Anda di halaman 1dari 61

RESUME TUTORIAL BLOK 11

SKENARIO 5
GANGGUAN MIKSI DAN GANGGUAN FUNGSI SEKSUAL
Oleh:
Kelompok D
Ayu Yoniko Christi

092010101001

Mirna Ayu Permata Sari

092010101004

Aulia Ratu Pritari

092010101015

Arindra Prasetya

092010101022

Arieska Putri Yonita

092010101028

Emilia Puspita Sari

092010101029

Rizky Imansari

092010101030

Yulya Indi Krisnaningtyas

092010101032

Diki Dzikrillah Danar Sumantri

092010101038

Hendri Prasetyo

092010101043

Malfin Abidatun Istjanah

092010101046

M. Iqbal Fanani

092010101055

Adhitya Wicaksono

092010101056

Achmad Hariyanto

092010101062

Nurlaili Tria Kusuma

092010101064

Sheila Soraya

072010101031

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011

SKENARIO 5
TIDAK BISA KENCING
Tn. Bejo usia 55 tahun datang berobat dengan keluhan tidak bisa kencing setelah
bangun tidur. Sebelum didahului dengan BAK agak sulit, dan di akhir kencing menetes dan
tidak puas. Keluhan ini dirasakan terutama pada malam hari. Selain itu penisnya mengalami
ganguan ereksi. Kadang bisa ereksi tapi tidak bisa bertahan lama. Keluhan tersebut
sebenarnya sudah ada beberapa tahun yang lalu. Setelah dilakukan pemeriksaan lewat
duburnya, teraba prostatnya membesar. Keluhan-keluhan tersebut sangat menggangggu
beliau. Sekedar diketahui pak bejo sudah menikah selama 20 tahun, namun masih belum
mempunyai keturunan, padahal menurut pemeriksaan dokter istrinya tidak ada masalah
kesuburan.

Keyword :
1. Laki-laki usia 50 tahun dengan keluhan : kencing agak sulit, menetes dan tidak
merasa puas.
2. Keluhan dirasakan malam hari
3. Mengalami kesulitan ereksi saat berhubungan seks
4. Pemeriksaan colok dubur, didapatkan pembesaran prostat
5. Sudah menikah 20 tahun namun belum mempunyai keturunan
6. Istrinya tidak mengalami masalah kesuburan

Learning Objective :
GANGGUAN MIKSI DAN GANGGUAN FUNGSI SEKSUAL
Basic Knowledge
-

Ereksi
Ejakulasi
Spermatogenesis

Gangguan Miksi
-

Inkontinensia
Enuresis (nokturnal and diurnal)

Penyakit :
-

BPH
Disfungsi ereksi
Ejakulasi Disorder
Infertilitas Pria

Gangguan Fungsi Seksual


-

Priapismus
Peyroni
Andropause

BASIC KNOWLEDGE
1. EREKSI
Sistem Persarafan Ereksi
Pada dasarnya mekanisme ereksi terjadi melalui proses neurologis dan
hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis. Sehingga penyebab disfungsi ereksi
dibagi menjadi faktor psikologis dan faktor organik yang dapat disebabkan oleh kelainan
pada

pembuluh

darah

(vaskulogenik),

persarafan

(neurogenik)

dan

hormon

(endokrinologik) (Carbone, et al 2004). Rangsangan seksual akan diolah pada susunan


saraf pusat di beberapa tempat terutama di jaras supra spinal yaitu area preoptik medial
(MPOA) dan nukleus paraventrikularis (PVN) dihipotalamus dan hippokampus yang
merupakan pusat integrasi fungsi seksual dan ereksi. Penelitian pada binatang dengan
melakukan elektro stimulasi pada area tersebut akan menimbulkan terjadinya ereksi,
sebaliknya lesi pada daerah itu seperti stroke, ensefalitis, epilepsi lobus temporal dan
Parkinson akan menurunkan frekuensi kopulasi dan disfungsi ereksi. (Sachs & Meisel,
1988; Marson, et al, 1993). Berbagai macam neurotransmiter seperti dopamin dan
norepinefrin ditemukan pada hipotalamus diduga aktivasi reseptor kedua neurotransmiter
akan menyebabkan terjadinya ereksi, sedangkan aktivasi reseptor serotonin ( 5hydroxytryptamine) akan menghambat terjadinya ereksi (Foreman & Wernicke, 1990).
Penyuntikan apomorfin dengan dosis 5ng pada PVN pada tikus jantan akan
menyebabkan ereksi tanpa adanya tikus betina(Melis, et al 1987). Efek pemberian
apomorfin akan meningkatkan produksi Oksida Nitrat (NO) sebagai neurotranmiter
penting terjadinya ereksi terutama pada PVN(Melis, et al 1996). Sebaliknya lesi pada
PVN sangat menurunkan kemampuan ereksi pada pemberian apomorfin. (Argiolas, et al
1987) Dari penelitian tersebut diduga kuat bahwa aktivasi reseptor dopaminergik di PVN
berperanan pada terjadinya ereksi yang di induksi dengan apomorfin. (Allard &
Giuliano, 2004).
Rangsangan dari susunan saraf pusat akan dilanjutkan pada tingkat medula
spinalis yang mempunyai dua pusat persarafan ereksi, sistem persarafan parasimpatis
yang merupakan pusat rangsangan terjadinya ereksi (erektogenik) terletak pada segmen
sakrum (S2 - S4) pada manusia nukleus parasimpatis terutama terdapat di saraf
preganglion parasimpatis pada columna intermedio lateral medula spinalis sakrum S3.
Akson parasimpatis akan melalui nervus pelvikus menuju pleksus pelvis dan bersinap
dengan persarafan post ganglion dimana akson menujun ke nervus cavernosus.

(Nadelhaft, et al 1983; Allard & Giuliano, 2004) Sistem persarafan simpatis yang
terutama menghambat ereksi (erektolitik) pusatnya terletak pada kolumna intermedio
lateral dan komisura dorsal abu abu pada segmen torakolumbal (T11 L2) medula
spinalis. (Nadelhaft, et al 1987, Allard & Giuliano, 2004).
Penis di persarafi oleh sistem persarafan otonom (simpatis dan parasimpatis) pada
daerah pelvis kedua saraf bersatu membentuk nervus kavernosus yang masuk ke dalam
korpus kavernosus, korpus spongiosum dan gland penis untuk pengaturan aliran darah
selama ereksi dan detumesen. Sistem persarafan somatis yaitu nervus pundendus
berperan sebagai sensorik penis dan kontraksi dan relaksasi otot otot lurik
bulbokavernosus dan isciokavernosus (Lue, 2000).
Sistem persarafan tersebut bertanggung jawab terhadap terjadinya tiga macan tipe
ereksi : psikogenik, refleksogenik dan nokturna. Ereksi psikogenik yang terjadi karena
rangsangan pendengaran, penciuman dan fantasi yang diolah pada susunan saraf pusat
akan dilanjutkan pada pusat ereksi di medula spinalis (T11-L2 dan S2-S4) sehingga
terjadi ereksi. Ereksi refleksogenik yang terjadi karena rangsangan perabaan pada organ
genital dan sekitarnya, akan menuju pusat ereksi di medula spinalis yang akan
menimbulkan persepsi sensoris yang akan mengaktifkan sistem saraf otonom untuk
menyampaikan rangsangan pada nervus kavernosus sehingga terjadi ereksi. Tipe ereksi
ini akan tetap terjadi pada pasien dengan cedera medula spinalis diatas segmen sakrum 2.
Ereksi nokturna umumnya terjadi selama tidur rapid eye movement (REM). Selama tidur
REM akan mengaktifkan sistem saraf kolinergik yang terletak pada tegmentum pontin
lateral, sehingga terjadi peningkatan ketegangan penis.(Lue, 2002)
Anatomi dan Fisiologi Ereksi pada Penis
Fisiologi dan anatomi ereksi telah disimpulkan dari berbagai penelitan dengan
baik oleh Krane dkk 1989. Penis mempunyai sepasang korpus kavernosus dan sebuah
korpus spongiosum. Korpus spongiosum, merupakan jaringan yang mengelilingi uretra
dan pada bagian distal membentuk bagian kepala (gland) penis. Sedangkan korpus
kavernosus berbentuk sepasang tabung yang mengecil dibagian ujung proksimalnya.
Tunika albugenia, pembungkus tabung ini melekat pada jaringan kavernos yang
berongga-rongga (spongelike) sehingga terbentuklah ruang-ruang (lakuna) yang saling
berhubugan dan dibatasi oleh sel-sel endotel pembuluh darah. Dinding trabekulum ini
terdiri dari seberkas otot polos yang tebal dalam bingkai serat fibroelastik yang
mengandung sel-sel fibrolast, jaringan kolagen dan elastin.(Taher, 1993).

Sumber pendarahan adalah arteri dorsalis penis dan arteri kavernosus kanan dan
kiri yang lebih berperanan pada prorses ereksi merupakan cabang akhir dari jalinan arteri
hipogastrik kavernosus. Arteri kavernosus bercabang membentuk arteri helisine, cabang
dari setiap arteri helisine langsung berakhir di ruangan lakuna tersebut. Sedangkan aliran
pembuluh balik dari korpus kavernosus keluar melalui venula subtunika yang terletak
diantara bagian perifer jaringan penegang (erectile) dengan tunika albugenia. Aliran vena
dari ujung penis mengalir terutama melalui vena dorsalis profunda, sedangkan aliran
bagian pangkal krura biasanya melalui vena kavernosus dan vena kruralis (Lue, 1988).
Ereksi akan terjadi diawali relaksasi otot polos korpus kavernosus penis (Taher,
1993). Dilatasi dinding kavernosa dan arteri helisine menyebabkan darah mengalir
memasuki ruangan-ruangan lakuna. Selanjutnya, relaksasi otot polos trabekulum akan
memperluas ruangan lakuna sehingga penis menjadi membesar.
Tekanan darah sistemik yang disalurkan melewati arteri helisine akan lebih
mendorong dinding trabekulum ke arah tunika albugenia. Sebaliknya mekanan pleksus
venula subtunika sehingga menghambat pengembalian darah dari ruangan lakuna dan
meningkatkan tekanan dalam lakuna sehingga penis menjadi tegang (Taher, 1993).
Adanya tekanan dalam lakuna selama periode ereksi dihasilkan oleh keseimbangan
antara tekanan perfusi arteri kavernosa dengan tahanan terhadap pengeluaran aliran darah
oleh kompresi venula subtunika. Pengurangan aliran darah balik subtunika oleh
penekanan mekanik ini, dikenal sebgai mekanisme oklusi vena korporal.

2. EJAKULASI
Ejakulasi adalah peristiwa keluarnya sperma dari penis dan biasanya disertai
dengan orgasme. Hal ini biasanya terjadi setelah adanya stimulasi seksual yang
mengakibatkan ereksi penis. Selain rangsangan seksual, infeksi ringan dan inflamasi
pada organ seksual kadang-kadang menyebabkan hasrat seksual yang terus-menerus.
Ejakulasi diinduksi oleh kontraksi ritmik ischiokavernosus dan terutama otot
bulbocavernosus yang mengeluarkan semen melalui lumen urethra.
Fisiologi ejakulasi dijelaskan melalui neurofisiologi dan neurofarmakologi
ejakulasi.
1. Neurofisiologi ejakulasi
Sistem saraf pusat dan perifer terlibat dalam proses ejakulasi.
a. Sistem saraf pusat.
Otak, batang otak dan lumbosakral cord mengandung beberapa area yang terlibat
dalam ejakulasi.
b. Sistem saraf perifer.

Sistem saraf otonom, termasuk sistem saraf simpatis memediasi terjadinya


ejakulasi.
Mekanisme ereksi dibagi 2 fase : emisi dan ekspulsi
1) Emisi
Emisi dikontrol oleh eferen simpatetik yang berasal dari T9-L2 .
Selama emisi, semen (sperma dan plasma seminalis) disimpan ke dalam
urethra posterior melalui konstraksi vasa diferentia, vesika seminalis dan
prostat. Pada saat yang bersamaan, spincter internal kandung kemih tertutup.
2) Ekspulsi (atau ejakulasi sejati)
Emisi diikuti segera oleh ekspulsi. Selama ekspulsi, semen secara dikeluarkan
dengan kekuatan penuh ke dalam urethra dan keluar penis oleh kontraksi klonik otot
dasar panggul.
2. Neurofarmakologi Ejakulasi
Ejakulasi secara sentral dimediasi oleh serotonergik (5-hydroxytryptamine; 5-HT)
dan sistem dopaminergik. Pada hewan percobaan secara jelas diterangkan bahwa
aktivasi reseptor 5-HT1A menfasilitasi ejakulasi, pada penelitian lain terlibat reseptor
5-HT2C dan 5-HT1B.
3. SPERMATOGENESIS
Peralihan dari bakal sel kelamin yang aktif membelah ke sperma yang masak serta
menyangkut berbagai macam perubahan struktur yang berlangsung secara berurutan.
Spermatogenesis berlangsung pada tubulus seminiferus dan diatur oleh hormone
gonadtotropin dan testosterone (Wildan yatim, 1990).
Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu :
1. Spermatocytogenesi
Merupakan spermatogonia yang mengalami mitosis berkali-kali yang akan menjadi
spermatosit primer.
a. Spermatogonia
Spermatogonia merupakan struktur primitif dan dapat melakukan reproduksi
(membelah) dengan cara mitosis. Spermatogonia ini mendapatkan nutrisi dari selsel sertoli dan berkembang menjadi spermatosit primer.
b. Spermatosit Primer
Spermatosit primer mengandung kromosom diploid (2n) pada inti selnya dan
mengalami meiosis. Satu spermatosit akan menghasilkan dua sel anak, yaitu
spermatosit sekunder.
2. Tahapan Meiois
Spermatosit I (primer) menjauh dari lamina basalis, sitoplasma makin banyak dan
segera mengalami meiosis I yang kemudian diikuti dengan meiosis II. Sitokenesis

pada meiosis I dan II ternyata tidak membagi sel benih yang lengkap terpisah, tapi
masih berhubungan sesame lewat suatu jembatan (Interceluler bridge). Dibandingkan
dengan spermatosit I, spermatosit II memiliki inti yang gelap.
3. Tahapan Spermiogenesis
Merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa yang meliputi 4 fase yaitu
fase golgi, fase tutup, fase akrosom dan fase pematangan. Hasil akhir berupa empat
spermatozoa masak. Dua spermatozoa akan membawa kromosom penentu jenis
kelamin wanita X. Apabila salah satu dari spermatozoa ini bersatu dengan ovum,
maka pola sel somatik manusia yang 23 pasang kromosom itu akan dipertahankan.
Spermatozoa masak terdiri dari :
a. Kepala (caput), tidak hanya mengandung inti (nukleus) dengan kromosom dan
bahan genetiknya, tetapi juga ditutup oleh akrosom yang mengandung enzim
hialuronidase yang mempermudah fertilisasi ovum.
b. Leher (servix), menghubungkan kepala dengan badan.
c. Badan (corpus), bertanggungjawab untuk memproduksi tenaga yang dibutuhkan
untuk motilitas.
d. Ekor (cauda), berfungsi untuk mendorong spermatozoa masak ke dalam vas
defern dan ductus ejakulotorius.

