Anda di halaman 1dari 8

IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SUKU ENGGANO

DI KECAMATAN ENGGANO KABUPATEN BENGKULU UTARA


PROVINSI BENGKULU
Oleh: Harmiati1, Henny Aprianti2, Alexander,3
1

Universitas Prof. DR. Hazairin, SH Bengkulu


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Administrasi Negara

Email: harmiati.m.si1961@gmail.com
Abstrack

Tujuan penelitian ini mengidentifikasi kearifan lokal suku Enggano berkaitan


dengan kepranataan dan potensi lokal yang dapat mendorong penguatan ekonomi
penduduk Enggano. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Enggano meliputi 6
desa yaitu; desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu. Di
desa tersebut berdomisili 5 (lima) suku asli Engggano yaitu; Kaitora, Kaahoao,
Kaharuba, Kaharubi, dan Kauno. Informan penelitian ini ditentukan secara
purposive sampling terdiri dari; ketua suku, kepala pintu suku, kepala desa, camat,
dan pemuka masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bersifat kualitatif. Data primer dikumpulkan dengan wawancara, kuesioner
sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan studi dokumentasi. Teknik analisis
data berupa analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kearifan lokal di pulau Enggano dapat diidentifikasi sebagai berikut; 1) rumah
adat untuk kepala suku (yup kakadie), dan untuk masyarakat biasa (yup keiop),
pesta adat (yakarea), dan upacara pelantikan ketua suku (phaneku), 2) tariantarian seperti; tari perang, tari paema, tari semut, tari pakititih yepe dan tari
kamumun nainey, 3) ikatan kekerabatan (periuk dan kaudar), 4) wilayah kesukuan
tempat bermukim kaum suku, 5) aktivitas gotong royong berupa ; pahitaruai,
pahoahai, paruru nagrai, paruru debu. 6) pranata pengaturan penguasaan lahan
oleh Ketua suku yang sudah berlangsung sejak lama setiap keluarga diberi hak
kepemilikan lahan seluas 2 ha secara gratis. 7) kepercayaan terhadap roh leluhur,
kekuatan magis yang dibawa sejak lahir dari keturuanan suku kahaoa (perihei),
penunggu hutan keramat (hium koek), dan masa berkabung/masa berpantang
(yapuruhie). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi pergeseran
beberapa kearifan lokal suku Enggano, pergeseran ini dipengaruhi oleh keamajuan
teknologi dan pola pikir kaum suku dari kelima suku tersebut yang mengarah
kebutuhan ekonomi. Perubahan yang sangat drastis adalah pranata kepemilikan
tanah yang diatur oleh ketua suku karena terdapat beberapa penduduk yang telah
menguasai tanah dengan jumlah yang sangat luas dengan cara membeli dan
mengurus surat-surat tanah melalui kepala desa dan camat tanpa sepengetahuan
kepala suku.
Kata Kunci: kearifan lokal, suku

1
2
3

Ketua Peneliti Hibah Bersaing tahun 2015


Anggota Peneliti 1
Anggota Peneliti 2

Abstract
This research aims to identify the local wisdom Engganos tribes related to local management and
potency that can boost economic empowerment for Enggano tribes. This research was done on
Enggano sub-districts that encompassed six villages namely; Banjasari, Meok, Apoho, Malakoni,
Kaana and Kahayu domiciled five (5) native Enggano tribes namely; Kaitora, Kaahoao,
Kaharuba, Kaharubi, dan Kauno. The informants in this research were determined using purposive
sampling including tribal chief, tribal door chief, headman, sub-district head and community
leader. The approach applied in this research was qualitative data that consisted of primary and
secondary data. The primary data was gathered using interview and questionnaire while secondary
data was collected employing documentation study. The result of this research revealed that local
wisdom in Enggano island can be identified as follows; 1) custom home for tribe head (yup
kakadie) and ordinary people (yup keiop, traditional feast (yakarea) and inauguration ceremony
chiefs (phaneku), 2) dances such as; perang, paema, semut, pakitith yepe, and kamumun nainey
dances, 3) kinship (periuk and kaudar), 4) tribal area that is a place of settlement for the tribe,
5) mutual cooperation activities namely; pahitaruai, pahoahai, paruru nagrai, and paruru debu,
6) the management regulation of land tenure by tribal chief that have been done since a long time
ago, each family was given 2 ha for land tenure authority without paying, 7) belief to ancestral
spirits, scared forest watchman (hium koek) and period of mourning/periods of abstinence
(yapuruhie). Based on the result of research, it showed that there is a friction that influences
technology and mindset of the tribes from five tribes that direct to economical needs. The drastic
change is the management of land tenure organized by tribe head because it can be found that
some inhabitants have land tenure authority with plentiful area by buying and administering land
document through headman and sub-district head without clearance tribal chief.
Key words : Local wisdom, tribe,

1. PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan perubahan berencana untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, namun derasnya arus globalisasi dan modernisasi secara perlahan-lahan
merubah pola hidup masyarakat berakibat tergerusnya beberapa kearifan lokal. Nilainilai lokal yang dianut dan menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat sedikit
demi sedikit merubah perspektif, gaya hidup, dan perilaku individu. Arus globalisasi
secara perlahan-lahan mengikis nilai-nilai humanisme, ikatan dan hubungan sosial
masyarakat.
Palau Enggano merupakan pulau terpencil dengan sumber daya alam yang
potensial berjarak 90 mil laut dari ibu kota Provinsi Bengkulu dengan luas 40.000 ha.
Secara administratif pulau Enggano terdiri dari satu kecamatan yang dinamakan
kecamatan Enggano (Depdikbud,1990 dalam Hartiman, 1997). Untuk datang ke Pulau
tersebut harus menggunakan kapal Perintis atau Kapal Raja Enggano dengan lama
perjalanan sekitar 24 jam. Namun walaupun terpencil dan terisolir pulau tersebut
mempunyai sumber daya alam kelautan yang potensial untuk dikembangkan dan pada
saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal karena terbatasnya sumber daya manusia
dan masih minimnya infrastruktur yang tersedia.
Di pulau Enggano banyak terdapat kearifan lokal yang menjadi pedoman dalam
berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan secara arif. Kearifan lokal yang mereka
miliki tidak dijadikan bagian dari pengelolaan untuk peningkatan perekonomian
keluarga. Sehingga kebiasaan (folkways) masyarakat berupa kesenian, budaya, dan
sumber daya yang lainnya hanya menjadi kekuatan yang mengikat untuk kaum suku itu
2

sendiri. Kearifan masyarakat dalam interaksinya dengan alam hanya menjadikan


kekuatan normatif yang mengatur komunitas saja karena sifatnya normatif dan tidak
tertulis maka kearifan lokal suku Enggano semakin hari semakin bergeser dari kondisi
yang aslinya. Bahkan kearifan lokal yang dulu pernah ada kemudian mulai menghilang
bahkan tidak dijalankan lagi oleh masyarakat karena perubahan atau pergeseran sistem
nilai sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sangat cepat.
Pengidentifikasian kearifan lokal suku Enggano perlu dilakukan karena belum
terdapat kajian tentang hal ini, suku Enggno juga memiliki kekhasan dari segi sistem
budaya dan pengelolaan lingkungan karena pulau Enggano memiliki rentanitas
kerusakan lingkungan yang tinggi mengingat wilayah berpulau-pulau. Oleh sebab itu,
pendesainan pengelolaan kearifan lokal di kalangan masyarakat desa sangat
membutuhkan pemahaman nilai-nilai budaya dan ekonomi secara menyeluruh dan
mengakar untuk meningkatkan pemanfaatan kearifan lokal sehingga menjadi daya tarik
pendatang untuk menikmati wisata pantai, budaya, wisata alam dan lain sebagainya.
2. METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif,
langsung mengarah pada keadaan dan pelaku-pelaku yang menjadi sasaran. Data yang
diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer
dikumpulkan dengan wawancara dan kuesioner sedangkan data sekunder dikumpulkan
dengan studi dokumentasi. Informan penelitian ini ditentukan secara purposive
sampling Bogdan (1975) terdiri dari; Ketua Suku, Kepala Pintu Suku, Kepala Desa,
Camat, dan Pemuka Masyarakat. Teknik analisis data berupa analisis deskriptif
kualitatif.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


