Ansori Sinungan
Ansori Sinungan
dan Ekspresi Budaya Tradisional, bagaimana pendapat anda mengenai perlindungan hal
tersebut di Indonesia saat ini?
AS:
Knowledge and Folklore) dapat diartikan dalam Bahasa Indonesia sebagai Sumber Daya
Genetika, Pengetahuan Tradisional dan Ekpresi Budaya Tradisional atau yang dikenal
dengan singkatan SDGPT dan EBT. Sejak rezim HKI diperkenalkan maka muncullah
pemikiran-pemikiran bagaimana bangsa Indonesia sebagai salah satu negara berkembang
agar dapat memberikan perlindungan terhadap SDGPT dan EBT tersebut. Secara jujur diakui
bahwa rezim HKI yang diperkenalkan di Indonesia dan negara-negara lain tersebut adalah
merupakan produk Barat. Untuk negara berkembang sendiri seperti Indonesia masalah HKI
jika dilihat dari faktor budaya sedikit mengalami resistensi artinya suatu ciptaan atau karya
itu kalau dilihat dari konsep budaya kita bersifat komunal padahal HKI itu pada hakikatnya
bersifat individual. Tetapi sejak rezim HKI diperkenalkan dan telah menjadi kebijakan
pemerintah maka pergeseran nilai tersebut mulai muncul. Mulai saat itulah baru masalah
tempe, batik dan sebagainya menjadi marak dibicarakan walaupun sifatnya masih komunal
atau masih milik bersama tetapi sudah mulai ada perasaan tidak senang kalau orang lain
menggunakan karya atau ciptaan mereka apalagi kalau sudah untuk tujuan komersil dan tanpa
izin. Itu hal pertama, yang kedua, dengan diperkenalkannya rezim HKI yang notabene berasal
dari Barat. Ditambah lagi, kita sudah menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dan
kita semua tahu di WTO itu ada TRIPS, tentu kita harus mematuhi ketentuan TRIPS tersebut.
Hal tersebut berarti kita harus memberikan perlindungan yang memadai terhadap semua
karya intelektual yang ada. Itu artinya, kalau ada pelanggaran-pelanggaran HKI di Indonesia
kita harus bisa mengambil suatu sikap dan tindakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Jadi inti dari pernyataan saya tersebut adalah kita harus mematuhi TRIPS. Tetapi yang
banyak kita lindungi saat ini punya siapa? Untuk merek kita sudah memiliki banyak, ciptaan
juga apalagi sifatnya automatic progressif tetapi di bidang teknologi itu mayoritas adalah
asing. Statistik terakhir memperlihatkan 82% itu adalah milik asing dan 8% saja lokal. Hal
tersebut berarti semua produk HKI seperti paten, merek, desain, hak cipta dan lain-lainnya
yang dimiliki oleh pihak lain juga harus kita berikan perlindungan kalau kita
memanfaatkannya, menggunakannya, memakai atau apapun yang merupakan hak eksklusif.
Terhadap pemegang hak tersebut kita harus minta izin terlebih dahulu dan lebih jauh lagi kita
harus mendapatkan lisensi dan termasuk juga membayar royalti.
MH:
Azas resiprositas?
AS:
Ada yang resiprositas, ada yang tidak, resiprositas itu khususnya untuk hak cipta saja
tapi yang lain itu kembali kepada bagaimana hukum positif yang ada di Indonesia. Artinya
kalau selama ini kita banyak membayar, kita banyak membeli dan lain sebagainya terhadap
HKI-HKI orang lain, sekarang bagaimana counterbacknya? Apa yang kita punya? Milik kita
adalah GRTKF tadi yang menurut indikasi banyak juga dimanfaatkan, diexpertasi secara
komersil oleh pihak-pihak lain atau pihak-pihak asing. Oleh sebab itu, pemerintah sejalan
dengan apa yg diperjuangkan di tingkat internasional melalui forum International
Government Committee on Genetic Resources Traditional Knowledge and Folklore (IGC
GRTKF). Dalam forum tersebut GRTKF tadi juga bisa mendapatkan perlindungan di masing-
masing negara terutama di negara berkembang. Hal ini banyak ditentang oleh negara maju,
karena mereka tidak bisa lagi mengakses yang selama ini bebas mereka akses sekarang ini.
Untuk itu terdapat sejumlah biaya yang harus dibayarkan.
MH:
AS:
tadi (red: international legally binding) kelihatannya memang dibuat sedemikian rupa oleh
negara-negara maju supaya tidak jadi dan berhasil.
MH:
AS:
MH:
AS:
Kalau bicara soal HKI itu bicara soal politik dan selain itu kita juga bicara mengenai
ekonomi juga. Singkatnya kita bicara strategi politik di bidang perekonomian kalau kita
berbicara mengenai HKI. Lebih jauh kalau diperhatikan lagi rata-rata traktat internasional di
bidang HKI dibuat oleh negara maju. Terdapat lebih kurang 23 traktat tetapi kita baru mulai
satu. Traktat untuk perlindungan GRTKF pembahasannya sangat tersendat-sendat. Gara-gara
hal tersebut kita jadi berpikir untuk mengambil new track. New track itu kalau tidak selesai di
tingkat multilateral di forum IGC Jenewa maka kita akan mencoba membuat di luar WIPO
seperti halnya yang pernah kita lakukan.
MH:
AS:
Perjuangan diplomasi? Pengertian diplomasi itu kan bagaimana kita membawa misi
untuk kepentingan nasional dan internasional yaitu dengan cara diplomasi. Tetapi bagaimana
kita memperjuangkan itu adalah melalui negosiasi. Negosiasi secara multilateral. Nah, yang
dimaksud dengan new track tadi membuat semacam event internasional kepada negaranegara yang memang memiliki keinginan untuk melahirkan traktat-traktat. Jadi kalau
misalnya dia punya keinginan silahkan bergabung, kalau tidak itu haknya. Jadi segala yang
terjadi misalnya dengan lahirnya traktat kita di bidang Zona Ekonomi Eksklusif, ZPD (Zone
of Proximal Development) dan banyak lagi yang hanya berkepentingan saja. Nah, traktat ini
nanti harapannya bersifat resiprosikal, perlindungan secara timbal balik artinya siapa
penandatangan dari traktat ini harus saling memberikan perlindungan pada GRTKF.
Misalnya, pelanggaran GRTKF milik Indonesia terjadi di negara lain misalnya di Afrika
Selatan atau di Meksiko. Kebetulan mereka ini juga anggota traktat maka dia wajib juga
memberikan perlindungan terhadap produk-produk kita yang dilanggar tersebut. Sebaliknya
kalau ada milik mereka yang dilanggar di Indonesia maka kita juga wajib menegakkan
perlindungan. Jadi bersifat resiprosikal seperti halnya yang ada di Bern Convention.
MH:
AS:
Kalau kita bicara mengenai langkah, kita sudah melakukan sebanyak 15 kali
pertemuan di tingkat ini. Tapi pada pertemuan yang ke-14 terjadi deadlock. Kemudian
masalah tersebut dibawa lagi pada perundingan berikutnya, dengan keputusan pada saat itu
akan diteruskan. Mau diteruskan sampai kapan? Kalau hal tersebut terus dilakukan maka
tidak akan ada perubahan dan hanya membuang waktu dan biaya saja. Kenyataannya tetap
tidak ada hasil. Kemudian muncul ide jika beberapa tahun lagi, misalnya dua tahun tidak juga
ada hasilnya, saya rasa Indonesia perlu mengambil langkah-langkah tersebut. Indonesia, saya
rasa cukup mendominasi dalam negosiasi GRTKF ini, yaitu dengan ide-ide yang kita
sampaikan. Misalnya dengan deklarasi di lingkungan GRTKF agar segera ada instrumen yang
mengikat hal tersebut seperti konferensi Asia Afrika. Dapat juga diperluas lagi dengan
tambahan negara-negara Amerika Latin, Afrika dan lain sebagainya. Hal ini adalah contoh
upaya pemerintah. Di tingkat nasional kita harus sejalan dengan perjuangan di tingkat
internasional. Kondisi secara nasional saat ini adalah kita sedang menyusun Rancangan
Undang-Undang yang disebut dengan Rancangan Undang-Undang tentang Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Itu sudah kita usulkan untuk masuk dalam
Program Legislasi Nasional (prolegnas) tetapi belum masuk dalam pembahasan tahun 2010.
RUU ini harus sejalan dengan pembahasan yang ada di forum internasional, maksudnya apa?
Bahwa yang di tingkat internasional itu adalah perlindungan dari segala bentuk eksploitasi
secara komersil. Oleh sebab itu semuanya menjadi kewenangan WIPO. Tapi kalau untuk
pelestarian dan reservasi itu adalah untuk tujuan perlindungan dari hal-hal seperti kepunahan.
Bagaimana caranya agar warisan-warisan tersebut tetap terpelihara sehingga tidak hanya
menjadi National Heritage tapi lebih jauh lagi menjadi World Heritage. Tempatnya itu
adalah di United Nation Educational, Scientific Cultural Organization (UNESCO).
Kebetulan di UNESCO itu baru ada tiga produk dari Indonesia yaitu, keris, wayang dan
batik. Dibandingkan negara lain, jumlah produk GRTKF kita yang terdaftar masih sangat
sedikit. Negara lain yang tidak sekaya Indonesia saja sudah melindungi banyak sekali produk
GRTKFnya. Kondisi ini adalah tantangan buat negara kita untuk dapat mendaftarkan lebih
banyak lagi produk GRTKF. Pengajuan dilakukan dari Depbudpar yang merupakan focal
point untuk masalah itu. Jadi Hal ini pembahasannya lebih banyak di Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata. Undang-Undangnya untuk sementara sudah ada, yaitu UndangUndang Cagar Budaya. Kemudian sekarang ada lagi yang namanya Rancangan UndangUndang tentang UU kebudayaan. Yang penting antara UU yang satu dengan UU yang lain
jangan sampai tumpang tindih. Di tingkat internasional pun itu sudah ada konvensinya untuk
perlindungan produk-produk budaya tersebut, tetapi di bawah koordinasi UNESCO. Jadi
maksud saya itu, RUU kita juga harus sejalan dengan perjuangan kita yang berkaitan dengan
lahirnya traktat tersebut. Intinya adalah bagaimana memberikan perlindungan dari setiap
pemanfaatan yang bersifat komersil, kalau pelestarian sudah ada. Terdapat kondisi dilematis
dalam perlindungan produk budaya. Di mana letak dilematisnya? Di satu sisi kita
menginginkan adanya promosi, supaya budaya kita dikenal di luar negeri, yaitu dengan
adanya promosi-promosi dan pengumuman-pengumuman. Tetapi di sisi lain kita
menginginkan adanya perlindungan dari setiap eksploitasi itu tadi. Oleh karena itu perlu kita
pilah. Untuk sementara konsep perlindungan HKI kita yang berdasarkan RUU hanya
diperlakukan sebagai pemeliharaan custodian PTEBT tadi guna melakukan perjanjian dan
kesepakatan. Tapi bagaimana dengan peranan Pemerintah Daerah? Tentunya nanti perjanjian
itu akan dicatatkan, didata. Baik itu hak paten maupun hak provisi.
MH:
AS:
Tentunya dalam perjanjian itu tadi, antara masyarakat sebagai pemelihara dengan si
pengguna itu tadi terdapat kesepakatan bersama dalam rangka untuk mendapatkan benefit
sharing. Yang jadi masalah bahwa mereka itu nanti perlu adanya semacam pendampingan.
Pendampingan itu nanti kalau mereka bisa menunjuk sendiri silahkan. Kalau tidak, Pemda
setempat wajib melakukan pendampingan terhadap masyarakat tersebut. Terhadap sesama
bangsa Indonesia itu tidak diperlukan. Cuma karena selama ini kita dalam rangka program
pengembangan budaya Bhinneka Tunggal Ika untuk menghindari konflik horizontal maka
kita tidak memperlakukan itu sesama bangsa, jadi kita bebas.
MH:
AS:
Di situlah manfaat traktat yang ada, kalau traktat tersebut ada dan sifatnya harus
memberikan perlindungan secara timbal balik sesama anggota. Itulah yang disebut bersifat
resiprokal. Jadi kalau ada orang asing yang memanfaatkan milik kita yang merupakan
anggota traktat maka dia bisa dikenai dengan UU nasional negara bersangkutan yang berlaku.
MH:
Apakah sementara ini belum ada peraturan yang jelas mengenai hal ini?
AS:
Untuk sementara ini memang belum ada peraturan mengenai hal ini terutama untuk
pelanggaran oleh pihak asing tersebut. Tetapi untuk bidang Genetic Resources sudah ada
yang namanya izin akses. Untuk izin penelitian itu sudah harus melalui Ristek (red:
Kementerian Negara Riset dan Teknologi). Kemudian di ZPD juga ada masalah benefit
sharing yang kebetulan belum diatur juga. Nanti semacam undang-undang yang berada di
bawah Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengatur masalah benefit sharing tersebut. Itu
kalau terjadi eksploitasi secara komersil di luar negeri. Tapi kalau seperti kasus tari Pendet itu
kita belum bisa melakukan apa-apa. Tetapi masih ada satu mekanisme kalau kita memang
mau mencoba bisa dilakukan dengan memanfaatkan keanggotaan kita pada WIPO
Performance and Phonogram Treaty (WPPT). Tetapi yang bisa melakukan tersebut adalah si
pelaku seni tersebut, jadi ya si penari tersebut. Karena di dalam traktat tersebut para penari,
pelaku seni atau performer. Mereka bisa melarang pihak lain untuk memotret, merekam,
mengumumkan, menyebarluaskan dan menyiarkan sebuah karya tanpa izin. Ini menurut
konvensi WIPO Performance and Phonogram Treaty. Yang menjadi masalah sekarang adalah
sejauh mana mereka mengetahui bahwa karya tersebut dipergunakan untuk tujuan komersil?
Seperti iklan dan lain sebagainya? Itu kalau mau melakukan uji coba. Pertanyaan berikutnya
adalah apakah mereka mampu untuk menuntut hal tersebut di luar negeri? Karena proses
tersebut membutuhkan biaya yang sangat mahal. Seperti untuk membayar pengacara dan
sebagainya. Tentunya dalam hal ini pemerintah yang harus bisa mengambil inisiatif. Tetapi
perlu dipikirkan juga secara matang dan secara cermat tentang legal standing-nya. Apakah
cukup kuat legal standingnya untuk melakukan penyelidikan di sana?
