Anda di halaman 1dari 8

BEBERAPA KENDALA DALAM MEMPRODUKSI PESTISIDA NABATI

W. Darajat Natawigena
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian UNPAD
(Disajikan dalam Seminar Nasional PHT Promo 2000 tanggal 29 Juni 200)

I PENDAHULUAN
Dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan kualitas produk yang berorientasi eksport,
khususnya kekuatan ekonomi di Eropa dan AS yang dengan ketat telah mensyaratkan
peraturan bebas residu pestisida, maka aplikasi perstisida nabati pada tanaman hias dan
hortikultura, perlu memperoleh perhatian untuk dikembangkan, karena relatif tidak
mencemari lingkungan, efek residunya relatif pendek dan kemungkinan hama tidak
mudah berkembang menjadi tahan teerhadap pesrisida nabati. Di lain pihak,
kebijaksanaan Pemerintah yang memperhatikan kelestarian lingkungan secara global dan
keprihatinan kita tentang akibat samping yang tidak diinginkan dari penggunaan pestisida
anorganik sintetik, mendorong minat untuk mengembangkan pestisida nabati yang lebih
ramah lingkungan sehingga dapat diterima sebagai salah satu komponen penting dalam
PHT (Pengendalian Hama Secara Terpadu).
Prospek pengembangan pstisida nabati di Indonesia cukup baik karena ditunjang oleh
sumber daya alam yang berlimpah. Indonesia memiliki salah satu kebun raya terbaik di
dunia. Masih banyak tanaman di Kebun Raya Bogor maupun cabangnya di Purwodadi
yang manfaatnya belum diketahui sepenuhnya. Sifat dari tumbuhan yang berkerabat
dekat dengan tumbhan yang telah diketahui mengandung bahan aktif pestisida perlu
diteliti. Salah satu hal menarik (yang mungkin patut disayangkan) ialah bahwa banyak
peneliti di negara-negara lain, missal Jepang, Jerman dan Kanada, yang mengambil
contoh tumbuhan dari Kebun Raya Bogor untuk diteliti kandungan senyawa bioaktifnya.
Di beberapa negra maju, jika ditemukan bahan alami yang berpotensi sebagai pestisida
maka lebih dulu diidentifikasi ssenyawa (bahan aktif) apa yang paling berperan. Sifat
fisik dan kimiawi dari senyawa tersebut dipelajari sebagai prototip untuk dapat disintetis
di laboratorium. Dengan senyawa murni dilakukan pengujian-pengujian meliputi daya
bunuhnya, cara kerjanya (mode of action), daya racunnya terhadap hewan bukan sasaran
dan sifat-sifatnya di lingkungan. Bentuk formulasi dipelajari untuk dapat menghasilkan
produk yang efektif. Dengan prosedur demikian diperoleh pestisida yang jelas
spesifikasinya, sehingga dapat diproduksi secara industri.
Dengan demiian hutan trofika dan salah satu kebun raya terbaik di dunia, sebenarnya kita
memiliki kesempatan yang baik dalam pengembangan produksi pestisida nabati. Namun
demikian dalam rangka pengembangan produksi pestisida nabati kita masih mengalami
beberapa kendala dan beberapa hambatan, serta masih kurangnya pemahaman tentang
pengembangan pestisida nabati yang berorientasi industri maupun yang berorientasi pada

penerapan usaha tani berinput rendah. Dalam rangka pengembangan pestisida nabati,
masih diperlukan penelitian- penelitian yang mendasar tentang mekanisme kerja masingmasing jenis pestisida nabati, masalah pengaruh suhu, sinari matahari (radiasi UV),
kelembaban, bagaimana mengawetkan, standarisasi dan lain-lain. Di samping itu juga
diperlikan strategi pengembangan pemanfaatan pestisida nabati yang dapat diproduksi
secara murah dan dapat diterapkan di masyarakat.
II. KENDALA PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI
Kurang berkembangnya penggunaan pestisida nabati selain kalah bersaing dengan pestisida sintetis juga
karena ekstrak dari tanaman biasanya kadar bahan aktifnya tidak tetap, bervariasi dan tidak stabil. Nikotin,
walaupun sudah lama diketahui sebagai pestisida, tetapi kurang diminati karena hanya efektif terhadap
jenis-jenis serangga hama kecil yang berkulit tipis. Di Indonesia Rotenon, yang berasal dari tanaman D.
elliptica, terdesak oleh pestisida sintetik karena harganya lebih murah. Untuk memasyarakatkan kembali
penggunaan pestisida nabati, diperlukan kegiatan penelitian yang berkelanjutan, mengubah kebiasaan
petani (social-budaya), penguasaan teknologi dan mampu bersaing di pasaran.
1. Kegiatan Penelitian Pestisida Nabati Masih Belum Terpadu

