Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kunjungan Rumah

Congestive Heart Failure ec Hipertensi Grage II

Pembimbing :
Dr.A.Aris Susanto, MS, SpOK

Disusun oleh :
Petricia
11-2013-134

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Komunitas


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta, September 2015

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini kami laksanakan
untuk memenuhi salah satu kewajiban kami dalam Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Makalah ini bertujuan adalah untuk
mengetahui penanganan kuratif, preventif dan rehabilitatif pasien dengan pendekatan
kedokteran keluarga. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih atas segala bimbingan dan
bantuan yang telah diberikan dalam rangka penyelesaian makalah ini, kepada: Dr.A.Aris
Susanto, MS, SpOK.
Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga di masa mendatang
dapat meningkatkan diri lebih baik lagi.

Jakarta, September 2015

Penyusun

Bab 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Jantung merupakan organ yang sangat penting dalam tubuh manusia. Jantung memiliki
dua atrium, yaitu atrium kanan dan atrium kiri, yang membentuk ruang atas jantung, dan
dua ventrikel, yaitu ventrikel kiri dan ventrikel kanan, yang membentuk ruang yang lebih
rendah pada jantung.1 Salah satu fungsi jantung adalah untuk memompakan darah baik ke
paru maupun ke seluruh tubuh. Bagian jantung yang berfungsi untuk memompakan darah
ke paru-paru adalah ventrikel kanan, sedangkan bagian jantung yang berfungsi untuk
memompakan darah ke seluruh tubuh adalah ventrikel kiri.
Gagal jantung kongestif terjadi ketika ada kerusakan dalam aksi pemompaan ini, baik
pada ventrikel kiri, ventrikel kanan, atau keduanya, yang menyebabkan darah berkumpul
di arteri paru, pembuluh darah, atau keduanya. Bendungan ini menyebabkan kemacetan di
paru-paru (cairan terbendung di paru-paru), penurunan output jantung, peningkatan beban
jantung, penurunan efisiensi kontraksi otot jantung, penurunan stroke volume,
peningkatan denyut jantung, dan hipertrofi. Kompensasi ini dapat menyebabkan
peningkatan risiko serangan jantung dan penurunan suplai darah ke seluruh tubuh.2
Kompensasi terhadap gagal jantung kongestif tersebut merupakan alasan kedatangan
penderita ke rumah sakit. Berdasarkan data Medicare di Amerika Serikat dan data
Scottish di Eropa, gagal jantung merupakan penyebab rawat inap yang paling banyak di
rumah sakit.3 Data lain menyebutkan bahwa sekitar 5 juta warga Amerika mengalami
gagal jantung, dan terjadi penambahan 550.000 penderita gagal jantung setiap tahunnya. 4
Selain insidensi yang tinggi, angka kematian pada gagal jantung kongestif juga tidak
sedikit. Salah satunya, gagal jantung kongestif dapat menyebabkan edema paru yang
memiliki angka kematian 12% di rumah sakit. 3

Data lain menunjukkan bahwa angka

kematian akibat gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun dan sekitar setengah
dari penderita gagal jantung mengalami kematian dalam waktu 5 tahun setelah
didiagnosis.4
Tingginya insidensi dan angka kematian pada gagal jantung kongestif sesuai dengan data
tersebut menunjukkan bahwa kasus gagal jantung kongestif memerlukan perhatian lebih
di kalangan masyarakat. Untuk itu diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai gagal
jantung kongestif ini. Itulah sebabnya, kasus ini perlu diangkat untuk dipelajari.

Puskesmas

: Klari

Kunjungan Rumah, Desa Kiarapayung, Tanggal 21 Agustus 2015


1.2. Data Riwayat Keluarga
1.
Identitas Pasien
Nama Lengkap

: Ny. I

Tempat, Tanggal Lahir

: Karawang, 20 Januari 1950

Usia

: 65 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: RT 02/RW 003,Desa Klari, Karawang

Suku Bangsa

: Indonesia

Agama

: Islam

Pendidikan

: tidak tamat SD

2.
Riwayat Biologis Keluarga
a. Keadaan Kesehatan Sekarang
: Kurang
b. Kebersihan Perorangan
: Kurang
c. Penyakit yang Sering Diderita
: Tidak diketahui
d. Penyakit Keturunan
: Tidak Ada
e. Penyakit Kronis/Menular
: Tidak Ada
f. Kecacatan Anggota Keluarga
: Tidak Ada
g. Pola Makan
: Kurang
h. Pola Istirahat
: Kurang
i. Jumlah Anggota Keluarga
: 2 orang
3.
Psikologis Keluarga
a. Kebiasaan Buruk
: Makan tidak teratur
b. Pengambilan Keputusan
: Suami (Bpk. H)
c. Ketergantungan Obat
: Tidak Ada
d. Tempat Mencari Pelayanan Kesehatan
: Puskesmas
e. Pola Rekreasi
: Kurang
4.
Keadaan Rumah/Lingkungan
a. Jenis Bangunan
: Semipermanen
b. Lantai Rumah
: Semen
c. Luas Rumah
: 5 meter x 7,5 meter
d. Penerangan
: Kurang
e. Kebersihan
: Kurang
f. Ventilasi
: Cukup
g. Dapur
: Ada
h. Jamban Keluarga
: Ada
i. Sumber Air Minum
: Air sumur dimasak
j. Sumber Pencemaran Air
: Ada
k. Pemanfaatan Pekarangan
: Tidak ada
l. Tempat Pembuangan Sampah
: Tidak Ada
m. Sanitasi Lingkungan
: Kurang

