Anda di halaman 1dari 24

Istilah Sistem Penghantaran Obat (SPO) atau Drug Delivery System pada dasarnya adalah

istilah yang menggambarkan bagaimana suatu obat dapat sampai ke tempat target aksinya.
Istilah ini juga sering dipertukarkan dengan drug product (produk obat) dan dosage form. Hanya
saja, istilah SPO memiliki konsep yang lebih comprehensive yang meliputi: formulasi obat,
interaksi yang mungkin terjadi antara obat yang satu dengan obat yang lainnya, matriks,
container, dan pasien.
Ketika membahas tentang SPO, maka hal terpenting yang hendak dicapai adalah terwujudnya
suatu sediaan obat yang ideal atau setidaknya mendekati ideal yaitu sediaan obat yang:
1. Cukup diberikan satu kali saja selama masa terapi
2. Langsung dapat didistribusikan ke tempat aksinya dan memiliki adverse effect yang seminimal
mungkin
Untuk mencapai tujuan tersebut, obat didesain sedemikian rupa dengan mempertimbangkan
banyak faktor seperti farmakokinetik, farmakodinamik, kenyamanan pasien, dsb. Bredasarkan
pertimbangan pertimbangan tersebut, barulah diputuskan apakah suatu obat cocok
diformulasikan sebagai sediaan obat konvensional atau harus diformulasikan menjadi sediaan
obat termodifikasi (modified release drug product).
Sebenarnya, perbedaan utama antara Conventional Drug Product dengan ModifiedRelease
(MR) Drug Product terletak pada kapan sediaan obat harus melepaskan obatnya. Conventional
Drug Product akan melepaskan obatnya segera setelah obat dikonumsi (oleh karenanya sering
disebut sebagai sediaan Immediate Release, IR), baik itu dikonsumsi secara per oral maupun
melalui jalur administrasi yang lain, sedangkan MR sebaliknya. Dia didesain untuk tidak segera
melepaskan obatnya setelah dikonsumsi. Penundaan ini bisa berdasarkan waktu (aspek
temporal) atau tempat absorbsi (aspek spasial). Baik MR temporal maupun MR spasial
keduanya bertujuan untuk mendapatkan profil kadar obat dalam plasma yang optimal.
MR dapat diberikan melalui jalur pemberian mana pun baik melalui oral, maupun paranteral
seperti implant (susuk KB), liposom, beberapa sediaan transdermal, dll. Namun, MR oral lebih
banyak berkembang dan lebih sering digunakan. Oleh karenanya, dalam tulisan singkat ini akan
lebih banyak bercerita tentang MR oral. Beberapa model MR oral yang beredar di pasaran
antara lain:
1. Delayed Release (DR). Misalnya menggunakan teknik enteric coating
2. Site specific release. Dilepaskan ketika sediaan obat mencapai lokasi tertentu dari GI tract.
Misalanya desain sediaan obat yang ditujukan untuk dilepaskan di kolon, dsb
3. Extended Release (ER). Istilah ini juga sering dipertukarkan dengan Prolonged Release,
Sustained Release (SR), dan Controlled Release (CR).
4. Programmed Release.
Sebelum membahas lebih jauh terkait macam dan formulasi MR, mungkin lebih baik jika kita
memulainya dengan membahas apa pentingnya suatu obat diformulasikan ke dalam bentuk MR.

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari MR antara lain:


1. Mengurangi frekuensi pemakaian obat. Bayangkan saja jika seorang pasien harus
mengkonsumsi suatu obat tiap 2 jam sekali. Betapa repotnya dia.
2. Meningkatkan patient convenience dan patient compliance yang pada gilirannya diharapkan
dapat memperbesar peluang tercapainya target terapi. Sebenarnya patient convenience dan
patient compliance merupakan salah satu efek dari berkurangnya frekuensi pemakaian obat.
3. Menghindari pemakaian obat pada saatsaat yang merepotkan atau saatsaat yang
mungkin dilupakan oleh pasien, misalnya pada malam hari
4. Mengurangi fluktuasi kadar obat dalam darah
5. Mengkondisikan agar efek obat lebih uniform
6. Mengurangi risiko iritasi saluran cerna
7. Mengurangi efek samping
Namun, sediaan MR bukan berarti tanpa cela. MR juga memiliki banyak keterbatasan, antara
lain:
1. Biaya. Formulasi MR merupakan formulasi yang mempergunakan teknologi yang relatif lebih
canggih daripada teknologi yang biasa digunakan untuk IR sehingga wajar jika biaya yang
diperlukan pun lebih mahal.
2. IVIVC seringkali jelek. Sulit sekali mendesain sistem in vitro yang dapat menggambarkan
perubahan keadaan in vivo dari satu segmen GIT ke segmen GIT yang lain sehingga wajar jika
IVIVC untuk MR seringkali tidak sebaik yang diharapkan.
3. Dose dumping. Ini adalah masalah utama dalam formulasi MR. Sebagai ilustrasi (semoga
dapat menggambarkan): Obat yang diformulasikan dalam MR selalu diberikan dalam dosis yang
lebih besar daripada dosis satu kali minum. Mungkin dosis yang seharusnya diberikan beberapa
kali dalam sehari hanya diberikan satu kali (tentu dalam jumlah total yang sama) kemudian
diharapkan dapat terlepas sedikit demi sedikit sehingga efeknya sama seperti jika
mengkonsumsi obat tersebut secara bertahap (beberapa kali sehari) secara patuh. Keadaan ini
mirip dengan keadaan bak penampungan air yang besar yang airnya dikeluarkan sedikit demi
sedikit melalui kran. Suatu ketika, kran itu bisa jebol dan jika jebol, maka seluruh isi dari bak
penampungan air itu akan keluar. Jika hal ini terjadi pada sediaan MR, maka risiko over dose
itu sangat besar.
4. Mengurangi fleksibilitas pemberian obat. Kalau pada IR, tablet bisa digerus atau dilarutkan
pada minuman favorite sebelum diminum, kapsul juga bisa dibuka dan dicampurkan pada bubur
misalnya. Maka, pada MR tidak bisa dilakukan seperti itu. MR harus dikonsumsi secara utuh.
5. Meningkatkan kemungkinan first pass effect
6. Umumnya bioavailabilitas MR kurang baik
7. Efektivitas pelepasan obat dipengaruhi dan dibatasi oleh GI residence time.
Setelah mempertimbangkan keuntungan dan kerugian formulasi MR dan memutuskan untuk
memformulasikan suatu obat ke dalam sediaan MR, maka aspek apa saja yang harus
diperhatikan untuk membuat formulasi sediaan MR yang tepat?

