Jika anda suka jalan-jalan yang tidak memerlukan terlalu banyak budget, anda
bisa pergi ke pantai dengan pasir-pasir yang indah, gunung dengan petualangan yang
hebat, atau bahkan menelusuri sejarah kota anda. Murah, meriah, dan mudah. Anda
juga bisa bertualang ke tempat-tempat yang jarang orang mengunjunginya, jika
beruntung anda akan mendapatkan tempat rahasia yang menakjubkan. Dan
menjadikan tempat itu sebagai Private place.
Minggu, 05 Agustus 2012. Akhir pekan, liburan, dan tidak ada salahnya jika
saya habiskan dengan rencana jalan-jalan. Apalagi ini masih di bulan Ramadhan.
Sepertinya bukan alasan untuk bermalas-malasan di rumah. Waktu yang tepat untuk
berlibur sejenak sambil menunggu berbuka puasa.
Apakah anda pernah ke Banda Aceh?, Ibu Kota Provinsi yang terletak paling
barat Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam. Di provinsi ini juga terdapat tugu 0
KM. Tempat dimana garis batas wilayah Indonesia berada.
dengan Aceh Lhe Sagoe dan kabupaten 1001 Benteng. Karena banyaknya bentengbenteng peninggalan tentara yang tersebar di sepanjang bibir pantai.
Tentara Jepang mendarat di Aceh berkisaran tahun 1942. Para serdadu Negeri
Sakura ini menggali terowongan bawah tanah di sepanjang pantai sebagai benteng
pertahanan. Namun setelah tiga tahun lebih terlibat Perang Dunia II, mereka takluk
dari
Pasukan
Sekutu
dan
meninggalkan
semua
wilayah
jajahannnya.
Kini, nuansa zaman perang itu dapat dirasakan ketika berkunjung ke Aceh Besar,
Provinsi Aceh. Salah satunya Meriam peninggalan jepang yang berada di Krung
raya,Bukit Suharto. Dalam perjalanan,team Pawang Nanggroe menjajahi suatu Jalan
mengarah ke bukit di apit oleh dua kandang sapi, kotorannya pun berserakan, semaksemak tumbuh dengan subur, tak ada yang percaya bahwa tempat tersebut akan
menjadi suatu momen penting.
Memasuki ke daerah tersebut,ternyata terdapat bangunan permanen yang telah
di hancurkan,sehingga terdapat material batu bata yang berserakan.Meriam yang
tertonggak gagah panjangnya mencapai 9 m tersebut tertembok rapi dengan
keteranggan di bawahnya "Meriam tahun 1943 penimggalan jepang di gunung
Momomg lampu'uk lhoknga".
Meriam
III.
LAKSAMANA KEUMALAHAYATI
1. Pendahuluan
Malahayati adalah wanita pertama di dunia yang menjadi seorang laksamana.
Ia lahir dari keluarga bangsawan pada masa kejayaan Aceh tepatnya pada akhir abad
ke-XV. Namun dalam catatan sejarah belum ditemukan secara pasti yang
menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematiannya?, diperkirakan masa
hidupnya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Perjuangan Laksamana
Keumalahayati dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka, yaitu antara
armada pasukan Portugis dengan Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh
Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil dan dibantu oleh dua orang laksamana.
Pertempuran sengit terjadi di Teluk Haru, ribuan prajurit tewas dan dua laksamana
gugur dalam pertempuran itu namun perang berakhir dengan kemenangan oleh
armada Aceh. Dua Laksamana yang gugur tersebut adalah salah suami Laksamana
Keumalahayati.
a. Makam I :
Makam yang berada di sisi barat dilengkapi dengan sepasang nisan tipe pipih
bersayap, Puncak nisan berbentuk atap limasan. pada bagian kaki berbentuk
balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. bagian bawah badan makam
dihiasi dengan kuncup bunga teratai, dan terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai
di tengah badan nisan, hiasan sulur-suluran di bagian sayap nisan.