5.
Spiritual Keluarga
a. Ketaatan Beribadah
b. Keyakinan Tentang Kesehatan

: Cukup
: Cukup

6.
Keadaan Sosial Keluarga
a. Tingkat Pendidikan Terakhir
b. Hubungan Antar Keluarga
c. Hubungan Dengan Orang Lain
d. Kegiatan Organisasi Sosial
e. Keadaan Ekonomi

: Tidak Tamat SD
: Baik
: Baik
: Kurang
: Kurang

7.
Kultural Keluarga
a. Adat yang Berpengaruh
8.
Daftar Anggota Keluarga

: Sunda

Hubungan
No

Nama

dengan

Umur

Pekerjaan

Agama

Tidak bekerja

Islam

keluarga
1

Hazis

Suami

68tahun

Irah

Istri

65tahun

Ibu Rumah
Tangga

Islam

Keadaan
Kesehatan
Katarak
senilis
Gagal
jantung
kronis

Keterangan :
1

Suami : Katarak senilis

Os

Riwayat Hipertesni

9.
Keluhan Utama
:
Sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu.
10.
Keluhan Tambahan
:
batuk
11.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sejak 1 bulan yang lalu os mengeluh sesak napas, sesak dipengaruhi aktifitas bila
berjalan 50 m, sesak tidak dipengaruhi posisi dan cuaca. Nyeri dada (-), dada berdebardebar (+) timbul bersamaan dengan sesak napas setelah beraktifitas, batuk (+), dahak (-),
demam (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Sekitar 1 minggu ini os mengeluh sesak napas ketika beraktifitas berjalan jauh 10
meter, sesak berkurang bila os istirahat, os juga sering terbangun di malam hari karena
sesak dan sesak berkurang bila os duduk, sesak dipengaruhi cuaca (-), batuk (+), dahak
(-), demam (-). Os juga mengeluh perutnya membesar, mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati
(-), sembab pada kelopak mata di pagi hari (-), bengkak pada kaki (-), BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
12.
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
: Sakit Sedang
b. Kesadaran
: Compos Mentis
c. Tanda Vital:
- Frekuensi Nadi
: 82 kali/menit
- Tekanan Darah: 160/100 mmHg
- Frekuensi Napas
: 20 kali/menit
- Suhu
: 36,60C
d. Data Antropometi
Berat Badan
: 69 kg
Tinggi Badan
: 150 cm
Lingkar Kepala
: Lingkar Dada
: Lingkar Lengan Atas : -

Pemeriksaan Sistematis
a. Kepala
Bentuk dan Ukuran
Rambut dan Kulit Kepala

b.

: Normocephali, tidak ada deformitas


: Rambut berwarna hitam dengan

uban,

distribusi merata, kulit kepala tidak ada kelainan.


Wajah
: Normal
Mata
: Conjunctiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/Telinga
: Bentuk normal, liang telinga lapang, sekret -/Hidung
: Bentuk normal, sekret -/-, Pernapasan cuping hidung (-)
Bibir
: Merah, tidak kering, sianosis (-)
Gigi-geligi
: Tidak ada karies gigi
Mulut
: Bentuk normal, tidak ada stomatitis, sianosis (-)
Lidah
: Bentuk normal, lidah tidak kotor
Tonsil
: Tonsil T1-T1 tenang,tidak hiperemis
Faring
: Tidak hiperemis
Leher
: Tidak ada kelainan bentuk, tiroid dan kelenjar getah bening tidak

teraba membesar.
c. Toraks

Dinding Toraks: Simetris, pergerakan dinding toraks


retraksi.
Paru:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi

simetris, tidak ada

: Gerak dinding dada simetris


: Vocal fremitus kiri dan kanan sama
: pekak pada kedua lapang paru
: Suara napas vesikuler, ronkhi kasar +/+, wheezing -/: Tidak terlihat pulsasi iktus kordis
: Teraba pulsasi iktus kordis di sela iga IV garis midclavicularis

sinistra
Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop

d. Abdomen
Inspeksi
: Tampak datar, tidak tampak pelebaran vena
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Palpasi
: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
e. Anus dan Rectum
: Tidak dilakukan pemeriksaan
f. Genitalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan
g. Anggota gerak
: Akral hangat + +
oedema + +
+
h.
i.
j.
k.
l.
13.
14.
15.

Tulang Belakang: Tidak ada kelainan


Kulit
: Tidak ada kelainan
Rambut
: Berwarna hitam, distribusi merata
Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar
Pemeriksaan Neurologis: Meningeal sign (-)
Diagnosa Penyakit
: CHF ec Hipertensi Grade 2
Diagnosa Keluarga
: Keluarga dalam keadaan sakit
Anjuran Penatalaksaan Penyakit:

a. Promotif : Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit


hipertensi, komplikasi penyakit, dan keteraturan dalam berobat sehingga
terkontrol tekanan darahnya. Menghimbau agar dapat menjalankan pola hidup
sehat dengan mengkonsumsi makanan yang sehat, melakukan olahraga ringan dan
mengurangi aktivitas yang berat dan menyita banyak pikiran.
b. Preventif : Menjalankan pola atau gaya hidup yang sehat dengan diet rendah
garam, olahraga yang rutin, dan hindari faktor risiko yaitu stress. Memotivasi
c.

untuk rutin kontrol tekanan darah.