Idealnya, suatu sediaan MR akan melepaskan obatnya mengikuti orde 0 (nol) atau dalam debit
yang sama dari waktu ke waktu. Lebih jauh lagi diharapkan sediaan MR dapat melepaskan obat
dalam jumlah yang sama seperti jumlah obat yang telah tereliminasi (baik melalui distribusi,
metabolisme, maupun ekskresi) sehingga jumlah obat yang ada di dalam darah senantiasa
konstan. Dengan demikian, harapannya efek yang diberikan akan selalu sama dari waktu ke
waktu. Namun seringkali dalam melepaskan obatnya MR tidak mengikuti orde 0 karena ada
banyak peristiwa yang tak terprediksikan yang terjadi dalam GIT (seperti yang telah diungkapkan
di atas bahwa sulit sekali mendesain keadaan in vitro yang menggambarkan berbagai
perubahan yang terjadi dari segmen GIT satu yang segmen yang lain sehingga nasib MR dalam
GIT relatif sulit diprediksi).
Selain itu, formulasi MR juga harus mempertimbangkan aspek fisikokimia obat yang akan
diformulasikan. Misalnya kelarutan, dll. Perlu juga diperhatikan terkait t eliminasi, dosis, indeks
terapi, BCS, dsb. Terkait dengan kriteria kriteria tersebut, beberapa obat dengan sifat sifat
berikut tidak cocok untuk dibuat dalam sediaan MR:
1. Sediaan dengan waktu paro eliminasi yang pendek (kurang dari 4 jam). Jiak suatu obat yang
mempunyai t eliminasi pendek ingin diformulasikan dalam bentuk MR, maka dosis yang
diberikan harus cukup besar. Masalah timbul jika ternyata dia memiliki therapeutic range yang
sempit.
2. Sediaan obat dengan waktu paro yang panjang ( lebih dari 20 jam). Obat dengan waktu paro
panjang biasanya juga memiliki interval konsumsi yang relatif panjang, sehingga untuk apa
dibuat MR? Toh dengan sediaan konvensional pun tidak terlalu merepotkan pasien.
3. Indeks terapi sempit. Waspada dose dumping!
4. Absorbsi rendah. Ingat aturan 5 (rule of five). Silakan buka lagi buku buku Biofarmasetika
5. Absorbsi secara aktif
6. Kelarutan rendah
7. First Pass Effect yang Ekstensif

PENDAHULUAN
Peluang penemuan dan pengembangan baru dalam bidang farmasi adalah meliputi:
penemuan obat baru (New Chemical Entity, NCE), efek farmakologi baru dari obat yang
sudah habis masa patennya, dan komposisi baru dari sistem penghantaran (New Drug
Delivery System, NDDS).
Pada saat ini dikembangkan pula cara pemasukan obat baru dengan tujuan sistemik ke
dalam tubuh melalui pintu masuk (entry points) baru yang selama ini belum dikembangkan,
seperti melalui kulit (transdermal), selaput mukosa (inytranasal, intraokular, intravaginal,
sistem oral sasaran kolon, dan sebagainya). Semuanya dirangkum dalam kelompok sistem
penghantaran obat baru.
Istilah Sistem Penghantaran Obat (SPO) atau Drug Delivery System pada dasarnya
adalah istilah yang menggambarkan bagaimana suatu obat dapat sampai ke tempat target
aksinya. Istilah ini juga sering dipertukarkan dengan drug product (produk obat) dan dosage
form. Hanya saja, istilah SPO memiliki konsep yang lebih comprehensive yang meliputi:
formulasi obat, interaksi yang mungkin terjadi antara obat yang satu dengan obat yang
lainnya, matriks, container, dan pasien
Drug delivery adalah metode atau proses senyawa untuk mencapai efek terapeutik
pada manusia atau hewan. Obat dilindungi paten teknologi yang mengubah profil pelepasan
obat, penyerapan, distribusi dan eliminasi untuk kepentingan produk memperbaiki
kemanjuran dan keselamatan, serta kenyamanan dan kepatuhan pasien. Sebagian besar
metode-metode umum termasuk pilihan pengiriman non-invasif peroral (melalui mulut),
topikal (kulit), transmucosal (hidung, buccal / sublingual, vagina , okular dan dubur) dan
inhalasi rute
Banyak obat-obatan seperti peptida dan protein, antibodi, vaksin dan gen berdasarkan
obat-obatan, pada umumnya tidak dapat disampaikan dengan menggunakan rute ini karena
mereka mungkin dapat mengalami degradasi enzimatik atau dapat tidak dapat diserap ke
dalam sirkulasi sistemik efisien karena ukuran molekul dan masalah biaya untuk menjadi
terapi efektif. Untuk alasan ini banyak protein dan peptida obat-obatan harus disampaikan
oleh injeksi. Sebagai contoh, banyak imunisasi didasarkan pada protein pengiriman obatobatan dan sering dilakukan melalui suntikan. Saat ini usaha di bidang pemberian obat
mencakup pengembangan pengiriman ditargetkan di mana obat hanya aktif di area target
tubuh (misalnya, dalam kanker jaringan) dan pelepasan berkelanjutan formulasi obat yang
dilepaskan selama periode waktu dengan cara yang terkendali dari formulasi.