MH:
Berarti kasus kemarin tidak termasuk? Bagaimana akhir dari kasus tari Pendet?
AS:
Hal tersebut sudah diselesaikan secara diplomatis. Menurut saya hanya menyangkut
hak moral saja karena kebetulan tidak disebutkan sumbernya bahwa asal tari Pendet tersebut
adalah dari Bali tetapi hanya menyebutkan Truly Indonesia berarti berasal dari Indonesia
dan Truly Asia, berasal dari Asia.
MH:
AS:
Harapan saya terkait dengan hal tersebut adalah adanya sarana perlindungan yang
Apa saja gebrakan yang sudah dilakukan Timnas (red: Tim Nasional Penanggulangan
Saya rasa informasi tentang Timnas ini kan sudah cukup banyak. Pembentukan
MH:
Selama ini sepertinya terlihat lebih fokus ke penegakan hukum Hak Cipta seperti
pembajakan?
AS:
Cipta. Hak Cipta itu yang paling banyak memiliki obyek perlindungan. Obyeknya adalah
karya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Di bidang ini cukup signifikan
pelanggaran yang terjadi, sehingga dianggap paling banyak merugikan seperti di bidang
perangkat lunak, lagu-lagu, buku-buku dan lain sebagainya. Terlepas dari adanya keluhan
yang memang harus kita respon dengan adanya pelanggaran tersebut, pemerintah memang
sudah bertekad sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk terus melakukan
penegakan hukum di bidang HKI. Tetapi penegakan hukum ini juga tidak semata-mata
dilakukan oleh pemerintah saja tetapi kesadaran masyarakat juga sangat diperlukan. Oleh
sebab itu untuk menimbulkan kesadaran masyarakat di bidang HKI ini maka harus dilakukan
mulai dari awal, dalam arti perlu dilakukan perubahan budaya HKI itu tadi atau yang disebut
kultur HKI. Itu bisa kita mulai dari Taman Kanak-kanak, SD, SMP dan seterusnya. Budaya
HKI itu dalam arti sempit misalnya tidak mencontek dalam ujian sehingga mereka jadi
menghargai karya teman-temannya dan mereka juga jadi lebih kreatif dan bangga dengan
karyanya sendiri. Program seperti ini tidak bisa selesai dalam waktu yang singkat namun
merupakan program jangka panjang. Bisa dalam waktu 10 tahun atau 20 tahunan. Barulah
kita mulai terbiasa dan bisa menjadi budaya. Tapi untuk generasi yang sekarang rasanya agak
sulit karena terjadi kondisi dilematis dalam penegakan hukum.
MH:
AS:
Keterjangkauan masyarakat untuk membeli produk asli kurang karena harganya yang
mahal. Secara ekonomi itu memperlihatkan kondisi yang sangat realistis. Kalau ada harga
yang lebih murah kenapa harus membeli produk yang mahal? Kan begitu logikanya.
MH:
Masyarakat kelas menengah ke bawah atau menengah ke atas pun pasti akan
Buktinya sudah banyak orang asing yang membeli produk-produk bajakan tersebut.
MH:
Apakah ada juga koordinasi atau kerja sama dengan pihak-pihak swasta untuk
AS:
Kita juga ada kerja sama dengan pihak-pihak yang memang memiliki hak-hak
tersebut. Tentunya mereka juga mengeluh karena sudah merasa dirugikan. Jadi menurut
mereka yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana tindakan pemerintah dalam hal ini.
MH:
AS:
Sudah jelas pembajakan itu banyak menimbulkan dampak. Antara lain terhadap citra
bangsa di tingkat internasional terhadap tingkat pembayaran pajak. Sudah dapat dipastikan
bahwa para pembajak tersebut tidak membayar pajak dan akan mematikan kreativitas.
Kemudian investor juga akan enggan untuk melakukan investasi di Indonesia karena mereka
tidak nyaman atas adanya pelanggaran-pelanggaran tersebut juga atas kondisi penegakan
hukum yang ada. Itu beberapa dampak yang mungkin secara nyata bisa kita lihat kalau
masalah pembajakan ini tidak kita tangani secara memadai.
MH:
Adakah kesan tersendiri dalam menjalankan tugas sebagai Direktur Kerja Sama dan
Pengembangan?
AS:
Ada yang mengatakan bahwa jika ditempatkan di Direktorat Kerja Sama dan
Pengembangan itu akan agak santai. Ternyata setelah saya menjabat Direktur Kerja Sama dan
Pengembangan, saya hampir tidak menemui dugaan tersebut. Bahkan waktu luang saya
menjadi sangat sedikit karena banyaknya kegiatan. Saya tidak bisa selalu datang dan berada
di kantor. Di sinilah pentingnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi sehingga saya
dapat memantau dan melakukan tugas dari luar kantor.
MH:
AS:
fungsinya. Untuk itu kualitas staf yang merupakan faktor penunjang lancarnya pelaksanaan
tugas dan perintah jarak jauh. Dan saya beruntung teman-teman di Direktorat Kerja Sama dan
Pengembangan ini cukup bisa diandalkan. Dalam arti cepat tanggap mengenai apa yang harus
dilakukan, sudah saling mengerti. Mudah-mudahan Direktorat Kerja Sama dan
Pengembangan tidak dilikuidasi, karena volume kerjanya yang begitu besar. Justru
pengembangan HKI ini sangat banyak mendapat dukungan dalam kegiatan-kegiatan kerja
sama baik yang sifatnya bilateral, regional ataupun multilateral. Di situ bisa terlihat besarnya
peranan Direktorat Kerja Sama dan Pengembangan.
MH:
Bagaimana kesan-kesan ketika menjabat sebagai Direktur Hak Cipta, DI, DTLST
dan RD sebelum menjadi Direktur Kerja sama dan Pengembangan? Posisi itu kan juga
berat?
AS:
Kalau kita lihat strukturnya memang sudah (red: sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat). Artinya, bagaimana membentuk suatu struktur organisasi, kita lihat
dari apa yang sebenarnya harus kita lakukan dan apa yang harus kita bentuk sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Kalau unit teknis akan lebih banyak bersifat teknis.
Saya juga pernah di Direktorat Paten kemudian di Direktorat Hak Cipta, DI, DTLST dan RD
dan terakhir di Direktorat Kerja Sama dan Pengembangan. Saya kira semua direktorat itu
secara umum sama beratnya cuma berbeda fokusnya.
MH:
Bisa dijelaskan secara singkat mengenai disertasi Anda yang mengangkat topik
Pada saat saya menjabat sebagai Direktur Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang, saya menemui banyak sekali permasalahanpermasalahan dalam implementasi undang-undang terutama Undang-Undang Desain Industri,
sehingga saya sangat tertarik sekali untuk menulis disertasi di bidang perlindungan desain
industri dan permasalahannya. Permasalahan yang terjadi di Undang-Undang Desain Industri
kita adalah sistemnya yang merupakan kombinasi dari pendekatan hak cipta dan paten.
Pendekatan hak cipta tanpa pemeriksaan, pendekatan paten melalui pemeriksaan. Di Undangundang Desain Industri tersebut dikatakan bahwa apabila permohonan tidak mendapatkan
oposisi maka langsung diberi. Dulu kenapa dibuat sedemikian rupa Undang-undang Desain
Industri tersebut itu, alasannya adalah dalam rangka memberikan kesempatan yang seluasluasnya terhadap usaha kecil dan menengah. Artinya desain-desain mereka bisa masuk kalau
tidak ada oposisi. Ternyata sistem ini yaitu yang menggunakan pendekatan hak cipta banyak
dimanfaatkan oleh para pemohon yang memiliki pikiran tidak baik, yang notabene bukan dari
UKM tapi dari pengusaha menengah, kalau pengusaha atas mereka sudah lepas. Mereka
banyak mendaftarkan desain-desain yang sebenarnya sudah tidak baru, tetapi karena undangundangnya seperti itu dan kalau tidak ada oposisi maka mereka granted. Kemudian waktu
pengumumannya juga sangat singkat, hanya tiga bulan di Tangerang. Kalau kondisinya
seperti itu orang tidak sempat untuk melihat. Celakanya begitu mereka sudah mendapatkan
sertifikat desain industri mereka melaporkan pesaing-pesaingnya ke polisi.
MH:
AS:
Dan kasusnya selalu sama modusnya seperti itu. Sudah dapat sertifikat, lapor polisi,
yang dilaporkan merasa ini sudah tidak baru dan sudah membuat sejak lama dan akhirnya
mereka menggugat ke mahkamah (red: pengadilan). Di lain pihak putusan pengadilan pun
karena sifatnya yang sangat teknis banyak yang belum memenuhi rasa keadilan sehingga
banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan di lapangan. Oleh sebab itu, kalau
menurut pendapat saya, itu kita lakukan melalui sistem pemeriksaan. Tetapi dalam revisi ini
sepertinya dua sistem tersebut masih dilaksanakan, baik pendekatan hak cipta maupun
pendekatan paten. Kalau saya perhatikan akan terjadi lagi hal-hal seperti pada permasalahan
tersebut. Jadi kesimpulannya adalah bagaimana kita menciptakan suatu undang-undang yang
bisa efektif dalam implementasinya dan tidak menimbulkan banyak masalah. Kalau
permasalahan pasti akan selalu ada dan tentunya kita menyadari juga bahwa Undang-undang
Desain Industri kita ini adalah undang-undang yang pertama kali. Kalau paten sudah
beberapa kali berubah begitu juga dengan UU Hak Cipta sudah beberapa kali diubah. Untuk
desain kan masih baru jadi saya pikir merupakan suatu hal yang wajar kalau kita banyak
mengalami permasalahan.
MH:
AS:
Ya bisa saja. Sudah dilakukan revisi, tetapi belum menganut pemeriksaan penuh,
Tetapi kita juga belum jadi meratifikasi Hague Agreement atau Geneva Act?
AS:
Kita belum meratifikasi Geneva Act, tapi kita sudah ada dalam persiapan menuju
ratifikasi London Act. Kita sekarang sudah dalam proses untuk.menarik dari keanggotaan itu
karena sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kita saat ini termasuk dalam rangka
penyesuaian dengan revisi undang-undang kita tadi. Revisi undang-undang kita tadi harus
mengacu kepada hukum internasional.
MH:
AS:
Dalam falsafah hidup saya, kita mengabdi kepada bangsa dan negara itu kan tidak
harus sebagai pegawai negeri. Di luar itu pun kita juga bisa mengabdi untuk kepentingan
bangsa dan negara dalam rangka pembangunan. Di luar pun kita bisa berkiprah di mana-mana
seperti mengajar. Banyaklah kegiatan-kegiatan lain yang bisa kita lakukan.
MH:
AS:
Kalau musik itu hobi ya, sampai kapanpun. Itu yang membuat kita bersemangat dan
panjang umur juga. Salah satu falsafah saya yang juga saya dapat dari teman adalah we
finished something to start something maksudnya kita mengakhiri sesuatu untuk memulai
sesuatu yang baru, tidak pernah putus. Walaupun saya tidak lagi secara struktural di Ditjen
HKI (red: DJHKI) tetapi saya akan tetap menjalin hubungan dengan hal-hal yang berkaitan
dengan kemajuan rezim HKI di Indonesia. Apa yang sudah saya berikan mudah-mudahan
bisa bermanfaat untuk kemajuan HKI dan tentunya juga tidak terlepas dari semua kelemahan
yang ada pada diri saya. Saya harapkan HKI ke depan akan lebih maju dan pengganti saya
juga bisa melanjutkan bahkan lebih baik dari yang sudah saya lakukan.
Written by SYAMSUL
Sunday, 20 April 2008
Indonesia memiliki kekayaan alam hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Kekayaan
ini menyebar di darat dan di perairan yang terdiri lebih dari satu juta jenis tumbuhan, hewan,
dan jasad renik. Potensi tersebut melahirkan optimisme bahwa teknologi bioteknologi bakal
bisa dikembangkan secara maksimal di negeri ini.
Dari jutaan kekayaan hayati itu, lebih kurang 10 persen telah diteliti dan diketahui. Namun,
baru dua hingga lima persen dari yang diketahui itu telah dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan, ujar peneliti dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (Pappiptek) LIPI, Yan
Rianto, dalam Seminar Indikator Iptek Indonesia, Rabu (12/9).
Menurut Yan, untuk mengetahui peta-peta bioteknologi di Indonesia diperlukan penyusunan
indikator bioteknologi. Ini sebagai perbandingan secara internasional sehingga dapat
diketahui posisi bioteknologi di Indonesia, jelasnya.
Lebih jauh Yan menyatakan, selama ini banyak data-data dan informasi soal bioteknologi di
Indonesia tercecer dan tidak terstruktur. Pengembangan indikator yang kemungkinan
dilaksanakan pada 2008 nanti akan bisa menghasilkan potret secara keseluruhan potensi
umat manusia atas semakin berkurangnya nilai keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh
laju kerusakan keanekaragaman hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk
memadukan segala upaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat manusia
selanjutnya.
Secara singkat sejarah munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari hasil
pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk penegasan
kembali dari Deklarasi Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi
deklarasi bahwa permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada
kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi
Stockholm). Pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro ini telah merumuskan lima
dokumen, yakni Deklarasi Rio; Konvensi Acuan tentang Perubahan Iklim; Konvensi
Keanekaragaman Hayati; Prinsip-Prinsip Pengelolan Hutan; dan Agenda 21.
Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak
berdaulat untuk memanfaatkan sumber sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan
pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin
bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan
kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan d luar batas yuridiksi nasional.
Kesadaran mengenai nilai penting sumber daya genetik bagi kemanusiaan sudah dikenal
sejak jaman pra sejarah. Sejak manusia memasuki tahapan bercocok tanam dan beternak,
kegiatan pemuliaan jenis tanaman dan ternak sudah dimulai. Pemilihan jenis dan persilangan
jenis yang semula dilakukan secara empiris, sebenarnya merupakan titik awal dari
pengenalan sifat-sifat unggul preferable dan sifat-sifat un-needed yang sebenarnya
merupakan ekspresi fisiologis dari variabilitas genetis diantara tanaman dan ternak budidaya.
