasal yang sifatnya imperative
dengan interpretasi yang memaksa, sebagai contoh kita dapat melihat Bagian
Kedua, Pasal 5 ayat (1) tentang Penetapan Harga Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama. Sebagai kebalikan dari pendekatan Perse Illegal
maka pendekatan Rule of Reason menggunakan alasan-alasan pembenaran apakah
Horizontal
Perse Illegal
Perse Illegal
Perse Illegal
Vertikal
Perse Illegal
Rule of Reason
Rule of Reason
81
82
Bila klasifikasi hambatan telah dikategorikan dalam sel, maka standard aturan
untuk menentukan tanggung jawab pun diberlakukan: apakah Perse Illegal atau
Rule of Reason. Bagaimanapun, kadang-kadang aturan yang ada belum tentu
dapat diberlakukan. Pada umumnya bila faktor ekonomi sedikit dirugikan dan
keuntungannya lebih banyak bagi masyarakat atau hambatanya cukup beralasan,
maka Rule of Reason diberlakukan. Dengan kata lain, bila hambatan itu legal,
maka akan dikategorikan sebagai vertikal dan non-harga. Kalau illegal, maka akan
lebih sering dikategorikan sebagai horizontal dan berhubungan dengan harga.
Cara lain adalah dengan mengggunakan Rule of Reason Versi Hakim Old
White-Brandeis dengan pendekatan konsekwensi yang menyatakan bahwa setiap
hambatan harus mendapat evaluasi untuk setiap pertimbangan yang diberikan
dengan melihat keseluruhan biaya sosial yang ditimbulkannya. Dengan melihat
perbandingan biaya dan keuntungan, maka peradilan dapat setidaknya mengukur
beralasan atau tidaknya hambatan tersebut. Bila biaya dan keuntungan positif,
maka hambatan itu dianggap beralasan, bila tidak maka dikategrikan sebagai tidak
beralasan. Hakim White tersebut memutuskan terdapat 3 pendekatan yang dapat
diterapkan ketika memutuskan apakah suatu tindakan akan digunakan dengan
Rule of Reason atau Perse Illegal, yaitu pertama, melihat efek dari tindakan
terhadap proses persaingan, kedua, apakah perjanjian itu benar ada dan ketiga
apakah memang telah terjadi hambatan dalam persaingan yang sifatnya nyata.
Pendekatan ini dikatakan sebagai konsekwensi karena terfokus pada pertanyaan
dimana peradilan melihat perimbangan hasilnya (konsekwensi) dari hambatan,
baik atau merugikan.
Ibid, hal. 110, Dalam hal ini Hakim Taft juga memberikan pemikiran yang rasional
mengenai penerapan hambatan tambahan (ancillary restraint), yaitu bahwa seluruh hambatan
dalam persaingan dinyatakan melanggar hukum kecuali: (1) hambatan yang sifatnya tambahan
terhadap perjanjian utama, misalnya perjanjian tidak akan bersaing dengan pembeli atau partner,
pekerja untuk tidak bersaing dengan perusahaannya, (2) hambatan itu sifatnya suatu keharusan
demi untuk melindungi kepentingan esensi usaha dari kontrak yang diperjanjikan dan (3) sifat
hambatan tidak melebihi dari apa yang sepatutnya dibutuhkan untuk mengatur perjanjian bisnis
tersebut.
of Reason untuk menentukan apakah hambatan itu memang benar dan bila ya,
kemudin ditentukan apakah hambatan tersebut beralasan atau tidak. Bila
hambatan tambahan tidak memenuhi syarat maka ketimbang menggunakan
evaluasi Rule of Reason, maka dipergunakan pendekatan Perse Illegal. Hakim
Taft menggunakan pendekatan keduanya sekaligus tanpa membedakan formatnya
yang vertikal, horizontal, harga atau non-harga atau boykot. Dibutuhkan hanya
analisis mengenai fungsi dan evaluasi kemudian dimulai dari titik itu.
Pendekatan yang lain adalah penentuan berdasarkan analisis Presumptive
(Kemungkinan). Analisis ini berasal dari melihat deskripsi fakta berdasarkan (a)
fungsi ekonomi dari hambatan, (b) keberadaan hambatan yang sifatnya internal
atau eksternal, (c) kedudukan para pihak yang relatif independen, dependen
yang berhubungan dengan subjek hambatan dan (d) bila memang sifatnya mutlak,
apakah ada kekecualian yang diijinkan oleh Undang-undang.
Dengan melihat pendekatan ini dan mencermati bagaimana peradilan di
negara yang telah memiliki Undang-Undang Hukum Persaingan telah ada lebih
dulu, maka sampai saat ini dapat dikatakan bahwa perdebatan mengenai standar
reasonableness ataupun akibat sosial atau akibat yang ditimbulkan terhadap
proses persaingan masih berlangsung. Dalam substansi Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 umumnya mayoritas juga menggunakan pendekatan Rule of Reason.
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 maka substansi pasal-pasalnya yang
menggunakan pendekatan Rule of Reason tergambar dalam konteks kalimat yang
membuka alternative interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dulu
tidak
sehat.
Sebagai contoh
dari
interprestasi pasal
yang
..
terbuka dalam menentukan apakah suatu tindakan dinyatakan salah atau tidak.
Dapat dikatakan bahwa mayoritas dari substansi Undang-undang No. 5 Tahun
1999 lebih condong kepada prinsip Rule of Reason. Dengan demikian adanya
suatu standardisasi pendekatan dengan melihat pada pengalaman peradilan di
negara lain sebelumnya, patut dipertimbangkan sebagai wacana. Misalnya faktor
yang melihat akibat tindakan tersebut secara keseluruhan bagi proses persaingan,
akibat sosial yang ditimbulkan, tujuan dari tindakan dan berbagai faktor lainnya.
Disamping itu UU No. 5 Tahun 1999 juga yang merupakan derivasi nilai dari
UUD