Anda di halaman 1dari 20

I.

SERPIHAN SURGA DI BUKIT SOEHARTO


Siapa yang tidak suka jalan-jalan. Apalagi jika sedang mengalami permasalahan,
baik di kantor, rumah, atau hubungan percintaan anda. Rasanya banyak yang ingin
menghabiskan waktunya di tempat-tempat yang menyenangkan. konon obat yang
paling ampuh untuk menghilangkan stres dan depresi adalah liburan, yaitu dengan
jalan-jalan kesuatu tempat. Liburan itu tidak mesti mahal. Banyak tempat-tempat
menarik yang bisa anda kunjungi dan terhitung murah, bahkan murah sekali. Karena
bahagia itu tidak berarti harus membayar mahal bukan.

Jika anda suka jalan-jalan yang tidak memerlukan terlalu banyak budget, anda
bisa pergi ke pantai dengan pasir-pasir yang indah, gunung dengan petualangan yang
hebat, atau bahkan menelusuri sejarah kota anda. Murah, meriah, dan mudah. Anda
juga bisa bertualang ke tempat-tempat yang jarang orang mengunjunginya, jika
beruntung anda akan mendapatkan tempat rahasia yang menakjubkan. Dan
menjadikan tempat itu sebagai Private place.
Minggu, 05 Agustus 2012. Akhir pekan, liburan, dan tidak ada salahnya jika
saya habiskan dengan rencana jalan-jalan. Apalagi ini masih di bulan Ramadhan.
Sepertinya bukan alasan untuk bermalas-malasan di rumah. Waktu yang tepat untuk
berlibur sejenak sambil menunggu berbuka puasa.
Apakah anda pernah ke Banda Aceh?, Ibu Kota Provinsi yang terletak paling
barat Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam. Di provinsi ini juga terdapat tugu 0
KM. Tempat dimana garis batas wilayah Indonesia berada.

Jika mendengar Aceh, hampir semua bisa membayangkan kota dengan


keistimewaan syariat Islamnya. Sebagaimana dikatakan aceh adalah tempat dimana
wisata Islami yang menjadi kebanggaan masyarakat. Tempat wisata di Banda Aceh
cukup banyak. Mulai dari wisata sejarah seperti; musium, Kerkrof (Kuburan
belanda), Taman Putro Phang (tempat pemandian putri raja Aceh, Sultan Iskandar
Muda). Wisata alam, seperti pantai lampuuk, pantai Lhoknga, Mata Ie, dan wisata
Islami seperti Masjid Raya, serta berbagai kebudayaan masyarakat setempat yang
pantas untuk dilirik.
Kota ini juga dikenal dengan bencana dahsyatnya, yaitu Tsunami. Yang telah
menelan korban ribuan orang, dan meruntuhkan banyak bangunan-bangunan pada
2004 yang lalu.
Musium Tsunami adalah tempat yang cocok untuk berwisata sejarah tsunami aceh.
Semua tempat wisata yang saya sebutkan di atas, rasanya sudah tidak asing
lagi anda dengar. Bahkan mungkin untuk anda yang tinggal di seputar Banda Aceh,
atau sering mengunjungi Aceh sudah sering melihatnya bahkan beberapa kali
mengunjunginya. Kali ini saya ingin berbagi cerita tentang perjalanan saya yang
mungkin masih banyak orang Banda Aceh sendiri yang belum berkunjung ke tempat
ini.
Bukit Soeharto !, mungkin anda pernah mendengarnya, bahkan sudah pernah
berkunjung. Daerah ini terletak 30 KM dari kota Banda Aceh dan termasuk wilayah
Krueng Raya, Aceh Besar. Terdapat banyak tempat yang pantas anda kunjungi juga
disini, yaitu Makam Malahayati, Pantai Pasir Putih, Pabrik Semen Andalas, dan Bukit
Soeharto itu sendiri.
Bukit ini dikelilingi rerumputan dengan pepohonon yang terhitung jarangjarang. Didominasi pohon jambu kleng, buah kecil seperti anggur yang banyak dijual
di sepanjang jalan darussalam. Rasanya sedikit kesat, dicampur dengan bumbu cabe
dan plik aceh. khas sekali.