ISI
Masalah yang sering dihadapi dalam merancang dan mengembangkan sediaan adalah
masalah kelarutan obat. Teori tentang kelarutan merupakan konversi dari suatu keadaan
menuju keadaan lain, dan melibatkan fenomena kesetimbangan.Fenomena ini digunakan
untuk memperkirakan kelarutan dan menyederhanakann pengembangan formulasi, sesuatu
yang tidak selalu mudah (apalagi untuk sediaan parenteral).
. Cara pendekatan pertama yang lazim digunakan untuk meningkatkan kelarutan air
dalam suatu obat adalah membentuk garam larut air. Jika pembentukan garam tidak mungkin
(misalnya karena garam yang terbentuk sangat tidak stabil,atau tidak menghasilkan molekul
yang cukup larut misalnya indometasin natrium injeksi yang hanya stabil selama 14 hari saja
dalam bentuk larutan., maka perlu digunakan suatu seri pendekatan formulasi. Pengaturan pH
mungkin digunakan untuk meningkatkan kelarutan air dari obat terionisasi. Pendekatan
lainnya adalah dengan menggunakan kosolven yagn tercampur air, atau surfaktan (solubisasi
miselar) dan agen pengomplek (misal turunan santin dengan asam salisilat dan benzoat:
komplek inklusi dengan siklodekstrin) dan sebagainya.
Saat ini pemanfaatan emulsi dan sistem penghantaran obat koloidal lain (misal
liposom, niosom dan sebagainya) untuk pemberian obat secara iv telah digunakan secara luas
dan cukup berhasil. Sistem penghantaran obat ini mengubah obat menjadi obat terjerat atau
asosiasi obat yang menunjukkan sifat yang berbeda dari obat bebas (senyawa induk) Sistem
ini membuka pula peluang untuk memperlama keberadaan obat dalam aliran darah atau
memodifikasi disposisi obat dalam darah.
Jika calon obat cukup larut dalam lipid, maka bentuk emulsi dapat digunakan sebagai
alternatif penghantaran obat. Emulsi mengandung minyak nabati yang kaya akan trigliserida
dan lesitin sebagai surfaktan, serta dapat pula mengandung surfaktan nonionik. Obat tidak
larut dapat diinkorpoorasikan ke dalam emulsi lemak komersial(hal ini akdang-kadang tidak
berhasil baikkarena oabt dapat memepengaruhi stabilitas emulsi komersial). Atau suatu

emulsi dapat dibentuk dari minyak (yang mengandung obat disolubilisasi di dalamnya),
seperti pembentukan sediaan emulsi parenteral.
Perkembangan sistem penghantaran obat belakangan ini telah sampai juga pada
penggunaan teknologi nanopartikel, yang diharapkan dapat memperbaiki sifat penghantaran
obat sebelumnya (nasal, transdermal, depot, PEG-drug, dan liposom).
Beberapa keunggulan nanoteknologi ketika diaplikasikan kepada sistem penghantaran
obat antara lain, dapat meningkatkan kepatuhan pasien mengkonsumsi obat karena bentuk
sediannya dapat diterima dengan baik oleh pasien, meningkatkan efikasi obat, mengurangi
efek samping, dan tentu saja berimbas pada pencapian kualitas hidup pasien yang lebih baik.
Nanoteknologi sendiri dipahami sebagai pengembangan senyawa dalam ukuran 1
1000 nm. Definisi lain oleh The Academy of Pharmaceutical Sciences of Great Britain,
bahwa nanopharmaceutical merupakan sistem yang kompleks terdiri sekurangnya 2
komponen, salah satunya adalah zat aktif obat, dan senyawa yang dihasilkan berukuran nano
antara 1 1000 nm. Berdasarkan sifat fisik, nanopartikel dapat dibagi menjadi 3 jenis,
yaitu solid nanoparticles(polymeric np, solid lipid np (SLN), nanosuspension, dll), semisolid
nanoparticles (liposom, neosome), dan liquid nanoparticles (microemulsion, nanoemulsion,
dll).
Menyikapi hal ini,Prof. Garnpimol G. Ritthidej, Ph.D menyampaikan hasil studi dan
penelitian beliau tentang nanopartikel, meliputi polymeric nanoparticles, solid lipid
nanoparticles (SLN), dan microemulsion.Saat ini beliau telah selesai mengembangkan
chitosan sebagai adjuvant Japanese ecephalitis vaccine per-oral, sehingga sangat cocok
mengatasi problem pemberian vaksin konvensional (menggunakan jarum suntik). Lebih jauh
beliu menjelaskan bagaimana cara memilih surfaktan yang aman bagi pasien, karena salah
satu faktor yang paling mempengaruhi formulasi nanopartikel adalah ketepatan pemilihan
surfaktan. Beliau juga menyampaikan beberapa metode preparasi SLN, antara lain
dengan High Presure Homogenization (HPH), High Shear Homogenization with ultrasound,
pengenceran mikroemulsi, dan emulsion with solvent evaporation. Beliau bahkan telah
mengembangkan formula obat diltiazem HCl, teofilin, ibuprofen, dan amphotericin B dalam
bentuk SLN, dengan efikasi dan efek samping yang lebih baik dibandingkan produk yang ada
dipasaran saat ini.
.Hal hal penting yang menjadi tujuan dalam pengembangan system penghantaran
obat adalah terwujudnya suatu sediaan obat yang ideal atau setidaknya mendekati ideal yaitu

