BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan silent killer (pembunuh diam-diam) yang secara luas
dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan meningkatnya
tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat meningkatkan faktor risiko
munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal
ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi
maka lima kali lebih besar kemungkinannya terkena stroke.1
Sampai saat ini hipertensi tetap menjadi masalah karena beberapa hal, antara
lain meningkatnya prevalensi hipertensi yang belum mendapat pengobatan maupun
yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta adanya
penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan
mortilitas.2
Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya poulasi
usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar akan
bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan
diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain
itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat, dalam dekade
terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi. Dan pengendalian tekanan darah ini
hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi.2
Data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-negara yang
sdah maju. Data dari The National Health and Nutrition examination survey
(NHNES) menunjukan bahwa tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang
dewasa adalah sekitar 9-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di
Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988-1991.
Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hipertensi merupakan silent killer (pembunuh diam-diam) yang secara luas
dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan meningkatnya
tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat meningkatkan faktor risiko
munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal
ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi
maka lima kali lebih besar kemungkinannya terkena stroke.1
Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana stroke
merupakan penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang sangat
luas terhadap kelangsungan hidup penderita dan keluarganya. Hipertensi sistolik dan
distolik terbukti berpengaruh pada stroke. Dikemukakan bahwa penderita dengan
tekanan diastolik di atas 95 mmHg mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk
terjadinya infark otak dibanding dengan tekanan diastolik kurang dari 80 mmHg,
sedangkan kenaikan sistolik lebih dari 180 mmHg mempunyai risiko tiga kali
terserang stroke iskemik dibandingkan dengan dengan tekanan darah kurang 140
mmHg. Akan tetapi pada penderita usia lebih 65 tahun risiko stroke hanya 1,5 kali
daripada normotensi.3,4
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang dari 140/90
mmHg, diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang. Klasifikasi prehipertensi
bukan suatu penyakit, tetapi hanya dimaksudkan akan risiko terjadinya hipertensi.
Terapi non farmakologi antara lain mengurangi asupan garam, olah raga,
menghentikan rokok dan mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau
bersama-sama obat farmakologi.4
B. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau
hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di
kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab
yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi
sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat
diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.5
1. Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95%
dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi
untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang
tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun
temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik
memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila
ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan
poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak
karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium,
tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi
kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan
angiotensinogen.6
2. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat tabel
1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. 7 Obat-obat
tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat
pada tabel 1. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan
menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati / mengoreksi kondisi
komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder.5
.
C. Klasifikasi Hipertensi
Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The Seventh
Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Eveluation, and
Tretment of High Blood Pressure (JNC7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa
terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2
(dilihat tabel 2), menurut World Health Organization (WHO) dan International
Society Of Hypertension Working Group (ISHWG) (dilihat tabel 3).2
Seseoramg lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari
pada mereka yang tidak merokok.4
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap
melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.11
b. Konsumsi Asin/Garam
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam
yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi
hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap
timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan
tekanan darah.13
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan
diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan
darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya
rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari
setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.3,11
Menurut Alison Hull, penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan
natrium dengan hipertensi pada beberapa individu. Asupan natrium akan meningkat
menyebabkan tubuh meretensi cairan yang meningkatkan volume darah.14
c. Konsumsi Lemak Jenuh
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat
badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan
risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan
konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan
dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak
sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat
menurunkan tekanan darah.14
d. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat
cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui
secara pasti. Orangorang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak
memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum
sedikit.14
Menurut Ali Khomsan konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei
menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun
diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta
kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah.11
e. Obesitas
Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan yang
mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena
beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan
untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah
yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan
lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi
denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan
tubuh menahan natrium dan air.10
Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita
hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang
berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30 %
memiliki berat badan lebih.11
f. Olahraga
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung
mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya
harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung
harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.11
g. Stres
Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu dan bila stres
sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa mendadak menyebabkan
stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun akibat stress berkelanjutan yang
dapat menimbulkan hipertensi belum dapat dipastikan.11
E. Patogenesis Hipertensi
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi
dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan dukungan dari
arteri (peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah
ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi
sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai
dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal.12
F. Gejala Klinis Hipertensi
Menurut Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang
mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun
berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat tekanan
darah intrakranium.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
yang
dilakukan
meliputi
tingkat
hipertensi
dan
lama
nonfarmakologis
merupakan
penanganan
awal
sebelum
BAB III
KESIMPULAN
Hipertensi dikenal sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita
memiliki tekanan darah diatas normal. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko
utama penyebab gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi
dapat juga berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular.
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang dari 140/90
mmHg diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang. Terapi non farmakologi
antara lain mengurangi asupan garam, olah raga, menghentikan rokok dan
mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau bersama-sama dengan obat
farmakologi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusmana D. 2009. Hipertensi : definisi, prevalensi, farmakoterapi dan latihan
fisik. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Cermin Dunia
Kedokteran. 161-7.
2. Yogiantoro M. 2006. Hipertensi Essensial. Dalam : Sudoyo WA, et al. Buku Ajar
ilmu Penyakit dalam Jilid 1. Edisi ke-4. Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
3. Cheung BWY. 2010. Dalam : Cheung BMY. 2012. Nice new hypertension
guidelines. World Journal of Hypertension 2 (5): 45-9.
4. Basile J. 2012. Hypertension 2012: what will the JNC 8 Guideline look like?.
Annual primary care Kiawah conference Carolina. South carolina.
5. Irmalita, et al. 2009. Standar pelayanan medik RS Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita. Pusat Jantung Nasional. Jakarta.
6. The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure. 1997. The seventh report of The Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High
Blood Pressure. Arch Intern Med 157: 2413-45.
7. Muchid A et al. 2006. Pharmaceutical untuk penyakit hipertensi. Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan
Departemen kesehatan. Jakarta.
8. Hajjar I, Kotchen TA. 2003. Trends In Prevalence, Awareness, Treatment, And
Control Of Hypertension In The United States, 1998 2000. JAMA 290:199-206.
Dalam : Muchid A et al. 2006. Pharmaceutical untuk penyakit hipertensi.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
kesehatan Departemen kesehatan.
9. Chobaniam AV et al. 2003. Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA
289:2560-2572. Dalam : Muchid A et al. 2006. Pharmaceutical untuk penyakit
hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat kesehatan Departemen kesehatan.
10. Dosh SA. 2001. The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults.
J.Fam Pract 50:707-712. Dalam : Muchid A et al. 2006. Pharmaceutical untuk
penyakit hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat kesehatan Departemen kesehatan.
11. Oparil S et al. 2003. Pathogenesis of Hypertension. Ann Intern Med 139:761776
12. Price, S. A., & Lorraine M. W. 1994. Patofisiologis Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit edisi 4. Jakarta: EGC.
13. CHEP. 2012. (Canadian Hypertension
Education
program)
Canadian