Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang
saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan sendiri.
Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan yaitu lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan, dan hereditas. Kesehatan lingkungan adalah usaha
kesehatan

masyarakat

yang

menitikberatkan

pada

pengawasan

dan

pengendalian terhadap berbagai faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi


perkembangan fisik, kesehatan dan daya hidup manusia. Jadi, usaha
kesehatan ini lebih mengutamakan usaha pencegahan terhadap pelbagai
faktor lingkungan sedemikian rupa sehingga munculnya penyakit dapat
dicegah.(1)
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit tropis dan berbasis
lingkungan yang menjadi penyumbang utama ketiga pada angka kesakitan
dan kematian di dunia. Diare menyebabkan 15-34 % kematian di seluruh
dunia, kurang lebih 300 kematian per tahun.(2) {Formatting Citation}
{Formatting Citation} Hampir seluruh daerah geografis dunia dan semua
kelompok usia diserang diare, tetapi penyakit berat dengan kematian yang
tinggi paling banyak didapatkan pada bayi dan anak balita.(3)(4)
Badan Kesehatan Dunia memperkirakan empat milyar kasus diare yang
terjadi di dunia pada tahun 2000. Sebanyak 2,2 juta penderita meninggal dari
empat milyar kasus diare yang ada dan sebagian besar anak-anak di bawah
umur lima tahun. Di Indonesia, diare dan gastroenteritis oleh penyebab
infeksi tertentu (kolitis infeksi) menduduki peringkat pertama penyakit

terbanyak pada pasien rawat inap pada tahun 2010 yaitu sebanyak 96.278
kasus dengan angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) sebesar 1,92%.
Selanjutnya diikuti oleh Demam Berdarah Dengue (DBD) sebanyak 79.239
kasus dengan CFR sebesar 1,29% dan demam tifoid dan paratifoid sebanyak
55.098 kasus dengan CFR sebesar 2,06%.(5)
Menurut laporan Profil Provinsi NTT perkiraan kasus Diare Provinsi
NTT tahun 2011 berjumlah 200.721 kasus, yang ditangani sebanyak 111.046
kasus atau sebesar 55,3%. Pada tahun 2012, perkiraan kasus diare berjumlah
206.216 kasus, yang ditangani sebanyak 106.193 kasus atau sebesar 51,5%,
dengan dua kabupaten yang mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu
Kabupaten Rote Ndao dan Manggarai. (6)
Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Rote Ndao menyatakan bahwa
distribusi kasus diare berdasarkan puskesmas di Kabupaten Rote Ndao
sebesar 4.986 kasus pada tahun 2012 dan meningkat menjadi 5.142 kasus
pada tahun 2013.(7)
Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi
pendorong terjadinya diare yaitu faktor agen, pejamu, lingkungan dan
perilaku. Penyakit diare berkaitan erat dengan kesehatan lingkungan, akses
terhadap air bersih, perilaku hidup sehat dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan oleh masyarakat. Rendahnya cakupan kebersihan sanitasi seperti
sarana penyediaan air bersih dan pembuangan tinja sering menjadi faktor
risiko terjadinya KLB diare.(8)
Puskesmas di Kabupaten Rote Ndao berjumlah 12 buah dan dari jumlah
kasus yang terjadi, puskesmas Korbafo jumlah peningkatan kasusnya paling
tinggi dibandingkan dengan puskesmas yang lain yaitu terjadi peningkatan

sebanyak 91 kasus pada tahun 2013, pada tahun 2012 jumlah kasus sebanyak
388 kasus dan pada tahun 2013 jumlah kasus penyakit diare menjadi 479
kasus. Puskemas Korbafo merupakan puskesmas yang ada di wilayah
Kecamatan Pantai Baru Kabupaten Rote Ndao, yang wilayah kerjanya
tersebar di satu kelurahan dan lima desa, dengan keadaan topografinya yang
terdiri dari pantai, hutan, persawahan, lagun, bukit, dan rawa.
Hasil Penelitian Umiati menunjukan adanya hubungan bermakna antara
sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada balita. (4) Winda Primadani dkk
menyimpulkan bahwa ada hubungan antara sanitasi lingkungan dengan
kejadian diare akibat infeksi.(9) Berdasarkan hasil penelitian Siti Amaliah
diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara sanitasi lingkungan dan
faktor budaya dengan kejadian diare pada balita.(10)
Berdasarkan hasil pengamatan pra penelitian peneliti di salah satu
wilayah pelayanan Puskemas Korbafo, peneliti mendapatkan bahwa keadaan
sanitasi lingkungan disana masih tergolong kurang baik, dilihat dari jarak
antara sumur, MCK, kandang ternak, dapur dan tempat pencucian piring yang
cukup berdekatan, tidak memiliki saran pembuangan air limbah, ada beberapa
masyarakat yang lantainya masih terbuat dari tanah, dan dari hasil wawancara
peneliti dengan masyarakat sekitar didapatkan adanya sumur masyarakat
yang bau karena banyak daun yang gugur dalam sumur dan tidak dibersihkan,
kemudian ada masyarakat yang tidak memiliki fasilitas MCK, dan juga tidak
menempatkan hewan ternaknya di kandang. Dari hasil wawancara peneliti
dengan petugas puskesmas juga didapatkan adanya kebiasaan buang air besar

sembarangan, serta tidak mencuci tangan sebelum dan setelah makan dan
buang air besar.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai analisis faktor risiko kesehatan lingkungan terhadap
kejadian diare di Puskesmas Korbafo Tahun 2014.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah Apa saja faktor risiko kesehatan lingkungan
terhadap kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Korbafo tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui dan menganalisis faktor risiko kesehatan lingkungan
terhadap kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Korbafo tahun
2014.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui dan menganalisis hubungan risiko penyediaan air
bersih terhadap kejadian diare.
b. Mengetahui dan menganalisis

enganalisis

hubungan

risiko

kepemilikan jamban terhadap kejadian diare.


c. Mengetahui dan menganalisis enganalisis hubungan risiko lantai
rumah terhadap kejadian diare.
d. Mengetahui dan menganalisis

enganalisis

hubungan

risiko

kepimilikan saluran pembuangan air limbah terhadap kejadian


diare.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Peneliti
Sebagai bahan informasi dan pengetahuan berkaitan dengan kejadian
diare

dan

faktor

mempengaruhinya,

risiko

sehingga

kesehatan
dapat

lingkunagan

digunakan

sebagai

yang
bahan

kepustakaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di dalam


penanggulangan penyakit infeksi khususnya diare.
1.4.2. Bagi tempat penelitian
Dapat memacu tenaga medis di Puskesmas Korbafo untuk semakin
giat

memberantas

penyakit

infeksi

terkhususnya

diare

dan

meningkatkan mutu pelayanan.


1.4.3. Bagi subyek penelitian
Subyek penelitian diharapkan mengetahui faktor risiko kesehatan
lingkungan apa saja yang mempengaruhi kejadian diare sehingga
dapat melakukan pencegahan terhadap terinfeksinya penyakit ini.
1.4.4. Bagi masyarakat
Menambah pengetahuan masyarakat mengenai diare dan faktor risiko
kesehatan lingkungan yang mempengaruhinya.
1.4.5. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Rote Ndao
Harapanya hasil penelitian ini dapat berfungsi sebagai acuan bagi
Dinas Kesehatan Kabupaten Rote Ndao untuk menurunkan angka
kesakitan diare di Kabupaten Rote Ndao.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
2.1.1.
Pengertian
Diare adalah buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.(11)
2.1.2.
Klasifikasi diare
Menurut Depkes RI , jenis diare dibagi menjadi empat yaitu:(12)
a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari
(umumnya kurang dari 7 hari). Akibat diare akut adalah dehidrasi,
sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi
penderita diare.
b. Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat
disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat,
kemungkinan terjadinya komplikasi pada mukosa.
c. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari
secara terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat
badan dan gangguan metabolisme.

d. Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare (diare
akut dan diare persisten), mungkin juga disertai dengan penyakit
lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.
2.1.3.

Etiologi

Lebih dari 90 % diare akut disebabkan karena infeksi, sedangkan sekitar


10 % karena sebab-sebab lain antara lain obat-obatan, bahan-bahan
toksik, iskemik dan sebagainya. Diare akut karena infeksi dapat
ditimbulkan oleh :(13)
A. Bakteri : Eschericia Coli,Salmonella typhi, Salmonella para typhi
A/B/C, Salmonella spp, Shigella dysentriae, Vibriae chlolerae,
Clostridium perfringens
B. Parasit : Protozoa : Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia.Cacing :
A.lumbricoides, A.duodenale, T.saginata, T.sollium
C. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus
Terkhususnya di Negara berkembang penyebab paling seringnya
Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC), Rotavirus, Vibrio cholera.
2.1.4.