sediaan obat yang:


1. Cukup diberikan satu kali saja selama masa terapi
2. Langsung dapat didistribusikan ke tempat aksinya dan memiliki adverse effect yang
seminimal mungkin
Untuk mencapai tujuan tersebut, obat didesain sedemikian rupa dengan
mempertimbangkan banyak faktor seperti farmakokinetik, farmakodinamik, kenyamanan
pasien, dsb. Bredasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut, barulah diputuskan apakah
suatu obat cocok diformulasikan sebagai sediaan obat konvensional atau harus
diformulasikan menjadi sediaan obat termodifikasi (modified release drug product).
Sebenarnya, perbedaan utama antara Conventional Drug Product dengan ModifiedRelease
(MR) Drug Product terletak pada kapan sediaan obat harus melepaskan obatnya. Conventional Drug
Product akan melepaskan obatnya segera setelah obat dikonumsi (oleh karenanya sering disebut
sebagai sediaan Immediate Release, IR), baik itu dikonsumsi secara per oral maupun melalui jalur
administrasi yang lain, sedangkan MR sebaliknya. Dia didesain untuk tidak segera melepaskan
obatnya setelah dikonsumsi. Penundaan ini bisa berdasarkan waktu (aspek temporal) atau tempat
absorbsi (aspek spasial). Baik MR temporal maupun MR spasial keduanya bertujuan untuk
mendapatkan profil kadar obat dalam plasma yang optimal.
MR dapat diberikan melalui jalur pemberian mana pun baik melalui oral, maupun paranteral
seperti implant (susuk KB), liposom, beberapa sediaan transdermal, dll. Namun, MR oral lebih banyak
berkembang dan lebih sering digunakan. Oleh karenanya, dalam tulisan singkat ini akan lebih banyak
bercerita tentang MR oral. Beberapa model MR oral yang beredar di pasaran antara lain:
1. Delayed Release (DR). Misalnya menggunakan teknik enteric coating
2. Site specific release. Dilepaskan ketika sediaan obat mencapai lokasi tertentu dari GI tract.
Misalanya desain sediaan obat yang ditujukan untuk dilepaskan di kolon, dsb
3. Extended Release (ER). Istilah ini juga sering dipertukarkan dengan Prolonged Release, Sustained
Release (SR), dan Controlled Release (CR).
4. Programmed Release.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari MR antara lain:
1. Mengurangi frekuensi pemakaian obat.
2. Meningkatkan patient convenience dan patient compliance yang pada gilirannya diharapkan dapat
memperbesar peluang tercapainya target terapi.
3. Menghindari pemakaian obat pada saatsaat yang merepotkan atau saatsaat yang mungkin
dilupakan oleh pasien, misalnya pada malam hari
4. Mengurangi fluktuasi kadar obat dalam darah

5. Mengkondisikan agar efek obat lebih uniform


6. Mengurangi risiko iritasi saluran cerna
7. Mengurangi efek samping
Kekurangan sediaan MR:
1. Biaya. Formulasi MR merupakan formulasi yang mempergunakan teknologi yang relatif lebih
canggih daripada teknologi yang biasa digunakan untuk IR sehingga wajar jika biaya yang diperlukan
pun lebih mahal.
2. IVIVC seringkali jelek. Sulit sekali mendesain sistem in vitro yang dapat menggambarkan
perubahan keadaan in vivo dari satu segmen GIT ke segmen GIT yang lain sehingga wajar jika IVIVC
untuk MR seringkali tidak sebaik yang diharapkan.
3. Dose dumping. Ini adalah masalah utama dalam formulasi MR. Sebagai ilustrasi (semoga dapat
menggambarkan): Obat yang diformulasikan dalam MR selalu diberikan dalam dosis yang lebih besar
daripada dosis satu kali minum. Mungkin dosis yang seharusnya diberikan beberapa kali dalam
sehari hanya diberikan satu kali (tentu dalam jumlah total yang sama) kemudian diharapkan dapat
terlepas sedikit demi sedikit sehingga efeknya sama seperti jika mengkonsumsi obat tersebut secara
bertahap (beberapa kali sehari) secara patuh.
4. Mengurangi fleksibilitas pemberian obat
5. Meningkatkan kemungkinan first pass effect
6. Umumnya bioavailabilitas MR kurang baik
7. Efektivitas pelepasan obat dipengaruhi dan dibatasi oleh GI residence time.
Idealnya, suatu sediaan MR akan melepaskan obatnya mengikuti orde 0 (nol) atau dalam
debit yang sama dari waktu ke waktu. Lebih jauh lagi diharapkan sediaan MR dapat melepaskan obat
dalam jumlah yang sama seperti jumlah obat yang telah tereliminasi (baik melalui distribusi,
metabolisme, maupun ekskresi) sehingga jumlah obat yang ada di dalam darah senantiasa konstan.
Dengan demikian, harapannya efek yang diberikan akan selalu sama dari waktu ke waktu. Namun
seringkali dalam melepaskan obatnya MR tidak mengikuti orde 0 karena ada banyak peristiwa yang
tak terprediksikan yang terjadi dalam GIT (seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa sulit sekali
mendesain keadaan in vitro yang menggambarkan berbagai perubahan yang terjadi dari segmen GIT
satu yang segmen yang lain sehingga nasib MR dalam GIT relatif sulit diprediksi).
Selain itu, formulasi MR juga harus mempertimbangkan aspek fisikokimia obat yang akan
diformulasikan. Misalnya kelarutan, dll. Perlu juga diperhatikan terkait t eliminasi, dosis, indeks
terapi, BCS, dsb. Terkait dengan kriteria kriteria tersebut, beberapa obat dengan sifat sifat berikut
tidak cocok untuk dibuat dalam sediaan MR:
1. Sediaan dengan waktu paro eliminasi yang pendek (kurang dari 4 jam). Jiak suatu obat yang

