Anda di halaman 1dari 28

Preeklampsia

A. Defisini Preeklampsia
Preeklampsia

merupakan

sindrom

spesifik-kehamilan

berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang


ditandai dengan hipertensi dan proteinuria pada umur kehamilan diatas 20
minggu, paling banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi
dapat juga timbul kapan saja pada pertengahan kehamilan. Saat ini edema
pada wanita hamil dianggap hal yang biasa dan tidak spesifik dalam
diagnosis preeklampsia. (Cunningham, 2014, National Insitute of Health
Working Group on Blood Pressure on Pregnancy). Preeklampsia dapat
berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat.
Penjelasan tambahan :
1. hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang
4 jam.
2. Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam
atau sama dengan 1+ dipstick.
3. Edema, dahulu edema tungkai,

dipakai

sebagai

tanda-tanda

preeklampsia tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali


edema generalisata (anasarka).

B. Faktor Risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut.
1. Primigravida
2. Hiperplasentosis

3. Umur yang ekstrim


4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas

C. Klasifikasi
Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia
berat :
1. Preeklampsia ringan
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasrakan atas timbulnya
hipertensi diserta proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20
minggu.
Dikatakan preeklampsia ringan bila :
a. Hipertensi : sistolik/diastolik 140/90 mmHg
b. Proteinuria: 300mg/24 jam atau 1 + dipstik
c. Edema

Edema

lokal

tidak

dimasukkan

dalam

kriteria

preeklampsia, kecuali edema pada lengan, muka dan


perut, edema generalisata.
2. Preeklampsia berat
Diagnosis
sebagaimana

ditegakkan
tercantum

berdasarkan
dibawah

kriteria
ini.

preeklampsia

Preeklampsia

berat

digolongkan

preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut :
a. Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 110
mmHg

b. Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan


kuantitatif
c. Bisa disertai dengan :
- Oliguria, yaitu produksi urine < 500 cc/24jam
- Kenaikan kadar kreatinin plasma
- Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma dan pandangan kabur
- Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
- Edema pulmonal dan sianosis
- Trombositopenia berat :

< 100.000 sel/mm3 atau penurunan

trombosit dengan cepat.


- Pertumbuhan janin intrauterine yang terlambat
- Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular) : peningkatan
kadar alanin dan aspartate aminotransferase
- Sindroma HELLP
Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai dengan
adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.
Preklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:
a. Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b. Preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut impending
eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala impending di
antaranya nyeri kepala hebat, gangguan visus, mual dan muntah, nyeri
epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.

10

2.1.3 Insidensi
Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena
banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial
ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Di Indonesia frekuensi kejadian
preeklampsia sekitar 3-10%, sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan
bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan, yaitu
23,6 kasus per 1.000 kelahiran (Rozhikan, 2007).
Menurut penelitian retrospective study yang dilakukan oleh Ozkan S
dkk dari bulan Juni 1997 sampai tahun 2004 di Kocaeli University, Turkey
bagian obstetri dan ginekologi, dari 5,155 persalinan selama masa periode
tersebut, ditemukan 438 kasus (8,49%) adalah hipertensi dalam kehamilan.
Dari 438 kasus hipetensi dalam kehamilan, terdapat 255 kasus yang
memenuhi kriteria inklusi. Dari 255 kasus tersebut, ditemukan 138 pasien
(54,11%) dengan preeklampsia berat, 88 pasien (34,50%) dengan
preeklampsia ringan, dan 29 pasien (11,37%) dengan hipertensi kronik. Dari
138 preeklampsia berat, ditemukan 28 kasus (11%) eklampsia, 28 kasus
(11%) sindroma HELLP. Selain itu dari seluruh kasus yang ditemukan, 75
kasus (29,4%) mengalami IUGR, 49 (19,2%) oligohidramnion, dan 19
(7,5%) solusio plasenta. Selain itu , dilaporkan juga cara persalinan, dari
255 kasus hipertensi dalam kehamilan, 105 pasien (41,2%) melahirkan
normal, sedangkan 150 pasien (58,8%) melahirkan secara caesar dengan
indikasi terbanyak adalah gawat janin, yaitu 69 kasus (46%). Ibu yang

11

melahirkan secara sectio cesarea ditemukan paling banyak pada kasus


preeklampsia berat yaitu sebesar (63,8%).
Kematian ibu ditemukan 3 kasus (1,2%) dan ketiganya disebabkan
komplikasi sindroma HELLP. Selain

kematian ibu, kematian janin

intrauterine juga ditemukan sebanyak 24 kasus (Ycesoy G dkk, 2005).