b. Makam II:
Makam II berada di antara Makam I dan Makam III, tipe nisan berbentuk
pipih tanpa sayap. Pada bagian kaki nisan berbentuk balok, antara kaki dan
badan nisan terdapat pelipitpada nisan bagian bawah nisan terukir kuncup
bnga teratai. Ditengah nisan trdapat 3 buah panel bertulisan kaligrafi
berbingkai motif garis- garis .Bahu nisan kiri dan kanan meruncing keatas dan
pada bagian atas terdapat dua susunan mahkota teratai berbentuk limas.
c. Makam IIII:
Makam III terletak di sisi timur makam yang kedua yang nisannya lebih kecil
dari nisan no.1dan Makam No 2. Nisannya berbentuk pipih tanpa sayap. Nisan
yang berada pada bagian timur dan selatan sudah patah atau mengalami
kerusakan. Selain itu nisan yang aslinya berbentuk batu alam.
3.
Sejarah Malahayati
Laksamana Malahayati adalah keturunan dari Laksamana Mahmud Syah.
Kakeknya bernama Laksamana Mhamad Said Syah, Putra dari Sultan Salahuddin
Aceh
Darussalam
Memiliki
Akademi
angkatan
bersenjata
bernama Mahad Baitul Makdis, yang erdiri dari dua angkatan yaitu Angkatan Laut
dan Darat. Pendidkan agama belajar di menasah dan rangkang atau dayah, Kemudian
mendaftarkan diri dalam penerimaan Taruna di Akademi Militer Mahad Baitul
Makdis. ia diterima dan menempuh pendidkan dengan sangat baik, bahkan ia
berprestasi dengan hasil yang sangat memuaskan.
berprestasi,
Laksamana Keumalahayati berhak memiliki jurusan yang diinginkannya. Ia
bahkan mendapat prstarasi emilih jurusan Angkatan Laut. Ketika menempuh
pendidikan di akademi ini ia pernah berkenalan dengan seorang calon perwira laut
yang lebih senior (data tentang namanya belum diketahui). Perkenalan tersebut
berlanjut hingga benih-benih kasih sayang terbangun di antara mereka. Mereka
berdua akhirnya bersepakat untuk saling memadu kasih dan menyatukan diri ke
dalam cinta. Setelah tamat dari Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya
melangsungkan pernikahan.
4.
Karya
Karya Laksamana Keumalahayati memang tidak berupa buku atau berbagai
IV.
BENTENG INDRAPATRA
Di sekitar Pantai Ujoeng kareung, tepatnya di desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya,
Kabupaten Aceh Besar terdapat sebuah situs sejarah tua Aceh yang hingga kini masih
berdiri kokoh. Sebuah kompleks Benteng yang tidak lapuk dimakan usia, bahkan
tetap tegar walau (bahkan) sempat dihantam Tsunami. Benteng ini
bernama BENTENG INDRA PATRA; berjarak 19 Km kearah Barat dari ibu kota
propinsi Aceh, Banda Aceh, atau sekitar 30 menit dengan berkendara kendaraan
bermotor.
Benteng ini dibangun pada masa Pra-Islam, yaitu oleh Raja Kerajaan Lamuri yang
merupakan Kerajaan Hindu Pertama di Aceh, tepatnya pada abad ke VII
Masehi. Kala itu, benteng Indra Patra ini dibangun dengan maksud utama untuk
membendung sekaligus membentengi masyarakat kerajaan Lamuri dari gempuran
meriam-meriam yang berasal dari Kapal-kapal Perang Portugis. Disamping itu,
benteng ini juga dipakai sebagai tempat beribadah Umat Hindu Aceh saat itu.
Karena alasan demi pertahanan & keamanan kerajaan, maka benteng ini dibangun di
tempat yang sangat strategis, yakni di bibir pantai yang berhadapan langsung dengan
Selat Malaka.
Benteng Indra Patra ini bahkan berlangsung hingga masa Islam di Aceh tiba.
Dimasa Sultan Iskandar Muda, dengan laksamananya yang sangat terkenal dan
disegani, yaitu Laksamana Malahayati (laksamana wanita pertama di dunia), benteng
ini juga dipergunakan sebagai benteng pertahanan bagi Kerajaan Aceh
Darussalam dari serangan musuh yang datang dari arah laut.