mempunyai t eliminasi pendek ingin diformulasikan dalam bentuk MR, maka dosis yang diberikan
harus cukup besar. Masalah timbul jika ternyata dia memiliki therapeutic range yang sempit.
2. Sediaan obat dengan waktu paro yang panjang ( lebih dari 20 jam). Obat dengan waktu paro
panjang biasanya juga memiliki interval konsumsi yang relatif panjang, sehingga pembentukan MR3
tidak perlu
4. Absorbsi rendah. Ingat aturan 5 (rule of five).
5. Absorbsi secara aktif
6. Kelarutan rendah
7. First Pass Effect yang Ekstensif

Sistem Penghantaran Obat

Sistem Penghantaran Obat


A. Pengertian Obat
Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah sediaan atau paduanpaduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi.
Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa
sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.
Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka
farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu
ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis,
dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan
berbagai gejala penyakit. (Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, UniversitasIndonesia)
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi
(Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005).
Obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan
gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh.

Obat merupakan senyawa kimia selain makanan yang bisa mempengaruhi organisme
hidup, yang pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mencegah suatu
penyakit.
Dalam pengertian umum, obat adalah suatu subtansi yang melalui efek kimianya
membawa perubahan dalam fungsi biologi. Pada umumnya, molekul obat berinteraksi dengan
molekul khusus dalam system biologic yang berperan sebagai pengatur disebut molekul
reseptor. Untuk berinteraksi secara kimia dengan reseptornya, molekul obat harus mempunyai
ukuran, muatan listrik, bentuk dan komposisi atom yang sesuai. Selanjutnya obat sering
diberikan pada suatu tempat yang jauh dari tempat bekerjanya misalnya, sebuah pil ditelan
peroral untuk menyembuhkan sakit kepala. Karena itu obat yang diperlukan harus
mempunyai sifat-sifat khusus agar dapat dibawa dari tempat pemberian ke tempat bekerja.
B. Peran obat
Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan
kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan komoditas
perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam
pelayanan kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat
dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Seperti yang telah dituliskan
pada pengertian obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai berikut:
1) Penetapan diagnosa
2) Untuk pencegahan penyakit

3) Menyembuhkan penyakit
4) Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan
5) Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu
6) Peningkatan kesehatan
7) Mengurangi rasa sakit
C. Parameter parameter farmakologi
Farmakokinetika Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib
obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME).
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami
absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek.
Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses
ini disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak seperti yang terlihat pada
gambar 1.1 dibawah ini.

Gambar 1.1. Berbagai proses farmakokinetika obat


1. Absorpsi dan Bioavailabilitas
Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan
obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut.
Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik,
yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen
terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena
untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai
sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian
oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini
disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau
eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi

meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas


menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum
mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan
cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau
memberikannya bersama makanan.
2. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya.
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi
fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik
misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu
mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan
jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama.
Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu
melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak
akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut
dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di
cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat

bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein
plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya
sendiri.Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya
defisiensi protein.
3. Biotransformasi / Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah
menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak
sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi
inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada
obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan
calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan
mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan
letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma
halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua
macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel
jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
4. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar

diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal
merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari
3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi
pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis
perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan
patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut,
tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek
obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu.
Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada
kedokteran forensik.
Farmakodinamika Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia
berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat
ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui
urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai
hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
1. Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu
organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan
fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan
komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat
dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu
fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi
terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen
makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat
tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon, neurotransmitor).
Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa
yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu
agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.
2. Reseptor Obat
Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor dan
aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan
stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan
mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru,
sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan
tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein
seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
3. Transmisi Sinyal Biologis

Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi


ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis
yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di
membran sel atau di dalam sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar.
Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH.
Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal),
tiroksin, vit. D.
4. Interaksi Obat-Reseptor
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya
merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa
ikatan kovalen.
5. Antagonisme Farmakodinamika
Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme
fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat
kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau
penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang
menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau
ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut
obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan.
6. Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini
mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk
ke komponen sel.
7. Efek Obat
Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur (organ)/proses/tingkah laku organisme hidup
akibat kerja obat.