GANGGUAN MIKSI
1. INKONTINENSIA
DEFINISI
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya
urine. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain : masalah
medik, sosial, maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan kerusakan kulit di
sekitar kemaluan akibat urine, masalah sosial berupa perasaan malu, mengisolasi diri dari
pergaulannya, dan mengurung diri di rumah. Pemakaian pemper atau perlengkapan lain
guna menjaga supaya tidak selalu basah oleh urine, memerlukan biaya yang tidak
sedikit.

Prevalensi kelainan ini cukup tinggi, yakni pada wanita kurang lebih 10-40% dan
4-8%, sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria,
prevalensinya lebih rendah daripada wanita yaitu kurang lebih separuhnya. Survey yang
dilakukan di berbagai negara Asia didapatkan bahwa prevalensi pada beberapa bangsa
Asia adalah rata-rata 12,2% (14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). Dikatakan oleh
berbagai penulis bahwa sebenarnya prevalensi yang dilaporkan itu baru merupakan 80%
dari prevalensi sesungguhnya karena sebagian dari mereka tidak terdeteksi; hal ini
karena pasien menganggap penyakit yang dialami ini merupakan hal yang wajar atau
mereka enggan menceritakan keadaannya kepada dokter karena takut mendapatkan
pemeriksaan yang berlebihan. Pada manula prevalensinya lebih tinggi daripada usia
reproduksi. Diokno et al. Melaporkan prevalensi inkontinensia urine pada manula wanita
sebesar 38% dan pria sebesar 19%.
ETIOLOGI
Empat penyebab pokok yaitu :
1. gangguan urologik
2. gangguan neurologis
3. gangguan fungsional/psikologis
4. iatrogenik/lingkungan
PATOFISIOLOGI
Kelainan pada vesiko-uretra dapat terjadi pada fase pengisian atau pada fase
miksi. Kegagalan buli-buli dalam menyimpan urine menyebabkan urine tidak sempat
tersimpan di dalam buli-buli dan bocor keluar buli-buli, yaitu pada inkontinensia urine
sedangkan kelainan pada fase miksi menyebabkan urine tertahan di dalam buli-buli
sampai terjadi retensi urine.
Klasifikasi Inkontinensia Urine
Kegagalan sistem vesiko uretra pada fase pengisian menyebabkan inkontinensia
urine. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kelainan pada buli-buli atau kelainan pada
sfingter (uretra). Kelainan yang berasal dari buli-buli menyebabkan suatu inkontinensia
urge sedangkan kelainan dari jalan keluar (outlet) memberikan manifestasi berupa
inkontinensia stress.
1.

Inkontinensia Urge

Pasien inkontinensia urge mengeluh tidak dapat menahan kencing segera


setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah
mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas buli-buli terpenuhi. Frekuensi miksi
menjadi lebih sering dan disertai dengan perasaan urgensi. Inkontinensia urge meliputi
22% dari semua inkontinensi pada wanita.
Penyebab inkontinensia urine urge adalah kelainan yang berasal dari buli-buli,
di antaranya adalah overaktivitas detrusor dan menurunnya komplians buli-buli.
Overaktivitas detrusor dapat disebabkan oleh kelainan neurologik, kelainan non
neurologis, atau kelainan lain yang belum diketahui. Jika disebabkan oleh kelainan
neurologis, disebut sebagai hiper-refleksi detrusor, sedangkan jika penyebabnya
adalah kelainan non neurologis disebut instabilitas detrusor. Istilah overaktivitas
detrusor dipakai jika tidak dapat diketahui penyebabnya.
Hiper-refleksia detrusor disebabkan oleh kelainan neurologis, di antaranya
adalah : stroke, penyakit Parkinson, cedera korda spinalis, sklerosis multipel, spina
bifida, atau mielitis transversal. Instabilitas detrusor seringkali

disebabkan oleh:

obstruksi infravesika, pasca bedah intravesika, batu buli-buli, tumor buli-buli, dan
sistitis.
Penurunan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan tekanannya pada
saat pengisian urine (komplians) dapat disebabkan karena kandungan kolagen pada
matriks detrusor bertambah atau adanya kelainan neurologis. Penambahan kandungan
kolagen terdapat pada sistitis tuberkulosa, sistitis pasca radiasi, pemakaian kateter
menetap dalam jangka waktu lama, atau obstruksi infravesika karena hyperplasia
prostat. Cedera spinal pada regio thorako-lumbal, pasca histerektomi radikal, reseksi
abdomino-perineal, dan mielodisplasia disebut-sebut dapat mencederai persarafan
yang merawat buli-buli.
Tidak jarang inkontinensia urge menyertai sindroma overaktivitas buli-buli.
Sindroma ini ditandai dengan frekuensi, urgensi, dan kadang-kadang inkontinensia
urge.
2.

Inkontinensi Urine Stress atau Stress Urinary Incontinence


(SUI)
Inkotinensi urine stress (SUI) adalah keluarnya urine dari uretra pada saat
terjadi peningkatan tekanan intraabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor
sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada saat
tekanan intravesika meningkat (buli-buli) terisi. Peningkatan tekanan intraabdominal

dapat dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda
berat. Inkontinensia stress banyak dijumpai pada wanita, dan merupakan jenis
inkontinensia urine yang paling banyak prevalensinya, yakni kurang lebih 8-33%.
Pada pria kelainan pada uretra yang menyebabkan inkontinensia biasanya
adalah kerusakan sfingter uretra eksterna pasca prostatektomi, sedangkan pada wanita
penyebab kerusakan uretra dibedakan dalam dua keadaan, yakni hipermobilitas uretra
dan defisiensi intrinsik uretra. Kerusakan sfingter uretra eksterna pasca prostatektomi
radikal lebih sering terjadi daripada pasca TURP. Tidak jarang pasien mengalami
kerusakan total sfingter eksterna sehingga mengeluh inkontinensia totalis.
Hipermobilitas uretra disebabkan karena kelemahan otot-otot dasar panggul
yang berfungsi sebagai penyanggah uretra dan buli-buli. Kelemahan otot ini
menyebabkan terjadi penurunan (herniasi) dan angulasi leher buli-buli uretra pada saat
terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Herniasi dan angulasi itu terlihat
sebagai terbukanya leher buli-buli-uretra sehingga menyebabkan bocornya urine dari
buli-buli meskipun tidak ada peningkatan tekanan intravesika.
Kelemahan otot dasat panggul dapat pula menyebabkan terjadinya prolapsus
uteri, sistokel, atau enterokel. Penyebab kelemahan ini adalah trauma persalinan,
histerektomi, perubahan hormonal (menopause), atau kelainan neurologi. Akibat
defisiensi estrogen pada masa menopause, terjadi atrofi jaringan genitourinaria.
Defisiensi sfingter intrinsik (ISD) dapat disebabkan karena suatu trauma, penyulit dari
operasi, radiasi, atau kelainan neurologi. Ciri-ciri dari jenis ISD adalah leher buli-buli
dan uretra posterior tetap terbuka pada keadaan istirahat meskipun tidak ada
konstraksi otot detrusor sehingga uretra proksimal tidak lagi berfungsi sebagai
sfingter.
Pembagian Inkontinensia Stress
Klasifikasi yang dikemukakan oleh Blaivas dan Olsson (1988), berdasarkan
pada penurunan letak leher buli-buli dan uretra setelah pasien diminta melakukan
manuver Valsava. Penilaian ini dilakukan berdasarkan pengamatan klinis berupa
keluarnya (kebocoran) urine dan dengan bantuan video-urodinamik.
Tipe 0 :

pasien mengeluh tentang inkontinensia stress tetapi pada pemeriksaan

tidak diketemukan adanya kebocoran urine. Pada video-urodinamika setelah


manuver valsava, leher buli-buli dan uretra menjadi terbuka.
Tipe I :

jika terdapat penurunan < 2 cm dan kadang-kadang disertai dengan

sistokel yang masih kecil.

Tipe II :

jika penurunan > 2 cm dan seringkali disertai dengan adanya sistokel;

dalam hal ini sistokel mungkin berda di dalam vagina (tipe Iia) atau di luar vagina
(tipe IIb).
Tipe III :

leher buli-buli dan uretra tetap terbuka meskipun tanpa adanya

konstraksi detrusor maupun manuver Valsava, sehingga urine selalu keluar karena
faktor gravitasi atau penambahan tekanan intravesika (gerakan) yang minimal. Tipe
ini disebabkan defisiensi sfingter intrinsic (ISD).
3.

Inkontinensia Paradoksa
Inkontinensia paradoksa (overflow) adalah keluarnya urine tanpa dapat
dikontrol pada keadaan volume urine di buli-buli melebihi kapasitasnya. Detrusor
mengalami kelemahan sehingga terjadi atonia atau arefleksia. Keadaan ini ditandai
dengan overdistensi buli-buli (retensi urine), tetapi karena buli-buli tidak mampu lagi
mengosongkan isinya, tampak urine selalu menetes dari meatus uretra. Kelemahan
otot detrusor ini dapat disebabkan karena obstruksi uretra, neuropati diabetikum,
cedera spinal, defisiensi vitamin B12, efek samping pemakaian obat, atau pasca bedah
pada daerah pelvik.

4.

Inkontinensia Kontinua atau Continuos Incontinence


Inkontinensia urine kontinua adalah urine yang selalu keluar setiap saat dan
dalam berbagai posisi. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh fistula sitem
urinaria yang menyebabkan urine tidak melewati sfingter uretra. Pada fistula
vesikovagina terdapat lubang yang menghubungkan buli-buli dan vagina. Jika
lubangnya cukup besar, buli-buli tidak pernah terisi dengan urine, karena urine yang
berasal dari kedua ureter tidak sempat tertampung di buli-buli dan keluar melalui
fistula ke vagina. Fistula vesikovagina seringkali disebabkan oleh operasi ginekologi,
trauma obstetri, atau pasca radiasi di daerah pelvik. Fistula sistem urinaria yang lain
adalah fistula ureterovagina yaitu terdapat hubungan langsung antara ureter dengan
vagina. Keadaan ini juga disebabkan karena cedera ureter pasca operasi daerah pelvis.
Penyebab lain inkontinensia urine kontinua adalah muara ureter ektopik pada
anak perempuan. Pada kelainan bawaan ini, salah satu ureter bermuara pada uretra di
sebelah distal dari sfingter uretra eksternum. Urine yang disalurkan melalui ureter
ektopik langsung keluar tanpa melalui hambatan sfingter uretra eksterna sehingga
selalu bocor. Gejala khas muara ureter ektopik sama dengan fistula ureterovagina,

yaitu urine selalu merembes keluar tetapi pasien masih bisa melakukan miksi seperti
orang normal.
5.

Inkontinensia Urine Fungsional


Sebenarnya pasien ini kontinen, tetapi karena adanya hambatan tertentu,
pasien tidak mampu untuk menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul
sehingga kencingnya keluar tanpa dapat ditahan. Hambatan itu dapat berupa gangguan
fisis, gangguan kognitif, maupun pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obatan
tertentu. Ganguan fisis yang dapat menimbulkan inkontinensia fungsional antara lain
gangguan mobilitas akibat arthritis, paraplegia inferior, stroke, atau gangguan kognitif
akibat suatu delirium maupun demensia.
Beberapa Jenis Obat-obatan yang Dapat Mempengaruhi Kontinensi
Jenis Obat
Diuretikum

Efek pada Kontinensia


Buli-buli cepat terisi

Antikolinergik

Gangguan kontraksi detrusor

Sedativa/hipnotikum

Gangguan kognitif

Narkotikum

Gangguan kontraksi detrusor

Antagonis adrenergik alfa

Menurunkan tonus sfingter internus

Penghambat kanal kalsium

Menurunkan kontraksi detrusor

Pada pasien tua seringkali mengeluh inkontinensia urine sementara (transient),


yang dipacu oleh beberapa keadaan yang disingkat dengan DIAPPERS, yakni
Delirium,

Infection

(infeksi

saluran

kemih),

Atrophic

vaginitis/urethritis.

Pharmaceutical, Psychological, Excess urine output, Restricted mobility, dan Stool


impaction.
PEMERIKSAAN
Anamnesis.
Hal-hal yang perlu ditanyakan kepada pasien antara lain:
1. seberapa jauh inkontinensia ini mengganggu kehidupannya
2. berapa banyak urin yang dikeluarkan pada saat inkontinensia
3. apakah penderita memakai pamper dan berapa banyak harus diganti
4. pada malam hari berapa kali terbangun untuk miksi atatu menggant pamper
5. apakah ada faktor pencetus seperti batuk, bersin,
mendahului terjadinya inkontinensia

atau aktivitas lain yang

6. apakah terdapat keluhan-keluhan penyerta lain seperti diare, konstipasi, dan


inkontinensia alvi
7. apakah ada riwayat diabetes melitus (terutama jika ada neuropati), kelainan
neurologi lain, ISK berulang, penyakit-penyakit pada rongga pelvis, dan atrofi
genitourinaria pada menopouse
8. apakah pernah dioperasi atau diradiasi di daerah pelvis dan abdomen
9. riwayat persalinan bagaimana (apakah multipara, pasrtus kasep, atau makrosomia)
Pemerikasaan Fisik
1. Pemeriksaan abdomen:

distensi Vesika Urinaria pada OUI

massa di pinggang hidronefrosis

sisa lesi jaringan parut bekas operasi di daerah pelvis dan pinggang

2. Pemeriksaan urogenitalia:

inspeksi orofisium uretra vagina


-

dicari adanya kemungkinan kelainan dinding vagina, perhatikan perubahan


warna dan penebalan mukosa jika terdapat perubahan, merupakan tanda
dari vaginitis atrofikans akibat defisiensi estrogen meningkatkan sensitifitas
buli-buli dan uretra pada inkontinensia urge.

kelainan posisi orofisium


adanya sistokel herniasi vesika urinaria ke dalam dinding anterior vagina,
Karena dinding anterior vagina yang lemah, Enterokel herniasi usus kecil
atau omentum ke dalam vagina, pada dinding vagina bagian apikal, Rektokel
herniasi rektum ke dalam vagina karen alemahnya dinding vagina posterior
, Prolapsus uteri atau SUI

palpasi bimanual untuk melihat adanya massa pada uterus atau adneksa

3. Pemeriksaan Neurologik

status mental pasien (mungkin dijumpai tanda dimensia)

kelainan sensoris sesuai dengan dermatomnya,


kelainan motoris berupa adanya gangguan sfingte dan muskulus detrusor dapat
dilakukan oleh karena inervasi parasimpatis dan muskulus detrusor berasal dari
S2-S4. Segmen ini dapat diperiksa dengan cara: ankle jerk (S1 dan S2), fleksi toe
dan arch the feet (S2 dan S3), dan tonus sfingter ani atau refleks bulbokavernosus
(S2-4)

Pemeriksaan Penunjang
1.

pemeriksaan laboratorium : urinalisis, kultur urin, dan kalau perlu sitologi urin
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses inflamasi/infeksi atau keganasan
pada saluran kemih

2.

pemeriksaan urodinamik : uroflowmetri, pengukuran tekanan uretra, sistometri,


valsava leak point pressure, video urodinamika, pengukuran tekanan intravesika

3.

pemeriksaan radiologi : IVP, sistografi miksi untuk mencari kemungkinan


adanya fistula ureterovagina, muara ureter ektopik, dan penurunan leher buli-buliuretra.
4. pemeriksaan volume residu urin

TERAPI
1.