Kuratif : Terapi Medikamentosa :
1. Obat anti hipertensi :

Captopril 2x12,5 mg
Furosemid 1x 20mg

Terapi Non-Medikamentosa:
1. Diet rendah garam
2. Menjalankan pola hidup sehat (olah raga, tidak merokok, kurangi
minum kopi dan hindari stress)
d. Rehabilitatif: Minum obat yang teratur
16.
Prognosis
1. Penyakit
: dubia ad bonam
2. Keluarga : dubia ad bonam
3. Masyarakat : dubia ad bonam
17.
Resume
Pada pasien ini, dari hasil anamnesis didapatkan adanya sesak nafas, sesak dipengaruhi
oleh aktifitas, pasien juga sering terbangun pada malam hari karena sesak, selain itu
pasien juga lebih nyaman jika berada dalam posisi duduk. Tidak adanya keluhan-keluhan
lain seperti sakit kepala, mual, muntah, bengkak pada kelopak mata mendukung bahwa
sesak yang dialami oleh pasien berhubungan dengan jantung bukan dari organ yang lain.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya perut yang membesar. Dari hasil pemeriksaan
fisik didapatkan adanya peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah halus pada
kedua basal paru, adanya pelebaran batas jantung, serta adanya ascites. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini dapat
ditegakkan diagnosis gagal jantung kongestif, karena kriteria framingham sudah
terpenuhi.
Terapi yang diberikan adalah furosemid 1x 20 mg, pemberian diuretika ini bertujuan
untuk mengurangi ascites yang ada pada pasien ini dengan mengurangi beban awal
jantung tanpa mengurangi curah jantung. Selain itu, juga diberikan digoksin 2x 0,125 mg
untuk

memperbaiki

kontraktilitas

jantung. Aspilet

80

mg

diberikan

sebagai

antiagregasitrombus, untuk mencegah terjadinya tromboemboli. Sedangkan captopril 2x


12,5 mg diberikan untuk menurunkan tekanan darahnya, karena pasien ini juga menderita
hipertensi.

Bab 2
Tinjauan Pustaka

2.1Pendahuluan
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruh jaringan tubuh
secara adekuat, akibat adanya gangguan structural dan fungsional dari jantung.
Gagal jantung dapat memberikan spectrum klinis yang luas, mulai dari ukuran
jantung LV yang masih normal, dengan EF yang masih cukup, sampai LV yang
berat, dengan/ atau EF yang sangat buruk. Dampak dari gagal jnatung secara cepat
berpengaruh terhadap kekurangan penyediaan darah, sehingga menyebabkan
kematian sel akibat kekerangan oksigen. Kurangnya suplai oksigen ini dapat
menganggu system kerja otak, yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan
kesadarahan. Sangat penting untuk mengetahui bagaimana cara mendiagnosis suatu
gagal jantung sedini mungkin untuk mengurangi angka mortalitas akibat gagal
jantung. Maka dari itu penulis menyusun karya tulis ini untuk menginformasikan
kepada pembaca mengenai hal-hal tersebut.

2.2 Epidemiologi
Gagal jantung adalah masalah yang berkembang luas di seluruh dunia, dengan lebih
dari 20 juta orang mengalami sindrom klinis ini. Prevalensi keseluruhan gagal
jantung dalam populasi orang dewasa di negara maju adalah 2%. Prevalensi gagal
jantung meningkat seiring usia, dan mempengaruhi 6-10% orang-orang dengan usia
diatas 65 tahun. Meskipun insiden gagal jantung lebih rendah pada wanita
dibanding pria, namun setidaknya setengah dari seluruh kasus gagal jantung adalah
wanita, karena harapan hidup mereka yang lebih tinggi. Resiko berkembangnya
gagal jantung pada usia 40 tahun adalah 1:5.1

2.3 Faktor risiko


Tabel 1.1 Kausa-kausa dan faktor-faktor pencetus timbulnya gagal jantung
Penyakit jantung iskemik

Gagal sirkulasi

Sindrom coroner akut

Septicemia

Komplikasi mekanik dan infark akut

Hygrotoxicosis

Infark ventrikel kanan

Anemia

Valvular

Pirai

Stenosis valvular

Tamponade

Regusgitasi valvular

Emboli paru

Endocarditis

Diseksi aorta

Dekompensasi pada gagal jantung kronik

Tidak patuh minum obat

Miopatia

Volume overload

Post-partum kardiomiopati

Infeksi, terutama pneumonia

Miokarditis akut

Cerebrovascular insult

Operasi

Hipertensi/aritmia

Hipertensi

Disfungsi renal

Artimia akut

Asma/PPOK

Penyalahgunaan obat

Penyalahgunaan alkohol

2.4 Pengaruh sosial ekonomi gagal jantung


Pada negara berkembang dengan sosial ekonomi yang rendah yang menjadi penyebab
gagal jantung adalah penyakit katup jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi.
Pengaruh ekonomi atau penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pengobatan
dan kekambuhan gagal jantung.
Klasifikasi