9
Saat ini, tinggal dua dari tiga benteng yang masih berdiri kokoh. Benteng Utama
berukuran 70m X 70m; dengan ketinggian 4 meter, serta ketebalan dinding mencapai
sekitar 2 meter. Arsitekturnya yang Unik, Besar, terbuat dari beton kapur (:
susunan batu gunung, dengan perekatnya (perkiraan) dari campuran Kapur, Tanah
Liat, dan alusan Kulit Kerang, serta juga telur).
Didalam benteng Utama terdapat dua buah stupa atau bangunan yang menyerupai
kubah yang mana didalamnya / dibawah kubah tersebut terdapat sumur / sumber air
bersih, yang (pada saat itu) dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk penyucian diri
dalam rangkaian peribadahannya. Selain itu, di dalam benteng terdapat juga bunker
untuk menyimpan meriam serta bunker untuk menyimpan peluru dan senjata.
Benteng merupakan situs sejarah yang mempunyai cerita tersendiri. Di belakangnya
ada kisah perlawanan, pemberontakan, intrik dan heroism orang-orang di zamannya.
Demikian juga dengan Benteng Indra Patra yang terletak di Kecamatan Masjid Raya,
jalan Krueng Raya, sekitar 19 km dari Banda Aceh, menuju Pelabuhan Kr Raya.
Sebagai situs bersejarah, keberadaan Benteng Indra Patra tentu perlu dijaga. Dari segi
fisik, secara alami bangunan akan mengalami kerusakan digerus alam. Hujan, panas,
pengambilan material oleh masyarakat akan membuat bagian-bagian benteng runtuh
perlahan-lahan. Dinding mengelupas, batu pondasi berjatuhan satu persatu. Lama
kelamaan bentuk aslinya tidak kelihatan lagi.
Dari segi sejarah, kisah-kisah seputar keberadaan benteng perlahan-lahan akan
dilupakan orang. Bahkan orang-orang yang tinggal sekitar benteng pun belum tentu
tahu asal muasal dinding besar di hadapan rumah mereka.
Untuk menyelamatkan situs bersejarah itulah, Aceh Heritage Community (AHC)
bekerja sama dengan Pusat Dokumentasi Arsitektur Jakarta (PDAJ), mengadakan
survei Benteng Indra Patra, 20-21 Desember. Dua orang dari PDAJ yaitu Kemal,
seorang arsitek, dan Ivan, seorang arkeolog, menemani 10 orang dari AHC.
Benteng ini berukuran besar dan berkonstruksi kokoh, berarsitektur unik,
terbuat dari beton kapur. Saat ini jumlah benteng yang tersisa hanya dua, itu pun pintu
bentengnya telah hancur terkena tsunami. Pada awalnya ada tiga bagian besar
benteng yang tersisa. Benteng yang paling besar berukuran 70 x 70 meter dengan
ketinggian 3 meter lebih. Ada sebuah ruangan yang besar dan kokoh berukuran 35 x
35 meter dan tinggi 4 meter. Rancangan bangunannya terlihat begitu istimewa dan
canggih, sesuai pada masanya karena untuk mencapai bagian dalam benteng, harus
dilalui dengan memanjat terlebih dahulu.
Tim bergerak menyusuri sudut demi sudut, mencatat fisik bangunan yang
mereka lihat. Mereka mencatat mulai dari warna bebatuan, model menara yang ada,
berapa banyak lubang bidik untuk meriam yang masih utuh, apakah ada ruang bawah
10
tanah dan banyak lagi hal lainnya. Anggota AHC membuat sketsa benteng Indra Patra
untuk mencatat bentuk asli bangunan.
Ivan, arkeolog asal Jakarta mengatakan banyak benteng-benteng di Indonesia yang
mengalami kerusakan parah. Pemerintah daerah setempat tidak peduli dengan
keberadaan benteng. Kalau pun ada renovasi, banyak perbaikan yang dilakukan tidak
sesuai dengan kaidah bangunan bersejarah. "Saya pernah menemukan benteng tua di
Maluku yang diplester dengan dinding semen. Itu merusak keaslian benteng, mana
ada semen zaman dahulu" katanya. Padahal turis ataupun pengunjung sangat
menyukai keaslian bangunan sejarah.
