Anda di halaman 1dari 20

TUGAS HUKUM TELEMATIKA

PERLINDUNGAN KONSUMEN
DALAM LINGKUP TEKNOLOGI INFORMASI

Nama Kelompok:
1. Dedeh Juniarsih

(0517032023)

2. Astri Santi

(0617032005)

3. Mayang Wulandari

(0617032015)

4. Restu Yuniarti

(0617032083)

5. Valentina Ambarwati

(0617032105)

PROGRAM STUDI ILMU KOMPUTER


JURUSAN MATEMATIKA FMIPA
UNIVERSITAS LAMPUNG
2009

ABSTRAK

Perlindungan hukum terhadap konsumen menyangkut dalam banyak aspek


kehidupan terutama dalam aspek ekonomi konsumen banyak sekali mengalami
kerugian. Keruian-kerugian tersebut dialami karena kurangnya perlindungan bada
hukum yang melindungi secara pasti posisi konsumen yang merasa dirugikan. Oleh
karena itu dalam bahasan kali ini kami mencoba mengulas berbagai aspk tersebut
dalam sebuah rangkuman serta membahas dengan memberikan contoh kasus yang
terjadi disekitar kita sehingga dapat dibuktikan bahwa posisi konsumen saat ini ada
dalam level bawah yang masih sangat membutuhkan perhatian lebih baik oleh
pemerintah ataupun pihak yang berwenang.

A. LATAR BELAKANG

Teknologi informasi menjadi kebutuhan yang mendasar bagi kita pada saat ini baik
dalam lingkup social, politik, ekonomi, pendidikan dan budaya.
Dalam ligkup sosial, penggunaan telepon sebagai media komunikasi sangat
membantu manusia untuk dapat berkomunikasi antar individu, ataupun antar
kelompok (teleconference). Tidak hanya telepon, media komunikasi lainnya baik
yang dapat memberi fasilitas komunikasi secara dua arah ataupun satu arah dapat
pula memberi kemudahan-kemudahan bagi para penggunanya.
Sedangkan dalam lingkup politik, e-government sangat membantu dalam penyebaran
informasi di suatu pemerintahan. Teknologi informasi juga sangat membantu dalam
lingkup ekonomi saat ini, sebagai contohnya yakni seperti e-commerce, e-bussiness,
dan e-banking yang memungkinkan berbagai kalangan di berbagai belahan dunia
dapat saling melakukan aktivitas ekonomi dalam waktu yang singkat tanpa harus
bertemu secara langsung dan melakukan perjalanan yang jauh.
Pada bidang pendidikan, e-learning dan internet tentulah sangat membantu dalam
proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan karena dengan adanya e-learning, proses
belajar mengajar tidak lagi harus dilakukan dalam sebuah ruangan yang terdiri dari
pengajar dan siswanya; akan tetapi siswa dapat berada dimanapun, kapanpun dan ia
akan tetap mendapat informasi sesuai dengan yang dibutuhkan. Dengan adanya
sarana internet, para siswa dapat dengan mudah mencari bahan pelajaran dan kini
tidak lagi hanya berpatokan pada buku yang ada diperpustakaan namun sudah mulai
berkembang pada buku-buku yang ada di dunia.
Selain itu, teknologi informasi juga sangat mempengaruhi budaya masyarakat saat
ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya siswa yang dengan mudah mengenal
2

adanya budaya yang terdapat dalam dunia ini serta dapat dengan mudah menerima
adanya perbedaan budaya asing tersebut.
Konsumen dalam lingkup Teknologi Informasi dari berbagai segi seperti yang telah
disebutkan di atas memerlukan perlindungan hukum. Sebab seringkali terjadi hal-hal
yang merugikan bagi konsumen dan parahnya, konsumen tersebut tidak mengetahui
kepada siapa ia dapat meminta pertanggungjawban atas kerugian yang dideritanya.
Oleh karena itu, diperlukan adanya jaminan dari produsen yakni misalnya garansi
produk, dan jaminan dari pemerintah yakni berupa undang-undang yang dapat
memberikan kedudukan yang lebih kuat bagi konsumen.