Tabel 1. Angka Kejadian Preeklampsia di Beberapa Rumah Sakit di
Indonesia
Tahun
Rumah Sakit
1993-1997
RSPM
1995-1998
RSHS
2000-2002
RSHAM-RSPM
2002
RSCM
(Dikutip dari Roesadhim, 2006).

Persen (%)
5,75
13,0
7,0
9,17

Penulis
Simanjuntak J.
Maizia
Girsang E.
Priyatini

Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUP Dr. Mohammad


Hoesin Palembang, kejadian preeklampsia berat pada tahun 2005 yaitu
terdapat 203 kasus dari 1.710 persalinan (11,9%), pada tahun 2006 yaitu
272 kasus dari 2.578 persalinan (10,5%) dan pada tahun 2007 yaitu 243
kasus dari 2.463 persalinan (9,9%) sedangkan di RSU dr. H. Abdoel
Moeloek bandar lampung pada tahun 2007, tercatat sebanyak 141 kasus
PEB (4,22%) dari 3.337 persalinan, pada tahun 2008 kejadian PEB
meningkat menjadi 213 kasus dari 2.789 persalinan (7,63%) yang terjadi
di ruang delima RSU dr. H. Abdoel Moeloek bandar lampug (medical
record ruang delima,2009).

2.1.4 Faktor-Faktor Risiko

12

Faktor risiko preeklampsia meliputi kondisi medis yang berpotensi


menyebabkan kelainan mikrovaskular, seperti diabetes melitus, hipertensi
kronis dan kelainan vaskular serta jaringan ikat, sindrom antibodi fosfolipid
dan nefropati. Faktor risiko lain berhubungan dengan kehamilan atau dapat
spesifik terhadap ibu atau ayah dari janin. Berbagai faktor risiko preeklampsia
adalah sebagai berikut (American Family Physician, 2004):
1. Faktor yang berhubungan dengan kehamilan
a. Kelainan kromosom
b. Mola Hydatidosa
c. Hydrops fetals
d. Kehamilan multifetus

2. Faktor spesifik maternal


a. Primigravida
b. Usia < 20 tahun atau usia > 35 tahun
c. Ras kulit hitam
d. Riwayat preeklampsia pada keluarga
e. Status gizi
f. Pekerjaan
g. Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
h. Kondisi medis khusus: diabetes gestasional, diabetes tipe 1, obesitas,
hipertensi kronis, penyakit ginjal, trombofilia
i. Stres

13

3. Faktor spesifik paternal


a. Primipaternitas
b. Partner pria yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan
mengalami preeklampsia

2.1.5 Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Terdapat

banyak

teori

yang

ingin

menjelaskan

tentang

penyebab

preeklampsia namun hingga kini belum ada yang memuaskan sehingga


Zweifel menyebut preeklampsia sebagai the disease of theories. Adapun
teori-teori yang ada saat ini adalah (Angsar, 2010) :

2.1.5.1 Teori vaskularisasi plasenta


Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran
darah dari cabang cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus
miometrium dan menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri
radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis
memberi cabang arteri spiralis. Pada kehamilan proliferasi tropoblas akan
menginvasi desidua dan miometrium dalam 2 tahap. Pertama, sel sel
trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti
endotel, merusak jaringan elastis pada tunica media dan jaringan otot polos
dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan materi fibrinoid. Proses