2.5 Forward and backward heart failure


Forward failure, terjadi secara stimultan sewaktu jantung gagal memompa darah dalam
jumlah adekuat ke jaringan karena volume sekuncup semakin lama semakin sedikit.
Manifestasi dari forward failure adalah akibat perfusi dari organ-organ vital menurun
yaitu otak (mental confusion), otot skeletal (kelemahan), ginjal (retensi Na dan H2O).3
Backward failure, bahwa ventrikel gagal memompa darah sehingga darah terkumpul
dan tekanan atrium naik, tekanan sistem vena yang bermuara ke dalam atrium juga
naik, sehingga volume akhir sistolik meningkat. Teori backward failure merupakan
reaksi mekanisme kompensasi pada gagal jantung yaitu hukum jantung starling dimana
distensi ventrikel membantu mempertahankan CO. menurut konsep ini, tekanan
diastolik ventrikel kiri, atrium kiri, vena-vena pulmonalis berakibat backward
transmission of pressure dan menyebabkan hipertensi pulmonal yang pada akhirnya
berakibat gagal jantung kanan. Seringkali vasokonstriksi pulmonal merupakan salah
satu penyebab hipertensi pulomonal. Tanda khas backward failure adalah kongesti paru
dan edema yang menunjukan aliran balik darah akibat gagal ventrikel.3

Gambar 1. Forward and backward heart failure


2.6 Gagal jantung sistolik dan diastolik
Gagal jantung sistolik
Sindrom klinik dengan gejala sesak nafas,lelah dan intoleransi aktivitas fisik dimana
gambaran dominan jantung adalah besar, dilatasi jantung dan gangguan fungsi sistolik.
Bisa disertai atau tidak disertai penyakit katup jantung.2

Gagal jantung diastolik


Istilah ini dipakai saat fraksi ejeksi saat istirahat adalah normal atau mendekati normal.
Atau disebut juga preserved ejection fraction. Tanda dari gagal jantung tampak,dan
ukuran jantung kecil atau normal. Bisa terjadi hipertrofi ventrikel kanan dan gangguan
pengisian jantung akibat perubahan kekakuan ventrikel kiri atau bukti lain dari
disfungsi diastolik.5 Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardigrafi aliran
darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Ada tiga macam gangguan fungsi diastolik : 1)
gangguan relaksasi, 2) pseudohormonal, 3) tipe retriktif.2

2.7 Gagal jantung kiri dan kanan


Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis
dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea. Pada gagal jantung kiri,
tekanan kapiler paru akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan dispnea dan takipnea
melalui reseptor-J di paru dan edema paru (asma kardiak) dengan hipoksia dan
hiperkapnia sistemik.

Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan

ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru


kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer,
hepatomegali, dan distensi vena jugularis.Tetapi karena perubahan biokimia gagal
jantung terjadi pada miokard kedua ventriel, maka retensi cairan pada gagal jantung
yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda. Pada gagal jantung
kanan akan terjadi edema perifer (terutama di kaki bagian bawah seharian; dan pada
malam hari terjadi pengeluaran air dengan diuresis nokturnal).2

Gambar 2. Gagal jantung kiri dan kanan


2.8 Low heart failure and High heart failure
Gagal jantung low-output dan high-output .Gagal jantung output rendah terjadi
sekunder dari penyakit jantung iskemik, hipertensi, kardiomiopati dilatasi, penyakit
pericardial dan valvular. Gagal jantung output tinggi terjadi pada pasien dengan
pengurangan resistensi vaskular sistemik seperti anemia, kehamilan, fistula AV, beriberi dan hipertiroid. Pada praktisi klinik, gagal jantung output rendah atau tinggi selalu
tidak dapat dibedakan.2

2.9 Klasifikasi fungsional dan penilaian objektif


Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional dari gagal jantung pertama kali
diperkenalkan oleh New York Heart Association (NYHA).2,4,5
Menurut NYHA, gagal jantung dibagi menjadi 4 kelompok :

NYHA klas I : Penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik
sehari-hari tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea atau angina.

NYHA

klas

II

Penderita

dengan

kelainan

jantung

yang

berakibat

terhadappembatasan ringan aktivitas fisik. merasa enak pada saat istirahat. Aktivitas
fisik sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau angina.

NYHA klas III : Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pada pembatasan
berat aktivitas fisik. merasa enak pada saat istirahat. Aktivitas yang kurang dari
aktifitas fisik sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau angina

NYHA klas IV : Penderita dengan kelainan jantung dengan akibat tidak mampu
melakukan aktivitas fisik apapun. Keluhan timbul meski dalam keadaan istirahat.1,2,4

Klasifikasi terbaru yang dikeluarkan American College of Cardiology/ American


Heart Association (ACC/AHA) pada tahun 2005 yang menekankan pembagian gagal
jantung aberdasarkan progresivitas kelainan struktural dari jantung dan perkembangan
status fungsional. Klasifikasi dari ACC/AHA ini, perkembangan gagal jantung dibagi
menjadi 4 stages A,B,C, dan D. 2,4,5

Tingkat Uraian
A

Pasien menandakan ada faktor risiko gagal jantung (diabetes,


hipertensi, PJK) namun belum ada kelainan struktural dari jantung
(cardiomegali, LVH) maupun kelainan fungsional

Pasien ada faktor-faktor risiko gagal jantung seperti pada stage A


dan sudah terdapat kelainan struktural, LVH cardiomegali dengan

atau tanpa gangguan fungsional, namun bersifat asimptomatik


Pasien sedang dalam dekompensasi dan atau pernah gagal jantung,
yang didasari oleh kelainan struktural dari jantung.