3.1 HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat diidentifikasi kearifan lokal suku Enggano di
Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu sebagai berikut:
1. Rumah Adat, Yakarea, dan Phaneku kahaoa
Rumah adat suku Enggano terbagi menjadi 2 bentuk yaitu; rumah adat untuk ketua
suku Enggano yang berbentuk bulat (yup kakadie) didirikan secara bergotong
royong dengan kaum suku, letak rumah ditengah-tengah pemukiman kaum suku
memiliki satu pintu, satu jendela di kamar, tangganya yang bisa dilepas dan
disimpan. Ruang tamu dan pertemuan dilantai bawah yang tidak diberi dinding dan
cukup luas. Di pulau Enggano hanya terdapat 2 (dua) rumah adat suku Kaitora dan
suk Kauno terletak di desa Meok untuk ketua suku yang ada di pulau Enggano
adalah rumah adat. Diujung tiang utama terdapat kain putih sebagai tanda
penghormatan kepada roh nenek moyang dan mohon izin bagi anak cucu yang akan
menempati. Letak rumah ketua suku berada ditengah-tengah pemukiman bertujuan
untuk mempermudah pengawasan terhadap kaum suku.
Sedangkan rumah adat suku Enggano untuk warga biasa berbentuk persegi (yup
keiop) yang didirikan ditengah-tengah pemukiman kaum suku. Memiliki satu pintu
didepan dan disamping kiri, dua jendela kecil, dan memiliki tangga sandaran yang
bisa dilepas tergantung situasi dan kondisi. Di rumah adat tidak ada simbol-simbol
khusus untuk pemujaan atau lambang kepercayaan.
3

Yakarea merupakan pesta adat yang dilakukan oleh suku Enggano dalam rangka
peresmian rumah adat Enggano. Sebelum upacara yakarea diadakan acara
sumbangan sebagai tanda bergembira diiringi dengan nyanyian-nyayian sambil
membawa
sumbangan ala-kadarnya sebagai pertanda telah adanya saling
kesepahaman.
Phaneku kahaoa merupakan upacara pelantikan ketua suku kahaoa pada acara
pelantikan dilakukan prosesi penyerahan mahkota ke ketua suku sekaligus
penyerahan warisan adat berupa parang satu buah, uang Rp 1000,- dan satu lokasi
kebun kelapa, terok dan durian (surat adat).
2. Tarian
Tari perang, tari paema, tari semut, tari pakititih yepe dan tari kamumun nainey.
Tari perang merupakan tari perdamaian antar suku. Tari paema merupakan
ungkapan rasa gembira karena maksud dan tujuan tercapai, tari semut
melambangkan rasa kesatuan masyarakat dalam menyukseskan pesta agar dalam
pelaksanaannya tidak ada halangan, tari pakititih yepe merupakan tari pembersihan
(bersih desa) dengan tujuan membersihkan kaudar/kampung dari arwah leluhur
yang meninggal di kampung tersebut, tari kamumun nainey adalah tari
kegembiraan disituasi apapun ungkapan spontan gerakan dan pakaian bebas bisa
bergandengan tangan.
3. Periuk dan Kaudar
Periuk adalah merupakan ikatan kekerabatan yang diambil dari keturunan nenek
sesuai dengan garis keturunan matrilineal.
Kaudar terbentuk dari beberapa periuk mendiami suatu daerah tertentu masih satu
suku atau anak suku. Satu kaudar biasannya dihuni minimal 5 (lima) periuk dengan
rata-rata satu periuk lima orang anak dan 25 (dua puluh lima) cucu.
4. Wilayah Kesukuan
Wilayah kesukuan yang dimiliki oleh masing-masing suku Enggano disepakati
oleh Ketua suku yaitu; suku Kaitora wilayah kesukuannya di kampung tengah
(Meok), wilayah kesukuan Kauno di sekitar desa Meok, wilayah kesukuan Kahaoa
wilayahnya di desa Apoho, wilayah kesukuan Kaarubi disekitar desa Kaana, dan
wilayah kesukuan Kaaruba disekitar desa Malakoni. Tempat tinggal berdasarkan
wilayah kesukuan mengalami pergeseran karena dari pola perkawinan aksorilokal
menjadi patrilokal. Kebiasaan adat suku Enggano dalam anak yang baru menikah
mengikuti pola aksorilokal kaum laki-laki mengikuti kaudar isterinya sebagai
tempat menetap karena mengikuti garis keturunan ibu atau materilinial. Akan tetapi,
pada saat sekarang ini banyak orang Enggano yang baru menikah tinggal di
kaudar suaminya namun garis keturunannya tetap mengikuti garis keturunan
ibunya, hak dan kewajiban tetap dipatuhi oleh suku tersebut (Ekorusyono 2013).
5. Aktivitas Gotong Royong
Aktivitas gotong royong sejak nenek moyang telah berlangsung dan memiliki
berbagai macam bentuk yaitu; pahitaruai, pahoahai, paruru nagrai, paruru debu
sebagaimana uraian berikut;
Pahitaruai merupakan aktivitas tolong menolong bidang pertanian dengan cara
bergotong royong dalam mengerjakan tanah pertanian pada waktu menanam padi.