14

ini selesai pada akhir trisemester I dan pada masa ini proses tersebut telah
sampai pada deciduomyometrial junction. Pada usia kehamilan 14-16
minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel trofoblas dimana sel-sel trofoblas
tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga kedalam
miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu
penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan
material fibrinoid dinding arteri. Akhir dari invasi trofoblas ini akan
menimbulkan distensi lapisan otot arteri spiralis akibat degenerasi, dan juga
vasodilatasi arteri spiralis, pembuluh darah menjadi berdinding tipis, lemas
dan berbentuk seperti kantong sehingga akan terjadi dilatasi secara pasif
sehingga dapat menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang
meningkat pada kehamilan. yang kemudian akan memberikan dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan
aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup
banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga menjamin
pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri
spiralis. Pada preeklamsia terjadi kegagalan remodelling menyebabkan
arteri spiralis menjadi kaku dan keras sehingga arteri spiralis tidak
mengalami distensi dan vasodilatasi yang akibatnya aliran darah utero
plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Kegagalan
tersebut dapat terjadi karena 2 hal yaitu:
1. Tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas.

15

2. Pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap pertama


invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap ke dua tidak
berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam
miometrium tetap mempunyai dinding muskulo-elastik yang reaktif
yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler. Akibatnya terjadi
gangguan alirah darah di daerah intervili yang menyebabkan
penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini dapat menimbulkan
iskemik dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya
pertumbuhan bayi intra uterine (IUGR), asfiksia neonatorum hingga
kematian bayi.

2.1.5.2 Teori Iskemik Plasenta dan Radikal Bebas


Seperti yang sudah dijelaskan di teori vaskularisasi plasenta bahwa
kelainan yang terjadi pada preeklampsia terjadi pada plasenta di mana
terdapat invasi trofoblas yang tidak adekuat pada arteri spiralis yang
akhirnya menyebabkan kegagalan remodelling arteri spiralis. Kegagalan
tersebut akan membuat hipoperfusi plasenta dengan akibat iskemia plasenta.
Hal ini merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (OH) yang dianggap sebagai toksin. Radikal hidroksil akan merusak
membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Peroksida lemak juga akan merusak nukleus dan protein
sel endotel.

16

(A)

(B)

Gambar : Sirkulasi uteroplasenta pada kehamilan normal danpreeklampsia.


Pada gambar di atas (A) :
kehamilan normal terjadi perubahan pada cabang arteri spiralis dari
dinding otot yang tebal menjadi dinding pembuluh darah yang lunak
sehingga

memungkinkan

terjadinya

sejumlah

aliran

darah

ke

uteroplasenta.
Sedangkan pada gambar (B) :
preeklampsia, perubahan arteri spiralis ini tidak terjadi dengan sempurna
sehingga dinding otot tetap kaku dan sempit dan akibatnya akan terjadi
penurunan aliran darah ke sirkulasi uteroplasenta yang mengakibatkan
hipoksia. (Cunningham, 2005).

2.1.5.3 Teori Disfungsi Endotel


Disfungsi endotel adalah keadaan dimana terjadi kerusakan membran sel
endotel yang mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya

17

seluruh struktur sel endotel. Pada keadaan ini didapatkan adanya ketidak
seimbangan

antara

faktor

vasodilatasi

dan

vasokontriksi.

Endotel

menghasilkan zat-zat penting yang bersifat relaksasi pembuluh darah, seperti


nitric oxide (NO) dan prostasiklin (PGE2). Prostasiklin merupakan suatu
prostaglandin yang dihasilkan di sel sel epitel yang berasal dari asam
arakidonat

dimana

dalam

pembuatannya

di

katalisir

oleh

enzim

siklooksigenasi. Prostasiklin akan meningkatan cAMP intraselular pada sel otot


polos dan trombosit yang memiliki efek vasodilator dan anti agregasi
trombosit. Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam
arakidonat

dengan

bantuan

siklooginase.