Saat ini kerjasama antar disiplin ilmu di perguruan tinggi (khususnya UNPAD) untuk
mengembangkan pestisida nabati masih kurang. Hal ini terbukti dari belum terbentuknya
unit jasa dan industri (UJI) tentang pestisida yang sebenarnya pembentukan UJI ini telah
diharapkan oleh DIKTI semenjak Desember 1999. beberapa disiplin ilmu yang
diperlukan untuk mengembangkan pestisida nabati secara komersial di antaranya adalah :
Ahli Ilmu Hama & Penyakit Tumbuhan; Ahli Kimia (Kimia Organi & Anorganik); Ahli
Biologi; Ahli Ekonomi; dll.
Pelaksanaan penelitian terhadap pestisida masih terputus-putus, menyebabkan informasi dan data yang
dihasilkan belum dapat dijadikan dasar bagi pengembangan pestisida nabati selanjutnya. Oleh karena itu,
diperlukan suatu penelitian yang berkelanjutan dan terpadu, mulai dari apek tanamannya sendiri sampai
kepada aspek pemasaran, sehingga dapat sitentukan arah dan strategi dari pengembangan pemenfaatan
pstisida nabati secara jelas dan tuntas.
2. Mahalnya Biaya Untuk Mengembangkan pestisida Nabati

pengembangan pestisida nabati dari mulai pemilihan jasad sasaran, pemilihan jenis bahan
aktif, penyediaan bahan baku, ekstraksi, pemurnian, pembuatan formulasi, paten,
registrasi, pabrikasi dan pemasaran, memerlukan waktu dan biaya yang sangat besar.
Karena menyangkut biaya yang mahal maka dalam pelaksanaannya diperlukan suatu
kerjasama dengan pengusaha. Sampai saai ini masih sedikit pengusaha yang tertarik
untuk mengembangkan pestisida nabati, hal ini dimungkinkan karena tidak jelasnya
jaminan ketersediaan bahan baku juga karena terlalu mahalnya biaya pengurusan
perizinan serta panjangnya birokrasi yang perlu ditempuh untuk sampai dapat
memesarkan suatu jenis produk racun hama/pestisida nabati.
3. Kebiasaan Petani (Sosial-Budaya) dalam Menggunakan Pestisida Sintetik

Dalam periode ini masih banyak petani beranggapan bahwa penggunaan pestisida sintteik
dapat menjamin keselamatan hasil tanamannya. Oleh karena itu, ada atau tidak ada hama

terutama pada tanaman ekonomis dilakukan aplikasi pestisida (hal ini menyalahi aturan
strategi PHT). Sebagai akibat dari pengertian yang dianut tersebut, muncul dampak
negatif yang tidak diharapkan. Kebiasaan penggunaan pestisida sintetik dengan sistem
kalendeer tersebut merupakan masalah yang sangat serius dalam rangka pemasyarakatan
penggunaan dan pemanfaatan pestisida nabati. Untuk mengubah kebiasaan mereka perlu
ditingkatkan kegiatan penyuluhan mengenai pemanfaatan pestisida nabati, dan mereka
perlu bukti bahwa pestisida nabati memang lebih baik dari pestisida sintetik. Untuk itu
perlu waktu yang relatif lama, kerja keras dari semua pihak dan kesadaran petani untuk
kembali memanfaatkan dan menggunakan pestisida nabati.
4. Rendahnya Penguasaan Teknologi Pembuatan Pestisida Nabati