Non bedah
a.

latihan/rehabilitasi

Pelvic Floor Exercise (Kegel Exercise) pasien diintruksikan untuk


melakukan kontraksi otot dasar panggul (seolah-olah menahan urin) selama
10 detik sebanyak 10-20 kali kontraksi dan dilakukan dalam 3 kali setiap
hari. Hal ini berfungsi untuk meningkatkan retensi uretra dengan cara
memperkuat otot-otot dasar panggul dan otot periuretra. Biasannya
dikombinasikan dengan stimulasi elektrik dan biofeedback.

Terapi Behavioral menjadwalkan waktu miksi, pasien dilatih untuk


mengenal timnulnya sensasi urgensi, kemudian mencoba menghambatnya
dan selanjutnya menunda saat miksi. Jika sudah terbiasa dengan cara ini,
interval diantara miksi menjadi lebih lama.

Medikamentosa:
-

Inkontinensia urge:
Menghambat miksi dengan jalan,
1. menghambat kontraksi otot-otot detrusor
2. menghambat impuls aferen dari buli-buli.
Obat-obat yang sering dipakai antara lain:
1. antikolinergik
menghambat sistem parasimpatik eferen pada otot detrusor. Ikatan
obat ini pada reseptor muskarinik menghambat transmisi impuls
yang

mencetuskan

dipergunakan

kontraksi

adalah:

detrusor.

propantheline

Jenis

bromide,

obat

yang

Oksibutinin

(ditropan) dan tolterodine tartrate. Efek samping: mulut kering,


konstipasi,

pandangan

kabur,

takikardi,

drowsiness,

dan

meningkatnya tekanan intraokuli


2. antispasmodik (Dicyclomine dan Flavoxate)
3. trisiklik antidepresan. Obat yang sering dipakai adalah Imipramin
berfungsi sebagai pelemas otot, memberikan anastesi lokal pada
buli-buli dan mempunyai efek antikolinergik. Pada usia lanjut
pemakaian obat ini sebaiknya dibatasi.
4. calcium chanel blocker (CCB) menurunkan kontraksi otot
detrusor pada instabilitas buli-buli. Efek samping: flushing, pusing,
palpitasi, hipotensi, dan reflek takikardi
5. penghambat prostaglandin

Inkontinensia strees
Terapi dengan cara meningkatkan tonus otot sfingter uretra dan
resistensi bladder outlet. Obat-obatan yang sering digunakan antara
lain:
1. Agonis alfa adrenergik
Menyebabkan kontraksi otot polos pada leher buli-buli dan uretra
posterior.

Obatnya

antara

lain:

efedrin,

pseudoefedrin,

fenilpropalonamin. Pemakaian obat ini harus berhati-hati pada


pasien dengan hipertensi, penyakit kardiovaskuler, dan hipertiroid.
2. esterogen
pemakaian esterogen pada menepouse dapat meningkatka jumlah
reseptor adrenergik alfa pada uretra.
2.

Pembedahan
Dilakukan pembedahan pada inkontinensia yang disebabkan oleh fistula,
atau kelainan bawaan ektopik ureter. Pada inkontinensia urge dan stress pembedahan
dilakukan jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang maksimal.

Tipe
Inkontinensia

Non medikamentosa

Medikamentosa

Operatif

UUI

Bladder drill

Antikolinergik

augmentasi vesika

Biofeedback

(oksibutinin,

neuromodulasi

Behavioural

propantheline

rhizolisis

bromide,
tolterodine
tartrate)
-

Smooth

muscle

relaxant
(dicyclomine,
flavoxate)
-

Antidepresan
trisiklik
(imipramine)

Anti
prostaglandin

SUI

Ca2+

blocker
Agonis adrenergik

Kolposuspensi

Exercise

TVT

(Tension

(latihan Kegel)

propantheline

Free

Vaginal

bromide,

Tape)

Pelvic

Floor

channel

(oksibutinin,

tolterodine

tartrate)
-

Injeksi

kolagen

periurethral

Antidepresan
trisiklik
(imipramine)

Hormonal
(estrogen)

OUI

Bladder

Desobstruksi

retraining

Kateterisasi
intermitten
menetap

atau

FUI

Behavioural

Manipulasi
Lingkungan

Total

Pada

Pemasangan
sfingter artifisial

2. ENURESIS
A. ENURESIS NOCTURNAL
Enuresis adalah pengeluaran air kemih yang tidak disadari pada seseorang
yang yang pada saat itu pengendalian kandung kemih diharapkan sudah tercapai.
Enuresis nocturnal (sleep wetting/bedwetting) adalah enuresis di malam hari.
Kriteria enuresis nocturnal enuresis pada malam hari menetap lebih dari dua kali
dalam sebulan pada anak yang berumur di atas 5 tahun. Lebih sering terjadi anak lakilaki dan kejadiannya sekitar 80%. Menurut awal terjadinya enuresis dibagi menjadi:
a. Enuresis primer terjadi sejak lahir dan tidak pernah ada periode normal dalam
pengontrolan air kemih
b. Enuresis sekunder setelah 6 bulan dari periode setelah kontrol pengosongan air
kemih sudah normal.
Kemampuan mengendalkan kandung kemih biasanya tercapai pada umur 1-5
tahun. Seorang anak baru dapat dikatakan enuretik, bila enuresis menetap dan paling
sedikit satu kali perminggu pada umur diatas 5 tahun untuk anak perempuan dan
antara 6-10 tahun untuk anak laki-laki.
EPIDEMIOLOGI
15-20 % anak berumur 5 tahun
7% anak berumur 10 tahun
1-2 % anak berumur 15 tahun
Sampai umur 11 tahun, enuresis lebih sering terjadi pada anak laki-laki dengan
perbandingan 2:1 dan setelah umur tersebut, perbandingan antara peremouan hampir
sama atau lebih tinggi pada anak perempuan.
Enuresis lebih sering terjadi pada anak:
a. golongan sosio-ekonomi rendah

b. anak yang pernah menderita hambatan sosial atau psikologis dalam periode
perkembangan antara umur 2-4 tahun pertama kehidupan
c. latar pendidikan orang tua rendah
d. toilet taining tidak adekuat
e. anak pertama
ETIOLOGI
Enuresis nocturnal disebabkan oleh:
a. Keterlambatan dalam pematangan neurofisiologi
-

berhubungan dengan faktor genetik

pemeriksaan dengan EEG tampak adanya peningkatan disritmia serebral

b. Keterlambatan perkembangan kandung kemih


-

disebabkan karena kurangnya latihan pola buang air kemih yang baik

sering terjadi pada golongan masyarakat sosio-ekonomi yang buruk, jumlah


anggota keluarga yang besar, broken home, dan stres lingkungan.

c. Gangguan pola tidur


-

enuresis sering terjadi pada tidur yang dalam atau saat transisi dari pola tidur
berikutnya

penelitian lain: enuresis dapat terjadi pada setiap tingkat dari tidur

d. Psikologi
-

enuresis primer disebabkan oleh adanya faktor stres selama periode


perkembangan antara umur 2-4 tahun.

Presipitasi enuresis: pemisahan dari keluarga, kematian orang tua, kelahiran


saudara kandung, pindah rumah, pertengkaran orang tua, dan child abuse.

Enuresis yang disebabkan oleh stres biasanya intermiten dan sementara,


sedangkan enuresis yang terus menerus biasanya toilet training yang kurang
adekuat.

Enuresis preimer biasanya terjadi pada anak-anak yang berlatar belakang


psikoneurosis dan jarang terjadi pada anak yang normal. Kadang-kadang
enuresis dan enkopresis dapat menimbulkan kelainan emosional, sebaliknya
pada anak yang mempunyai gangguan emosional dapat timbul enuresis.

e. Gangguan urodinamik
-

kapasitas kandung kemih kecil dan tidak ada penghambat kontraksi

enuresis diduga akibat kurangnya inhibitor kontraksi kandung kemih dan tidak
adanya koordinasi antara otot detrusor dan otot sfingter

f. Penyakit organik pada traktus urinarius


a)

Saluran genitourinarius.
Berdasarkan penelitian ahli urologi dengan melakukan pemeriksaan MSU,
PIV, USG, 99% enuresis nokturnal tidak ditemukan kelainan anatomi, tetapi
gangguan urodinamik, seperti: kapasitas kandung kemih yang kurang dan
tidak sinergisnya kerja otot detrusor dengan otot sfingter.

b)

Infeksi
-

penelitian menunjukkan 45% perempuan dengan bakteriuria timbul


enuresis. Penelitian lain mengatakan bahwa 15% anak sekolah dengan
bakteriuri asimtomatis mengalami enuresis

sering basahnya perineum merupakan predisposisi terjadinya infeksi

suatu penelitian menunjukkan bahwa dengan mengobati infeksi saluran


kemih dapat menyembuhkan sekitar sepertiga kasus enuresis.

c)

Faktor lain
Kelainan di daerah lumbosakral mielomeningokel dapat menyebabkan
enuresis. Selain itu alergi berbagai macam makanan mungkin dapat
menyebabkan enuresis.

g. Abnormalitas sekresi dari ritme cicardian dalam sekresi hormon antidiuretik


(ADH) yang meningkat pada malam hari. Volume urin yang tinggi pada malam
hari menyebabkan enuresis.
DIAGNOSIS
a. Anamnesis:
-

tentukan tipe dan berat enuresis

tanyakan sejak kapan mengompol dan waktu terjadinya mengompol (siang


atau malam)

apakah sedang tidur atau dalam keadaan bangun

ditanyakan riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya

keadaan psikososial anak

keadaan keluarga

riwayat enuresis pada orang tua atau saudaranya

apakah penderita pernah mengalami konstipasi atau enkopresis

b. Pemeriksaan Fisik
-

Tidak ditemukan kelainan

Pemeriksaan daerah abdomen dan genital harus lebih teliti

Diperiksa refleks perifer, sensasi perineal (refleks kremaster dan refleks anal)
dan tonus anal, cara berjalan dan tulang belakang apakah terdapat kelainan
pada medula spinalis.

c. Pemeriksaan Penunjang pemeriksaan laboratorium


-

Pemeriksaan analisis air kemih, berat jenis air kemih, biakan urin, ureum,
kreatinin.

Pada permiksaan anak dengan enuresis harus bisa dibedakan apakah hal ini
karena infeksi saluran kemih, ureter ektopik, gangguan fungsi kandung kemih
atau kelainan anatomi kandung kemih.

DIAGNOSIS BANDING
a. Infeksi Saluran Kemih
-

Dapat menyebabkan enuresis terutam enuresis sekunder

Biasanya terjadi urgensi enuresis, sering miksi dan disuria. Dengan melakukan
urinalisis dan biakan urin dapat ditegakkan ada atau tidaknya infeksi saluan
kemih

b. Kelainan Kongenital Saluran Kemih


-

Ureter ektopik ureter yang bermuara di urethra, vagina, atau intraitus


vagina. Biasanya terjadi gejala air kemih yang menetes terus menerus dan
tidak pernah kering. Kadang-kadang tetesan air kemih berhenti pada waktu
tidur, hal ini mungkin karena penderita dalam posisi horisontal. Keadaan ini
ditegakkan dengan urogram

c. Nefropati Obstruktif
Akibat kerusakan katub uretra posterior. Kelainan ini menimbulkan gejala air
kemih yang menetes, urgensi enuresis, dan inkontinensia psikogenik. Gejala yang
timbul tergantung dari tingkat obstruksi, umur anak, dan adanya infeksi saluran
kemih. Pada pemeriksaan palpasi dapat teraba kandung kemih yang besar dan
kelainan ini dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sistografi.
d. Kandung Kemih Neurogenik

Keluhan yang timbul sama dengan yang diatas. Keadaan ini disertai adanya defek
pada tlang belakang, tapi kadang-kadang tanpa gejala neurologi lainnya. Kelainan
ini ditegakkan dengan sistografi.
e. Kandung Kemih Disinergik
Kelainan ini mengakibatkan daytime incontinence, miksi yang frekuen, dan
infeksi saluran kemih yang berulang. Kelainan neurofisiologi pola miksi dapat
ditunjukkan dengan pemeriksaan urodinamik.

Bagan Evaluasi Enuresis


PENATALAKSANAAN
Pengobatan dilihat secara individual dengan melihat beberapa hal, antara lain:
attitude (sikap) anak dan orang tua, keadaan sosial ekonomi, lingkungan rumah,
motivasi yang sesuai oleh anggota keluarga, dan pihak orang tua tidak
mempertimbangkan pengobatan dengan obat-obatan sebagai pilihan pertama dengan
program pengobatan enuresis anaknya.
Cara penatalaksanaan enuresis:
a.

Nonfarmakologik
1)

Latihan menahan miksi

Tujuan: untuk memperbesar kapasitas kandung kemih, agar waktu


antara miksi menjadi lebih lama sehingga dapat mengurangi enuresis.
Dengan menahan miksi secara sadar akan menghambat kontraksi
kandung kemih dan memperbesar kapasitas kandung kemih. Namun, latihan
ini memerlukan waktu yang lama.
2)

Memberikan motivasi
Penjelasan

mengenai

penyebab

dan

prognosis

enuresis

serta

menerangkan bahwa keadaan ini bukan kesalahan anak dan dorongan


emosional dari orang tua akan menentramkan hati anak sehingga hubungan
dengan orang tuanya lebih erat diharapkan timbul tanggung jawab anak
terhadap usaha yang diberikan oleh dokter dan orang tuanya. Setelah orang tua
dan anaknya mengerti tentang masalah enuresis seperti: mengurangi minum
pada malam hari, membangunkan anak pada malam hari untuk miksi di kamar
mandi dan memberikan pujian atau penghargaan kalau anaknya tidak
mengompol. Ternyata dengan cara ini banyak yang berhasil mengurangi dan
menghentikan mengompol serta akan lebih efektif bila digabungkan dengan
bell and pad.
3)

Mengubah kebiasaan
Bell and pad beberapa tetes pertama air kemih akan menyebabkan
alarm berbunyi dan anak terbangun dari tidurnya dan menyelesaikan miksinya
di kamar mandi. Percobaan klinik menunjukkan bahwa pengobatan ini
mungkin lebih efektif bila anak mengubah pola tidurnya dan dapat memasang
kembali alarmnya sendiri. Dengan bangun tidur berulang-ulang selama
beberapa hari atau beberapa minggu anak dilatih untuk bangun tidur sebelum
kencing dimulai.
Selanjutnya alarm distel dalam waktu yang lebih lama dan akhirnya
rangsangan alarm dihentikan. Pengobatan dengan cara ini membutuhkan
waktu yang lebih lama. Keberhasilan dengan alarm ini mencapai 75% dari
semua penderita. Bila dalam 2-3 tahap tidak memberikan hasil, pengobatan
dapat digabung dengan pemberian imipramin dan biasanya memberikan hasi
yang baik.

b.

