Anda di halaman 1dari 25

FASILITAS KEPABEANAN :

SUATU UPAYA PEMBERIAN KEMUDAHAN DAN INSENTIF FISKAL


BAGI INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

oleh: Surono
(Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai)

Salah satu aspek dasar pembentukan Undang-undang nomor 10 tahun


1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
nomor 17 tahun 2006, adalah pemberian insentif terhadap perdagangan dan
sektor industri.

Pemberian insentif tersebut diharapkan akan memberikan

manfaat pertumbuhan perekonomian nasional. Bentuk fasilitas kepabeanan yang


diberikan oleh Undang-undang Kepabeanan secara umum dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1)

Fasilitas yang terkait dengan pelayanan, dalam rangka memberikan


pelayanan yang lebih cepat, lebih baik dan lebih murah.

2)

Fasilitas yang terkait dengan fiskal kepabeanan, berupa pembebasan Bea


Masuk,

keringanan

Bea

Masuk,

pengembalian

Bea

Masuk

dan

penangguhan Bea Masuk.


Fasilitas pelayanan kepabeanan ditujukan untuk memperlancar arus
barang, orang maupun dokumen dalam sistem atau tata laksana kepabeanan di
bidang impor. Umumnya bentuk-bentuk fasilitas pelayanan telah diintegrasikan
dalam sistem tata laksana kepabeanan. Kewenangan pemberian fasilitas
pelayanan biasanya dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pabean setempat. Hal ini

merupakan suatu perlakuan diskresi (penyimpangan) dari suatu sistem


tatalaksana yang regular dengan tujuan semata-mata untuk kepentingan
kelancaran arus barang, orang maupun dokumen.
Fasilitas fiskal kepabeanan merupakan suatu bentuk pemberian insentif
yang berkaitan dengan pungutan Bea Masuk. Bentuk-bentuk perlakuan yang
diberikan dapat berupa tidak dipungut Bea Masuk, pembebasan Bea Masuk,
pembebasan atau keringanan Bea Masuk, penangguhan Bea Masuk serta
pengembalian Bea Masuk. Fokus utama pemberian insentif fiskal antara lain
adalah untuk kepentingan sektor industri dan perdangangan,

kepentingan

publik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga perlakuan yang
lazim dalam tata pergaulan internasional.
Artikel ini secara khusus mendeskripsikan bentuk-bentuk pemberian
fasilitas kepabeanan, baik berupa fasilitas pelayanan maupun fasilitas fiskal
kepabeanan.

Disamping hal tersebut, penulis juga akan mendeskripsikan

bentuk-bentuk lain perlakuan fiskal kepabeanan yang juga diterapkan oleh


Pemerintah dengan mengacu kepada Undang-undang diluar Undang-undang
Kepabeanan. Beberapa diantaranya adalah: ketentuan tarif preferensi dan Bea
Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP). Penjelasan mengenai kedua jenis
perlakuan fiskal ini juga akan disampaikan dalam artikel ini.

Fasilitas Pelayanan
Pengertian fasilitas pelayanan adalah bentuk-bentuk perlakuan khusus
dalam proses penyelesaian formalitas kepabeanan dalam rangka memberikan
pelayanan yang lebih cepat, lebih baik dan lebih murah. Tujuan utamanya adalah
untuk

memperlancar

arus

barang,

orang

atau

dokumen.

perkembangan industri dan perdagangan secara global


persaingan yang semakin tinggi.

Pesatnya

mendorong

iklim

Agar produk Indonesia mampu bersaing,

upaya-upaya efisiensi di sektor industri maupun perdagangan harus diiringi pula


dengan tingkat pelayanan birokrasi yang semakin cepat dan murah. Pemerintah
sadar akan hal tersebut dan terus berusaha meningkatkan pelayanan birokrasi
khususnya yang berkaitan dengan formalitas kepabeanan.
Materi undang-undang Kepabeanan maupun peraturan pelaksanaannya
telah mengakomodasikan beberapa bentuk fasilitas pelayanan yang bertujuan
memberikan insentif non fiskal. Berikut ini akan dideskripsikan secara singkat
beberapa bentuk fasilitas pelayanan di bidang kepabeanan yang telah
diaplikasikan dalam tata laksana kepabeanan khsususnya di bidang impor.

1)

Pembongkaran atau Penimbunan di Luar Kawasan Pabean


(Referensi : Pasal 10A Undang-undang Kepabeanan)
Pada dasarnya pembongkaran dan penimbunan barang impor wajib

dilakukan di suatu tempat dalam Kawasan pabean. Akan tetapi apabila barang
impor karena sesuatu hal, baik alasan yang menyangkut kondisi barang maupun
kelayakan lokasi kawasan pabean, dapat saja seorang Kepala Kantor
memberikan suatu diskresi (penyimpangan) yang mengizinkan pembongkaran
dan penimbunan di luar kawasan pabean. Kebijakan ini semata-mata memang
3

karena kondisi-kondisi yang disebutkan tersebut dan bukan karena adanya


privelege tertentu terhadap importir.
Perlakuan khusus ini merupakan salah satu bentuk pemberian fasilitas
pelayanan kepabeanan.

Dalam pelaksanaannya, fasilitas kepabeanan ini

seringkali diberikan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai di daerah-daerah yang
sarana dan prasarana pelabuhan dan/atau kawasan pabeannya belum lengkap.
Untuk pengamanan hak-hak negara, proses pembongkaran barang impor wajib
diawasi oleh petugas Bea dan Cukai serta dilakukan penyegelan terhadap
barang impor yang ditimbun.

2)

Fasilitas Vooruitslag
(Referensi: Pasal 37 ayat 2 Undang-undang Kepabeanan)
Pengertian fasilitas vooruitslag adalah suatu bentuk perlakuan khusus

berupa pemberian izin untuk mengeluarkan terlebih dahulu barang impor yang
masih terutang Bea Masuk dan PDRI dengan mempertaruhkan jaminan. Fasilitas
vooruitslag diberikan kepada importir yang telah mengajukan permohonan untuk
memperoleh fasilitas pembebasan atau keringanan Bea Masuk, Bea Masuk dan
pajak dalam rangka impor, dan/atau cukai, dan atas permohonan dimaksud
belum diterbitkan keputusan mengenai pemberian fasilitas tersebut. Khusus
terhadap barang impor untuk keperluan penanggulangan bencana alam dapat
diberikan

persetujuan

vooruitslag

walaupun

importir

belum

mengajukan

permohonan fasilitas pembebasan dimaksud.


Peraturan pelaksanaan fasilitas vooruitslag diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan nomor PMK160/PMK.04/2007. Pengeluaran barang impor dengan
fasilitas vooruitslag dilaksanakan dengan mengajukan dokumen pelengkap

pabean. Bentuk jaminan yang dapat dipertaruhkan dapat berupa : jaminan tunai,
jaminan bank, jaminan perusahaan asuransi (Customs Bond) dan jaminan
lainnya. Jaminan yang diserahkan adalah sebesar Bea Masuk, PDRI dan/atau
cukai yang terutang.
Jangka waktu pemberian fasilitas vooruitslag atau batas waktu penyampaian
pemberitahuan pabean (PIB) paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
diserahkannya

dokumen

pelengkap

pabean.

Jangka

waktu

ini

dapat

diperpanjang oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Apabila proses fasilitas pembebasan belum selesai juga, maka permohonan
perpanjangan dapat diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari lagi oleh Direktur
Jenderal atau Pejabat yang ditunjuknya.
3)

Pelayanan Segera (Rush Handling)


(Referensi : Pasal 10B ayat 2 huruf c Undang-undang Kepabeanan)
Pelayanan Segera (rush handling) adalah pelayanan kepabeanan yang

diberikan atas barang impor tertentu yang karena karakteristiknya memerlukan


pelayanan segera untuk dikeluarkan dari kawasan pabean. Pelayanan segera
diberikan untuk barang yang terikat waktu (peka waktu), memerlukan
penanganan

khusus

atau

barang-barang

lain

yang

sangat

diperlukan

berdasarkan pertimbangan tertentu dari Kepala Kantor.


Ketentuan teknis mengenai prosedur pengeluaran barang impor untuk
dipakai dengan pelayanan segera, diatur secara khusus dalam Peraturan
Menteri Keuangan nomor 148/PMK.04/2007. Adapun kategori barang yang
diberikan fasilitas pelayanan segera, mencakup:
-

Organ tubuh manusia, antara lain: ginjal, kornea mata, atau darah;

Jenazah dan abu jenazah;

Barang yang merusak lingkungan, antara lain barang yang mengandung


radiasi;

Binatang hidup;

Tumbuhan hidup;

Surat kabar dan majalah yang peka waktu;

Dokumen (surat);

Barang lain yang karena karakteristiknya memerlukan pelayanan segera,


apabila mendapat ijin dari Kepala Kantor.
Untuk mendapatkan pelayanan segera atas barang yang memenuhi

kriteria, importir harus mengajukan permohonan kepada pejabat bea dan cukai
yang dilampiri dengan dokumen pelengkap pabean dan jaminan, sebesar Bea
Masuk dan PDRI yang wajib dilunasi. Khusus terhadap kategori barang berupa
organ tubuh manusia dan jenazah,

Importir wajib memberitahukan dengan

menggunakan PIB khusus (PIBT). Terhadap barang impor dengan fasilitas


pelayanan segera, wajib dilakukan pemeriksaan fisik.
Importir yang mendapat fasilitas pelayanan segera wajib menyerahkan
pemberitahuan pabean (PIB) dan melunasi Bea Masuk, cukai dan PDRI yang
terhutang paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak barang impor dikeluarkan.
Apabila kewajiban pembayaran ini tidak diselesaikan pada waktunya, maka
jaminan dicairkan dan dikenakan sanksi administrasi denda sebesar 10% dari
Bea Masuk yang wajib dilunasi.

Bagi importir yang melanggar ketentuan

penyampaian PIB dan pelunasan pembayaran maka Fasilitas pelayanan segera


tidak akan diberikan lagi, sampai dengan yang bersangkutan melunasi
kewajibannya.

4)

Fasilitas Jalur Prioritas


(Referansi: Peraturan Dirjend nomor P-42/BC/2007 jo. P-08/BC/2008)
Pengertian fasilitas jalur prioritas adalah suatu bentuk perlakuan khusus

yaitu tidak dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen atas pemasukan
barang impor dalam sistem tatalaksana impor barang. Dalam implementasinya,
jalur prioritas dibedakan menjadi jalur MITA Prioritas dan jalur MITA Non
Prioritas.
Jalur MITA Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan yang
diberikan kepada MITA Prioritas untuk pengeluaran Barang Impor tanpa
dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen. Selain itu, MITA Prioritas
berhak atas fasilitas pembayaran berkala.

Jalur MITA Non Prioritas adalah

proses pelayanan dan pengawasan yang diberikan kepada MITA Non Prioritas
untuk pengeluaran barang impor tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan
penelitian dokumen, kecuali dalam hal-hal tertentu yaitu :
- barang ekspor yang diimpor kembali;
- barang yang terkena pemeriksaan acak; atau
- barang impor sementara.

5)

Fasilitas Pemberitahuan Pendahuluan (Prenotification)


(Referensi: Peraturan Dirjend nomor P-42/BC/2007 jo. P-08/BC/2008)
Pengertian fasilitas prenotification adalah pengajuan pemberitahuan Impor

Barang (PIB) sebelum pihak pengangkut menyerahkan inward manifest, dengan


ketentuan:

- Bagi importir MITA Prioritas tanpa harus mengajukan permohonan; Dalam hal
ini Importir MITA Prioritas wajib menyampaikan rekapitulasi PIB dalam bentuk
softcopy kepada client coordinator, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
- Bagi importir lainnya, fasilitas prenotification dapat dilaksanakan setelah
mendapatkan persetujuan Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk.

Fasilitas Fiskal Kepabeanan


Pada dasarnya fasilitas fiskal yang dibicarakan disini adalah fasilitas yang
terkait dengan penerimaan perpajakan, khususnya Bea Masuk. Fasilitas fiskal
dalam konteks Undang-undang Kepabeanan mengandung pengertian sebagai
bentuk-bentuk insentif perpajakan yang diberikan kepada industri, perdagangan,
dan pihak-pihak tertentu. Bentuk-bentuk fasilitas fiskal kepabeanan dapat
berupa:
- Tidak dipungut Bea Masuk, sesuai Pasal 24 Undang-undang Kepabeanan;
- Pembebasan Bea Masuk, sesuai Pasal 25 Undang-undang Kepabeanan;
- Pembebasan atau Keringanan, sesuai Pasal 26 Undang-undang kepabeanan;
- Pengembalian Bea Masuk, sesuai Pasal 27 Undang-undang Kepabeanan;
- Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk dalam rangka Impor Sementara,
sesuai pasal 10D Undang-undang Kepabeanan;
- Penangguhan Bea Masuk terhadap tempat penimbunan berikat, sesuai pasal
44 Undang-undang Kepabeanan.
Pada dasarnya fasilitas fiskal kepabeanan yang diberikan oleh Undangundang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2006 bertujuan untuk memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan juga
bentuk perlakuan yang lazim terhadap tata pergaulan internasional. Untuk
kepentingan industri dan perdagangan, pemerintah memberikan insentif
terhadap industri yang sedang membangun atau melakukan pengembangan.
Berkaitan dengan tata pergaulan internasional, pemerintah memberikan
perlakuan pembebasan terhadap barang impor yang akan digunakan oleh
perwakilan negara asing atau pejabat pada Badan internasional. Demikian pula
9

terhadap barang-barang yang digunakan untuk kepentingan publik yang tidak


berorientasi

pada

hal-hal

yang

bersifat

komersial,

diberikan

perlakuan

pembebasan terhadap Bea Masuk.

1)

Tidak Dipungut Bea Masuk


Sesuai dengan ketentuan pasal 24 undang-undang Kepabeanan diatur

bahwa barang yang dimasukkan ke Daerah Pabean untuk diangkut terus atau
diangkut lanjut ke luar Daerah Pabean tidak dipungut Bea Masuk.
pertimbangan

perlakuan

tidak

dipungut

Bea

Masuk

pada

Dasar

hakekatnya

mempertimbangkan asas-asas pemungutan pajak.


Pada dasarnya asas pemungutan Bea Masuk di Indonesia menerapkan
asas domisili. Pengertiannya bahwa pemungutan Bea Masuk

dikenakan

terhadap subyek yang berdomisili di Indonesia atau obyek yang dikonsumsi di


dalam wilayah pabean Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, maka terhadap
barang yang diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar daerah pabean, maka
dari sisi subyek maupun obyek tidak memenuhi asas domisili tersebut.

2)

Pembebasan Bea Masuk


Pasal 25 Undang-undang Kepabeanan memberikan bentuk fasilitas fiskal

berupa pembebasan Bea Masuk terhadap barang impor yang digunakan untuk
keperluan tertentu. Antara lain sebagai bentuk tata krama dalam pergaulan
internasional berupa pembebasan terhadap barang impor yang digunakan untuk
keperluan perwakilan negara asing dan pejabat pada Badan Internasional.
Disamping itu, pembebasan Bea Masuk diberikan pula terhadap barang-barang
yang digunakan untuk kepentingan publik yang bersifat nonkomersial, kemajuan

10

pendidikan dan ilmu pengetahuan, sosial kemanusiaan, pertahanan dan


keamanan, serta kesehatan.
Sifat

pembebasan

Kepabeanan

adalah

yang

diatur

pembebasan

dalam

mutlak.

pasal

25

Pengertiannya

undang-undang
bahwa

bentuk

pembebasan atau peniadaan terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran Bea


Masuk yang diberikan pemerintah bersifat permanen. Dengan kata lain, selama
pos tarif dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) memberikan
pembebananan tarif Bea Masuk diatas 0% (nol persen) terhadap barang impor
dengan fasilitas pembebasan, maka terhadap barang impor tersebut secara
permanen tidak akan dikenakan pungutan Bea Masuk. Untuk mendapatkan
skema pembebasan Bea Masuk tersebut, para pihak yang berhak menerima
pembebasan

wajib

memenuhi

persyaratan-persyaratan

yang

ditentukan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Mungkin dalam pikiran anda timbul pertanyaan, bagaimana kalau barang
yang diberikan pembebasan sesuai pasal 25, dalam BTBMI tarif Bea Masuknya
sudah 0%, apakah pembebasan Bea Masuk tersebut masih relevan ? Untuk
menjawab pertanyaan ini, perlu ditegaskan bahwa apabila pembebanan tarif
dalam BTBMI sudah 0% maka secara tidak langsung telah berlaku pembebasan
mutlak (absolute) tanpa syarat apapun. Pengertiannya bahwa importir dalam
hal ini tidak perlu mengajukan permohonan fasilitas pembebasan sesuai Pasal
25 undang-undang Kepabeanan. Contoh kasus seperti ini terjadi pada barang
berupa buku-buku yang digunakan untuk keperluan ilmu pengetahuan.

11

3)

Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk


Pasal 26 Undang-Undang Kepabeanan memberikan bentuk fasilitas fiskal

berupa pembebasan atau keringanan Bea Masuk terhadap barang impor yang
digunakan untuk keperluan tertentu. Fokus pemberian fasilitas ini terutama
ditujukan terhadap sektor industri dan perdagangan. Antara lain pembangunan
dan pengembangan sektor indsutri baik dalama skema penananaman modal
maupun swasta murni. Disamping itu, fasilitas pembebasan atau keringanan Bea
Masuk diberikan sebagai insentif sektor pertanian, pencegahan pencemaran
lingkungan, keperluan olah raga, kepentingan publik yang dikelola pemerintah,
proyek pembangunan yang dibiayai hibah, serta sektor industri yang berorientasi
ekspor.

Sifat

pembebasan

yang

diatur

dalam

pasal

26

Undang-undang

Kepabeanan adalah pembebasan yang bersifat relatif. Pengertiannya bahwa


bentuk fasilitas yang diberikan dapat berupa pembebasan atau hanya berupa
keringanan Bea Masuk saja, dan hal ini bersifat tentative (sementara), tergantung
kepada kebijakan yang akan diterapkan pemerintah pada kondisi-kondisi
tertentu. Contoh:
- perlakuan fasilitas terhadap pembangunan atau pengembangan industri
berdasar Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor 135/KMK.04/2002
adalah berupa keringanan Bea Masuk. (tarif akhir Bea Masuk menjadi 5%).
- sejak

berlakunya

176/PMK.04/2009,

Peraturan
perlakuan

Menteri
fasilitas

Keuangan
terhadap

(PMK)

pembangunan

nomor
atau

pengembangan industri adalah berupa pembebasan Bea Masuk.

12

4)

Pengembalian Bea Masuk


Pasal 27 undang-undang Kepabeanan memberikan bentuk fasilitas fiskal

berupa pengembalian Bea Masuk atas bea-bea yang telah dibayar sebelumnya
oleh importir. Dalam hal ini undang-undang kepabeanan telah memberikan
batasan terhadap kategori barang atau subyek mana yang dapat menerima
pengembalian Bea Masuk. Berdasar ketentuan pasal 27 tersebut, pengembalian
dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk yang telah dibayar
atas:
-

kelebihan pembayaran Bea Masuk yang timbul akibat penetapann tarif dan
nilai pabeana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17
ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha;

impor barang yang mendapat fasilitas pembebasan dan/atau keringanan


Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26;

impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau
dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai;

impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai


kedapatan jumlah yang sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar
Bea Masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih
rendah; atau

kelebihan pembayaran Bea Masuk akibat putusan Pengadilan Pajak.

13

5)

Fasilitas Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk atas Barang Impor


Sementara
(Referensi : Pasal 10D Undang-undang Kepabeanan)
Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada

waktu importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling


lama 3 (tiga) tahun. Terhadap barang impor sementara dapat diberikan
pembebasan Bea Masuk atau keringanan Bea Masuk. Ketentuan operasional
yang mengatur impor sementara adalah Peraturan Menteri Keuangan nomor
140/PMK.04/2007 tentang Impor Sementara .
Kategori barang impor sementara yang mendapat pembebasan Bea Masuk
diatur dalam Pasal 3 ayat 2 PMK tersebut, yang meliputi:
-

barang untuk keperluan pameran yang dipamerkan di tempat lain dari


tempat penyelenggaraan pameran berikat;

barang untuk keperluan seminar atau kegiatan semacam itu;

barang untuk keperluan peragaan atau demonstrasi;

barang untuk keperluan tenaga ahli;

barang untuk keperluan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan dan


kebudayaan;

barang yang diimpor untuk keperluan perlombaan dibidang olahraga;

kemasan yang digunakan untuk pengangkutan barang impor atau ekspor


secara berulang-ulang;

barang keperluan contoh atau model;

kendaraan atau sarana pengangkut yang digunakan sendiri oleh wisatawan


manca negara;

14

kendaraan atau sarana pengangkut yang masuk melalui lintas batas dan
penggunaannya tidak bersifat regular;

barang untuk diperbaiki, direkondisi, diuji, dan dikalibrasi;

binatang hidup untuk keperluan pertunjukan umum, olahraga, perlombaan,


pelatihan, pejantan, dan penanggulangan gangguan keamanan;

peralatan khusus yang digunakan untuk penanggulangan bencana alam,


kebakaran, dan gangguan keamanan;

kapal niaga yang diimpor oleh perusahaan pelayaran niaga nasional;

pesawat dan mesin pesawat yang diimpor oleh perusahaan penerbangan


nasional;

barang yang dibawa oleh penumpang dan akan dibawa kembali ke luar
negeri; dan/atau

barang pendukung proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dari


luar negeri.
Pemberian keringanan Bea Masuk diperlakukan terhadap barang impor

berupa mesin dan peralatan untuk kepentingan produksi atau pengerjaan proyek
infrastruktur. Atas kegiatan impor sementara terhadap barang tersebut, importir
akan dikenakan pungutan berupa :
-

Bea Masuk sebesar 2% untuk setiap bulan atau bagian dari bulan dari
jumlah Bea Masuk yang seharusnya dipungut;

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah


(PPn.BM) secara penuh (100%). Akan tetapi, kewajiban membayar PPN
atau PPn.BM tidak berlaku, apabila importir mendapatkan skema fasilitas
perpajakan berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku;

15

Selain kewajiban membayar Bea Masuk, PPN dan PPn BM, Importir diwajibkan
mempertaruhkan jaminan sebesar selisih antara Bea Masuk yang seharusnya
dibayar dengan yang telah dibayar ditambah dengan Pajak Penghasilan Pasal
22.
6)

Fasilitas Penangguhan Bea Masuk terhadap Tempat Penimbunan


Berikat (Referansi: pasal 44, Undang-undang Kepabeanan)
Bentuk insentif yang diterima oleh pihak yang menyelenggarakan Tempat

Penimbunan Berikat (TPB) berupa penangguhan Bea Masuk dan tidak dipungut
pajak-pajak dalam rangka impor maupun pajak-pajak dalam negeri. Fasilitas
tempat penimbunan berikat merupakan bentuk fasilitas yang bersifat institusional
terhadap subyek pajak. Pengertiannya bahwa

perlakuan insentif perpajakan

melekat terhadap institusi atau subyek pajak tertentu dan bukan terhadap obyek
pajaknya.