Dalam pahitarua, beberapa orang, biasanya enam sampai dua puluh orang,
bermufakat untuk secara bergantian mengerjakan tanah pertanian bersama-sama.
Pahoahai, adalah bantuan pribadi merupakan kegiatan tolong-menolong khusus
membantu seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan kelompok secara bersamasama, berbagai jenis pekerjaan, baik dalam bidang pertanian, perikanan atau dalam
pekerjaan-pekerjaan di sekitar rumah tangga. Seseorang yang meminta bantuan
tenaga dalam berkewajiban untuk menjamu makan orang-orang yang telah
membantunya.
Paruru nagrai adalah cara tolong menolong diantara sesama warga suatu untuk mau
membiayai suatu pesta atau upacara yang harus diselenggarakan oleh salah satu
warganya. Paruru nangrai biasanya dilakukan seseorang meyelenggarakan pesta
perkawinan atau pesta kalea (pesta besar).
Paruru debu adalah jenis gotong royong yang berarti mengumpulkan barang. Hal
semacam ini dilakukan untuk menolong pihak laki-laki yang akan menikah.
Melalui kepala sukunya memberi tahu bahwa akan dilakukan paruru debu pada
hari tertentu. Kemudian para kerabat akan datang ke rumah calon pengantin lakilaki untuk mengantarkan barang berupa beras, minyak dll. Kepala suku
menugaskan orang tertentu untuk mencatat sumbangan yang telah diberikan warga
kepada orang tua calon mempelai laki-laki. Setelah bahan-bahan terkumpul maka
keluarga pihak laki-laki mengantarkannya kepala pihak keluarga perempuan untuk
acara pesta pernikahan.
6. Kekuatan Magis
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang telah mengakar dalam alam bawah sadar
penduduk asli Enggano. Mahluk penunggu diteluk Kinen adalah salah satu roh
leluhur yang sangat dihormati. Roh leluhur oleh masyarakat Enggano diyakini
memberi perlindungan, keselamatan, dan menjauhkan mereka dari segala bahaya.
Roh leluhur tempat mengadu dan meminta pertolongan untuk keluar dari segala
macam kesulitan pada saat kegiatan penting seperti; membangun rumah, membuka
lahan baru, memanen tanaman, membuat jalan, dan berpergian sendirian maupun
rombongan selalu meminta izin dan restu dari roh leluhur.
Perihei merupakan kekuatan magis yang dimiliki oleh suku Enggano dari suku
Kahaoa yang dibawa sejak lahir dari lewat jalur ibu. Perihei dapat berlaku pada
manusia, binatang, atau pun tanaman.
Hium koek mahluk asing penunggu hutan keramat, laut, dan tanah-tanah tertentu;
Kook tidak menggangu manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu, namun
kalau ada yang menggangu kediamannya akan mendapat bala dan gangguan yang
tidak bisa diobati secara medis. Oleh sebab itu hutan keramat, pohon-pohon tertentu
dilarang untuk ditebang, dilarang berkata sombong dan dilarang keluar rumah
diwaktu magrib.
7. Pranata Pengaturan Penguasaan Lahan
Pranata pengaturan penguasaan lahan telah diatur oleh Ketua suku bahwa setiap
keluarga diberi hak kepemilikan lahan seluas 2 ha secara gratis, pemberian tanah
tersebut dilakukan melalui upacara adat yang disaksikan oleh masyarakat
sekitarnya ditandai dengan penyerahan satu buah kampak sebagai tanda bahwa
tanah tersebut telah diserahkan kepada seseorang. Semua penduduk tidak
diperkenankan untuk memiliki tanah lebih dari 2 ha dengan maksud untuk
5