Farmakologik
1)

Anti Depresan

Misalnya, imipramin (Tofranil) memberikan hasil yang lebih baik


dibandingkan plasebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 40-60% dari anak
yang

menggunakan

imipramin

berhenti

enuresis

maupun

frekuensi

mengompolnya berkurang
Efek: diduga sebagai anti depresan, anti kolinergik dan mengubah
mekanisme tidur. Yang berperan dalam pengobatan enuresis adalah efek anti
kolinergik dan antispasmodik yang menyerupai simpatomimetik terhadap
kandung kemih
Efek samping: insomnia, kecemasan, perubahan kepribadian. Jika
dosis yang berlebihan dapat mengakibatkan keracunan dan biasanya berakibat
fatal, seperti: gangguan irama jantung, gangguan hantaran jantung, hipotensi
dan kejang.
2)

Desmopresin
Desmopresin merupakan vasopresin sintesis, sehingga sering disebut
sebagai DDAVP (1-desamino-8-D-arginine vasopresin) dan analog dengan
arginine vasopresin (AVP). Obat ini diberikan intranasal waktu tidur dan
hasilnya cukup efektif untuk menghentikan mengompol secara lengkap atau
mengurangi mengompol.
Mekanisme kerja: mengurangi produksi air kemih. Efek samping:
hiponatremia akibat retensi air. Oleh karena itu, obat ini hanya dipakai untuk
anak-anak yang mengalami stress dan gagal dengan cara pengobatan lainnya.

3)

Anti Kolinergik
Oxybutinin (Ditropan) dan obat antikolinergik untuk menurunkan
dan menghilangkan efek kontraksi kandung kemih. Obat ini berhubungan
dengan enuresis yang diakibatkan adanya proses aninhibisi kontraksi dari
kandung kemih.
Efek samping: kering pada mulut, merah pada muka, jarang terjadi
hiperpireksi. Bila melebihi dosis yang dianjurkan sering menimbulkan
gangguan penglihatan
Pilihan penanganan enuresis di tiap negara dan institusi beragam dan hasil

pengobatannya bervariasi, namun semua sepakat bahwa enuresis perlu ditangani


dengan seksama dan dokter diharapkan memiliki peranan dominan disamping
orang tua dan guru sekolah. Bila diyakini bahwa tidak ada kelainan fisik yang
mendasari timbulnya enuresis, anak perlu diyakinkan bahwa tidak ada masalah

pelik, semua dapat ditangani. Ada petunjuk yang dapat dipakai secara umum,
antara lain:
a. Jangan menghukum anak
b. Beri pujian/penghargaan pada setiap keberhasilan bebas mengompol
c. Jangan melarang anak minum sehabis makan malam
d. Berikan lampu/penerangan yang cukup agar anak dapat pergi sendiri untuk
berkemih pada malam hari
e. Kadang-kadang anak perlu diberi popok atau diaper pada malam hari
f. Pastikan anak sudah bersih/mandi sebelum berangkat ke sekolah
PROGNOSIS
Enuresis yang tidak diobati akan sembuh spontan antara 10-20% pertahun.
Penyembuhan spontan pada umumnya terjadi bila orang tua dan anaknya mau
menunggu. Penelitian pada anak dengan enuresis nokturnal yang tidak diobati,
menunjukkan penyembuhan spontan dengan bertambahnya umur yaitu 14% sembuh
spontan pertahun pada umur 5-9 tahun dan 16% pada umur 10-19 tahun. Lima puluh
persen penderita enuresis sembuh tanpa pengobatan spesifik dalam 4 tahun.

B. ENURESIS DIURNAL
DEFINISI
Enuresis diurnal adalah kelurnya kencing yang tak disadari yang biasa terjadi
pada siang hari.
ETIOLOGI
a. Keterlambatan pematangan neurofisiologi
Dapat berhubungan dengan fac.genetic
Tetapi bila tidak ada riwayat keluarga 15% anak yang mengalami enuresis.
b. Keterlambatan perkembangan.
Menyebabkan anak menjadi

enuresis

bukan

disebabkan

gangguan

pematangan system neurologis tapi kurangnnya latihan pola buang air kemih

yang baik.
Biasa terjadi pada golongan sosio ekonomi buruk, broken home, stress

lingkungan.
c. Hormone antidiuretik.

Hubungan antara variasi normal dari circardian dalam sekresi hormone ADH

yang meningkat pada malam hari.


d. Factor urodinamik.
Kapasitas kandung kemih yang kecil dan tidak adanya penghambatan

kontraksi.
Diduga akibat inhibitor kontraksi kandung kemih dan tidak adanya

koordinasi antara otot detrusor dan otot sfingter.


e. Factor psikologis
Adannya factor stress slama periode perkembangan antara umur 2-3 tahun
Biasanaya intermiten.
Enuresis primer biasanya pada anak anak yang mempunyai latar belakang
psikoneurosis.
f. Factor organic
Saluran genitourinarius
- 1% tidak ditemukan kelainan anatomi
- Enuresiss diurnal biasanya karena gangguan urodinamik, sama halnya
pada nocturnal. Misalnya seperti : kapasitas kandung kemih.
Infeksi
- Dicurigai adanay infeksi saluran kemih.
- 455 perempuan dengan adanya bakteriuria, akan timbul enuresis.
Factor lain
- Kelainan daerah lumbosavral mielomenigekel menyebabkan enuresis.

Alergi juga dapat menyebabkan enuresis.

DIAGNOSA

Lakukan anamnesis menentukan tipe dan beratnya terjadinya mengompol,


waktu terjadinya (siang atau malam) dan mengompolnya sedang tidur atau sedang
makan. Pada penderita urgensi enuresis ditanyakan pancaran dari kencing, apakah

intermiten atau terus menerus, kemudian tanyakan riwayat infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan fisik pemeriksaan abdomen dan alat genital. Selain itu dilihat

reflek perifer, sensasi perinel, dan tonus anal.


Pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi enuresis seperti pemeriksaan
analisis air kemih, berat jenis air kemih.

TERAPI
a. Non-farmakologis
1) Latihan menahan miksi agar kapasitar kandung kemih besar, sehingga
waktu anatar miksi menjadi lama dan dapat mengurangi enuresis.

2) Memberikan motivasi berikan dorongan emosional dari orangtua,akan


menentramkan hati sianak. Penelitian, lebih efektif bila digabungkan dengan
bell pad.
b. Farmakologis
1) Anti depresan
-Untuk mengobati enuresis, misalnya imipramin (tofranil).
-Efeknya sebagai anti depresan, anti kolinergik, dan mengubah mekanisme
tidur.
-Yang lebih berperan adalah efek antikolinergik dan anti spasmodic yang
menyerupai efek simpatomimetik terhadap vesica urinary.
2) Desmopresis
-merupakan vasopressin sintesis, sehingga disebut sebagai DDAVP yang
analog dengan arginin vasopressin
-obat ini diberikan intranasal, untuk mengehtikan mengompol atau
mengurangi mengompol.
-mekanisme kerjanya mengurangi kerja vesica urinary sehingga efek
samping pemakaiannya adalah hiponatremi akibat retensi air
-biasa dipakai untuk anak stress dan gagal dengan pengobatan lainnya
3) Antikolinergik.
-oxybutinin (ditropan) dan anti kolinergik untuk menurunkan atau
menghilangkan efek kontraksi kandung kemih. Obat ini berhubungan dengan
enuresis yang diakibatkan adanya proses inhibisi kontraksi dari vesica
urinaria.

PENYAKIT
1. BPH (BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA)
DEFINISI
Prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini
membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari
buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20
gram. Pada umunya hyperplasia prostat terdapat pada zona transisional. Pada usia lanjut
banyak pria yang terkena hyperplasia kelenjar prostat. Keadaan ini dialami 50% pria
berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.

ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hyperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat
erat kaitannta dengan peningkatan kadar DHT dan proses aging. Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah
1. Teori dehidrotestoteron
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting dalamn pertumbuhan
sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testoteron di dalam sel prostat oleh enzim
5resuktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan
dengan reseptor androgen membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel. Selanjutnya
terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuah sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jaug berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal. Hanya saka pada BPH aktivitas enzim 5
reduktasi dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH.
2. Ketidak seimbangan antara estrogen-testoteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testoteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relative tetap. Sehingga perbandingan antara estrogen : testoteron relative
meningkat. Telah diketahuo bahwa estrogen dalam prostat bereperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas
sel-sel prostat terhadap rangsangan hormone androgen. Meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kemarian sel-sel prostat.
3. Interaksi stroma epitel
Cunha membbuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator ( growth
factor) tertentu. Setalah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin and autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
PATOFISIOLOGI
Pada BPH biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala
hipertensi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi
miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrussor
gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga

kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih
sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini di beri
skor untuk menentukan berat keluhan klinis.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga pada
akhir miksi masih diteumukan sisa urine di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak
tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi
kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urine terus
terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan
intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada
tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu
mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urine, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung
kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi
pielonefritis.
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia,
jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran
uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan
intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor
dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang
terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian
bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS.
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus
destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak
berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan
kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah,
kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat
sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat
Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra

abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid
puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine
dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia
Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam
beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan
mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi
oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan
kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi
urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal.

GAMBARAN KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan diluar saluran kemih.

1. Obstruksi : karena musculus detrussor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan
tidak cukup kuat, sehingga kontraksinya terputus-putus dan sangat berpengaruh pada
sulitnya permulan miksi.
Hesitancy : memulai miksi lama, disertai mengejan, karena M. Detrussor butuh
waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan intravesical untuk mengatasi

adanya tekanan dalam urethra prostatica.


Intermitency : aliran kencing terputus-putus karena M. Detrussor lemah dan
tidak mampu berkontraksi, sehingga tidak mampu mempertahankan tekanan

intravesica sampai proses miksi berakhir.


Post Voiding / Terminal Dribbling : perasaan kurang puas setelah miksi, urin

menetes.
Straining : mengejan, bila dilakukan terus-menerus bisa mengakibatkan

hemorrhoid dan hernia inguinalis.


Pancaran urine lemah.
2. Iritasi : karena pengosongan urine yang tidak sempurna / pembesaran prostat
sehingga merangsang vesica urinaria untuk segera berkontraksi sebelum penuh
(Hipersensitivitas M. Detrussorr)
Urgency : miksi sulit ditahan karena telah terjadi hipersensitivitas vesica

urinaria..
Frequency : sering miksi.
Nokturia : sering miksi pada malam hari.
Disuria : nyeri saat miksi.

3. Pada saluran kemih pada bagian atas adalah berupa gejala obstruksi antara lain nyeri
pinggang, benjolan di pinggang( yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau
demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
4. Gejala diluar saluran kemih biasanya pasien datang ke dokter karena mengeluh
adanya hernis inguinalis atau hemoroid
PEMERIKSAAN FISIK
Didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra
simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine Yang selalu menetes tanpa
disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa. Pada colok
dubur diperhatikan
1. Tonus sfingter ani (reflek bulbo-kevernosus untuk menyingkirkan kelainan buli-buli
neurogenik,
2. Mukosa rectum

3. Keadaan prostat, antara lain kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konstitensi


prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaaan kultur urine berguna dalam mencari jenis
kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap
beberapa antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai
saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah diperiksa untuk mencari adanya
diabetes mellitus
Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu prostat dan kadangkala menunjukkan bayangan buli-buli penuh.
PENGOBATAN
Tidak semua pasien BPH perlu mendapatkan terapi. Apabila gejala LUTS nya
ringan, walaupun tanpa diobati dapat sembuh dengan sendirinya, hanya diperlukan
nasehat dan konsultasi saja. Tetapi apabila penyakit ini semakin berat dan mengganggu
kualitas hidup penderita, maka penderita perlu untuk mendapatkan terapi
Tujuan terapi pada pasien hyperplasia prostat, adalah :
Memperbaiki keluhan miksi
Meningkatkan kualitas hidup
Mengurangi gejala obstruksi
Mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal
Mengurangi volume residu urin
Mencegah progresifitas penyakit
Ada beberapa cara pengobatan pasien hiperplasi prostat :
a. Watchfull Waiting
Diindikasikan untuk pasien BPH yang mempunyai skor di bawah 7

keluhan ringan dan tidak menganggu aktivitas sehari-hari


Pasien hanya diberi nasehat dan penjelasan mengenai sesuatu hal yang
memperburuk keluhan, tanpa diberikan terapi, misalnya :
- Jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol sebelum makan malam
- Kurangi konsumsi makanan yang mengiritasi buli-buli (kopi, cokelat)
- Kurangi makanan pedas dan asin

Jangan menahan kencing terlalu lama


Kurangi penggunaan obat-obatan influenza yang mengandung

fenilpropanolamin
Secara periodic, pasien diminta untuk control dan menanyakan tentang
keluhan apakah semakin ringan atau tidak. Jika makin jelek pilihan

terapi yang lain


Selain itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin dan

uroflometri
b. Medikamentosa
Tujuan terapi :
- Mengurangi resistansi otot polos prostat dengan obat-obatan

penghambat adrenergic alfa


Mengurangi volume prostat dengan mengurangi kadar DHT dengan

penghambat enzim 5-reduktase


Adapun obat-obatan yang dipakai :
1) Penghambat reseptor adrenergic-
Fenoksibenzamin
Penghambat reseptor adrenergic- yang ditemukan oleh Caine.
Obat ini merupakan penghambat alfa yang tidak selektif untuk
memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan
miksi. Tetapi efek sampingnya adalah komplikasi sistemik,
yaitu hipotensi postural dan kelainan kardiovascular
Penghambat adrenergic-1
Obat ini merupakan obat yang dapat mengurangi penyulit
sistemik yang dipunyai oleh fenoksibenzamin dengan cara
menghambat 2 dari fenoksibenzamin. Beberapa golongan
obatnya : prozasin yang diberikan 2x sehari, terazosin,
afluzosin, dan doksazosin 1x sehari.
Penghambat adrenergic-1A
Tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos prostat.
Dilaporkan

dapat

memperbaiki

pancaran

miksi

tanpa

mempengaruhi system kardiovaskular


2) Penghambat 5-reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan DHT
dari testosterone yang dikatalis oleh enzim 5-reduktase di dalam selsel prostat. Menurunya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan
replikasi sel-sel prostat menurun. Obat yang sering dipakai adalah
finasteride 5 mg sehari yang digunakan sehari sekali selama 6 bulan
3) Fito farmaka

Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan dapat dipakai untuk


memperbaiki gejala obstruksi prostat. Diduga fitoterapi ini bekerja
sebagai anti androgen, menurunkan kadar sex hormone binding
globulin (SBHG), inhibisi fibroblast growth factor dan epidermal
growth factor, mengacaukan metabolism prostaglandin, efek anti
inflamasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume
prostat. Yang banyak di pasaran, pygeum africanum, serenoa repens,
hypoxis rooperi, radix urticaria.
c. Operasi
Pembedahan
Merupakan penyelesaian masalah jangka panjang dari penderita
hiperplasi prostat. Dapat dikerjakan dengan operasi terbuka, reseksi
prostat transuretra (TURP), insisi prostat transuretra (TIUP atau BNI).
Pembedahan direkomendasikan untuk :
- Tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa
- Mengalami retensi urin
- Infeksi saluran kemih berulang
- Hematuria
- Gagal ginjal
- Timbulknya batu saluran kemih atau penyulit yang lain
Pembedahan Terbuka
Bebarapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah :
- Metode dari Millin melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui
-

pendekatan retropubik infravesika


Freyer pendekatan suprapubik transvesika atau transperineal
Prostatektomi Merupakan tindakan paling invasive dan paling tua,
tetapi sangat efisien untuk hyperplasia prostat. Diindikasikan untuk
prostat >100gr. Penyulitnya berupa inkontinensia urin, impotensia,
ejakulasi retrogad dan kontraktur leher buli-buli. Dibandingkan dengan
TURP dan BNI, striktura uretra dan ejakulasi retrogad lebih sering

terjadi.
Pembedahan Endourologi
Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan dengan
memakai tenaga TURP (transurethral Resection of the Prostate) atau
dengan memakai energy laser. Operasi ini berupa reseksi (TURP), insisi
(TIUP), atau evaporasi.
1) TURP

Merupakan operasi terbanyak yang dikerjakan di seluruh dunia.


Operasi ini lebih disenangi dikarenakan tidak perlu insisi pada kulit
perut, masa rawat inap lebih cepat, dan memebrikan hasil yang tidak
juah berbeda dengan operasi terbuka.
Reseksi

kelenjar

prostat

dilakukan

transuretra

dengan

mempergunakan cairan irigan(pembilas) agar daerah yang direseksi


tetap terang dan tidak ditutupi oleh darah. Cairan yang dipergunakan
adalah larutan Non ionic, agar tidak terjadi hantaran listrik saat operasi.
Sedangakan cairan yang cukup mudah dan murah yaitu H2O steril
(aquades), tetapi kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah
vena yang terbuka pada saat reseksi. Sedangkan penggunaan aqudes
yang berlebihan dapat menyebabkan sindrom TURP atau intoksikasi
air. Ditandai dengan pasien mulai gelisah, kesadaran somnolen,
tekanan darah menigkat, bradikardi. Jika tidak teratasi dapat
mengakibatkan edema otak. Untuk menghindari operator harus
membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi >1 jam.
Selain sindroma TURP beberapa penyulit yang biasa terjadi
adalah:
Selama Operasi
Perdarahan
Sindrom TURP
Perforasi

Pasca Bedah DIni


Pasca BEdah Lanjut
Perdarahan
Inkontinensia
Infeksi local atau sistemik
Disfungsi ereksi
Ejakulasi retrogad
Striktura uretra

Pada hiperplasi prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada


pembesaran lobus medius dan pasien yang beumur muda, hanya
diperlukan insisi kelenjar prostat atau TIUP (Transuretrhral incision of
prostate) atau insisi leher buli-buli atau BNI (bladder neck incision).
Sebelumnya harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma
prostat.
2) Elektrovaparisasi Prostat
Cara elektrovoparisasi prostat adalah sama dengan TURP,
hanya saja tehnik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan
mesin diatermi yang cukup kuat sehingga mampu membuat vaporisisai

kelenjar

prostat.

Cara

ini

cukup

aman,

tidak

banyak

menimbulkanperdarahan saat opaerasi, dan masa inap di rumah sakit


lebih singkat. Diindikasikan untuk prostat <50gr
3) Laser Prostatektomi
Terdapat 4 jenis energy yang dipakai yaitu Nd: YAG,
Holmium:YAG, KTP:YAG, dan diode yang dapat dipancarkan
melalui bare fibre, right angle fibre, atau interstitial fibre. Kelenjar
prostat pada suhu 60-65 akan mengalami koagulasi dan pada suhu
yang lebih dari 100 C mengalami vaporisasi.
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian laser
ternyata lebih sedikit mengalami komplikasi, dapat dikerjakan secara
poliklinis, penyembuhan lebih cepat, dan dengan hasil yang kurang
lebih sama. Sayangya butuh terapi ulang 2% tiap tahun.
Kekuranganya

adalah

tidak

dapat

diperoleh

jaringan

untuk

pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak


menimbulkan disuria bedah, tidak bias miksi spontan setelah operasi.
Diindikasikan untuk pasien yang mengalami terapi koagulan dalam
jangka waktu lama atau tidak dapat melakukan tindakan TURP karena
kesehatanya.

Tindakan Ivasif Minimal


1) Termoterapi
Adalah pemanasan dengan gelombang mikro pada
frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antenna yang
diletakkan dalam uretra. Dengan pemanasan >44 C menyebabkan
destruksi jaringan pada zona trasnsisional prostat karena nekrosis
koagulasi. Bias dikerjakan tanpa pembiusan.
Energy panas yang bersamaan dengan gelombang mikro
dipancarkan melalui kateter yang terpasang dalam uretra. Besar
dan arah pancaran energy diatur melalui sebuah computer
sehingga dapat melunakkan jaringan prostat yang membentu
uretra. Morbiditasnya relative rendah, dapat dilakukan tanpa
anestesi, dan dapat dijalani dengan pasien yang kondisinya kurang
baik jika dilakukan pembedahan. Direkomendasikan untuk prostat
yang berukuran kecil.
2) TUNA (Transurethral needle ablation of prostate)

Memakai energy dari frekuensi radip yang menimbulkan


panas sampai 100 C, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan
prostat. System ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan
dengan generator yang dapat membengkitkan energy pada
frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan dalam uretra melaui
sitoskopi dengan pemberian anastesi topical xylocaine sehingga
jarum yang terletak pad ujung kateter terletak pada kelenjar
prostat. Pasien sering kali mengeluh hematuria, disiuria, retensi
urine
3) Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk
mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang
intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal
verumontarum sehingga urin dapat leluasa melewati lumen uretra
prostatika. Dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang
temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang
dapat diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan
sekitar.alat ini dipasang atau dilepas dengan endoskopi.
Diindikasikan untuk pasien yang tidak mungkin menjalani
operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. Sayangnya
setelah pemasangan kateter ini pasien mengeluh keluhan iritatif
miksi, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis.
4) HIFU (High Intensity Focused Ultrasound)
Energy panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis
pada prostat berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser
piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10Mhz.energi
dipancarkan melaui alat yang diletakkan tranrektal dan difokuskan
ke kelenjar prostat. Tehnik ini memakai anastesi umum.
KONTROL BERKALA
Pasien yang mendapatkan pengawasan (watchfull waiting) dianjurkan control
setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis.
Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPPS, uroflometri, dan residu urin pasca
miksi.

Pasien yang mendapat pengobatan penghambat 5-reduktase harus dikontrol


pada minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk melihat respon terapi. Kemudian setiap tahun
untuk melihat perubahan gejala miksi. Penilaianya melalui IPPS, uroflometri, dan residu
urin pasca miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala tanpa penyulit dilanjutkan pengobatanya.
Selanjutnya controlsetelah 6 bulan tiap tahun.
Setelah pembedahan. Pasien harus menjalani control paling lambat 6 minggu
pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan penyulit. Control selanjutnya setelah 3
bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.
Pasien yang mendapatkan terapi invasive minimal harus menjalani control secara
teratur dalam jangka waktu yang lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan
setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasive minimal selain dilakukan
pemeriksaan kultur.

2. DISFUNGSI EREKSI
DEFINISI
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap seorang pria untuk
mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup guna melakukan aktifitas seksual
yang memuaskan. Disfungsi ereksi ini di derita oleh separuh pria yang berusia lebih dari
40 tahun.
ETIOLOGI
1. Psikogenik : Ansietas, depresi, konflik rumah tangga, perasaan bersalah, dan norma
agama.
2. Neurogenik

kelainan

pada

otak

(tumor,

cidera

otak,

epilepsy),

kelainan pada medulla spinalis (tumor,cedera,Tabes dorsalis), dan kelainan pada


saraf perifer (diabetes mellitus).
3. Hormonal : diabetes mellitus,

Hipogonadisme,

Hiperprolaktinemia,

dan

Hiperparatiroidisme.
4. Kavernosa : Penyakit Peyroni, Adanya fibrosis atau disfungsi otot kavernosa,
Neurotransmitter yang dilepaskan untuk memulai ereksi tidak adekuat, dan Pasca
operasi shunting.
5. Obat obatan :
a. Antihipertensi : metildopa, alfa bloker, beta bloker
b.
Antidepresan : trisiklik, penghambat NAO
c. Antiandrogen : esterogen, flutamid, LHRH analog.
6. Penyakit sistemik :
a. Diabetes mellitus
b. Gagal ginjal

c. Gagal hepar
DIAGNOSIS
Evaluasi terhadap pasien yang mengeluh disfungsi ereksi meliputi evaluasi
riwayat seksual, evaluasi medic, dan evaluasi psikologik. Tujuan evaluasi ini adalah
menentukan apakah pasien memang menderita disfungsi ereksi atau disfungsi seksual
lain. Kadang-kadang pasien mengeluh disfungsi ereksi ternyata bukan menderita
disfungsi ereksi, tetapi menderita penurunan libido, ejakulasi dini, ejakulasi retrogard,
tidak data menikmati orgasmus (anorgasmus), atau kelainan lain.
Untuk membantu identifikasi dapat digunakan indeks fungsi ereksi, adalah Indeks
Internasional untuk Fungsi Ereksi ke-5 atau International Index of Erectile Function -5
(IIEF-5). Terdapat 5 pertanyaan, tiap-tiap pertanyaan diberi nilai 0-5. Jika penjumlahan
kurang dari atau sama dengan 21 menunjukkan adanya gejala disfungsi ereksi.
Pertanyaan
Selama 6 bulan terakhir ini:
1. Bagaimana
derajat
keyakinan anda bahwa anda
dapat

ereksi

serta

bertahan

terus
untuk

bersenggama?
2. Pada saat anda ereksi setelah
mendapatkan

rangsangan

seksual seberapa sering penis


anda cukup untuk dapat
masuk dalam vagina?
3. Setelah penis masuk

ke

dalam

vagina

pasangan

anda,

seberapa

seringkah

anda

mampu

Jawaban
1.
2.
3.
4.
5.

Sangat rendah
Rendah
Cukup
Tinggi
Sangat tinggi

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tidak bersenggama
Tidak/hampir tidak pernah
Sesekali (<50%)
Kadang-kadang (50%)
Sering (>50%)
Selalu/hampir selalu

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tidak mencoba senggama


Tidak/hampir tidak pernah
Sesekali (<50%)
Kadang-kadang (50%)
Sering (>50%)
Selalu/hampir selalu

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tidak mencoba senggama


Sangat sulit sekali
Sangat sulit
Sulit
Sedikit sulit
Tidak sulit

mempertahankan penis tetap


keras?
4. Ketika
seberapa

bersenggama
sulitkah

mempertahankan
sampai ejakulasi?

anda
ereksi

Skor

7. Ketika anda bersenggama


seberapa sering anda merasa
puas?

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tidak mencoba senggama


Tidak/hampir tidak pernah
Sesekali (<50%)
Kadang-kadang (50%)
Sering (>50%)
Selalu/hampir selalu

Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh factor psikogen:


1. Timbulnya mendadak dan didahului oleh peristiwa tertentu, misalnya sehabis
cerai/ditinggal isteri atau pasangannya, keluar dari pekerjaan, atau oleh tekanan
kejiwaan.
2. Situasional yaitu disfungsi timbul bila hendak melakukan aktivitas seksual dengan
wanita tertentu, tetapi ereksi timbul kembali jika dengan wanita lain
3. Ereksi nocturnal atau ereksi yang timbul pada saat bangun pagimasih cukup kuat,
akan tetapi pada siang hari ereksi menurun atau bahkan sama sekali tidak dapat ereksi.
Diagnosis Khusus NPT (nocturnal penile tumescence).
Uji ini sangat sederhana sehingga setiap orang dapat melakukannya. Modalnya
hanya beberapa lembar perangko yang masih bersambung. Pertama-tama, menjelang tidur
malam, perangko-perangko tersebut dilingkarkan pada batang penis sedemikian hingga
kedua ujung perangko bertemu. Ujung-ujung hendaknya tumpang tindih dan direkatkan
satu sama lain. Perlu diperhatikan bahwa lingkaran yang dibentuk oleh perangkoperangko tersebut setidaknya seukuran dengan lingkaran penis yang enggan berereksi
tersebut.
Setelah lingkaran perangko terpasang dengan benar, silakan tidur seperti biasa.
Celana dalam boleh dipakai, asal tidak terlalu ketat, sehingga masih memberi ruang bagi
penis jika seandainya ereksi terjadi.
Pada pagi harinya, segera cek apakah perangko mengalami robekan. Jika ada
bagian perangko yang terpisah, berarti semalam terjadi ereksi. Sebaliknya, jika perangko
masih utuh berbentuk lingkaran artinya tidak timbul ereksi. Uji ini sebaiknya dilakukan
tiga malam berturut-turut.
Pada orang normal, akan terjadi ereksi penuh 3 sampai 5 kali saat tidur dalam
(REM, random eye movement). Demikian pula halnya mereka yang mengalami impotensi

akibat gangguan psikologis. Ereksi penuh masih dapat timbul saat mereka tidur malam.
Lain halnya jika impotensi disebabkan oleh faktor fisik. Tidak akan timbul ereksi, baik
pada siang hari maupun pada malam hari ketika orang tersebut tidur.
Jadi, jika perangko robek maka disfungsi ereksi terjadi akibat faktor psikologis.
Sebaliknya, jika perangko tetap utuh berarti penyebab impotensinya adalah faktor fisik.

