Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya, kesehatan gigi dan mulut berhubungan erat dengan kesehatan
tubuh secara umum. Kesehatan tubuh secara umum dapat dikatakan baik jika tidak
terdapat kondisi patologis dalam mulut. Permasalahan yang terjadi pada rongga mulut
dapat bervariasi mulai dari gigi dan mukosa mulut. Pada mukosa mulut dapat terjadi
lesi, penonjolan serta keadaan lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan
kita pada umumnya. Maka jika terjadi gangguan berupa penyakit pada gigi dan mulut
contohnya saja lesi mulut, dapat pula menyebabkan rasa kurang nyaman dan rasa
tidak enak yang dirasakan pada seluruh tubuh.
Banyak penyakit sistemik yang mempunyai manifestasi di rongga mulut.
Rongga mulut dapat menjadi jendela tubuh kita karena banyak manifestasi pada
rongga mulut yang menyertai penyakit sistemik. Banyak lesi pada mukosa mulut,
lidah, gingiva, gigi, periodontal, glandula salivarius, tulang wajah, kulit disekitar
mulut yang terkait dengan penyakit sistemik umum.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana dampak penyakit sistemik terhadap kesehatan rongga mulut?
2. Bagaimana dampak defisiensi gizi, penyakit seksual, autoimun dan
lingkungan terhadap kesehatan rongga mulut?
3. Bagaimana dampak AIDS terhadap kesehatan rongga mulut?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui dampak penyakit sistemik terhadap kesehatan rongga mulut


2 Mengetahui dampak defisiensi gizi, penyakit seksual, autoimun dan
3

lingkungan terhadap kesehatan rongga mulut?


Mengetahui dampak AIDS terhadap kesehatan rongga mulut?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dampak Defisiensi Gizi terhadap Rongga Mulut


Defisiensi zat gizi akan menimbulkan gejala pada tubuh bila
berlangsung lama dan bersifat kronis. Gejala pada tubuh antara lain dapat
terjadi di dalam rongga mulut. Biasanya yang bermanifestasi pada rongga
mulut adalah defisiensi mineral, protein, dan vitamin (Atikah, 2010).

1. Defisiensi mineral
a. Kalsium (Ca), Fosfor (P), Magnesium (Mg)
Fungsi dari Ca, P, dan Mg merupakan unsur utama dalam pembentukan tulang
dan gigi dan merupakan unsur mineral yang terbanyak dalam tubuh. Jika
Kurang Asupan Zat Gizi Ca, P, dan Mg adalah mineralisasi tulang dan gigi
menjadi terganggu, sehingga tulang akan mudah patah, gigi rapuh sehingga
rentan terhadap karies, dan pertumbuhan tulang dan gigi pada anak-anak
menjadi terganggu.
b. Besi (Fe)
Fungsi Fe merupakan unsur pembentukan Hemoglobin. Kekurangan asupan Fe
dapat mengakibatkan anemia, gangguan pada lidah dan luka pada sudut bibir.
Gejalanya berupa penipisan papila pada tepi-tepi lidah, serta penipisan mukosa
mulut secara menyeluruh sehingga pasien rentan terhadap stomatitis aptosa
( sariawan ), dan warna mukosa menjadi pucat.
c. Fluor (F)
Fungsi F mencegah karies gigi dengan meningkatkan daya tahan email,
remineralisasi lesi-lesi karies dini dan sebagai bahan anti bakteri. Jika
kekurangan fluor, pada gigi akan mengakibatkan gigi menjadi rapuh dan mudah
terserang karies karena fungsi flour adalah sebagai pelindung gigi dari serangan
bakteri.
2. Defisiensi protein
Protein banyak terdapat pada daging, telur, susu, ikan dan jagung.
Manifestasi defisiensi protein dalam rongga mulut adalah lidah tampak
berwarna merah karena hilangnya papila, terjadi angular cheilitis dan fissura
bibir atau bibir pecah-pecah. Selain itu rongga mulut terasa kering dan
nampak kotor. Resistensi terhadap infeksi mengalami penurunan sehingga
mudah terjadi infeksi pada jaringan periodontal (Atikah, 2010).
Pada minggu ke-4 dalam pertumbuhan janin terjadi penebalan epitel
dari calon gigi. Dalam proses pembentukan email, terdapat amelogenin dan

ameloblastin yang merupakan bentukan dari protein. Amelogenin akan


dikalsifikasi menjadi sekitar 90% bahan anorganik. Bila protein tidak
mencukupi, email akan mudah rapuh.
3. Defisiensi vitamin
Vitamin dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu jenis vitamin
yang larut dalam air; vitamin B dan vitamin C, dan jenis vitamin yang tidak
larut dalam air; vitamin A, vitamin D, vitamin E, dan vitamin K.
a. Vitamin A
Fungsi vitamin A merupakan vitamin yang berperan dalam pembentukkan indra
penglihatan yang baik, terutama di malam hari, dan sebagai salah satu
komponen penyusun pigmen mata di retina. Selain itu, vitamin ini juga
berperan penting dalam menjaga kesehatan kulit dan imunitas tubuh.
Kekurangan vitamin A cukup besar pengaruhnya terhadap perkembangan gigi
anak. Vitamin ini berperan dalam penyusunan struktur email, sehingga
kekurangan vitamin A dapat menyebabkan pertumbuhan email yang tidak
sempurna.
b. Vitamin B2 (Riboflavin)
Fungsi vitamin B2 (riboflavin) banyak berperan penting dalam metabolisme di
tubuh manusia. Vitamin ini juga berperan dalam pembentukan molekul steroid,
sel darah merah, dan glikogen, serta menyokong pertumbuhan berbagai organ
tubuh, seperti kulit, rambut, dan kuku. Kekurangan asupan vitamin B2 dapat
mengakibatkan terjadinya luka pada sudut mulut (angular ceilitis), luka pada
bibir (cheilitis), radang pada ujung dan bagian samping lidah, lidah tampak
berwarna merah jambu dan licin.
c. Vitamin B12
Fungsi vitamin B12 juga termasuk dalam salah satu jenis vitamin yang berperan
dalam pemeliharaan kesehatan sel saraf, pembentukkan molekul DNA dan
RNA, dan pembentukkan platelet darah.
Kekurangan asupan vitamin B12 dapat mengakibatkan anemia yang
bermanifestasi dalam rongga mulut dengan tanda-tanda lidah halus, mengkilat