Baru kemudian pada abad 18 sampai awal abad 19, pada era Mendel, mulai dikenal
pengetahuan hibridisasi yang merupakan titik awal upaya manusia untuk menseleksi ekspresi
genetis dari variabilitas gen didalam suatu tumbuhan secara sistematis. Mulai saat itulah nilai
sumber daya genetik secara empiris dikenal.
Dengan berkembangnya bioteknologi di bidang pertanian dan farmasi, maka nilai sumber
daya genetik ini semakin meningkat. Pada awalnya nilai sumber daya genetik ini terikat
dengan kesatuan (entity) kepemilikan fisik varietas suatu komoditas tanaman dan/atau ternak.
Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai ilmu hayati (biologi) dan semua cabang-
cabangnya (termasuk ilmu genetika) maka mulai dikenal nilai-nilai intrinsik suatu mahluk
hidup yang dikenal dengan variabilitas gen. Perkembangan ilmu pengetahuan biologi tersebut
telah meningkatkan potensi pemanfaatan sumber daya genetik, dan dengan demikian juga
meningkatkan nilai sumber daya tersebut. Sejalan dengan perkembangan industri pertanian
dan farmasi yang memanfaatkan bioteknologi serta sumber daya genetik ini, maka eksplorasi
sumber-sumber daya genetik baru juga meningkat.
Bioteknologi
Istilah bioteknologi pertama kali dikemukakan oleh Karl Ereky, seorang insinyur Hongaria
pada tahun 1917 untuk mendeskripsikan produksi babi dalam skala besar dengan
menggunakan bit gula sebagai sumber pakan. Pada perkembangannya sampai pada tahun
1970, bioteknologi selalu berasosiasi dengan rekayasa biokimia (biochemical engineering).
Definisi bioteknologi apabila dapat dilihat dari akar katanya berasal dari bio dan
teknologi, maka kalau digabung pengertiannya adalah penggunaan organisme atau sistem
hidup untuk memecahkan suatu masalah atau untuk menghasilkan produk yang berguna.
Pada tahun 1981, Federasi Bioteknologi Eropa mendefinisikan bioteknologi sebagai berikut,
bioteknologi adalah suatu aplikasi terpadu biokimia, mikrobiologi, dan rekayasa kimia
dengan tujuan untuk mendapatkan aplikasi teknologi dengan kapasitas biakan mikroba, sel,
atau jaringan di bidang industri, kesehatan, dan pertanian. Definisi bioteknologi yang lebih
luas dinyatakan oleh Bull, et al, (1982), yaitu penerapan prinsip-prinsip ilmiah dan rekayasa
pengolahan bahan oleh agen biologi seperti mikroorganisme, sel tumbuhan, sel hewan,
manusia, dan enzim untuk menghasilkan barang dan jasa. (Goenadi & Isroi, 2003).
Bioteknologi merupakan aktivitas terpadu dari berbagai disiplin ilmu yang relevan (biokimia,
mikrobiologi, rekayasa, dan lain-lain) dalam pemanfaatan agen hayati untuk menghasilkan
barang dan/atau jasa untuk kesejahteraan umat manusia (Amar et al, 2007).
Pada masa lalu gen ditransfer melalui persilangan biasa atau cara konvensional pada tanaman
sekerabat. Misalkan padi atau jagung varietas yang satu dengan varietas padi atau jagung
varietas yang lain. Perkembangan teknologi pertanian modern melalui bioteknologi dapat
memindahkan gen dari spesies apa saja ke spesies lain melalui berbagai cara, antara lain
dengan pemanfaatan vektor pemindah gen. Teknik semacam ini telah banyak dikembangkan
untuk tanaman budidaya. Produk rekayasa genetika jagung, kedelai dan kapas telah
dihasilkan dan dijual oleh perusahaan agrokimia multinasional seperti Novartis, Monsanto,
Zeneca dan lain-lain. Melalui bioteknologi diharapkan muncul tanaman tahan terhadap hama
dan penyakit, dapat tumbuh di lahan yang mempunyai kendala cekaman fisik (tanah garaman,
tanah masam, cekaman kekeringan dan lain-lain) sesuai dengan harapan peneliti/pemulia
tanaman. Bioteknologi manusia mampu melewati batasan biologi, baik itu kelompok hewan,
tumbuhan maupun mikroorganisme dalam memasukkan sifat yang diinginkan.
Bioteknologi dan industri bioteknologi dalam dasawarsa terakhir berkembang sangat pesat.
Tercatat sampai dengan tahun 1997 tidak kurang dari 124 organisme baru terutama
tanaman-tanaman transgenik (tanaman yang telah mengalami rekayasa genetik) telah
dimintakan izin dan dipatenkan untuk dibudidayakan dan dipasarkan secara global. Ratusan
ribu produk hayati termasuk di dalamnya makhluk tanaman, hewan dan mikroba telah
dipaten oleh negara-negara maju, termasuk Amerika-Serikat, negara-negara Uni Eropa, dan
Jepang.
Pengembangan bioteknologi melalui rekayasa genetika berlandaskan pada keanekaragaman
hayati atau dapat dikatakan bahwa keanekaragaman hayati merupakan aset pengembangan
bioteknologi. Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar
di dunia, diikuti oleh Brazil, Zaire, dan negara-negara berkembang lainnya. Dapat dipastikan
bahwa negara-negara yang maju teknologinya adalah negara-negara miskin keanekaragaman
hayati, sedang negara yang kaya keanekaragaman hayatinya terbatas kemampuan
teknologinya. Diperkirakan di dunia ini terdapat 5 30 juta spesies (jenis makhluk hidup),
dan hanya sekitar 1,4 juta yang telah terindentifikasi secara ilmiah.
Penerapan dan Komersialisasi Bioteknologi
Penerapan bioteknologi dalam skala industri secara umum dibagi dalam berbagai bidang,
yaitu perawatan kesehatan (medis), produksi tanaman dan pertanian, industri non pangan
menggunakan tanaman dan produk lainnya (misalnya plastik biodegradable, minyak sayur,
biofuel), lingkungan serta kelautan dan perikanan (Amar et al, 2007).
Sebagai contoh, satu aplikasi bioteknologi adalah penggunaan organisme yang diarahkan
untuk pembuatan produk organik (contoh meliputi produk bir dan susu). Contoh lain adalah
menggunakan bakteri alami oleh industri pertambangan (bioleaching). Bioteknologi juga
digunakan untuk mendaur ulang, mengolah limbah, membersihkan lokasi yang
terkontaminasi oleh kegiatan industri (bioremediasi), dan juga untuk memproduksi senjata
biologi.
Produk rekayasa genetika ternyata semakin meluas. Di Amerika Serikat areal pertanaman
yang menggunakan varietas rekayasa genetika telah meningkat dari enam juta are pada tahun
1996 menjadi 30 juta are pada tahun 1997. Pada tahun-tahun mendatang sekitar 40 persen
tanaman kedelai di Amerika adalah kedelai yang dimodifikasi secara genetik. Bahkan
beberapa perusahaan besar telah mempunyai berbagai varietas rekayas genetika yang telah
memperoleh hak paten. Perusahaan multinasional bioteknologi Monsanto telah
mengembangkan benih Terminator, Novartis Swiss dengan Traitor dan Zeneca dengan
Verminator yang intinya sama, benih tersebut akan membunuh turunannya, kecuali diberi
pemicu bahan kimia yang diproduksi oleh perusahaan itu sendiri. Benih ini telah disusupi
dengan gen suicide seed/benih bunuh diri sehingga petani tidak akan dapat lagi
menyisihkan hasil panennya untuk dijadikan benih, karena turunan pertamanya tidak dapat
tumbuh. Setiap kali menanam, petani harus membeli benih dari perusahaan/agen, sehingga
ketergantungan petani terhadap benih tersebut makin besar.
Komersialisasi merupakan suatu upaya pengembangan dan usaha pemasaran suatu produk
dari hasil proses dan penerapan proses ini dalam kegiatan produksi. Pemasaran produk
bioteknologi di luar negeri telah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu, baik dengan
pelabelan khusus maupun belum dilabel. Tanaman hasil produk bioteknologi yang paling
banyak ditanam adalah jagung, kedele dan kapas. Amerika Serikat adalah negara paling
banyak menanam produk bioteknologi.
Data dari USDA menyebutkan bahwa sejak 1976 2000 jumlah paten produk bioteknologi
telah mencapai 11.073 buah. Sepuluh perusahaan besar yang menerima paten terbanyak
dalam bidang bioteknologi di AS adalah Monsanto Co., Inc (674 paten), Du Pont, E.I. De
Nemours and Co. (565 paten), Pioner Hi-Bred International, Inc. (449 paten), USDA (315
paten), Sygenta (284 paten), Novartis AG (230 paten), University of California (221 paten),
BASF AG (217 paten), Dow Chemical Co. (214 paten), dan Hoechast Japan Ltd. (207 paten.
Sebagian dari produk-produk bioteknologi tersebut juga sudah beredar di Indonesia (Goenadi
& Isroi, 2003).
Perkembangan industri di sektor bioteknologi tidak selalu berjalan dengan mulus, masalahmasalah utama yang dihadapi terutama adalah menyangkut paten, access and benefit sharing
(ABS) dan keamanan hayati (biosafety).
Masalah Paten dan ABS
Paten merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap Intelectual Property Rights (IPR), Hak
atas kekayaan Intelektual (HAKI), seperti hak cipta atau merek dagang sebagai bentuk
insentif dan imbalan terhadap suatu penemuan. Landasan dari paten ini adalah untuk
mendorong penemuan-penemuan komersial, sementara pengetahuan yang melatar-belakangi
penemuan tersebut disebarkan kepada masyarakat. Pengetahuan tersebut bebas bagi setiap
orang untuk menggunakannya dan memanfaatkannya secara komersial, tetapi hasil penemuan
tetap rahasia, dan ada insentif ekonomi terhadap hasil temuannya.
Paten dan HaKI lainnya menyangkut bioteknologi sudah lama menjadi perdebatan. Pokok
permasalahannya adalah bahwa paten terhadap organisme, gen dan/atau sumber daya genetik
adalah tidak dapat diterima, dengan alasan: (1) para petani pada umumnya menyimpan benih
untuk masa tanam yang akan datang; (2) perusahaan multinasional sering melakukan klaim
hak atas kakayaan intelektual terhadap gen atau tehadap rangkaian DNA tanpa melakukan
invensi yang sesungguhnya (biopiracy).
Sumberdaya genetik (SDG atau GR), sebagai sesuatu yang ada di alam, tidak seharusnya
diberi perlindungan paten. Demikian pula, pengetahuan tradisional (PT atau TK) juga tidak
dapat dipatenkan. Namun keduanya perlu dilindungi dari penjarahan, dan masyarakat adat
terutama perlu mendapatkan perlindungan atas PT yang mereka kembangkan.
Mereka yang sepaham dengan liberalisme paten berpendapat bahwa invensi apapun,
termasuk yang tersambung dengan SDG dan PT selalu dapat dimintakan paten, asalkan
memenuhi semua persyaratan standar berupa: novelty (kebaruan), non-obvious (bersifat
inventif), and useful (kebergunaan). Persyaratan tersebut bersifat universal, seperti misalnya
tercantum dalam perjanjian internasional TRIPs (Hak Kekayaan Intelektual terkait
Perdagangan), di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Doktrin utamanya adalah
kepatuhan terhadap kesepakatan. Prinsip dasarnya adalah Pact Sunt Servanda (janji harus
ditepati).
Pendapat yang kedua ada di posisi berseberangan. Pendapat ini mendasarkan diri pada
persyaratan novelty, namun dengan penafsiran yang terlampau luas. Pengikut pendapat ini
menyatakan bahwa invensi yang tersambung dengan SDG dan PT tidak dapat dipatenkan,
karena tidak memenuhi syarat kebaruan (novelty). Acuan utamanya adalah kasus aplikasi
atau pemberian paten atas tanaman nimba, kunyit dan beras basmati. Pada kasus-kasus ini
paten yang sudah diterbitkan kemudian dibatalkan karena syarat kebaruan tidak terpenuhi.
Pendapat yang ketiga lebih moderat. Menurut pengikut pendapat ini, invensi yang
tersambung dengan SDG dan PT tetap dapat dipatenkan, asalkan ketika mengajukan
permohonan paten atas invensi tersebut dinyatakan secara transparan bahwa invensi tersebut
terkait dengan SDG dan PT. Pendapat ini mengacu kepada keterbukaan (disclosure) sistem
perlindungan paten. Pengikut pendapat ini menyadari bahwa hampir tidak mungkin ada
invensi yang benar-benar baru (novel). Pada umumnya invensi yang patentable (bisa
diberikan paten) merupakan hasil pengembangan dari invensi-invensi sebelumnya, atau
sekurang-kurangnya hasil perkembangan dari teknologi yang sudah ada sebelumnya.
Termasuk di dalamnya adalah teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional tentang
pemanfaatan sumberdaya genetika tertentu. Banyak riset di bidang farmasi yang melibatkan
pengetahuan tradisional sebagai basis awalnya.
Saat ini di forum internasional tengah berkembang wacana keterbukaan sumber invensi
(disclosure requirements). Wacana ini berkembang sejalan dengan terungkapnya kasus-kasus
paten obat-obatan yang terkait dengan SDG dan PT. Wacana itu berkembang di dalam forum
resmi seperti pada Convention on Biological Diversity (CBD) dan WTO.
Tuntutan disclosure requirements muncul ketika industri farmasi dari negara maju
memperoleh manfaat dari penggunaan SDG dan PT dari negara berkembang tanpa adanya
pembagian manfaat yang adil (equitable benefit sharing). Sementara itu di dalam sistem
perlindungan paten memang belum ada ketentuan tentang keharusan untuk adanya
keterbukaan informasi tentang sumber invensi. Itu sebabnya negara-negara maju yang
diuntungkan dengan sistem paten yang berlaku sekarang ini cenderung mempertahankan
kondisi yang ada. Sebaliknya, negara berkembang yang merasa diperlakukan tidak adil
menginginkan agar aturan hukum paten yang ada mencerminkan rasa keadilan tersebut
dengan memasukkan prinsip keterbukaan informasi tentang sumber invensi. Adanya
keterbukaan informasi sumber ini akan berdampak bahwa negara-negara berkembang
mempunyai landasan yang kuat untuk menuntut adanya pembagian yang adil atas
pemanfaatan SDG dan PT oleh negara maju.