Gejala diare
2.1.4.1 Gejala diare yaitu:(14)
a. Gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin
b. Nyeri perut sampai kejang perut
c. Tinja encer, berlendir, atau berdarah.
d. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan
e.
f.
g.
h.
i.
j.
2.1.4.2

empedu.
Demam
Anusnya lecet.
Gangguan gizi akibat asupan makan yang berkurang.
Muntah sebelum atau sesudah diare.
Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).
Dehidrasi.
Derajat Dehidrasi

a. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5% BB) gambaran


klinisnya turgor kurang, suara serak, pasien belum jatuh
dalam presyok.
b. Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8% BB) gambaran klinis
turgor buruk, suara serak, pasien jatuh dalam presyok ata
syok, nadi cepat, napas cepat dan dalam.
c. Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10% BB) gambaran
klinisnya tanda dehidrasi sedang ditambah kesadaran
3.1.5.

menurun (apatis sampai koma, otot-otot kaku, sianosis).(11)


Epidemiologi diare

Epidemiologi penyakit diare, adalah sebagai berikut


a. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare biasanya menyebar
melalui fekal-oral antara lain melalui makanan atau minuman yang
tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.
Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman
enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak
memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4/6 bulan pada pertama
kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak
pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak
mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar atau sesudah
membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan
tidak membuang tinja dengan benar.
b. Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare.
Beberapa faktor pada penjamu yang dapat meningkatkan beberapa
penyakit dan lamanya diare yaitu tidak memberikan ASI sampai dua

tahun,

kurang

gizi,

campak,

immunodefisiensi,

dan

secara

proporsional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.


c. Faktor lingkungan dan perilaku. Penyakit diare merupakan salah satu
penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu
sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan
berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak
sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan
perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman,
2.1.6.

maka dapat menimbulkan kejadian diare. (12)


Penularan diare

Penyakit diare sebagian besar disebabkan oleh kuman seperti virus dan
bakteri. Penularan penyakit diare melalui jalur fekal-oral yang terjadi
karena:
a. Melalui air yang sudah tercemar, baik tercemar dari sumbernya,
tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau tercemar
pada saat disimpan di rumah. Pencemaran ini terjadi bila tempat
penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar
menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.(15)
b. Melalui tinja yang terinfeksi. Tinja yang sudah terinfeksi,
mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut
dihinggapi oleh binatang dan kemudian binatang tersebut hinggap
dimakanan, maka makanan itu dapat menularkan diare ke orang yang
memakannya.(15) Sedangkan menurut Depkes RI kuman penyebab
diare biasanya menyebar melalui fekal-oral antara lain melalui
makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung

10

dengan tinja penderita. Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan


penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare,
yaitu: tidak memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4-6 bulan
pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan
makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang
tercemar, tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar,
tidak mencuci tangan sesudah membuang tinja anak, tidak mencuci
tangan sebelum atau sesudah menyuapi anak dan tidak membuang
2.1.7.

tinja termasuk tinja bayi dengan benar.(12)


Patomekanisme diare

Diare disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi/patomekanisme


sebagai berikut :
a. Osmolaritas intraluminal yang meninggi atau diare osmotik,
disebabkan karena meningginya tekanan osmotik intralumen dari usus
halus yang disebabkan oleh obat-obat/zat kimia yang hiperosmotik
(MgSO4, Mg(OH)2), malabsorpsi umum dan defek dalam absorpsi
mukosa usus misalnya pada defisiensi disararidase, malabsorpsi
glukosa / galaktosa.
b. Sekresi cairan dan elektrolit meninggi disebabkan oleh meningkatnya
sekresi air dan elektrolit dari usus, menurunnya absorpsi. Diare ini
secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali
dan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum.
Penyebab dari diare tipe ini antara lain karena efek enterotoksin pada
infeksi Vibrio cholera, atau Escherichia coli, penyakit yang

11

menghasilkan hormon, reseksi ileum (gangguan absorpsi garam


empedu), dan efek obat laksatif (dioktilnatriumsulfosuksinat dan lainlain).
c. Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak disebabkan oleh
gangguan pembentukan/produksi empedu dan penyakit-penyakit
saluran bilier dan hati.
d. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit
disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+, K+
ATPase di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal.
e. Motilitas dan waktu transit usus abnormal disebabkan hipermotilitas
dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan absorpsi yang
abnormal di usus halus. Penyebab gangguan motilitas anatara lain :
diabetes mellitus, pasca vagotomi, hipertiroid.
f. Gangguan permeabilitas usus disebabkan adanya kelainan morfologi
membran epitel spesifik pada usus halus.
g. Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik yang disebabkan
oleh adanya kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi, sehingga
terjadi produksi mukus yang berlebihan dan eksudat air dan elektrolit
kedalam lumen, gangguan absorpsi air-elektrolit. Infalamsi mukosa
usus disebabkan infeksi (disentri shigellosis) atau non infeksi (kolitis
ulseratif dan penyakit Crohn).
h. Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi disebabkan oleh infeksi
bakteri. Dari sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas noninvansif (tidak merusak mukosa) dan invansif (merusak mukosa).
Bakteri non-invansif menyebabkan diare karena toksin yang disekresi
oleh bakteri tersebut, yang disebut diare toksigenik. Contoh diare

12

toksigenik yaitu kolera. Enterotoksin yang dihasilkan kuman Vibrio


cholare/eltor merupakan proteinyang dapat menempel pada epitel
usus, yang lalu membentuk adenosine monofosfat siklik (AMF sikilk)
di dinding usus dan menyebabkan sekresi aktif anion klorida yang
diikuti air, ion bikarbonat, dan kation natrium dan kalium. Mekanisme
absorpsi inon natrium melalui mekanisme pompa natrium tidak
terganggu karena itu keluarnya ion klorida (diikuti ion bikarbonat, air,
natrium, ion kalium) dapat dikompensasi oleh meningginya absorpsi
ion natrium (diiringi oleh air, ion kalium dan ion bikrabonat, klorida).
Kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan glukosa yang
diabsorpsi secara aktif oleh dinding sel usus.(11)
2.1.8.
Prinsip tatalaksana penderita diare
Intervensi untuk menurunkan angka kematian dan angka kesakitan
adalah melaksanakan tatalaksana penderita diare, yaitu:(12)
1. Mencegah terjadinya dehidrasi
Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah
dengan memberikan minum lebih banyak dengan cairan rumah
tangga yang dianjurkan.
2. Mengobati dehidrasi
Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak), penderita harus segera
dibawa ke petugas kesehatan atau sarana kesehatan untuk
mendapatkan pengobatan yang lebih cepat dan tepat, yaitu dengan
oralit.
3. Memberi makanan
Memberikan makanan selama serangan diare sesuai yang dianjurkan
dengan memberikan makanan yang mudah dicerna. Anak yang
masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI. Setelah diare

13

berhenti, pemberian makanan diteruskan selama dua minggu untuk


membantu pemulihan berat berat badan anak.

4. Mengobati masalah lain


Apabila diketemukan penderita diare disertai dengan penyakit lain,
maka
2.1.9.

diberikan

pengobatan

sesuai

anjuran,

dengan

tetap

mengutamakan rehidrasi.
Penanggulangan diare

Menurut Depkes RI , penanggulangan diare antara lain:(12)


a. Pengamatan intensif dan pelaksanaan SKD (Sistem Kewaspadaan
Dini)
Pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh data tentang jumlah
penderita dan kematian serta penderita baru yang belum dilaporkan
dengan melakukan pengumpulan data secara harian pada daerah
focus dan daerah sekitarnya yang diperkirakan mempunyai risiko
tinggi terjangkitnya penyakit diare. Sedangakan pelaksanaan SKD
merupakan salah satu kegiatan dari survailans epidemiologi yang
kegunaanya untuk mewaspadai gejala akan timbulnya KLB diare.
b. Penemuan kasus secara aktif
Tindakan untuk menghindari terjadinya kematian di lapangan karena
diare pada saat KLB di mana sebagian besar penderita berada di
masyarakat.
c. Pembentukan pusat rehidrasi

14

Tempat untuk menampung penderita diare yang memerlukan


perawatan dan pengobatan pada keadaan tertentu misalnya lokasi
KLB jauh dari puskesmas atau rumah sakit.
d. Penyediaan logistik saat KLB
Tersedianya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penderita pada saat
terjadinya KLB diare.
e. Penyelidikan terjadinya KLB
Kegiatan yang bertujuan untuk pemutusan mata rantai penularan dan
pengamatan intensif baik terhadap penderita maupun terhadap faktor
risiko.
f. Penularan penyebab KLB
Pemutusan rantai upaya pemutusan rantai penularan penyakit diare
pada saat KLB diare meliputi peningkatan kualitas kesehatan
lingkungan dan penyuluhan kesehatan.
2.1.10.

Pencegahan diare

Menurut Depkes RI, penyakit diare dapat dicegah melalui promosi


kesehatan antara lain:(12)
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Meningkatkan penggunaan ASI.


Memperbaiki praktek pemberian makanan pendamping ASI.
Penggunaan air bersih yang cukup.
Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan dan BAB.
Penggunaan jamban yang benar.
Pembuangan kotoran yang tepat termasuk tinja anak-anak dan bayi

yang benar.
g. Memberikan imunisasi campak.

15

2.2 Kesehatan Lingkungan


Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan
lingkunagm

yang

optimum

sehingga

berpengaruh

positif

terhadap

terwujudnya status kesehatan yang optimal pula. Ruang lingkup kesehatan


lingkungan mencakup : perumahan, pembuanagan kotoran manusia (tinja),
penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air
limbah), rumah hewan ternak (kandang), dan sebagainya.
2.2.1 Penyediaan air bersih
Air merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Kebutuhan
manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak,
mencuci, mandi dan sebagainya. Menurut perhitungan Badan
Kesehatan Dunia di negara-negara maju setiap orang memerlukan air
antara 60-120 liter per hari. Sedangkan di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia setiap orang memerlukan air antara 30-60 liter per
hari. Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting
adalah kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan
minum (termasuk untuk memasak) air harus mempunyai persyaratan
khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia
termasuk diare.(1) Nelazyani dkk mendapatkan bahwa penyediaan air
bersih yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3 kali lebih besar
untuk terkena diare.(16)
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih adalah:
1) Mengambil air dari sumber air yang bersih.
2) Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan
tertutup, serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil air.
3) Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh
binatang, anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber

16

air minum dengan sumber pengotoran (tangki septik), tempat


pembuangan sampah dan air limbah harus lebih dari 10 meter.
4) Menggunakan air yang direbus.
5) Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih
dan cukup.(12)
a. Sumber air minum
Masyarakat membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari, maka
masyarakat menggunakan berbagai macam sumber air bersih
menjadi air minum. Sumber-sumber air minum tersebut seperti :
1) Air hujan atau Penampungan Air Hujan (PAH)
Air hujan dapat ditampung kemudian dijadikan air minum.
Tetapi air hujan ini tidak mengandung kalsium. Oleh karena itu,
agar dapat dijadikan air minum yang sehat perlu ditambahkan
kalsium di dalamnya.
2) Air sungai dan danau
Menurut asalnya sebagian dari air sungai dan air danau ini juga
dari air hujan yang mengalir melalui saluran-saluran ke dalam
sungai atau danau. Kedua sumber air ini sering disebut air
permukaan.
3) Mata air
Air yang keluar dari mata air ini biasanya berasal dari air tanah
yang muncul secara alamiah. Oleh karena itu, air dari mata air
ini, bila belum tercemar oleh kotoran sudah dapat dijadikan air
minum langsung, tetapi karena belum yakin apakah betul belum
tercemar, maka sebaiknya air tersebut direbus terlebih dahulu
sebelum diminum.
4) Air sumur dangkal
Air ini keluar dari dalam tanah, maka juga disebut air tanah.
Dalamnya lapisan air ini dari permukaan tanah dari tempat yang

17

satu ke tempat yang lain berbeda-beda. Biasanya berkisar antara


5 sampai dengan 15 meter dari permukaan tanah.
5) Air sumur dalam
Air ini berasal dari lapisan air kedua di dalam tanah. Dalamnya
dari permukaan tanah biasanya di atas 15 meter. Oleh karena itu,
sebagian besar air minum dalam ini sudah cukup sehat untuk
dijadikan air minum yang langsung (tanpa melalui proses
pengolahan).(1)
Air sumur memiliki kualitas lebih rendah daripada air PDAM, karena
air sumur memiliki kemungkinan besar tercemar daripada air PDAM
sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap timbulnya penyakit diare.
b. Kualitas fisik air bersih
Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak
berasa dan tidak berbau. Syarat-syarat air minum yang sehat adalah
sebagai berikut:
1) Syarat Fisik
Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening
(tidak berwarna), tidak berasa, tidak berbau, suhu dibawah suhu
udara di luarnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari cara
mengenal air yang memenuhi persyaratan fisik tidak sukar.
2) Syarat Bakteriologis
Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala
bakteri, terutama bakteri patogen. Cara untuk mengetahui
apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri patogen adalah
dengan memeriksa sampel air tersebut. Bila dari pemeriksaan
100 cc air terdapat kurang dari empat bakteri E. coli, maka air
tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan.

18

3) Syarat Kimia
Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu di
dalam jumlah tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah
satu zat kimia di dalam air, akan menyebabkan gangguan
fisiologis pada manusia seperti flour (1-1,5 mg/l), klor (250
mg/l), arsen (0,05 mg/l), tembaga (1,0 mg/l), besi (0,3 mg/l), zat
organik (10 mg/l), pH (6,5-9,6 mg/l), dan CO2 (0 mg/l).(1)
Kondisi fisik sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan
berdasarkan penilaian inspeksi sanitasi dengan kategori tinggi dan
amat tinggi dapat mempengaruhi kualitas air bersih dengan adanya
pencemaran air kotor yang merembes ke dalam air sumur.(17)
2.2.2 Kepemilikan Jamban
Masalah pembuanagan kotoran manusia merupakan masalah yang
pokok untuk sedini mungkin diatasi. Karena kotoran manusia (feces)
adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Benda-benda
yang terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang sudah menderita
suatu penyakit tertentu, sudah barang tentu akan menjadi penyebab
penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan
tinja akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan
melalui tinja. Maka bila pengelolaan tinja tidak baik, jelas akan mudah
tersebar. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia
antara lain : tifus, disentri, diare, kolera, bermacam-macam cacing
(gelang, kremi, tambang, pita), schistomiasis dan sebagainya. Jamban
merupakan sarana yang digunakan masyarakat sebagai tempat buang air
besar. Sehingga sebagai tempat pembuangan tinja, jamban sangat

19

potensial untuk menyebabkan timbulnya berbagai gangguan bagi


masyarakat yang ada di sekitarnya. Gangguan tersebut dapat berupa
gangguan estetika, kenyamanan dan kesehatan. Suatu jamban disebut
sehat untuk

daerah pedesaan, apabila memenuhi persyaratan-

persyaratan sebagai berikut:


1) Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban tersebut.
2) Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.
3) Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.
4) Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan
5)
6)
7)
8)
9)

binatang-binatang lainnya.
Tidak menimbulkan bau.
Mudah digunakan dan dipelihara.
Sederhana desainnya.
Murah.
Dapat diterima oleh pemakainya.(1)

Macam-macam kakus atau tempat pembuangan tinja, yaitu:


1) Pit-privy (Cubluk)
Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah
dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 meter. Dindingnya
diperkuat dengan batu atau bata, dan dapat ditembok ataupun tidak
agar tidak mudah ambruk. Lama pemakaiannya antara 5-15 tahun.
Bila permukaan penampungan tinja sudah mencapai kurang lebih 50
cm dari permukaan tanah, dianggap cubluk sudah penuh. Cubluk
yang penuh ditimbun dengan tanah. Ditunggu 9-12 bulan. Isinya
digali

kembali

untuk

dipergunakan kembali.
2) Aqua-privy (Cubluk berair)

pupuk,

sedangkan

lubangnya

dapat

20

Terdiri atas bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai
tempat pembuangan tinja. Proses pembusukannya sama seperti
halnya pembusukan tinja dalam air kali. Untuk kakus ini, agar
berfungsi dengan baik, perlu pemasukan air setiap hari, baik sedang
dipergunakan atau tidak.
3) Watersealed latrine (Leher angsa)
Jamban jenis ini merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan,
oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan.
Pada kakus ini closetnya berbentuk leher angsa, sehingga akan selalu
terisi air. Fungsi air ini gunanya sebagai sumbat, sehingga bau busuk
dari cubluk tidak tercium di ruangan rumah kakus.
4) Bored hole latrine
Sama dengan cubluk, hanya ukurannya lebih kecil karena untuk
pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan
sementara.
5) Bucket latrine (Pail closet)
Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian
dibuang di tempat lain, misalnya untuk penderita yang tidak dapat
meninggalkan tempat tidur.
6) Trench latrine
Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30-40 cm untuk tempat
penampungan tinja. Tanah galiannya dipakai untuk menimbuninya.
7) Overhung latrine
Kakus ini semacam rumah-rumahan yang dibuat di atas kolam,
selokan, kali dan rawa.
8) Chemical toilet (Chemical closet).
Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi soda kaustik
sehingga dihancurkan sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakan
dalam kendaraan umum, misalnya pesawat udara atau kereta api.

21

Dapat pula digunakan dalam rumah sebagai pembersih tidak


dipergunakan air, tetapi dengan kertas (toilet paper).(18)
2.2.3 Jenis lantai rumah
Syarat rumah yang sehat, jenis lantai rumahnya yang penting tidak
berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan.
Lantai rumah dari tanah agar tidak berdebu maka dilakukan penyiraman
air kemudian dipadatkan dengan benda-benda yang berat dan dilakukan
berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu menimbulkan sarang
penyakit. Dari segi kesehatan, lantai ubin atau semen merupakan lantai
yang baik sedangkan lantai rumah dipedesaan cukuplah tanah biasa
yang dipadatkan.(1) Berdasarkan penelitian Purwadiani jenis lantai
rumah merupakan faktor risiko terhadap kejadian diare pada balita di
Desa Blimbing Kecamatan Sambarejo Kabupaten Sragen.(19) Apabila
perilaku penghuni rumah tidak sesuai dengan norma-norma kesehatan
seperti

tidak

membersihkan

lantai

dengan

baik,

maka

akan

menyebabkan terjadinya penularan penyakit termasuk diare.(1)


2.2.4 Kepemilikan saluran pembuangan air limbah
Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang
berasal dari rumah tangga, industri, maupun tempat-tempat umum
lainnya dan pada umumnya mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang
dapat membahayakan bagi kesehatan manusia serta menggangu
lingkungan hidup. Batasan lain mengatakan bahwa air limbah adalah
kombinasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah

22

pemukiman, perdagangan, perkantoran dan industri, bersama-sama


dengan air tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada.
Air buangan adalah air yang tersisa dari kegiatan manusia, baik
kegiatan rumah tangga maupun kegiatan manusia, baik kegiatan rumah
tangga maupun kegiatan lain seperti industri, perhotelan, dan
sebagainya. Meskipun merupakan air sisa, namun volumenya besar,
karena lebih kurang 80% dari air yang digunakan bagi kegiatankegiatan manusia sehari-hari tersebut dibuang lagi dalam bentuk yang
sudah kotor (tercemar). Selanjutnya air limbah ini akhirnya akan
mengalir ke sungai dan akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh sebab
itu, air buangan ini harus dikelola dan atau diolah secara baik.
Air limbah ini berasal dari berbagai sumber, secara garis besar
dapat dikelompokan menjadi :
1. Air buangan yang bersumber dari rumah tangga (domestic wastes
water), yaitu air limbah yang berasal dari pemukiman penduduk.
Pada umumnya air limbah ini terdiri dari ekstreta (tinja dan air seni),
air bekas cucian dapur dan kamar mandi, dan umumnya terdiri dari
bahan-bahan organik.
2. Air buangan industri (industrial wastes water), yang berasal dari
berbagai jenis industri akibat proses produksi. Zat-zat yang
terkandung didalamnya sangat bervariasi sesuai dengan bahan baku
yang dipakai oleh masing-masing industri, antara lain: nitrogen,
sulfida, amoniak, lemak, garam-garam, zat pewarna, mineral, logam
berat, zat pelarut, dan sebagainya. Oleh sebab itu, pengolahan jenis

23

air limbah ini agar tidak menimbulkan polusi lingkungan menjadi


lebih rumit.
3. Air buangan kotapraja (municipal wastes water), yaitu air buangan
yang berasal dari daerah: perkotaan, perdagangan, hotel, restoran,
tempat-tempat umum, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya. Pada
umumnya zat-zat yang terkandung dalam jenis air limbah ini sama
dengan limbah rumah tangga.
Karakteristik air limbah perlu dikenal karena hal ini akan
menentukan cara pengolahan yang tepat, sehingga tidak mencemari
lingkungan hidup. Secara garis besar karakteristik air limbah ini
digolongkan menjadi:
a. Karakteristik fisik
Sebagian besar terdiri dari air dan sebagainya kecil terdiri dari
bahan-bahan padat dan suspensi. Terutama air limbah rumah tangga,
biasanya berwarna suram seperti larutan sabun, sedikit berbau.
Kadang-kadang mengandung sisa-sisa kertas, berwarna bekas cucian
beras dan sayur, bagian-bagian tinja, dan sebagainya.
b. Karakteristik kimiawi
Biasanya air buangan ini mengandung campuran zat-zat kimiawi
anorganik yang berasal dari air bersih serta bermacam-macam zat
organik berasal dari penguraian tinja, urin, dan sampah-sampah
lainnya. Oleh sebab itu, pada umumnya bersifat basah pada waktu
masih baru, dan cenderung bau asam apabila sudah mulai
membusuk. Substansi organik dalam air buangan terdiri dari
gabungan, yakni:
1. Gabungan yang mengandung nitrogen, misalnya: urea, protein,
amina, dan asam amino.