Obat akan bekerja dengan manjur dan aman jika kadarnya berada di atas konsentrasi
minimum efektif (MEC) tetapi di bawah konsentrasi maksimum yang dapat menimbulkan
gejala keracunan (MTC). Makin dekat jarak antara MEC dan MTC, maka
perhitungan farmakokinetika dilakukan dengan teliti.Pada umumnya obat diberikan dalam
bentuk sediaan seperti tablet, kapsul , suspensi dan lain-lain. Suatu bentuk sediaan obat terdiri
dari bahan obat dan bahan-bahan pembantu yang tersusun dalam formula dan diikuti dengan
petunjuk cara proses pembuatan. Kita mengetahui bahwa sangat banyak sediaan farmasi
dengan obat, dosis dan bentuk sediaan yang sama, diproduksi oleh industri-industri farmasi
dengan nama-nama yang berbeda.
Dengan berbagai alasan dari industri-industri, maka umumnya formula sediaan
tersebut berbeda. Pada akhir tahun lima puluhan dan awal tahun enam puluhan bermunculan
laporan, publikasi dan diskusi yang mengemukakan bahwa banyak obat-obat dengan

kandungan, dosis dan bentuk sediaan yang sama dan dikeluarkan oleh industri farmasi yang
berbeda memberikan kemanjuran yang berbeda. Laporan-laporan dan publikasi-publikasi
tersebut menyebabkan munculnya ilmu baru dalam bidang farmasi yaitu biofarmasi.
Riegelman, John Wagner dan Geihard Levy dinamakan sebagai pelopor biofarmasi. Pada
tahun 1961 dalam suatu artikel review di Journal of Pharmaceutical Sciences dikemukakan
definisi dari biofarmasi sebagai berikut Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang
mempelajari hubungan antara sifat-sifat fisiko kimia dari bahan baku obat dan bentuk sediaan
dengan efek terapi sesudah pemberian obat tersebut kepada pasien. Perbedaan sifat fisiko
kimia dari sediaan ditentukan oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan, sedangkan
perbedaan sifat fisiko kimia bahan baku obat dapat berasal dari bentuk bahan baku ( ester ,
garam, kompleks atau polimorfisme) dan ukuran partikel.
Selanjutnya perkembangan ilmu biofarmasi , melihat bentuk sediaan sebagai suatu
drug delivery system yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari sediaannya, absorpsi
dari obat berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang sudah diabsorpsi oleh cairan
tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta eliminasi obat dari tubuh. Sedangkan drug
delivery sistem adalah suatu bentuk sediaan yang melepaskan satu atau lebih bahan
berkhasiat secara kontinyu menurut pola yang telah ditetapkan sebelumnya atau pada organ
sasaran yang spesifik. Sedangkan kecepatan pelepasan obat dipengaruhi oleh bentuk sediaan,
formula dan cara pembuatan sehingga bisa terjadi sebagian obat dilepas disaluran cerna dan
sebagian lagi masih belum dilepas sehingga belum sempat diabsorpsi sudah keluar dari
saluran cerna. Malah sekarang ini pelepasan obat dari sediaan bisa diatur atau dikontrol
sehingga absorpsi bisa terjadi lama di saluran cerna, maka timbulah sediaan farmasi yang
semula dipakai tiga kali sehari menjadi satu kali sehari. Umumnya obat yang sudah terlarut
dalam cairan saluran cerna bisa diabsorpsi oleh dinding saluran cerna, tetapi dilain pihak obat
yang sudah terlarut itu bisa terurai tergantung dari sifatnya , sehingga sudah berkurang obat
yang diabsorpsi.
Sedangkan sistem penghantaran obat yang ideal :
1. satu kali pemberian untuk seluruh periode pengobatan
2. Menghasilkan kadar obat dalam darah yang konstan selama periode waktu tertentu
3. Efek obat optimal.
4. Menghantarkan obat langsung kesasaran (drug targeting)
Sebagai contoh sistem penghantaran obat yaitu sediaan oral ( tablet enziplex ) yang dipakai
digunakan sebagai obat untuk membantu proses pencernaan dan meringankan rasa mual,
kembung, nyeri lambung, dan sebab akibat gangguan pencernaan.
Suatu obat dapat mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk dalam tubuh dengan
jalur yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat diberikan langsung pada tempatnya
bekerja., seperti pemberian topikal obat anti-inflamasi pada kulit atau membran mukosa yang
radang. Dalam keadaan lain obat dapat diberikan intravena dan beredar dalam darah langsung

ke saluran darah bagian tubuh tempat efek obat diharapakan. Lebih umum lagi, obat
diberikan dalam kompartemen tubuh, misalnya usus dan mesti berpindah ketempatnya
bekerja yaitu kompartemen yang lain misalnya otak. Dalam hal ini obat harus diabsorbsi
kedalam darah dari tempat pemberiannya dan didistribusikan ketempatnya bakerja, melalui
permeasi berbagai penghambat yang memisahkan kompartemen ini. Obat yang diberikan
peroral seperti enziplex untuk mendapatkan efek disusunan saraf pusat perlu melewati sawar
seperti didinding usus, dinding kapiler yang mengaliri usus sawar otak-darah yaitu dinding
kapiler yang mengaliri otak. Akhirnya sesudah memberikan efek obat harus dikeluarkan
dengan kecepatan tertentu melalui inaktifasi metabolik, melalui eksresi dari tubuh atau
gabungan kedua proses ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. Drs, Apt. Ilmu Farmasi. 1984. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ansel, C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press
Sanjoyo. Raden. Obat ( Biomedik Farmakologi ). Universitas Gadjah Mada. Diambil tanggal
1 Februari jam 20.00
https://prezi.com/muddezzg38rt/sistem-penghantar-obat-melalui-oral/