Masih terbatasnya penguasaan teknologi dalam pembuatan pestisida nabati, dari mulai
teknik penyediaan bahan baku sampai produksi. Sampai saat ini tanaman penghasil
pestisida nabati belum ada yang dibudidayakan petani. Belum dibudidayakannya tanaman
tersebut di Indonesia antara lain disebabkan oleh penguasaan teknologi yang masih
rendah, baik teknik budidayanya maupun teknologi pengolahan produk siap pakai. Oleh
karena itu untuk memasyarakatkan penggunaannya, pemilihan bahan baku, teknik
budidaya, manipulasi bahan dan atau teknoligo tepat guna lainnya perlu diteliti dan dikaji
sebelum dikembangkan untuk pestisida nabati.
5. Pestisida Sintetik Mendominasi Pasar
Pestisida sintetik mudah dipakai dan mudah didapat serta hasilnya segera terlihat merupakan suatu
keunggulan yang telah mendesak/melenyapkan penggunaan pestisida nabati di pasaran. Juga dari segi
harga kalah bersaing, sebab pestisida sintetik dibuat dari bahan kimia dan bahan bakunya tersedia dalam
jumlah banyak menyebabkan harga produk relatif lebih murah. Sedangkan pestisida nabati yang dibuat dari
bahan alamiah dan bahan bakunya terbatas (belum dibudidayakan secara luas) menyebabkan harga
produknya relatif mahal.

III. PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI SECARA INDUSTRI


Pengembangan industri pestisida nabati sebenarnya tidak berbeda jauh dengan
pengembangan industri pestisida sintetis. Perbedaannya terletak pada cara memperoleh
bahan aktif. Pada industri pestisida nabati, bahan aktif telah disintesa oleh tumbuhan dan
tinggal dilakukan proses ekstraksi. Selanjutnya adalah proses yang sama yaitu pembuatan
formulasi, mendaftarkan paten, malakukan pengujian, registrasi dan memproduksi
pestisida itu sendiri.
1. Penyediaan bahan aktif

Bahan aktif dari tumbuhan dengan pelarut tertentu; setelah ekstraksi seringkali diikuti
dengan proses teertentu untuk meningkatkan kadar bahan aktifnya, kemudian ekstrak
dikemas dalam formulasi yang sesuai. Saat ini proses ekstraksi dengan pelarut organic
merupakan proses yang mahal sehingga harga formulasi pestisida nabati tidak selalu
murah daripada harga formulasi pestisida sintetik. Harga formulasi pestisida nabati akan
makin mahal bila di negara produsen formulasi tersebut pasokan bahan mentah
(tumbuhan sumber ekstrak, pelarut untuk ekstraksi dan bahan tambahan untuk formulasi)

terbatas. Untuk penyediaan bahan aktif dapat dipilih gabungan beberapa senyawa bioaktif
dalam bentuk teknis berupa ekstrak. Bahan aktif ini lebih ekonomis penyediaannya dan
diduga mempunyai keuntungan memperlambat timbulnya resistensi terhadap senyawasenyawa bioaktifnya.
2. Pembuatan formulasi
Kandungan bahan aktif perlu diatur sedemikian rupa agar formulasi yang diperoleh selain
stabil juga mudah larut dalam air. Ke dalam formulasi juga ditambahkan bahan pelarut,
bahan pengemulsi serta bahan pembawa. Formulasi yang diperoleh kemudian diuji untuk
menentukan sifat fisik dan kimia serta ketahanannya pada penyimpanan.
3. Paten
Pengembangan suatu formulasi pestisida nabati memerlukan waktu lama dan dana yang
sangat besar. Untuk itu telah dimintakan perlindungan hokum atas proses pembuatan
formulasi pestisida dalam bentuk paten ke Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek
atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Permohonan dapat diajukan dengan
melengkapi persyaratan administrasi berupa surat permintaan paten dan persyaratan fisik
berupa uraian penemuan.
4. Pengujian efikasi dan toksisitas
Pengujian efikasi formulasi perlu dilakukan di laboratorium sebagai uaya mengendalikan
mutu formulasi yang diperoleh. Uji toksikologi juga perlu dilakukan untuk mengetahui
tingkat toksisitas pestisida nabati terhadap mamalia dan hewan bukan sasaran lainnya.
5. Registrasi
Formulasi pestisida perlu diproses dan didaftarkan di Komisi Pestisida. Kendala yang
dihadapi dalam proses registrasi diantaranya adalah dalam melengkapi data toksikologi.
Tidak seperti pestisida sintetis, literature yang tersedia untuk data toksikologis mamalia
dan lingkungan untuk pestisida nabati sangat terbatas. Perlu dilakukan kerjasama dengan
lembaga-lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian toksikologi jangka
pendek dan jangka panjang.
6. Produksi
Dalam rangka pembangunan pabrik, perlu dilakukan studi perbandingan ke pabrik
pestisida yang telah maju di luar negeri. Juga perlu dipelajari cara-cara penanganan
limbah industri dari pestisida nabati tersebut.
IV. PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI SECARA SEDERHANA
Yang dimaksud dengan pengembangan pestisida nabati secara sederhana adalah
memanfaatkan pestisida nabati yang berorientasi pada penerapa usaha tani berinput