Pundukan-pundukan bukit terlihat disepanjang jalan. Rasanya membuat saya tidak


sabar untuk mengabadikannya. Biasanya bukit-bukit ini diselimuti dengan rumputrumput hijau dan hewan-hewan peliharaan seperti kambing dan sapi.
Kali ini Bukit Soeharto terlihat berbeda. Rumput-rumput berubah menjadi
warna coklat, kering. Cuaca memang cukup panas akhir-akhir ini. Namun
pemandangan ini membuat saya dan teman takjub.
Walaupun panas terik, tapi sudah cukup terbayar dengan pemandangnya.
Suasana yang beda menambah keunikan bukit itu. Jika tidak berlebihan, rasanya saya
merasakan sedang berada di gundukan-gundukan coklat raksasa. Dengan sapi-sapi
yang terlihat seperti rerumputan di kejauhan. Sama-sama berwarna coklat. Belum lagi
ditambah pemandangan laut yang indah, seperti kami berada di serpihan surga yang
sudah lama hilang.

pemandangan bukit soeharto dari kejauhan


Tidak jauh kami memasuki bukit soeharto, kami melihat di kejauhan ada pantai
dengan biru jernih airnya, dan tebing-tebing yang terlihat serasi. Menambah
keindahan. Rasanya belum pernah kami ke sana dan melihatnya. Kami pun tertarik
untuk sedikit menjelajah tempat yang tersembunyi tersebut. Sepertinya menarik untuk
diabadikan.
II.

MERIAM PENINGGALAN JEPANG DI BUKIT SUHARTO,ACEH BESAR


Aceh Besar tak saja dikenal dengan sebutan kerajaan, tetapi juga dikenal

dengan Aceh Lhe Sagoe dan kabupaten 1001 Benteng. Karena banyaknya bentengbenteng peninggalan tentara yang tersebar di sepanjang bibir pantai.

Tentara Jepang mendarat di Aceh berkisaran tahun 1942. Para serdadu Negeri
Sakura ini menggali terowongan bawah tanah di sepanjang pantai sebagai benteng
pertahanan. Namun setelah tiga tahun lebih terlibat Perang Dunia II, mereka takluk
dari

Pasukan

Sekutu

dan

meninggalkan

semua

wilayah

jajahannnya.

Kini, nuansa zaman perang itu dapat dirasakan ketika berkunjung ke Aceh Besar,
Provinsi Aceh. Salah satunya Meriam peninggalan jepang yang berada di Krung
raya,Bukit Suharto. Dalam perjalanan,team Pawang Nanggroe menjajahi suatu Jalan
mengarah ke bukit di apit oleh dua kandang sapi, kotorannya pun berserakan, semaksemak tumbuh dengan subur, tak ada yang percaya bahwa tempat tersebut akan
menjadi suatu momen penting.
Memasuki ke daerah tersebut,ternyata terdapat bangunan permanen yang telah
di hancurkan,sehingga terdapat material batu bata yang berserakan.Meriam yang
tertonggak gagah panjangnya mencapai 9 m tersebut tertembok rapi dengan
keteranggan di bawahnya "Meriam tahun 1943 penimggalan jepang di gunung
Momomg lampu'uk lhoknga".

Meriam

salah satu pot pohon dan keteterangannya


Menurut info warga setempat dulunya tempat tertata rapi dengan bangunan yang
berbentuk sebuah kantor pemerintahan,dan kebradaan meriam tersebut di bawa dari
lampu'uk lhoknga ke bukit suharto.di namakan bukit suharto dulu suharto pernah
berkunjung ke tempat tersebut bersama rekan menteri dan juga para pemrintahan
lainya dalam rangka penghijauan menanam pohon tutur warga yang juga kurang tau
tentang bukit suharto.
Dalam perjalanan darat , Pawang nanggroe menyaksikan eksotisme Meriam
peniggalan jepang 1943dan pemandngan pelabuhan malahayati di bawah bukit serta
lainya. Keindahan yang akan Anda nikmati saat anda capai ke bukit suharto.