menyediakan tanah bagi keturunan suku Enggano selanjutnya, tujuan lain adalah
untuk menjaga kelestarian alam di Pulau Enggano karena pulau tersebut merupakan
pulau kecil yang rentan dengan kerusakan.
8. Yapuruhie
Yapuruhie masa berkabung/berpantang apabila ada warga yang meninggal, terdapat
beberapa larangan atau kegiatan selama masa berpantang yang tabu dilaksanakan
berkaitan dengan kematian selama 3 (tiga) minggu atau sampai 40 (empat puluh)
hari setelah kematian tidak diperkenankan ada pernikahan diantara warga, dilarang
keras melakukan penyelewengan seperti zina, dan bergembira bermain gitar,
bernyanyi atau berbicara keras selama masa berpantang. Kalau terjadi pelanggaran
terhadap pantangan maka yang melanggar harus membayar denda (eparaba
uwai) sebesar Rp 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) denda diserahkan kepada
ahli waris yang tertimpa musibah dan 100.000 (sertatus ribu) diserahkan pada
sukunya atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kalau terjadi lagi pelanggaran
oleh orang atau sekelompok orang yang sama maka pelanggar akan diusir dari
Enggano. Masa pantangan akan berakhir setelah diadakan selamatan (perbuki).
3.2. PEMBAHASAN
Kearifan lokal terbentuk dari perilaku, kebiasaan, norma, dan kelembagaan
masyarakat. Pergeseran dan perubahan karakteristik kearifan lokal sangat dipengaruhi
oleh sistem sosial, ekonomi dan budaya. Derasnya arus globalisasi berakibat pada
perubahan pola dan perilaku masyarakat karena mereka belum dapat mengembangkan
dan memanfaatkan kearifan lokal sebagai modal untuk mendukung penguatan ekonomi
keluarga. Pola kehidupan masyarakat mengalami pergeseran dari cara-cara hidup yang
tradisional menuju masyarakat modern dan secara perlahan-lahan kearifan lokal yang
mereka miliki yang menjadi bagian dari hidup mereka berubah bentuk bahkan hilang
ditengah tengah hiruk pikuk kehidupan masyarakat transisi. Kondisi ini membutuhkan
perlakuan yang arif dalam merumuskan pola-pola yang paling tepat untuk
mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal yang dapat menjadi penguatan
ekonomi.
Usaha pengembangan dan pelestarian kearifan lokal memerlukan pengelolaan
secara bersama baik masyarakat adat, pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten serta
penduduk pendatang. Penginisiasian sistem hukum yang baik harus tumbuh dan berakar
kuat dalam masyarakat dengan didorong dari berbagai pihak, sebagai contoh; pranata
kepemilikan lahan yang telah disepakati oleh kelima ketua suku di kecamatan Enggano
mengalami perubahan secara drastis. Pranata yang telah diatur oleh ketua suku bahwa
setiap kepala keluarga yang tinggal menetap di pulau Enggano diberi lahan oleh ketua
suku seluas 2 ha melalui upacara adat disertai dengan pemberian kampak disaksikan
oleh kaum suku sekitarnya (Harmiati dkk2011). Pemberian lahan oleh ketua suku ini
tidak disertai oleh surat-surat tanah, sebagai bukti mereka telah memiliki tanah secara
sah bukti kepemilikan tanah. Hal ini yang menjadi permasalahan bagi masyarakat dan
kaum suku karena pemerintah mengakui bukti sah kepemilikan tanah adalah surat-surat
tanah seperti akta jual beli atau sertifikat tanah dari kecamatan dan dari Badan
Pertanahan Kabupaten Bengkulu Utara. Dalam hal ini ketua suku semakin tidak berdaya
walaupun pranata kepemilikan lahan sudah diatur dengan kesepakatan ketua-ketua suku
di Enggano.