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam makalah ini, akan kami bahas mengenai perlindungan hukum terhadap
konsumen dalam dunia teknologi informasi dari segi ekonomi, yakni hal-hal yang
mencakup:
1.

Perlindungan konsumen dalam lingkup e-commerce sangat dibutuhkan hal ini


dikarenakan pelaku tindak penipuan melalui e-commerce sulit diidentifikasi
sehingga hal ini menyebabkan kerugian bagi berbagai pihak terutama pihak
konsumen dan penjual. Oleh karenanya, perlindungan konsumen dalam lingkup
e-commerce diperlukan.

2.

Perlindungan konsumen dalam lingkup e-banking, dimana konsumen dalam hal


ini adalah nasabah bank yang akan sangat dirugikan akibat adanya pelanggaran
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab misalnya yakni
dengan mengambil uang tanpa sepengetahuan pemilik tabungan dari nasabah
suatu bank dengan menggunakan account pribadi nasabah tersebut.

3.

Perlindungan konsumen dalam lingkup transaksi online. Dalam bertransaksi


secara online, pihak konsumen sering kali mengalami banyak kerugian yang
diakibatkan oleh banyak pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun demikian,
pihak penjual juga sering dirugikan karena ulah pihak yang tidak bertanggung
jawab tersebut.

C. PEMBAHASAN

Dalam Blacks Law Dictionary, pengertian konsumen diberi batasan yaitu . A


person who buys goods or services for personal family or householduse, with no
intention of resale; a natural person who uses products for personal rather than
business purposes. (Edmon Makarim, S.H., S.Kom, Kompilasi Hukum
Telematika. Halm 315). Jadi, berdasarkan pengertian tersebut, konsumen adalah
orang yang membeli suatu produk hanya untuk digunakan olehnya (pemakai
akhir), bukan untuk dijual kembali.
Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum, maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dan
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi. (Pasal 1 butir 3 UUPK)
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang
dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh
konsumen. (pasal 1 butir 4 UUPK)
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. (pasal 1 butir 5
UUPK)
Perlindungan terhadap konsumen yang akan kami bahas adalah mengenai ecommerce, e-banking serta transaksi online yang sering kali riskan terhadap
penipuan dan penyelewengan didalamnya serta kurangnya perlindungan yang
melindungi konsumen dalam aspek ekonomi tersebut.
5

Sesuai dengan pasal 2 Undang-undang dasar Nomor 8 Tahun 1999 tentang


perlindungan konsumen, terdapat 5 prinsip umum perlindungan konsumen.
a. Prinsip manfaat. Segala upaya perlindungan konsumen harus memberi
manfaat bagi konsumen dan pelaku usaha.
b. Prinsip keadilan. Konsumen dan pelaku usaha hendaknya mendapat haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Prinsip

Keseimbangan.

Perlindungan

konsumen

diharapkan

dapat

memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan


pemerintah.
d. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen. Memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam menggunakan suatu produk
barang/ jasa.
e. Prinsip kepastian hukum. Baik pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen.
Pada Pasal 1365 KUHPerdata terdapat empat unsur yang apabila terpenuhi, maka
suatu pihak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, yaitu: unsur kesalahan,
adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kasualitas antara kesalahan
dan kerugian. Dengan adanya pasal ini, apabila hal tersebut terpenuhi, maka
sesungguhnya seseorang dapat menuntut suatu pihak ke pengadilan.