Trombosan

memiliki

efek

vasokontriktor dan agregasi trombosit. Prostasiklin dan trombosan A2 memiliki


efek yang berlawanan dalam mekanisme yang mengatur trombosit dan dinding
pembuluh darah.
Pada kehamilan normal terdapat kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu,
plasenta dan janin. Pada preeklampsia terjadinya kerusakan endotel akan
menyebabkan terjadinya penurunan produksi prostasiklin karena endotel
merupakan tempat terbentuknya prostasiklin dan sebagai kompensasinya
tromboksan A2 akan ditingkatkan.
Selain itu, kerusakan endotel juga menyebabkan terjadinya peningkatan
endotelin sebagai vasokontriktor dan penurunan nitric oxide (NO) sebagai
vasodilator dan memegang fungsi penting dalam regulasi fungsi ginjal dan
tekanan

arterial pembuluh darah. Ini akan menyebabkan terjadinya

peningkatan tahanan perifer yang pada akhirnya akan memicu preeklampsia.


18

2.15.4. Teori Genetik


Faktor
preeklampsia.

genetik
Telah

di

duga

dilaporkan

turut
adanya

berperan

dalam

peningkatan

patogenesis

angka

kejadian

preeklampsia pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang menderita


preeklampsia. Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada
penderita preeklampsia adalah peningkatan Human leukocyte antigen (HLA).
Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara histokompatibilitas antigen
HLA-DR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga wanita hamil yang mempunyai
HLA dengan haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi
menderita preeklampsia dan pertumbuhan janin terhambat dibandingkan
dengan wanita hamil yang tidak memmiliki haplotipe tersebut.
Gen resesif tunggal dikatakan juga mungkin berperan dalam
preeklampsia. Telah terdapat peningkatan prevalensi preeklampsia pada anak
perempuan yang lahir dari ibu yang menderita preeklampsia menandakan
adanya pengaruh genotip fetus terhadap kejadian preeklampsia. Meskipun
faktor genetik nampaknya berperan pada preeklampsia, akan tetapi
manifestasinya pada penyakit ini belum dapat diterangkan secara jelas.

2.1.5.5 Teori Imunologis


Sistem imun diduga berperan penting dalam perkembang preeklampsia.
Teori ini didukung oleh peningkatan insiden preekampsia-eklampsia pada
primigravida dan ibu hamil dari pasangan yang baru. Hal ini dapat diterangkan

19

pada kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap


antigen plasenta tidak sempurna dan akan makin sempurna pada kehamilan
berikutnya. Pada wanita normal respon imun tidak menolak adanya hasil
konsepsi

yang

bersifat

asing.

Hal

ini

disebabkan

adanya

Human

Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) yang dapat melindungi trofoblas janin


dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. HLA-G juga akan mempermudah
invasi sel trofoblas kedalam jaringan desidua ibu. Pada plasenta ibu yang
mengalami pre eklamsia terjadi ekspresi penurunan HLA-G yang akan
mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi
trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur
sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi
Immune-Maladaptation pada pre eklampsia.

2.1.5.6 Teori Adaptasi Kardiovaskular


Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan
vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan
vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respon vasokonstriksi. Refrakter ini terjadi akibat adanya sintesis
prostalglandin oleh sel endotel. Pada preeklampsia terjadi kehilangan
kemampuan refrakter terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah
menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah akan
mengalami vasokonstriksi dan mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan.

20

2.1.5.7 Teori Stimulasi Inflamasi


Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda
dengan proses apoptosis pada pre eklampsia, dimana pada pre eklampsia
terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris trofoblas dan
nekrorik trofoblas juga meningkat. Keadaan ini mengakibatkan respon
inflamasi yang besar juga. Respon inflamasi akan mengaktifasi sel endotel dan
sel makrofag dan granulosit, sehingga terjadi reaksi inflamasi menimbulkan
gejala-gejala preeklampsia pada ibu.

2.1.6 Patofisiologi
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan
patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh
vasospasme dan iskemia (Cunningham, 2005). Wanita dengan hipertensi pada
kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi
endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan
vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit
saraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju
filtrasi

glomerulus

dan

proteinuria.

Kerusakan

hepar

dari

nekrosis

hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati.


Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular,
meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer.