Pasien dengan penyakit jantung struktural tingkat lanjut dan gejalagejala gagal jantung pada istirahat, walaupun telah diberi terapi
medis maksimal dan membutuhkan intervensi khusus.

Patofisiologi
3.1 Hukum starling jantung
Mekanisme Frank-Starling berarti makin besar otot jantung diregangkan selama
pengisian, makin besar kekuatan kontraksi dan makin besar pula jumlah darah yang
dipompa ke dalam aorta atau arteri pulmonalis. Kontraksi ventrikel yang menurun akan
mengakibatkan pengosongan ruang yang tidak sempurna sehingga volume darah yang
menumpuk dalam ventrikel saat diastol (volume akhir diastolik) lebih besar dari
normal.

Berdasarkan

hukum

Frank-Starling,

peningkatan

volume

ini

akan

meningkatkan pula daya kontraksi ventrikel sehingga dapat menghasilkan curah


jantung yang lebih besar. 4

3.2 Disfungsi diastolik dan sistolik


Disfungsi diastolik, terjadi gangguan relaksasi miokard akibat peningkatan kekakuan
dinding ventrikel dan penurunan compliance sehingga pengisian ventrikel saat fase
diastol terganggu.
Disfungsi Sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada ventrikel
biasanya berasal dari infark miokard. Kerusakan otot sehingga tidak mampu
berkontraksi secara penuh, dan sekali lagi volume sekuncup turun. Penurunan volume
sekuncup menyebabkan penurunan tekanan darah, yang segera diikuti dengan insiasi
respon refleks menyesuaikan untuk mengembalikan ke kondisi sebelumnya. karena
ventrikel yang rusak tidak mampu mengembalikan volume sekuncup, refleks tetap
berlanjut . Terutama, stimulasi simpatis reseptor B1 jantung menjadi kronis. Penelitian
menyatakan bahwa pengaktifan respon simpatis yang kronis pada akhirnya menurunkan
kadar kalsium di dalam, dan pelepasan kalsium dari reticulum sarcoplasmic sel-sel
myokard. penurunan kalsium otot jantung menyebabkan eksitasi-kontraksi ganda,
akibatnya produksi kekuatan otot jantung menghilang, disritmia, dan akhirnya terjadi
disfungsi kontraktil serta perubahan bentuk sel otot jantung.2

Gambar 3. Disfungsi diastolik dan sistolik


3.3 Akibat neurohormonal
Perangsangan neurohormonal mencakup sistem saraf simpatik, sistem reninangiotensin, peningkatan produksi hormon antidiuretik dan peptida natriuretik.
Penurunan curah jantung dapat merangsang baroreseptor di sinus carotis dan arkus
aorta sehingga terjadi perangsangan simpatis dan penghambatan parasimpatis yang
mengakibatkan peningkatan denyut jantung, kontraktilitas ventrikel, dan vasokonstriksi
vena dan arteri sistemik sehingga terjadilah peningkatan curah jantung, peningkatan
aliran balik vena ke jantung dan peningkatan tahanan perifer
Penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi arteri renalis sehingga
merangsang reseptor sel juxtaglomerulus yang kemudian mensintesis renin dan
terjadilah hidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I, angiotensin I dikonversi
menjadi angiotensin II oleh ACE yang kemudian menginduksi vasokonstriksi dan
sekresi aldosteron sehingga terjadi peningkatan tahanan perifer, retensi natrium dan air
yang mengakibatkan peningkatan aliran balik vena ke jantung hingga terjadilah
peningkatan curah jantung melalui mekanisme Frank-Starling.6

3.4 Remodeling jantung


Remodeling miokardium terjadi sesaat setelah dimulainya gagal jantung (NYHA
stadium 1) melalui perangsangan mekanis dan neurohormonal. Hal ini pasti akan
memengaruhi perkembangan gagal jantung. Penyebab remodeling adalah:
1) Peningkatan tegangan dinding yang diantara berbagai efeknya, meningkatkan
konsentrasi Ca2+ di sitosol, serta
2) Sinyal pertumbuhan sistemik (katekolamin, ADH, angiotensin II; insulin pada
diabetes tipe II) dan lokal (endotelin, TGF, Platelet Derived Growth Factor
(PDGF), fibrolast GF (FGF), dan penurunan penghambat pertumbuhan (NO dan
PGI2). Sel miokardium membesar (hipertrofi), tetapi terjadi ketidakpekaan
terhadap katekolamin (penurunan jumlah reseptor pada adrenoreseptor 1,
peningkatan protein Gi antagonis, pemishaan reseptor), dan penurunan aktivitas
Ca2+-ATPase.
Akibatnya, potensial aksi miokardium memanjang (akibat penurunan arus repolarisasi)
dan potensial istirahat menjadi kurang negatif. Hal ini dapat menyebabkan aritmia
(reentry, after-potential, pacu jantung ektopik); pada beberapa keadaan bahkan
menyebabkan fibrilasi ventrikel. Fibrilasi ventrikel terjadi pada sekitar 50 % pasien
gagal jantung dan merupakan penyebab kematian jantung yang mendadak. Secara
keseluruhan kontraktilitasnya melemah (di antara beberapa faktor, terjadi akibat
pemisahan fungsional sebagian antara reseptor dihidropiridin dan rianodin serta
kemampuan relaksasi miokardium menurun (peningkatan konsentrasi Ca2+ di sitosol
saat diastol). Pengaktifan fibroblas (FGF dan lainnya) juga berperan dalam hal ini dan
menyebabkan peningkatan penimbunan kolagen di dinding ventrikel serta fibrosis pada
miokardium dan pembuluh darah. Akibat dan gejala sistemik gagal jantung kronis
terutama disebabkan oleh retensi air dan garam.8