dan terasa sakit, mukosa mulut tampak pucat. Kepekaan terhadap rasa makanan
berkurang, luka pada sudut bibir.
d. Vitamin C
Fungsi vitamin C berperan sebagai:
1. Senyawa pembentuk kolagen yang merupakan protein penting
penyusun jaringan kulit, sendi, tulang, dan jaringan penyokong lainnya.
2. Merupakan senyawa antioksidan alami yang dapat menangkal berbagai
radikal bebas dari polusi di sekitar lingkungan kita. Terkait dengan
sifatnya yang mampu menangkal radikal bebas, vitamin C dapat
membantu menurunkan laju mutasi dalam tubuh sehingga risiko
timbulnya berbagai penyakit degenaratif, seperti kanker, dapat
diturunkan.
3. menjaga bentuk dan struktur dari berbagai jaringan di dalam tubuh,
seperti otot.
4. berperan dalam penutupan luka saat terjadi pendarahan dan
memberikan perlindungan lebih dari infeksi mikroorganisme patogen.
Melalui mekanisme inilah vitamin C berperan dalam menjaga
kebugaran tubuh dan membantu mencegah berbagai jenis penyakit.
Kekurangan asupan vitamin C dapat menimbulkan kelainan pada gusi,
gusi meradang dan mudah berdarah, jika terjadi luka penyembuhannya
sangat lambat, pembentukan gigi menjadi terganggu.
e. Vitamin D
Fungsi vitamin D membantu metabolisme kalsium dan mineralisasi tulang.
Jika anak-anak kekurangan vitamin D, erupsi / keluarnya gigi dapat menjadi
terhambat.
f. Vitamin E
Fungsi vitamin E berperan dalam menjaga kesehatan berbagai jaringan di
dalam tubuh, mulai dari jaringan kulit, mata, sel darah merah hingga hati.
Selain itu, vitamin ini juga dapat melindungi paru-paru manusia dari polusi
udara. Nilai kesehatan ini terkait dengan kerja vitamin E di dalam tubuh
sebagai senyawa antioksidan alami.
g. Vitamin K
Fungsi vitamin K banyak berperan dalam pembentukan sistem peredaran
darah yang baik dan penutupan luka. Defisiensi vitamin ini akan berakibat

pada pendarahan di dalam tubuh dan kesulitan pembekuan darah saat terjadi
luka atau pendarahan spontan pada gingiva. Selain itu, vitamin K juga
berperan sebagai kofaktor enzim untuk mengkatalis reaksi karboksilasi asam
amino asam glutamat.
Salah satu tanda-tanda pertama kekurangan vitamin K adalah pendarahan
gusi dan hematuria. Seseorang yang memiliki kekurangan vitamin K akan
melihat gusi berdarah setiap kali dia sikat gigi.
2.2.

Dampak Penyakit Autoimun terhadap Penyakit Gigi dan Mulut


Gangguan autoimun adalah suatu

kondisi yang terjadi ketika sistem

kekebalan tubuh secara keliru menyerang dan menghancurkan jaringan sehat.


Pasien dengan gangguan autoimun, sistem kekebalannya tidak bisa membedakan
antara jaringan tubuh yang sehat dan antigen. Hasilnya adalah resposn imun yang
merusak jaringan tubuh normal
1. Sindrom Sjogren
Atau sering disebut autoimmune exocrinopathy adalah penyakit autoimun
sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan biasanya memberikan
gejala kekeringan persisten pada mulut dan mata akibat gangguan fungsional
kelenjer saliva dan lakrimalis. 20-30 % pasien sindrom sjogren primer
mengalami pembesaran kelenjar parotis atau submandibularis yang tidak
nyeri.Pembesaran kelenjar ini dapat bertransformasi menjadi limfoma
2. Pemphigoid

Merupakan penyakit vesikulobulus autoimun yang jarang terjadi, dan


dapat menyerang kulit dan mukosa mulut. Kondisi ini ditandai dengan
pembentukan bulla sub epitalial. Gambaran oral sangat bervariasi tetapi
kadang-kadang terlihat sebagai daerah-daerah ulserasi mukosa atau gingivitis
deskuamatif

3. Pemphigus

Merupakan sekumpulan kelainan vesikulobulous yang ditandai oleh


serangan pada kulit, mulut, serta daerah membran mukosa lainnya. Gambaran
klinis pemphigus tidak spesifik dengan daerah yang mengalami erosi pada
mukosa mana saja. Pemphigus biasannya penyakit orang tua dan wanita lebih
banyak terserang dibandingkan pria
4. Anemia Pernisiosa
Penyakit autoimun ini biasannya terjadi pada wanita tua dan setengan
baya. Pasien tidak mempunyai keluhan spesifik pada saluran pencernaan
tetapi akan mengalami simptom-simptom sebagai akibat kekurangan vitamin
B12. Gambaran oral memperlihatkan adanya glositis, keilitis, angularitis,
sindrom rasa terbakar pada mulut atau ulserasi oral yang berulang
5. Lichen Planus

Lichen Planus adalah suatu penyakit kulit biasa yang seringkali


mempunyai manifestasi mukosa. Etiologi dan patogenesisnya tidak dketahui ,
meskipun bukti menunjukkan bahwa lichen planus adalah kelainan
imunologik, kemungkinan suatu penyakit autoimu, dimana limfosit T merusak
lapisan sel basal dari epitel yang terkena. Lesi-lesi kulit dari lichen planus
pada awalnya terdiri atas papula-papula kecil, puncaknya rata, merah dengan
tengahnya berlekuk. Papula sedikit demi sedikit mendapat warna ungu dan
licheniikasi permukaan terdiri atas striae putih kecil. Lesi lesi oral dari
lichenplanus dapat mempunyai 1 dari 4 gambaran : atrofik, erosif, menyebar
(retikuler) atau mirip plak.
2.3 Dampak Penyakit Seksual terhadap Penyakit Gigi dan Mulut
1. Gonore
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Neisseria Gonorrhoea yang menular
melalui hubungan seksual dari alat kelamin, mulut atau anus. Gejala yang
terdapat dalam mulut yaitu stomatitis, atropi papila lidah bagian tengah, terdapat
nanah yang keluar dari gusi dan selain itu juga terjadi atritis pada sendi rahang
2. Herpes Genital
Virus herpes simpleks yang menyebabkan penyakit ini dapat menimbulkan
infeksi di beberapa bagian tubuh dan salah satunya pada rongga mulut, infeksinya
berupa penyakit gingivostamatitis yang menyerang gusi. Terdapat juga infeksi
rekuren pada area wajah dan bibir yang dikenal dengan herpes labialis atau fever
blister atau cold sore dengan bentuk berupa vesikel/gelembung berisi cairan yang
berkelompok di daerah tepi bibir.

3. HIV/AIDS
Menurunnya imunitas tubuh pada penderita penyakit ini menyebabkan
timbulnya berbagai infeksi dan infeksi-infeksi ini mempunyai manifestasi
didalam rongga mulut. Infeksi jamur Candida albicans merupakan hal yang
sering ditemukan dalam rongga mulut, dan selain itu juga sering ditemukan
lesi/luka

dari

penyakitkaposi

sarcoma, hairy

leukoplakia, non-hodgkins

lympoma, linear gingival erythema, periodontitis, dan Necrotic ulcerative


Gingivostomatitis.
4. Sifilis
Penyakit ini menimbulkan lesi/luka yang dapat timbul dalam rongga mulut
pada tiap stadiumnya. Lesi dalam rongga mulut yang timbul pada stadium awal
dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktuu 3-8 minggu. Pada stadium 2 lesi
berupa bercak merah, bulat atau oval dan timbul papula. Pada stadium akhir
terdapat lesi yang timbul pada langit-langit rongga mulut dan lidah
mengalami atropi, berfisur juga sering terdapat lesi/luka.
5. Human Papiloma Virus
Selain dalam rongga mulut lesi/luka yang timbul bisa terdapat pada
tenggorokan, serviks, vagina, penis dan anus. Bentuk dari lesi ini berupa
benjolan-benjolan kecil yang berjumlah tunggal atau jamak dengan permukaan
yang tidak rata berwarna abu-abu, merah muda dan kuning.