1. ELECTRONIC COMMERCE
Pendahuluan
Keuntungan dari e-commerce adalah karena seorang pembeli tidak perlu
bepergian keluar rumah sehingga dapat menghemat penggunaan Bahan Bakar
6

Minyak atau BBM dari kendaraan bermotor yang biasa digunakan untuk
transportasi, hal ini juga bisa mengurangi polusi udara dan pemanasan global
(global warming) tentunya.
Keuntungan lain dari e-commerce bagi seorang konsumen antara lain lebih efisien
waktu karena dengan browsing pada suatu situs e-commerce dan kemudian
mengetikkan barang yang dicari lebih cepat daripada harus mengelilingi suatu
toko atau mall. Selain itu, proses pembayarannya juga instan yaitu bisa dengan
kartu kredit bisa juga dengan transfer ATM, dan e-banking, serta e-payment
seperti e-gold, paypal, stormpay, moneybooker, dan lain sebagainya.
Permaasalahan
Dalam lingkup telematika, khususnya dalam hubungan komunikasi elektronik
global, maka semua pihak yang menggunakan sistem teknologi tersebut
sebenarnya dapat dikatakan adalah konsumen dari sistem elektronik itu sendiri.
Selama ini, masyarakat mengira dalam e-commerce ini hanya melihat konsumen
yang membeli produk dari si pedagang lah yang merupakan konsumen dari suatu
sistem e-commerce. Namun, sebenarnya pedagang pun juga merupakan
konsumen dari sistem teknologi informasi itu sendiri.
Jadi, sebenarnya dalam sistem e-commerce ini yang sepatutnya bertanggung
jawab adalah dari pihak developer / pengembang/ penyelenggara sistem
elektronik yang bersifat mutlak yakni, sepanjang sistem e-commerce tersebut
diyakini dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka barulah tangung jawab
beralih ke pihak yang menggunakan.
Dalam E-Commerce, masalah perlindungan konsumen merupakan aspek yang
cukup penting untuk diperhatikan, karena beberapa karakteristik khas ECommerce akan menempatkan pihak konsumen pada posisi yang lemah atau
bahkan dirugikan sebab:

Perusahaan / penjual di Internet (the Internet merchant) tidak memiliki alamat


secara fisik di suatu negara tertentu, sehingga hal ini akan menyulitkan
konsumen untuk mengembalikan produk yang tidak sesuai dengan pesanan;
Konsumen sulit memperoleh jaminan untuk mendapatkan service atau repair;
Produk yang dibeli konsumen ada kemungkinan tidak sesuai atau tidak
kompatibel dengan persyaratan lokal (loca1 requirements);
Dengan karakteristik E-Commerce seperti ini konsumen akan menghadapi
persoalan hukum yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran, kontrak, dan
perlindungan terhadap data-data individual konsumen yang diberikan kepada
pihak perusahaan. Undang-undang perlindungan konsumen masing-masing
negara seperti yang dimiliki Indonesia tidak akan cukup membantu, karena ECommerce beroperasi secara lintas batas (borderless).
Konsumen seringkali menjadi penipuan E-commerce. Apalagi jika perusahaan di
Internet (the Internet Merchant) tidak memiliki alamat fisik, konsumen sulit
mengembalikan barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan. Dengan
karakteristik E-Commerce ini konsumen akan menghadapi persoalan hukum yang
berkaitan dengan mekanisme pembayaran, kontrak, dan perlindungan terhadap
data-data individual konsumen yang diberikan kepada pihak perusahaan.
Undang-undang perlindungan konsumen masing-masing negara seperti yang
dimiliki Indonesia masih cukup lemah, karena Undang-undang Telekomunikasi
dan KUHP tidak dirancang untuk menghadapi karakter E-commerce yang
beroperasi secara lintas batas (borderless).

Contoh Kasus
(Sumber: Edmon Makarin, S.H., S.kom, Kompilasi Hukum Telematika)