3.5 Abnormalitas daripada gagal jantung


Peningkatan volume akhir diastolik juga akan meningkatkan tekanan di dinding
ventrikel yang jika terjadi terus-menerus, maka akan merangsang pertumbuhan
hipertrofi ventrikel. Terjadinya hipertrofi ventrikel berfungsi untuk mengurangi tekanan
dinding dan meningkatkan massa serabut otot sehingga memelihara kekuatan kontraksi

ventrikel. Dinding ventrikel yang mengalami hipertrofi akan meningkat kekakuannya


(elastisitas berkurang) sehingga mekanisme kompensasi ini selalu diikuti dengan
peningkatan tekanan diastolik ventrikel yang selanjutnya juga menyebabkan
peningkatan tekanan atrium kiri.
Respons kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel
miokardium; sarkomer dapat bertambah secara parallel atau serial tergantung pada jenis
beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung. Sebagai contoh, suatu beban
tekanan yang ditimbulkan stenosis aorta akan disertaidengan meningkatnya ketebalan
dinding tanpa penambahan ukuran ruang dalam. Respon miokardium terhadap beban
volume, seperti pada regurgitasi aorta,ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya
ketebalan dinding. Kombinasi ini diduga terjadi akibat bertambahnya jumlah sarkomer
yang tersusun secara serial.8

Manifestasi klinis
Gejala utama gagal jantung adalah kelelahan dan takipneu. Meskipun secara konvensional,
kelelahan menunjukan cardiac output yang rendah pada gagal jantung, namun gejala ini juga
terdapat pada abnormalitas otot skeletal dan penyakit komorbid non-kardiak lainnya
(misalnya anemia). Pada stadium awal gagal jantung, sesak napas hanya terjadi saat aktivitas;
namun, seiring dengan progresifitas penyakit, sesak napas terjadi pada aktifitas yang lebih
ringan, dan selanjutnya sesak napas terjadi pada saat istirahat. Penyebab sesak napas pada
gagal jantung bersifat multifaktoral. Mekanisme terpenting adalah kongesti pulmonal yang
disertai akumulai cairan interstisial atau intraalveolar, yang mengaktifasi reseptor juksta
kapiler J, yang kemudian menstimulasi karakteristik pernapasan cepat dan dangkal dari
cardiac dyspneu. Faktor-faktor lain yang berkontribusi pada sesak napas saat aktifitas
termasuk berkurangnya compliance paru, meningkatnya resistensi jalan napas, kelelahan
pada otot-otot pernapasan dan atau diafragma, dan anemia. Sesak napas lebih sedikit
frekuensinya pada onset gagal jantung ventrikel kanan dan regurgitasi trikuspid dibandingkan
dengan gagal jantung ventrikel kiri.1
-

Sesak nafas (respiratory distress)

Sesak nafas diakibatkan oleh tekanan dalam kapiler tinggi yang disebabkan

oleh

meningkatnya tekanan pada ventrikel kiri dan atrium kiri. penderita dengan gagal
jantung kiri menunjukan ventilasi yang restriktif, menurunnya kapasitas vital sebagai
konsekuensi terdesaknya udara didalam alveoli oleh cairan interstitial atau darah
(pecahnya kapiler) atau keduanya, akibatnya paru menjadi kaku dan compliance
menurun. Kapiler paru baik dibronkial maupun alveoli bermuara pada vena pulmonalis,
akibatnya tekanan vena pulmonalis yang tinggi terjadi kongesti baik dikapiler alveoli
maupun kapiler bronkus. Selanjutnya terjadi udema mukosa bronkial, bahkan dapat
terjadi juga pecahnya kapiler menyebabkan batuk produktif dan mungkin hemoptisis,
udema pada mukosa bronkus menyebabkan resistensi terhadap aliran udara dengan
akibat respiratory distress sama dengan asma. Udema pada alveoli menyebabkan
sianosis,

kemungkinan frothy sputum selain dispnea. Reflex dispnea berasal atau

dirangsang oleh distensi kapiler, meningkatnya rigiditas paru, terganggunya pertukaran