2.4 Dampak Lingkungan terhadap Penyakit Gigi dan Mulut


1. Merokok
Pada perokok berat, merokok menyebabkan rangsangan pada
papilafiliformis (tonjolan/juntai pada lidah bagian atas) sehingga menjadi lebih
panjang (hipertropi). Disini hasil pembakaran rokok yang berwarna hitam
kecoklatan mudah dideposit, sehingga perokok sukar merasakan rasa pahit,
asin, dan manis, karena rusaknya ujung sensoris dari alat perasa (tastebuds).

10

Merokok merupakan salah satu faktor penyebab Leukoplakia yaitu suatu


bercak putih atau plak pada mukosa mulut yang tidak dapat dihapus. Jumlah
karang gigi pada perokok cenderung lebih banyak daripada yang bukan
perokok. Karang gigi yang tidak dibersihkan dapat menimbulkan berbagai
keluhan seperti gingivitis atau gusi berdarah. Disamping itu hasil pembakaran
rokok dapat menyebabkan gangguan sirkulasi peredaran darah ke gusi
sehingga mudah terjangkit penyakit.
2. Kandungan Fluor dalam Air Minum
Pada daerah dengan kandungan fluor yang cukup dalam air minum (0,7
ppm- 1 ppm) prevalensi karies rendah. Bila fluor diberikan sejak dini,
sehingga enamel akan banyak menyerap fluor, sehingga akan memberikan efek
besar terhadap pencegahan karies
3. Stres
Faktor stres dapat memicu terjadinya stomatitis sebab stres

dapat

mengganggu proses kerja dari tubuh sehingga mengganggu proses metabolism


tubuh dan menyebabkan tubuh rentan terhadap serangan penyakit, tidak hanya
kejadian stomatitis bahkan gangguan-gangguan lainnya dapat dapat dipicu oleh
stress.
2.5 Manifestasi HIV/AIDS pada Jaringan Lunak Rongga Mulut
AIDS merupakan sindrom (kumpulan gejala) yang terjadi akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh. AIDS yang merupakan singkatan dari Acquired
Immunodeficiency Syndrome disebabkan oleh infeksi HIV. Human Immunodeficiency
Virus (HIV) adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam family retrovirus.
Retrovirus adalah virus RNA yang mampu membuat DNA dari RNA dengan
pertolongan enzim reverse transcriptase yang kemudian disisipkan ke dalam DNA
sel host sebagai mesin genetic (Nasronudin, 2007). Sel target HIV adalah limfosit T,
makrofag, dan monosit. HIV menyerang sel-sel ini karena pada sel-sel tersebut
terdapat reseptor khusus CD4+ yang dibutuhkan oleh HIV masuk kedalam sel target.
HIV mempunyai cara tersendiri dalam menghindari mekanisme pertahanan tubuh.
HIV memasuki tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada di dalam sel

11

limfosit. Benda asing ini segera dikenali oleh sel limfosit T. Begitu sel limfosit T
menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel limfosit T menjadi tidak berdaya
sehingga virus segera berfusi (menyatu) dan memasuki sel tersebut (Abbas, dkk,
2006).
Manifestasi klinis yang pertama kali muncul pada penderita HIV
positif atau AIDS adalah manisfestasi pada mukosa mulut (oral) seperti:
candidiasis, oral hairy leukoplakia, herpes labialis, dan ulkus aphthous
(Scully, 2010) .
1. Infeksi Jamur
a. Candidiasis

Oral candidiasis adalah infeksi pada mulut atau tenggorokan yang


disebabkan oleh jamur. Kebanyakan disebabkan oleh C. albicans, meskipun
dapat juga disebabkan oleh C. glabrata dan C. tropicalis. Candidisiasis sering
ditemukan pada penderita infeksi HIV. Pseudomembranous dan erythema
candidiasis merupakan dua tipe yang paling umum pada pasien HIV selain itu
juga angular chelitis. Biasanya candidiasis muncul akibat CD4+ yang rendah
pada penderita HIV yang tidak terkontrol (Scully, 2010).
Klinis

Pseudomembranous Candidiasis

12

Ditandai dengan plak berwarna putih atau kuning yang bisa dikerok,
terletak dimana saja di dalam rongga mulut, tetapi lebih sering terjadi pada
mukosa

buccal,

lidah,

dan

pada

palatum.

Keluhan

subyektif

dari

pseudomembranous candidiasis adalah xerostomia dan sensasi terbakar

Erythema candidiasis

Memiliki ciri-ciri sebagai daerah kemerahan, datar, ukuran bervariasi,


bisa dengan plak putih maupun tidak, dapat dikerok, biasanya terletak pada
dorsum lidah dan palatum

Angular chelitis

Biasanya muncul berwarna kemerahan, ulserasi, dan berfisur-fisur, bisa


unilateral maupun bilateral pada sudut bibir, dapat tumbuh solitair maupun
dengan jamur jenis lain

13

Diagnosis
Candidiasis dapat diagnosis melalui permukaan lesi dengan cara
melakukan smear untuk menentukan jenis jamur. Biasanya menggunakan
potassium hydroxide (KOH), PAS, atau Gram's stain. Candida dideteksi dengan
melihat hifa dan blastophore menggunakan mikroskop. Kultur juga dapat
digunakan untuk menentukan spesies dari candida (Jordan, 2004).
Diagnosis banding
Erythema candidiasis sering disamakan dengan lesi merah lainnya
seperti sarkoma kaposi dan erytroplakia. Sedangkan pseudomembranous
candidiasis sering disamakan dengan oral hairy leukoplakia namun
pseudomembranous candidiasis dapat dikerok dan pada oral hairy leukoplakia
ditemukan bulu-bulu halus (Jordan, 2004).
2. Infeksi Virus
a. Herpes Labialis

Herpes labialis adalah lesi pada bibir yang bersifat kambuhan,


dikarenakan reaktivasi dari Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1). Herpes labialis
merupakan bentuk dari infeksi herpes rekuren. Herpes labialis lebih sering
terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan perbandingan sekitar 2:1, dan
melibatkan bibir atas atau bawah dengan frekuensi yang sama (Laskaris, 2003).

14

Klinis
Gejala prodromal yang dirasakan seperti sensasi terbakar, nyeri ringan,
dan gatal-gatal.