III.
LAKSAMANA KEUMALAHAYATI
1. Pendahuluan
Malahayati adalah wanita pertama di dunia yang menjadi seorang laksamana.
Ia lahir dari keluarga bangsawan pada masa kejayaan Aceh tepatnya pada akhir abad
ke-XV. Namun dalam catatan sejarah belum ditemukan secara pasti yang
menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematiannya?, diperkirakan masa
hidupnya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Perjuangan Laksamana
Keumalahayati dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka, yaitu antara
armada pasukan Portugis dengan Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh
Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil dan dibantu oleh dua orang laksamana.
Pertempuran sengit terjadi di Teluk Haru, ribuan prajurit tewas dan dua laksamana
gugur dalam pertempuran itu namun perang berakhir dengan kemenangan oleh
armada Aceh. Dua Laksamana yang gugur tersebut adalah salah suami Laksamana
Keumalahayati.

Laksamana Laut Wanita Pertama Di Dunia, Keumalahayati


Setelah suaminya meninggal dunia dalam peperangan, ia berjanji akan menuntut
balas dan bertekad meneruskan perjuangan suaminya meski sendirian. Untuk
memenuhi tujuannya Laksamana Keumalahayati meminta kepada Sultan alMukammil membentuk armada Aceh yang semua prajuritnya dari kaum wanita janda
karena suami mereka gugur dalam Perang Teluk Haru. Permintaan Keumalahayati
akhirnya dikabulkan.
2. Makam malahayati
Makam Laksamana Malahayati berlokasi di Kabupaten Aceh Besar,
Kecamatan Masjid Raya Desa Lamreh. Diperkirakan kurang lebih 35 Km dari
Ibukota Provinsi Nanggrou Aceh Darussalam atau pusat Kota Banda Aceh. Makam
laksamana Malahayati terletak di puncak bukit kecil sebelah Utara desa Lamreh,
untuk mencapai ke kompleks makam tersebut melewati lorong jalan desa sekitar 300
meter, kemudian menaiki 74 anak tangga mulai dari bawah sampai ke atas.
Pada keliling areal makam bagian timur, barat, utara dan selatan bebatasan dengan
perladangan atau kebun penduduk. Areal makam dibatasi dengan pagar tembok
sampai ke pintu masuk yang berada di bagian timur. Luas Komplek Makam 18 x 12
meter Di dalam kompleks Makam tersebut terdapat tiga makam yang lainnya berada
dalam satu jirat atau Batu Nisan dan dinaungi oleh satu cungkup Jirat berbentuk
persegipanjang terbuat dari semen yang dilapisi dengan keramik putih. Yang
berukuran 30 cm tinggi jirat tersebut dari permukaan tanah sekitarnya
Di Komplek ini terdapat 3 Makam, Deskripsi sbb :
6

a. Makam I :
Makam yang berada di sisi barat dilengkapi dengan sepasang nisan tipe pipih
bersayap, Puncak nisan berbentuk atap limasan. pada bagian kaki berbentuk
balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. bagian bawah badan makam
dihiasi dengan kuncup bunga teratai, dan terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai
di tengah badan nisan, hiasan sulur-suluran di bagian sayap nisan.
b. Makam II:
Makam II berada di antara Makam I dan Makam III, tipe nisan berbentuk
pipih tanpa sayap. Pada bagian kaki nisan berbentuk balok, antara kaki dan
badan nisan terdapat pelipitpada nisan bagian bawah nisan terukir kuncup
bnga teratai. Ditengah nisan trdapat 3 buah panel bertulisan kaligrafi
berbingkai motif garis- garis .Bahu nisan kiri dan kanan meruncing keatas dan
pada bagian atas terdapat dua susunan mahkota teratai berbentuk limas.
c. Makam IIII:
Makam III terletak di sisi timur makam yang kedua yang nisannya lebih kecil
dari nisan no.1dan Makam No 2. Nisannya berbentuk pipih tanpa sayap. Nisan
yang berada pada bagian timur dan selatan sudah patah atau mengalami
kerusakan. Selain itu nisan yang aslinya berbentuk batu alam.