21

Peningkatan

hemolisis

microangiopati

menyebabkan

anemia

dan

trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan


pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.
Perubahan organ-organ yaitu:
1. Perubahan kardiovaskuler
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia
dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara
nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan
atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid
intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang
ektravaskular terutama paru (Cunningham, 2005).
2. Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklampsia tidak
diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada
penderita preeklampsia dan eklampsia daripada pada wanita hamil biasa atau
penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini
disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali
tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan
perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan
klorida dalam serum biasanya dalam batas normal (Wiknjosastro, 2006).

22

3. Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu atau
beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina
yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan
berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Skotoma,
diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang
menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah pada pusat penglihatan di korteks serebri maupun
didalam retina (Wiknjosastro, 2006).
4.Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi.
Jika autoregulasi tidak berfungsi, penghubung penguat endotel akan terbuka
menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular.
Pada keadaan selanjutnya dapat ditemukan pendarahan. Selain itu ditemukan
juga edema-edema dan anemia pada korteks serebri (Wiknjosastro, 2006).
5. Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia dan
merupakan penyebab utama kematian (Wiknjosastro, 2006). Edema paru
biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang mengalami kelainan
pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses persalinan. Hal ini terjadi
karena peningkatan cairan yang sangat banyak, penurunan tekanan onkotik
koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti
darah yang hilang, dan penurunan albumin yang diproduksi oleh hati.
23

6. Hati
Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar,
perlambatan ekskresi bromosulfoftalein, dan peningkatan kadar aspartat
aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum
disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar menyebabkan
terjadinya peningkatan enzim hati didalam serum. Perdarahan pada lesi ini
dapat mengakibatkan ruptur hepatika, menyebar di bawah kapsul hepar dan
membentuk hematom subkapsular (Cunningham, 2005).
7. Ginjal
Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis,
yaitu pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan
penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma
biasanya meningkat terutama pada preeklampsia berat. Pada sebagian besar
wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju
filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma
sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan
kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus
preeklampsia berat, kreatinin plasma meningkat beberapa kali lipat dari nilai
normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan
perubahan intrinsik ginjal akibat vasospasme yang hebat (Cunningham, 2005).
Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi garam dan
air. Retensi garam dan air terjadi karena penurunan laju filtrasi natrium di

24

glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada pasien preeklampsia terjadi


penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di
tubulus (Cunningham, 2005). Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa
glomerulopati, terjadi karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian
besar protein dengan berat molekul tinggi, misalnya: hemoglobin, globulin, dan
transferin. Protein protein molekul ini tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus.
8. Darah
Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi intravaskular (DIC)
dan destruksi pada eritrosit (Cunningham, 2005). Trombositopenia merupakan
kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/l
ditemukan pada 15 20 % pasien. Level fibrinogen meningkat pada pasien
preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal.
Jika ditemukan level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia,
biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya
(placental abruption). Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dapat
terjadi HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. ditemukan level fibrinogen
yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya berhubungan dengan
terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).
9. Plasenta dan Uterus
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta.
Pada hipertensi yang lama pertumbuhan janin akan tergangggu, pada hipertensi
yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin bahkan kematian karena kekurangan

25

oksigenasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering


didapatkan pada preeklampsia, sehingga mudah terjadi partus prematurus
(Angsar, 2010).

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama adalah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan eklampsia.
Komplikasi yang dapat terjadi pada preeklampsia berat diantaranya adalah
(Wiknjosastro, 2006) :

2.1.7.1 Pada Ibu


1. Eklampsia
Eklampsia merupakan komplikasi serius dari kehamilan ditandai dengan
timbulnya satu atau lebih kejang yang berhubungan dengan sindrom
preeklampsia. Eklampsia, ialah kejadian akut pada wanita hamil, dalam
persalinan, atau nifas yang ditandai dengan adanya gejala atau tanda
preeklampsia disertai dengan kejang atau koma. Eklampsia sering timbul
pada trimester terakhir kehamilan dan semakin sering terjadi apabila
kehamilan mendekati aterm. Tanda khas eklampsia yaitu adanya kejang
tonik-klonik yang timbul pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan.
Kejang pada eklampsia biasanya terjadi akibat oedema otak yang luas, yang
terjadi akibat peningkatan tekanan darah yang mendadak dan tinggi yang
akan menyebabkan kegagalan autoregulasi aliran darah. Sebelum serangan