Konsep Dasar Penghantaran Obat


Obat yang digunakan pasien menghasilkan efek tertentu yang dihasilkan oleh interaksi obat
dengan reseptor tertentu. Setiap bentuk sediaan obat mempunyai keuntungan dan kerugian
masing-masing. Teknologi pembuatan obat berkembang dan semakin mengarah kepada bentuk
sediaan obat alternative dari parenteral (route: bukal, sublingual, nasal, pulmonary, dan
vaginal)
Bioavailabilitas
Definisi: kecepatan jumlah bahan aktif yang diabsorpsi dan samapi pada tempat kerja sehingga
memberikan respon terapeutik
Tipe-tipe dari epitel , barriers yang menghalangi absorpsi, rote dan mekanisme absorpsi sanga
mempengaruhi terhadap absorpsi obat.
Faktor formulasi juga mempengaruhi disolusi dan bioavailabilitas obat.
Penghantaran Obat dan penargetan
1. Pelepasan Obat terkontrol (Rate controlled release)
Sistem pelepasan obat dengan kecepatan konstan dengan konsentrasi obat dalam darah dan
tidak bervariasi terhadap waktu

2. Diffusion controlled release


Obat harus didifusi melalui membrane polimer atau polimer atau matrik lipid unutk dilepaskan
3. Dissolution controlled release
Pembawa yang membawa obat mengontrol pembebsan obat dengan kecepatan disolusi dari
polimer. Mempunayi 2 tipe iaitu;
a. Resevoir: Obat dikelilingi polimer membrane yang mengandung obat, setelah periode
tertentu polimer membrane akan larut dan melepaskan obat
b. Matrik: Obat didistribusikan kedalam polimer matrik yang akan larut sesuai waktu yang
ditentukan sambil melepaskan obatnya
4. Osmosis controlled drug release
Tekana osmosa dapat digunakan unutk melepaskan obat dengan kecepatan konstan dari
sistim,dimana pelepasan obat dapat diatur dengan orde nol, tidak tergantung lingkungan
5. Mechanical-controlled drug release
Alat seperti penghantaran obat intravena yang biasa digunakan dirumah sakit
6. Bio-responsive controlled drug release
Sistem ini mengatur pelepasan obat sebagai respon unutk mengubah keadaan sekitarnya

Bentuk Sediaan Obat/Pembawa


1. Molekular
Obat berikatan secara kovalen dengan pembawa yang larut air (monoclonal
antibodies,karbohidrat,lectins,immune toxins). Obat ini bekerja secara parenteral
2. Nano dan mikropartikel
Merupakan koloid partikel padat. Pembawa partikulat terdiri daripada polimer sintetik
(maupun polimer alam (albumin,gelatine,amilum)
3. Macrodevices
Antaranya
Parenteral drug delivery

Pompa mekanik,implant

Oral drug delivery

Tablet dan kapsul dengan pelepasan obat terkontrol

Buccal drug delivery

Buccal adhesive patches, film

4. Bentuk sediaan obat ideal


a) kenyaman pasien
b) reproducibility (obat dihantar tepat dan hasil tak berubah)
c) mudah diakhiri (mudah dilepaskan dari akhir aplikasinya)
d) biokompatibilitas dan tidak ada reaksi tambahan
e) waktu kontak yang diperpanjang

Perkembangan Obat Parenteral


Keterbatasan obat parenteral konvensional,dimana pemberian secara intravena
dapat mengurangi indek terapi obat, seperti
1. Distribsi menyeluruh keseluruh tubuh sehingga berlaku pembaziran obat
2. Obat dimetabolisme segera dihati dan organ lain
3. Obat dibersihkan secara cepat dari tubuh melalui ginjal
Komponene unutk penghantaran dan pentargetan obat

Bagian active (active moiety

Untuk mencapai efek terapetik

Sistim pembawa (larutan atau


partikulat)

Unutk perdistribusian obat yang baik


Untuk melindungi obat dari
metabolisme
Unutk melindungi obat dari klirens dini

Ligan/(homing devices)

Untuk menspesifikasikan target obat

Sistem Pembawa paertikulat biasanya mempunyai 3 karakteristik


1. Ukuran: minimum 0,02 m, maksimum 10-30m
2. Semunya mikrodegradabel

3. Obat yang bergabng dengan pembawa , kecepatan pelepasan obatnya dikontrol secara difusi atau
degradasi
Pembawa partikulat;liposom,polimerik misel,pembawa lipoprotein
Penargetan Pasif dan Aktif
1. Penargetan pasif
Penargetan pasif menggunakan pola distribusi pasif (natural) dari pembawa obat dalam tubuh dan
tidak ada ligan pada pembawanya
2. Penargetan aktif
Startegi active targeting menggunakan ligan yang ditempelkan pada pembawa , unutk
menghantarkan ke sel, jaringan atau organ spesisfik. Sistem ini biasanya terdiri dari tiga bahagian;
pembawa,ligan dan obat.