Gejala ini mengawali erupsi, pada umumnya rasa nyeri

berlangsung pada 2 hari pertama. Secara klinis, hal ini ditandai dengan edema
dan kemerahan di vermilion border, dan juga kulit perioral yang berdekatan,
kemudian diikuti oleh sekelompok vesikel kecil. Vesikel ini segera pecah,
meninggalkan ulkus kecil yang ditutupi oleh krusta dan akan sembuh dengan
sendirinya dalam waktu 5-8 hari. Ekstraoral: Kadang lesi ini terinfeksi oleh
Staphylococcus atau Streptococcus, yang kemudian mengakibatkan impetigo.
Pada pasien immunocompromised, lesi ini dapat meluas dan dapat melibatkan
kulit perioral. Pada pasien atopik, lesi ini dapat menyebar luas sehingga
mengakibatkan eczema herpeticum (Scully, 2010).
Diagnosis
Biopsi, kultur sel, dan tes darah. Pada tes darah IgG sebagai parameter adanya
infeksi rekuren
Diagnosis Banding
Lesi traumatik, sifilis primer atau sekunder, dan impetigo (Scull, 2010).
b. Oral hairy leukoplakia

15

Pada penderita HIV, oral hairy leukoplakia (OHL) merupakan


kelainan terbanyak kedua setelah oral candidiasis. OHL berhubungan dengan
penurunan jumlah CD4+ limfosit T dalam darah. Prevalensi OHL pada pasien
HIV positif ialah 80% atau lebih. Meskipun etiologi dari OHL ini masih belum
jelas, tetapi dijelaskan bahwa Epstein-Barr virus (EBV) memiliki peranan
penting terhadap timbulnya OHL (Laskaris, 2003).
Klinis
Lesi berwarna putih, terdapat peninggian, tidak dapat dikerok, bersifat
asimtomatis, biasanya lesi ini terdapat pada lidah, terutama pada lateral lidah.
Permukaan dari lesi ini biasanya berkerut, dengan orientasi vertikal. Lesi ini
dapat meluas hingga ke bagian dorsum lidah (Laskaris, 2003).
Diagnosis
Biopsi diindikasikan ketika diagnosis tidak dapat diketahui secara klinis. Biopsi
menunjukkan tanda hiperkeratosis dengan ditemukannya virus pada nukleus
keratinosit superfisial. Terdapat struktur berhifa dan bentukan spora dari
candida sering nampak pada keratin layer. Studi hibridisasi in situ
menunjukkan adanya EBV pada bagian atas keratinosit (Jordan, 2004).
Diagnosis Banding
Candidiasis hiperplastik, idiopatik leukoplakia, dan trauma (Lala, 2012).
3. Infeksi Bakteri
a. Penyakit periodontal
Gingivitis merupakan inflamasi yang terjadi pada gingiva. Radang
gusi atau gingivitis adalah akibat dari infeksi bakteri Streptococcus. Gingivitis
dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Penyebab gingivitis salah
satunya adalah turunnya sistem imun pada penderita HIV sehingga bakteri lebih
mudah menginfeksi mukosa rongga mulut. Necrotizing Ulcerative Periodontitis

16

(NUP) dan Necrotizing ulcerative gingivitis (NUG) tergolong penyakit


necrotizing periodontal disease. Kejadian NUP dan NUG mempunyai hubungan
kuat dengan HIV/AIDS. Pada penderita immunocompromised penyakit
berkembang cepat dan parah dari gingiva ke jaringan periodontium dan masuk
ke dalam jaringan lunak sehingga dapat menyebabkan cancrum oris dan noma.
Bakteri yang berperan dalam terjadinya penyakit ini antaralain, golongan
treponema, p. intermedia, fusobacteria nucleatum, p. gingivalis, golongan
selenomonas, dan campylobacter. Kerusakan jaringan yang ditimbulkan
merupakan akibat dari produksi endotoksin dam turunnya sistem imun. Pada
umumnya penderita menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan fagositosis.
Klinis

Gingivitis

Erythema dan pembesaran gingiva merupakan tanda-tanda gejala klinis dari


gingivitis, yaitu terjadi pembesaran gingiva diantara interdental papil dengan
margin gingival. Penyakit ini biasanya didahului oleh serangan tonsilitis, gusi
meradang difus dan akut, berwarna merah, membengkak dan mudah berdarah.
Terkadang timbul abses pada gusi pada papil interdental Adanya perdarahan
ketika probing dan gosok gigi, ini menjadi tanda utama. Rasa nyeri tidak selalu
muncul pada gingivitis (John, 2005).

Necrotizing Ulcerative Periodontitis

NUP digambarkan sebagai ulserasi pada jaringan lunak, dan nekrosis, serta
terjadinya kerusakan yang cepat pada periodontal attachment. Terjadi
perdarahan secara spontan dan nyeri yang dalam. HIV positif dengan
manifestasi periodontitis biasanya diikuti dengan demam dan malaise terkadang
juga terjadi submandibular lymphadenopaty. Pada pasien immunocompremised
NUP muncul bila jumlah CD4+ dalam darah kurang dari 200sel/mm3

Necrotizing ulcerative gingivitis

17

Tanda klinis dari lesi ini adalah suatu ulserasi yang nyeri dimana mengenai
margin gingiva dan interdental papil, dan diikuti oleh bau mulut. Paling sering
terjadid bagian anterior rahang bawah. Etiologi dari NUG masih belum
diketahui, tetapi bakteri anaerob, seperti spirochetes dan spesies Fusobacterium
dikatakan terlibat, dikarenakan mikroorganisme tersebut ditemukan dengan
angka yang tinggi pada lesi ini (Laskaris, 2003).

Linear Gingival Erythema (LGE)

Secara klinis, LGE digambarkan sebagai suatu garis kemerahan sepanjang


margin gingiva. Sering terjadi pada penderita HIV positif. Meskipun dilakukan
tindakan kontrol plak, root planing maupun scalling, lesi ini tidak hilang.
Perdarahan gingiva dapat terjadi secara spontan, atau pada saat probing
(Laskaris, 2003).
Diagnosis
Menggunakan kultur bakteri untuk menentukan jenis bakteri. Sulit dibedakan
antara penderita non-HIV dengan HIV positif, tetapi biasanya pada penderita
HIV nyeri yang ditimbulkan sangat hebat dan terjadi destruksi secara cepat 5.
Diagnosis Banding
Primary herpetic gingivostomatitis, desquamative gingivitis, periodontitis 7.
4. Lesi Neoplastik
a. Sarkoma Kaposi
Sarkoma kaposi merupakan keganasan akibat proliferasi multisentrik dari sel
endotel. Sarkoma kaposi disebabkan oleh Human Herpes Virus tipe 8 (HHV-8).
Kejadian sarkoma kaposi lebih rendah pada penderita AIDS tanpa transmisi seks
sebab kejadian sarkoma kaposi berhubungan dengan transmisi seksual. Biasanya
sarkoma kaposi ditemukan intraoral yaitu di palatum, gingiva, dan dorsum lidah,

18

bersifat soliter atau bergabung dengan lesi lainnya. Sarkoma kaposi merupakan
manisfestasi AIDS pada stadium IV.

Klinis

Gambaran klinis dari sarkoma kaposi adalah, pada intraoral berupa makula
berwarna merah, biru,ungu, atau kadang-kadang berwarna coklat atau hitam, yang
kemudian membesar menjadi sebuah nodula atau ulser. Hingga 95% lesi ini terjadi
di palatum, 23% di gingiva, dan lainnya terdapat di lidah atau mukosa buccal.
Pada

ekstraoral,

sarkoma

kaposi

biasanya

menyebar

luas

pada

kulit,

gastrointestinal, dan tractus respiratorius.

b. Lymphoma
Non hodgkins lymphoma (NHL) merupkan salah satu manifestasi yang sering
terjadi pada infeksi HIV. Sama seperti sarkoma kaposi, NHL juga muncul pada
stadium IV kasus AIDS
Klinis