Ketua AHC, Yenni Rahmayanti menambahkan renovasi yang dilakukan oleh Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Aceh melakukan renovasi benteng Indra Patra tidak
sesuai dengan kaidah. Renovasi yang dilakukan sedikit banyak mengubah
keasliannya. "Harusnya situs sejarah ini mendapat perhatian dari Balai Pelestarian
Sejarah, tapi sepertinya tidak" ujarnya.
Memang jika kita perhatikan, sebagai contoh papan informasi penunjuk
sejarah tidak ada di tempelkan. Ada juga hal lain yang menyedihkan terkait dengan
keberadaan benteng. Banyak masyarakat sekitar mengambil batu-batuan benteng
untuk keperluan membuat rumah bahkan ada yang mendirikan pondasi di atas
reruntuhan benteng.
Survei Benteng Indra Patra bukan saja mencatat fisik bangunan tetapi juga
mengumpulkan kisah-kisah sejarah seputar benteng. Tim melakukan studi pustaka
dan wawancara dengan masyarakat sekitar untuk menggali cerita-cerita seputar
Benteng Indra Patra. "Yang paling menarik dari bangunan sejarah adalah cerita
seputar situs tersebut, ini yang paling menarik minat pengunjung" katanya.
Benteng Indra Patra dibangun oleh Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu pertama
di Aceh (Indra Patra) pada masa sebelum kedatangan Islam di Aceh, yaitu pada abad
ke tujuh Masehi. Benteng ini dibangun dalam posisi yang cukup strategis karena
berhadapan langsung dengan Selat Malaka, sehingga berfungsi sebagai benteng
pertahanan dari serangan armada Portugis. Pada masa Sultan Iskandar Muda, dengan
armada lautnya yang kuat dibawah pimpinan Laksamana Malahayati, sebagai
laksamana wanita pertama di dunia, benteng ini digunakan sebagai pertahanan
kerajaan Aceh Darussalam.
Sebagai masyarakat yang menghargai sejarah sudah selayak benteng Indra Patra di
rawat dan dilestarikan. Jangan sampai nanti orang-orang hanya bisa berkata sambil
menunjuk ke arah reruntuhan.
11
12
13
V.
TAMAN PUTRO PHANG
Taman Putroe Phang (Taman Putri Pahang) adalah taman yang dibangun olehSultan
Iskandar Muda (1607-1636) untuk permaisurinya Putroe Phang yang berasal dari
Kerajaan Pahang. Taman ini dibangun karena sultan sangat mencintai Putri Pahang
dan agar sang permaisuri tidak kesepian bila di tinggal sultan menjalankan
pemerintahan.
Gunongan
14
Pinto Khop
15
VI.
MUSEUM ACEH
Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang
pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal
H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Pada waktu itu bangunannya berupa
sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut
berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De
Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus - 15
November 1914.
pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh pertama. Selain koleksi milik
Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka dari
pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang
paling lengkap koleksinya.
Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11
perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Keempat
medali emas tersebut diberikan untuk: pertunjukan, boneka-boneka Aceh,
etnografika, dan mata uang; perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah
tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur
Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum.
Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun
Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai
Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda
Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan
militer Aceh F.W. Stammeshaus sebagai kurator pertama.
Setelah Indonesia Merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh
yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada
tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari
tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan
Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2. Setelah pemindahan ini
pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda
(BAPERIS) Pusat.
Tampak salah satu bangunan baru yang berfungsi sebagai Gedung Pertemuan
Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah
mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor
538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum
kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum
Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan
Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun
kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung
mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh.
Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal
1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef.
Sesuai peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonomi pasal 3 ayat 5 butir 10
f, maka kewenangan penyelenggaraan Museum Negeri Propinsi Daerah Istimewa
Aceh berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (sekarang Provinsi Aceh).
18
19
20