Sesungguhnya, wacana tentang keterbukaan informasi sumber ini lebih disebabkan karena
ada perbedaan kepentingan dalam konteks paten atas obat-obatan dan tanaman pangan. Lebih
tepatnya menyangkut kepentingan atas access and benefit sharing. Negara maju
berkepentingan atas akses yang terbuka terhadap GR dan TK. Sebaliknya, negara
berkembang berkepentingan untuk adanya benefit sharing atas pemanfaatan SDG dan PT.
Boleh dikatakan pergumulan tentang disclosure requirements berkisar pada persoalan access
and benefit sharing ini.
Negara-negara maju mencoba bertahan pada aspek hukum berupa kesepakatan internasional
yang telah disepakati dalam forum TRIPs. Mereka menuntut agar negara-negara berkembang
comply (patuh) terhadap TRIPs dengan memberikan perlindungan paten dengan standard
internasional. Sedangkan Negara-negara berkembang menginginkan sistem yang lebih adil
yang lebih dekat pada persoalan etika moral. Namun pada kenyataannya etika moral
seringkali tidak efektif untuk melahirkan kesadaran manusia agar berlaku adil. Itu sebabnya
negara-negara berkembang menuntut agar norma etika moral itu diperkuat dalam bentuk
norma hukum. Tuntutan itulah yang mengemuka dalam perdebatan masuknya disclosure
requirements dalam proses permohonan paten.
Masalah HAKI/Paten merupakan masalah nasional dan internasional yang terus berkembang
dan menimbulkan pro-kontra, dan dapat mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara,
terutama yang berkaitan dengan globalisasi perdagangan dan masalah pemanfaatan kekayaan
keanekaragaman hayati dan kehidupan dunia iptek. Ini permasalahan yang sangat kompleks
terutama karena adanya dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar.
Di tingkat nasional, masalah akses terhadap sumberdaya telah dilontarkan terutama oleh
kalangan LSM dalam kaitannya dengan kesepakatan Internasional yaitu Konvensi
Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity, CBD), General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property
Rights (TRIPs), dan World Trade Organization (WTO).
Perkembangan terakhir dalam masalah IPR adalah bahwa bahan informasi genetik (DNA)
yang merupakan bahan hakiki untuk menunjang kemampuan hidup mulai dipatenkan. Sampai
dengan tahun 1995, kurang lebih ada 1.200 fragmen DNA telah dipatenkan. Proses pengajuan
paten bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan. Namun proses tersebut sangat ditentukan
oleh penyusunan legal text dalam mengungkap kebaruan proses atau produk yang
dimintakan paten-tanpa memberikan peluang bahwa kebaruan dapat disadap/dicuri oleh
fihak lain. Di samping itu, kesepakatan dalam CBD dicantumkan pula Access to Genetic
Resources di mana saja oleh siapa saja. Hal ini sangat memungkinkan peluang untuk menang
dalam berlomba memanfaatkan keanekaragaman hayati yang merupakan aset pengembangan
bioteknologi melalui rekayasa genetik oleh negara-negara yang maju teknologinya ketimbang
negara-negara berkembang yang umumnya lebih kaya keanekaragaman hayati.
Tercapainya kesepakatan dan diadopsinya Protokol Akses dan Pembagian Keuntungan atas
pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional (Protocol on Access and
Benefit Sharing of Genetic Resources and Associated Traditional Knowledge), sebagai
instrumen penting yang akan memberikan kepastian hukum atas pemanfaatan sumber daya
genetik secara global dan menghentikan pencurian sumber daya genetik (biopiracy). Selain
itu juga target yang tercapai dan terukur serta fokus pada upaya penurunan laju kemerosotan
keanekaragaman hayati pada tataran nasional dan global.
Kerangka Global Implementasi ABS
Sebelum CBD lahir, penguasaan perusahaan besar atas kekayaan sumber daya hayati
menghasilkan keuntungan berlimpah. Ini karena umumnya kekayaan sumber daya hayati
tersebar di negara berkembang yang belum terjamah industrialisasi.
Negara maju beranggapan, kekayaan sumber daya hayati adalah warisan peradaban manusia
(the common heritage of mankind). Semacam konsep res communis di hukum Romawi yang
merujuk ke wilayah bukan milik siapa-siapa (belong to no one) yang bisa dimanfaatkan
umum. Maka, perusahaan besar yang dapat mengembangkan sumber hayati menjadi produk
teknologi tinggi seperti obat dan kosmetik bisa menjual produknya kembali ke negara asal
sumber hayati dengan harga berlipat ganda.
CBD adalah instrumen hukum internasional pertama yang merujuk pada konsep kedaulatan
negara pada kekayaan sumber daya hayati, sembari mengatur konsep prior inform consent
dan berbagi keuntungan secara adil dan setara sebagai langkah kelanjutannya. Organisasi
Pangan dan Pertanian (FAO) kemudian memiliki traktat mengenai kekayaan sumber daya
hayati dari tanaman. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2007 berusaha merumuskan
konsep akses dan berbagi keuntungan secara adil dan setara dalam kerangka Pandemic
Influenza Preparedness.
Pada dasarnya harus ada arah dan kebijakan yang harus diambil oleh masing-masing negara
dalam implementasi ABS di tingkat lokal terhadap keanekaragaman hayati, penggunaan
sumber daya dan berbagi manfaat dari penggunaan tersebut, tiga proses utama yang
2.
3.
Adanya kerja sama yang adil dan saling menguntungkan dari sumber daya genetik yang
ada.
Dengan kata lain, tujuan dari konvensi ini adalah untuk membangun strategi-strategi nasional
untuk konservasi dan penjagaan keberlangsungan dari keanekaragaman hayati. Ada beberapa
hal dalam CBD yang menjadi pokok dalam perjanjian bilateral yang dapat di tuangkan dalam
MoU kedua negara. Seperti yang telah tercantum pada CBD yaitu berkenaan dengan pasalpasal sebagai berikut:
Pasal 15 tentang Akses ke Sumber Daya Genetik
Negara yang akan mengambil sumber daya genetik dari negara lain harus mengakui negara
asal dari sumber daya genetik tersebut. Selain itu, perjanjian yang dibuat harus saling
menguntungkan dan disepakati semua pihak yang terlibat (bilateral maupun multilateral).
Kerja sama saling menguntungkan tersebut mencakup: 1. Penyediaan fasilitas sarana dan
prasarana untuk kemudahan akses ke sumber daya genetik yang telah disepakati, 2. Akses
tersebut dibatasi hanya pada sumber daya genetik yang telah disepakati saja, 3. Semua pihak
berusaha untuk membangun dan melaksanakan penelitian mengenai sumber daya genetik
tersebut.
Pihak-pihak yang terlibat kontrak harus menempuh jalur hukum, administratif, maupun
kebijakan lain yang sesuasi untuk mendukung partisipasi yang efektif dalam aktivitas
penelitian di bidang bioteknologi oleh pihak-pihak tersebut, terutama negara yang
berkembang yang menyediakan sumber daya genetik. Semua pihak harus mempertimbangkan
kebutuhan akan protokol untuk menetapkan prosedur yang sesuai terkait dengan transfer
yang aman, penanganan dan penggunaan organisme hidup yang telah dimodifikasi (living
modified organism) yang dihasilkan dari rekayasa bioteknologi yang mungkin memiliki efek
samping pada konservasi dan keberlangsungan penggunaan keanekaragaman hayati.
Pasal 20 tentang Sumber Dana
Setiap pihak yang terlibat, sesuai dengan kapabilitasnya, harus memberikan dukungan
finansial dan insentif, terkait dengan kegiatan yang telah disepakati bersama untuk
pencapaian tujuan konvensi. Pihak dari negara maju harus menyediakan sumber dana baru
dan tambahan sehingga memungkinkan negara berkembang untuk memenuhi biaya-biaya
tambahan yang telah disepakati bersama. Pihak negara maju harus memenuhi semua
kebutuhan dana dan transfer teknologi yang diperlukan oleh negara berkembang.
Protokol Nagoya
Pertemuan Negara-negara Pihak (COP) Konvensi Sumber Daya Hayati Ke-10 di Nagoya
menghasilkan tiga kesepakatan utama. Kesepakatan dari pertemuan yang berakhir pada 30
Oktober 2010 itu meliputi Protokol Nagoya, Revisi Rencana Strategis Pencapaian Tujuan
Konvensi Sumber Daya Hayati (CBD) 2011-2020 dan Rencana Pelaksanaan Strategi
Mobilisasi Dana.
Selama ini gagasan CBD sulit diimplementasikan karena petunjuk pelaksanaannya berupa
protokol belum ada. Maka, kelahiran Protokol Nagoya, yang lengkapnya adalah The Nagoya
Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits
Arising from Their Utilization, sangat penting secara substantif. Protokol Nagoya berisi
aturan pemberian akses dan kemauan berbagi keuntungan secara adil dan setara atas
pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati. Ini merupakan kesepakatan kedua setelah
Protokol Cartagena mengenai keamanan hayati (biosafety), yang mulai berlaku 2003.
Protokol Nagoya merumuskan aturan pelaksanaan CBD terkait pemberian akses dan
pembagian keuntungannya. Penyedia kekayaan sumber daya hayati bekerja sama dengan
pengguna dalam mekanisme pembagian keuntungan yang adil dan setara. Agar Protokol
Nagoya dapat berlaku sah sesuai hukum internasional, dibutuhkan ratifikasi dari 50 negara
anggota COP CBD. Naskah asli Protokol Nagoya akan mulai terbuka untuk ditandatangani 2
Februari 2011 sampai 1 Februari 2012 di Markas Besar PBB, New York.
Protokol Nagoya merumuskan mekanisme pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati yang
berasal dari tanaman, hewan, dan mikrobiologi untuk produk industri, kosmetik, makanan,
obat- obatan, dan keperluan lain. Intinya, terbuka akses pada sumber daya hayati untuk
pemanfaatan, tetapi juga dalam semangat yang sama mengatur bagaimana manfaat atau
keuntungan juga dapat dinikmati oleh negara asal sumber daya hayati itu.
Kesepakatan diharapkan dapat membuat transparan pergerakan lalu lintas sumber-sumber
daya hayati sehingga pembajakan hayati (biopiracy) dapat ditekan seminimal mungkin.
Selama ini biopiracy kerap terjadi saat perusahaan multinasional diam-diam memanfaatkan
pengetahuan tradisional ataupun kekayaan sumber daya hayati negara berkembang, dan
keuntungannya juga sama sekali tidak dibagi.
Pembahasan mengenai upaya mendeteksi biopiracy memakan waktu lama. Negara
berkembang ingin aturan monitoring yang bersifat mandatory dan mencakup informasi rinci
dan lengkap dari riset sampai pengembangan produk. Negara maju menginginkan aturan
lebih longgar dan bersifat sukarela.
Kasus-Kasus Pembelajaran
Kasus Hoodia gordonii di Afrika Selatan
Suku-suku San Kalahari merupakan masyarakat tertua di Afrika Selatan. Mereka telah
memiliki pengetahuan tradisional tentang penggunaan Hoodia gordonii, pohon yang
ditemukan di gurun Kalahari, yang secara historis dikonsumsi oleh suku San Kalahari untuk
menahan rasa lapar apabila melakukan perjalanan jauh. Masyarakat San awalnya tidak
menyadari bahwa Dewan Penelitian Ilmiah dan Industri Afrika Selatan (South African
Council for Scientific and Industrial Research / CSIR), sebuah lembaga pemerintah Afrika
Selatan, telah diberikan hak paten pada P57, obat penekan nafsu makan yang berasal dari
ekstrak Hoodia lezat melalui penelitian dilakukan oleh CSIR, dan memiliki rencana untuk
mengkomersialisasikan produk tersebut tanpa sepengetahuan suku San Kalahari. CSIR
kemudian menegosiasikan lisensi hak eksklusif komersial tersebut kepada perusahaan
farmasi Phytopharm, untuk pengembangan produk Hoodia, yang kemudian memberikan izin
kepada perusahaan farmasi Pfizer dan ke perusahaan makanan multinasional Unilever.
Dengan keterlibatan LSM The Working Group on Indigenous Minorities in Southern Africa
(WIMSA), masyarakat San melakukan negosias dengan CSIR untuk menyusun perjanjian
pembagian keuntungan dari royalti yang berasal dari penjualan produk yang mengandung
paten P57.
Masalah utama dalam perundingan tersebut adalah kurangnya kerangka hukum di Afrika
Selatan untuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional.
Dalam kasus Hoodia sulit untuk menegaskan klaim orang-orang San mengenai paten P57 dan
komersialisasi produk Hoodia di masa depan karena kurangnya kerangka peraturan yang jelas
yang menetapkan hak-hak suku San Kalahari.
Akhirnya perjanjian dalam bentuk Nota Kesepahaman dicapai antara CSIR dan Dewan San
Kalahari Afrika Selatan. Perjanjian ini dianggap sebagai langkah maju yang signifikan untuk
menegosiasikan kesepakatan pembagian keuntungan dengan Dewan San Kalahari Afrika
Selatan sebagai pengakuan atas hak-hak kolektif suku San, termasuk mendapatkan manfaat
moneter atas eksploitasi komersial terhadap paten P57. Perundingan tentang syarat-syarat
perjanjian antara CSIR dan Dewan San Kalahari Afrika Selatan berlanjut hingga perjanjian
pembagian keuntungan yang ditandatangani pada tanggal 24 Maret 2003. Perjanjian
ditentukan persentase jumlah pembayaran, termasuk pembayaran royalti sejumlah 8%.