Dalam pengelolaan sumber daya alam terutama tentang kelautan juga terjadi
pergeseran dan muncul kecenderungan yang semakin menguat terkait dengan pola
perekonomian mengarah kepada bentuk tindakan yang spekulatif dan eksploitatif
terhadap sumber daya alam. Dalam hal ini ketua suku semakin tidak berdaya walaupun
pranata pengolahan sumber daya laut seperti larangan menggunakan bom dilaut, kapal
besar menyapu semua benih-benih ikan dilaut dan alat berbahaya yang lainnya. Ketua
suku tidak berdaya dalam menghadapi permasalahan ini padahal sumber penghidupan
kaum suku di pulau Enggano sebagian besar dari laut hal inilah yang menjadi
pertimbangan ketua suku dalam melestarikan sumber daya laut sehingga kehidupan
anak cucu suku Enggano dapat berkelanjutan. Ketua suku dan kaum suku pihak yang
selalu kalah dalam mempertahankan hak dan terkadang dikalahkan dengan alasan
kawasan diperlukan untuk kepentingan umum dan pembanguan hal ini sesuai dengan
(Iskandar, 1999).
Sistem pengetahuan lokal, kearifan lokal dapat dipadukan dengan pelestarian
nilai-nilai lokal. Kerjasama ketua suku, kaum suku, pemerintah desa, BPD, dan camat
Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara merupakan sala satu cara mengatasi untuk
masalah ketidakpatuhan masyarakat dalam pranata tentang kepemilikan lahan dan
penangkapan ikan di laut secara lestari. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengelolaan
bersama, hal ini perlu dilakukan pendekatan sistem pada tingkat lokal dan negara.
Pengelolaan bersama meliputi pembagian kekuasaan yang sesungguhnya antara ketua
suku di pulau Enggano dan pemerintah. Sehingga masing-masing dapat mengontrol
penyimpangan yang terjadi. Menurut Mitchel et al (2000) apabila sumber daya dikelola
secara lokal sebagian besar kewenangan diserahkan kepada masyarakat lokal yang
didukung oleh pengakuan pemerintah.
4. KESIMPULAN
Dari uraian hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diidentifikasi kearifan
lokal suku Enggano sebagai berikut;
1. Kearifan lokal yang teridentifikasi hanya pada tataran kebiasaan (folkways)
namun ide-ide, nilai, nilai yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
alam telah mementingkan kelestarian sumber daya alam
2. Terdapat berbagai macam kearifan lokal suku Enggano akan tetapi belum
dapat dimanfaatkan untuk penguatan ekonomi keluarga, karena masih
terbatasnya sumber daya dalam pengelolaan kearifan lokal.
3. Terjadi pergeseran beberapa kearifan lokal suku Enggano berkaitan dengan
pranata kepemilikan tanah yang selama ini diatur oleh ketua suku, akan tetapi
sekarang pola pengusaan tanah telah diatur oleh pemerintah.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Tujuan penelitian ini mengidentifikasi kearifan lokal suku Enggano berkaitan
dengan kepranataan dan potensi lokal yang dapat mendorong penguatan ekonomi
penduduk Enggno. Pengidentifikasian kearifan lokal suku Enggano perlu dilakukan karena
belum ada penkajian tentang kearifan lokal suku Enggano. Selama pelaksanaan penelitian
banyak hal yang menghambat, terutama masalah transportasi ke lokasi penelitian.
Walaupun demikian, syukur alhamdulilah akhirnya penelitian dapat berjalan sesuai waktu
yang telah ditetapkan. Dalam kesempatan ini, kami juga mengucapkan terima kasih kepada
Direktur Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan
7

Tinggi Departemen Riset dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai pelaksanaan
penelitian ini, Rektor Universitas Prof. DR. Hazairin, SH Bengkulu, Ketua Lembaga
Penelitian Universitas Prof. DR. Hazairin, SH Bengkulu, Camat Kecamatan Enggano
Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Para Ketua Suku, Kepala Pintu Suku di
pulau Enggano, Para Kepala Desa di Wilayah Pulau Enggano Akhirnya kami juga
mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan masukan-masukan yang konstruktif
agar dapat meningkatkan kualitas penelitian kami di masa yang akan datang. Semoga
penelitian ini bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Andi M. Akhmar dan Syarifuddin, 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi
Selatan, PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian
Negara Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press, Makasar
Ekorosyono, 2013, Mengenal Budaya Enggano, Penerbit Buku Litera.
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor
1975

Introduction To Qualitative Research Method, New York: John Willey


Sons.

Harmiati, 2011, Model Pemberdayaan Suku Asli Enggano di Kecamatan Enggano


Kabupaten Bengkulu Utara, LPPM UNIHAZ
-----------, 2008, Model Pemberdayaan Transmigran Lokal
dalam Peningkatan
Kesejahteraan Keluarga di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara,
LPPM UNIHAZ
Hartiman, Andry Harijanto, 1997, Perkawinan Adat dalam Persfektif Antropologi Hukum:
Studi Kasus Perdamaian Adat Sebagai Syarat Perkawinan Di Kecamatan Pulau
Enggano, dalam Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu,
No. Edisi Ke VI, Tanggal 6 Januari 1997, hal. 52-64.
Mitchell, B., B. Setiawan dan D.H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumber daya dan
Lingkungan. GMUP. Yogjakarta. 498 hal.

Anda mungkin juga menyukai