3.

Sejarah Malahayati
Laksamana Malahayati adalah keturunan dari Laksamana Mahmud Syah.

Kakeknya bernama Laksamana Mhamad Said Syah, Putra dari Sultan Salahuddin

Syah yang memerintah kesultanan Aceh Darussalamsekitar tahun 1530-1539 M.


Sultan Salahuhuddin Syah adalah Putra dari Sultan Ibrahim Ali Mugayatsyah yang
memerintah tahun 1513-1530 M juga yang mendirikan Kesultanan Aceh Darussalam.
Dari Silsilah tersebut dapat dikatakan bahwa Laksamana Malahayati adalah
keturunan keluarga keraton.Dari silsilah tersebut, dapat dikatakan bahwa Laksamana
Keumalahayati adalah keturunan darah biru atau keluarga bangsawan keraton. Ayah
dan kakeknya laksamana angkatan laut. Jiwa dan semangat yang dimiliki ayah dan
kakeknya ikut turun terhadap kepribadiannya. Walaupun ia seorang wanita ingin
menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayahanda dan kakeknya.Pada saat
ia remaja Laksanmana Malahayati Ketika menginjak usia remaja, Laksamana
Keumadiberi kebebasan untuk memilih pendidkan ang di inginkannya. Masa itu
Kesultanan

Aceh

Darussalam

Memiliki

Akademi

angkatan

bersenjata

bernama Mahad Baitul Makdis, yang erdiri dari dua angkatan yaitu Angkatan Laut
dan Darat. Pendidkan agama belajar di menasah dan rangkang atau dayah, Kemudian
mendaftarkan diri dalam penerimaan Taruna di Akademi Militer Mahad Baitul
Makdis. ia diterima dan menempuh pendidkan dengan sangat baik, bahkan ia
berprestasi dengan hasil yang sangat memuaskan.

SebaSebagai siswa yang

berprestasi,
Laksamana Keumalahayati berhak memiliki jurusan yang diinginkannya. Ia
bahkan mendapat prstarasi emilih jurusan Angkatan Laut. Ketika menempuh
pendidikan di akademi ini ia pernah berkenalan dengan seorang calon perwira laut
yang lebih senior (data tentang namanya belum diketahui). Perkenalan tersebut
berlanjut hingga benih-benih kasih sayang terbangun di antara mereka. Mereka
berdua akhirnya bersepakat untuk saling memadu kasih dan menyatukan diri ke
dalam cinta. Setelah tamat dari Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya
melangsungkan pernikahan.
4.

Karya
Karya Laksamana Keumalahayati memang tidak berupa buku atau berbagai

bentuk tulisan. Namun demikian segala bentuk perjuangannya dalam melawan


kolonialisme dapat juga dianggap sebagai karya-karya nyatanya. Di antara karyakarya dimaksud adalah sebagai berikut: Ia pernah membangun Benteng Inong Balee
dengan tinggi 100 meter dari permukaan laut. Tembok benteng menghadap ke laut
dengan lebar 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke

pintu teluk. Ia pernah berhasil membunuh Cornelis de Houtman, salah seorang


pemimpin kapal Belanda yang pertama kali tiba di Aceh.

IV.