26

kejang pada eklampsia biasanya didahului oleh kumpulan gejala impending


yang dapat berupa nyeri epigastrium, penglihatan kabur, dyspnea, sakit
kepala, nausea dan vomitting, dan sctoma. Jika gejala tersebut tidak segera
ditanggulangi maka akan timbul kejang. Kejang pada eklampsia dibagi
menjadi empat fase, yaitu:
I. Stadium Premonitory
Fase ini terjadi 30 detik, biasanya tidak diketahui kecuali dengan monitoring
secara konstan. Fase ini ditandai dengan tegang pada tangan dan otot muka
serta mata berputar.
II. Stadium Kejang Tonik
Segera setelah fase premonitory tangan yang tegang berubah menjadi
mengepal. Terkadang ibu menggigit lidah seiring dengan ibu mengatupkan
gigi, sementara tangan dan kaki menjadi kaku. Otot respirasi menjadi
spasme, laju respirasi rendah dan disertai sianosis.
III. Stadium Kejang klonik
Pada fase ini spasme berhenti, semua otot berkontraksi berulang-ulang
dalam waktu yang cepat, mulut terbuka dan menutup, menarik nafas seperti
mendengkur, keluar ludah berbusa dan lidah dapat tergigit, mata melotot,
muka kelihatan kongesti dan sianosis namun berangsur-angsur menghilang.
Setelah berlangsung selama 1-2 menit kejang klonik berhenti, pasien dapat
jatuh dalam kondisi koma.
IV. Stadium koma

27

Pasien tidak sadar, suara nafas berisik. Keadaan ini bisa berlangsung hanya
beberapa menit atau bahkan dapat menetap sampai beberapa jam
2. Sindroma HELLP
a. Definisi
Sindroma HELLP adalah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya
hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia.
H: Hemolysis
EL: Elevated Liver Enzyme
L : Low Platelets Count
b. Diagnosis
Diagnosis sindroma HELLP ditegakkan jika ditemukan tanda-tanda dibawah
ini:
-

Didahului tanda dan gejala yang khas malaise, lemah, nyeri kepala,

mual, muntah
Adanya tanda dan gejala preeeklampsia
Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya LDH, AST, dan

bilirubin indirek
Tanda kerusakan atau disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT, AST,

LDH
Trombositopenia
Trombosit 150.000/ml

Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen,
tanpa memandang ada tidaknya tanda dan gejala preeklampsia, harus
dipertimbangkan sindroma HELLP,
c. Klasifikasi

28

Klasifikasi sindroma HELLP menurut klasifikasi Mississippi adalah sebagai


berikut :
-

Klas 1 : Kadar trombosit :

50.000/ml

LDH 600 IU/L


AST dan/atau ALT 40 IU/l

Klas 2 : Kadar trombosit > 50.000 100.000/ml


LDH 600 IU/L
AST dan/atau ALT 400 IU/l

Klas 3 : Kadar trombosit > 100.000 150.000/ml


LDH 600 IU/l
AST dan.atau ALT 40 IU/l (Angsar, 2010)

d. Patofisiologi
Penyebab sindrom HELLP secara pasti belum diketahui, sindrom
menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial mikrovaskuler dan aktivasi
platelet intravaskuler. Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan
tromboksan A dan serotonin, dan menyebabkan terjadinya vasospasme,
aglutinasi, agregasi platelet, serta kerusakan endotelial lebih lanjut.
Kaskade ini hanya bisa dihentikan dengan terminasi kehamilan.
Sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis akan keluar dari
pembuluh darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya
timbunan fibrin di sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah
hepar, akibatnya enzim hepar akan meningkat. Proses ini terutama terjadi
di hati, dan dapat menyebabkan terjadinya iskemia yang mengarah kepada
nekrosis periportal dan akhirnya mempengaruhi organ lainnya (Maurin,
1999).