rendah. Para petani sering menggunakan sediaan sederhana tumbuhan untuk prngrndalian
hama. Pengetahuan tersebut biasanya diwarisi dari generasi sebelumnya atau diperoleh
dari petani tetangganya, dan bahan tumbuhan yang digunakan adalah yang mudah
diperoleh di sekitar lahan pertanian atau tempat tinggalnya. Pengetahuan tersebut perlu
diteliti kembali dan diuji keampuhannya oleh Perguruan Tinggi, untuk disempurnakan
dan dibuat standarisasinya.
Cara sederhana pemanfaatan pestisida nabati yang umum dilakukan oleh petani di
Indonesia dan di negara berkembang lainnya adalah penyemprotan cairan perasan
tumbuhan (ekstraksi dengan air), pengolahan sederhana, penempatan langsung atau
penyebaran bagian tumbuhan di tempat-tempat tertentu pada lahan pertanaman,
pengasapan (pembakaran bagian tanaman yang mengandung bahan aktif pestisida),
penggunaan serbuk tumbuhan untuk mengendalikan hama di penyimpanan, dan
pembuatan pestisida nabati dengan cara fermentasi.
1. Penggunaan cairan perasan tumbuhan
Sebelum insektisida anorganik sinteetik digunakan secara luas, para petani di Jawa sering
menggunakan cairan perasan daun tembakau dan akar tuba untuk mengendalikan kutu
tanaman dan beberapa jenis hama ulat pada tanaman palawija dan sayuran tertentu.
Cairan perasan umbi gadung (Dioscorea hispida) dan biji anona (Annona reticulate)
sering digunakan oleh petani di Jawa Barat untuk mengendalikan berbagai jenis hama
ulat. Petani sayur di daerah Pangalengan, Jawa Barat pernah menggunakan cairan perasan
kacang babi (Mucuna sp.) untuk mengendalikan ulat grayak (Spodoptera exigua) pada
bawang. Salah satu pondok pesantren di Ciwidey Al Ittifaq, membuat fungisida nabati
dengan cara menggiling cikur (kencur) dan bawang putih kemudian diperas untuk
mendapatkan cairannya. Untuk mengendalikan jamur cairan cikuer dan bawang putih
tersebut dicampur dulu dengan air. Air rebusan biji mahoni (Swietenia macrophylla) di
daerah Lebak, Jawa Barat, sering digunakan untuk mengendalikan hama kepindinng
tanah (Scotinophara cinerea) dan walang sangit (Leptocorixa acuta) pada tanaman padi.
Sejumlah petani padi di daerah Yogyakarta menggunakan campuran cairan perasan daun
banglai (Zingiber casswnunar) dan jeringau (Acorus calamus) untuk mengusir jenis hama
wereng.