udara akibat udema interstitial, alveoli dan bronkus.4
-

Dispnea on effort

Dispnea on effort seringkali terjadi dan merupakan keluhan dini dari gagal jantung kiri.
Pada sebagian penderita terdapat kongesti pulmonum, tetapi tidak mengeluh DOE, hal
ini disebabkan mereka secara gradual tanpa disadari banyak berdiam diri maupun
membatasi diri di tempat tidur. Penurunan toleransi terhadap aktivitas dalam waktu
singkat hendaknya diwaspadai akan adanya gagal jantung. sesak napas yang timbul
sejak lama dan berulang, riwayat sesak napas sejak muda mungkin akibat penyakit
paru. Pada penderita dengan ansietas mengeluh napas harus dalam, napas tidak masuk
kedalam, sesak napas selama istirahat tetapi selama latihan sesak napas hilang.4
- Paroxysmal Nocturnal Dyspneau (PND)
Paroxysmal Nocturnal Dyspneau (PND) merupakan episode akut sesak napas dan batuk
yang umumnya terjadi pada malam hari sehingga membangunkan pasien dari tidurnya,
biasanya 1-3 jam setelah pasien istirahat. PND dapat berupa batuk atau wheezing, yang
kemungkinan disebabkan peningkatan tekanan arteri bronkial yang berakibat kompresi
jalan napas, bersamaan dengan edem paru interstisial yang menyebabkan resistensi
jalan napas. Ortopneu dapat dikurangi dengan posisi tegak saat duduk dengan kaki
tergantung, sedangkan pasien dengan PND sering bermanifestasi batuk yang persisten
dan wheezing bahkan setelah mereka duduk dengan posisi tegak. Asma kardiak
berhubungan erat dengan PND, yang berkarakteristik wheezing yang dikarenakan

bronkospasme, dan harus dibedakan dengan wheezing dari penyebab asma primer dan
pulmoner.4
-

Orthopnea

Penderita dengan orthopnea mengeluh sesak napas pada posisi tiduran dan berkurang
pada posisi tegak. Menghilangnya atau berkurangnya sesak napas pada posisi tegak
akibat dari venous return yang menurun dan menurunnya tekanan hidrostatik pada
bagian atas paru sehingga menambah kapasitas vital paru

Diagnosis

5.1 Kriteria framingham2


Diagnosis CHF ditegakan dengan kriteria Framingham jika terdapat minimal 2 kriteria
mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Berikut adalah Kriteria Framingham:
Kriteria Mayor

Paroxysmal nocturnal dyspnea

Distensi vena di leher

Acute pulmonary edema

Hepatojugular Reflux

S3 Gallop

Radiographic cardiomegaly

Berat badan berkurang 4,5 kg dalam 5 hari (sesudah diberi terapi gagal jantung)

Central venous pressure lebih dari 16 cm H2O (menggunakan catheter vena)

Kriteria Minor

Batuk malam hari

Efusi pleura

Takikardi (>120 kali per menit)

Edema pada kedua pergelangan kaki (angkle edema)

Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari nilai maksimum


(menggunakan spirometri)

Kriteria Minor tidak bisa digunakan jika ada penyakit penyerta lain seperti pulmonary
hypertension, chronic lung disease, cirrhosis, ascites, atau nephrotic syndrome.
Kekuatan Diagnosis
Kriteria Framingham memiliki sensitivitas yang baik tetapi spesifisitas-nya kurang
baik: Sensitivity: 96%, Specificity: 78%.

5.2 Kriteria gagal jantung Minesota


Kriteria gagal jantung minesota adalah skema klasifikasi baru untuk gagal jantung
yang bermanfaat untuk pemantauan dan tindak lanjut mortalitas. Kriteria Minnesota
dilakukan dengan menganalisis kasus laten dengan menggunakan enam variabel
dari kriteria Framingham ditambah fraksi ejeksi ventricular dan merupakan tanda
yang penting dari petologi jantung. Variabel tersebut termasuk :4
-

Dispnea saat istirahat maupun saat olahraga

Rales paru

Kardiomegali

Left ventricular ejection fraction < 40 %

Suara jantung S3

Edema interstitial atau pulmonary

Detak jantung > 120 kali/menit

Kriteria minesota memberikan perbedaan yang lebih baik daripada kriteria


Framingham dan kriteria lain pada pasien gagal jantung kongestif dan infark
miokard. Kriteria gagal jantung Minnesota didasarkan pada model statistik.

5.3 Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik


Penelusuran riwayat penyakit yang detil adalah langkah pertama mendiagnosa gagal
jantung. Sedangkan pemeriksaan fisik keseluruhan adalah langkah selanjutnya
dalam menegakkan diagnosa gagal jantung. Hal ini harus disertai dengan
pemeriksaan laboratorium dan radiologi untuk penegakan diagnosis dan tingkat
keparahan penyakit.

5.4 MRI dan CT scan

Rontgen foto thoraks

Pada foto toraks, sering ditemukan pembesaran jantung, dan tanda-tanda bendungan
paru. Kardiomegali biasanya adanya peningkatan dari cardiothoracic ratio lebih dari
50% pada gambaran posteroanterior. Pasien dengan predominan disfungsi diastolik
dapat mempunyai ukuran jantung yang normal, salah satu menjadi petanda untuk
membedakan disfungsi sistolik vs diastolik. Apabila telah terjadi edema paru, dapat
ditemukan gambaran kabut di daerah perihiller, penebalan interlobar fissure (kerleys
line). Sedangkan pada kasus yang berat dapat ditemukan efusi pleura.2

Elektrokardiogram

Gambaran EKG pada penderita gagal jantung kongestif tergantung pada penyakit dasar.
Akan tetapi pada gagal jantung kongestif akut, karena selalu terjadi iskemik dan
gangguan fungsi konduksi ventrikel maka hampir semua EKG dapat ditemukan
gambaran takikardia, left-bundle-branch-block dan perubahan segmen ST -dan
gelombang T.2