Kasus Golden Rice
Golden Rice adalah varietas padi yang telah diperkaya dengan betacarotene, untuk mengatasi
defisiensi Vitamin A. Penelitian dasar dilakukan di Swiss public research institutes ETH
Zurich & University of Freiburg. Perusahaan Zeneca (yang kemudian berubah nama menjadi
Syngenta seletah merger dengan Novartis Agribusiness) mendapatkan hak penelitian dasar
tersbut, kemudian dipadukan dengan penelitian perusahaan tersebut, didapatkan Golden Rice
yang lebih baik. Pada saat pengurusan paten, diketahui sampai didapatnya Golden Rice
ternyata melibatkan 70 proses dan material yang berbeda yang berasal dari 32 perusahaan dan
Kemudian banyak perusahaan farmasi yang mendekati TBGRI untuk mendapatkan lisensi
produksi Jeevni. Setelah berbagai negosiasi dengan berbagai pihak, lisensi produksi masal
Jeevni dialihkan ke Aryavaidya Pharmacy Coimbatore Ltd selama 7 tahun. Dalam proses
konsultasinya, TBGRI sepakat dengan komunitas suku Kani untuk membagi licence fee dan
royaltinya sebesar 50%.
Organisasi Industri
Keterlibatan organisasi-organisasi industri juga perlu mendapat perhatian dalam
keikutsertaannya dalam implementasi CBD salah satunya adalah The Biotechnology Industry
Organization (BIO), yang merupakan salah satu organisasi industri Bioteknologi, didirikan
tahun 1993 melalui penggabungan 2 buah organisasi yaitu Association of Biotechnology
Companies dan the Industrial Biotechnology Association. Anggotanya terdiri dari sektorsektor yang bergerak dalam bidang penelitian dan pengembangan inovasi produk-produk
bioteknologi kesehatan, agrikultur, industri dan lingkungan.
The Biotechnology Industry Organization sejak tahun 2005 telah menyusun sebuah petunjuk
teknis terkait bioprospeksi yang memberikan arahan bagi para anggotanya dalam kegiatankegiatan bioprospeksi. BIO juga telah mempunyai model Material Transfer Agreements, yang
diacu oleh seluruh anggotanya.
Isu Strategis Implementasi ABS bagi Industri Bioteknologi
Implementasi CBD di bidang industri bioteknologi saat ini belum sepenuhnya dapat
terlaksana, diperlukan instrumetasi yang dapat mendukungnya terutama ditingkal lokal
(negara), diantaranya adalah aturan akses sumber daya disetiap negara. Beberapa negara
seperti Jepang telah pula mempunyai Guidelines on Access to Genetic Resources for Users in
Japan. Dokumen ini dipublikasikan pertama kali pada tanggal 1 April 2005 dalam bahasa
Jepang, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kemudian disebarluaskan pada
bulan Pebruari 2006. Dokumen dalam versi English berisi 28 halaman lengkap memuat
segala aturan yang diperlukan untuk akses sumber daya genetik untuk pengguna di Jepang.
Sebagai pengantar, di dalam dokumen dijelaskan kronologi dibuatnya aturan ini sebagai
inplementasi CBD yaitu didasari adanya Bonn Giudelines diadopsi pada COP6 pada bulan
Pebruari 2002. Pada bulan September 2002 Bonn Guidelines tersebut telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jepang. Pada tahun 2003-2004 Bonn Guidelines didesiminasikan di Jepang
melalui seminar dan internasional simposium. Secara paralel Bonn Guidelines diproposikan
oleh Ministry of Economy, Trade and Industry (METI) yang kemudian membahas secara
rtinci dengan Japan Bioindustry Association (JBA). Pada tahun 2005 Guidelines Access to
Genetic Resources for Users in Japan telah selesai dibuat pada bulan Maret dan dipublikasi
pada tanggal 1 April 2005 dalam versi Bahasa Jepang. Pada bulan Pebruari 2006 versi bahasa
Inggris disebarluaskan.
Salah satu hal penting yang berkaitan erat dengan akses sumber daya genetik adalah
manakala biodiversitas negara asal akan dimanfaatkan oleh pihak lain. Perjanjian antara
kedua belah pihak harus jelas sehubungan dengan pemanfaatan bahan genetik yang akan
dikirimkan. Dokumen penting yang diperlukan tersebut disebut dengan Material Transfer
Agreement (MTA). MTA sering didefinisikan sebagai suatu terminologi umum untuk suatu
dokumen pengiriman yang sangat singkat dan sederhana, merupakan catatan pengiriman
suatu bahan yang sudah baku, atau suatu catatan resmi berisikan persyaratan minimum yang
harus dibuat atau dapat merupakan dokumen yang rinci tentang persetujuan pengiriman dan
penggunaan bahan yang telah disetujui bersama.
Di dalam MTA biasanya tercantum jenis dan jumlah bahan genetik yang ditransfer, waktu
terjadinya pengiriman, ijin penggunaan bahan genetik yang dikirimkan (misalnya untuk
keperluan riset, komersial, dan lain-lain) dan pernyataan apabila bahan tersebut dimanfaatkan
oleh pihak lain. Bonn Guidelines merupakan bahan acuan yang telah dibakukan. Hal-hal lain
yang berhubungan dengan pengelolaan dan kepentingan bersama atas bahan yang dikirimkan
dapat dituliskan pula dalam perjanjian tersebut. Seharusnya tidak terjadi hal-hal yang dpat
dinegosiasikan di luar MTA. Artinya bahwa segala sesuatu yang harus dipatuhi oleh negara
asal sumber genetik dan negara penerima semuanya harus tertulis pada MTA.
Bioteknologi merupakan suatu proses yang relatif panjang, seringkali memerlukan waktu
bertahun-tahun dan biaya riset pengembangan yang sangat mahal sampai menghasilkan
produk yang dapat dikomersialisasi, dalam perjalanan proses tersebut juga selain sumberdaya
asli juga melibatkan banyak orang, organisasi dan bahan-bahan lain selain sumberdaya
aslinya, sehingga perumusan ABS-nya menjadi rumit.
Penutup
Saat ini implementasi ABS di sektor industri lebih banyak terjadi karena reaksi pihak yang
merasa dirugikan atau kebijakan pengembang (perusahaan) yang sifatnya lebih voluntary.
Tersedianya aturan lokal (negara) mengenai hak akses terhadap sumber daya terutama
sumberdaya genetik merupakan syarat utama legalisasi implementasi ABS di sektor industri
bioteknologi, meskipun demikian dari berbagai kasus yang terjadi, pendekatan terhadap hak
ABS dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui mekanisme penyusunan MTA, dan
yang lebih penting lagi adalah pendokumentasian sumberdaya tersebut ditingkat lokal.
Daftar Pustaka
Amar, A., Malik, A., Prasetya, B., Chasanah, E., Irianto, H.E., Loedin, I,S., Mulya, K.,
Lisdiyanti, P., Setyahadi, S., Soeharsono, dan T.E. Ermayanti. 2007. Strategi Pengembangan
Bioteknologi di Indonesia. Konsorsium Bioteknologi Indonesia dan Kementerian Negara
Riset dan Teknologi, Jakarta, 118 hal.
Artuso, A. 2002. Bioprospecting, Benefit Sharing, and Biotechnological Capacity Building.
World Development Vol. 30, No. 8, pp. 1355-1368.
Barizah, N.2009. Kebijakan Di Tingkat Nasional Dan Internasional Upaya Perlindungan HKI
Yang Terkait Dengan Pendayagunaan Sumber Daya Genetik Dan Pengetahuan. Media HKI
Vol.VI/No.3/Juni 2009.
Bonn Guidelines on Accesss to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of the
Benefit Arising out of their Utilization. UNEP/CBD/COP/6/6.
Bridge, G., McManus, P. And T. Marsden. 2003. The next new thing? Biotechnology and its
discontents. Guest Editorial/Geoforum 34 (2003) 165-174.
Chambers, W.B, Greena, J, and A. Kambu. 2004. Trade, biotechnology and sustainable
development: a report on the Southeast Asia Workshop for policymakers. Global
Environmental Change 14 (2004) 185-188.
Finston, S.K. 2009. Public/Private Partnership for Development of Golden Rice Intellectual
Property (IP) & Innovation: Promoting Global Competitiveness in the Americas.
INPI/OMPI/OAS Rio de Janeiro, Brasil December 16, 2009. BayhDole25 Inc.
Goenadi, D.H. & Isroi. 2003. Aplikasi Bioteknologi dalam Upaya Peningkatan Efisiensi
Agribisnis yang Berkelanjutan. Makalah Lokakarya Nasional Pendekataan Kehidupan
Pedesaan dan Perkotaan dalam Upaya Membangkitkan Pertanian Progresif, UPN Veteran
Yogyakarta, 8-9 Desember 2003.
Guidelines for BIO Members Engaging in Bioprospecting
(http://www.bio.org/ip/international/200507guide.asp).
Guidelines on Access to Genetic Resources for Users in Japan. 2006. Ministry of Economy,
Trade and Industry (METI), Japan and Japan Bioindustry Association (JBA). Tokyo, Japan.
Makarim Wibisono Anggota Delegasi RI dari Kementerian Kesehatan ke COP 10 Nagoya
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/22/03211740/selamat.datang.protokol.nagoya
Ministry of Environment & Forests Government of India. 2002. Biotechnology &
Bioprospecting For Sustainable Development, Indias presentation for the Ministerial
Meeting of Megabiodiversity Countries Cancun, Mexico February 16-18, 2002.
Moran, K. 1998. Mechanisms For Benefit Sharing: Nigerian Case Study for the Convention
on Biological Diversity, The Healing Forest Conservancy. Washington.
Suneetha, M.S and B. Pisupati. Benefit Sharing in ABS: Options and Elaborations. United
Nations University Institute of Advanced Studies. United Nations Environment Programme
(UNEP). 30pp.
The International Institute for Sustainable Development (IISD), Stratos Inc. and Jorge
Cabrera. 2007. ABS-Management Tool Best Practice Standard and Handbook for
Implementing Genetic Resource Access and Benefit-sharing Activities. State Secretariat for
Economic Affairs SECO.
Keanekaragaman Hayati
Air sebagai sumber dari semua kehidupan di Bumi adalah topik lintas sektor dan
membutuhkan kemitraan untuk pengelolaanya. Solusi terhadap isu-isu pengelolaan air
termasuk dalam Rencana Strategis Keanekaragaman Hayati 2011-2020 dan Target Globalnya
(Aichi Target). Indonesia berperan aktif dalam perundingan internasional mengenai Kehati
dengan telah diratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati dalam bentuk Undang-Undang
No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati.
Dalam rangka menyambut Hari Keanekaragaman Hayati 2013, Kementerian Lingkungan
Hidup menyelenggarakan Talkshow Peluang dan Tantangan Protokol Nagoya bagi
Indonesia pada hari Rabu siang, 22 Mei 2013 di Hotel Bidakara, Jakarta. Acara ini akan
dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, penyampaian
Perspektif Prof. Dr. Emil Salim serta diskusi interaktif dengan para narasumber lainnya.
Genetik adalah faktor pembawa sifat yang dimiliki oleh setiap organisme
serta dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada
satu spesies dapat memiliki keanekaragaman genetik.
Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya dengan dikeluarkannya Undangundang nomor 11 tahun 2013, keuntungannya:
Pemanfaat Bioteknologi
A. Pengertian Bioteknologi
Bioteknologi berasal dari dua kata, yaitu 'bio' yang berarti makhuk hidup dan
'teknologi' yang berarti cara untuk memproduksi barang atau jasa. Dari paduan
dua kata tersebut European Federation of Biotechnology (1989) mendefinisikan
bioteknologi sebagai perpaduan dari ilmu pengetahuan alam dan ilmu rekayasa
yang
bertujuan meningkatkan aplikasi organisme hidup, sel, bagian dari organisme
hidup, dan/atau analog molekuler untuk menghasilkan produk dan jasa (Goenadi
& Isroi, 2003).
Dengan definisi tersebut bioteknologi bukan merupakan sesuatu yang baru.
Dimulai dari nenek moyang kita, pemanfaatkan mikroba telah dilakukan untuk
membuat produk-produk berguna seperti tempe, oncom, tape, arak, terasi,
kecap, yogurt, dan nata de coco . Hampir semua antibiotik berasal dari mikroba,
demikian pula enzim-enzim yang dipakai untuk membuat sirop fruktosa hingga
pencuci pakaian.
Dalam bidang pertanian, mikroba penambat nitrogen telah dimanfaatkan sejak
abad ke 19. Mikroba pelarut fosfat telah dimanfaatkan untuk pertanian di
negara-negara Eropa Timur sejak tahun 1950-an. Mikroba juga telah
dimanfaatkan secara intensif untuk mendekomposisi limbah dan kotoran.
Bioteknologi memiliki
gradien perkembangan teknologi, yang dimulai dari penerapan bioteknologi
tradisional yang telah lama dan secara luas dimanfaatkan, hingga teknik-teknik
bioteknologi baru dan secara terus menerus berevolusi.
B. Perkembangan Bioteknologi
Perkembangan bioteknologi secara drastis terjadi sejak ditemukannya struktur
helik ganda DNA dan teknologi DNA rekombinan di awal tahun 1950-an. Ilmu
pengetahuan telah sampai pada suatu titik yang memungkinkan orang untuk
memanipulasi suatu organisme di taraf seluler dan molekuler.
Bioteknologi mampu melakukan perbaikan galur dengan cepat dan dapat
diprediksi, juga dapat merancang galur dengan bahan genetika tambahan yang
tidak pernah ada pada galur asalnya. Memanipulasi organisme hidup untuk
kepentingan manusia bukan merupakan hal yang baru. Bioteknologi molekuler
menawarkan cara baru untuk memanipulasi organisme hidup.
Seperti halnya teknologi-teknologi yang lain, aplikasi bioteknologi untuk
pertanian selain menawarkan berbagai keuntungan juga memiliki potensi risiko
kerugian. Keuntungan potensial bioteknologi pertanian antara lain: potensi hasil
panen yang lebih tinggi, mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida, toleran
terhadap cekaman lingkungan, pemanfaatan lahan marjinal, identifikasi dan
eliminasi penyakit di dalam makanan ternak, kualitas makanan dan gizi yang
lebih baik, dan perbaikan defisiensi mikronutrien (Jones, 2003).