BENTENG INDRAPATRA

Di sekitar Pantai Ujoeng kareung, tepatnya di desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya,
Kabupaten Aceh Besar terdapat sebuah situs sejarah tua Aceh yang hingga kini masih
berdiri kokoh. Sebuah kompleks Benteng yang tidak lapuk dimakan usia, bahkan
tetap tegar walau (bahkan) sempat dihantam Tsunami. Benteng ini
bernama BENTENG INDRA PATRA; berjarak 19 Km kearah Barat dari ibu kota
propinsi Aceh, Banda Aceh, atau sekitar 30 menit dengan berkendara kendaraan
bermotor.

Benteng ini dibangun pada masa Pra-Islam, yaitu oleh Raja Kerajaan Lamuri yang
merupakan Kerajaan Hindu Pertama di Aceh, tepatnya pada abad ke VII
Masehi. Kala itu, benteng Indra Patra ini dibangun dengan maksud utama untuk
membendung sekaligus membentengi masyarakat kerajaan Lamuri dari gempuran
meriam-meriam yang berasal dari Kapal-kapal Perang Portugis. Disamping itu,
benteng ini juga dipakai sebagai tempat beribadah Umat Hindu Aceh saat itu.
Karena alasan demi pertahanan & keamanan kerajaan, maka benteng ini dibangun di
tempat yang sangat strategis, yakni di bibir pantai yang berhadapan langsung dengan
Selat Malaka.
Benteng Indra Patra ini bahkan berlangsung hingga masa Islam di Aceh tiba.
Dimasa Sultan Iskandar Muda, dengan laksamananya yang sangat terkenal dan
disegani, yaitu Laksamana Malahayati (laksamana wanita pertama di dunia), benteng
ini juga dipergunakan sebagai benteng pertahanan bagi Kerajaan Aceh
Darussalam dari serangan musuh yang datang dari arah laut.
9

Saat ini, tinggal dua dari tiga benteng yang masih berdiri kokoh. Benteng Utama
berukuran 70m X 70m; dengan ketinggian 4 meter, serta ketebalan dinding mencapai
sekitar 2 meter. Arsitekturnya yang Unik, Besar, terbuat dari beton kapur (:
susunan batu gunung, dengan perekatnya (perkiraan) dari campuran Kapur, Tanah
Liat, dan alusan Kulit Kerang, serta juga telur).
Didalam benteng Utama terdapat dua buah stupa atau bangunan yang menyerupai
kubah yang mana didalamnya / dibawah kubah tersebut terdapat sumur / sumber air
bersih, yang (pada saat itu) dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk penyucian diri
dalam rangkaian peribadahannya. Selain itu, di dalam benteng terdapat juga bunker
untuk menyimpan meriam serta bunker untuk menyimpan peluru dan senjata.
Benteng merupakan situs sejarah yang mempunyai cerita tersendiri. Di belakangnya
ada kisah perlawanan, pemberontakan, intrik dan heroism orang-orang di zamannya.
Demikian juga dengan Benteng Indra Patra yang terletak di Kecamatan Masjid Raya,
jalan Krueng Raya, sekitar 19 km dari Banda Aceh, menuju Pelabuhan Kr Raya.
Sebagai situs bersejarah, keberadaan Benteng Indra Patra tentu perlu dijaga. Dari segi
fisik, secara alami bangunan akan mengalami kerusakan digerus alam. Hujan, panas,
pengambilan material oleh masyarakat akan membuat bagian-bagian benteng runtuh
perlahan-lahan. Dinding mengelupas, batu pondasi berjatuhan satu persatu. Lama
kelamaan bentuk aslinya tidak kelihatan lagi.
Dari segi sejarah, kisah-kisah seputar keberadaan benteng perlahan-lahan akan
dilupakan orang. Bahkan orang-orang yang tinggal sekitar benteng pun belum tentu
tahu asal muasal dinding besar di hadapan rumah mereka.
Untuk menyelamatkan situs bersejarah itulah, Aceh Heritage Community (AHC)
bekerja sama dengan Pusat Dokumentasi Arsitektur Jakarta (PDAJ), mengadakan
survei Benteng Indra Patra, 20-21 Desember. Dua orang dari PDAJ yaitu Kemal,
seorang arsitek, dan Ivan, seorang arkeolog, menemani 10 orang dari AHC.
Benteng ini berukuran besar dan berkonstruksi kokoh, berarsitektur unik,
terbuat dari beton kapur. Saat ini jumlah benteng yang tersisa hanya dua, itu pun pintu
bentengnya telah hancur terkena tsunami. Pada awalnya ada tiga bagian besar
benteng yang tersisa. Benteng yang paling besar berukuran 70 x 70 meter dengan
ketinggian 3 meter lebih. Ada sebuah ruangan yang besar dan kokoh berukuran 35 x
35 meter dan tinggi 4 meter. Rancangan bangunannya terlihat begitu istimewa dan
canggih, sesuai pada masanya karena untuk mencapai bagian dalam benteng, harus
dilalui dengan memanjat terlebih dahulu.
Tim bergerak menyusuri sudut demi sudut, mencatat fisik bangunan yang
mereka lihat. Mereka mencatat mulai dari warna bebatuan, model menara yang ada,
berapa banyak lubang bidik untuk meriam yang masih utuh, apakah ada ruang bawah

