Anda di halaman 1dari 3

Analisis Tawuran Antar Pelajar ditinjau dari Teori Albert Bandura dan Erik

H. Erikson
Teori belajar sosial Bandura menunjukkan pentingnya proses mengamati dan
meniru perilaku, sikap dan reaksi orang lain. Kebanyakan dari pembelajaran yang
dilakukan manusia, menurut Bandura diperoleh melalui mengobservasi perilaku
orang lain dalam konteks sosial dibandingkan dengan melalui prosedur-prosedur
standar pengkondisian.
Menyikapi tawuran yang terjadi antar pelajar akhir-akhir ini, teori belajar
sosial Bandura dapat menjelaskan kenapa hal tersebut bisa terjadi pada remaja?
Pada usia remaja pergaulan dan interaksi sosial dengan teman sebaya bertambah
luas dan kompleks dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya termasuk
pergaulan

dengan

lawan

jenis.

Remaja

tidak

lagi

memilih

berdasarkan

kemudahannya, apakah disekolah atau dilingkungan tetangga. Remaja mulai


menginginkan teman yang memiliki nilai-nilai yang sama, yang dapat memahami,
membuat rasa aman, mereka dapat mempercayakan masalah-masalah dan
membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orangtua.
Dari segi teori belajar sosial Bandura yang menjelaskan bahwa seseorang
akan meniru apa yang telah dia lihat melalui observasi. Tayangan televisi atau
game yang berbentuk kekerasan akan meningkatkan agresivitas remaja. Maka tidak
dipungkiri lagi tawuran antar remaja salah satunya disebabkan dari peniruan
remaja terhadap tingkah laku yang dipertontonkan melalui televisi atau game yang
dimainkan.
Kekerasan dan tawuran yang terjadi antar pelajar sudah begitu mambudaya,
entah saat dalam waktu efektif belajar atau pulang sekolah. Hal ini sudah sangat
memperhatinkan dikalangan remaja. Peniruan yang dilakukan oleh pelajar terhadap
kaka kelas mereka yang sering tawuran adalah salah satu penyebabnya. Inilah yang
dijelaskan oleh Albert Bandura, bahwa seseorang akan meniru melalui obervasi
terhadap perilaku orang lain. Apalagi bentuk agresifitas berupa tawuran akan cepat
ditiru oleh yang mengamati dalam hal ini adik kelasnya yang tidak mau ketinggalan
dalam

masalah

tawuran,

terlebih

lagi

lingkungan

yang

melakukan tawuran sebagai kesetiaan terhadap kelompoknya.

mendukung

untuk

Peniruan terhadap teman sebaya seperti meniru tingkah laku, pakaian, sikap,
dan tindakan teman-temannya dalam satu kelompok adalah cara yang dilakukan
oleh remaja sebagai tindakan dari hasil obervasi. Ia ingin diterima oleh kawankawannya dan merasa sedih bila dikucilkan dari kelompoknya. Padahal masa remaja
adalah sebagai masa perkembangan yang sangat penting, sudah semestinya
digunakan dan diarahkan kepada hal yang lebih positif.
Menurut teori Erik H. Erikson pada masa remaja disebut dengan tahap
identitas versus kebingungan (Identity vs Role Confusion). Pada masa ini remaja
berusaha untuk mencari tahu jati dirinya, apa makna dirinya, dan kemana mereka
akan menuju. Mereka berhadapan dengan banyak peran baru dan status dewasa
(seperti

pekerjaan

dan

pacaran).

Remaja

perlu

diberi

kesempatan

untuk

mengeksplorasi berbagai cara untuk memahami identitas dirinya. Apabila remaja


tidak cukup mengeksplorasi peran yang berbeda dan tidak merancang jalan ke
masa depan yang positif, mereka bisa tetap bingung akan identitas dirinya
(Santrock, 2004:87).
Masalah tawuran antar pelajar dikalangan remaja adalah sebagai kekacauan
identitas dari remaja. Identitas negatif akan menjadi pelarian dan pengganti atas
kecemasan akan kekacauan identitas yang dialaminya. Salah satu bentuk identitas
negatif adalah tawuran. Mereka ingin menunjukkan identitas keberadaan mereka
sebagai remaja. Kebingungan-kebingingan akan jati diri mereka dilampiaskan
dengan kekerasan berupa tawuran. Terlebih dipengaruhi oleh angkatan kelas
mereka terdahulu. Kekacauan identitas inilah yang menjadikan remaja menentang
aturan-aturan yang ada dimasyarakat, bahkan mereka lebih memilih dan mengakui
nilai-nilai kelompok sebaya yang mereka yakini. Remaja tidak menghiraukan apakah
perbuatan tawuran tersebut merugikan atau menguntungkan bagi mereka, yang
penting mereka ikut akan kelompok sebagai kesetiaan mereka terhadap kelompok
tersebut.

Dapus
Santrock, John. W. 2007. Educational psychology, 2nd edition. Dialihbahasakan oleh
Tri Wibowo B. S. Jakarta: Kencana

Menurut Jean Piget, psikolog yang mengembangkan teori perkembangan kognitif, kaum muda
dimasukkan dalam tahap pemikiran formal-operasional (formal-operational thought). Pada masa
ini, mereka mencoba menyusun hipotesa dan menguji berbagai alternatif pemecahan masalah
hidup sehari-hari. Kini, ia makin menyadari keberadaan masalah-masalah disekelilingnya. Salah
satunya, bagaimana membuktikan kesetiakawanan. Konsekuensi logis sesuai perkembangan
kognitifnya mengatakan supaya ia mengikuti segala aturan kelompok, walaupun aturan
kelompok itu negatif, misalnya tawuran. Ini adalah salah satu bentuk uji coba pemecahan
masalah mereka.
Kohlberg, psikolog yang mengembangkan teori moral, mengklasifikasikan kaum muda dalam
tahap konvensional. Pada masa ini, seorang muda mulai sadar adanya tuntutan dari luar dirinya,
terutama teman-temannya. Secara lebih khusus, Kohlberg mengkelompokkan kaum muda pada
tingkat perkembangan moral keempat: orientasi hukum dan ketertiban (law and order
orientation). Usaha-usaha konformitas mendominasi dirinya; bagaimana ia dapat menjalankan
tugas kelompoknya dengan sebaik-baiknya, walaupun itu negatif, tawuran, misalnya. Baginya,
ikut tawuran adalah pertimbangan moral yang paling tepat.

Anda mungkin juga menyukai