19

Submukosa swelling, biasanya bilateral diantara mukosa bergerak dan tak bergerak
palatum dan juga dapat melibatkan tulang mandibula. Lesi muncul dengan
pembengkakan tanpa rasa sakit, berupa ulserasi. Beberapa lesi oral muncul sebagai
ulserasi yang dangkal. NHL dapat muncul sebagai lesi soliter maupun bersamaan
dengan lesi-lesi lainnya
Diagnosis
Secara histologi yaitu dengan biopsi
Diagnosis Banding
NHL sering diduga sebagai major aphtous atau perikoronitis akibat erupsi gigi
molar ketiga
5. Lesi oral lain yang berhubungan dengan penyakit HIV/AIDS
a. Reccurent Apthous Stomatitis (RAS)
RAS merupakan kelainan yang bersifat kambuhan dan ditemukan di mukosa
rongga mulut. Penyebab RAS belum diketahui diduga akibat kelainan sistem
imun, defisiensi hematologi, faktor genetik dan juga stress yang diderita penderita
HIV (Jordan, 2004).
Klinis
Gejala prodormal, mulut terasa terbakar 2-48 jam. Gejala inisiasi berupa
erythema, beberapa jam kemudian berubah menjadi papula berwarna putih,
ulserasi, dan akan membesar dalam waktu 48-72 jam. Secara klinis RAS
dibedakan menjadi 2 yaitu minor dan mayor. Pada ulkus jenis minor, muncul
sebagai lesi soliter dengan ukuran 0,5-1,0cm, dapat sembuh tanpa meninggalkan
jaringan parut. Jenis mayor muncul sebagai ulkus nekrotik dengan ukuran sangat
besar (2-4cm). Ulkus mayor sangat menyakitkan dan dapat bertahan selama
beberapa minggu, bila sembuh meninggalkan jaringan parut. Jenis herpetiform
muncul sebagai kelompok ulkus kecil (1-2cm), biasanya di palatum dan orofaring.

20

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan cara biopsi untuk mengetahui suatu keganasan
atau tidak.
Diagnosis banding
Luka trauma, leukoplakia.
2.5 Manifestasi Penyakit Sistemik pada Rongga Mulut
Banyak penyakit sistemik yang mempunyai manifestasi di rongga mulut.
Rongga mulut dapat menjadi jendela tubuh kita karena banyak manifestasi pada
rongga mulut yang menyertai penyakit sistemik. Kami telah mempelajari
beberapa makalah/artikel/jurnal dan menggambarkan manifestasi mulut dari
beberapa penyakit sistemik. Banyak lesi pada mukosa mulut, lidah, gingiva, gigi,
periodontal, glandula salivarius, tulang wajah, kulit disekitar mulut yang terkait
dengan penyakit sistemik umum.
2.6.1 Penyakit-penyakit darah
1. Anemia
Anemia defisiensi besi adalah penyakit darah yang paling umum.
Manifestasi pada rongga mulut berupa atropik glossitis, mukosa pucat, dan
angular cheilitis. Atropik glossitis, hilangnya papila lidah, menyebabkan lidah
lunak dan kemerahan yang menyerupai migratori glossitis. Migratori glossitis,
dikenal juga dengan sebutan geographic tongue, merupakan suatu kondisi
lidah yang tidak diketahui penyebabnya yang mempengaruhi 1-2% populasi.
Hal tersebut mengakibatkan lesi kemerahan, non- indurasi, atropik dan dibatasi
dengan sedikit peninggian pada lidah, pinggir yang nyata dengan warna yang
bermacam-macam dari abu-abu sampai putih.
Pada atropik glossitis, area-nya tidak mempunyai batas keratotik putih
dan cenderung meningkat ukurannya daripada perubahan posisinya. Pada
kasus yang lebih parah, lidah menjadi lunak. Angular cheilitis, terjadi pada
sudut bibir, yang disebabkan karena infeksi candida albicans menyebabkan
kemerahan dan pecah-pecah, serta rasa ketidaknyamanan. Manifestasi

21

Plummer-Vinson

syndrome

juga

termasuk

disfagi

akibat

ulserasi

pharyngoesophageal. Komplikasi-komplikasi rongga mulut muncul bersamaan


dengan anemia sickle sel berupa osteomyelitis salmonella mandibular yang
tampak sebagai area osteoporosis dan erosi yang diikuti oleh osteosklerosis.
Anesthesia atau paresthesia pada nervus mandibular, nekrosis pulpa
asymptomatik mungkin juga dapat terjadi. Kondisi-kondisi tersebut semakin
parah apabila terjadi proliferasi sumsum tulang yang hebat. Deformitas
dentofacial yang berhubungan dicirikan secara radiograpfik sebagai area
dengan penurunan densitas dan pola trabekular kasar yang paling mudah
dilihat diantara puncak akar gigi dan batas bawah mandibula. Osteosklerosis
dapat terjadi bersamaan dengan trombosis dan infarksi.
2. Leukimia
Komplikasi oral leukimia sering berupa hipertrofi gingiva, petechie,
ekimosis, ulkus mucosa dan hemoragik. Keluhan yang jarang berupa neuropati
nervus mentalis, yang dikenal dengan numb chin syndrome. Ulserasi palatum
dan nekrosis dapat menjadi pertanda adanya mucormycosis cavum nasalis dan
sinus paranasalis. Enam belas persen dan 7% anak dengan leukimia akut
dilaporkan mengalami gingivitis dan mucositis. Infeksi bakterial rongga mulut,
yang dapat menjadi sumber septisemia, merupakan hal yang sering dan harus
segera dideteksi dan diobati secara agresif. Pengobatan leukimia dengan agen
kemoterapi dapat mengakibatkan reaktivasi Herpes Simplex Virus (HSV) yang
dapat

mengakibatkan

terjadinya

mukositis.

Namun

mukositis

akibat

kemoterapi dapat terjadi tanpa reaktivasi HSV, karena penipisan permukaan


mukosa dan/atau supresi sumsum tulang yang mengakibatkan invasi organisme
oportunistik pada mukosa
3. Multiple Myeloma (MM)
Bila MM melibatkan rongga mulut, biasanya berupa manifestasi
sekunder pada rahang, terutama mandibula, yang dapat mengakibatkan
pembengkakan rahang, nyeri, bebal, gigi goyah, fraktur patologik. Punched
out lesions pada tengkorak dan rahang merupakan gambaran radiografik yang
khas. Insidensi keterlibatan rahang pada MM sekitar 15 %. Karena MM