24

2. Gabungan yang tidak mengandung nitrogen, misalnya: lemak,


sabun, dan karbohidrat, termasuk selulosa.
c. Karakteristik bakteriologis
Kandungan bakteri patogen serta organisme golongan coli terdapat
juga dalam air limbah tergantung darimana sumbernya, namun
keduanya tidak berperan dalam proses pengolahan air buangan.
Sesuai dengan zat-zat yang terkandung dalam air limbah ini maka air
limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan berbagai
gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain:
1. Menjadi transmisi atau media penyebaran berbagai penyakit
terutama: kolera, tifus abdominalis, diare dan disentri basiler.
2. Menjadi media berkembang biaknya nyamuk atau tempat hidup
larva nyamuk.
3. Menimbulkan bau yang tidak sedap serta pandangan yang tidak
enak
4. Menjadi media berkembangbiaknya mikroorganisme patogen.
5. Merupakan sumber pencemaran air permukaan, tanah, dan
lingkungan hidup lainnya.
6. Mengurangi produktivitas manusia, karena orang bekerja dengan
tidak nyaman, dan sebagainya.
Untuk mencegah atau mengurangi akibat-akibat buruk tersebut
diperlukan kondisi, persyaratan dari upaya-upaya sedemikian rupa
sehingga air limbah tersebut:
1) Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber air minum.
2) Tidak mengakibatkan pencemaran terhadap permukaan tanah.
3) Tidak menyebabkan pencemaran air untuk mandi, perikanan, air
sungai, atau tempat-tempat rekreasi.
4) Tidak dapat dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat
berkembangbiaknya berbagai bibit penyakit dan vektor.

25

5) Tidak terbuka kena udara luar (jika tidak diolah) serta tidak dapat
dicapai oleh anak-anak.
6) Baunya tidak mengganggu.
Pengolahan air limbah dimaksudkan untuk melindungi lingkungan
hidup terhadap pencemaran air limbah tersebut. Secara alamiah
sebenarnya lingkungan mempunyai daya dukung yang cukup besar
terhadap gangguan yang timbul karena pencemaran air limbah tersebut.
Namun demikian, alam mempunyai kemampuan yang terbatas dalam daya
dukungnya, sehingga air limbah perlu diolah sebelum dibuang. (1) Menurut
penelitian Yuki Laura Angelin dkk, kepemilikan sarana pembuangan air
limbah merupakan faktor risiko terhadap terjadinya kejadian diare di
Kelurahan Sukaraja Kecamatan Medan Maimun.(20) Beberapa cara
sederhana pengolahan air buangan antara lain :
a. Pengenceran (dilution)
Air limbah diencerkan sampai mencapai kosentrasi yang cukup rendah,
kemudian baru dibuang ke badan-badan air. Akan tetapi, dengan makin
bertambahnya penduduk yang berarti makin meningkatnya kegiatan
manusia, maka jumlah air limbah yang harus dibuang terlalu banyak,
dan diperlukan air pengenceran terlalu banyak pula, maka cara ini tidak
dapat dipertahankan lagi. Di samping itu, cara ini menimbulkan
kerugian lain, diantaranya; bahaya kontaminasi terhadap aliran-aliran
air masih tetap ada, pengendapan yang akhirnya menimbulkan
pendangkalan terhadap badan-badan air, seperti selokan, sungai, danau,
dan sebagainya. Selanjutnya dapat menimbulkan banjir.
b. Kolam oksidasi (oxidation ponds)

26

Pada prinsipnya cara pengolahan ini adalah pemanfaatan sinar matahari,


ganggang (alga), bakteri dan oksigen dalam proses pembersihan
alamiah. Air limbah dialirkan ke dalam kolam besar berbentuk segi
empat dengan kedalaman antara 1-2 meter. Dinding dan dasar kolam
tidak perlu diberi lapisan apapun. Lokasi kolam harus jauh dari daerah
pemukiman, dan di daerah yang terbuka, sehingga memungkinkan
sirkulasi amgin dengan baik.
c. Irigasi
Air limbah dialirkan ke dalam parit-parit terbuka yang digali, dan air
akan merembes masuk ke dalam tanah melalui dasar dan dinding paritparit tersebut. Dalam keadaaan tertentu air buangan dapat digunakan
untuk pengairan ladang pertanian atau perkebunan dan sekaligus
berfungsi untuk pemupukan. Hal ini terutama dapat dilakukan untuk air
limbah dari rumah tangga, perusahaan susu sapi, rumah potong hewan,
dan lain-lainnya dimana kandungan zat-zat organik dan protein cukup
tinggi yang diperlukan oleh tanaman-tanaman.(1)
2.3 Perilaku Kesehatan
Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Berdasarkan bentuk respon terhadap stimulus,
perilaku dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Perilaku tertutup (Cover Behaviour)
Respon seorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup (covert). Responsi masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus
tersebut.
b. Perilaku terbuka

27

Respon terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.


Respon terhadap stimulus ini sudah jelas dalam entuk tindakan atau
praktek (practice), yang mudah dapat diamati atau dilihat orang lain.
Misalnya penderita tuberkulosis paru minum obat secara teratur.(1)
Perilaku yang dapat menyebabkan kuman enterik dan meningkatkan risiko
terjadinya diare antara lain:
1. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun sesudah dan sebelum makan
serta buang air besar.
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi
dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air bersih
dan sabun oleh manusia agar menjadi bersih dan memutuskan mata
rantai kuman. Perilaku Sehat Cuci Tangan Pakai Sabun yang
merupakan salah satu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), saat ini
juga telah menjadi perhatian dunia, hal ini karena masalah kurangnya
praktek perilaku cuci tangan tidak hanya terjadi di negara-negara
berkembang saja, tetapi ternyata di negara-negara maju pun kebanyakan
masyarakatnya masih lupa untuk melakukan perilaku cuci tangan. (21)(22)
2. Menggunakan air yang tercemar
Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui fekal-oral
kuman tersebut dapat ditularkan bila masuk ke dalam mulut melalui
makanan, minuman atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya
jari-jari tangan, makanan yang wadah atau tempat makan-minum yang
dicuci dengan air tercemar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar
bersih mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan

28

masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat


mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan menggunakan
air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari
sumbernya sampai penyimpanan di rumah.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
1) Ambil air dari sumber air yang bersih.
2) Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan
gayung khusus untuk mengambil air.
3) Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi
anak-anak.
4) Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih).
5) Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang
bersih dan cukup.
Hal-hal tersebut yang perlu diperhatikan keluarga dalam penyediaan air
bersih.(8)
3. Pemanfaatan dan perawatan jamban
Upaya pemamfaatan jamban mempunyai dampak yang besar dalam
penurunan risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak
mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga harus buang
air besar di jamban. Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
1) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat
dipakai oleh seluruh anggota keluarga.
2) Bersihkan jamban secara teratur.

Faktor Perilaku Kesehatan

Gambar 1. Kerangka Teori

Kejadian Diare

Orang Sehat

Menggunakan Air yang Tercemar

Jenis Lantai Rumah


ksanakan kebiasaan mencuci tangan pakai sabun sebelum dan sesudah makan dan buang air besar.

idak Menggunakan dan Merawat Jamban dengan Tepat

epemilikan Jamban

Mikroorganisme

Penyebab Penyakit

29

3) Gunakan alas kaki bila akan buang air besar.


Hal-hal tersebut diatas harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya

penyakit diare. (8)

Kepimilikan Sarana Pembuanagan Air Limbah

Penyediaan Air Bersih

Faktor Kesehatan Lingkungan

2.5 Hipotesis
1. H0 : Tidak ada hubungan antara faktor risiko penyedian air bersih
Kualitas Fisik Air Bersih

terhadap kejadian diare di wilyah kerja Puskesmas Korbafo.


H1 : Ada hubungan antara faktor risiko penyedian air bersih terhadap
Sumber Air Minum

2.4 Kerangka Teori

30

kejadian diare di wilyah kerja Puskesmas Korbafo.


2. H0 : Tidak ada hubungan antara faktor risiko kepemilikan jamban
terhadap kejadian diare di wilyah kerja Puskesmas Korbafo.
H1 : Ada hubungan antara faktor risiko kepemilikan jamban terhadap
kejadian diare di wilyah kerja Puskesmas Korbafo.
3. H0 : Tidak ada hubungan antara faktor risiko jenis lantai terhadap
kejadian diare di wilyah kerja Puskesmas Korbafo.
H1 : Ada hubungan antara faktor risiko jenis lantai terhadap kejadian
diare di wilyah kerja Puskesmas Korbafo.
4. H0 : Tidak ada hubungan antara faktor risiko kepemilikan sarana
pembuangan air limbah terhadap kejadian diare di wilyah kerja
Puskesmas Korbafo.
H1 : Ada hubungan antara faktor risiko kepemilikan sarana
pembuangan air limbah terhadap kejadian diare di wilyah kerja
Puskesmas Korbafo.

31

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep

Penyediaan Air
Bersih

Kepemilikan
Jamban
Faktor Kesehatan
Lingkungan

Jenis Lantai Rumah

Kepimilikan Sarana
Pembuangan Air
Limbah

Kejadian
Diare

Faktor Perilaku
Kesehatan

Gambar 2. Kerangka Konsep


Keterangan

Tidak diteliti

32

Diteliti
3.2 Identifikasi Variabel
3.2.1 Variabel terikat :
Kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Korbafo Kecamatan
Pantai Baru Kabupaten Rote Ndao.
3.2.2 Variabel bebas :
Sanitasi lingkungan meliputi :
1. Penyediaan air bersih
2. Kepemilikan jamban
3. Jenis lantai rumah
4. Kepemilikan sarana pembuangan air limbah
3.2.3 Variabel perancu :
Perilaku Kesehatan
3.3 Definisi operasional
No
Variabel
1. Variabel
terikat : Diare

Penyediaan
air bersih

Definisi
Diare adalah
buang
air
besar dengan
tinja berbentuk
cair
atau
setengah cair (
setengah
padat),
kandungan air
tinja
lebih
banyak
dari
biasanya lebih
dari 3 kali
sehari.

Pengukuran
Penyajian
Wawancara, 1. Tidak diare
kuisioner,
2. Diare
dan
data
sekunder

Asal
atau Wawancara, 1. Air terlindung
dan memenuhi
jenis air yang kuisioner dan
observasi
syarat kondisi
digunakan

Skala
Nominal

Nominal

33

untuk
minum bagi
keperluan
hidup seharihari
yang
memenuhi
syarat
kondisi fisik
air bersih.
Sarana yang
digunakan
untuk buang
air
besar yang
dimiliki oleh
responden

penyediaan
air bersih

fisik air bersih


2. Air
tidak
terlindung dan
tidak memenuhi
syarat kondisi
fisik air bersih

Kuisioner
1. Memiliki
dan observasi
jamban, jika
kepemilikan
ada lubang
jamban
leher
angsa/tangki
septik,
bersih
dan
tertutup
2. Tidak
memiliki
jamban, jika
tidak
ada
lubang leher
angsa/tangki
septik, kotor
dan
tidak
tertutup
Jenis lantai Keadaan
Kuisioner
1. Kedap air
rumah
dan observasi
a) Semen
lantai
jenis lantai
b) Ubin
responden
rumah
c) Keramik
berdasarkan
2. Tidak kedap air
bahannya
a) Tanah
b) Kayu/bambu
Kepemilikan Sarana
Kuisioner
1. Meliliki Sarana
saluran
pembuangan air
pembuanaga dan observasi
pembuangan n
limbah
air sarana
air
limbah buangan
pembuangan 2. Tidak memiliki
(SPAL)
sarana
atau air sisa air limbah
pembuangan air
rumah
limbah
tangga yang
meliputi
:
karakteriristi
k fisik, jenis
air
limbah,
dan
cara
Kepemilikan
jamban

Nominal

Nominal

Nominal

34

pengolahan
air limbah
3.4 Jenis dan rancangan komponen penelitian
Jenis

penelitian

observasional

yang

dengan

digunakan
desain

merupakan

kasus-kontrol

penelitian
(case-control

analitik
study).

Penelitian kasus-kontrol adalah merupakan penelitian epidemiologis


analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau
kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu dengan
pendekatan retrospektif.(23) Dengan kata lain, efek (penyakit atau status
kesehatan)

diidentifikasi

pada

saat

ini,

kemudian

faktor

risiko

diidentifikasi ada atau terjadinya pada waktu yang lalu. (24) Desain kasus
kontrol dapat digunakan untuk menilai berapa besarkah peran faktor risiko
dalam kejadian penyakit.(23) Secara sederhana rancangan kasus-kontrol
dalam penelitian ini
digambarkan sebagai berikut :
Faktor risiko +
Faktor risiko Faktor risiko +
Faktor risiko -

Retrospektif
(kasus)

Efek +
Populasi
(sampel)

Retrospektif
(kontrol)

Efek -

Skema 3.4. Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol


Keteranagan :

35

Faktor risiko

: Penyediaan air bersih, kepemilikan jamban, jenis lantai rumah,


kepemelikan sarana air limbah.

Kasus

: Responden yang mederita diare.

Kontrol

: Responden yang tidak menderita diare.

Efek

: Kejadian diare.

3.5 Lokasi dan waktu


Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Korbafo Kecamatan
Pantai Baru Kabupaten Rote Ndao pada bulan Agustus Tahun 2014.
3.6 Populasi dan sampel
3.6.1 Populasi
1. Populasi Kasus
Semua responden yang mengalami diare pada tahun 2013 di
wilayah kerja Puskesmas Korbafo Kecamatan Pantai Baru
Kabupaten Rote Ndao.
2. Populasi Kontrol
Semua responden yang tidak mengalami diare pada tahun 2013 di
wilayah kerja Puskesmas Korbafo Kecamatan Pantai Baru
Kabupaten Rote Ndao.
3.6.2 Sampel
Pada penelitian ini pemilihan sampel dengan cara probability
sampling yaitu tiap subyek dalam populasi terjangkau mempunyai
kesempatan yang sama untuk teriplih atau untuk tidak terpilih
sebagai sampel penelitian. Teknik sampling penelitian ini dengan

36

sistem cluster sampling, yaitu sampel dipilh secara acak pada


kelompok individu dalam populasi yang terjadi secara alamiah, misal
wilayah (kodya, kecamatan, kelurahan, dan seterusnya).(25)
Besar sampel dihitung berdasarkan rumus sebagai
berikut:
P1P2

2
(Z 2 PQ+ Z P1 Q1 + P2 Q2)
n1=n2=

dimana :
n1=n2= Jumlah kasus dan kontrol
P2 = Perkiraan proporsi paparan pada kelompok kasus
P 1=

x P2

( 1P2 ) +( x P2)

Q1 = 1 - P1
P2 = Perkiraan proporsi paparan pada kelompok kontrol = 0,531(26)
Q2 = 1 - P2 = 0,469
OR = Besar risiko paparan x faktor risiko = 3, 824(26)
Z = Statistik z pada distribusi normal standar, pada tingkat
kemaknaan 95% ( = 0,05) untuk uji dua arah = 1,96.
Z = Power sebesar 80% = 0,84
P = (P1+P2)
Q=1P

37

Berdasarkan rumus di atas, maka besar sampel dapat dihitung


sebagai berikut :
P 1=

3,824 x 0,531
=0,812
( 10,531 ) +(3,824 x 0,531)

Q1 = 1 0,812 = 0,188
P = (0,469 + 0,812) = 0,640
Q = 1 0,640 = 0,359
0,8120,531

2
(1,96 2 ( 0,640 ) (0,359)+ 0,84 ( 0,812 )( 0,188 )+ ( 0,531 ) ( 0,469))
n1=n2=

n1=n2 = 44,2
Maka sampel yang dibutuhkan adalah 44 kasus dan 44 kontrol.
3.7 Kriteria inklusi dan eksklusi
3.7.1

Kriteria Inklusi kelompok kasus

a. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian.


b. Berusia antara 0-15 tahun.
c. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Korbafo
Kecamatan Pantai Baru Kabupaten Rote Ndao.
d. Untuk kelompok kasus tercatat sebagai responden yang
dinyatakan menderita diare pada tahun 2013 berdasarkan
rekam medik.
e. Untuk kelompok kontrol adalah :

38

1) Bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas Korbafo


Kecamatan Pantai Baru Kabupaten Rote Ndao.
2) Tidak menderita diare berdasrkan rekam medik.
3) Berusia 0-15 tahun.
3.7.2
Kriteria Eksklusi
a. Memiliki riwayat penyakit kronik.
b. Berusia lebih dari 15 tahun.
c. Bertempat tinggal di luar wilayah kerja Puskesmas Korbafo
Kecamatan Pantai Baru Kabupaten Rote Ndao.

3.8 Alur penelitian dan cara kerja


3.8.1

Alur Penelitian

Izin
Penelitian

Penentuan
Populasi

Teknik sampling dan


penentuan besar sampel

Pemberian kuisioner dan


observasi sesuai dengan
faktor risiko yang diteliti

Data

Skoring

Analisis Data

Informed
Consent

Pemilihan sampel
sesuai kriteria inklusi

Penyajian data dalam


laporan hasil penelitian

Skema 3.2. Alur Penelitian


3.8.2

Cara kerja

1. Sumber data
Data sekunder diambil melalui pencatatan dari rekam medik
pasien diare di Puskesmas Korbafo pada tahun 2013. Data
primer diambil menggunakan instrumen kuesioner yang

39

digunakan untuk mengumpulkan data tentang karekteristik


lingkungan responden, serta observasi langsung untuk
mencatat ada tidaknya faktor risiko kesehatan lingkungan
terhadap kejadian diare di Puskesmas Korbafo tahun 2013.
2. Alat penelitian/Instrumen Penelitian
a. Alat tulis yang digunakan untuk mencatat dan melaporkan
hasil penelitian
b. Kertas dan Komputer.
c. Kuisioner terstruktur sebagai panduan wawancara dan
pengamatan untuk mendapatkan data dari responden.
d. Peralatan penunjang.
3.9 Analisis Data
3.9.1 Pengumpulan data
Setelah data penelitian terkumpul dan lengkap, kemudian dilakukan
langkahlangkah sebagai berikut :
1. Editing
Setelah data terkumpul dilakukan editing untuk mengecek
kelengkapan data, kesinambungan data dan keseragaman data
untuk menjamin validitas data.
2. Coding
Pemberian kode dan skor terhadap jawaban responden, hal ini
dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data.
3. Tabulating
Pembuatan tabel untuk variabel yang akan dianalisa.
4. Entry data
Memasukkan data-data ke dalam program komputer.
3.9.2 Jenis Pengolahan Data

40

Data dianalisa dan diinterpretasikan dengan menggunakan program


komputer dengan tahapan sebagai berikut :
1. Analisa Univariat
Analisa

univariat

bertujuan

untuk

menjelaskan

atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada


umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi
frekuensi dan persentase dari tiap variabel yang disajikan dalam
bentuk tabel, gambar diagram maupun grafik.(24)
2. Analisis Bivariat
Untuk melihat hubungan antara variable independen dengan
variable terikat dan variabel bebas, apakah variabel tersebut
mempunyai hubungan yang signifikan atau hanya hubungan
secara kebetulan. Dalam analisis uji statistic yang digunakan
adalah uji Chi Square (X2). Dalam penelitian kesehatan uji
signifikan dilakukan dengan batas kemaknaan (alpha) = 0,05
dan 95 % Condidence Interval dengan ketentuan bila :
1) P value < 0,05 brarti H0 ditolak ( P value < ). Uji
2)

statistik menunjukan adanya hubungan yang signifikan.


P value > 0,05 brarti H0 gagal ditolak ( P value > ). Uji
statistik

menunjukan

tidak

ada

hubungan

yang

signifikan.(27)
Untuk menginterpretasikan hubungan risiko pada penelitian ini
digunakan Odds Ratio (OR) dengan hasil interpretasi sama
dengan penelitian cross sectional yaitu :
a. Jika OR = 1, diperkirakan tidak ada asosiasi antara faktor
risiko dan penyakit atau bukan merupakan faktor risiko.

41

b. Jika OR > 1, diperkirakan terdapat asosiasi positif antara


faktor risiko dan penyakit atau faktor yang diteliti
c.

merupakan faktor risiko.


Jika OR < 1, diperkirakan terdapat asosiasi negatif antara
faktor risiko dan penyakit atau faktor yang diteliti

merupakan faktor yang melindungi atau protektif.(23)


3.10 Kerangka Operasional
Kegiatan
4
Penyusunan
Proposal
Seminar Proposal
Pengumpulan data
Pengolahan Data
Analisis Data
Penyusunan
Laporan
Seminar Hasil
Ujian Skripsi

2014
Bulan
7
8
9

10

11

12

42

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
4.1.1 Letak Geografis
Secara geografis, Puskesmas Korbafo berada di wilayah Kecamatan Pantai
Baru Kabupaten Rote Ndao. Di sebelah utara Puskesmas Korbafo berbatasan
dengan Laut Sawu, di sebelah selatan timur berbatasan dengan Kecamatan Rote
Timur dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rote Tengah.(28)
4.1.2 Luas Wilayah
Luas wilayah Kecamatan Pantai Baru sekitar 176,18 km 2, yang perincian
luas wilayahnya sebagai berikut :
Tabel 4.1
Nama Desa dan Luas Wilayah di Puskesmas Korbafo Kecamatan Pantai
Baru Tahun 2013
No

Desa

Luas Wilayah (Km2)

Presentase

1
2
3
4
5

Nusakdale
Batulilok
Lenupetu
Sonimanu
Oebau

7,69
16,89
8,86
5,76
23,89

4,36
9,59
5,03
3,27
13,56

43

6
7
8
9
10
11

4.1.3

Oeledo
Olafulihaa
Tunganamo
Tesabela
Edalode
Keoen
Jumlah

13,60
16,91
12,08
11,64
15,13
43,73
176,18

7,72
9,60
6,86
6,60
8,59
24,82
100,00
Sumber :rotendao.bps.go.id(29)

Kependudukan
Berdasarkan data registrasi penduduk tahun 2013 dari Badan Pusat Statistik

(BPS) Kecamatan Pantai Baru, jumlah penduduk Kecamatan Pantai Baru adalah
13.913 jiwa dimana terdiri dari laki-laki sebesar 6.990 jiwa dan perempuan
sebesar 6.923 jiwa. Jumlah pendatang sebesar 181 jiwa dan jumlah penduduk
yang pindah sebesar 63 jiwa dengan kepadatan penduduknya sebesar 78
jiwa/Km2. (30)
4.1.4 Pelayanan Kesehatan
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kesehatan. Oleh karena itu
ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan sangatlah penting. Saran kesehatan di
Kecamatan Pantai Baru yaitu berupa puskesmas, puskesmas pembantu dan yang
baru tahun ini adalah adanya puskesmas keliling. Puskesmas terdapat di ibukota
kecamatan yaitu Kelurahan Olafulihaa serta di Desa Sonimanu, sedangkan
wilayah desa lain hanya terdapat puskesmas pembantu.(30)
4.1.5 Perumahan
Rumah sehat merupakan bangunan rumah tinggal yang memenuhi syarat
kesehatan yakni yang memiliki jamban sehat, sarana air bersih, tempat
pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi rumah yang baik,
kepadatan hunian rumah sesuai dan lantai rumah tidak terbuat dari tanah
(Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan
Peumahan). Tahun 2013 di Puskesmas Korbafo Kecamatan Pantai Baru, jumlah
rumah yang diperiksa sebanyak 1600 rumah dari 1955 rumah yang ada (81,49%).

44

Rumah yang memenuhi persyaratan sebagai rumah sehat sebanyak 1367 rumah
(85,44%). Jika dilihat menurut wilayah, maka presentase rumah sehat tertinggi
berada di wilayah Kel. Olafulihaa (88,35%) dan terendah di Desa Edalode
(80,52%).(28)
4.2 Karakteristik Responden
4.2.1 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin
Jumlah subyek penelitian ada 88 orang terdiri dari 44 kasus dan 44 kontrol.
Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin
Subyek Penelitian
Total
Jenis Kelamin
Kasus
Kontrol
Laki-laki
Perempuan
Jumlah

N
30
14
44

%
68,5
31,5
100,0

N
26
18
44

%
59,00
41,00
100,0

N
56
32
88

%
63,5
36,5
100,0

Tabel diatas menunjukan bahwa jenis kelamin laki-laki pada kelompok kasus
sebanyak 30 (68,5%) dan kelompok kontrol sebanyak 26 (59,0%), demikian juga
pada jenis kelamin perempuan proporsinya pada kelompok kasus sebanyak 14
(31,5%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 18 (41,0%).
4.2.2

Distribusi Responden Menurut Golongan Umur


Data dari Riskesdas tahun 2007 menunjukan prevalensi terdeteksi diare

paling banyak pada nak balita (1-4 tahun) yaitu sebesar 16,7 % dan umur 5-15
tahun menempati urutan prevalensi tertinggi ke empat sebesar 9 % (8), dari hasil
pengamatan pra-penelitian yang di lakukan peneliti di Puskesmas Korbafo di
dapat golongan umur dari rentang 0-15 tahun paling banyak terdiagnosis diare
menurut data rekam medik.
Subyek Penelitian
Kelompok Umur
<5
5 10
11 15
Jumlah

Kasus
N
%
27
61,0
14
32,0
3
7,0
44
100,0

Kontrol
N
%
19
43,0
18
40,0
7
15,0
44
100,0

Total
N
46
32
10
88

%
52,2
36,4
11,4
100,0

45

Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Golongan Umur


Tabel diatas menunjukkan bahwa proporsi umur responden yang paling banyak
pada kelompok umur dibawah 5 tahun yaitu 46 orang (52,2%). Pada kelompok
kasus, umur responden yang paling banyak adalah di bawah 5 tahun yaitu 27
orang (61,0%). Pada kelompok kontrol, umur responden yang paling banyak
adalah di bawah 5 tahun yaitu 18 orang (40,0%).
4.2.3 Distribusi Responden Menurut Tempat Penemuan Kasus Diare
Tabel 4.4 Distribusi Responden Menurut Tempat Penemuan Kasus Diare
Desa

Kejadian Diare

Olafulihaa

N
15

%
34

Tungganamo

18

41

Tesabela

11

Edalode

Keoen

Jumlah

44

100

Tabel diatas menunjukkan Desa Tungganamo merupakan desa dengan penemuan


kasus terbanyak yaitu 18 kasus (41%), sedangkan Desa Edalode dan Desa Keoen
masing-masing hanya terdapat 3 kasus (7%).
4.3 Analisis Faktor Risiko
Deskripsi variabel penelitian ditunjukkan dari hasil distribusi frekuensi dari
masing-masing variabel

penelitian.

Pengelompokan ini

bertujuan untuk

mengetahui hubungan dari masing-masing variabel yang akan diteliti dengan


kejadian diare pada responden yang berumur 0 - 15 tahun yang dianalisis dengan
menggunakan dua tahap yaitu tahap pertama menggunakan analisis univariat,

46

kemudian tahap kedua dicari hubungannya dengan kejadian diare dengan


menggunakan analisis bivariat.
4.3.1 Gambaran Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan dengan Kejadian
Diare
Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran distribusi
frekuensi subjek penelitian dan distribusi proporsi kasus dan control
menurut masing-masing variabel bebas (faktor risiko) yang diteliti.
Tabel 4.5 Gambaran Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan dengan
Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Korbafo
Kecamatan Pantai Baru Kabupaten Rote Ndao Tahun 2014
Subyek Penelitian
No
Faktor Risiko
Kasus
Kontrol
N
%
N
%
Penyediaan Air Bersih
1. Sumber airnya berjarak
< 10 meter dari sumber
pencemar serta berbau,
berasa, berwarna, dan
25
56,8
9
20,5
1.
keruh
2. Sumber airnya berjarak
19
43,2
35
79,5
> 10 meter dari sumber
pencemar serta tidak
berbau, berasa,
berwarna, dan keruh
2

3
4

Kepemilikan Jamban
1. Bukan jenis leher angsa
2. Jenis leher angsa
Jenis Lantai Rumah
1. Tidak terbuat dari
semen, ubin atau
keramik
2. Terbuat dari semen,
ubin atau keramik
Kepemilikan Sarana
Pembuanagan Air Limbah
1. Tidak memiliki saluran
pembuangan dan tempat
penampungan air
limbah
2. Memiliki saluran
pembuangan dan tempat

22
22

50,0
50,0

17
27

38,6
61,4

13,6

20,5

38

86,4

35

79,5

39

88,6

38

86,4

11,4

13,6

47

penampungan air
limbah
Penyediaan air bersih dalam penelitian ini adalah asal atau jenis
air yang digunakan untuk minum bagi keperluan hidup
sehari-hari yang memenuhi syarat kondisi fisik air bersih .
Pada kasus yang tidak memenuhi syarat (sumber airnya berjarak < 10 meter
dari sumber pencemar serta berbau, berasa, berwarna dan keruh) sebesar
56,8%, sedangkan pada kontrol yang tidak memenuhi syarat kesehatan lebih
kecil yaitu sebesar 20,5%.
Kepemilikan jamban adalah sarana yang digunakan untuk buang air
besar yang diimilki responden. Pada kasus yang tidak memiliki jamban
(bukan jenis leher angsa) sebesar 50,0%, sedangkan pada kontrol lebih kecil
yaitu 38,6%. Responden yang memiliki jamban (jenis leher angsa) pada
kasus sebesar 50,0% dan pada kontrol 61,4%.
Jenis lantai rumah adalah keadaan lantai rumah responden
berdasarkan bahannya. Berdasarkan observasi pada kasus yang lantainya
tidak kedap air (jenis lantai rumahnya tidak dilapisi semen,ubin atau
keramik) sebesar 13,6%, sedangkan pada kontrol lebih besar yaitu 20,5%.
Jenis lantai yang kedap air (jenis lantai rumahnya tidak dilapisi semen,ubin
atau keramik) pada kasus sebesar 86,4%, sedangkan pada kontrol lebih kecil
yaitu 79,5%.
Sarana pembuangan air limbah adalah sarana pembuangan air
buangan atau air sisa rumah tangga yang meliputi :
karakteriristik fisik, jenis air limbah, dan cara pengolahan air

48

limbah. Pada kasus yang tidak memilki SPAL (tidak memiliki tempat
penampungan dan saluran pembuangan air limbah) sebesar 88,6%,
sedangkan pada kontrol sebesar 86,4%. Responden kasus yang memiliki
SPAL (tidak memiliki tempat penampungan dan saluran pembuangan air
limbah) sebesar 11,4%, sedangkan pada kontrol sebesar 13,6%.
Selanjutnya data-data tersebut di analisis dengan uji chi-square untuk
4.3.2

mengetahui hubungan masing-masing variabel dengan kejadian diare.


Hubungan Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan dengan Kejadian
Diare
1. Hubungan penyediaan air bersih dengan kejadian diare
Penyediaan air bersih adalah asal atau jenis air yang
digunakan untuk minum bagi keperluan hidup sehari-hari
yang memenuhi syarat kondisi fisik air bersih.
Tabel 4.6
Distribusi Penyediaan Air Bersih dengan Kejadian Diare
di Wilayah Kerja Puskesmas Korbafo Kecamatan Pantai
Baru Kabupaten Rote Ndao Tahun 2014
Subyek Penelitian
Penyediaan Air
p
Kasus
Kontrol
Bersih
N
%
N
%
Tidak memenuhi
25
56,8
9
20,5
syarat
0,000
Memenuhi syarat
19
43,2
35
79,5
OR = 5,117
CI 95% = 1,989 < OR < 13,161
Secara statistik hasil analisa menunjukkan p = 0,000 (p < 0,05) dan
OR = 5,117 dengan CI 95% = 1,989 < OR < 13,161 dengan demikian
dapat disimpulkan H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dapat
dinyatakan bahwa penyediaan air bersih merupakan faktor risiko
kejadian diare atau ada hubungan antara penyediaan air bersih dengan
kejadian diare. Odds Ratio 5,117 berarti seseorang yang sumber airnya
berbau, berasa, berwarna dan keruh memiliki risiko 5,117 kali lebih

49

besar untuk menderita diare dibandingkan dengan orang yang sumber


airnya memiliki jarak > 10 meter dari sumber pencemar serta tidak
berbau, berasa, berwarna dan keruh.
Dari hasil penelitian Nelazyani, dkk 2012 tentang hubungan
lingkungan rumah dan penyediaan air bersih dengan kejadian diare
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu Kecamatan
Sungai Serut Kota Bengkulu Tahun 2012 terdapat hubungan antara
penyediaan air bersih dengan kejadian diare dengan didapatkan Odds
Ratio 3,697, p = 0,006.(16)
Sumber air yang tidak memenuhi syarat dapat
memudahkan

penyebaran

penyakit

diare,

terutama

melalui jalur fekal-oral yaitu lewat air yang sudah


tercemar, baik tercemar dari sumbernya, tercemar selama perjalanan
sampai ke rumah-rumah, atau tercemar pada saat disimpan di rumah.
Pencemaran ini terjadi bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau
apabila tangan yang tercemar menyentuh air pada saat mengambil air
dari tempat penyimpanan.(15) Dari hasil pengamatan peniliti
dilapangan didapatkan sumber air milik pribadi maupun
yang diadakan oleh pemerintah memiliki jarak kurang
dari 10 meter dari sumber pencemar seperti kubangan
air ternak, kandang ternak, serta septic tank. Selain itu
dari

hasil

wawancara

dengan

kuisioner

terhadap

responden diketahui bahwa sebagian masyarakat yang


sumber

airnya

berasal

dari

sumur,

airnya

tidak

50

memenuhi kareteristik fisik air bersih seperti air yang


berasa asin, keruh, dan berbau. Dilapangan peneliti juga
mendapatkan ada beberapa masyarakat yang peralatan
makan dan minum yang digunakan tidak dicuci dengan
bersih namun hal tersebut tidak diteliti oleh peneliti.
2. Hubungan kepemilikan jamban dengan kejadian diare
Kepemilikan jamban adalah sarana yang digunakan untuk buang air
besar yang diimilki responden.
Tabel 4.7
Distribusi Kepemilikan Jamban dengan Kejadian Diare di
Wilayah Kerja Puskesmas Korbafo Kecamatan Pantai
Baru Kabupaten Rote Ndao Tahun 2014
Subyek Penelitian
Kepemilikan
p
Kasus
Kontrol
Jamban
N
%
N
%
Tidak Memiliki
22
50,0
17
38,6
Memilki
22
50,0
27
61,4
0,283
OR = 1,588
CI 95% = 0,681<OR<3,075
Secara statistik hasil analisa menunjukkan p = 0,283 (p > 0,05)
dengan demikian dapat dikatakan H0 diterima dan H1 ditolak sehingga
dapat dinyatakan bahwa kepemilikan jamban bukan merupakan faktor
risiko kejadian diare atau tidak ada hubungan antara kepemilikan
jamban dengan kejadian diare. Dari hasil penelitian Kadarrudin, dkk
2014 tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada bayi
di wilayah kerja Puskesmas Pallangga Kabupaten Gowa menunjukkan
tidak ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare
dengan didapatkan hasil nilai p = 0,731.(31) Sedangkan dari hasil
penelitian Siti Amaliah 2010 tentang hubungan sanitasi lingkungan dan
faktor budaya dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Toriyo

51

Kecamatan Bondosari Kabupaten Sukoharjo menunjukan ada hubungan


antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare dengan didapatkan
hasil nilai p = 0,017.(10) Berdasarkan hasil pengamatan peneliti
dilapangan hampir semua responden sudah memiliki jamban yang sehat
terutama jenis leher angsa tetapi kesadaran masyrakat untuk
memanfaatkan jamban masih kurang, seperti masih adanya perilaku
masyarakat yang buang air besarnya di hutan, sekitar perkarangan
rumah dan lain-lain tetapi hal tersebut tidak diteliti oleh peneliti.
Sehingga memudahkan terkontaminasi oleh tinja dan bisa diperparah
lagi kalau tinjanya berasal dari sseorang yang menderita diare. Tinja
dapat menyebarkan beberapa penyakit kepada manusia seperti diare,
disentri, tifus, kolera, dan sebagainya.
3. Hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian diare
Jenis lantai rumah adalah keadaan lantai rumah responden
berdasarkan bahannya.
Tabel 4.8
Distribusi Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian Diare
di Wilayah Kerja Puskesmas Korbafo Kecamatan
Pantai Baru Kabupaten Rote Ndao Tahun 2014
Subyek Penelitian
p
Jenis Lantai Rumah
Kasus
Kontrol
Tidak Kedap Air
Kedap Air
OR = 0,614

N
%
N
%
6
13,6
9
20,5
38
86,4
35
79,5
CI 95% = 0,198<OR<1,902

0,395

Secara statistik hasil analisa menunjukkan p = 0,395 (p > 0,05)


dengan demikian dapat dikatakan H0 diterima dan H1 ditolak sehingga
dapat dinyatakan bahwa jenis lantai rumah bukan merupakan faktor
risiko kejadian diare atau tidak ada hubungan antara jenis lantai rumah

52

dengan kejadian diare. Dari hasil penelitian Kadarrudin, dkk 2014


tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada bayi di
wilayah kerja Puskesmas Pallangga Kabupaten Gowa menunjukkan
tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian diare dengan
didapatkan hasil nilai p = 0,252.(31) Sedangkan dari hasil penelitian
Umiati 2009 tentang hubungan antara sanitasi lingkungan denga
kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Nogosari
Kabupaten Boyolali menunjukan ada hubungan antara jenis lantai
dengan kejadian diare dengan didapatkan hasil nilai p = 0,036. (4)
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti didapatkan hampir semua
responden baik kelompok kasus maupun kontrol sudah memiliki jenis
lantai yang kedap air (semen, ubin atau keramik) dengan frekuensinya
86,4 % (kasus) dan 79,5 % (kontrol) sehingga jenis lantai tidak
memiliki hubungan dengan kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas
Korbafo, hal tersebut juga dikarenakan rata-rata tingkat ekonomi cukup
baik, yang dilihat dari rumah masyarakat yang termasuk dalam jenis
rumah permanaen, tetapi hal tersebut tidak diteliti oleh peneliti.
4. Hubungan kepemilikan sarana pembuangan air limbah dengan kejadian
diare
Sarana pembuangan air limbah adalah sarana pembuangan
air buangan atau air sisa rumah tangga yang meliputi :
karakteriristik fisik, jenis air limbah, dan cara pengolahan
air limbah.

53

Tabel 4.9

Distribusi Kepemilikan Sarana Pembuangan Air


Limbah dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja
Puskesmas Korbafo Kecamatan Pantai Baru Kabupaten
Rote Ndao Tahun 2014
Subyek Penelitian
P
Sarana Pembuangan
Kasus
Kontrol
Air Limbah
N
%
N
%
Tidak Memiliki
39
88,6
38
86,4
0,747
Memiliki
5
11,4
6
13,6
OR = 1,232
CI 95% = 0,347<OR<4,377
Dari hasil penelitian tentang kepemilikan sarana pembuangan air

limbah (SPAL) secara statistik menunjukkan p = 0,747 (p > 0,005)


dengan demikian dapat dikatakan H0 diterima dan H1 ditolak sehingga
dapat dikatakan tidak ada hubungan antara sarana pembuangan air
limbah dengan kejadian diare. Dari hasil penelitian Yuki Laura
Angeline, dkk 2012 tentang hubungan kondisi sanitasi dasar dengan
keluhan kesehatan diare serta kualitas air pada pengguna air sungai Deli
di Kelurahan Sukaraja Kecamatan Medan Maimun menunjukan tidak
ada hubungan antara sarana pembuangan air limbah dengan kejadian
diare dengan di dapatkan hasil p = 0,05.(20) Hasil Penelitian Bhakti
Rochman 2010 tentang hubungan antara sanitasi lingkungan dengan
kejadian diare pada balita di Kecamatan Jatipuro Kabupaten
Karanganyar menununjukan ada hubungan antara sarana pembuangan
air limbah denga kejadian diare dengan didapatkan hasil p = 0,026. (32)
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti di lapangan didapatkan hampir
semua responden baik itu kelompok kasus maupun kontrol

tidak

memiliki sarana pembuangan air limbah (SPAL) dengan frekuensinya

54

88,6 % (kasus) dan 86,4 % (kontrol), sehingga air limbahnya dialirkan


atau dibuang saja ke pekarangan rumah. Hal tersebut juga dipengaruhi
oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang sarana pembuangan
air limbah tetapi peneliti tidak meneliti tentang pengetahuan masyarakat
tentang sarana pembuangan air limbah.
Tabel 4.10

N
O
1.
2.
3.
4.

Hasil Perhitungan Analisis Bivariat dengan Uji ChiSquare Faktor Kesehatan Lingkungan dengan Kejadian
Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Korbafo Kecamatan
Pantai Baru Kabupaten Rote Ndao Tahun 2014

Faktor Risiko

OR

95%CI

Nilai
p

Keterangan

Penyediaan air
bersih
Kepemilikan
jamban
Jenis
lantai
rumah
Kepemilikan
sarana
pembuangan
air limbah

5,177

1,989<OR<13,161

0,000

Sig

1,588

0,681<OR<3,075

0,283

Tidak Sig

0,614

0,198<OR<1,902

0,395

Tidak Sig

1,232

0,347<OR<4,377

0,747

Tidak Sig

4.4 Keterbatasan Penelitian


1.
Respon imun berbeda untuk tiap responden sehingga mempengaruhi
hasil penelitian tetapi tidak diteliti oleh peneliti.

55

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian tentang hubungan faktor kesehatan lingkungan dengan
kejadian Diare di wilayah kerja Puskesmas Korbafo Kecamatan Pantai baru
Kabupaten Rote Ndao dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa

56

a. Ada hubungan antara penyediaan air bersih dengan kejadian diare


(p = 0,000)
b. Tidak ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare
(p = 0,283)
c. Tidak ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare
(p = 0,395)
d. Tidak ada hubungan antara sarana pembuangan air limbah dengan kejadian
diare (p = 0,747)
5.2 Saran
1. Bagi Dinas Kesehatan atau Puskesmas :
a. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam pembagunan sumber air
umum agar memenuhi syarat kesehatan sumber air.
b. Menyebarkan media informasi seperti leaflet, poster dll,
agar semua lapisan masyarakat dapat tersentuh dengan
informasi tentang diare.
2. Bagi Masyarakat :
a. Mengembangkan pengetahuan

tentang

penyakit

diare

dan

cara

pencegahannya.
b. Memperhatikan aspek kesehatan lingkungan pada segi penyediaan air
bersih, kepemilikan jamban, jenis lantai rumah, dan sarana pembuangan
air limbah.
c. Bagi Peneliti selanjutnya diharapkan agar meneliti variabel variabel
lain yang berhubungan terutama variabel perilaku dan pengetahuan
dengan kejadian diare serta melakukan penelitian yang lebih mendalam
di wilayah kerja Puskesmas Korbafo Kecamatan Pantai Baru Kabupaten
Rote Ndao.

57

DAFTAR PUSTAKA
1.

Notoatmodjo S. Kesehatan Masyarakat. 2nd ed. Jakarta: Rineka Cipta;


2011.

2.

Zubir, Juffrie M, Wibowo T. Faktor-faktor Resiko Kejadian Diare Akut


pada Anak 0-35 Bulan (BATITA) di Kabupaten Bantul. 2006;19.

3.

Notoatmodjo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta:


PT.Rineka Cipta; 2003.

4.

Umiati. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare


pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali
Tahun 2009. 2009;

5.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia


Tahun 2011. Jakarta; 2012 p. 59.

6.

Dinkes NTT. Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2012.
Kupang; 2013.

58

7.

Dinas Kabupaten Rote Ndao. Distribusi Kasus Diare Berdasrkan


Puskesmas di Kabupaten Rote Ndao Tahun 2012-2013. 2014.

8.

Subdit Pengendalian Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan Kemnkes RI,


Agtini MD, Soenarto SS. Situasi Diare di Indonesia. Kementrian Kesehatan
RI. Jakarta; 2011;234.

9.

Primadina W, Santoso L, Wuryanto MA. Hubungan Sanitasi Lingkungan


dengan Kejadian Diare Diduga Akibat Infeksi di Desa Gondosuli
Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. 2012;1.

10.

Amaliah S. Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Faktor Budaya dengan


Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari
Kabupaten Sukoharjo. 2010;

11.

Simadibrata M, Daldiyono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. V. Sudoyo A.,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Jakarta: Interna
Publishing; 2010. p. 54856.

12.

Depkes RI. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta:


Depkes RI; 2005.

13.

Setiawan B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. V. Sudoyo A, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
p. 283642.

14.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, editors.


Kapita Selekta Kedokteran. 3rd ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2009. p.
5007.

15.

Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Surabaya: Erlangga; 2008.

16.

Nelazyani L, Rina. Hubungan Lingkungan Rumah dan Penyediaan Air


Bersih dengan Kejadian Diare Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu Tahun 2012. 2012;

17.

Rahadi EB. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Diare di Desa


Peganjaran Kecamatan Bae Kabupaten Kudus Tahun 2005. 2005;

18.

Entjang I. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Citra Adtya Bakti; 2000.

59

19.

Purwadiani A. Hubunga antara Faktor Lingkungan dan Faktor


Sosiodemografi dengan Kejadian Diare Pada Balita dI Desa Blimbing
Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen Tahun 2009. 2009; Available
from: http://www.academia.edu/9013525/Kesehatan_masyarakat_-_full_jg

20.

Laura Angeline Y, Marsaulina I, Naria E. Hubungan Kondisi Sanitasi Dasar


Dengan Keluhan Kesehatan Diare Serta Kualitas Air Pada Pengguna Air
Sungai Deli di Kelurahan Sukaraja Kecamatan Medan Maimun. 2012;

21.

Anggrainy R. Cuci Tanga Pakai Sabun Untuk Menurunkan Angka Diare Di


Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Program Mendukung Perilaku Hidup
Bersih. 2010;

22.

Utomo AM. Hubungan Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) Dengan
Kejadian Diare Anak Usia Sekolah di SDN 02 Pelemsengir Kecamatan
Todanan Kabupaten Blora. 2012;15.

23.

Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metdologi Penelitian Klinis. 4th ed.


Jakarta: Sagung Seto; 2011.

24.

Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.Rineka


Cipta; 2010.

25.

Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metdologi Penelitian Klinis. 4th ed.


Jakarta: Sagung Seto; 2011.

26.

Wohanggara OM. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare


pada Balita (12-48 Bulan) di Wilayah Kerja Puskesmas Tana Rara
Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2012;

27.

Riyanto A. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. II. Yogyakarta: Nuha


Medika; 2011.

28.

Puskesmas Korbafo. Profil Kesehatan Puskesmas Korbafo Tahun


Kabupaten Rote Ndao. Kabupaten Rote Ndao; 2013.

29.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Rote Ndao. Pantai Baru Dalam Angka
2014 [Internet]. BPS KAB.ROTE NDAO. 2014 [cited 2015 Feb 11]. p. 4.
Available
from:
http://rotendaokab.bps.go.id/index.php?
hal=publikasi_detil&id=19

60

30.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Rote Ndao. Statistik Daerah Kecamatan


Pantai Baru 2014 [Internet]. BPS KAB.ROTE NDAO. 2014 [cited 2015
Feb 11]. p. 36. Available from: http://rotendaokab.bps.go.id/index.php?
hal=publikasi_detil&id=29

31.

Kadaruddin, Arsyad sidik D, Rismayanti. Faktor yang Berhubungan


Dengan Kejadian Diare Pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Pallangga
Kabupaten Gowa. 2014;

32.

Rochman B. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare


Pada Balita di Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar. 2010;

Anda mungkin juga menyukai