TERAPI
1. Lini pertama
Terapi lini pertama terdiri atas pemberian obat peroral, pemakaian alat vakum
penis dan terapi psikoseksual. Pemakain obat peroral ini yang banyak di gunakan
adalah sildenafit sitrat. Obat ini merupakan vasodilator yang menyebabkan
vasodilatasi arteri atau arteriol pada korpus kavernosum.
Pemakaian alat vakum penis ini mmulai banyak di gemari. Alat ini berfungsi
memberikan tekanan negatif pada penis yang memungkinkan pengaliran darah ke
dalam sinusoid sehingga terjadi ereksi.
2. Lini kedua
Yang termasuk lini kedua adalah injeksi obat-obatan vasoaktif secara intra
kavernosa. Jenis obat yang di berikan adalah: papaverin, fentolamin, prostaglandin E1
atau kombinasi dari beberapa obat-obatan.
3. Lini ketiga.
Jika dengan cara kedua di atas belum membuktikan hasil ,maka pilihan terahir
adalah tindakan invasif berupa operasi, di antaranya pemasangan prostesis penis.
Hingga saat ini pemasangan prostesis penis ini merupakan terapi yang paling efektif
di abndingkan dengan cara yang lain, akan tetapi harganya sangat mahal.

3. EJAKULASI DINI
DEFINISI

Ejakulasi dini merupakan disfungsi seksual yang paling sering terjadi pada pria
dengan usia dibawah 40 tahun. Kebanyakan dokter yang menangani ejakulasi dini
mendefinisikan keadaan ini sebagai ejakulasi sebelum tercapainya kepuasan sexual yang
diharapkan dari kedua pasangan.
Respon seksual pada manusia dapat dibagi atas 3 fase : hasrat (libido), terangsang
(arousal), dan orgasme. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth
Edition (DSM-IV) mengklasifikasi gangguan seks dalam 4 kategori, yaitu : (1) primer,
(2) akibat kondisi medis umum, (3) akibat zat tertentu, (4) yang tidak tergolongkan.
Masing-masing 4 kategori ini memiliki gangguan pada semua 3 fase seksual tersebut.
Ejakulasi dini dapat berupa gangguan primer atau sekunder. Primer terjadi jika
seseorang mengalami gangguan ini sejak fungsi seksual mereka mulai aktif (pubertas).
ED sekunder mengindikasikan kondisi ini terjadi pada seseorang yang sebelumnya dapat
mengendalikan ejakulasinya dan karena alas an yang tidak diketahui, ia mengalami
ejakulasi dini dimasa depan. Pada ED sekunder, masalahnya tidak berkaitan dengan
gangguan kesehatan secara umum, dan biasanya tidak berkaitan dengan suatu zat
pemicu, walaupun, hyperexcitabilitas mungkin berkaitan dengan pemakaian obat
psikoterapi dan gejala menghilang dengan dihentikannya obat. Ejakulasi dini cocok
dengan kategori yang tidak tergolongkan karena belum ada seorang pun yang
mengetahui dengan pasti penyebabnya, walaupun diduga faktor psikologis pada
kebanyakan kasus.
PATOFISIOLOGI
Ejakulasi dini diyakini merupakan suatu permasalah psikologis dan tidak
mewakili adanya penyakit organik yang melibatkan sistem reproduksi pria dan lesi pada
otak atau sistem saraf. Sistem organ yang secara langsung dipengaruhi oleh ejakulasi dini
adalah saluran reproduksi pria (penis, prostate, vesika seminalis, testis, dan bagian
lainnya), bagian sistem saraf pusat dan perifer yang mengendalikan sistem reproduksi
pria dan sistem organ reproduksi pasangan pasien (untuk tujuan artikel ini, pasangan
adalah seorang wanita) yang kemungkinan tidak dirangsang dengan cukup untuk
mencapai orgasme.
Jika ejakulasi dini terjadi sebegitu dini hingga terjadi bahkan sebelum penetrasi
dilakukan dan pasangan ini sedang menginginkan kehamilan, sehingga kehamilan tidak
dapat terjadi kecuali inseminasi buatan dilakukan. Kemungkinan sistem organ yang

paling terpengaruhi adalah perasaan dari pasangan. Kedua anggota pasangan sepertinya
secara emosional dan fisik tidak puas akibat masalah ini.
Ejakulasi dini secara historis dianggap sebagai gangguan psikologis. Suatu teori
mengatakan pria dianggap mengalami tekanan social untuk mencapai klimaks dalam
waktu yang pendek karena rasa takut ketahuan sedang melakukan masturbasi pada waktu
remaja atau selama masa pengalaman seks dini di jok belakang mobil atau dengan
pekerja seks. Pola dari pelepasan nafsu seks ini sulit dirubah hingga masa pernikahan.
Fakta bahwa perempuan terangsang dan orgasme membutuhkan waktu yang lebih lama
daripada pria semakin diketahui dan menyebabkan ejakulasi dini dianggap dan diyakini
sebagai suatu masalah.
Banyak yang mempertanyakan apakah ejakulasi dini murni psikologis. Beberapa
penelitian telah menemukan perbedaan antara konduksi saraf/waktu laten dan perbedaan
hormonal antara pria yang mengalami ejakulasi dini dibandingkan dengan yang tidak
mengalaminya. Teorinya yaitu bahwa beberapa pria mengalami hyperexcitabilitas atau
sensitivitas berlebihan pada genital mereka, sehingga tidak terjadi efek down-regulation
(regulasi penurunan) aktivitas simpatis dan penundaan orgasme.
Terdapat pula pemikiran bahwa seseorang yang dapat ejakulasi dengan cepat lebih
sukses dalam hubungan seks daripada pria yang membutuhkan waktu yang lama untuk
mencapai ejakulasi. Pemikiran seperti demikian terjadi pada zaman purba; paling tidak,
jika benar terjadi, evolusi manusia terjadi sejak 5000 tahun yang lalu. Seorang pria yang
terlalu lama ejakulasi akan diusir atau dibunuh oleh pria lain yang berkompetisi dalam
suatu hubungan seks dengan perempuan pada zaman tersebut. Terpikirkan bahwa gen
purba ini diturunkan melalui evolusi manusia.
MANIFESTASI KLINIS
Menemukan riwayat ejakulasi dini pada pasien sangat berguna karena memandu
terapi yang cocok untuk pasien (dan partnernya). Perlu difokuskan apakah ejakulasi dini
terjadi primer atau sekunder dan menilai tingkt keparahan dari masalah ini.
Riwayat

medis

umum

mengenai

keadaan

medis

yang

kemungkinan

mempengaruhi perlu ditemukan. Sebagai contoh, jika pasien memiliki angina dan ini
menyebabkan ketakuran akan infark miokard selama berhubungan badan, ia mungkin
datang dengan ejakulasi dini disertai dengan adanya penyakit jantung dan perasaan

insekuritas (tidak aman) akibat penyakit jantungnya. Menyembuhnya penyakit jantung


biasanya mengembalikan kemampuan ejakulasi, tanpa terapi spesifik untuk ejakulasi
dini. Untuk tujuan diskusi ini, pasien diasumsikan sehat secara fisik, dan disfungsi
seksual sebagai satu-satunya masalah bermakna.
Jika pasien selalu mengalami ejakulasi dini pada saat pertama kali ia melakukan
hubungan seks, maka ia dianggap mengalami ejakulasi dini primer. Jika ia pernah sukses
dalam hubungan seks sebelumnya, maka ia mengalami ejakulasi dini sekunder. Pada
kebanyakan kasus, ejakulasi sekunder lebih mudah diatasi dan memiliki prognosis yang
lebih baik.
1. Ejakulasi dini primer
a. Menambahkan riwayat medis umum, tanyakan mengenai adanya permasalah
psikologis sebelumnya karena pria dengan ejakulasi dini memiliki insiden
gangguan psikiatrik yang lebih tinggi yang didapatkan dari populasi umum.
b. Riwayat sebaiknya mencakup pertanyaan tentang pengalaman seksual yang
dini. Apakah ia pernah mengalami trauma psikis seksual pada masa kecil atau
remaja? Contohnya kemungkinan yaitu ketahuan masturbasi oleh orang tua,
dengan perasaan bersalah yang mengikutinya. Atau pasien pernah dihukum
karena ketahuan bermasturbasi.
c. Tanyakan mengenai hubungan keluarga pasien pada saat ia tumbuh.
Bagaimana ia berhubungan dengan ayahnya, ibunya, atau saudaranya? Apakah
keluarganya memiliki riwayat inses atau pelecehan seksual? Pria biasanya
dilecehkan oleh pria lain dan jarang terjadi oleh perempuan.
d. Bagaimana hubungan dengan teman-temannya ? Apakah pasien memiliki
teman pria atau wanita? Bagaimana ia menghargai dirinya sendiri terhadap
lingkungannya (inferior, superior, atletik, lebih atau kurang pintar)?
e. Apakah pasien memiliki masalah dengan pekerjaan ?
f. Bagaimana sikap umum pasien terhadap sex (misalnya apakah ia menganggap
sex sebagai tabu dan jorok), dan bagaimana pola preferensi, fantasi, dan
rangsangan sex pasien?
g. Apakah pasien memiliki keterikatan yang kuat dengan suatu ajaran agama?
Jika iya, cari tau bagaimana agama tersebut memandang sex.

h. Jika ejakulasi dini bermula setelah awal hubungan di luar nikah, apakah pasien
merasa bersalah tentang hal ini?
i. Jika ejakulasi dini pada pengalaman pertama hubungan sex dalam suatu
perkawinan terjadi, carilah informasi mengenai bagaimana kehidupan sex
noncoitus pasangan ini.
j. Tanyakan mengenai perilaku sex dan respon dari pasangan wanita; jika ia
memiliki masalah seperti dyspareunia, apakah berhubungan dengan masalah
pada pria ?
k. Bagaimana hubungan nonsexual pada pasangan ? Apakah terjadi pertengkaran
atau mereka sedang dalam masa sulit?
l. Keterangan dari ini dan pertanyaan yang serupa biasanya secara langsung
menuju ke faktor yang dapat diterapi secara spesifik.
2. Ejakulasi Dini Sekunder
a

Sebagai tambahan dari riwayat medis umum, sebaiknya ditelusuri hubungan


sebelumnya dimana ejakulasi dini belum menjadi masalah bagi pasien dan
hubungan sebelumnya dimana tejadi ejakulasi dini transient.

Pada hubungan sekarang, apakah ejakulasi dini selalu menjadi masalah atau
apakah hal ini bermulai setelah jangka waktu hubungan sex sebelumnya dapat
memuaskan kedua pasangan ?

Telusuri secara spesifik kualitas hubungan yang terkait dengan faktor diluar
hubungan sex ? Apakah pasangan bekerja sama dengan baik pada suatu
masalah, atau apakah terdapat konflik? Siapa yang dominant dalam hubungan
ini atau apakah secara umum setara (tidak ada yang dominant) ?

Jika pasangan wanita tidak bersama dengan pasien ? Jika tidak, tanyakan
mengapa. Kemungkinan, wanita menganggap masalah ini hanya masalah
pasangan prianya dan tidak menganggap sebagai masalah hubungan mereka,
dimana dapat menjadi petunjuk yang penting.

Apakah ia memiliki masalah impotensi ? Apakah Disfungsi Ereksi (DE) juga


ada? Jika DE tidak ada, seberapa lama waktu untuk pria mulai dari penetrasi
hingga klimax?

Dapatkah penetrasi terjadi, atau apakah ejakulasi dini terjadi sebelumnya


sehingga penetrasi tidak terjadi?

Apakah pasien mengalami ejakulasi dini dengan masturbasi, atau rangsangan


dari pasangan, atau terjadi setelah penetrasi?

Berapa lama waktu yang dibutuhkan pasangan wanita untuk mencapai klimaks
? Dapatkah ia mencapai klimax dengan penetrasi, atau apakah ia
membutuhkan stimulasi klitoral langsung sebelumnya untuk mencapai
klimax?

Jika DE ditemukan namun terjadi setelah ejakulasi dini, maka terapi untuk
kedua keadaan mungkin dibutuhkan; biasanya DE sembuh ketika pasien
mendapatkan kepercayaan diri dalam mengendalikan ejakulasinya. Jika DE
terjadi sebelumnya, maka ejakulasi dini kemungkinan merupakan disfungsi
seksual sekunder, dimana akan sembuh jika pasien percaya diri bahwa ia
mampu menjaga ereksinya.

Penjelasan mengenai hal-hal ini dan faktor lain yang berkaitan biasanya
terbukti sangat membantu untuk membuat perencanaan terapi.

PEMERIKSAAN FISIS
Temuan pemeriksaan fisis biasanya normal pada pria dengan ejakulasi dini
sebagai satu-satunya gangguan. Penyebab ejakulasi dini dianggap sebagai faktor
psikologis, walaupun tidak seorang pun tahu penyebab sesungguhnya.
1. Ejakulasi Dini Primer
a. Pada ejakulasi dini primer, dimana pria tidak pernah mengalami hubungan
seksual sebelumnya juga tidak pernah mengalami ejakulasi dini, gangguan
emosional yang sangat kuat kemungkinan terjadi dan penyebabnya dapat
beragam.
b. Terkadang, perilaku ini merupakan respon terkondisi akibat masturbasi
pada masa remaja, namun, seringkali pasien mengalami kecemasan yang
mendalam mengenai sex atau pengalaman traumatic yang dialami pada

masa perkembangan. Contoh dapat berupa inses, pelecehan sexual, konflik


dengan orang tua, atau gangguan serius lainnya.
c. Pada kebanyakan kasus, seorang dokter atau urologist perlu berkonsultasi
dengan psikiater, psikolog, atau profesi lain yang terkait dengan penyakit
ini.
2. Ejakulasi dini sekunder
a

Beberapa tipe kecemasan merupakan faktor utama terjadinya ejakulasi dini


sekunder.

Tekanan performa (misal, ketakutan akan kegagalan memuaskan


pasangan ) dapat timbul dengan beragam kejadian pemicu. DE merupakan
keadaan paling sering memicu. Jika pasien takut ereksinya tidak bertahan,
karena adanya DE atau membayangkan kegagalan tersebut, hal demikian
dapat memicu ejakulasi dini.

Namun penelusuran riwayat secara seksama diperlukan karena situasinya


kemungkinan kompleks

Karena kebanyakan dokter bukan merupakan seorang sex therapist yang


terlatih, menemukan konflik pada pasangan kemudian merujuk pasangan
ini kepada seorang dokter yang professional dengan pengalaman pada
bidang ini. Jika dokter memiliki sedikit pengalaman atau pernah menjalani
pelatihan dibidang ini atau merasa percaya diri untuk menangani hal ini,
maka dokter dapat memulai penatalaksanaan.