22

mengakibatkan immunosupresi, maka timbul beberapa infeksi seperti oral


hairy leukoplakia dan candidiasis. Timbunan amyloid pada lidah menyebabkan
macroglossia.
2.6.2 Penyakit rheumatologik
1. Sjogrens syndrome
Pasien Sjogrens syndrome (SS) sering mengalami xerostomia dan
pembengkakan kelenjar parotis. SS sering dihubungkan dengan arthritis
reumatoid. Pada suatu penelitian, 88% pasien dengan SS mengalami
abnormalitas aliran ludah pada submandibular/sublingual, dan 55%
mengalami abnormalitas aliran kelenjar parotis. Pembengkakan kelenjar
parotis atau kelenjar submandibular ditemukan pada 35% pasien SS.
Xerostomia dapat dihubungkan dengan fissure tongue, depapilasi dan
kemerahan yang terdapat pada lidah, cheilitis, dan candidiasi.
Fungsi menelan dan bicara menjadi sulit karena adanya xerostomia
persisten. Parotitis bakterial yang biasanya disertai demam dan discharge
purulen dari kelenjar juga dapat terjadi. Hal tersebut meningkatkan karies
gigi, terutama pada servik gigi. Penting untuk mengenal SS dengan cepat dan
merujuk ke dokter gigi karena karies gigi dapat berkembang cepat. Diagnosa
sering dipastikan dengan biopsi glandula salivarius labialis minor. Secara
histologik, terdapat infiltrat limfosit periduktal.
2. Scleroderma (Sclerosis sistemik progresif)
Scleroderma merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan adanya
sklerosis difus dari kulit, saluran gastrointestinal, otot jantung, paru-paru dan
ginjal. Bibir pasien scleroderma tampak berkerut karena konstriksi mulut,
menyebabkan kesulitan membuka mulut. Fungsi stomatognatik termasuk
mulut dan rahang juga mengalami kesulitan. Fibrosis esophageal menyebakan
hipotensi sphincter esophageal bawah dan gastroesophageal reflux, terjadi
pada 75% pasien scleroderma. Disfagia dan rasa terbakar termasuk gejalanya.
Mukosa mulut tampak pucat dan kaku. Telangietacsias multiple dapat terjadi.
Lidah dapat kehilangan mobilitasnya dan menjadi halus seperti rugae palatal
yang menjadi datar. Fungsi glandula saliva dapat menurun walaupun tidak

23

separah Sjogrens syndrome. Ligamen periodontal sering tampak menebal


pada gambaran radiografik.
3. Lupus erythematosus (LE)
Lupus erythematosus terbagi menjadi discoid lupus erythematosus
(DLE) dan sistemik lupus erythematosus (SLE). Lesi-lesi mulut terjadi pada
25-50% pasien DLE dibandingkan dengan 7-26% pasien SLE

(15)

. Pada DLE,

lesi ini biasanya mulai tampak sebagai area keputihan irregular yang kemudian
meluas kearah perifer. Setelah lesi ini meluas, bagian tengah daerah ini
menjadi merah dan menjadi ulcer sedangkan bagian tepi meninggi dan
hyperkeratotik. Lesi mulut lichen planus mirip lesi mulut pada DLE baik
secara klinis maupun histologi. Kriteria histologik yang jelas harus dilakukan
untuk membedakan keduanya. Ulserasi mulut dan nasopharyngeal diketahui
sebagai manifestasi diagnostik mayor pada SLE oleh American Rheumatism
Association Commite on Diagnostic and Therapeutic Criteria. Ulserasiulserasi ini biasanya tidak menimbulkan nyeri dan melibatkan palatum (17). Lesilesi purpurik seperti ecchymosis dan petechiae juga dapat terjadi. Lebih dari
30% pasien SLE, sering melibatkan glandula saliva, yang mendorong
terjadinya Sjogrens syndrome sekunder dan xerostomia yang parah.
4. Arthritis Rheumatoid
Sendi Temporomandibular (TMJ) sering terlibat dalam

arthritis

rheumatoid. Hal ini sering dicirikan dengan erosi pada condylus yang
mengakibatkan berkurangnya gerakan mandibula dan disertai nyeri ketika
digerakkan. Mulut kering dan pembengkakan kelenjar ludah dapat juga
ditemukan pada pasien arthritis rheumatoid. Pada pasien-pasien tersebut dapat
juga timbul SS sekunder. Fungsi rahang yang menurun penting untuk dilakukan
rekonstruksi TMJ segera setelah penyakit utamanya terkontrol. Sendi prosthetik
dapat menjadi solusi sementara pada pasien tersebut.
2.6.4 Kelainan Endokrin
1. Diabetes Mellitus (DM)
Banyak manifestasi rongga mulut pada DM, beberapa diantaranya dapat
diketahui sejak awal tahun 1862. Pada umumnya gejala-gejalanya tampak
parah, dan sangat progresive pada pasien IDDM (Independent Insulin DM)

24

yang tidak terkontrol dari ada pasien NIDDM yang terkontrol. Penelitian
menunjukkan bahwa umur, lama penyakit, dan tingkat kontrol metabolik
memegang peranan penting timbulnya manifestasi-manifestasi rongga mulut
pasien diabetes daripada jenis diabetes apakah IDDM atau NIDMM

(22)

Sekitar sepertiga pasien diabetes mempunyai keluhan xerostomia yang mana


hal ini berkaitan dengan menurunnya aliran saliva dan meningkatnya glukosa
saliva. Kemudian, pembesaran glandula parotis bilateral difus, keras, yang
disebut sialadenosis dapat timbul. Proses ini tidak reversibel meskipun
metabolisme karbohidrat terkontrol baik. Perubahan pengecapan dan sindrom
mulut terbakar juga dilaporkan pada pasien DM tak terkontrol. Xerostomia
merupakan faktor predisposisi berkembangnya infeksi rongga mulut. Mukosa
yang kering dan rusak lebih mudah timbulnya infeksi oportunistik oleh
Candida albican. Candidiasis erytematosus tampak sebagai atropi papila
sentral pada papila dorsal lidah dan terdapat pada lebih dari 30% pasien DM.
Mucormycosis dan glossitis migratory benigna juga mempunyai angka
insidensi yang tinggi pada IDDM di populasi umum.
Telah ditemukan bahwa terdapat insidensi yang tinggi karies gigi
pada pasien dengan DM yang tidak terkontrol. Hal ini dihubungkan dengan
tingginya level glukosa saliva dan cairan krevikuler. Penyembuhan luka yang
tidak sempurna, xerostomia yang diikuti dengan penimbunan plak dan sisa
makanan, kerentanan terhadap infeksi, dan hiperplasi attached gingiva,
semua memberi kontribusi meningkatnya insidensi penyakit periodontal pada
pasien diabetes.
2. Hypoparatiroidisme
Penurunan sekresi hormon paratiroid (PTH) dapat terjadi setelah
pengambilan glandula paratiroid, begitu juga destruksi autoimun terhadap
glandula paratiroid. Sindrom-sindrom yang jarang, seperti Digeorge Syndrome
dan Endocrine-candidiasis syndrome sering dihubungkan dengan keadaan ini.
Hipocalcemia terjadi mengikuti turunnya hormon paratiroid

(24)

. Chvostek sign,

tanda khas hipokalsemia, dicirikan dengan berkedutnya bibir atas bila nervus
facialis diketuk tepat dibawah proccesus zygomaticus. Jika hipoparatiroid