10

tanah dan banyak lagi hal lainnya. Anggota AHC membuat sketsa benteng Indra Patra
untuk mencatat bentuk asli bangunan.
Ivan, arkeolog asal Jakarta mengatakan banyak benteng-benteng di Indonesia yang
mengalami kerusakan parah. Pemerintah daerah setempat tidak peduli dengan
keberadaan benteng. Kalau pun ada renovasi, banyak perbaikan yang dilakukan tidak
sesuai dengan kaidah bangunan bersejarah. "Saya pernah menemukan benteng tua di
Maluku yang diplester dengan dinding semen. Itu merusak keaslian benteng, mana
ada semen zaman dahulu" katanya. Padahal turis ataupun pengunjung sangat
menyukai keaslian bangunan sejarah.
Ketua AHC, Yenni Rahmayanti menambahkan renovasi yang dilakukan oleh Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Aceh melakukan renovasi benteng Indra Patra tidak
sesuai dengan kaidah. Renovasi yang dilakukan sedikit banyak mengubah
keasliannya. "Harusnya situs sejarah ini mendapat perhatian dari Balai Pelestarian
Sejarah, tapi sepertinya tidak" ujarnya.
Memang jika kita perhatikan, sebagai contoh papan informasi penunjuk
sejarah tidak ada di tempelkan. Ada juga hal lain yang menyedihkan terkait dengan
keberadaan benteng. Banyak masyarakat sekitar mengambil batu-batuan benteng
untuk keperluan membuat rumah bahkan ada yang mendirikan pondasi di atas
reruntuhan benteng.
Survei Benteng Indra Patra bukan saja mencatat fisik bangunan tetapi juga
mengumpulkan kisah-kisah sejarah seputar benteng. Tim melakukan studi pustaka
dan wawancara dengan masyarakat sekitar untuk menggali cerita-cerita seputar
Benteng Indra Patra. "Yang paling menarik dari bangunan sejarah adalah cerita
seputar situs tersebut, ini yang paling menarik minat pengunjung" katanya.
Benteng Indra Patra dibangun oleh Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu pertama
di Aceh (Indra Patra) pada masa sebelum kedatangan Islam di Aceh, yaitu pada abad
ke tujuh Masehi. Benteng ini dibangun dalam posisi yang cukup strategis karena
berhadapan langsung dengan Selat Malaka, sehingga berfungsi sebagai benteng
pertahanan dari serangan armada Portugis. Pada masa Sultan Iskandar Muda, dengan
armada lautnya yang kuat dibawah pimpinan Laksamana Malahayati, sebagai
laksamana wanita pertama di dunia, benteng ini digunakan sebagai pertahanan
kerajaan Aceh Darussalam.
Sebagai masyarakat yang menghargai sejarah sudah selayak benteng Indra Patra di
rawat dan dilestarikan. Jangan sampai nanti orang-orang hanya bisa berkata sambil
menunjuk ke arah reruntuhan.