29

3. Edema Paru
Pada preeklampsia berat, dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik
(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non
kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah kapilar paru).
Prognosis preeklampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai
oliguria (Angsar, 2010).
4. Solusio Plasenta
Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan
lebih sering terjadi pada preeklampsia.
5. Hipofibrinofen
Hipofibrinogrem biasanya ditemui pada preeklampsia berat, sehingga
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala
6. Hemolisis.
Penderita dengan Preeklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang di kenal dengan ikterus. Hal ini belum di ketahui
secara pasti, nekrosis periportal hati sering di temukan pada autopsi
penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
7. Perdarahan otak.
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklampsia.

30

8. Kelainan mata.
Kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung selama
seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal
ini merupakan tanda gawat dan akan terjadi apopleksia serebri.
9. Nekrosis hati.
Nekrosis periportal hati pada Preeklampsia eklampsia merupakan akibat
vasopasmus arteriol umum.
10. Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerolus, yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya.
Kelainan lain yang dapat timbul adalah anuria sampai gagal ginjal.
11. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat
kejang-kejang pneumonia aspirasi.

2.1.7.2 Pada janin


Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi
plasenta. Hal ini mengakibatkan hipovolemia, vasospasme, penurunan perfusi
uteroplasenta dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta sehingga
mortalitas janin meningkat (Angsar, 2010). Dampak preeklampsia pada janin
antara lain: Intrauterine growth restriction (IUGR) atau pertumbuhan janin
terhambat, oligohidramnion, prematur, bayi lahir rendah, solusio plasenta,
hingga kematian janin.

3.1. Mortalitas dan Morbiditas pada Preeklampsia


31

3.1.1 Mortilitas dan Morbiditas Maternal pada Preeklampsia


Preeklampsia memiliki prevalensi efek samping merugikan yang besar
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Di Indonesia, angka
kematian akibat preeklampsia dan eklampsia adalah sebesar 13%. Di RSCM,
antara tahun 2003-2005 tercatat kematian ibu sebanyak 84 kasus dan 54
(63,4%) diantaranya terjadi pada pasien dengan PEB dan eklampsia. Secara
keseluruhan case fertality rate untuk PEB dan eklampsia tiap bulan rata-rata
372 per 10.000 kasus PEB dan eklampsia (3,6%).
Tabel 2. Angka Kematian Maternal Akibat Preeklampsia dan Eklampsia di
Beberpa Rumah Sakit di Indonesia
Tahun
Rumah Sakit
1999
RSPM
1999
RS Hasan Sadikin
2002
RSHAM
2002
RSPM
2002
RSCM
Rosalina, 2012.

Persen (%)
5,1
20,31
1,21
12,57
4,32

Peneliti
Simanjuntak J.
Maizia
Girsang E.
Girsang E.
Priyatini

Berdasarkan penelitian rosalina (2012) tentang kematian maternal pada


preeklamsia berat, jumlah kematian ibu di RSUP dr. Mohammad Hoesin
palembang antara tahun 2005-2009 di dapatkan sebanyak 109 kasus, 51
(46,8%) diantaranya terjadi pada pasien dengan preeklamsia berat 28 kasus
(25,7%) dan eklamsia 23 kasus (21,1%) dengan CFR rata rata 410 per tahun.
Preeklamsia menempati urutan pertama penyebab kematian maternal di RSUP
dr. Mohamad Hosein palembang selama periode tahun 2005-2009.

32

Kematian maternal pada preeklampsia ini disebabkan oleh banyak faktor, yaitu
diantaranya koagulasi intravaskular disseminata (KID), gagal ginjal akut,
edema paru, pendarahan pasca persalinan, sindroma HELLP, dan lain lain.
Arinda (2011) mengumpulkan data tentang luaran maternal pada preeklampsia
berat di RSUP dr Kariadi Semarang. Di RSUP dr Kariadi Semarang pada tahun
2010 didapatkan 234 (11,86%) kasus preeklampsia berat dari 1973 persalinan.
Luaran maternal pada kasus preeklampsia berat tersebut meliputi persalinan
dilakukan dengan seksio sesarea 103 kasus (44%), plasenta previa 10 kasus
(4,3%), solusio plasenta 1 kasus (0,4%), perdarahan postpartum 5 kasus
(2,1%), eklamsia 7 kasus (3%), impending eclampsia 19 kasus (8,1%), sindrom
HELLP 4 kasus (1,7%), sindrom HELLP parsial 26 kasus (11,1%), edema paru
24 kasus (10,3%), gagal ginjal akut 4 kasus (1,7%), kematian maternal 5 kasus
(2,1%).
Sementara data dari RSU abdoel moeloek belum di dapatkan.

3.1.2 Mortilitas dan Morbiditas Perinatal pada Preeklampsia


Preeklampsia berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas dan
morbiditas terhadap janin yang dikandung. Morbiditas yang timbul dapat
berupa pertumbuhan janin terjambat, abruptio plasenta, permaturitas dan
gangguan perkembangan neurologis jangka panjang. Pada penelitian terhadap
10.614 kehamilan tunggal dengan usia kehamilan lebih dari 24 minggu dari
1995 hingga 1997 di Amerika Serikat didapatkan risiko kematian perinatal 1,4
lebih tinggi pada kasus-kasus hipertensi dalam kehamilan dan 2,7 lebih tinggi
33

pada kasus-kasus hipertensi kronis bila dibandingkan dengan kelompok


kontrol. Mortalitas dan morbiditas perinatal pada kasus-kasus preeklampsia
dan eklampsia ini jarang disebabkan oleh faktor tunggal. Hipoksia kronis
antepartum akibat insufisiensi plasenta disertai dengan hipoksia intrapartum
dan prematuritas dapet mengakibatkan tingginya mortalitas dan morbiditas.
Pada penelitian Ounsted dkk tahun 1985 didapatkan ibu dengan hipertensi
dalam kehamilan disertai dengan proteinuria memiliki risiko melahirkan bayi
dengan berat badan kecil untuk masa kehamilan 14,6 kali lebih besar daripada
ibu hamil normotensif (Rosalina, 2012). Pada penelitian Arinda (2012) di
RSUP dr Kariadi Semarang, didapatkan 234 ibu dengan preeklampsia berat.
Dari ibu dengan preeklampsia tersebut tercatat luaran janin adalah sebagai
berikut, berat bayi lahir rendah (BBLR) 91 kasus (37%), pertumbuhan janin
yang terhambat 17 kasus (6,9%), kelahiran preterm 70 kasus (28,3%), asfiksia
neonatorum 38 kasus (16,7%), kematian perinatal 23 kasus (9,3%).
Preeklampsia merupakan penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Pada preeklampsia terjadi
perubahan pokok yaitu spasmus pembuluh darah disertai dengan retensi garam
dan air. Pada teori ischemia region uteroplasental disebutkan bahwa pada
kehamilan normal invasi sel trofoblas dapat menimbulkan dilatasi pembuluh
darah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan O2 serta plasenta
berfungsi normal. Pada preeklampsia terjadi invasi sel trofoblas hanya terjadi
pada sebagian arteri spiralis didaerah endometrium (desidua), akibatnya terjadi
gangguan fungsi plasenta karena sebagian besar arteri spiralis didaerah
34

miometrium tetap dalam keadaan konstriksi sehingga tidak mampu memenuhi


kebutuhan kebutuhan darah untuk nutrisi dan O2. Hal inilah yang
menyebabkan janin akan mengalami gangguan dalam pertumbuhan, hipoksia
janin yang mengakibatkan terjadinya asfiksia neonatorum, hingga kematian
janin (Angsar, 2010). Pada bayi-bayi yang lahir prematur dari ibu dengan
preeklampsia dan bertahan hidup kemungkinan memiliki risiko jangka
panjang. Penelitian oleh Lilienfeld dkk tentang hubungan antara prematuritas
perkembangan neurologi menemukan bahwa bayi-bayi prematur pada kasus
hipertensi dalam kehamilan memiliki risiko untuk cerebral palsy, epilepsi,
gangguan tingkah laku, gangguan mental dan hambatan membaca (Rosalina,
2012).

35

Anda mungkin juga menyukai