Gugatan besar pertama yang dihadapi Federal Trade Commission (FTC) dalam
kasus hukum melalui internet adalah kasus the pyramid investment scheme dalam
FTC v. Fortuna Alliance, May 23, 1996. Skema yang ditawarkan Fortuna Alliance
dalam situasinya adalah bahwa setiap investasi sebesar US$ 250, maka konsumen
akan mendapatkan US$5000 per bulan. Pengembalian ini mengakibatkan sekitar
25.000 konsumen merasa tertipu karena tidak sesuai dengan janji yang
ditawarkan.
Di Indonesia dengan skema yang sedikit menyerupai kasus tersebut terdapat
skema arisan berantai yang ditawarkan melalui e-mail, dan terlebih dulu disertai
kisah sukses pihak yang telah mendapatkan dana besar dengan mengikuti
kegiatan ini. Biasanya pihak yang dikirimi e-mail diharuskan menyetorkan
sejumlah uang pada rekening orang yang telah tercantum dalam e-mail, kemudian
dia harus melanjutkan e-mail tersebut ke sejumlah e-mail dengan perintah yang
sama.
Kasus lain juga terjadi di New York berkaitan dengan tidak diantarnya barang
yang telah dipesan oleh konsumen. Penipuan terhadap konsumen melalui iklan
produk yang bertentangan secara hukum juga menimbulkan kerugian yang tidak
sedikit karena melibatkan konsumen di beberapa Negara.
Sehubungan dengan hal itu, Norberth Reich pernah merumuskan bahwa masalah
yang sering dihadapi konsumen adalah meliputi sikap pelaku usaha yang
bertindak curang pada saat perjanjian jual beli dilakukan, seperti ketidakjelasan isi
dari kontrak standar, produk cacat, dan ketidakpuansan atas jasa yang
ditawarkan., iklan yang menyesatkan, serta permasalahan layanan purna
jual.
Jadi, secara umum, permasalahan yang dapat timbul mengenai hak-hak konsumen
adalah:

a. Konsumen tidak dapat secara langsung melihat dan menyentuh barang


yang akan dibeli.
b. Kurangya ketersediaan informasi yang berkaitan dengan produk atau tidak
adanya kepastian bahwa konsumen telah mendapatkan informasi yang jelas
mengenai produk yang dapat membantunya memutuskan apakah barang
tersebut sesuai dengan kebutuhannya atau bahkan ketersediaan informasi
tersebut tidak sesuai dengan kenyataan produk.
c. Pembayaran dimuka yang dilakukan konsumen menyebabkan pembebanan
resiko yang tidak berimbang karena barang belum tentu diterima atau
bahakan diterima dengan keterlambatan, sebab yang ada adalah jaminan
pengiriman barang bukan penerimaan barang.
d. Metode pembayaran yang menggunakan kartu kredit ataupun electronic
cash menimbulkan kekhawatiran baru,
e. Transaksi yang dilakukan lintas batas Negara menyebabkan terjadinya
kebingungan untuk menggunakan hukum Negara mana yang akan dipakai.

Solusi
Dalam kaitan ini, perlindungan konsumen harus dilakukan dengan ditegakkannya
hukum di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan sistem elektronik.
Selain itu, pendekatan internasional melalui harmonisasi hukum dan kerjasama
institusi-institusi penegak hukum juga perlu dilakukan agar proses hukum dapat
berjalan dengan lebih mudah walaupun prosesnya dilakukan secara lintas batas
Negara.
Sedangkan dari pihak Pelaku usaha, yakni dalam berbagai transaksi tidak
semestinya menjual produk yang rusak, cacat atau bekas ataupun yang telah
10

dimodifikasi dengan tujuan memperolah keuntungan yang lebih. Dan juga, pelaku
usaha tidak semestinya mengirimkan barang yang tidak sesuai dengan iklan
ataupun promosinya. Apabila hal ini terjadi maka semestinya pemerintah dan
aparat penegak hukum bertindak lebih tegas, cepat dan tepat sebab pelaku usaha
dalam electronic commerce ini lebih sulit di temukan sehubungan dengan tidak
adanya alamat fisik suatu pelaku usaha dalam e-commerce. Adapun cara agar
alamat fisik suatu pelaku usaha tersebut dapat diketahui dengan mudah adalah
dengan cara : pengisian formulir (dengan elektronik) saat mereka ingin membuka
usaha di dunia global ini, setelah itu, sebaiknya sistem dapat memberikan validasi
mengenai alamat fisik tersebut dengan mengidentifikasi alamat ip-nya, apakah
dalam kenyataanya alamat tersebut ada ataukah hanya mereka rekayasa.
Berhubungan dengan keamanan privasi nomor kartu kredit atau pun kartu debet
dan yang tidak kalah pentingnya dalam mengurangi tindak kejahatan yang
mungkin terjadi adalah dari teknologi sistem elektronik itu sendiri. Sebaiknya
provider / pembangun sistem elektronik dapat semakin mengurangi celah-celah
penyusup yang berniat jahat. Apabila pada berbagai website yang menyediakan
fasilitas e-commerce telah semakin menyempitkan celah-celah tersebut, dan
tindak kejahatan e-commerce telah menurun secara signifikan, tentu saja
konsumen yang modern dan intelek akan lebih memilih e-commerce untuk
melakukan transaksi jual beli mereka.