25

timbul di awal kehidupan, selama proses odontogenesis/pertumbuhan gigi,


dapat terjadi hipoplasi email dan kegagalan erupsi gigi. Adanya candidiasis
oral persisten pada pasien muda menunjukkan mulai terjadinya sindrom
endocrine-candidiasis (25).
3. Hyperparatiroidisme
Manifestasi awal hiperparatiroid adalah hilangnya lamina dura di sekitar
akar gigi dengan perubahan pola trabecular rahang yang muncul kemudian.
Terdapat penurunan densitas trabecular dan kaburnya pola normal yang
menghasilkan penampakan ground glass pada gambaran radiografiknya
Dengan

menetapnya

penyakit,

lesi

tulang

lainnya

muncul,

(26)

seperti

hiperparatiroid brown tumor. Nama ini berasal dari warna spesimen jaringan
yang mencolok, biasanya merah tua-coklat akibat perdarahan dan tumpukan
hemosiderin dalam tumor. Gambaran radiografik menunjukkan lesi ini
unilokuler atau multiloculer radiolusen yang berbatas tegas yang biasanya
merusak mandibula, clavicula, iga, dan pelvis. Lesi ini soliter, namun lebih
sering multipel. Lesi yan bertahan lama dapat mengakibatkan ekspansi cortical
yang nyata. Secara histologik, lesi ini dicirikan sebagai proliferasi hebat
jaringan granulasi vascular yang menjadi latar belakang timbulnya multinucleated osteoclast-type giant cells. Hal ini identik dengan lesi lain yang
dikenal dengan lesi giant cell sentral pada rahang.
4. Hypercortisolisme
Hypercortisolisme atau Cushings syndrome, berasal dari meningkatnya
glukokortikoid darah yang terus-menerus. Hal ini juga bisa berkaitan dengan
terapi kortikosteroid lain atau produksi berlebih endogen dari glandula adrenal.
Horman adrenokorticotropik (ACTH) yang berlebih dari tumor pituitari juga
menyebabkan hipercortisolisme dan penyakit Cushings. Penumpukan jaringan
lemak di area wajah dikenal sebagai moon facies. Pasien juga mengalami
facial hirsutism yang bervariasi. Fraktur patologis mandibula, maxilla atau
tulang alveolar juga dapat terjadi karena trauma benturan ringan akibat
osteoporosis. Penyembuhan fraktur, begitu juga penyembuhan tulang alveolar
dan jaringan lunak setelah pencabutan gigi menjadi tertunda.
5. Hypoadrenocortisisme

26

Hypoadrenocortisisme

berasal

dari

kurangnya

produksi

horman

kortikosteroid adrenal karena adanya kerusakan cortex adrenal, kondisi ini


dikenal sebagai hypoadrenocortisisme primer atau Addisons disease. Hal ini
biasanya berkaitan dengan autoimmune, juga dapat disebabkan karena infeksi
seperti

tuberculosis,

tumor

metastase,

amyloidosis,

sarcoidosis

atau

hemochromatosis. Hypoadrenocortisisme sekunder berkembang karena fungsi


glandula pituitary yang inadequate. Manifestasi orofacial termasuk A
bronzing hyperpigmentasi pada kulit, terutama pada area yang paling
banyak terpapar matahari (sun-exposed area). Hal ini disebabkan karena
meningkatnya kadar beta-lipotropin atau ACTH, yang keduanya dapat
menstimulasi melanosit. Perubahan kulit ini didahului oleh melanosis mukosa
mulut. Pigmentasi kecoklatan difus atau bercak sering terjadi di mukosa
buccal, namun dapat terjadi di dasar mulut, ventral lidah dan bagian lain
mukosa mulut.
2.6.5 Penyakit Ginjal
1. Uremik Stomatitis
Stomatitis Uremia cukup jarang, hanya sering ditemui pada gagal ginjal
kronik yang tidak terdiagnosis atau tidak terobati. Kerak atau plak yang nyeri
sebagian besar terdistribusi di mukosa bukal, dasar atau dorsal lidah, dan pada
dasar rongga mulut. Angka insidensinya telah menurun seiring dengan
tersedianya peralatan dialysis di banyak rumah sakit. Mekanisme yang
diterima yang melatarbelakangi timbulnya uremik stomatitis yaitu luka pada
mukosa dan iritasi kimia akibat senyawa amonia yang terbentuk dari hidrolisis
urea oleh urease saliva. Hal ini terjadi bila konsentrasi urea intraoral melebihi
30 mmol/L. Diatesis hemoragik yang berasal dari inhibisi agregasi platelet
dapat juga berperan dalam terjadinya hemoragik lokal, yang menyebabkan
turunnya viabilitas dan vitalitas jaringan yang terkena, yang akhirnya
menyebabkan infeksi bakteri.
Ada 2 jenis uremik stomatitis, pada tipe I, terdapat eritema lokal atau
general di mukosa mulut, dan eksudat pseudomembran tebal abu-abu yang
tidak berdarah/ulserasi bila diambil. Gejala lain dapat berupa nyeri, rasa

27

terbakar, xerostomia, halitosis, perdarahan gingiva, dysgeusia, atau infeksi


candida. Pada tipe II, dapat terjadi ulserasi bila pseudomembran tersebut
diambil. Tipe ini dapat mengindikasikan bentuk stomatitis yang lebih parah,
infeksi sekunder, anemia atau gangguan hematologik sistemik yang mendasari
ayn disebabkan oleh gagal ginjal. Secara histologik, kedua tipe uremik
stomatitis tersebut menunjukkan proses inflamtorik yang berat, dengan
infiltrasi berat lekosit pmn dan nekrosis mukosa mulut. Kolonisasi bakteri yan
sering ditemukan adalah Fusobacterium, spirochaeta, atau candida.
2.6.6 Penyakit Gastrointestinal
1. Chrons Disease
Pada tahun 1969, manifestasi oral penyakit Chrons digambarkan
identik dengan yang terjadi di mukosa intestinal. Secara histologi, lesi ini
mempunyai gambaran granuloma non-necrotik di submucosa, yang terdiri
dari sel raksasa Langerhan multinuklear, sel epiteloid, limfosit, dan sel
plasma. Granuloma-granulom ini dapat bervariasi dalam ukuran dan
kedalamannya di submukosa, dan insidensinya bervariasi dari 10-99%.
Kadang-kadang granuloma ini menonjol ke dalam lumen limfatik, suatu
keadaan yang disebut limfangitis granulomatosa endovasal (endovasal
granulomatous lymphangitis).
Secara klinik, pasien tersebut memiliki gejala pembengkakan
difus pada satu atau kedua bibir, dengan angular cheilitis, dan
cobblestone pada mukosa buccal dengan mukosa yang rigid dan
hiperplastik. Dapat juga terjadi nyeri ulserasi pada vestibulum bukal,
pembengkakan terlokalisir yang tidak nyeri pada bibir atau wajah, fissure
pada garis tengah bibir bawah, dan edema erythematos gingiva. Limfonodi
servik dapat menjadi keras dan terpalpasi. Tidak ada hubungan waktu yang
langsung antara intestinal dan lesi rongga mulut. Lesi rongga mulut telah
terbukti mendahului lesi intestinal selama bertahun-tahun, dan pada
beberapa kasus dapat menjadi satu-satunya manifestasi penyakit Chrons.
Lesi rongga mulut hanya dapat berefek dengan steroid sistemik.
2. Kolitis Ulseratif

28

Kolitis Ulseratif telah dihubungkan dengan ulserasi oral destruktif akibat


dari immunemediated vasculitis. Penyakit ini mirip dengan ulser aphtosa,
namun lebih jarang dari Chrons Disease. Pyostomatitis vegetans merupakan
manifestasi oral dari colitis ulseratif, berwujud mikroabses intraepitelial
multipel tanpa nyeri dalam garis lurus atau berkelok-kelok di mukosa lidah,
soft palatum, ventral lidah. Pyostomatitis gangrenosum merupakan varian
lain yang cukup hebat dengan ulser yang besar, destruktif, dan bertahan
lama yang menimbulkan jaringan parut yang sangat nyata.
2.7 Pemeriksaan Penunjang HIV-AIDS
1. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadap antigen
2.

virus structural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi.
Untuk transmisi vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi
(antibody HIV negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus

diperiksa. Diagnosis berdasarkan pada amflikasi asam nukleat.