Ekokardiografi

Ekokardiografi dua-dimensi dengan Doppler adalah rekomendasi tinggi untuk semua


pasien dengan gagal jantung. Pemeriksaan ini membantu penilaian dari ukuran
ventrikel kiri, massa dan fungsi. Karena tidak biasanya pasien memiliki lebih dari satu
abnormalitas jantung yang mempengaruhi perkembangan dari gagal jantung,
ekokardiografi memberikan nilai tambahan dengan penilaian kuantitatif dari dimensi,
geomettri, ketebalan dan pergerakan dari ventrikel kanan dan kiri. Serta penilaian
kualitatif dari atria, pericardium, struktup katup dan vaskular. Spesifik dan sensitif
untuk menilai meningkatnya massa ventrikel (hipertrofi ventrikel).2

5.5 Pemeriksaan asam basa


Analisa gas darah arterial, memungkinkan kita untuk menilai oksigenasi (pO2) fungsi
respirasi (pCO2) dan keseimbangan asam basa (pH) dan harus dinilai pada setiap
pasien dengan respiratory distress berat. Asidosis petanda perfusi jaringan yang buruk
atau retensi CO2 dikaitkan pada prognosa buruk. Pengukuran dengan pulse oxymetry
dapat mengganti analisa gas darah arterial. Tetapi tidak bisa memberikan informasi
pCO2 atau keseimbangan asam basa, dan tidak bisa dipercaya pada sindrom low output
yang berat atau vasokontriksi dan status syok.2

5.6 Pemeriksaan laboraturium


Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, uream creatinin, gula darah, albumin, enzyme
hati dan INR harus merupakan pemeriksaan awal pada semua penderita gagal jantung.
Kadar sodium yang rendah, urea, dan creatinin yang tinggi memberikan prognosa buruk
pada gagal jantung. Peninggian sedikit dari cardiac troponin bila terlihat pada gagal
jantung akut, walau tidak ada SKA. Peningkatan dari troponin yang disertai dengan
SKA merupakan petanda prognosa yang tidak baik. 2

Bab 3

Pembahasan

Menurut Teori Blum bahwa kesehatan manusia dipengaruhi oleh beberapa unsur yaitu
lingkungan, pelayanan kesehatan, perilaku dan keturunan. Dimana unsur-unsur tersebut
saling berinteraksi dan saling terkait satu sama lain. Juga mengacu pada kemampuan
mengetahui, mengamati, menyadari, dan menanggapi keadaan sehatnya sendiri.
Dari hasil kunjungan rumah didapatkan bahwa pasien mempunyai penyakit hipertensi.
Pasien berpola hidup kurang sehat dan tidak teratur minum obat sehingga memacu
perburukan penyakit. Pasien mengaku malas untuk mengkonsumsi obat tiap hari karena bila
tidak ada keluhan maka pasien tidak minum obat.
Maka terbukti bahwa kesehatan manusia dipengaruhi oleh beberapa unsur-unsur yang
disebutkan di Teori Blum. Oleh karena itu sebagai dokter keluarga yang bekerja di
Puskesmas, sebaiknya dapat memberikan komunikasi, informasi dan edukasi perorangan
untuk memperbaiki pola hidup pasien.

Bab 4
Kesimpulan dan Saran

Dalam epidemiologi pengertian penyebab timbulnya penyakit adalah suatu proses


interaksi antara: pejamu (host),penyebab (agent), dan lingkungan (environment).Segitiga
epidemiologi (John Gordon) menggambarkan relasi tiga komponen penyebab penyakit
seperti penjamu, agent dan lingkungan.Sedangkan Hendrik L. Blum, menggambarkannya
sebagai hubungan antara 4 faktor yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan
kesehatan.1,2
Hipertensi dibedakan menjadi primer dan sekunder yang bergantung pada faktor
etiologinya. Hipertensi esensial atau primer adalah hipertensi yang tidak/belum diketahui
penyebabnya, sekitar 90% penderita hipertensi adalah hipertensi primer. Hipertensi yang
penyebabnya karena penyakit lain atau yang disebut hipertensi sekunder, diderita kira-kira
5% dari penderita hipertensi
Obat-obatan anti hipertensi yang dapat digunakan antara lain, diuretik, beta blocker,
penggantian kalium, penghambat saluran kalsium dan ACE-inhibitor.
Hipertensi yang terkontrol dapat memberikan harapan hidup yang lebih baik.
Prognosis sangat baik, tergantung gaya hidup.

Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA

1. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, et al, editors.
Harrisons Principle of Internal Medicine 18th edition. McGraw-Hill: 2012.
2. Sudoyono A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-5. Jilid ke-2. Jakarta: InternalPublishing; 2009.h. 1583-95.
3. Braunwald. Heart failure. Dalam. Harrisons Principles of internal medicine, edisi 16.
McGraw-Hill Medical Publishing Division. New York. 2001. Hal 1367 - 1377.
4. Palupi S.E.E. Gagal jantung dalam Kumpulan Kuliah Kardiologi. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jakarta. 2007.Hal 40-61.
5. Boedi S. Ilmu Penyakit Jantung. Airlangga university press. Surabaya. 2003.h.121140.
6. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit pengantar menuju kedokteran klinis.
Jakarta:EGC; 2010. h. 293-300.

Anda mungkin juga menyukai