Perlindungan konsumen
Dalam pasal 45 UUPK dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan pihak-pihak yang
bersengketa.

11

Jadi, mekanisme penyelesaian sengketa atau perselisihan konsumen dapat terjadi


dengan dua cara, yaitu:
a. Pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum, dan
b. Pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (di luar pengadilan).
Sanksi atas Pelanggaran Undang-undang perlindungan konsumen terdapat pada
UUPK Bab XIII yakni dari pasal 60 sampai pasal 63, yang terbagi menjadi tiga
bagian:
a. Sanksi Administratif
Merupakan hak yang diberikan UUPK pada BPSK dengan maksimal ganti
kerugian sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atas pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran konsumen, yakni meliputi:
-

Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada


konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang
atau perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas efek pemakaian
produk yang didertia konsumen.

Terjadinya kerugian yang disebabkan iklan yang menyesatkan.

Tidak disediakannya fasilitas purna jual, baik dalam bentuk suku cadang
maupun pemeliharaan produk serta pemberian garansi.

b. Sanksi Pidana Pokok


Merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang
terhadap:
-

Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam :


12

Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a,b, dan c, 17 ayat (2) dan
pasal 18 UUPK, pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut dikenakan
sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah)
-

Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam:


Pasal 11, 12, 13 ayat (1),14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan huruf f,
pelanggaran dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda maksimal Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)

Sanksi pidana tambahan


Berupa sanksi tambahan di luar sanksi pidana pokok:
o Perampasan barang tertentu
o Pengumuman keputusan hakim
o Pembayaran ganti rugi
o Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen
o Kewajiban penarikan barang dari peredaran
o Pencabutan izin usaha

2. PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM E-BANKING


Dalam i-banking , perlindungan terhadap konsumen merupakan yang utama.
Bank terlebih dahulu harus dapat memastikan bahwa nasabah teridentifikasi dan
terotentifikasi dengan baik dan benar sebelum melakukan akses ke sistem dan
fungsi layanan perbankan.
Resiko hukum untuk bank yang tidak mematuhi pedoman itu jelas ada dan ini
terkait penerapan UU Perbankan. Dari sisi konsumen, UU Perlindungan
13

Konsumen dapat diterapkan untuk melindungi nasabah bank. Bila konsumen


dirugikan, maka KUHPerdata dapat diterapkan untuk itu. Menurut Manafe,
kegiatan e-banking , terutama dari sisi perlindungan konsumen, bukan tidak ada
aturannya sama sekali.

3. PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ONLINE


Pada transaksi online, sifat transaksi tidak begitu mendukung pembentukan
kelompok pembela konsumen dengan wewenang dan legitimasi yang dapat
menekan pelaku usaha dan agar pemerintah turut campur tangan dan
mengimplementasikan berbagai jenis perlindungan konsumen. Kelompok
pembela perlindungan konsumen biasanya dibentuk atas dasar dan dalam batasbatas hukum wilayah / negara, tanpa melihat apakah hukum tersebut mengijinkan
operasinya dengan jelas ataupun melalui penafsiran hak-hak konstitusional.
Karena sifat borderless transaksi online, peraturan atau campur tangan
administratif dan kompensasi melalui jalur pengadilan di tiap negara menjadi
kurang relevan. Dengan memperhatikan peran pemerintah dan campur tangan ke
dalam sistem perlindungan konsumen di seluruh dunia, batas-batas teritori yang
dimilikinya akan tetap membuat konsumen / pembeli online tidak memperoleh
pembelaan sebagaimana yang diperoleh dari teritori realspace di negara dimana
dia bertempat tinggal. Selain itu, kelompok perlindungan konsumen terikat pada
batas-batas negara dan tidak dapat mempengaruhi pengembangan baru karena
masalah tersebut mengharuskan solusi lintas negara. Basis teritori yang dipakai
dalam menerapkan hak dan kewajiban pokok pelaku usaha dan konsumen serta
prosedur hukumnya, membatasi penerapan hukum perlindungan konsumen untuk
dipakai di dunia transaksi online.
Sebagai contoh, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya
dapat dipakai secara terbatas untuk wilayah hukum negara Republik Indonesia.
14

