Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN PERILAKU PENCARIAN PENGOBATAN DENGAN


KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI PROVINSI SULAWESI UTARA

BERDASARKAN DATA RISKESDAS TAHUN 2010 DITINJAU


DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM

Disusun oleh :
FAISAL MUHAMMAD
NPM 1102013104

Proposal ini diajukan sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana
Kedokteran

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
TAHUN 2016

LEMBAR PERSETUJUAN

Hubungan Perilaku Pencarian Pengobatan dengan kejadian Tuberkulosis


Paru di Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan data Riskesdas tahun 2010
di tinjau dari Kedokteran dan Islam.
Nama

: FAISAL MUHAMMAD

NPM

: 1102013104

Pembimbing,

Penguji,

(DR.Kholis Ernawati,S.Si,M.Si)
NIP :

Jakarta, Maret 2016


Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Dekan,

(dr.H.Insan Sosiawan Tunru,Ph.D)


NIP :

DAFTAR ISI

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis

(TB)

adalah

penyakit

yang

disebabkan

oleh

infeksi

Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksius, yang


terutama menyerang penyakit parenkim paru (Smeltzer & Bare, 2001). Gejala utama
adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu
dahak, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
lebih dari 1 bulan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ,2011).
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat
bermakna, ditandai dengan pencapaian target penemuan penderita TB dan turunnya
peringkat TB Indonesia. Indonesia kini bahkan hampir mendekati target Millenium
Development Goals (MDGs) karena bisa meredam TB. Target MDGs pada tahun
2015 adalah 222 per 100.000 penduduk untuk rasio penderita TB. Indonesia pada
tahun 2008 sudah mencapai prevalensi TB 253 per 100.000 penduduk. Angka
kematian TB pada tahun 2008 juga menurun tajam menjadi 38 per 100.000 penduduk
dibandingkan tahun 1990 sebesar 92 per 100.000 penduduk. Penurunan jumlah
kematian akibat TB ini karena implementasi DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) yang sejalan dengan petunjuk badan kesehatan dunia (Menkes RI 2008).
World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2012,
mencatat peringkat Indonesia menurun dari posisi tiga ke posisi empat dengan jumlah
penderita TBC sebesar 321.000 orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus
insiden pada tahun 2012 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Indonesia dan Pakistan
(WHO, 2012)

Menurut Riskesdas 2013, di Indonesia ada lima provinsi dengan TB paru


tertinggi yaitu Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo
(0,5%), Banten (0,4%) dan Papua Barat (0,4%). Dari seluruh penduduk yang
didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan, hanya 44,4% diobati dengan obat
program. Lima provinsi terbanyak yang mengobati TB dengan obat program adalah
DKI Jakarta (68,9%), DI Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat
(54,2%) dan Jawa Tengah (50.4%). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia
yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 ditemukan bahwa
prevalensi TB Nasional dengan pemeriksaan BTA mikroskopis pagi-sewaktu dengan
dua slide BTA positif adalah 289/100.000 penduduk, sedangkan prevalensi TB
Nasional dengan satu slide BTA positif adalah 415/100.000 penduduk (Balitbangkes
Depkes RI, 2010).
Di Indonesia penyakit ini merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
karena kasusnya terus meningkat setiap tahunnya tetapi tidak dapat terdeteksi dengan
baik karena salah satu penyebabnya adalah perilaku pencarian pengobatan yang
menjadi tersangka penderita penyakit ini tidak datang ke fasilitas kesehatan.
Penjaringan Suspek TB memegang peranan penting pada upaya penanggulangan
penyakit TB di Indonesia dalam rangka memutus mata rantai penularan TB.Penelitian
penelitian terkait tentang tuberkulosis sudah banyak di Indonesia, namun kebanyakan
terbatashanya pada keberhasilan pengobatan Tuberkulosis saja. Penelitian yang akan
dilakukan peneliti yaitu Hubungan perilaku pencarian pengobatan dengan kejadian
tuberkulosis usia 15 tahun di provinsi Sulawesi Utara berdasarkan data Riskesdas
tahun 2010.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, dimana perilaku pencarian pengobatan menjadi
salah satu faktor yang meningkat pada negara berkembang dan Sulawesi Utara
menjadi salah satu provinsi dengan Periode Prevalensi TB tertinggi menurut data
Riskesdas tahun 2010, maka pertanyaan pada penelitian ini adalah
Apakah terdapat hubungan perilaku pencarian pengobatan dengan kejadian
Tuberkulosis diatas usia 15 tahun di provinsi Sulawesi Utara berdasarkan data
Riskesdas 2010 ?
1.3 Pertanyaan Penelitian
a. Berapa prevalensi Tuberkulosis Paru di Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan
data Riskesdas tahun 2010 ?
b. Berapa distribusi frekuensi perilaku pencarian pengobatan Tuberkulosis Paru
di Sulawesi Utara berdasarkan data Riskesdas tahun 2010
c. Apakah ada hubungan perilaku pencarian pengobatan dengan kejadian
Tuberkulosis Paru di Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan data Riskesdas
tahun 2010 ?
1.4 Tujuan
1.4.1

Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan perilaku pencarian pengobatan dengan kejadian


Tuberkulosis Paru di Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan data Riskesdas tahun 2010
1.4.2

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi Tuberkulosis Paru di Provinsi Sulawesi


Utara berdasarkan data Riskesdas 2010
2. Mengetahui

distribusi

frekuensi

perilaku

pencarian

pengobatan

Tuberkulosis Paru di Sulawesi Utara berdasarkan data Riskesdas tahun


2010
3. Mengetahui pola perilaku pencarian pengobatan Tuberkulosis Paru di
Sulawesi Utara berdasarkan data Riskesdas tahun 2010
1.5 Manfaat
1.5.1

Bagi Ilmu Pengetahuan


1. Mengembangkan pengetahuan mengenai TB paru.
2. Mengembangkan pengetahuan mengenai faktor resiko perilaku pencarian
pengobatan yang berhubungan dengan TB paru.

1.5.2

Bagi Profesi
1. Mendapat pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan
penelitian
2. Meningkatkan kemampuan komunikasi peneliti dengan masyarakat

1.4.3

Bagi Masyarakat
1. Memberi gambaran pengetahuan bagi masyarakat tentang faktor yang
mempengaruhi kejadian tuberkulosis

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perilaku
2.2.1. Pengertian Perilaku
Menurut teori S-O-R (Stimulus-organisme-Respons) yang dikeluarkan oleh
Skiner dalam Notoatmodjo (2010), perilaku adalah respons atau reaksi seseorang
terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku
manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu perilaku tertutup (Covert Behavior)
dimana respons yang ada masih terselubung, masih terbatas pada pada perhatian,
perasaan, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus yang
bersangkutan. Dari perilaku ini dapat diukur pengetahuan dan sikap. Kemudian
perilaku terbuka (Overt Behavior), dimana respons individu dalam bentuk tindakan
nyata atau terbuka yang dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Walaupun perilaku
dibedakan antara perilaku tertutup dan terbuka, namun sebenarnya perilaku
merupakan keseluruhan pemahaman dan aktivitas seseorang (Notoatmodjo, 2010).
Bloom (1908) dalam Notoadmojo (2010) membagi ranah (domain) perilaku menjadi
tiga tingkatan, yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan
2.2.2 Perilaku Pencarian Pengobatan
Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa masyarakat atau anggota masyarakat yang
mendapat sakit namun tidak merasakan sakit (diseases but no illness) sudah barang
tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka
menderita sakit dan merasakan sakit maka baru akan timbul berbagai macam perilaku
dan usaha agar sembuh dari penyakitnya. Berbagai respons dilakukan orang apabila
menderita suatu penyakit, yaitu :

1. Tidak bertindak apa-apa (no action). Alasanannya antara lain bahwa kondisi
demikian tidak mengganggu aktifitas mereka. Atau karena fasilitas kesehatan
letaknya jauh, petugas kesehatan tidak simpatik, dan sebagainya.
2. Mengobati sendiri (self treament), dengan alasan tambahan karena orang atau
masyarakat tersebut sudah percaya pada diri sendiri, dan sudah merasa bahwa dengan
pengalaman pengobatan dengan usaha sendiri sudah mendatangkan kesembuhan. Hal
ini mengakibatkan pencarian pengobatan di luar tidak diperlukan
3. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy). Untuk
masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional menduduki tempat teratas
dibandingkan dengan pengobatan lain. Dukun, yang melakukan pengobatan
tradisional merupakan bagian masyarakat, dekat dengan masyarakat dan biasanya dia
lebih diterima oleh masyarakat daripada dokter, mantri atau bidan.
4. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh
pemerintah atau lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai
pengobatan, puskesmas, rumah sakit dan dokter praktek (private medicine)
2.2 Tuberkulosis
2.2.1 Definisi
Setiap penyakit menular pada manusia dan hewan lain yang disebabkan oleh
spesies Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis
berkiju pada jaringan setiap organ;pada manusia,paru-paru adalah tempat utama
infeksi dan biasanya merupakan pimtu gerbang masuknya infeksi ke organ lainya
(Dorland, 2011).

2.2.2 Sumber dan Cara Penularan

Sumber penularan TB adalah penderita TB BTA Positif. Pada waktu batuk


atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet nuclei
(percikan dahak). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan selama beberapa jam pada keadaan
yang lembab dan gelap.
Pada umumnya penularan akan terjadi di dalam ruangan, dan dalam waktu
yang lama. Dengan adanya ventilasi yang baik, dapat mengurangi jumlah percikan,
dan sinar matahari langsung dapat membunuh kuman(Widoyono,2008). Daya
penularan pasien TB ditentukan oleh berapa banyaknya kuman TB yang dikeluarkan
dari paru paruya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat
kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
2.2. 3 Penyebab Tuberkulosis
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Ditemukan
pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di
Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati
sebagai hari Tuberkulosis.
Karakteristik kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai ukuran
0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok,
bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal
yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian
warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan
terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat
dorman (dapat tertidur lama) dan aerob (Werdani,2008)

2.2.4 Klasifikasi

Penentuan

klasifikasi

penyakit

dan

tipe

pasien

tuberculosis

memerlukan

suatudefinisi kasus yang meliputi empat hal,yaitu (Kemenkes RI,2011):


a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru
b. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau
BTA negatif
c. Riwayat pengobatan TB sebelumnya,pasien baru atau sudah pernah diobati
d. Status HIV pasien.
Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat. Saat ini sudah tidak di masukkan
dalam penentuan definisi kasus
Beberapa istilah dalam definisi kasus :
1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter atau petugas TB untuk diberikan pengobatan TB.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan,sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2.2.5

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena :

1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberculosis yang menyerang


jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hillus.
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelanjar
lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain.
Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru.
2.1.4.2 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,keadaan
ini terutama ditunjukan pada TB paru :
1. Tuberkulosis paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA


positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukan gambaran tuberculosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
d. 1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostic TB paru BTA negatif harus meliputi :
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
b. Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberculosis.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT,bagi
pasien dengan HIV negatif.
d. Ditentukan (dipertimbangkan)

oleh

dokter

untuk

diberi

pengobatan.
2.1.4.1 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasrkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe
pasien,yaitu
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu ). Pemeriksaan BTA bisa
postif atau negatif.
2. Kasus yang sebelumnya diobati
a. Kasus sembuh (Relaps)
Adalah psien tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
b. Kasus setelah putus obat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.

c. Kasus setelah gagal (Failure)


Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
3. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan
pengobatanya.
4. Kasus Lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,seperti yang
i.
tidak diketahui riwayat oengibatan sebelumnya,
ii.
pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatanya,
kembali diobati dengan BTA negatif
2.2.3 Patogenesis
2.2.3.1 Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman di batukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam,tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet,ventilasi yang buruk dan kelembapan. Dalam
suasana lembap dan gelap kuman dapat bertahan berhari-hari sampai
berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan
menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke
alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer,kemudian baru oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar
dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap dijaringan paru,berkembang biak dalam sito-plasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainya. Kuman
yang bersarang di jaringan paru akan ber-bentuk sarang tuberkulosis
pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau sarang (fokus) Ghon.
Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk

melalui saluran gastrointestinal,jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi


limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar
ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri
pulmonalis maka terjadilah penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB
milier (Setiati S, 2014).
2.2.3.2 Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian

sebagai

infeksi

endogen

menjadi

tuberkulosis

dewasa

(tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas


reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas
menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal
ginjal. Tuberkulosis pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di region atas paru (bagian apical-posterior lobus superior atau
inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus
hiller paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 310 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri
dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti)
yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. TB pasca
primer juga dapat berasal dari infesi eksogen dari usia muda menjadi TB
usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman,virulensi-nya
dan imunitas pasien,sarang dini ini dapat menjadi:
a. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
b. Sarang yang mula-mula meluas,tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi
keras,menimbulkan per-kapuran. Sarang dini yang meluas sebagai
granuloma berkembang menghancyrkan jaringan ikat sekitarnya dan
bagian tengahnya menjadi nekrosis,menjadi lembek membentuk jaringan
keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas.

Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal


karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besarm sehingga
menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas
adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
di produksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate
TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut (Setiati S, 2014).

2.1.6 Diagnosis TB

a. Pada suspek pasien TB ditemukan BTA (+) pada >= 2 hasil pemeriksaan dahak SP-S, maka ditegakkan : diagnosis pasien TB, dan selanjutnya dilakukan penetapan
klasifikasi dan tipe pasien TB, untuk menentukan regimen pengobatan OAT-nya.

b. Pada suspek pasien TB, ditemukan BTA (+) pada hanya 1 hasil pemeriksaan dahak
S-P-S, maka dilakukan pemeriksaan foto thorax :
- Bila hasil foto thorax mendukung kelainan TB, maka ditegakkan diagnosis pasien
TB, selanjutnya dilakukan penetapan klasifikasi dan tipe pasien TB untuk
menentukan regimen pengobatan OAT-nya.
- Bila hasil foto thorax tidak mendukung kelainan TB, maka dapat dilakukan
pemeriksaan dahak S-P-S ulang :

Bila ditemukan BTA (+), ditegakkan diagnosis pasien TB

Bila tidak ditemukan BTA (+), ditegakkan diagnosis bukan pasien TB

c. Pada suspek pasien TB, ditemukan BTA (-) pada ke-3 hasil pemeriksaan dahak SP-S, maka diberi pengobatan antibiotik spektrum luas terlebih dahulu, dan bila ada
perbaikan, maka ditegakkan diagnosis bukan pasien TB. Apabila dengan antibiotik
spektrum luas tidak ada perbaikan, maka dilakukan pemeriksaan foto thorax :
- Bila hasil pemeriksaan foto thorax mendukung kelainan TB, maka ditegakkan
diagnosis pasien TB, selanjutnya dilakukan penetapan klasifikasi dan tipe pasien TB
untuk menentukan regimen pengobatan OAT-nya.
- Bila hasil pemeriksaan foto thorax tidak mendukung kelainan TB maka ditegakkan
diagnosis bukan pasien TB.

2.3 Hubungan perilaku pencarian pengobatan dengan Tuberkulosis Paru


Informasi tentang perilaku pencarian pengobatan TB merupakan hal yang
penting dalam rangka penanggulangan Penyakit TB, terutama dalam hal upaya
penjaringan suspek/penemuan kasus TB. Apabila ada penderita TB yang tidak
terjaring atau terlambat didiagnosis, maka akan berpotensi menularkan kepada orang
lain, yang pada akhirnya akan terjadi peningkatan kasus TB di masyarakat.
Penelitian kualitatif yang dilakukan di Kota Yangon, Myanmar tahun 2004
tentang Public and/or private health care: Tuberculosis patients perspectives in
Myanmar terlihat bahwa sebagian besar informan dalam pertama kali mencari
perawatan di luar rumah adalah ke praktek dokter, sebelum konfirmasi hasil diagnosis
TB di laboratorium keluar. Suatu penelitian kualitatif lain yang dilakukan di
Indonesia tentang Perilaku Pencarian Pengobatan Tersangka penderita TB Paru di
Wilayah Puskesmas Tanjung Paku Kota Solok, Sumatera Barat, ternyata masih ada
tersangka/suspek TB yang yang berobat ke dukun, mengobati sendiri, membeli obat
di warung dan tidak melakukan tindakan pengobatan terhadap gejala TB yang

dialaminya (Kadri, 2005). Beberapa penelitian kuantitatif yang dilakukan di


Indonesia, juga menunjukkan variasi dalam pencarian pengobatan suspek TB. Pada
penelitian Gaffar (2000) tentang Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pencarian
Pengobatan Bagi Tersangka Penderita TB Paru di Kecamatan Banggai Kabupaten
Banggai Kepulauan, menyimpulkan bahwa sebanyak 8,28% penderita tersangka TB
paru tidak mencari pengobatan, 16,32% mengobati sendiri, 9% mencari pengobatan
ke tempat tradisional, 45,54% mencari pengobatan ke fasilitas pelayaanan kesehatan
swasta, dan 27,81% mencari pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah. Penelitian Thawaf (2000) tentang Perilaku Pencarian Pengobatan Suspek
TB di Puskesmas DTP Jayagiri, Lembang, Bandung, diperoleh proporsi tersangka TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Jayagiri, Bandung adalah 0,79 %. Perilaku
pencarian pengobatan pertama kali ke Puskesmas 30,7%, ke non puskesmas 69,3%.
Sedangkan penelitian Mardjono Samad (2001) pada suspek TB di Kecamatan Palu
Selatan, Kota Palu, di dapatkan 26,1% tersangka TB Paru tidak menggunakan
pelayanan kesehatan, dan 73,9% menggunakan pelayanan kesehatan
2.2 Teori Penyakit
Tentang timbulnya penyakit, teori Gordon dan Le Richt pada tahun 1950 dalam
Azwar (2012) menyebutkan bahwa timbul atau tidaknya penyakit pada manusia
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yakni :
1. Penjamu (host), antara lain faktor keturunan, mekanisme pertahanan
tubuh, usia, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pekerjaan, kebiasaan
hidup.
2. Bibit penyakit (agent), yakni golongan nutrient, golongan kimia, golongan
fisik, golongan mekanik , golongan biologik.
3. Lingkungan (environment), yakni lingkungan fisik dan non fisik.
Dari teori Green, Gordon dan Le Richt diatas maka dapat di simpukan bahwa
faktor terjadinya Tuberkulosis Paru adalah perilaku atau host, agent yaitu
Mycobacterium tuberculosis, dan juga faktor lingkungan atau environment.

Perilaku yang dimaksud adalah status gizi yang berasal dari beberapa faktor
seperti faktor predisposisi, pendukung dan pendorong.
2.3 Teori HL Blum
Menurut Suyono & Budiman (2010), paradigma Blum tentang status kesehatan
dipengaruhi oleh empat faktor yaitu keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku
dan lingkungan . Keempat faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain
dan faktor yang paling berhubungan dengan status kesehatan adalah faktor
lingkungan.
2.4 Riskesdas 2010
Riskesdas 2010 merupakan kegiatan riset kesehatan berbasis masyarakat yang
diarahkan untuk mengevaluasi pencapaian indikator Millenium Development
Goals (MDGs) bidang kesehatan di tingkat nasional dan provinsi.
Tujuan Riskesdas 2010 utamanya adalah mengumpulkan dan menganalisis
data indikator MDG kesehatan dan faktor yang mempengaruhinya. Desain
Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan merupakan penelitian nonintervensi.

Populasi

sampel

mewakili

seluruh

rumah

tangga

di

Indonesia.Pemilihan sampel dilakukan secara random dalam dua tahap. Tahap


pertama melakukan pemilihan Blok Sensus (BS) dan tahap kedua pemilihan
Rumah tangga (ruta), yaitu sejumlah 25 ruta untuk setiap BS. Besar sampel
yang direncanakan sebanyak 2800 BS, diantaranya 823 BS sebagai sampel
biomedis (malaria dan tuberkulosis). Sampel BS tersebut tersebar di 33
Provinsi dan 441kabupaten/kota (Riskesdas,2010)

2.2

Kerangka Konsep
Host :

Tuberkulosis Paru

Perilaku pencarian
pengobatan

2.3

Variabel Independen

: Perilaku pencarian pengobatan

Variabel Dependen

: Tuberkulosis Paru

Hipotesis
Dari kedua variabel diatas, maka penelitian ini hipotesanya :
Ha: Ada hubungan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kejadian
Tuberkulosis Paru.

2.4

Definisi Operasional

Variabel
a). Prevalensi

Definisi Operasional
Jumlah prevalensi

TB Paru

Tuberkulosis Paru dari

Alat
Kuisioner

Hasil ukur
1.Ya

Skala
Ordinal

2.Tidak

hasil pemeriksaan
laboratorium BTA
b). Perilaku
Pencarian

a. Tidak
Pernyataan tentang

Kuisioner

diobati

Ordinal

Pengobaan
Berat

tindakan responden

b diobati

dalam mengatasi gejala

sendiri

TB paru

c. Berobat ke

Badan

pengobatan
tradisional
d. Berobat ke
tenaga
kesehatan

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah Deskriptif korelatif,
yang akan menghubungkan faktor resiko suatu penyakit dengan efek dari faktor
resiko tersebut.
3.2 Rancangan Penelitian
Survey cross sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi
antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo,
2012). Penelitian ini untuk menilai hubungan variabel dependen( Tuberkulosis
Paru) maupun independent (perilaku pencarian pengobatan) diukur secara
bersama diwaktu bersamaan tanpa adanya follow up.
3.3 Populasi
Populasi yang akan di gunakan pada penelitian ini adalah provinsi Sulawesi Utara
dengan kriteria usia diatas 15 tahun dan jumlah penderita Tuberkulosis Paru
sebanyak 2.319 orang.
a. Sampel
Sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling dimana keseluruhan
penderita Tuberkulosis berjumlah 2.319 orang dan sampel ini diambil dari Lab
Mandat Litbangkes Kemenkes RI.