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Pertimbangkan mengenai anorgasmia atau Orgasme sangat tertunda pada
pasangan wanita, dimana kata tertunda merupakan relative karena rata-rata waktu bagi
wanita untuk mencapai klimaks beragam namun dari penelitian rata-rata dalam 12-25
menit. Jika seorang wanita membutuhkan waktu 3 jam untuk mencapai klimaks, maka ini
sangat diluar normal. Pada kasus orgasme tertunda atau kesulitan orgasme pada wanita,
hampir semua pria dianggap memiliki ejakulasi dini.
Pertimbangkan mengenai efek samping dari obat psikoterapi. Jika masalah
ejakulasi dini bermula dengan pemberian awal suatu obat dan ejakulasi dini berhenti
setelah obat dihentikan, dokter perlu mencurigai bahwa kedua hal ini saling berkaitan.

Beberapa pria mungkin dibingungkan dengan cairan yang keluar pada saat
perangsangan, yaitu cairan pelumas yang disekresi oleh kelenjar Cowper dan kelenjar
lainnya selama fase perangsangan. Riwayat sexual secara teliti dapat mengklarifikasi
masalah ini dan dapat memberikan keyakinan terhadap pasien mengenai apa yang
sebenarnya terjadi.
Disfungsi ereksi dapat menjadi gejala klinis dari beberapa pria yang mengalami
ejakulasi dini. Membedakan kedua permasalahan ini penting dilakukan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pria dengan ejakulasi dini dan tanpa permasalahan medis umum lainnya,
tidak ada pemeriksaan lab konvensional yang dapat membantu atau mempengaruji
pemilihan jenis terapi.
Pemeriksan kadar testosterone dan prolactin serum cocok dilakukan jika ejakulasi
dini disertai dengan permasalahan impotensi.

PENATALAKSANAAN
Terdapat beberapa pilihan terapi medis untuk ejakulasi dini. Kondisi medis umum
yang berat (seperti angina) sebaiknya diatasi terlebih dahulu; untuk tujuan diskusi ini,
pria dianggap tidak memiliki penyakit medis umum dan ejakulasi dini merupakan satusatunya permasalahnnya. Sebagai tambahan, permasalahan ereksi lainnya yang
menyertai dapat ditangani dengan beragam metode dengan keberhasilan yang sempurna
1. Melibatkan pasangan wanita sebisa mungkin dalam terapi dan sesi konseling penting
untuk mencapai hasil yang diinginkan.
2. Langkah pertama penanganan ejakulasi dini adalah untuk melenyapkan adanya
tekanan batin (berupa pikiran takut tidak dapat memuaskan pasangan) pada pria.
a.

Jika ejakulasi dini terjadi pada saat penetrasi telah berlangsung, minta kepada
pasangan tidak melakukan penetrasi hingga ejakulasi dini telah dapat
ditangani. Pria dapat melakukan stimulasi lain tanpa melakukan penetrasi.

b.

Jika pria selalu mengalami ejakulasi pada rangsangan awal atau pada
permulaan foreplay, ini merupakan masalah serius dan kemungkinan
mengindikasikan adanya ejakulasi dini primer, dimana kebanyakan
membutuhkan penanganan spesialis jiwa.

3. Pasangan diminta untuk melakukan terapi seksual, seperti teknik stop-mulai atau
tekan-henti yang dipopulerkan oleh Masters dan Johnson. Kebanyakan pasangan
merasa teknik ini berhasil. Ini juga dapat membantu pasangan wanita lebih
terangsang dan dapat memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
klimaks.
a.

Modalitas terapi lainnya yaitu dengan krim desensitasi digunakan oleh pria.
Seperti namanya krim ini dapat mengurangi stimulasi pada penis sehingga
dapat memperpanjang waktu untuk ejakulasi. Namun krim ini belum diakui
oleh FDA.

4. Jika pria relative muda dan dapat mencapai ereksi kembali setelah beberapa menit
terjadinya ejakulasi dini, biasanya ia memiliki pengendalian waktu yang lebih baik
pada hubungan sex berikutnya.
a.

Beberapa ahli menyarankan pria muda untuk melakukan masturbasi 1-2 jam
sebelum hubungan seksual direncanakan.

b.

Interval waktu untuk mencapai klimaks kedua biasanya memiliki masa laten
lebih panjang dan pria kebanyakan dapat mengendalikan lebih baik
ejakulasinya pada keadaan seperti ini.

c.

Pada orang yang lebih tua, strategi ini mungkin kurang efektif karena mereka
sulit untuk mendapatkan ereksi kedua setelah ejakulasi dini. Jika ini terjadi
maka hal tersebut dapat merusak rasa percaya diri dan mengakibatkan
impotensi sekunder.

5. Modalitas farmakologik yang dapat membantu pria dengan ejakulasi dini adalah obat
dari golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) class, obat yang
biasanya digunakan di klinik sebagai antidepressant.
a.

Beberapa antidepressant tricyclic yang mempunyai aktivitas seperti SSRI


dapat mencapai hasil yang sama.

b.

Kebanyakan obat ini memiliki efek samping yang menyebabkan kedua


pasangan wanita dan pria mengalami penundaan bermakna dalam mencapai
orgasme.

c.

Untuk alasan ini, pengobatan dengan efek samping SSRI ini telah digunakan
untuk pria yang mengalami ejakulasi dini.

FARMAKOTERAPI
Tidak ada obat yang diakui oleh FDA sebagai terapi ejakulasi dini. Namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dan obat
dengan efek samping serupa dengan SSRI, aman dan efektif digunakan untuk tujuan ini.
SSRIs merupakan obat yang paling berhasil menunda respon yang terlalu cepat pada pria
dengan ejakulasi dini. Krim desensitasi yang mengandung agen anastesi lokal dapat berguna
pada beberapa pria, namun diyakini tidak memiliki efektifitas yang baik.
Ejakulasi dini yang berkaitan dengan disfunsi ereksi (DE) dapat sembuh setelah DE
dapat berhasil ditangani. Obat untuk penanganan DE termasuk sildenafil (Viagra), vardenafil
(Levitra), tadalafil (Cialis), alprostadil (Caverject, Muse), dan, kemungkinan juga SSRI (jika
DE disebabkan oleh depresi).
Selective serotonin reuptake inhibitors
Mekanisme kerjanya dihubungkan dengan hambatan terhadap uptake neuronal dari
serotonin pada sistem saraf pusat. Beberapa penelitian pada hewan menunjukkan bahwa SSRI
memiliki efek pada reuptake neuronal dopamine dan norepinephrine.
SSRIs telah diteliti memiliki efek samping sexual, yang paling sering adalah
penundaan klimaks pada pria dan wanita. Sertraline (Zoloft), paroxetine (Paxil), dan
fluoxetine (Prozac) merupakan contoh SSRI yang berhasil menangani ejakulasi dini.
Terapi optimal untuk ejakulasi dini belum diketahui, namun dari pengalaman peneliti,
dosis tunggal sebelum hubungan intim dilakukan dapat bekerja dengan baik pada beberapa
pria. Jika dosis tunggal berhasil maka terapi jelas lebih mudah dilakukan dan memiliki efek
samping lebih kecil. Pada dosis multiple, dosis ditingkatkan secara bertahap hingga efek
terapeutik atau dosis maksmial harian telah tercapai.
KOMPLIKASI
1.

Ejakulasi dini yang berat dapat menyebabkan stress dalam perkawinan,


dimana dapat berperan dalam suatu pertengkaran rumah tangga bahkan dapat berujung
perceraian pada beberapa kasus..

2.

Konsepsi juga sulit terjadi pada kasus ejakulasi dini sebelum penetrasi
terjadi.

PENCEGAHAN
Penelitian di masa depan mungkin menilai apakah insiden ejakulasi dini pada pria
muda dapat menurun dengan edukasi seks yang lebih baik selama masa remaja. Terapi dini
disfungsi ereksi kemungkinan dapat mencegah ejakulasi dini sekunder pada pria lebih tua.
PROGNOSIS
Dengan kombinasi beberapa metode, termasuk pengobatan SSRI, memperoleh tingkat
perbaikan atau penyembuhan paling baik pada kebanyakan kasus, ketika pasangan
berkomitmen untuk bekerjasama menangani masalah ini.
Beberapa penelitian yang telah dipublikasikan juga mengindikaskan bahwa konseling
dan terapi medikamentosa dapat mencapai keberhasilan hingga 85%.
Masalah dari terapi yaitu bahwa angka relaps mencapai 20-50%. Beberapa pria
memerlukan komitmen jangka panjang dalam menjalani teknik terapi behavioral (kebiasan
jangka panjang mungkin sulit dimodifikasi). Pasien yang berhasil dengan terapi
medikamentosa (misal SSRIs) mungkin membutuhkan pengobatan seumur hidupnya, sama
seperti pasien depresi yang memerlukan obat ini seumur hidupnya untuk menghindari depresi
rekuren. Angka kegagalan jangka panjang yang tepat belum didapatkan dan tergantung durasi
dari tindak lanjut untuk pasien tertentu.

4. INFERTILITAS PRIA
DEFINISI
Infertilitas adalah suatu keadaan pasangan yang sudah menikah lebih dari satu
setengah tahun tanpa kontrasepsi, tidak punya anak. Angka satu setengah tahun
ditetapkan, karena biasanya 85 persen pasangan dalam satu setengah tahun sudah
memiliki keturunan. Ini berarti, 15 persen pasangan usia subur punya masalah ini.
Kenyataan menunjukkan, 40 persen masalah yang membuat sulit punya anak
terdapat pada wanita, 40 persen pada pria, dan 30 persen pada keduanya. Jadi, tidak benar
anggapan bahwa kaum wanita lebih bertanggung jawab terhadap kesulitan mendapatkan
anak. Walaupun masalah infertilitas tidak berpengaruh terhadap aktivitas fisik sehari-hari
dan tidak mengancam jiwa, bagi banyak pasangan hal ini berdampak besar terhadap
kehidupan berkeluarga. Sudah tentu faktor psikokultural mempengaruhi sikap pasangan
terhadap masalah ini, termasuk upaya-upaya irasional untuk punya anak. Memang apa
yang dilakukan penderita tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena ilmu kedokteran

yang mutakhir sekalipun belum dapat menjawab seluruh masalah infertilitas secara
memuaskan.
Pemeriksaan dokter terhadap pria penderita infertilitas dilakukan seperti layaknya
pada penderita pada penyakit lain, namun disertai dengan pemeriksaan sperma. Pemeriksaan ini untuk melihat potensi pria untuk membuahi. Bila ada masalah, barulah dilakukan
pemeriksaan lain yang lebih mendalam.
PENYEBAB
Seperti halnya penanggulangan penyakit pada umumnya, usaha pertama yang
selalu harus diusahakan adalah mencari penyebab infertilitas.
Evaluasi terhadap pria penderita infertilitas yang datang ke klinik infertilitas
bagian Urologi RSUPN Cipto Mangunkusumo menunjukkan, 20-25 persen penderita
tidak diketahui penyebabnya. Besar kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh faktor genetik
karena penelitian mutakhir mengarah pada adanya kelainan di kromosom. Penyebab
terbanyak infertilitas pria adalah pelebaran pembuluh darah balik/vena di sekitar buah
zakar yang disebut varikokel. Pada pemeriksaan fisik, hal ini ditemukan dalam bentuk
benjolan di bagian atas buah zakar yang akan bertambah besar dan nyata bila mengejan.
Yang lebih sering kena adalah buah zakar kiri.
Sebagian besar varikokel tidak disertai rasa sakit walaupun ada juga yang
mengeluh pegal-pegal di daerah tersebut. Varikokel ditemukan pada 40 persen penderita.
Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan salah satu pusat penanggulangan
infertilitas terkenal di Baylor College of Medicine, Amerika Serikat, yaitu 42 persen.
Penyebab lain dari infertilitas pada pria adalah sumbatan/obstruksi pada saluran sperma.
Jadi walaupun spermatozoa diproduksi dengan baik, tetap tidak dapat disalurkan.
Biasanya hal ini diakibatkan oleh terjadinya infeksi maupun bawaan dari lahir karena
tidak terbentuknya sebagian saluran sperma. Hal ini terjadi pada 15 persen penderita.
Pada 20 persen sisanya, infertilitas diakibatkan oleh berbagai faktor, misalnya
gangguan hormon, kelainan bawaan, pengaruh obat, gangguan ereksi atau ejakulasi,
radiasi, keracunan pestisida, gangguan imunologi, operasi di daerah panggul, dan lainlain.
Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab itu, beberapa hal dapat dilakukan
untuk mencegah maupun menanggulangi infertilitas.
PENCEGAHAN INFERTILITAS

Berbagai macam infeksi diketahui menyebabkan infertilitas terutama infeksi


prostat, buah zakar, maupun saluran sperma. Karena itu, setiap infeksi di daerah ini
haruslah ditangani secara serius. Beberapa zat dapat meracuni pertumbuhan sperma.
Banyak penelitian menunjukkan pengaruh buruk merokok terhadap jumlah dan kualitas
sperma. Walaupun tiap penelitian berbeda dalam menentukan jumlah batang rokok yang
berpengaruh, sudah cukup alasan bagi pria dengan jumlah dan kualitas sperma kurang
untuk berhenti merokok. Alkohol dalam jumlah banyak dihubungkan dengan rendahnya
kadar hormon testosteron yang tentu akan mengganggu pertumbuhan sperma. Mariyuana
juga dikenal sebagai salah satu penyebab gangguan pertumbuhan sperma, sehingga
penghentian penggunaan mariyuana dan alkohol merupakan usaha preventif untuk
infertilitas.
Cukup banyak obat-obatan yang mempengaruhi sperma. Oleh karena itu, beri
tahukan selengkapnya obat yang pernah dan sedang dipakai kepada dokter yang
menolong Anda.
PENANGGULANGAN
Penanggulangan terbaik adalah dengan menangani penyebabnya. Sayang, tidak
semua penyebab diketahui dan sebaliknya cukup banyak penderita yang diketahui
penyebabnya, namun tidak dapat tuntas ditanggulangi.
Infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya merupakan masalah bermakna
karena meliputi 20 persen penderita. Penanggulangannya berupa pemberian beberapa
macam obat, yang dari pengalaman berhasil menaikkan jumlah dan kualitas sperma.
Namun sebagian besar penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pembanding,
tidak menunjukkan perbaikan bermakna. Usaha menemukan penyebab di tingkat
kromosom dan keberhasilan manipulasi genetik tampaknya menjadi titik harapan di masa
datang.
Adanya penyumbatan di saluran sperma hanya dapat dipastikan dengan operasi.
Bila sumbatan tidak begitu parah, dengan bantuan mikroskop dapat diusahakan
koreksinya. Pada operasi yang sama, dapat juga dipastikan ada atau tidaknya produksi
sperma di buah zakar.
Sesuai dengan kelainan yang ditemukan, maka penyebab lain bisa diatasi dengan
koreksi hormonal dan penghentian obat-obatan yang diduga menyebabkan gangguan
sperma.