yang tepat dan ketidakmampuan memahami pasal-pasal kontrak mempengaruhi


keefektifan cara memperoleh hak dan kompensasi hukum. Bahkan upaya untuk
memindahkan beban penyediaan informasi dan
memperbaiki akses hukum melalui intervensi pengadilan biasanya memukul balik
konsumen dalam bentuk penaikan harga atau pengurangan pelayanan untuk
mengganti peningkatan biaya produksi.
Selain itu terdapat praktik-praktik dimana pelaku usaha mengharuskan konsumen
pembeli menyetujui pasal-pasal kontrak. Hal seperti ini tidak selalu membantu
konsumen khususnya karena susunan kata dalam pasal kontrak tersebut dibuat
dalam bentuk standar kontrak dimana banyak menggunakan istilah yang tidak
mudah dipahami, yang membuat konsumen tidak mempunyai pilihan lain kecuali
menyetujui dan menerima pasal-pasal tersebut. Hal tersebut juga disebabkan
konsumen tidak berhasil meminta perbaikan-perbaikan bahkan meskipun
konsumen tersebut menolak kontraknya. Upaya untuk membuat pasal-pasal
kontrak online yang mudah dipahami atau yang menyediakan penjelasan
mengenai pasalpasal atau yang menyoroti hal-hal yang paling penting sebagian
dapat diatasi dengan teknik menyediakan halaman FAQ pada website.

4. E-GOVERNMENT
PeranTI Dalam Good Government berkaitan dengan peran teknologi informasi
dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good government)
sebagian besar departemen/ institusi tampaknya akan memerlukan waktu untuk
mempersiapkan diri. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pemanfaatan teknologi
informasi di sebagian besar departemen seperti:Dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan yang lebih baik, teknologi informasi masih dianggap sebagai alat
pengotomasi proses yang diharapkan dapat mengurangi proses yang dilakukan
secara manual dibanding sebagai alat yang dapat mengurangi birokrasi.
15

Dalam konteks partisipasi semua pihak untuk penyusunan kebijakan, teknologi


informasi masih dianggap sebagai alat yang mempermudah pengumpulan
informasi dibanding sebagai alat yang dapat membuka komunikasi dengan pihak
luar

seperti

publik

atau

instansi

lain.

Dalam konteks keterbukaan (transparansi) internal, teknologi informasi masih


dianggap sebagai sarana penyedia akses dibanding sebagai sareana penyediaan
informasi yang lebih spesifik.misalnya dalam konteks pelaksanaan suatu
kebijakan, teknologi informasi masih dilihat sebagai sarana untuk mempercepat
pelaporan dibanding sebagai sarana untuk membatu proses monitoring.dalam
konteks peningkatan kualitas suatu kebi akan teknologi informasi masih dilihat
sebagai sarana untuk memperluas sumber informasi dan data dibanding sarana
yang dapat menciptakan keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan.
Dari sisi evaluasi pemanfaatan teknologi informasi kondisinya dapat dikatakan
memprihatinkan dengan masih adanya beberapa departemen/institusi yang tidak
pernah melakukan audit penerapan teknologi informasi kalau pun ada sebagian
besar pelaksanaannya masih bersifat ad-hoc. Jika ditelaah lebih lanjut, jenis audit
penerapan teknologi informasi yang sering dilakukan lebih merupakan audit nonfinansial dibanding audit finansial. Hal ini menunjukkan aspek efektifitas
penerapan teknologi informasi lebih mendapatkan perhatian dibandingkan aspek
efisiensinya. Selain itu, tanggapan departemen/institusi atas keterkaitan audit
manajemen dengan audit teknologi informasi amat rendah, baik yang menyatakan
terkait maupun yang menyatakan tidak terkait. Hal ini perlu diakui lebih lanjut
karena tanggapan ini tidak mendukung kesimpulan sebelumnya, yaitu sebagian
besar departemen/institusi menyatakan adanya keselarasan visi dan misi institusi
dengan penerapan teknologi informasinya.seperti halnya pada pemahaman akan
tingkat