Satu pendekatan baru yang sedang mendapatkan banyak perhatian adalah Biofarming , seperti antibiotika
dalam buah pisang. Potensi risiko bioteknologi terhadap pertanian dan
lingkungan walaupun masih dalam perdebatan - antara lain efek balik terhadap
organisme non-target, pembentukan hama resisten, dan transfer gen yang tidak
diinginkan yang meliputi transfer gen ke tanaman liar sejenis, transfer gen
penyandi untuk produksi gen toksik, dan transfer gen resisten antibiotik melalui
gen penanda ( marker ) antibiotik.
\
Beberapa kritikan menyebutkan bahwa modifikasi DNA rekombinan
menyebabkan pangan tidak aman untuk dimakan. Kelompok pecinta lingkungan
mengkritik bahwa organisme trasgenik menyebabkan kerusakan
keanekaragaman hayati, karena membunuh organisme liar yang berguna, atau
membuat organisme invasif
yang dapat merusak lingkungan (Conko, 2003).
Terlepas dari perdebatan keuntungan dan kerugian di atas, prinsip kehatihatian
harus dikedepankan dalam aplikasi bioteknologi untuk agribisnis, khususnya
rekayasa genetika. Pelajaran yang baik dapat kita peroleh dari pengalaman
Revolusi Hijau yang semula dianggap aman, namun intensifikasi penggunaan
pupuk dan pestisida terbukti berakibat buruk terhadap lingkungan dan baru
diketahui setelah beberapa puluh tahun kemudian.
Bioteknologi modern lahir pada tahun 1970-an dengan munculnya teknologi DNA
rekombinan. Istilah DNA rekombinan mungkin sudah pernah didengar tapi samarsamar maknanya. Ilmuwan dari Universitas Kalifornia di San Fransisco (UCSF)
bernama Herbert Boyer berhasil mengembangkan teknologi canggih untuk dapat
memotong rantai DNA lalu menyambungnya lagi.
Tetapi karena materi DNA berukuran sangat kecil, hal ini tidak dapat dibuktikan
dengan melihat langsung
karena jumlahnya juga sangat sedikit. Masih dari daerah yang sama yaitu
propinsi Kalifornia-AS, seorang ilmuwan lain dari Universitas Stanford bernama
Stanley Cohen menemukan cara bagaimana memasukkan materi DNA berbentuk
lingkaran atau plasmid ke dalam sel.
Walau tinggal berjarak hanya 60 km saja, keduanya tidak pernah bisa bertemu
sehingga dapat menyatukan teknologi yang dimilikinya itu. Sampai akhirnya
pada tahun 1972, keduanya bertemu di sebuah pertemuan
ilmiah, ribuan kilometer dari tempat mereka tinggal dan bekerja di Kalifornia,
yaitu di Hawaii. DNA yang sudah disambung lagi dengan teknologi Boyer dapat
diperbanyak dengan memasukkan ke dalam sel bakteri dengan teknologi Cohen.
Karena bakteri berkembang biak sangat cepat, DNA yang telah dimasukkan pun
jadi banyak dalam waktu singkat, sehingga dapat dicek keberadaannya dengan
mudah [4]. Inilah inti dari teknologi DNA rekombinan.
Teknologi DNA rekombinan bukanlah satu-satunya tetapi memang adalah
tonggak utama dari lahirnya bioteknologi modern.
Beberapa tonggak penting lainnya dimulai dari penemuan fenomena pewarisan
sifat oleh Gregor Mendel
(tahun 1866), keyakinan bahwa materi genetik adalah DNA oleh Oswald Avery
(1944), dugaan struktur double helix DNA oleh Watson dan Crick (1953),
penemuan mRNA oleh Monod dan Jacob (1961), pengungkapan kode genetik
oleh Khorana dan Nirernberg (1966), inovasi teknologi hibridoma oleh Milstein
dan Kohler (1974), pengembangan teknologi pembacaan sekuen DNA oleh
Maxam dan Gilbert (1977) sampai penemuan teknologi penggandaan DNA, PCR
oleh Karry Mullis (1983).
Semua ini biasanya tercakup dalam kuliah biologi molekuler yang memang
menjadi fondasi dari bioteknologi modern.
C. Perkembangan Bioteknologi
Perkembangan bioteknologi setelah lebih dari 30 tahun diawali dengan teknologi
rekayasa genetika ini menjadi semakin cepat. Dalam dogma sentral atau
pemahaman dasar ilmu biologi diketahui bahwa cetak biru kehidupan DNA
menyimpan informasi yang pemanfaatannya dilakukan melalui perubahan
informasi itu ke materi baru yaitu RNA.
Proses ini disebut transformasi. Selanjutnya RNA juga dirubah informasinya ke
dalam materi akhir yaitu protein dalam proses translasi. Dari alur informasi
dalam dogma sentral itu bisa dipahami bahwa rekayasa DNA/genetika membawa
implikasi pada perubahan RNA sebagai materi pertengahan maupun kepada
protein sebagai produk akhir.
Cangkok jaringan ini yang sebenarnya lebih banyak diperlukan karena umumnya
bagian tubuh yang berada di luar, lebih peka terhadap penolakan dalam
pencangkokan. Misalnya penderita luka bakar hanya dapat menerima kulit dari
tubuhnya sendiri tidak dapat dari donor lain. Rekayasa jaringan adalah teknologi
dalam
bioteknologi yang dimulai tahun 1987 oleh ilmuwan MIT yaitu Langer dan Vacanti
untuk membuat jaringan-jaringan baru dengan tujuan
transplantasi/pencangkokan.
Menggunakan polimer biodegradable dalam media pembiakkan khusus, dibuat
cetakan yang mirip dengan jaringan baru yang akan dibentuk. Selanjutnya
ditanamkan ke dalam cetakan itu sel-sel yang menjadi tunas lalu dibiakkan
sampai menjadi jaringan yang sempurna.
Menggunakan teknologi rekayasa jaringan, jaringan manusia yang paling rumit
yaitu jaringan tulang rawan pembentuk telinga telah berhasil dibuat dan
ditanamkan di atas punggung tikus telanjang/nude mouse yang telah dimatikan
sistem kekebalannya. Telinga tersebut sama sekali tidak ditolak oleh tubuh tikus
dan menempel dengan sempurna. Inilah kemenangan teknologi jaringan yang
banyak dinanti pasien transplantasi, bukan untuk menyakiti hewan.
D. Perkembangan Bioteknologi sebagai Ilmu di Indonesia
Kurang lebih 15 tahun yaitu tahun 1985, pemerintah Indonesia telah menjadikan
bioteknologi sebagai prioritas pengembangan iptek yang dilakukan oleh Kantor
Menteri Negara Riset dan Teknologi (RISTEK) . Selanjutnya sejak tahun 1988,
bioteknologi sudah masuk dalam REPELITA juga sebagai prioritas pembangunan
khususnya bidangiptek. Perkembangan terbaru dari sisi kebijakan/aturan
pemerintah yaitu pada tahun 2000 lalu, bioteknologi juga muncul sebagai bidang
prioritas dalam Jakstra Ipteknas yang dilanjutkan dengan Renstra Ipteknas.
Dalam implementasi/penerapan dari kebijakan itu, pada tahun 1990 mulai
dipikirkan pembentukan SDM bioteknologi yaitu dengan pembentukan PAU atau
Pusat Antar Universitas bidang bioteknologi di UGM bidang bioteknologi
kedokteran, ITB bidang bioteknologi industri dan IPB bidang bioteknologi
pertanian.
Kerjasama antar lembaga pendidikan dan penelitian pemerintah juga mulai
digesa dengan penunjukan pusat
pengembangan atau center of excellence dengan tiga bidang utama yaitu
bioteknologi pertanian dengan anggota PAU Bioteknologi IPB, Pusat Penelitian
Bioteknologi-LIPI, bioteknologi kedokteran dengan anggota UI/Lembaga Biologi
Molekul Eijkman dengan PAU Bioteknologi UGM dan bioteknologi industri dengan
anggota PAU Bioteknologi ITB dan BPPT. PAU-PAU di universitas juga ditugaskan
untuk mencetak
SDM bioteknologi dengan pembentukan program studi pasca sarjana S-2 dan S-3
bioteknologi.
Riset tanpa dana, menjadi tak bermakna. Maka sejak tahun 1992 dana riset
kompetitif terbesar di Indonesia yaitu RUT/Riset Unggulan Terpadu yang
dikoordinasi oleh RISTEK dan diemban pelaksanaan administrasinya oleh LIPI,
memasukkan bioteknologi sebagai salah satu program tersendiri yang dibiayai.
Selain RUT ada pula skema dana kompetitif serupa yaitu RUTI/untuk tingkat
internasional dan RUK/kemitraaan untuk kerjasama lembaga riset dengan
swasta.
Usaha-usaha antara pemerintah menggandeng swasta ini membuahkan hasil
antara lain berdirinya Konsorsium Bioteknologi Indonesia/KBI dengan anggota
lembaga pemerintah, penelitian, pendidikan dan swasta industri farmasi dan
pangan khususnya. Selain beberapa lembaga yang telah disebut di atas,
lembaga pemerintah yang aktif mengembangkan bioteknologi lainnya adalah
departemen teknis yaitu Departemen Pertanian lewat Badan Penelitian dan
Pengembangannya seperti Badan Litbang Bioteknologi Pertanian dan Sumber
Daya Genetik Pertanian (Balitbiogen) yang berkantor di Bogor.
Himpunan bioteknologi juga mulai bermunculan baik yang formal atau nonformal misalnya Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, Jaringan Peneliti
Bioteknologi Indonesia, dsb. Tak kurang pula jurnal-jurnal baik yang spesifik
maupun yang lebih luas seperti Indonesian Journal of Biotechnology yang
berkantor di PAU Bioteknologi-UGM, sekarang berganti nama menjadi Pusat Studi
Bioteknologi-UGM,
dsb.
Upaya terakhir pemerintah untuk mendorong kemajuan bioteknologi Indonesia
adalah rencana pembentukan lokasi khusus di pulau Rempang, berdekatang
dengan pulau Batam, sebagai wilayah khusus pengembangan dan
komersialiasasi bioteknologi farmasi dan pertanian. Usaha ini dikenal dengan
istilah bio-island.
E. Perkembangan Bioteknologi Industri/Bioindustri di Indonesia
Apabila perkembangan bioteknologi secara keilmuwan di Indonesia kuat
khususnya di bidang pertanian, perkembangan industri/bioindustri Indonesia
justru sebaliknya. Seperti contoh di pendahuluan, bioteknologi pertanian dengan
pemanfaatan tanaman transgenik oleh perusahaan seperti Monsanto/Monagro
Kimia, banyak mendapat tantangan. Sehingga pemanfaatan bioteknologi
pertanian kita masih bersandar pada bioteknologi tingkat tua yaitu pemanfaatan
pada tingkat seluler bukan molekuler.
Contohnya adalah industri kultur jaringan yang berkembang baik dalam industri
kehutanan dengan kebutuhan penyediaan bibit tanaman untuk reboisasi maupun
untuk estetika seperti bunga-buga untuk pajangan seperti anggrek, dsb. Kultur
jaringan adalah pembuatan bibit dan perbanyakannya menggunakan permainan
komposisi media.
Yang digunakan bisa segala sumber organ tumbuhan mulai dari biji, daun, tunas,
dsb jadi lebih luas dari teknologi pembibitan konvensial dengan stek. Yang
dimanipulasi adalah sel penyusun organ itu untuk berubah menjadi tanaman
sempurna melalui hormon-hormon dalam media yang digunakan. Jadi ini adalah
bioteknologi tingkat tua, bukan bioteknologi modern.
Bioteknologi pangan, cukup berkembang dengan baik walau belum tereksploitasi
secara optimal. Misalnya komposisi kecap yang membedakan rasa, warna dan
bau/flavor sangat dipengaruhi oleh jenis kedelai sebagai bahan baku dan juga
mikroba yang digunakan. Sementara ini semua masih dilakukan secara
tradisional
walau secara penelitian sudah ada yang mulai mengarah pada pemanfaatan
flavornya. Demikian pula berbagai buah dan produk pertanian untuk pangan baik
sebagai perasa seperti vanili maupun pewarna dan bau yang banyak
dieksploitasi oleh industri flavor Eropa dan Amerika di Indonesia, juga makin
merasakan pentingnya
bioteknologi modern.
Selain flavor, kebutuhan yang besar adalah enzim dan protein yang banyak
digunakan dalam proses pembuatan produk pangan seperti enzim protease,
enzim lipase, dsb. Tak terkecuali dengan pemanfaatan baru di kosmetik dan
kebersihan seperti munculnya pasta gigi yang mengurangi detergen dengan
mengganti protease, shampoo dengan komposisi protein collagen, dll.
Sektor industri yang semakin besar cakupan penggunaan bioteknologinya di
Indonesia adalah industri farmasi. Mungkin hal ini tidak terlalu didengar karena
sebagian besar komponen industri farmasi masih impor dan produk-produk obat
untuk bioteknologi masih dinikmati oleh kalangan berpunya di kota besar saja.
Obat - obat untuk pengobatan dan pendukung terapi kanker misalnya, seperti
hormon eritropoietin, hormon growth colony, stimulting factor, antibodi spesifik,
dsb adalah contoh-contoh obat yang sekali suntik sekian juta rupiah harganya.
Kalau obat resep seperti disebutkan, tidak pernah diiklankan di media massa,
tapi alat kedokteran
untuk diagnosa bisa diamati. Misalnya alat diagnosa penyakit DM yang harus
mengukur kadar gula darahnya secara teratur menggunakan alat pengukur gula
darah, sudah mulai diiklankan di media massa cetak nasional sejak beberapa
tahun terakhir [14].
Komponen utama dalam perangkat elektronik ini adalah enzim yang mengubah
molekul glukosa menjadi sinyal elektronik. Perusahaan farmasi nasional baik
yang BUMN seperti PT Kimia Farma, Tbk dan PT Kalbe Farma juga mulai melirik
kebutuhan produk obat bioteknologi. PT Kimia Farma menggandeng LIPI dan
lembaga riset Jerman, Fraunhofer untuk mengembangkan teknologi produksi
obat-obat berbasis protein yang lebih murah dengan teknologi molecular
farming.
PT Kalbe Farma menggandeng lembaga riset Kuba dan Eropa dengan
the Soils ) telah dirakit oleh BPBPI (Paten ID 0 000 206 S), dilisensi oleh PT Bio
Industri Nusantara dan digunakan di berbagai perusahaan perkebunan (BUMN
dan BUMS) (Goenadi, 1998). Produk biofertilizer lain yang dikembangkan oleh
peneliti di Indonesia antara lain: Rhizoplus , Rhiphosant , Bio P Z 2000, dan lainlain.