Bentuk Sediaan Obat Implant


Satu unit system penghantaran obat yang dibuat untuk menghantarkan obat dengan kecepatan
tertentu , dengan periode waktu diperpanjang
Impant dapat berbentuk:
1. Polymer (ada degradable dan non-degradable)

2. Mini-pumps (energy secara mekanisme osmosa atau mekanik)


Implant non-degradabel
Terbagi menjadi 2 tipe
1. Reservoir: obat dikelilingi oleh membrane polimer pengontrol kecepatan
2. Matrix: obat didistribusikan kedalam polimer matrix
Obat dilepaskan dengan secara difusi, obat berdifusi melalui polimer
Implant biodegradable
Terbagi menjadi 2 tipe:
1. Reservoir: obat dikelilingi oleh membrane polimer pengontrol kecepatan
2. Matrix: obat didistribusikan kedalam polimer matrix

Implant biodegradable berdegradasi melalui


1. Bioerosi (disolusi bertahap dari matrik polimer)
2. Biodegradasi (degradasi karena proses enzymatic)

Bentuk Sedian Obat Peroral


Sediaan obat peroral merupakan BSO untuk sistemik tang mudah, murah dan banyak digunakan
Teknologi dalam penghantaran obat peroral
1. Tablet salut enteric
Tablet disalaut untuk tahan terhadap cairan lambung tapi akan larut dalam usus kecil
2. Tablet dengan pelepasan terkontrol
Pelepasan obat dapat dikontol sesuai dengan dosis dan waktu yang kita inginkan
3. Tablet dengan pelepasan obat khusus
Pelepasan obat dapat diatur sesuai dengan yang kita inginkan berdasarkan formulasinya
4. Transmukosa
Terbagi kepada:
1. Sublingual - melalui mukosa bawah lidah dan bagian dasar mulut
2. Bukal melalui mukosa dari pipi, gusi dan juga bibir bagian atas/bawah

Penghantaran Obat Transdermal


Pelepasan obat melalui kulit dan bersifat sistemik . obat ini
Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat
1. Startum korneum merupakan penghalang utama
2. Variabilitas daerah permukaan kulit yang ditempel patch
3. Kondisi kulit
4. Umur

5. Iritasi kulit

Penghantaran Obat Intra Nasal


Obat diberi secara intranasal untuk efek local dan pelepasan obat secara sistemik
Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas nasal
1. Luas permukaan unutk absorpsi
2. Aliran darah
3. Waktu kontak
4. Penyakit
5. Aktifitas enzim
6. Mukus
Contoh Obat Intranasal
Pengobatan local
1. Dekongestan
2. Antibiotic
3. Mukolitik
Pengobatan sistemik
1. Analgesik : morfin
2. Antiemetik: metaloclopramide
3. Antiinfeksi : gentamycin, acylclovir
4. Antimigraine: dihydroergotamine
5. Kardiovaskula : propanol, nifedipine
6. CNS stimulant: cocaine , nikotaine
7. Hormon: testosterone, progesterone

8. Sedatif : diazepam, midazolam


9. Vaccine : influenza, polio

Penghantaran Obat Melalui Paru-Paru


Penghantaran obat melalui paru paru digunakan untuk:
1. Mengobati jalan nafas
2. Pengobatan local
3. Menghantar obat kedalam sirkulasi sistemik
Teknologi penghantaran obat melalui paru-paru
Ada 3 tipe aerosol ( system koloid bahan padat/cair didalam gas) untuk terapi inhalasi
1. Nebulizers
Alat yang mengubah larutan atau suspense micronized obat kedalam bentuk aerosol
2. Pressurized metered-dose inhaler
BSO dosis ganda yang dilengkapi dengan katup pengukur dosis yang berhubungan dengan
propellant
3. Dry power inhaler
Obat dalam bentuk serbuk kering aerosol

Penghantaran Obat Melalui Vagina


Pengobatan melalui vagina masih terbatas untuk obat topical dalam perawatan local
Bentuk sediaan obatnya (dengan bantuan aplikator)
1. Ovula
2. Krim
3. Aerosol foams
4. Gels
5. Tablets

6. Vaginal ring
7. Dan lain-lain
BSO sering digunakan kerana:
1. Tidak ada reaksi tambahan
2. Mudah diaplikasikan
3. Terkonsentrasi pada satu tempat
4. Obat tertahan dalam vagina
5. Tidak berbau
6. Tidak menggangu aktifitas sex
Obat yang dihantarkan melalui vagina
1. Estrogen dan progesterone (sebagai kontrasepsi,terapi hormone)
2. Gonadotrophin releasing hormone
3. Nonoxynol-9
4. Vaginal vaccine

Penghantaran Obat Melalui Mata


Ophthalmic drug delivery hanya digunakan untuk pengobatan lokal pada mata.
Route utama pengobatan mata
1. Topical obat diberikan langsung pada conjungtiva (mencegah metabolisme obat)
2. Sistemik pengobatan di bagian posterior mata (saraf ,retina,uveal tract)
3. Intraocular suntikan dan implant, steroid dan antibiotic,pengobatan glaucoma
Route lain ialah
1. Membrane controlled patch

Penghantaran Obat Pada Susunan Saraf Pusat

Obat yang sering digunakan pada penghantaran ini:


1. Obat gangguan jiwa
2. Epilepsy
3. Parkinsons disease
4. Alzheimers disease
5. Nyeri
6. Tumor otak
Obat-obat ini diberikan secara site on action kerana umunya obat tidak dapat masuk kedalam
otak melalui sirkulasi darah.
Penghantaran obat kedalam otak:
1. Intracerebroventricular drug infusion
2. Implant
3. Reversible BBB disruption
4. immunoliposome

Anda mungkin juga menyukai