b. Jenis Data
Jenis data yang di pakai pada penelitian ini adalah Data Sekunder, yang
merupakan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 di provinsi
Sulawesi Utara.
3.6 Analisa Data
Pengolahan data dengan komputer dapat melalui tahap-tahap sebagai berikut :

1. Editing
Hasil wawancara,angket atau pengamatan dari lapangan harus dilakukan
penyuntingan (editing) terlebih dahulu.
2. Coding
Setelah semua kuesioner diedit atau sunting, selanjutnya dilakukan
pengkodean atau coding, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau
huruf menjadi data angka atau bilangan.
3. Memasukan data (Data Entry)
Data,yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam
bentuk kode (angka atau huruf) dimasukan ke dalam program atau
software komputer.
4. Pembersihan Data (Cleaning)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukan,
perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya
kesalahan-kesalahan

kode,ketidaklengkapan,

dan

sebagainya,kemudian

dilakukan pembetulan atau koreksi (Notoatmodjo,2012).


Dan pada penelitian ini menggunakan Analisis Bivariate yang dilakukan terhadap
dua variabel yang di duga berhubungan atau berkorelasi.

3.7 Alur Penelitian


RISKESDAS 2010

ANALISA DATA

3.8 Jadwal Penelitian


Kegiatan
Bimbingan Proposal
Ujian Proposal
Pelaksanaan Penelitian
Pengolahan Data
Ujian Skripsi

Waktu
November 2015-Maret 2016
Maret 2016
April 2016
April 2016- September 2016
September 2016- Oktober 2016

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Mansjoer (ed.), dkk.2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I.Jakarta:Media Aesculapius
Badan Litbangkes Depkes RI, 2010, Riset Kesehatan Dasar 2010, Jakarta
Widoyono. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008
Werdani, Retno Asti. 2008. Patofisiologi, Diagnosis, Klasifikasi Tuberkulosis. Jurnal
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi dan Keluarga FKUI. Jakarta
Kementrian

Kesehatan

Republik

Indonesia

(Kemenkes

RI).2011.Strategi

Nasional

Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.Jakarta:Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit


dan Penyehatan Lingkungan (P2PL).

World Health Organization.2015.Global Tuberculosis Report.Available from :


http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/ [Accessed on 14 Januray 2016]
Kementrian

Kesehatan

Republik

Indonesia

(Kemenkes

RI).2013.Riset

Dasar.Jakarta:Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Dorland,W.A Newman.2011.Kamus Saku Kedokteran Dorland.Jakarta:EGC

Kesehatan

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).2010.Riset Kesehatan


Dasar.Jakarta:Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).2011.Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta:Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL).
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).2011.Strategi Nasional
Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.Jakarta:Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL).
Smeltzer, S.C., dan Bare B.G., 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC.
Widoyono, 2005. Penyakit Tropis; Epidemiologi, Penularan, Pencegahan
dan Pemberantasannya, Penerbit Erlangga, Jakarta. engobatan Penderita

Suspek TB Paru di Indonesia (Thesis). 201

ANGGARAN

BIODATA PENELITI

Nama lengkap

: Faisal Muhammad

Nomor Induk Mahasiswa : 1102013104


Tempat/tanggal lahir

: Jakarta, 17 Maret 1996

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Fakultas/Program studi

: Kedokteran/Kedokteran Umum

Alamat Rumah

: Jl.Kalibaru Timur 3 no 69, Kelurahan Bungur. Jakarta


Pusat

Riwayat Pendidikan
No
1
2
3
4
4

Pendidikan
Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Meranti
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 216 Jakarta
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 77 Jakarta
Sekolah Internasional Islamic Boarding School
Universitas Yarsi

Tahun
2001-2007
2008-2011
2011-2013
2013-sekarang

Anda mungkin juga menyukai