3. Untuk memantau progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung CD4
diperiksa secara teratur (setiap8=12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum
pengobatan menentukan kecepatan penurunan CD4, dan pemeriksaan
pascapengobatan (didefinisikan sebagai VL <50 kopi/mL). menghitung
CD4 menetukan kemungkinan komplikasi, dan menghitung CD4 >200
sel/mm3 menggambarkan resiko yang terbatas.
4. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) adalah metode yang
digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi
yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3
bulan setelah infeksi.
5. WESTERN blot adalah metode yang digunakan menegakkan diagnosis
HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 99,6-100%.
Pemeriksaanya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24
jam.
6. PCR (polymerase Chain Reaction), digunakan untuk :
a. Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang
dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yan

29

menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit


tersebut. Zat kekbalan itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta
yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah ada infeksi
pada bayi tersebut. (catatan : HIV sering merupakan deteksi dari zat antiHIV bukan HIV-nya sendiri).
b. Menetapakan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
berisiko tinggi.
c. Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.
d. Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas
rendah untuk HIV-2
7. Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok berisiko,
dilaksanakan 2 kali pengujian dengan reagen yang berbeda.
Penyebab
Penyakit
Rongga Mulut
8. Pemeriksaan
dengan rapid
test (dipstick).

Penyakit Sistemik

Defisiensi Gizi

Penyakit Seksual Penyakit Autoimun


Penyakit Autoimun

Gonore
BAB III
PETA KONSEP
Herpes Genital
Sifilis
Human Papiloma Virus

HIV-AIDS

Pemeriksaan Penunjang

Manifestasi pada RM

Infeksi Jamur

Candidiasis

Infeksi Virus

Infeksi Bakteri

Lesi Neoplastik

Penyakit Periodontal Saekoma Kaposi


Herpes Labialis
Oral Hairy Leukoplakia
Lymphoma
Angular Cheilitis

30

BAB IV
PEMBAHASAN

Skenario 1
Dokter Rudi yang sudah 20 tahun berpraktek dokter gigi di jalan Jaksa Agu,
ng sore itu kedatangan seorang pasien Ronald (24 tahun) mahasiswa sebuah
perguruan tinggi swasta di kota itu. Dokter Rudi agak kaget dengan kondisi Ronald
yang nampak kurus, dengan tinggi badan 175 cm beratnya hanya 50 kg. Ronald juga
bercerita bahwa sudah sebulan belakangan ini, ia sering sekali menderita diare
bahkan sehari bisa 4 sampai 5 kali. Sore itu ia datang mengeluhkan gigi geraham
kanan bawah yang sudah 3 hari ini sakit berdenyut-denyut.

31

Pada pemeriksaan intra oral didapatkan gigi 48 nampak baru erupsi sebagian
dan tumbuhnya ke arah mesio anguler disertai dengan peradangan jaringan lunak
disekitarnya. Tetapi bukan itu yang membuat dokter Rudi kaget, ia dibuat kaget
dengan kondisi mukosa oral terutama pada lateral lidah nampak selaput warna putih
yang tidak hilang sewaktu dikerok dengan eskavator, mirip sekali dengan tanda klinis
kandidiasis oral. Pada mukosa bukal dan gingiva dijumpai beberapa lesi warna merah
keunguan yang ia curigai sebagai kaposis sarkoma oral. Dari literatur yang pernah ia
baca kaposis sarkoma oral merupakan pertanda keadaan full blown dari AIDS yang
sering muncul meskipun di kulit belum tampak.
Dalam pembahasan ini, akan dibahas penjelasan tenatang skenario diatas.
Defisiensi gizi akan mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Gizi tersebut
terdiri dari mineral, protein, dan vitamin. Dimana tiga zat tersebut mempengaruhi.
Zat yang akan mempengaruhi erupsi gigi adalah mineral yang berupa Ca, P, dan Mg
(merupakan unsur utama dalam pembentukan tulang dan gigi dan merupakan unsur
mineral yang terbanyak dalam tubuh. Jika Kurang Asupan Zat Gizi Ca, P, dan Mg
adalah mineralisasi tulang dan gigi menjadi terganggu, sehingga tulang akan mudah
patah, gigi rapuh sehingga rentan terhadap karies, dan pertumbuhan tulang dan gigi
pada anak-anak menjadi terganggu), vitamin A (berperan dalam penyusunan struktur
email, sehingga kekurangan vitamin A dapat menyebabkan pertumbuhan email yang
tidak sempurna), dan vitamin D (membantu metabolisme kalsium dan mineralisasi
tulang).
Ciri-ciri umum pasiesn HIV positif adalah demam, kelelahan yang
berkepanjangan, batuk kering yang tidak sembuh-sembuh disertai dengan sesak
nafas, diare berkepanjangan, berat badan menurun secara drastis, dan pembesaran
secara menyeluruh pada leher dan lipatan paha.
Manifestasi Manifestasi klinis yang pertama kali muncul pada penderita HIV
positif atau AIDS adalah manisfestasi pada mukosa mulut (oral) seperti: candidiassi
(Oral candidiasis adalah infeksi pada mulut atau tenggorokan yang disebabkan oleh

32

jamur. Kebanyakan disebabkan oleh C. albicans, meskipun dapat juga disebabkan


oleh C. glabrata dan C. tropicalis. Candidisiasis sering ditemukan pada penderita
infeksi HIV.), oral hairy leukoplakia (penderita HIV, oral hairy leukoplakia (OHL)
merupakan kelainan terbanyak kedua setelah oral candidiasis), herpes labialis, dan
ulkus aphthous
Selain diatas, terdapat juga ciri-ciri yang pada penderita HIV positif adalah
sarcoma kaposi. Sarkoma kaposi merupakan keganasan akibat proliferasi multisentrik
dari sel endotel. Sarkoma kaposi disebabkan oleh Human Herpes Virus tipe 8 (HHV8). Kejadian sarkoma kaposi lebih rendah pada penderita AIDS tanpa transmisi seks
sebab kejadian sarkoma kaposi berhubungan dengan transmisi seksual. Biasanya
sarkoma kaposi ditemukan intraoral yaitu di palatum, gingiva, dan dorsum lidah,
bersifat soliter atau bergabung dengan lesi lainnya. Sarkoma kaposi merupakan
manisfestasi AIDS pada stadium IV.
Untuk menegakkan diagnosa scenario diatas, selain pemeriksaan oral perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang agar menghasilkan diagnosa yang tepat agar dapat
menentukan perawatan yang tepat.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Penyakit sistemik sering muncul dengan abnormalitas struktur rahang dan
rongga mulut. Pemahaman yang tepat tentang penyakit rongga mulut dapat
mendukung pelacakan, penegakan dianosis dan pengobatan penyakit sistemik yang
mendasarinya. Diagnosis yang tepat penting untuk memulai pengobatan yang benar.

33

Perawatan yang tepat pula dapat memberikan pencegahan dan sekaligus pengobatan
yang benar.

5.2 Saran
Dengan terselesainya makalah ini dengan melihat dari manifestasi penyakit
sistemik pada rongga mulut, dokter gigi utamanya, agar ketepatan diagnosa dalam
merawat pasien perlu diperhatikan agar dapat melakukan perawatan pada pasien
secara tepat. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman maupun
pembaca.

Anda mungkin juga menyukai