11

Foto Benteng Indra Patra Yang tinggal Reruntuhan

12

13

V.
TAMAN PUTRO PHANG
Taman Putroe Phang (Taman Putri Pahang) adalah taman yang dibangun olehSultan
Iskandar Muda (1607-1636) untuk permaisurinya Putroe Phang yang berasal dari
Kerajaan Pahang. Taman ini dibangun karena sultan sangat mencintai Putri Pahang
dan agar sang permaisuri tidak kesepian bila di tinggal sultan menjalankan
pemerintahan.

Gunongan

14

Kandang Taman Ghairah


Pembangunan taman dikisahkan merupakan permintaan dari Putroe Phang, putri raja
yang dibawa ke Aceh oleh Sultan Iskandar Muda setelah kerajaan Pahang ditaklukan.
Di dalam taman ini terdapat Pinto Khop yaitu gerbang kecil berbentuk kubah yang
merupakan pintu yang menghubungkan taman dengan istana. Pinto Khop ini
merupakan tempat beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak
jauh dari Gunongan, di sanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri.
Di sana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri keramas dan mandi bunga.

Pinto Khop

15

VI.
MUSEUM ACEH
Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang
pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal
H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Pada waktu itu bangunannya berupa
sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut
berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De
Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus - 15
November 1914.

F.W. Stammeshaus, Kurator Pertama Museum Aceh dan Kepala Museum


Aceh 31 Juli 1915 s/d 1931
Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang, Paviliun Aceh memamerkan
koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang
16

pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh pertama. Selain koleksi milik
Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka dari
pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang
paling lengkap koleksinya.
Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11
perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Keempat
medali emas tersebut diberikan untuk: pertunjukan, boneka-boneka Aceh,
etnografika, dan mata uang; perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah
tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur
Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum.
Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun
Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai
Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda
Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan
militer Aceh F.W. Stammeshaus sebagai kurator pertama.
Setelah Indonesia Merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh
yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada
tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari
tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan
Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2. Setelah pemindahan ini
pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda
(BAPERIS) Pusat.

Rumoh Atjeh Tempoe Doeloe


Sejalan dengan program Pemerintah tentang pengembangan kebudayaan,
khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah
mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah
Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan
sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah
didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer
dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas.
Selain untuk pembangunan sarana/gedung Museum, dengan biaya Pelita telah pula
diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang
17

telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya


diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.

Tampak salah satu bangunan baru yang berfungsi sebagai Gedung Pertemuan
Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah
mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor
538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum
kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum
Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan
Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun
kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung
mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh.
Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal
1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef.
Sesuai peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonomi pasal 3 ayat 5 butir 10
f, maka kewenangan penyelenggaraan Museum Negeri Propinsi Daerah Istimewa
Aceh berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (sekarang Provinsi Aceh).

Kuburan sultan Aceh dari keturunan Aceh - Bugis

18

Sejalan dengan program pemerintah tentang pengembangan kebudayaan,


khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah
mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah
Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan
sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah
didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pamerantemporer
dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas.
Selain untuk pembangunan sarana/gedung museum, dengan biaya Pelita telah
pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang
telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya
diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.
Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh
dan Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah mengeluarkan
Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 september 1975 nomor 538/1976 dan
SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada
Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri
Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh
sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu
dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei
1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat
dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef.
Sesuai peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonomi pasal 3 ayat 5 butir 10
f, maka kewenangan penyelenggaraan Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa
Aceh berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Aceh (sekarang Provinsi
Aceh)
Museum ACEH tampak dari dalam :

19

20

Anda mungkin juga menyukai