pemanfaatan

teknologi

informasi,

concern

sebagian

besar

departemen/institusi pemerintah dengan adanya kebijakan nasional lebih tertumpu


pada adanya aturan tata cara akses informasi oleh pihak luar/publik dibanding
pada adanya panduan bagaimana departemen/institusi harus menempatkan
teknologi informasi untuk review, monitor dan evaluasi.
16

Pendekatan Untuk Mempertahankan Keamanan di Cyberspace


Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace,
pertama adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan
ketiga pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan
teknologi sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan
sangat mudah disusupi, dintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa
hak.dalam ruang siber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena
hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan
perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat
transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia.
Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk
menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk
penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the
jurisdiction to adjudicate).Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang
berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu : pertama, subjective
territoriality,

yang

menekankan

bahwa

keberlakuan

hukum

ditentukan

berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya


dilakukan di negara lain. Kedua, objective territoriality, yang menyatakan bahwa
hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan
memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
Ketiga, nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk
menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku. Keempat, passive
nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
Kelima, protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas
keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang
dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah
negara atau pemerintah, dan keenam, asas Universality.
D. SIMPULAN

17

Dalam perkembangannnya, teknologi informasi sudah menjadi bagian hidup para


masyarakat modern dan masyarakat intelektualitas tinggi. Termasuk dalam hal
mengakses berbagai kebutuhan hidup secara mudah dan efisien. Namun demikian,
walaupun penggunaan teknologi dapat sangat menguntungkan pihak-pihak yang
menggunakannya, dapat pula menjadi sangat merugikan. Jadi, Regulasi Hukum yang
sifatnya borderless sepertinya sangat dibutuhkan bukan hanya untuk masyarakat
Indonesia, tetapi juga oleh masyarakat dunia.
Regulasi hukum cyber menjadi bagian penting dalam sistem hukum positif secara
keseluruhan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera menuntaskan
Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) untuk
dijadikan hukum positif, mengingat aktivitas penggunaan dan pelanggarannya telah
demikian tinggi. Regulasi ini merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu
masyarakat demi terciptanya kepastian hukum. RUU ITE sendiri secara materi
muatan telah dapat menjawab persoalan kepastian hukum menyangkut tindak pidana
carding,

hacking

dan

cracking.Untuk

selanjutnya

setelah

RUU

ITE

diundangkan,Pemerintah perlu pula untuk memulai penyusunan regulasi terkait


dengan tindak pidana siber (Cyber Crime), mengingat masih ada tindak-tindak pidana
yang tidak tercakup dalam RUU ITE tetapi dicakup dalam instrumen Hukum
Internasional di bidang tindak pidana siber,misalnya menyangkut tindak pidana
pornografi,deufamation,perjudian maya,. Untuk hal yang terakhir ini perlu untuk
mengkaji lebih jauh Convention on Cyber Crime 2000, sebagai instrumen tindak
pidana siber internasional, sehingga regulasi yang dibuat akan sejalan dengan kaidahkaidah internasional, atau lebih jauh akan merupakan implementasi (implementing
legislation) dari Konvensi yang saat ini mendapat perhatian begitu besar dari
masyarakat internasional.

18

DAFTAR PUSTAKA
Makarim, Edmon. 2004. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo. 2007. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.

19

Anda mungkin juga menyukai