Produk sejenis biofertilizer/ bioconditioner dari luar negeri misalnya: Organic Soil
Treatment (OST).Produk-produk biodecomposer juga banyak beredar di pasaran
Indonesia. Biodecomposer dipergunakan untuk mempercepat proses penguraian
limbah-limbah organik segar pertanian menjadi kompos yang siap diaplikasikan
ke dalam tanah.
Contoh produk-produk biodecomposer antara lain: Orgadec (BPBPI), SuperDec
(BPBPI), Degra Simba (ITB), Starbio , EM4 , dan lain sebagainya. Produk-produk
baru terus bermunculan sejalan dengan kebutuhan untuk mengatasi masalah
limbah padat organik.
Mikroba juga telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan penyakit
tanaman. Aplikasi mikroba untuk biokontrol hama dan penyakit tanaman
meliputi mikroba liar yang telah diseleksi maupun mikroba yang telah
mengalami rekayasa genetika. Contoh mikroba yang telah banyak dimanfaatkan
untuk biokontrol adalah
Beauveria bassiana untuk mengendalikan serangga, Metarhizium anisopliae
untuk mengendalikan hama boktor tebu ( Dorysthenes sp) dan boktor sengon
( Xyxtrocera festiva ), dan Trichoderma harzianum untuk mengendalikan
penyakit tular tanah ( Gonoderma sp, Jamur Akar Putih, dan Phytopthora sp).
Produk-produk biokontrol yang telah dikomersialisasikan oleh unit kerja lingkup
Lembaga Riset Perkebunan
Indonesia (LRPI) antara lain : Meteor, Greemi-G, Triko SP, NirAma , dan Marfu .
Keuntungan pemanfaatan biokontrol untuk pertanian antara lain adalah ramah
lingkungan, dan mengurangi konsumsi pestisida yang tidak ramah lingkungan.
Mikroba juga dimanfaatkan dalam proses pembuatan pupuk anorganik. Peneliti
di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) mengembangkan
teknologi pembuatan pupuk superfosfat yang disebut dengan Bio-SP dengan
proses gunting tempel bagian-bagian tubuh makhluk hidup, termasuk gen untuk
menciptakan makhluk yang unggul.
Kelompok kedua adalah kultur jaringan (tissue culture), penanaman sel-sel yang
telah diisolasi dari jaringan atau potongan kecil jaringan secara in vitro dalam
medium biakan. Kebutuhan yang sangat vital dan harus selalu dicari solusinya
adalah masalah pangan. Untuk pemenuhan kebutuhan akan pangan tersebut,
ternyata perkembangan teknologi lebih banyak berperan.
Yang menarik, bioteknologi lebih banyak mengarah kepada peningkatan mutu
(kualitatif) dibanding kearah kuantitatif. Manfaat lain dari kemajuan teknologi
bagi manusia adalah membuat terobosan baru untuk menemukan teknologi
pencegahan, penyembuhan serta pelacaklan penyakit maupun kelainan fisik
yang sebelumnya mustahil dilakukan manusia.
Ternyata hasil bioteknologi menunjukan bahwa, bioteknologi bukanlah senjata
pamungkas yang bisa mengatasi segala masalah kesehatan, bahkan
menimbulkan masalah baru.
Secara garis besar kegiatan bioteknologi pangan dapat didaftar sebagai berikut:
1. Teknologi sel mikroba, untuk produksi pangan terfermentasi dan aditif pangan.
2. Aplikasi enzim baik untuk persiapan bahan maupun pengolahan pangan.
3. Kultur sel atau jaringan tanaman dan tanamn transgenik.
4. Kultur sel hewan dan hewan transgenik.
5. Rekayasa protein.
1. Teknologi Sel Mikroba
Jauh beberapa abad yang silam, teknologi sel mikroba tanpa disadari sudah
diaplikasikan orang dibidang pangan, barangkali lebih didorong oleh tujuan
pengawetan pangan yang menghasilkan berbagi jenis pangan terfermentasi
seperti dadih, miso, tauco, tape dan sebagainya.
Barangkali teknologi mikrobial tertua untuk menghasilkan bahan kimia (sekaligus
bahan pangan) adalah produksi etanol oleh khamir dan proses lanjutannya untuk
mengahasilkan cuka (asam asetat) oleh bakteri. Pada awal PD II ditemukan
teknologi produksi gliserol oleh khamir yang diransang oleh kebutuhan untuk
memproduksi dinamit.
Berbagai macam asam dan enzim sudah dapat dihasilkan dengan bantuan
mikroba ini. Bahkan sederetan bahan kimia lain yang telah dapat diproduksi
secara mikrobial. Intinya, mikroba sudah terbukti merupakan
agen biologis yang sangat potensial untuk mengahsilkan berbegai jenis zat
kimia. Banyak diantaranya merupakan bahan aditif pangan.
Teknologi produksi aditif pangan secara mikrobial dilandasi oleh teknik
manipulasi metabolisme agar zat yang dikehendaki terakumulasi dan
dikeluarkan dari dalam sel. Teknik manipulasi metabolisme ini diperoleh dari
mutasi konvensional seperti radiasi dengan sinar X, UV. Gamma dan penggunaan
mutagen kimia, maupun mutasi modern melalui rekayasa genetik. Aplikasi Enzim
untuk persiapan Bahan maupun Pengolahan Pangan
Yang paling tua dari teknologi ini adalah proses pembuatan keju.
Kini teknologi aplikasi enzim untuk persiapan maupun pengolahan pangan
sangat luas. Aplikasi yang tergolong kelompok pertama misalnya pembuatan
sirup glukosa dari pati-patian yang melibatkan enzim-enzim dan amylase,
amiloglukosidase dan pullulanase, konversi glukosa ke fruktosa oleh
glukosaisomerase, penggunaan
pektinase untuk membantu ekstraksi pati dari bahan asalnya, modifikasi pati
untuk mengubah sifat fungsionalnya dan sebagainya.
Pada kelompok kedua selain contoh klasik pembuatan keju adalah misalnya
penggunaan lipase untuk menghasilkan emulsifier, surfaktant, mentega, coklat
tiruan, protease untuk membantu pengempukan daging, mencegah kekeruhan
bir, naringinase untuk menghilangkan rasa pahit pada juice jeruk, glukosa
oksidase
untuk mencegah reaksi pencoklatan pada produk tepung telur dan lain-lain.
2. Sel atau Jaringan tanaman dan Tanaman Transgenik
Sel tanaman mempunyai kemampuan yang disebut totipotency, yaitu
kemampuan tumbuh dan berkembang biak untuk menjadi tanaman lengkap
pada medium yang memenuhi syarat. Dapat pula sel tersebut tumbuh tanpa
mengalami deferensiasi. Hal ini tertgantung pada kadar hormone pertumbuhan
yang diberikan.
Dengan kenyataan ini maka kemungkinan pemberdayaan sel atau jaringan
tanaman untuk maksud-maksud berikut:
1. Produksi zat kimia atau aditif pangan
2. Menumbuhkan tanaman (dengan produk bahan pangan) bersifat tinggi.
3. Menumbuhkan tanaman dengan produktifitas bahan pangan tinggi.
Sifat variasi somaklonal dari sejumlah populasi sel tanaman yang tumbuh dapat
digunakan untuk menseleksi sel tanaman yang unggul untuk memproduksi
metabolit tertentu. Produk-produk aditif yang dapat diharapkan dari sel tanaman
antara lain:
1. Zat warna pangan (antosianin, betasinin, saffron)
2. Flavor (strawberry, anggur, vanilla, asparagus)
3. Minyak atsiri (mint, ros, lemon bawang)
4. Pemanis (steviosida, monelin)
Untuk semua tujuan aplikasi sel tanaman, aplikasi teknik-teknik pemindahan gen
seringkali diperlukan. Ini mencakup teknik-teknik hibridisasi somatik, breeding
sitoplasmik, mikroinjeksi gen, teknik transwitch, transfer gen dengan
perantaraan vektor.
Manipulasi tanaman dengan produk tanaman pangan bersifat khusus
contohcontohnya adalah:
1. Tanaman tahan terhadap herbisida
2. Tanaman yang menghasilkan insektisida
3. Tanaman yang tahan terhadap kondisi tertentu
4. Kacang tanah yang asin rasanya tanpa diberi bahan tambahan
Tanaman dengan produktifitas pangan tinggi dapat terdiri dari 2 bentuk: (i)
tanaman dengan rasio biomassa dapat meningkat, misalnya ukuran tanaman
diperkecil tapi buah diperbesar, (ii) tanaman dengan umur panen yang singkat
sehingga menambah frekuensi panen dalam satu tahun seperti yang sudah
diperoleh
pada padi.
Tanaman transgenik adalah khususnya tanaman yang mempunyai gen hasil
alihan dari mikroorganisme lain (walaupun definisi ini adalah yang berarti asal
menerima gen dari luar tanaman itu sendiri, jadi termasuk yang berasal dari
tanaman juga). Contoh tanaman dengan definisi pertama adalah tanaman yang
mengandung gen racun serangga dari Bacillus thuringiensis (gen Bt). Tanaman
kentang tahan terhadap herbisisda biolaphos, tanaman kapas tahan terhadap
herbisisda glyphosate.
4. Kultur sel Hewan dan Hewan Transgenik
Kultur sel hewan adalah sisitem menumbuhkan sel manusia maupun hewan
untuk tujuan memproduksi metabolit tertentu. Pada saat sekarang aplikasi dari
sistem ini banyak digunakan untuk menghasilkan untuk menghasilkan
produkproduk farmasi dan kit diagnostik dengan kebanyakan jenis produk
berupa molekul
protein kompleks.
Hal yang paling mendorong kearah aplikasi ini adalah karena biaya
operasionalnya yang tinggi, terutama medium. Selain itu system metabolisme
sel hewan tidak seramai pada system metabolisme sel tanaman. Sekalipun
demikian ada aplikasi yang berhubungan tidak langsung dengan masalah
pangan, misalnya: penetapan jenis kelamin dari embrio yang akan ditanam,
penentuan masa ovulasi dari sapid an fertilisasi in vitro untuk hewan.
Adapun contoh-contoh produk yang biasa dihasilkan oleh sel hewan misalnya:
interferon, tissue plasminogen activator, erythroprotein, hepatitis B surface
antigen. Hewan transgenic adalah hewan yang menerima gen pindahan dari
organisme lain (atau hewan yang sama) untuk tujuan-tujuan yang tentunya
dianggap menguntungkan bagi manusia.
Ada jenis hewan transgenik yang dianggap sebagai system produksi yang lebih
baik bagi beberapa protein yang biasanya diproduksi oleh sisitem sel hewan,
salah satu contohnya adalah produksi t-PA oleh tikus yang depresi pada susu.
Dunia perikanan pun tak ketinggalan dengan mengklon gen beku pada ikan
salmon agar tahan dingin sehingga menunda masa bertelur dan sebagai
gantinya meningkatkan bobot badannya.
5. Rekayasa Protein
Aplikasi rekayasa protein dalam bidang pangan melibatkan dua hal: (i) enzim
melalui modifikasi molekul protein dan (ii) modifikasi protein pangan untuk
mengubah sifat fungsionalnya. Dalam hal tujuan pertama sasarannya stabilitas
enzim pada kondisi-kondisi khusus. Sasaran tujuan kedua misalnya memperbaiki
sifat elastisitas, kemampuan membentuk emulsi atau kemampuan menstabilkan
tekstur.
Contoh nyata dalam teknologi enzim misalnya perbaikan kestabilan termal dari
enzim glukosa isomerase. Gukosa isomerase dari Actinomycetes missouriensis
mengalami penggantian arginin oleh lisan pada posisi 253 (K253Rl)
menghasilkan jembatan garam yang lebih kuat antar permukaan dimmer
sehingga menjadi lebih
tahan panas lebih rendah (sekitar 5.8).
Dalam hal modifikasi sifat-sifat fungsional belum ada contoh nyata yang
menerangkan hubungan struktur molekul dan fungsi, ditambah lagi dengan halhal lain seperti interaksi yang komplek antar molekul
protein dengan makromolekul dan mikromolekul. Pemikiran awal terfokus pada
pembentukan hambatan disulfida.
J. Masalah-Masalah Sosio-Kultural Bioteknologi Pangan
Dari uaraian di atas secara umum terlihat manfaat bioteknologi dalam bidang
pangan. Akan tetapi karena kebanyakan aktivitas dapat dikatakan mengubah
alam dan timbul kekhawatiran penyimpangan yang terlalu jauh dari kondisi
alamiah. Masalah-masalah lingkungan yang dikhawatirkan mungkin pula terpau
masalah
keamanan (lahir batin) dari pangan, serta masalah hak kepemilikan intelektual
yang berdampak ekonomi.
Produk dari bioteknologi tradisional tersebut antara lain: tempe, oncom, yoghurt,
dan keju. Bioteknologi tradisional ini terus mengalami perkembangan hingga
ditemukannya struktur ADN yang diikuti dengan penemuan lainnya. Dengan
ditemukannya struktur ADN dan berkembangnya ilmu pengetahuan tentang
ADN, muncullah istilah bioteknologi modern.
Aplikasi bioteknologi, baik tradisional maupun modern, meliputi berbagai macam
aspek kehidupan manusia, mulai dari bidang pertanian dan peternakan hingga
kesehatan dan pengobatan. Beberapa contoh bioteknologi dalam bidang (1)
pangan, misalnya tempe, oncom, dan tomat hasil manipulasi genetic; (2)
pertanian, misalnya
hidroponik dan tanaman jagung transgenic; (3) peternakan, misalnya domba
ankon (berkaki pendek dan bengkok) hasil mutasi alami dan ternak unggul hasil
manipulasi genetic; (4) kesehatan dan pengobatan, misalnya vaksin dan hormon
somatotropin yang dihasilkan oleh E-coli.
Melihat berbagai macam produk dan jasa yang dihasilkan, agaknya tidak salah
kalau sementara dapat disimpulkan bahwa bioteknologi memegang peranan
penting dalam memenuhi kehidupan dan kebutuhan manusia. Mulai dari
kebutuhan mendasar, yaitu makanan dan minuman hingga kesehatan, hampir
semuanya terpenuhi oleh produk dan jasa dari bioteknologi.
Dengan demikian, bioteknologi memberikan manfaat yang begitu besar bagi
kehidupan manusia. Akan tetapi, sebuah sunnatullah juga tidak dapat dipungkiri
bahwa segala sesuatu saling silih berganti, kelebihan dan
kekurangan, manfaat dan ancaman, keduanya merupakan sebuah keniscayaan
karena pada dasarnya tidak ada sesuatu yang sempurna di muka bumi ini.
Bioteknologi dengan berbagai produk dan jasa yang dihasilkan, tidak hanya
mendatangkan dampak positif, tetapi juga dampak negatif.
Untuk itu, tugas kita adalah mencari cara bagaimana mengatasi dampak negatif
tersebut. Sebenarnya, dampak negatif yang ditimbulkan dari bioteknologi
tergantung dari apa produk dan jasa yang dihasilkan dari bioteknologi itu.
Beberapa contoh dampak negatif dari bioteknologi, misalnya alergi, dan
hilangnya plasma nutfah/keanekaragaman makhluk hidup.
Untuk mencegah terjadinya alergi itu dapat dilakukan dengan pengujian suatu
produk bioteknologi dalam jangka waktu yang lama untuk memastikan ada
tidaknya efek negatif tersebut terhadap konsumen. Sedangkan plasma nutfah
dapat musnah akibat budidaya hewan atau tumbuhan yang unggul saja.
Kepunahan plasma nutfah dapat diatasi dengan melakukan pemeliharaan
berbagai jenis hewan dan tumbuhan di suatu
tempat konservasi tertentu.
Bioteknologi dalam Industri
1. Asam sitrat
- Mikroba : Aspergillus niger,: tetes gula dan sirup
Fs. Asam Sitrat : pemberi citarasa, pengemulsi susu, dan antioksidan. Umumnya
asam ini banyak terdapat pada jeruk
2. Protease
- Digunakan antara lain dalam produksi roti, bir
- Protease proteolitik berfungsi sebagai pelunak daging dan campuran deterjen
untuk menghilangkan noda protein .
2. Mikroba: Aspergillus oryzae dan .Bacillus subtilis
3. Amilase : digunakan dalam produksi sirup, kanji, glukosa.
Glukosa isomerase : mengubah amilum menjadi fruktosa.
Fruktosa digunakan sebagai pemanis makanan menggantikan sukrosa.
4. Mikroba:Aspergillus niger..Aspergillus oryzae...Bacillus subtilis
Daftar Referensi
and disadvantages
Domestication holds advantages and disadvantages. Advantages include the abilities to:
help sustain steady and reliable production to meet market demands;
help relieve pressure on natural forest stocks;
provide local income and resources for subsistence;
facilitate easier collection and harvesting;
improve plant or animal growth rates;
offer a crop of cultural familiarity and value (Wickens, 1991).
loss of some of the ecological functions played by the forest when plantations replace
natural forests;
heavy dependence on regular infusion of seed from wild sources, for better yield and
resistance to diseases and pests;
concentration of income-generating potential in larger corporate entities, often far from the
forest and the communities, and causing further disadvantages for poor households and
minority groups.
With an awareness of these advantages and disadvantages, a community can better manage
the domestication process. For example, LeCup (1994) describes a medicinal plant
programme in Nepal in which communities first assessed the ecological impact of harvesting,
then developed a strategy based on the population density and market value of each species.
As land tenure arrangements permitted, the communities established forest gardens and
nurseries for cultivating the high-value, low-density plants. For lower-value plants that
occurred more commonly in the wild, harvesters learned improved harvest techniques and
placed stricter limits on harvest levels. This approach improved local management,
maintained wild genetic resources, and helped to improve the predictability and quality of
supply.
For wildlife species to be candidates for domestication, they must be amenable to some
degree of human handling and grouping in a limited space for feeding and handling, the
young must show fast growth, females must have a high reproductive output (live weight of
young per year), and they must be amenable to reproduce on a fairly inexpensive diet
(Redford, op. cit.). See also Chapter 4 for domestication strategies.
Text box 2.1: Species domestication and inequity
While domestication can initially give a community more control over supply of a market
product (in terms of harvest, seasonality, etc.), it does not guarantee that the community can
maintain control and gain benefits. Historical patterns suggest that domestication contributes
to the boom-bust pattern experienced by NWFPs in international markets. In this sequence,
the local people often lose their advantage. Rubber and quinine provide two examples of this.
When rubber's value on the international market rose significantly in the late 1800s, supply
from cultivated sources in Asia began to replace wild sources in the plant's native range of
Amazonia. The same pattern occurred with quinine. Producers in Asia were able to turn this
to their advantage because:
the species, when introduced into a new region, escaped the pests and
diseases that had evolved with it (at least temporarily);
as a result, the species could be planted in monoculture with (temporarily) less risk of crop
failure and with greater economic efficiency;
genetic improvement programmes in Asia led to further increases in yields.
As a result, wild Amazonian sources lost the international market for rubber and quinine
(Clay and Clement, 1993).
Agroforestry
The concept of ideotype is used by plant breeders to define a plant model which then
becomes the target for a breeding programmne. The ideotype specifies the ideal attributes of a
plant for a particular purpose (Raintree, 1991).
seed collection and distribution;
study of interactions between genotype and environment;
establishment of seed orchards.
This type of strategy is often best organized by a regional research institution (Leakey and
Newton, op. cit.).
Summary
Understand the rules of tenure and access that govern the non-wood resource
and its use. Open-access resources should be converted to a common-property
regime for better management accountability.
Conduct a resource inventory to identify the ecological forest types, species and products of
interest. To reduce the costs of forest inventories, plan carefully, and clarify the forest types
and species of interest through review of existing information, including maps.
For tree-based products, assess the density and size-class distribution of preferred species.
This provides a gauge of the forest's general health against which to compare later
management. Wildlife population size and trends should be similarly assessed.
Assess each species' ecological amenability for harvesting, local cultural and social
preferences for its products and the economic trade-offs. Higher-value products are usually
the first to be managed.
Monitor forest dynamics regularly using studies of yield, harvests and regeneration rates.
When monitoring tools indicate that harvest levels exceed natural regeneration, either reduce
the harvest level or begin supplementary measures to create new resources.
Domestication is a tool for communities to supplement wild sources of NWFPs. Before
intensifying species management through domestication, communities should consider the
trade-offs between more reliable supply and increased vulnerability to ecological decline of
the resource material, and equity issues. A local strategy can combine production based on
domesticated and wild resources to best advantage.
Tarsius tarsier, salah satu fauna terancam punah yang berasal dari Indonesia.
(Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)
Tanggal 12 Oktober 2014, Protokol Nagoya mulai berlaku. Protokol dapat berlaku dan
berkekuatan penuh karena sudah ditandatangani lebih dari 50 negara dan telah 90 hari
diterima Sekretaris Jenderal PBB.
Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya pada 8 Mei 2013 dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2013, hanya dua tahun setelah protokol tersebut ditandatangani. Dengan
demikian, Indonesia menjadi negara ke-26 yang meratifikasi.
Protokol Nagoya mengatur akses pada sumber daya genetika dan pembagian keuntungan
yang adil dari pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman Hayati.
Implikasi dari diterimanya protokol ini cukup banyak bagi Indonesia yang selain menjadi
penanda tangan protokol juga mempunyai keragaman hayati sangat tinggi di dunia. Akan ada
pengaturan pemanfaatan dan perdagangan keragaman hayati secara global, termasuk
pembagian keuntungan, persetujuan transfer yang menguntungkan, dan pemberitahuan
kepada pemangku kepentingan, alih teknologi, dan lain-lain.
Sebagai negara yang keragaman hayatinya setara dengan Brasil di Benua Amerika dan Zaire
atau Republik Demokratik Kongo di Afrika, sepantasnya kita bersiap diri menyongsong
pemberlakuan protokol ini dengan penguatan bidang sains dan teknologi mengenai
biodiversitas.
Sumber daya genetika Indonesia sangat tinggi karena kita mempunyai 10 persen tumbuhan
berbunga di dunia, selain mempunyai 15 persen jumlah serangga, 25 persen spesies ikan, 16
persen jumlah amfibi dan reptil, 17 persen burung, dan sekitar 12 persen mamalia di dunia.
Kalau tidak menguatkan kompetensi di bidang itu, kita akan menerima banyak sekali pakar
biologi dan ilmu sejenisnya dari luar negeri yang memanfaatkan peluang di Indonesia.
Apalagi pada 2015 kita akan memasuki komunitas ASEAN dan penerapan Sustainable
Development Goal.
Pengaturan dalam Protokol Nagoya bertujuan memberi akses dan pembagian keuntungan
terhadap pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional, termasuk
pemanfaatan produk turunannya (derivatif). Tujuan lain, mencegah pencurian sumber daya
genetika atau biopiracy.
Akses terhadap sumber daya tetap mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan
dengan hukum nasional.
Rentan pembajakan
Kekayaan sumber daya hayati memang perlu dikelola sekaligus dilindungi karena rentan
pembajakan hayati, terutama oleh negara-negara maju. Perusahaan dari negara maju kerap
mengambil sumber daya genetika tanpa izin. Indonesia pun pernah mengalami praktik
serupa. Banyak sekali sumber daya genetika, seperti obat, bahan industri, dan pangan,
dipatenkan perusahaan dan pakar luar negeri.
Sumber daya genetika itu menjadi tujuan peneliti luar negeri karena materi genetika kita
sangat tinggi. Data menunjukkan, 9 dari 10 obat-obatan yang diproduksi berasal dari materi
genetika (Dobson 1995).
Ini sejalan dengan hasil penelitian lain, yaitu dari 150 obat-obatan yang diresepkan dokter di
Amerika Serikat, 118 jenis berbasis sumber alam, yaitu 74 persen dari tumbuhan, 18 persen
jamur, 5 persen bakteri, dan 3 persen vertebrata seperti ular. Nilai obat-obatan dari bahan
alam mencapai 40 miliar dollar AS per tahun.
Keahlian memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan baku obat penting dalam pengembangan
obat. Industri obat-obatan yang menggunakan bahan tradisional (jamu) termasuk industri
tangguh dan permintaan akan bahan tradisional di negara maju semakin meningkat. Maka
dari itu, Indonesia sangat mengharapkan keuntungan dari pemanfaatan sumber daya alam
genetika ini.
Hal itu dapat dicapai melalui kerja sama yang melibatkan masyarakat setempat, swasta, dan
lembaga internasional dalam penelitian sehingga keuntungan dapat terbagi merata dan
dinikmati bersama.
Seiring dengan gencarnya usaha industri farmasi dalam mencari sumber baru bahan baku
kimia tumbuhan untuk mengembangkan obat, industri memusatkan perhatian pada negara
dengan keragaman hayati tinggi seperti Indonesia. Berarti Indonesia dapat turut berpartisipasi
dalam pertukaran barang, informasi, dan teknologi ke pasar dunia.
Negara industri maju perlu memenuhi kebutuhan sumber daya alam untuk kepentingan
ekonomi, tetapi sebagian besar sumber daya hayati ada di negara berkembang. Sangat jelas
bahwa kerja sama antarnegara sangat dibutuhkan untuk mengatasinya. Indonesia dapat
menjalin kerja sama dengan industri farmasi internasional melalui dua cara.
Pertama, mengurangi peran bioprospeksi menjadi sekadar alat pencari uang. Namun, ekspor
dan eksploitasi sumber daya alam skala besar dapat menyebabkan menurunnya persediaan
bahan baku alam tanpa menghasilkan keuntungan dan teknologi apa pun. Dengan dukungan
dari Konvensi Keragaman Hayati, pilihan kedua adalah mengelola secara komersial sumber
daya alam yang dapat menghasilkan keuntungan buat masyarakat dan penduduk lokal.
Selain peluang, terdapat pula tantangan bagi Indonesia. Paling tidak terdapat dua tantangan
Indonesia. Pertama, pembentukan otoritas nasional pengelolaan dan perlindungan sumber
daya di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini bersifat multisektor karena sifat sumber daya
genetika di berbagai habitat yang mencakup perairan dan kelautan, pertanian, kehutanan,
serta penelitian/ilmu pengetahuan. Keanggotaan lembaga terdiri dari pemangku kepentingan
dan instansi terkait. Kedua, pembentukan standar baku atau prosedur operasi standar (SOP)
naskah akses dan pembagian manfaat sumber daya genetika serta perjanjian transfer materi
biologik (material transfer agreement).
Perlu sinergi
Sinergi institusi pengelola perlu agar tercipta tata kelola dan perlindungan sumber daya
genetika di Indonesia yang holistik. Langkah selanjutnya adalah kerja keras dari negara dan
masyarakat untuk mewujudkannya. Tanpa sinergi antara negara dan masyarakat, amat sukar
untuk mewujudkan tata kelola dan perlindungan sumber daya genetika yang holistik di
Indonesia.
Pembangunan industri yang memiliki nilai tambah sangat penting untuk membangun
kapasitas di bidang teknologi. Meliputi pelayanan yang berhubungan dengan identifikasi
sampel, ekstraksi kimia, dan investigasi sampel.
Penambahan nilai pada sumber daya biologi tidak saja meningkatkan kapasitas teknologi,
tetapi juga meningkatkan kompensasi perekonomian.
Misalnya, di industri farmasi keuntungannya 1-6 persen untuk sampel yang belum
diidentifikasi, 5-10 persen untuk sampel yang telah diidentifikasi, dan 10-15 persen untuk
sampel yang memiliki informasi ilmiah. Penguatan kapasitas ilmiah dan teknologi di
Indonesia dapat mendukung formulasi kerja sama dengan industri di negara maju dan juga
menempatkan Indonesia untuk mengendalikan sendiri sumber daya alamnya.
Apakah perjanjian ini akan bermanfaat bagi Indonesia? Tentu saja ya. Keanggotaan negara
akan menegaskan penguasaan negara atas sumber daya genetika serta kedaulatan negara atas
pengaturan akses dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas
lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD 1945. Selain itu, juga mencegah biopiracy
dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keragaman hayati.