Alkaloid Dioscorine dalam umbi gadung dan alkaloid Nicotine dalam daun tembakau
bersifat cukup polar dan mudah diekstraksi dengan menggunakan air biasa. Namun,
kemampuan air dalam mengekstrak bahan aktif pestisida dari tumbuhan umumnya
terbatas, karena senyawa aktif tersebut merupakan senyawa organic yang kesetimbangan
kepolarannya umumnya lebih cenderung non polar. Sehingga dalam ekstraksi dengan air
diperlukan lebih banyak bahan tumbuhan bila dibandingkan dengan ekstraksi dengan
bahan pelarut organic. Namun demikian, kelebihan bahan yang diperlukan tersebut
mungkin masih lebih murah dari pada perbedaan biaya antara ekstraksi dengan
menggunakan pelarut organic dan ekstraksi dengan air. Bahan aktif pestisida dalam
tumbuhan tertentu, terutama dalam biji yang mengandung cukup banyak minyak, dapat

diekstrak secara lebih baik menggunakan air yang ditambah pengemulsi (missal Triton
0.2 %). Bila harga pengemulsi tersebut dirasakan mahal, sebagai gantinya dapat
digunakan deterjen bubuk (1 g/lt air). Cairan perasan pestisida dari biji sejumlah
tumbuhan Meliaceae, seperti Azadirachta indica, Melia excelsa serta dari biji tumbuhan
Annonaceae, seperti Annona squamosa, A. glabra, dan A. reticulate dapat dibuat dengan
cara sederhana tersebut.
2. Pengolahan Sederhana
Pak keme, seorang anggota Kelompok Tani Marga Rahayu Desa Jangraga Kecamatan
Padaherang Kabupaten Ciamis, telah berhasil membuat rodentisida nabati . rodentisida
nabati tersebut dioleh secara sederhana dari bahan umbi gadung (Dioscorea hispida),
buah aren (Arenga pinnata), singkong (Manihot utilissima), nenas (Ananas sativus) dan
kelapa (Cocos nucifera). Cara pembuatannya adalah sebagai berikut : Buah aren dipotong
dua dan direbus agak lama, setelah itu buah-buah arennya diangkat, dan masukkan umbu
gadung, singkong dan nenas yang telah dicincang ke dalam air rebusan buah aren tadi.
Kemudian dimasak sambil diaduk-aduk sampai matang dan terbentuk seperti agar.
Setelah itu didinginkan, sebelum diumpankan di lapangan terlebih dahulu ditaburi kelapa
parut. Kabarnya campuran tersebut disuaki oleh tikus dan sekaligus membunuhnya.
3. Penempatan Langsung
beberapa bahan tumbuhan disebarkan atau ditempatkan secara langsung untuk mengusir
hama dari pertanaman tertentu. Sebagai contoh, kulit batang suren (Toona sureni)
digunakan oleh petani di Jawa Barat untuk mengusir hama walang sangit pada tanaman
padi. Di daerah persawahan pasang surut di Delta Upang, Sumatera Selatan, daun serai
(Andropogon nardus) disebarkan di pematang saawah untuk mengusir hama padi. Di
beberapa daerah di Jawa Timur, kulit buah durian diletakkan dibawah balai-balai untuk
mengusir kutu busuk Cimex lectularius.
4. Pengasapan
Pengendalian hama dengan cara pembakaran bagian tanaman yang diduga mengandung
bahan yang dapat membunuh atau mengusir serangga hama lebih terbatas bila
dibandingkan dengan penggunaan cairan perasan tumbuhan. Sebagai contoh, di Jawa
daun Achasma walang Val. (Zingiberaceae) setengah kering dibakar pada sudut-sudut
sawah untuk mengusir sejenis walang sangit Leptocorixa acuta dan asap bakaran kulit
buah duku kering dilaporka dapat megusir nyamuk (Heyne, 1987).
5. Penggunaan Serbuk Tumbuhan
Serbuak daun srikaya (Annona squamosa) dilaporkan digunakan untuk melindungi bijibijian yang disimpan. Selain itu biji srikaya dapat digunakan untuk embasmi kutu anjing
(Heyne, 1987), serta campuran serbuk biji srikaya dan minyak kelapa di Jawa digunakan
untuk membuhuk kutu kepala Pediculus humanus L.