Secara prinsip barang-barang impor yang ditimbun di dalam TPB

masih terutang Bea Masuk dan apabila dikeluarkan dari TPB selain untuk
diekspor maka wajib dipungut Bea Masuk dan PDRI.
Pada prinsipnya tujuan pengadaan Tempat Penimbunan Berikat adalah
untuk memberikan insentif berupa penangguhan pembayaran Bea Masuk, atas
kegiatan menyimpan, menimbun, memamerkan, menjual, mengemas dan
mengolah barang yang berasal dari impor di dalam tempat penimbunan berikat.
Pelaksanaannya, TPB dibagi menjadi beberapa jenis yaitu Kawasan Berikat,
Gudang Berikat, Entrepot Tujuan Pameran, Toko Bebas Bea, Tempat
Pelelangan Berikat dan Tempat Daur Ulang Berikat.

16

Perlakuan

Tarif

Preferensi

dan

Bea

Masuk

Ditanggung

Pemerintah
Alternatif pemberian insentif fiskal bagi sektor industri dan perdagangan di
luar konteks fasilitas fiskal kepabeanan yang diatur oleh Undang-undang
Kepabeanan, adalah perlakuan tarif preferensi dan Bea Masuk ditanggung
Pemerintah. Perlakuan tarif preferensi didasarkan atas kerjasama perdagangan
internasional yang memberikan keringanan terhadap tarif Bea Masuk,

baik

secara bilateral maupun multilateral. Dengan adanya kesepakatan tarif preferensi


maka terhadap barang impor yang masuk dari suatu negara anggota akan
diperlakukan tarif impor sesuai perjanjian tarif preferensi. Perlakuan BMDTP erat
kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang mengalokasikan anggaran dalam
rangka menanggung beban Bea Masuk dan PDRI atas impor barang dan bahan
oleh sektor industri tertentu yang mendapat insentif BMDTP.
1)

Bea Masuk Ditanggung Pemerintah


Konsep pemberian BMDTP adalah pemberian insentif fiskal bagi sektor

industri dan perdagangan dalam rangka memenuhi penyediaan barang dan/atau


jasa untuk kepentingan umum dan peningkatan daya saing industri tertentu di
dalam negeri. Perlakuan pemberian insentif fiskal bagi sektor industri dan
perdagangan dalam bentuk BMDTP, mulai diberikan oleh pemerintah sejak tahun
2008. Referensi aturan pemberian BMDTP ini mengacu kepada Undang-undang
Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang setiap tahun disusun
oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Setiap tahun berdasarkan UU APBN, pemerintah mengalokasikan pagu
anggaran dalam jumlah tertentu untuk membiayai importasi yang dilakukan oleh
17

industri sektor tertentu yang memenuhi kriteria BMDTP sesuai dengan kebijakan
pengembangan industri nasional. Dengan kata lain, skema pemberian insentif
fiskal BMDTP hanya berlaku selama masa tahun anggaran (APBN) berjalan,
yaitu periode 1 Januari sampai 31 Desember.
Kriteria sektor industri tertentu yang dapat menerima BMDTP adalah:
- memenuhi penyediaan barang dan atau/jasa untuk kepentingan umum,
dikonsumsi

oleh

masyarakat

luas

dan/atau

melindungi

kepentingan

konsumen;
- meningkatkan daya saing;
- meningkatkan penyerapan tenaga kerja;
- meningkatkan pendapatan negara;
Disamping kriteria sektor industri tersebut, barang dan bahan yang diimpor
juga harus memenuhi kriteria :
- barang dan bahan belum diproduksi di dalam negeri;
- barang dan bahan sudah dapat diproduksi di dalam negeri namun belum
memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan;
- barang dan bahan sudah dapat diproduksi di dalam negeri, namun jumlahnay
belum mencukupi kebutuhan di dalam negeri
Beberapa sektor industri yang pernah mendapatkan skema BMDTP pada tahun
2010 yang lalu, antara lain:
-

industri pembuatan tinta khusus (toner) (sesuai PMK 205/PMK.011/2010);

industri pembuatan sorbitol (sesuai PMK 42/PMK.011/2010);

industri pembuatan karpet (sesuai PMK 55/PMK.011/2010);

industri

pembuatan

peralatan

telekomunikasi

(sesuai

PMK

54/PMK.011/2010);

18

industri pembuatan Bagian Tertentu Alat Besar Dan/Atau Perakitan Alat


Besar Oleh Industri Alat Besar (sesuai PMK 53/PMK.011/2010);

industri

pembuatan

alat

tulis

berupa

ballpoint

(sesuai

PMK

52/PMK.011/2010);
-

industri pembuatan komponen elektronika (sesuai PMK 51/PMK.011/2010);

industri pembuatan kemasan infus (sesuai PMK 50/PMK.011/2010);

industri pembuatan kabel serat optik (sesuai PMK 49/PMK.011/2010);

industri pembuatan kawat ban/steel cord (sesuai PMK 48/PMK.011/2010).

2)

Perlakuan Tarif Preferensi


Kebijakan penetapan tarif Bea Masuk yang berlaku umum atau Most

Favoured Nations (MFN) dilaksanakan dengan memperhatikan UU Nomor 7


Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Non Agriculture Market Access, Agriculture). Implementasi Tarif
Bea Masuk atas barang impor yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan tersebut
tercantum dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI). Secara umum dalam
ketentuan pasal 12 Undang-undang Kepabeanan diatur bahwa terhadap barang
impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh
persen dari nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk.
Pengecualian terhadap batasan tarif Bea Masuk normal dapat dilakukan
terhadap barang-barang sebagai berikut :
- Barang impor hasil pertanian tertentu;
- Barang impor yang termasuk dalam daftar eksklusif schedule XXI Indonesia,
Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan;

19

- Barang impor yang dikenakan tarif Bea Masuk berdasarkan perjanjian atau
kesepakatan internasional (preferential tariff);
- Barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau
barang kiriman melalui pos atau jasa titipan.
Berdasarkan referensi aturan yang dijelaskan dimuka tentunya anda dapat
menyimpulkan bahwa kebijakan perlakuan tarif preferensi oleh Pemerintah pada
hakekatnya merupakan konsekuensi adanya kerjasama internasional baik secara
bilateral maupun multilateral. Dengan adanya perlakuan tarif preferensi maka
kedua belah pihak, baik negara importir maupun eksportir dapat mengambil
keuntungan yang optimal. Sebagai contoh, perlakuan tarif AFTA (ASEAN Fre
Trade Area) maka terhadap barang impor yang masuk dari sesama anggota
ASEAN akan diberlakukan tarif preferensi (Skema tarif CEPT).
Bentuk-bentuk kerjasama internasional yang melibatkan Indonesia dengan
negara-negara

lainnya,

baik

secara

bilateral

maupun

multilateral

dan

menimbulkan konsekuensi pemberlakuan tarif preferensi adalah sebagai berikut:


- ASEAN Free Trade Area (AFTA) yaitu kerjasama perdagangan antara
negara-negara anggota ASEAN. Kesepakatan tarif prefrensi AFTA tertuang
dalam skema Common Efectif Preferential Tariff (CEPT). Kerjasama AFTA
melibatkan 10 negara ASEAN, yaitu: Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia,
Philippines, Singapura, Thailand Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam.
Perjanjian AFTA menargetkan bahwa pada tahun 2010 akan menghapuskan
semua Bea Masuk impor barang bagi Brunai Darussalam, Indonesia,
Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand. Sedangkan untuk Kamboja,
Laos, Myanmar dan Vietnam baru akan dihapuskan pada tahun 2015.

20

- Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), yaitu kerjasama


ekonomi antara pemerintah Indonesia dengan Japan yang sepakati pada
tanggal 20 Agustus 2007.
- ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yaitu kerjasama kerjasama ekonomi
dan pendirian suatu kawasan perdagangan bebas ASEAN-China. Persetujuan
Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negaranegara Anggota ASEAN dan Republik Rakyat China dilakukan di Phnom
Penh, Kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002 dan mulai diberlakukan sejak
tanggal 1 Januari 2004.
- ASEN-Korea Free Trde Area (AKFTA) yaitu kerjasama ekonomi dan pendirian
suatu

kawasan

perdagangan

bebas antara

ASEAN-Korea.

Kerangka

kesepakatan kerjasama ekonomi menyeluruh antara Pemerintah negaranegara anggota ASEAN dan Republik Korea dilakukan pada tanggal 13
Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia dan mulai berlaku sejak tanggal 1
Januari 2006.
- ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yaitu kerjasama ekonomi dan
pendirian suatu kawasan perdagangan bebas antara ASEAN-India. Kerangka
kesepakatan kerjasama ekonomi menyeluruh antara Pemerintah negaranegara anggota ASEAN dan Republik India dilakukan pada tanggal 13
Agustus 2009 di Bangkok, Thailand dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari
2010.
Persyaratan utama yang harus dilengkapi oleh para importir yang ingin
mendapatkan skema tarif preferensial adalah kewajiban melampirkan sertifikat
keterangan asal barang (SKA) atau lazim disebut sebagai certificate of origin
(COO). SKA diterbitkan pada saat barang diekspor atau segera setelah tanggal

21

pengapalan, dan berlaku selama 1 (satu) tahun. Dalam hal terdapat alasan
khusus yang menyebabkan SKA tidak dapat diterbitkan pada saat pengapalan
atau 3 (tiga) hari setelahnya, maka atas permintaan ekspotir atau agen yang
ditunjuknya SKA dapat diterbitkan dan berlaku mundur selama satu tahun sejak
tanggal pengapalan dan pada SKA diberi cap ISSUED RETROACTIVELY.
Tabel 1
Daftar SKA Tarif Preferensi

SKEMA

Jenis SKA

Jumlah

CEPT

Form D

JI-EPA

Form

3 lembar :

IJ-EPA

Lembar-1

Ukuran

Peruntukan
Lembar

asli

eksportir kepada Importir


untuk

AK-FTA

Form AK

dikirim

BC

negara

pengimpor
(asli/original)
Lembar-2

untuk

instansi

Lembar-2 (duplicate)
penerbit
Lembar-3 (triplicate

Form E

AI-FTA

Form AI

negara

pengekspor.
ISO A4

AC-FTA

di

Lembar-3 untuk eksportir.


Lembar asli dan Lembar-3

4 lembar :

dikirim

Eksportir

kepada

Importir untuk BC negara


Lembar-1
pengimpor.
(asli/original)
Lembar-2

untuk

instansi

Lembar- 2 (duplicate)
penerbit

di

negara

Lembar- 3 (triplicate)

pengekspor.

Lembar-4

Lembar-4 untuk eksportir.

(quadruplicate)

22

Simpulan
Fasilitas kepabeanan pada hakekatnya merupakan suatu bentuk insentif
kepada masyarakat usaha, baik dalam bentuk fiskal maupun non fiskal yang
ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan pemerintah.
Fasilitas pelayanan kepabeanan ditujukan untuk memperlancar arus barang,
orang maupun dokumen dalam sistem atau tata laksana kepabeanan di bidang
impor. barang, orang maupun dokumen. Fasilitas fiskal kepabeanan utamanya
ditujukan untuk memberikan insentif fiskal yang bersifat meringankan beban para
pelaku usaha. Fokus utama pemberian insentif fiskal antara lain adalah untuk
kepentingan sektor industri dan perdangangan, kepentingan publik, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga perlakuan yang lazim dalam tata
pergaulan internasional.
Yang termasuk kriteria fasilitas pelayanan, antara lain: izin membongkar di
luar kawasan pabean, vooruitslag, rush handling, jalur mita prioritas, pre
notification, dan lain-lain. Karakteristik dari fasilitas pelayanan biasanya sudah
terintegrasi di dalam sistem tata laksana kepabeanan baik impor maupun ekspor.
Secara umum kewenangan pemberian izin atas fasilitas non fiskal ini telah
diserahkan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat walaupun masih ada
beberapa kewenangan perizinan yang masih dilaksanakan oleh Direktur
Jenderal cq. Direktur teknis terkait.
Yang termasuk kriteria fasilitas fiskal kepabeanan, antara lain: tidak
dipungut Bea Masuk, pembebasan Bea Masuk, pembebasan atau keringanan
Bea Masuk, pengembalian Bea Masuk, penangguhan Bea Masuk, pembebasan
atau keringanan Bea Masuk atas impor sementara, perlakuan tarif preferensi Bea

23

Masuk dan Bea Masuk ditanggung pemerintah. Dari beberapa kriteria fasilitas
fiskal kepabeanan tersebut, perlakuan tarif preferensi mengacu kepada
keterikatan Indonesia dalam perjanjian kerjasama ekonomi dan pendirian suatu
kawasan perdagangan bebas baik secara bilateral maupun multilateral. Fasilitas
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah merujuk kepada Undang-undang APBN
yang setiap tahun disusun oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat.

24

Sumber Bacaan:
Barang Impor Untuk Dipakai Dengan Menggunakan Jaminan (Vooruitslag).
Barang Impor Untuk Dipakai Dengan Pelayanan Segera.
Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK140/PMK.04/2007 tentang Impor
Sementara.
Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK148/PMK.04/2007 tentang
Pengeluaran.
Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK160/PMK.04/2007 tentang
Pengeluaran.
Surono dan Jafar, Mohamad. (2009). Fasilitas Kepabeanan. Jakarta: LPPK
Widya Bakti.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007.

25

Anda mungkin juga menyukai