Namun, usaha-usaha di atas ada kalanya belum berhasil untuk meningkatkan


kualitas dan kuantitas sperma, sehingga diperlukan teknik reproduksi bantuan. Termasuk
dalam hal ini adalah inseminasi bantuan dan inseminasi in-vitro (IVF/bayi tabung), yang
sangat membantu mengatasi masalah infertilitas pria.
Misalnya, pria dengan jumlah sperma hanya 5-10 juta/cc (dari normal 20 juta)
dapat mencoba inseminasi buatan. IVF hanya membutuhkan sperma 500.000 dengan
angka kehamilan 30-35 persen.
Kemajuan yang paling menakjubkan dalam 7-8 tahun terakhir adalah IVF dengan
teknik ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection) yang hanya membutuhkan beberapa
spermatozoa untuk disuntikkan ke dalam sel telur ibu. Tingkat keberhasilannya hampir
sama.

GANGGUAN FUNGSI SEKSUAL


1. PRIAPISMUS
DEFINISI
Priapismus Adalah ereksi penis yang berkepanjangan tanpa diikuti dengan hasrat
seksual dan sering disertai dengan rasa nyeri. Istilah priapismus berasal dari kata Yunani
priapus yaitu nama dewa kejantanan pada Yunani kuno. Priapismus merupakan salah satu
kedaruratan di bidang urologi karena jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat
menimbulkan kecacatan yang menetap berupa disfungsi ereksi.
ETIOLOGI
Menurut etiologinya priapismus dibedakan dalam 2 macam, yaitu : priapismus
primer atau idiopatik yang belum jelas penyebabnya sebanyak 60% dan priapismus
sekunder.
Priapismus sekunder dapat disebabkan oleh : (1) kelainan pembekuan darah
(anemi bulan sabit, leukemia, dan emboli lemak), (2) trauma para perineum atau
genitalia, (3) gangguan neurogen (pada saat menjalani anestesi regional atau pada
penderita paraplegia), (4) penyakit keganasan, (5) pemakaian obat-obatan tertentu
(alkohol, psikotropika, dan antihipertensi), dan (6) pasca injeksi intrakavernosa dengan
zat vasoaktif.

KLASIFIKASI
Ereksi penis yang berkepanjangan pada priapismus dapat terjadi karena (1)
gangguan mekanisme outflow (veno-oklusi) sehingga darah tidak dapat keluar dari
jaringan erektil, atau (2) adanya peningkatan inflow aliran darah arterial yang masuk ke
jaringan erektil. Oleh karena itu secara hemodinamik, priapismus dibedakan menjadi (1)
priapismus tipe veno oklusi atau low-flow dan (2) priapismus tipe arterial atau high flow.
Kedua jenis itu dapat dibedakan dengan memperhatikan gambaran klinis, laboratorium,
dan pemeriksaan pencitraan ultrasonografi color doppler dan arteriografi.
Priapismus jenis iskemik ditandai dengan adanya iskemia atau anoksia pada otot
polos kavernosa. Semakin lama ereksi, iskemia semakin berat, dan setelah 3-4 jam,
ereksi dirasakan sangat sakit. Setelah 12 jam terjadi edema interstitial dan kerusakan
endotelium sinusoid. Nekrosis otot polos kavernosa terjadi setelah 24-48 jam. Setelah
lebih dari 48 jam terjadi pembekuan darah dalam kavernosa dan terjadi destruksi endotel
sehingga jaringan-jaringan trabekel kehilangan daya elastisitasnya.
Jika tidak diterapi, detumesensi terjadi setelah 2-4 minggu dan otot polos yang
mengalami nekrosis diganti oleh jaringan fibrosa sehingga kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan ereksi maksimal.
Priapismus jenis non-iskemia banyak terjadi setelah mengalami suatu trauma
pada daerah perineum atau setelah operasi rekonstruksi arteri pada disfungsi ereksi.
Prognosisnya lebih baik daripada jenis iskemik dan ereksi dapat kembali seperti
sediakala.
Perbedaan Priapismus Iskemik dan Non Iskemik
Onset
Nyeri
Ketegangan Penis
Darah Kavernosa
Warna
pO2
pCO2
Ph
Color Doppler
Arteriografi
DIAGNOSIS

Low flow (statik/iskemik)


High flow (non iskemik)
Pada saat tidur
Setelah trauma
Mula-mula ringan menjadi Rinagn sampai sedang
sangat nyeri
Sangat tegang

Tidak terlalu tegang

Hitam
< 30 mm Hg
> 80 mm Hg
< 7,25
Tidak ada aliran
Pembuluh darah utuh

Merah
> 50 mm Hg
< 50 mm Hg
> 7,5
Ada aliran, dan fistula
Malformasi arterio-vena

Anamnesis dan pemeriksaan yang teliti diharapkan dapat mengungkapkan


etiologi priapismus. Pada pemeriksaan lokat didapatkan batang penis yang tegang tanpa
diikuti oleh ketegangan pada glans penis. USG Doppler yang dapat mendeteksi adanya
pulsasi arteri kavernosa dan analisis gas darah yang diambil intrakavernosa dapat
membedakan priapismus jenis ischemic atau non-ischemic.
TERAPI
Pada prinsipnya terapi priapismus adalah secepatnya mengembalikan aliran darah
pada korpora kavernosa yang dicapai dengan cara medikamentosa maupun operatif.
Sebelum tindakan yang agresif, pasien diminta untuk melakukan latihan dengan
melompat-lompat dengan harapan terjadi diversi aliran darah yang dari kavernosa ke otot
gluteus. Pemberian kompres simpatik sehingga memperbaiki aliran darah kavernosa.
Selain itu pemberian hidrasi yang baik dan anestesi regional pada beberapa kasus dapat
menolong. Jika tindakan di atas tidak berhasil mungkin membutuhkan aspirasi, irigasi,
atau operasi.
1. Aspirasi, dan Irigasi Intrakavernosa.
Aspirasi darah kavernosa diindikasikan pada priapismus non iskemik atau
priapismus iskemik yang masih baru saja terjadi. Priapismus iskemik derajat berat
yang sudah terjadi beberapa hari tidak memberikan respon terhadap aspirasi dan
irigasi obat ke dalam intrakavernosa; untuk itu perlu tindakan operasi.
Aspirasi dikerjakan dengan memakai jarum scalp vein no 21. Aspirasi sebanyak 10-20
ml darah intrakavernosa, kemudian dilakukan instilasi 10-20 g epinefrin atau 100200 g fenilefrin yang dilarutkan dalam 1 ml larutan garam fisiologis setiap 5 menit
hingga perlu mengalami detumensensi. Jika dilakukan sebelum 24 jam setelah
serangan, hampir semua kasus dapat sembuh dengan cara ini. Selain obat-obatan
tersebut, dapat pula dipakai instilasi streptokinase pada priapismus yang telah
berlangsung 14 hari yang sebelumnya telah gagal dengan instilasi adrenergik.
2. Jalan pintas (shunting) keluar dari korpora kavernosa.
Tindakan ini harus difikirkan terutama pada priapismus veno-oklusi atau yang
gagal setelah terapi medikamentosa. Hal ini untuk mencegah timbulnya sindroma
kompartemen yang dapat menekan arteria kavernosa dan berakibat iskemia korpora
kavernosa.
Beberapa tindakan pintas itu adalah : (1) shunting korpora-glanular, (2)
shunting korpora-spongiosum, yaitu dengan membuat jendela yang menghubungkan

korpus spongiosum dengan korpus kavernosum penis, dan (3) shunting safenokavernosum dengan membuat anastomosis antara korpus kavernosum dengan vena
safena.
2. PEYRONI
DEFINISI
Penyakit Peyronie adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terbentuknya plak
atau benjolan keras pada penis. Plak bisa terbentuk di bagian atas maupun di bagian
bawah penis serta di dalam lapisan yang mengandung jaringan erektil. Penyakit ini
bermula sebagai peradangan lokal dan bisa berkembang menjadi jaringan parut yang
keras.
PENYEBAB
Banyak ahli yang merasa yakin bahwa plak pada penyakit ini terbentuk setelah
terjadinya trauma (misalnya pemukulan) yang menyebabkan perdarahan lokal di dalam
penis. Daerah yang mengalami kerusakan mengalami penyembuhan yang lambat atau
abnormal akibat trauma yang berulang dan sedikitnya jumlah darah yang sampai ke
daerah tersebut. Jika keadaan ini terus berlangsung selama bertahun-tahun, maka plak
bisa berkembang menjadi jaringan fibrosa yang keras, bahkan terjadi perkapuran atau
pengendapan kalsium.
Beberapa ahli mengatakan bahwa penyakit ini merupakan penyakit autoimun.
Sejumlah obat telah menyebutkan penyakit Peyronie sebagai efek sampingnya:

Obat anti hipertensi dan obat jantung (beta bloker) - Obat anti kejang (fenitoin)
Obat untuk sklerosis multipel (interferon).
Tetapi kemungkinan terjadinya penyakit Peyronie akibat mengkonsumsi obat-

obat tersebut sangat kecil. Penyakit ini terjadi pada 1% pria. Paling sering menyerang
pria setengah baya, tetapi bisa juga ditemukan pada pria yang lebih muda dan pria yang
lebih tua. Sekitar 30% penderita mengalami pembentukan fibrosa di bagian tubuh
lainnya (misalnya kaki atau tangan).
GEJALA
Gejalanya timbul secara perlahan. Pada kasus yang berat, plak yang mengeras
menyebabkan berkurangnya kelenturan penis, sehingga timbul nyeri dan ketika ereksi
penis menjadi melengkung.

Lama-lama nyeri akan berkurang tetapi karena penis

melengkung, penderita mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan seksual. Pada


kasus yang lebih ringan, peradangan akan membaik tanpa disertai nyeri yang berarti
maupun melengkungnya penis.
Plak pada puncak batang penis menyebabkan penis melengkung ke atas, plak
pada bagian bawah menyebabkan penis melengkung ke bawah. Beberapa penderita
memiliki plak di bawah dan di atas sehingga terbentuk lekukan dan penis menjadi lebih
pendek.
Nyeri, penis yang melengkung dan stres emosional menyebabkan penderita tidak
dapat melakukan hubungan seksual. Jaringan fibrosa juga bisa menyebar ke jaringan
erektil (korpus kavernosus) sehingga tidak terjadi ereksi.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
PENGOBATAN
Penyakit Peyronie bisa menghilang dengan sendirinya setelah beberapa bulan.
Bisa juga diberikan suntikan steroid pada daerah yang terkena. Yang lebih sering terjadi
adalah bahwa jaringan fibrosa harus dibuang melalui pembedahan. Pembedahan bisa
menyembuhkan penyakit ini tetapi kadang menyebabkan pembentukan jaringan parut
dan memperburuk keadaan. Pembedahan juga bisa menyebabkan impotensi.
Pembedahan hanya dilakukan jika penis sangat melengkung sehingga penderita tidak
dapat melakukan hubungan seksual.

3. ANDROPAUSE
Penurunan kadar testosteron pada pria usia lanjut dapat menyebabkan
andropause. Hal itu menyebabkan pelbagai perubahan seperti mudah letih, lesu, lemah,
kaku pada otot, sendi dan tulang, mengalami osteoporosis, rambut rontok, kulit kering,
gairah seksual menurun, penis mengecil, bahkan bisa terjadi impotensi dan masalah
sirkulasi darah. Akibatnya timbul rasa cemas, kurang percaya diri, sulit tidur, mudah
marah, yang berlanjut dengan depresi.
Testosteron, hormon yang diproduksi di testis dan kelenjar adrenal berfungsi
dalam pembentukan sperma dan bersama hormon pria lain merangsang pematangan
organ seksual, menyebabkan pembesaan laring dan penebalan pita suara sehingga suara

menjadi rendah. Testosteron juga mempengaruhi aktivitas metabolisme dalam tubuh


seperti produksi sel darah, pembentukan massa tulang dan otot, metabolisme lipid,
metabolisme karbohidrat, fungsi hati, perkembangan kelenjar prostat, dan pertumbuhan
rambut. Tak heran, berkurangnya hormon seiring pertambahan usia menyebabkan
kondisi fisik merosot. Untungnya andropause terjadi perlahan-lahan dan mulainya sangat
bervariasi. Ada yang mulai di usia 40-an, 50-an, 60-an, bahkan setelah 65 tahun.
Istilah lain dari andropause adalah partial androgen deficiency in ageing
male(PADAM) atau male menopause.
Konsentrasi testosteron pada sekitar umur 20 tahun pria dalam darah berada pada
nilai tertinggi, antara 800-1200 nanogram/desiliter. Konsentrasi ini dipertahankan sekitar
10-20 tahun. Setelah itu menurun sekitar satu persen per tahun, dan pada testosteron
bebas terjadi penurunan 1,2 persen per tahun. Namun, hal ini bervariasi antara individu,
tergantung dari pelbagai faktor.
Kebanyakan testosteron dalam darah diikat oleh protein, hanya dua persen yang
berasimilasi dengan sel tubuh. Protein yang banyak mengikat testosteron adalah sex
hormone binding globin (SHBG). Jumlah protein ini meningkat sesuai pertambahan usia.
Menurunnya konsentrasi testosteron atau meningkatnya SHBG berakibat sama, yaitu
berkurangnya keperkasaan pria.
Pada pria usia lanjut dengan hipogonadisme (penurunan konsentrasi testosteron
dalam darah) dan kekurangan hormon pertumbuhan, terapi pemberian hormon
testosteron dan hormon pertumbuhan akan memperbaiki komposisi tubuh, meningkatkan
kekuatan otot serta kualitas hidup. Pada gilirannya mengurangi angka kesakitan dan
angka kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard E; Kliegman, Robert M dan Jenson, Hal B. 2004. Nelson Textbook of
Pediatric 17th edition. Philadelphia: SAUNDERS
Despopoulos, Agamemnon dan Silbernagl, Stefan. 2003. Color Atlas of Physiology. New
York: Thieme
Guyton, Arthur C. 1987. Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Jakarta: EGC
Junqueira, L. Carlos, dkk. 1997. Histologi Dasar.Jakarta: EGC
Robbins, Stanley L, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
Sadler,T.W. 2000. Embriologi Kedokteran Langman : Edisi ke-7. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidayat, R & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.
Tanagho, Emil A dan McAninch, Jack W. 2008. Smiths General Urology 17 edition. San
Francisco: Mc Graw Hill
http://www.gizi.net/cgi-bin
http://majalahkesehatan.com/tes-kesuburan-pria-dengan-analisis-semen/
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/1de9b4c3e80e5f9ba1503091cb62d93763901616
.pdf

Anda mungkin juga menyukai