6. Pembuatan pestisida nabati dengan fermentasi


Pembuatan pestisida nabati melalui fermentasi telah dilakukan di Pondok Pesantren Al
Ittifaq di daerah Ciwidey. Insektisida nabati dibuat dengan cara mencampurkan kacang
babi, gula merah, bawang putih, bawang merah, cabe rawit, temu lawak dan MFA
(mikroorganisme fermentasi alami). MFA tersebut mengandung bakteri Saccharomyces
sp., Lactobacillus sp., Cellulomonas sp. dan Rhizobium sp. Semua bahan tadi digiling lalu
dicampur dengan air beras, lalu dibiarkan selama 14 hari. Pestisida tersebut kabarnya
ampuh dalam mengendalikan Plutella xylostella yang menyerang kubis.
Selain contoh-contoh temuan pestisida nabati yang telah diuraikan di atas, sebenarnya
masih banyak temuan-temuan pestisida nabati lain yang dikembangkan sendiri oelh
kalangan masyarakat secara sederhana yang berorientasi pada penerapan usahan tani
berinput rendah, namun biasanya informasi tentang formulasi dan pembuatannya kurang
lengkap. Hal ini diduga menyangkut masalah hak paten dari penemu pestisida tersebut.
Sehingga perlu suatu sinergi kerjasama antara penemu pestisida nabati dengan Llembaga
Pemerintah atau Perguruan Tinggi, Lembagai Swadaya Masyarakat dan Pengusaha, agar
pestisida nabati tersebut dapat dikembangkan, dan dapat memasyarakat dan dapat
diproduksi secara massal.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Beberapa kendala dalam pengembangan pestisida nabati di Indonesia antara lain adalah :
kegiatan penelitian antar disiplin ilmu ahli pestisida masih belum terpadu; Masih sedikit
pengusaha yang tertarik untuk mengembangkan pestisida nabati, karena ketidakjelasan
jaminan penyediaan bahan baku serta bahan aktif dari tanaman yang tidak sama/tetap,
bervariasi dan tidak stabil; Terlalu mahalnya biaya pengurusan perizinan serta
panjangnya birokrasi yang perlu ditempuh untuk estisida nabati; Masih berakarnya
ketergantungan dan kebiasaan petani (social-budaya) dalam menggunakan pestisida
sintetik; Masih rendahnya penguasaan teknologi pembuatan pestisida nabat: Pestisida
sintetik telah mendominasi pasar daripada pestisida nabati dan masih kurangnya
kesadaran masyarakat tentang manfaat penggunaan pestisida nabati yang lebih ramah
lingkungan.
Indonesia dengan kekayaan sumber daya yang tidak ternilai besarnya, mempunyai
potensi untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman penghasil pestisida nabati. Dalam
rangka pengembangan pembangunan dan pemanfaatan pestisida nabati perlu dilakukan
penelitian yang berkelanjutan dan terpadu mulai dari aspek tanamannya hingga aspek
pemasarannya, sehingga arah dan strategi pengembangannya dapat diselesaikan secara
jelas dan tuntas. Pengetahuan pembuatan pestisida nabati yang ada di kalangan
masyarakat perlu diteliti kembali dan diuji keampuhannya oleh Perguruan Tinggi, untuk
disempurnakan dan dibuat standarisasinya.
Berbagai langkah yang menyangkut identifikasi bahan aktif, pengembangan formulasi,
validasi, efikasi, uji keamanan terhadap tanaman dan jasad bukan sasaran, toksikologi,
pendaftaran dan penjajagan pasar perlu ditempuh untuk mengembangkan pestisida nabati

berskala industri. Pengembangan penyediaan bahan baku, efektivitas dan kestabilan


formulasi merupakan kata kunci untuk keberhasilan pengembangan industri pestisida.
PUSTAKA
Djoko Prijono dan Hermanu Triwidodo, 1993. Pemanfaatan Insektisida Nabati di Tingkat
Petani, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB Bogor.
Heyne, K., 1987. Denuttige planten van Indonesie. NV. Uitgeverijw. Van Hoeve Sgravenhage, Bandung.
Natawigena, H., 1990. Pengendalian Hama Terpadu, Penerbit CV. Armico Bandung.
Natawigena, H., 1992. Pengendalian Hama Secara Hayati. Penerbit TRON, Bandung.
Natawigena, H., 1993. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Penerbit Trigenda Karya,
Bandung.
Permana, AD., T. Aditya dan S. Sastrodihardjo, 1993. Pengembangan Pestisida Mimba,
PAU Ilmu Hayati ITB.
Sjafril Kemala dan Ludi Mauludi, 1993. Potensi Sumberdaya dan permasalahan
Pengembangan Pestisida Nabati di Indonesia, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai