Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA

BAB I. Pendahuluan
Keanekaragaman hayati Indonesia sedang terancam; banyak spesies yang terancam
kepunahan, atau beberapa bahkan telah punah. Demikian juga kawasan hutan maupun
ekosistem lainnya telah mengalami degradasi; beberapa bahkan telah rusak sama sekali.
Proses menuju kepunahan pada berbagai spesies serta proses kerusakan (hilangnya) ekosistem
(hutan) di berbagai tempat hingga kini terus terjadi.
Berbagai ahli bahkan telah meramalkan bahwa hutan Sumatra akan habis sebelum
tahun 2010, demikian juga dengan hutan Kalimantan akan habis sekitar tahun 2015-2020.
Kondisi seperti ini terjadi karena prinsip-prinsip manajemen yang berorientasi pada
kesinambungan hasil belum diterapkan dengan baik. Pemanfaatan (eksploitasi) yang
dilakukan hanya berorientasi untuk "kepentingan kini dan pribadi"; belum berorientasi untuk
"kepentingan kini dan masa datang serta ummat manusia".
Ancaman kepunahan berbagai spesies keanekaragaman hayati, kerusakan dan
penurunan kualitas kawasan (lingkungan) serta reduksi sumber daya alam hayati yang terus
terjadi harus segera ditangani secara serius. Bila tidak; akan merupakan kerugian yang sangat
besar bagi kita dengan hilangnya keanekaragaman hayati sebagai sumberdaya alam dengan
nilai ekologi maupun nilai ekonomi serta nilia-nilai lainnya. Oleh karena itu, penerapan
prinsip-prinsip biomanajemen secara baik dalam pemanfaatan dan aspek konservasi lainnya
sudah menjadi keharusan untuk dilaksanakan di Indonesia. Tanpa penerapan prinsip-prinsip
kesinambungan dalam pengelolaan, maka upaya mempertahankan nilai-nilai hidupan dan
kawasan agar tetap sinambung tidak akan dapat terwujud.
Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan mengemukakan beberapa hal yang dianggap
dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam upaya manajemen keanekaragaman hayati;
baik pengelolaan kawasan (ekosistem) maupun pengelolaan spesies (target), agar nila-nilainya
dapat berkesinambungan. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
pertimbangan dalam merencanakan, menetapkan (model) manajemen dan menerapkan
aktivitas pengelolaan keanekaragaman hayati baik pengelolaan spesies (target, prioritas)
maupun pengelolaan suatu kawasan tertentu.
II. Konsep dasar
A. Tujuan

Dalam aktivitas manajemen keanekaragaman hayati; baik sebagai suatu spesies (target)
maupun dalam suatu kawasan (ekosistem); tujuan pengelolaan umumnya dapat
diklasifikasikan ke dalam,
a Untuk meningkatkan. Aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas
kawasan (ekosistem) yang rusak (terdegradasi) baik secara kualitas maupun secara
kuantitas, dan/atau untuk meningkatkan populasi suatu spesies, terutama spesies yang
telah terancam kepunahan
a Untuk menurunkan (mengontrol). Aktivitas yang dilakukan untuk menurunkan
populasi suatu spesies yang melimpah dan/atau keluar dari kawasan konservasi
tertentu, agar tidak mengganggu spesies lainnya (seperti mangsa, kompetitor) serta
lingkungan lain (manusia)
a Untuk menjaga (proteksi). Aktivitas yang dilakukan untuk menjaga suatu kawasan
tidak terpengaruh oleh agar proses ekologi dapat berlangsung secara alami.
Pengelolaan dengan tujuan proteksi umumnya dilakukan pada kawasan konservasi,
seperti di kawasan cagar alam dan zona inti taman nasional.
a Untuk memanfaatkan (eksploitasi). Aktivitas yang dilakukan untuk memanfaatkan
keanekaragaman hayati dan/atau suatu kawasan (ekosistem) dengan prinsip
kesinambungan hasil
Tujuan-tujuan tersebut dapat lebih difokuskan terhadap suatu kondisi dalam suatu
lokasi tertentu, sehingga menjadi spesifik dan dijadikan sebagai arah dalam pengelolaan.
Manajemen yang baik adalah yang berorientasi pada tujuan; dan tujuan yang telah ditetapkan
(untuk memecahkan masalah) harus dapat dicapai. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan
pengelolaan, tujuan dan kehendak (keinginan) yang telah ditetapkan dikaji (review) kembali
untuk meyakinkan apakah tujuan tersebut merupakan sesuatu yang memungkinkan untuk
dicapai (feasibel).
Agar aktivitas pengelolaan dapat terlaksana dengan baik, dan menghasilkan sesuatu
yang diharapkan; maka dalam perencanaan seharusnyalah dilakukan berbagai analisis
terhadap beberapa hal. Analisis paling tidak dilakukan terhadap lima hal; yaitu :
1 Analisis keinginan. Hasil-hasil (output) apa (saja) yang diinginkan untuk dicapai dalam
proyek pengelolaan yang akan dilaksanakan ? Identifikasi dan tentukan prioritas dari
setiap hasil yang diharapkan.

1 Analisis metoda. Cara / metode apa saja yang dapat diterapkan untuk memperoleh hasilhasil
yang diinginkan tersebut. Pilih (tetapkan) cara terbaik (yang paling memungkinkan)
untuk diterapkan.
1 Analisis waktu. Perhitungkan waktu yang dibutuhkan untuk tercapainya target (hasil) yang
telah ditetapkan. Tetapkan waktu sebagai suatu target; dan buatlah perencanaan waktu
(time table) yang diperlukan untuk setiap langkah dalam aktivitas pengelolaan.
1 Analisis kendala. Identifikasi kendala-kendala apa saja yang kemungkinan akan ditemukan
dalam pelaksanaan setiap langkah pengelolaan dan akan menghambat (memperlambat)
tercapainya hasil. Identifikasi berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan
(meminimalisasi) kendala-kendala tersebut.
1 Analisis untung-rugi. Perhitungkan keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian yang
akan timbul dengan pelaksanaan proyek. Suatu proyek dapat dilaksanakan bila keuntungan
lebih besar dari kerugian. Keuntungan dan kerugian tidak hanya ditinjau dari aspek
ekonomi saja tetapi juga dari aspek ekologi.
Setiap point dalam analisis tersebut adalah saling tergantung satu sama lain; sehingga
penilaian harus dilakukan secara menyeluruh. Bila ada satu point yang tidak memungkinkan
maka proyek pengelolaan tidaklah feasibel, sehingga aktivitas pengelolaan sebaiknya tidak
usah dilaksanakan. Hasil penilaian dalam analisis, selanjutnya dijadikan sebagai patokan
dalam merumuskan kembali tujuan dan aktivitas-aktivitas yang akan dilaksanakan dalam
pengelolaan. Rumusan tujuan harus nyata dan merupakan fakta secara ekologis serta dapat
tercapai pada selang waktu yang sudah tertentu.
B. Biomanajemen berdasarkan prinsip ekologis dan sosiologis
Manajemen keanekaragaman hayati; baik dalam suatu kawasan (pengelolaan kawasan
/ habitat) maupun pengelolaan yang lebih dikhususkan terhadap suatu spesies (target), harus
berlandaskan pada konsep-konsep ekologis dan sosiologis; bila tidak, pengelolaan dengan
segala aktivitas yang dilakukan akan dapat saling berbenturan (kepentingan) sehingga
dinamisasi sistem dalam kawasan tidak akan berlangsung dengan baik. Benturan kepentingan
akan dapat terjadi antar (spesies) hidupan penghuni kawasan dan/atau antar manusia
(masyarakat) di sekitar kawasan maupun antar manusia dengan kawasan yang akan dikelola.
Bila ini terjadi, maka keberhasilan tidak akan tercapai; kalaupun tujuan pengelolaan (misalnya
pengelolaan suatu spesies) dapat tercapai, tetapi akan dapat berakibat tidak baik terhadap

spesies lainnya. Oleh karena itu, pengelolaan harus direncanakan dengan mempertimbangkan
segala aspek dan keterkaitan antar komponen ekosistem; sehingga hasil pengelolaan akan baik
secara ekologis dan dapat difahami serta bermanfaat bagi masyarakat, baik secara langsung
maupun secara tak langsung.
Dalam konsep ekologi; semua komponen yang ada dalam lingkungan adalah saling
tergantung/pengaruh mempengaruhi; tidak ada satu komponenpun yang dapat berdiri sendiri
tanpa terpengaruh dan mempengaruhi komponen lain; baik itu komponen biotik (hidupan)
maupun komponen abiotik (fisik). Namun demikian, hubungan antar komponen mempunyai
keeratan yang bervariasi. Jadi, bila mengelola suatu spesies hidupanliar; pertimbangan
pemilihan metoda tidak hanya tergantung pada kebaikan spesies itu semata, tetapi juga harus
memperhitungkan dampaknya terhadap spesies lain. Karena bila tidak, dampak yang terkena
pada spesies lain akan juga mempengaruhi spesies yang sedang dikelola nantinya. Apalagi
bila yang dikelola adalah kawasan (multi spesies) maka semua faktor harus menjadi
pertimbangan dalam perencanaan dan tindakan pengelolaan.
Keberhasilan pengelolaan sangat tergantung dengan masyarakat, terutama masyarakat
yang berada di sekitar kawasan yang akan dikelola. Masyarakat, dimanapun berada selalu
mempunyai nilai-nilai dan adat yang dijunjung tinggi; bahkan seringkali nilai-nilai yang ada
sangat berkaitan dengan pandangan terhadap hutan dan keanekaragaman hayati. Nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat harus dihormati, dan dalam perencanaan dan aktivitas pengelolaan
harus tidak dilanggar; tetapi diupayakan agar sejalan dengan pengelolaan. Semua aktivitas
dalam pengelolaan serta hasil akhir yang akan dicapai, yang tertuang dalam tujuan dan/atau
harapan, sedapat mungkin tidak akan merugikan masyarakat (upayakan agar menguntungkan
masyarakat), terutama masyarakat sekitar kawasan pengelolaan.
Semua aktivitas pengelolaan harus difahami masyarakat; sehingga tugas pengelola
tidak hanya merencanakan, memanipulasi atau proteksi kawasan (dan sumberdaya alam) tetapi
juga menginformasikan ke masyarakat. Akan sangat bermanfaat, bahwa dalam perencanaan
melibatkan masyarakat; paling tidak mengajak masyarakat berdiskusi untuk memahami
pandangan masyarakat tentang kegiatan yang akan dilakukan. Bila masyarakat tidak
memahami aspek-aspek pengelolaan yang akan dilakukan, maka mereka tidak akan
mendukung upaya pengelolaan tersebut.
Kawasan hutan adalah "milik masyarakat"; masyarakat telah memanfaatkannya secara

turun temurun; oleh karena itu pelarangan-pelarangan (pembuatan aturan) harus dilakukan
secara hati-hati. Bila membuat suatu aturan (pelarangan) berikan pemahaman tentang
untungruginya,
dan berikanlah jalan keluar bagi masyarakat, agar aturan tersebut dapat dihormati.
Dengan menganggap bahwa kawasan hutan adalah milik masyarakat, maka masyarakat harus
dilibatkan dalam pengelolaan, upayakan dalam posisi yang sejajar, bukan sebagai hubungan
antara atasan dan bawahan.
Dukungan dari instansi-instansi terkait, pemerintan (daerah), dan LSM juga sangat
diperlukan, sehingga aspek-aspek pengelolaan sedapat mungkin sejalan dengan pembangunan
dan peningkatan potensi daerah. Dalam pengelolaanpun seharusnya semua instansi-instansi
tersebut dilibatkan; sehingga dalam perencanaan sangat diperlukan mengidentifikasi instansi
dan/atau kelompok masyarakat mana saja yang berkepentingan dan akan terkena dampak
(baik dampak positif maupun dampak negatif) dalam pengelolaan kawasan maupun
pengelolaan keanekaragaman hayati.
C. Biomanajemen berdasarkan data dan analisis
Perencanaan maupun aktivitas pengelolaan keanekaragaman hayati (di Indonesia)
umumnya masih didasarkan pada model manajemen secara tradisional; yakni kebijakan
tentang pengelolaan berasal dari ahli dan/atau para pengambil keputusan. Dalam manajemen
tradisional; konservasi sangat dominan, tanpa interes untuk mencoba (menguji) ide-ide baru
sebelum diterapkan, padahal ide baru tersebut belum tentu cocok di kawasan yang akan
dikelola. Selanjutnya, nilai (keberhasilan) dari pengelolaan tidak dapat diprediksi secara baik;
bahkan aktifitas pengelolaan akan selalu dinilai berhasil karena tidak adanya indikator tentang
keberhasilan atau indikator tentang kegagalan.
Para ahli dan pejabat pengambil keputusan tidaklah selalu benar; sehingga
perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan seringkali tidak tepat sasaran. Pengalaman di suatu
daerah memang sangat berharga untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan di daerah lain;
tetapi kondisi antar daerah adalah bervariasi sehingga pengalaman saja tidaklah cukup dalam
upaya pengelolaan yang efektif dan efisien.
Perencanaan dan aktivitas pengelolaan sudah seharusnya didasarkan pada data dan
fakta aktual yang diperoleh dengan riset. Setiap langkah harus berdasarkan pengetahuan
empiris yang dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi lokal. Ide-ide baru yang muncul

dimanfaatkan berdasarkan pendekatan penelitian; sebelum diterapkan terlebih dulu diuji


sehingga dapat diketahui kendala dan keuntungan apa saja yang akan diperoleh dengan
menerapkan ide-ide baru tersebut. Dengan teridentifikasinya kendala, kita dapat menghindari
atau meminimalisasinya sekaligus memaksimalkan keuntungan-keuntungan yang mungkin
dapat diraih. Jadi; sebelum pelaksanaan, kita sudah yakin akan pengaruh manipulasi
(berdasarkan fakta/informasi yang ada) yang akan dilakukan; karena kalau keliru
memanipulasi atau keliru memprakirakan dampak, maka yang terjadi dapat saja bukan
penyelamatan keanekaragaman hayati dan perbaikan kawasan (ekosistem) tetapi akan dapat
bertambah terancam dan rusak.
Dalam manajemen model tradisional; kriteria keberhasilan seringkali tidak jelas,
sehingga berhasil tidaknya pengelolaan tidak dapat dinilai. Oleh karena itu; dalam rencana
pengelolaan, perumusan kriteria keberhasilan/kegagalan sudah harus ditetapkan Dengan
adanya kriteria tersebut, rencana kerja yang diusulkanpun dapat dinilai sejauhmana
pencapaian yang dicanangkan oleh sipemrakarsa kegiatan pengelolaan.
Berhasil atau tidaknya pengelolaan dapat dinilai dengan membandingkan outcome
(hasil yang diperoleh) dengan tujuan. Tingkat pencapaian hasil, dinilai dengan kriteria
keberhasilan/kegagalan yang telah ditentukan dalam perencanaan dengan menetapkan
targettarget
yang akan dicapai secara nyata (kuantitatif). Dengan adanya kriteria keberhasilan, kita
dapat menilai apakah pekerjaan yang kita lakukan telah berhasil atau belum; bahkan pihak
lainpun dapat menilai berhasil-tidaknya kegiatan yang dilakukan. Sebaliknya; bila tidak ada
kriteria (keberhasilan/kegagalan) untuk penilaian, maka pengelolaan yang dilakukan seolaholah
selalu berhasil; dan bila tidak berhasil (gagal) pun selalu dicari alasan yang menjadi
penyebab (umumnya penduduk) tidak tercapainya tujuan.
III. Perlindungan kawasan
Pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana, yang
merupakan konsep pelestarian modern; menuntut kita untuk menerapkan prinsip-prinsip
biomanajemen dalam pengelolaan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya di Indonesia.
Penetapan kawasan-kawasan perlindungan (seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, dll.) dimaksudkan tidak hanya untuk melindungi keanekaragaman hayati tetapi juga
melindungi ekosistem secara keseluruhan. Status kawasan perlindungan yang berbeda,

mempunyai sistem manajemen bervariasi sesuai dengan tujuan utama penetapan kawasan
perlindungan.
Penetapan suatu kawasan perlindungan sangat ditentukan oleh potensi dasar kawasan;
selanjutnya, kesinambungan nilai-nilai dalam kawasan akan dipengaruhi oleh proses awal
dalam mendesain kawasan perlindungan. Secara umum; kawasan yang luas akan lebih baik
dari yang sempit; banyak lebih baik dari sedikit; berhubungan lebih baik dari yang terisolasi;
dan berkelompok lebih baik dari linier.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut; keberadaan koridor antar kawasan (terutama
kawasan kecil) perlu dipertimbangkan. Keberadaan koridor tidak hanya mempunyai
keuntungan potensial tetapi juga dapat merugikan, sehingga pembuatan koridor harus
diperhitungkan dengan baik. Keuntungan potensial koridor antara lain adalah : meningkatkan
kekayaan spesies, ukuran populasi, dan memperkecil kemungkinan inbreeding, serta
memperluas daerah jelajah. Sebaliknya kerugian adanya koridor antara lain adalah sebagai
jembatan masuknya spesies yang tidak diinginkan ke dalam kawasan, jembatan kebakaran,
serta memerlukan biaya tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik dengan strategi
penggunaan lahan secara konvensional.
Penetapan suatu kawasan untuk perlindungan keanekaragaman hayati, umumnya
ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah sehingga seringkali menimbulkan knflik. Oleh
karena itu, keberadaan kawasan perlindungan seringkali menjadi tidak efektif karena tidak
didukung oleh masyarakat. Padahal, keberadaan suatu kawasan perlindungan tidak akan
bermanfaat secara optimal bila tidak mendapat dukungan dari masyarakat, terumata dari
masyarakat yang hidup di sekitar kawasan.
Konflik dengan masyarakat setempat terutama terjadi karena masyarakat pada
umumnya memanfaatkan kawasan untuk keperluan hidupnya; bahkan di berbagai tempat,
konflik sangat susah dihindari karena adanya pemukiman di dalam kawasan (enclave).
Secara hukum, di dalam kawasan konservasi (misalnya cagar alam, dan zona inti taman
nasional) tidak boleh ada kegiatan yang dapat merubah fungsi kawasan selain kegiatan
penelitian. Namun dengan adanya enclave (dengan segala kegiatan penduduknya, serta
kemungkinan pemukiman yang selalu punya akses untuk berkembang) fungsi kawasan
konservasi akan terganggu. Keberadaan dan aktivitas penduduk, tidak dapat disalahkan;
karena penduduk sudah lebih dulu mendiami kawasan jauh sebelum kawasan tersebut

ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Kondisi sepereti ini terus berlanjut di berbagai
kawasan konservasi di Indonesia; tanpa terlihat adanya penanganan yang serius. Hukum
memang ada tetapi penerapannya boleh dibilang tidak ada. Ini terjadi karena penetapan
kawasan konservasi hanya dilakukan secara sepihak, bahkan batas-batasnya saja seringkali
hanya ditetapkan di atas kertas. Padahal; seharusnya dalam menetapkan kawasan konservasi
seharusnya mempertimbangkan keberadaan masyarakat setempat dan sedapat mungkin
melibatkan masyarakat dalam perencanaan, penetapan dan pengelolaan kawasan. Selanjutnya
keberadaan kawasan tidak hanya akan merugikan masyarakat (dengan pelarangan-pelarangan
memasuki kawasan dan eksploitasi; padahal kawasan tersebut adalah sumber hidupnya), tetapi
menguntungkan dengan berbagai manfaat yang dapat dirasakan baik secara langsung maupun
tak langsung.
Konflik antar instansi juga sering terjadi, karena kawasan perlindungan hanya
ditetapkan oleh instansi tertentu (Departemen Kehutanan) saja. Oleh karena itu, agar
keberadaan kawasan perlindungan mendapat dukungan dari instansi lain, penetapan kawasan
harus terintegrasi ke dalam program TGL daerah setempat dan secara regional.
IV. Perlindungan spesies
Perlindungan terhadap spesies tertentu, seringkali sangat diperlukan dalam manajemen
keanekaragaman hayati; karena perlindungan kawasan (keberadaan kawasan konservasi) tidak
selalu mencukupi terutama terhadap spesies yang sudah terancam kepunahan. Spesies-spesies
terancam punah tidak hanya hidup di dalam kawasan konservasi, tetapi juga ditemukan di luar
kawasan konservasi. Keberadaan populasi-populasi di luar kawasan sangat perlu
dipertahankan, mengingat populasinya yang relatif kecil di dalam kawasan konservasi.
Kenakeragaman genetik spesies terancam punah adalah penting, demi keterjaminan
kelangsungan spesies dalam jangka panjang.
Perlindungan spesies umumnya dilakukan secara hukum; dengan menetapkan spesies
terancam punah sebagai spesies yang dilindungi. Sehingga dimanapun spesies itu berada,
tentunya tidak boleh dieksploitasi. Namun demikian; lemahnya penerapan hukum di
Indonesia telah berdampak negatif terhadap spesies dilindungi; bahkan ada trend di
masyarakat bahwa memelihara spesies dilindungi (yang tentunya sudah langka) merupakan
sesuatu yang didambakan.
Perlindungan kawasan tidak selalu sama dengan perlindungan spesies, karena akan

lebih terfokus pada spesies target yang umumnya merupakan spesies endangered.
Perlindungan spesies difokuskan untuk meningkatkan daya dukung dan menurunkan faktorfaktor
pembatas bagi perkembangan suatu spesies. Manipulasi dapat dilakukan dengan
meningkatkan sumber pakan, sarana berkembang biak, menurunkan predator dan kompetitor,
dll.; sehingga spesies yang dikelola lebih berkemungkinan berkembang.
Antar spesies yang berbeda, model manajemen juga dapat berbeda. Spesies yang
secara alami hidup di hutan primer, seperti owa (Hylobates spp.) akan sangat terancam bila
terjadi degradasi hutan sebagai habitat, sehingga bila tindakannya adalah pengelolaan habitat,
maka arah pengelolaan adalah agar suksesi hutan menjadi klimaks (hutan primer). Lain
halnya bila yang dikelola adalah banteng (Bos spp.), suksesi habitat justru harus diarahkan
agar tetap dalam tahap awal (padang rumput) sehingga penebangan pohon/semak justru harus
dilakukan agar kawasan tidak berubah menjadi primer. Prinsip sepserti inilah yang kurang
dlakukan oleh pengelola; di Pangandaran misalnya, kondisi padang pengembalaan telah tidak
terpelihara; padang rumput (pengembalaan) telah berubah menjadi semak karena tidak
dikelola sehingga populasi banteng menjadi hilang.
V. Pemanfaatan keanekaragaman hayati
Keanekaragaman hayati adalah karunia Tuhan yang harus dimanfaatkan untuk
kemakmuran rakyat. Namun demikian; adalah merupakan suatu kesembronoan bila
pemanfaatan hanya berorientasi untuk kekinian; apalagi semata-mata hanya mencari
keutungan pribadi sebesar-besarnya tanpa pedulu dampaknya pada masyarakat sekitar
khususnya dan pada lingkungan umumnya.
Setiap tindakan dalam eksploitasi keanekaragaman hayati akan berdampak; baik
terhadap ekosistem maupun terhadap masyarakat. Dampak ini seharusnya sudah
teridentifikasi dalam perencanaan; sekaligus mencari upaya memaksimalkan dampak positif
serta meminimalkan dampak negatif.
Konsesi hutan dan penentuan kuota (perburuan dan penangkapan hidupanliar dari
alam) yang merupakan realisasi pemanfaatan keanekaragaman hayati telah lama dilakukan di
Indonesia. Model konsesi dengan sistem tebang pilih; pada awalnya diyakini sebagai model
pemanfaatan berkesinambungan. Namun demikian; karena penerapan model ini hanya
berdasarkan studi banding, tanpa riset (di Indonesia) terlebih dahulu; telah memperlihatkan
dampaknya kini. Hutan di berbagai lokasi bekas kawasan konsesi memang masih ada, tetapi

kayu yang tersisa umumnya hanya kayu (pohon) yang tidak potensial secara ekonomi. Ini
terjadi karena sistem tebang pilih telah menghambat pertumbuhan anakan pohon (yang
ditebang) terhambat karena kalah bersaing dengan pohon besar lainnya (yang nilai
ekonominya rendah) yang tidak ditebang.
Demikian juga dengan perdagangan hidupanliar dengan sistem kuota. Karena
penentuan kuota masih didasarkan pada hanya pendapat para ahli, tanpa pertimbangan
berdasarkan data dan analisis. Kuota juga umumnya diberikan berdasarkan permohonan para
pengusaha; dimana para pengusaha mengajukan kuota hanya di daerah yang mudah
dieksploitasi. Padahal beberapa spesies telah melimpah di suatu tempat, bahkan telah menjadi
gangguan; tetapi karena tidak adanya permohonan pengusaha maka kuota di lokasi tersebut
tidak pernah diberikan.
Berdasarkan prinsip biomanajemen; eksploitasi (pemanfaatan) seharusnya didasarkan
pada data agar kesinambungan hasil dapat tercapai. Namun minimnya data, terutama data
tentang populasi telah mengakibatkan eksploitasi berjalan dengan hanya berdasarkan
prakiraan saja. Berapa banyak individu yang sebaiknya di panen yang seharusnya merupakan
patokan dalam menentukan kuota, tidak pernah dianalisis. Bila kondisi seperti ini terus
berlanjut, sampai kapan keanekaragaman hayati Indonesia dapat bertahan ? Ironisnya; ini
hanya akan dapat terjawab bila suatu saat nanti keanekaragaman hayati kita sudah tidak ada
lagi.
VI. Kesimpulan
Keanekaragaman hayati merupakan modal dasar dalam pembangunan yang harus dikelola
dengan prinsip-prinsip manajemen, sehingga kesinambungan hasil dan nilai dapat
mendukung kehidupan dan kesejahteraan manusia, tidak hanya kni tetapi juga di masa
datang
Landasan utama manajemen keanekaragaman hayati adalah konsep ekologis dan
sosiologis; serta segala aktivitas ditentukan berdasarkan data dan analisis
Manajemen yang baik adalah yang berorientasi pada tujuan; dan rumusan tujuan harus
nyata dan merupakan fakta secara ekologis dan dapat dicapai dalam waktu tertentu
Suatu tindakan (proyek) pengelolaan harus dapat dinilai apakah berhasil atau tidak; oleh
karena itu dalam perencanaan, penentuan/perumusan kriteria keberhasilan merupakan
keharusan.

Perlindungan (proteksi) kawasan (ekosistem) dan keanekaragaman hayati merupakan


langkah awal yang dilakukan untuk memelihara stok sumberdaya alam agar nilai-nilai
kawasan dan hidupan dapat terpelihara
Manipulasi habitat (kawasan) dilakukan untuk meningkatkan daya dukung agar
keanekaragaman hayati berada dalam keseimbangan yang dinamis
Eksploitasi sumberdaya alam harus didasarkan pada dinamika populasi; pemanenan
dilakukan dengan prinsip kesinambungan hasil; sehingga ekosistem tidak kehilangan
kemampuan memperbaiki diri
Dampak eksploitasi harus dikelola dengan memaksimalkan dampak positif dan
meminimalkan dampak negatif; dampak negatif yang bersifat irreversibel harus dihindari
VII. Daftar Pustaka
Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat. Institut Pertanian Bogor. 302pp.
____________ 1992. Pengembangan kawasan cagar alam gunung Halimun Jawa Barat. pp.
12-19 In : B. Ryadisoetrisno, ed. Konservasi dan Masyarakat. Diskusi dan rumusan
workshop Keanekaragaman Hayati TNGH, Jabar. BScC, CUSO.
____________ 1993. Pengelolaan Satwaliar. Jilid II. Diperbanyak oleh Pusat Antar
Universitas Institut Pertanian Bogor, bekerja sama dengan Lembaga Sumberdaya
Informasi. Institut Pertanian Bogor. 446pp.
Bailey, J. A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley & Sons. New York.
Brockelman, W. Y. and D. J. Chivers. 1984. Gibbon conservation : Looking to the future.
pp. 3-12. In: H. Preuschoft, D. J. Chivers, W. Y. Brockelman and N. Creel, eds. The
Lesser Apes. Evolutionary and Behavioural Biology. Edinburgh University Press.
Caughley, G. and A. R. E. Sinclair. 1994. Wildlife Ecology and Management. Blackwell
Science. Cambridge. 334pp.
Chivers, D. J. 1984. Feeding and ranging in Gibbons : A Summary. pp. 267-281. In: H.
Preuschoft, D. J. Chivers, W. Y. Brockelman and N. Creel, eds. The Lesser Apes.
Evolutionary and Behavioural Biology. Edinburgh University Press.
Clark, A. B. 1991. Individual variation in responsiveness to environmental change. pp.92110. In : H. O. Box, ed. Primate Responses to Environmental Change. Chapman and

Hall, London.
Cunningham, W. P. and B. W. Saigo. 1995. Environmental Science. A Global Concern.
Wm.C. Brown Publishers. Bogota. Boston.
Dawkins, M. S. 1995. Unravelling Animal Behaviour. Second Edition. Longman Scientific
& Technical. Produced by Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd. Printed in
Singapore. 183pp.
Grumbine, R. E. 1992. Ghost Bears : Exploring the biodiversity cryisis. Washington DC,
Island Press.
Grumbine, R. E. 1994. What is ecosystem management ? Conservation Biology 8 (1): 27-38.
Harmon, D. 1994. Coordinating Research and Management to Enhance Protected Areas.
Published by IUCN - The World Conservation Union in Collaboration with The George
Wright Society Science and Management of Protected Areas Association Commission
of the European Union.
Heywood, V. H. and S. N. Stuart. 1992. Species extinction in tropical forests. pp. 91 - 117.
In: T. C. Whitmore and J. A. Sayer, eds. Tropical Deforestation and Species Extinction.
Chapman and Hall, London.
Johns, A. D. 1992. Species conservation in managed tropical forests, pp. 16-53. In: T. C.
Whitmore and J. A. Sayer, eds. Tropical Deforestation and Species Extinction.
Chapman and Hall. London.
Johns, A. D. and J. P. Skorupa. 1987. Responses of rain-forest primates to habitat
disturbance: A Review. International Journal of Primatology, 8 (2) : 157-187.
Lee, P. C. 1991. Adaptations to environmental change : an evolutionary perspective. pp. 39 56. In : H. O. Box, ed. Primate Responses to Environmental Change. Chapman and
Hall, London.
MacKinnon, J. R., K. MacKinnon, G. Child and J. Thorsell. 1993. Pengelolaan Kawasan
yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. 328pp
Norton, B. 1992. A new paradigm for environmental management. pp. 23 - 41. In :
Costanza, R. et al (Eds.). Ecosystem Health. Washington DC, Island Press
Noss, R. F. and A. Cooperrider. 1994. Saving Natures Legacy : Protecting and restoring
biodiversity. Washington DC. Defanders of Wildlife and Island Press.
Pianka, E. R. 1983. Evolutionary Ecology. Third Edition. Harper & Row, Publishers New

York. 415pp.
Primack, R.B.; J. Supriatna; M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 345pp.
Ramono, W. S. and H. Suprahmah. 1987. Elephant conservation and management in South
Sumatra. pp. 211-215. In : The Conservation and Management of Endangered Plants
and Animals. Seameo-Biotroph.
Soemarwoto, O. 1992. Analisis Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press.
Sutherland, W. J. 2000. The Conservation Handbook. Research, management and policy.
Balckwell Science. 278pp.
Tobing, I.S.L. 2000. Manajemen Kawasan. Makalah dipresentasikan dalam Workshop
Pembuatan Buku Panduan Kegiatan Konservasi. Unit Manajemen Leuser-LDP.
Medan.
Whitmore, T. C. and J. A. Sayer. 1992. Deforestation and species extinction in tropical moist
forest. pp. 1-14. In: T. C. Whitmore and J. A. Sayer, eds. Tropical Deforestation and
Species Extinction. Chapman and Hall. London.
WRI, IUCN, UNEP. 1995. Strategi Keanekaragaman Hayati Global. Panduan bagi tindakan
untuk menyelamatkan, mempelajari, dan memanfaatkan kekayaan biotik bumi secara
berkelanjutan dan seimbang.
MANAJEMEN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA*
Oleh : IMRAN SL TOBING
Fak. Biologi-Univ. Nasional, Jakarta
Abstrak
Manajemen keanekaragaman hayati Indonesia selama ini, umumnya masih menganut
sistem manajemen tradisional; pengelolaan masih didasarkan pada hanya pertimbangan para
ahli dan pengambil keputusan.; padahal para ahli tidaklah selalu tepat. Dilain pihak;
kenaekaragaman hayati Indonesia terus terancam; baik ancaman kepunahan spesies maupun
kerusakan kawasan yang terus terjadi; bahkan diindikasikan dengan laju degradasi yang
semakin tinggi dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena pemanfaatan masih berorientasi
pada kepentingan kini dan keuntungan pribadi, belum berorientasi pada kesinambungan hasil.
Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memaparkan beberapa prinsip dasar dalam manajemen
keanekaragaman hayati; baik pengelolaan kawasan maupun pengelolaan suatu spesies target

yang telah terancam kepunahan.


Bimanajemen harus didasarkan pada konsep ekologis; karena semua komponen
ekosistem adalah saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi. Pengelolaan suatu spesies
(target) tetap tidak boleh mengabaikan spesies lainnya; agar pengelolaan tidak berdampak
negatif terhadap ekosistem. Selanjutnya, konsep sosiologis merupakan dasar utama lainnya;
karena tanpa dukungan masyarakat, pengelolaan tidak akan pernah berhasil. Keterlibatan
masyarakat dan instansi terkait lainnya adalah penting agar tidak terjadi tumpang-tindih
kepentingan dalam pengelolaan.
Manajemen keanekaragaman hayati sudah seharusnya dilaksanakan berdasarkan data
dan analisis dalam setiap aktivitas pengelolaan; agar keberhasilan/kegagalan setiap proyek
pengelolaan dapat dinilai. Bila tidak; akan merupakan suatu kerugian besar, karena laju
kepunahan spesies dan degradasi habitat (ekosistem) akan terus berlanjut; dan tidak lama lagi
keanekaragaman hayati Indonesia akan hancur.
* Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya "Perkembangan ilmu-ilmu hayati di
perguruan tinggi di Indonesia, dan penerapannya dalam masyarakat" di Institut Teknologi
Bandung, tanggal 24 Pebruari 2004.
** Staf Pengajar Fak. Biologi Universitas Nasional, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai