HIV PD Ibu Hamil
HIV PD Ibu Hamil
Oleh :
Muh. Arief Falaq
70300111044
Keperawatan A2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Ibu Dengan
HIV/AIDS . Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
mata kuliah
Majalengka.
Selain itu, penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini
banyak kekurangan dan banyak kesalahan. Oleh karena itu dimohon kritik dan
sarannya.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
...........................................................................
...........................................................................
Hal
i
ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulis
1.3 Perumusan Masalah
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
1
2
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
2.4 Pathogenesis
2.5 Manifestasi Klinis
2.6 PemeriksaanDiagnostik
2.7 Penatalaksanaan
2.8 Pencegahan
2.9 Asuhan Keperawatan
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
4
6
7
8
14
15
17
22
25
. ..............................................................................
.... ..........................................................................
31
31
DAFTAR PUSTAKA
.... ...........................................................................
32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
hubungan seksual denga seseorang yang telah diuji dan ditemukan sero-positif
HIV[5].
Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah diidentifikasi
sebagai factor pelindung untuk seksual emaja dan kesehatan reproduksi, termasuk
infeksi HIV. Meningkatkan kesehatan seksual dan reproduksi remaja merupakan
prioritas dunia. Intervensi yang bertujuan untuk menunda perilaku seksual,
mengurangi jumlah pasangan seksual dan meningkatkan penggunaan kondom.
Dari penelitian yang dilakukan di negara berkembang
menunjukkan bahwa
f.
g.
h.
i.
j.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Human immunodeficiency virus
laporan
CDR
(Center
for
Disease
Control)
Amerika
dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa
suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk
dibicarakan[10].
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV)
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil
lebih sering dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada
wanita yang tidak hamil International Microbicides Conference 2010, abstract
#8). Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah
mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang
tidak diketahui[11].
Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus)
dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di
seluruh dunia, terutama di Afrika dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat
puluhan juta penderita HIV/AIDS. Sekitar 80% penularan terjadi melalui
hubungan seksual, 10% melalui suntikan obat (terutama penyalahgunaan
narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5% dari ibu melalui plasenta kepada
janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi vertikal berkisar antara 1348%[12].
Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan
pemeriksaan laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil
memiliki otonomi untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV,
setelah diberikan penjelasan yang memuaskan mereka dan dokter harus
menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang diperiksa dan ternyata HIV
sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai pengaruh
kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan
dan terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa menyusui[12].
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif.
Dalam hal ini diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya
kepada pasangannya, perlu dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia
pekerjaan dokter. Tentulah dalam memabuka rahasia ini akan berpengaruh
terhadap hubungannya dengan keluarga, teman-teman, dan kesempatan kerja, juga
berkurangnya kepercayaan pasien terhadap dokternya[12].
2.2 Epidemiologi
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia
(pandemi), termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan
telah terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang
dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di Indonesia berdasarkan data-data yang
bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen Kesehatan RI
sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685 orang yang
dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di
Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang
sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori Gunung Es dimana penderita yang
kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO
Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap
hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam
tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan
dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut[3].
`
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core)
dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua
untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis
prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120).
Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian
luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus
sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan
mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium
hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar
utraviolet[3].
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati
diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia
jaringan otak[3].
2.4 Pathogenesis
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma,
cairan vagina, dan ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak
berubah yaitu secara; seksual hubungan seksual, kontak dengan darah atau produk
darah, eksposur perinatal, dan menyusui. HIV muncul sebagai epidemic global
pada akhir tahun 1970. Pada tahun 2007 diperkirakan 33 juta orang diseluruh
dunia hidup dengan HIV, 2 juta orang meninggal dari komplikasi AIDS, dan 15
juta anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu atau kedua orang
tua mereka karena AIDS[6].
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre)[3].
Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui
pertukaran cairan tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi
penggunaan alat kesehatan yang tidak steril, serta alat untuk menorah kulit.
Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara berurutan dari
yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita
heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%[17].
Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui
hubungan seksual. Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari
suami yang terinfeksi HIV ke isterinya sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi
HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun penelitian ain mendapatkan serokonversi
(dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi positif) dalam 1-3 tahun dimana
didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami dianggap sama[10].
Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan
melalui hubungan seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita
HIV atau AIDS sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga
terdapat resiko penularan infeksi yang bisa terjadi saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi
adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan belum ada gejala
AIDS kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau gejala
AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%[17].
Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau
sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan semakin besar
resiko, sehingga lama persalinan bisa dicegah dengan operasi section caesarea.
Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI, resiko bayi tertular
melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%[17].
Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual. Virus ini hanya dapat
ditularkanmelalui kontak langsung dengandarah, semen, dan sekret vagina. Dan
sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong
netrovirus yang memiliki materi genetik RNA. Bilamana virus masuk kedalam
tubuh penderita (sel hospes), maka RNA diubah menjadi DNA oleh enzim reverse
transcriptase. DNA provirus tersebut diintegrasikan kedalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus[10].
Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau
pada periode intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal
yang berusia 12 dan 24 minggu dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang
penularan secara vertikal terjadi sebelum persalinan, serta 65% penularan terjadi
saat intrapartum. Pembukaan serviks, vagina, sekresi serviks dan darah ibu
meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan biologis, dan
adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum Test for
Syphilis) yang positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya lukaluka merupakan tempat masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai
reseptor untuk menangkap HIV akan aktif mencari luka-luka tersebut dan
selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam peredaran darah[10].
Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan
uterus, serviks dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena
meningkatnya elastisitas dan penumpukan jaringan fibrous, yang menghasilkan
vaskularisasi, kongesti, udem pada trimester pertama, keadaan ini mempermudah
erosi ataupun lecet pada saat hubungan seksual. Keadaan ini juga merupakan
media untuk masuknya HIV. Penularan HIV yang paling sering terjadi antara
pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati 20% setelah
melakukan hubungan seksual dengan tidak menggunakan kondom[10].
Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan
HIV heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan
hubungan seksual dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang
disebabkan oleh infeksi sifilis atau herpes simpleks, meningkatkan transfer virus
melalui lesi sehingga terjadi kerusakan membran mukosa dan merangsang
limfosit CD4 untuk bergabung dengan jaringan yang mengalami inflamasi[10].
PERIODE PRENATAL
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a).
Riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus
meregleksikan perkiraan ini jika wanita dan bayi baru lahir akan menerima
perawatan yang tepat. Individu yang berada pada kategori infeksi HIV
meliputi[16]:
1. wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;
2. wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;
3. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;
4. wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;
5. setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.
Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus
ditawarkan kepada wanita berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke
perawatan prenatal. Hasil negative pada pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan
suatu garansi bahwa titer selanjutnya akan negative[16].
Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C.
trachomatis, hepatitis B, Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi
orofaring
atau
infeksi
vaginal
kronis),
sitomegalovirus
(CMV),
dan
rehabilitasi
untuk
menghentikan
penyalahgunaan
substansi.
sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan
penyakit
2. alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif
untuk AIDS
Demam
Malaise
Ruam
Myalgia
Sakit kepala
Meningitis
Kehilangan napsu makan
Berkeringat
ditandai dengan nodul-nodul kutan berwarna merah kebiruan, biasanya pada pada
Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic
Kultur HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia,
plasma).
Tes reaksi rantai polymerase dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi DNA
viral pada adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer terinfeksi.
Antigen p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat menjadi
indikatif dari kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap sanagt
awal infeksi HIV)
yang telah menerapkan pengujian "opt-out", angka tes HIV di antara perempuan
hamil berkisar antara 71% sampai 98%, dibandingkan dengan 15% menjadi 83%
dalam keadaan dan provinsi yang memiliki Kebijakan opt-in yang
membutuhkan seorang wanita untuk secara khusus meminta tes HIV[6].
Identifikasi dini pada wanita hamil memungkinkan untuk pemberian
pengobatan terapi antiretroviral untuk mendukung kesehatan dan mengurangi
risiko penularan bayinya. Tes HIV direkomendasikan Tes HIV direkomendasikan
untuk semua wanita hamil pada kunjungan prenatal pertama. Tes HIV kedua,
selama trimester ketiga sebelum 36 minggu kehamilan, juga dianjurkan bagi
wanita yang berisiko, tinggal di daerah prevalensi HIV tinggi, atau memiliki
tanda-tanda atau gejala yang konsisten dengan infeksi HIV akut[6].
Jika seorang wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika
dia tiba saat persalinan dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan. Jika hasil
tes awal positif, segera inisiasi ARV profilaksis yang tepat intravena harus
direkomendasikan tanpa menunggu konfirmasi hasil. Jika wanita menolak
pengujian, bayi baru lahir harus menerima pengujian cepat sesegera mungkin
setelah lahir sehingga profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika terdapat
indikasi[6].
2.7 Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan
pemberian makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO
untuk pemberian makanan bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada
tahun 2006. Secara khusus, telah dilaporkan bahwaantiretroviral (ARV) intervensi
baik ibu yang terinfeksi HIV atau janin yang terpapar HIVsecara signifikan dapat
mengurangi risiko penularan HIV pasca kelahiran melalui menyusui. Bukti ini
memiliki implikasi besar untuk bagaimana perempuan yang hidup dengan HIV
mungkin dapat memberi makan
kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama, intervensi ASI dan ARV
memiliki potensi secara signifikan untuk meningkatkan peluang bayi bertahan
hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV[19].
yang sekarang, sedangkan kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan
prognosis klinis (status hitung sel T CD4+ dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV
sebesar 20.000 salinan/ml (2x104) dianggap oleh banyak pakar sebagai indikasi
untuk memberikan terapi antiretrovirus berapa pun hasil hitung sel T CD4+.
Pengukuran serial kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum sangat bermanfaat
untuk mengetahui laju perkembangan penyakit, angka pergantian virus, hubungan
antara pengaktivasian sistem imun dan replikasi virus, dan saat terjadinya
resistensi obat antiretrovirus disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV[20].
Tujuan utama terapi antivirus adalah penekanan secara maksimum dan
berkelanjutan jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau keduanya) fungsi
imunologik, perbaikan kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas an mortalitas
HIV[20].
Prinsip pengobatan untuk infeksi HIV[20]
1. replikasi HIV yang berlangsung terus menerus menyebabkan sistem imun
rusak dan berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu merugikan dan
kesintasan jangka-panjang sejati yang bebas dan disfungsi sistem imun sagat
jarang terjadi.
2. Kadar RNA HIV dalam plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV dan
berkaitan dengan laju destruksi limfosit T CD4+ untuk yang terinfeksi oleh HIV,
perlu dilakukan pengukuran periodik berkala kadar RNA HIV plasma dan hitung
sel T CD4+ untuk menentukan factor risiko perkembangan penyakit serta
mengetahui saat yang tepat untuk memulali atau memodifikasi regimen terapi
antiretrovirus
3. Karena laju perkembangan penyakit berbeda diantara orang-orang yang
terinfeksi HIV, maka keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan orang per
orang berdasarkan tingkat risiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA HIV plasma
dan hitung sel T CD4+.
4. Pemakaian terapi antiretrovirus kombinasi yang poten untuk menekan
replikasi HIV dibawah kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan-pemeriksaan
RNA HIV plasma yang sensitive akan membatasi kemungkinan munculnya
varian-varian HIV resisten-penyakit. Karena itu, tujuan terapi seyogyanya adalah
penekanan replikasi HIV semaksimal yang dapat dicapai.
5. Cara paling efektif untuk menekan replikasi virus dalam jangka panjang lama
dalah pemberian secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV yang efektif yang
belum pernah diterima oleh pasien dan tidak memperlihatkan resistensi silang
dengan obat antiretrovirus yang pernag diterima oleh pasien.
6. Setiap obat antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi kombinasi
harus selalu dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal.
7. Jumlah dan mekanisme kerja obat-obat antiretrovirus efektif yang tersedia
masih terbatas, karena telah terbukti adanya resistensi-silang di antara obat-obat
spesifik. Karena itu, setiap perubahan dalam terapi antiretrovirus meningkatkan
pembatasan-pembatasan terapetik di masa mendatang.
8. Perempuan harus mendapat terapi antiretrovirus yang oprimal, tanpa
memandang status kehamilan.
9. Prinsip terapi antiretrovirus yang sama juga berlaku pada anak, remaja dan
dewasa yang terinfeksi HIV, walaupun terapi pada anak yang terinfeksi oleh HIV
memerlukan pertimbangan farmakologik, virologik, dan imunologik tersendiri.
10. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV akut harus diterapi dengan terapi
antiretrovirus kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke kadar batas
deteksi pemeriksaan pemeriksaan RNA HIV plasma sensitive.
11. Individu yang terinfeksi oleh HIV, walaupun dengan kadar virus yang dibawah
batas yang dapat dideteksi, harus terap dianggap menular. Dengan demikian, para
pasien harus diberi penyuluhan untuk menghindari perilaku seksual dan
penyalahgunaan obat yang berkaitan dengan penularan atau akuisisi HIV dan
pathogen menular lainnya.
Tabel 1. Rekomendasi untuk pengobatan antiretroviral infeksi HIV selama
kehamilan[21]
Kelas Obat
NRTI
NNRTI
Protease inhibitor
Entry inhibitor
Integrase
Zidovudine,
Nevirapinea
Lopinavir/ritonavir
...
inhibitor
...
...
...
Rekomendasi
Direkomendasikan
Agen Pengganti
lamividine
Didanosine,b
...
emtricitabine,
Ketidakcukupan
Data
Tidak
stavudine,b abacavir
Tenofovir
...
Atazanavir,
Efavirenz, delavirdine
darunavir,
Enfuvirtide, maraviroc
fosamprenavir, tipranavir
...
...
...
Direkomendasikan
Catatan.
NNRTI,
nonnukleoside
reverse-transcriptase
inhibitor;
Raltegravir
NRTI,
Sebaiknya hanya digunakan pada wanita dengan jumlah sel CD4 >
250sel/mm3 jika manfaatnya lebih banyak dari pada risiko yang berhubungan
dengan hepatotoxicity.
b
lainnya
Regimen Pengobatan yang Direkomendasikan dan Regimen yang Dihindari
Obat yang direkomendasikan yaitu zidovudine (ZDV) yang menjadi
bagian dari beberapa regimen untuk pengobatan wanita hamil, kecuali terdapat
dokumentasi riwayat keparahan ZDV-berhubungan dengan toksisitas atau resisten.
Untuk wanita yang memiliki riwayat keracunan ZDV atau resisten, regimen
sebaiknya termasuk sedikitnya 1 obat antiretroviral yang melewati plasenta untuk
memberikan fetus preexposure prophylaxis. Obat antiretroviral lainnya yang
melewati plasenta manusia termasuk didanosine, lamivudine (3TC), tenofovir,
nevirapine (NVP), dan lopinavir. Beberapa dari inhibitor protease juga memiliki
variabel yang sedikit ke bagian plasenta[21].
Ketika memilih regimen yang sesuai untuk wanita hamil, kombinasi
regimen antiretroviral terdiri dari 3 obat yang direkomendasikan. Pada umumnya,
prinsip pedoman pengobatan untuk wanita yang tidak hamil sebaiknya benarbenar dipertimbangkan. Harus terdapat dua kekuatan inhibitor nukleosida reversetranskriptase dengan inhibitor nonnukleosida reverse-transkriptase atau inhibitor
pratease yang cocok (tabel 1). Efavirenz pada umumnya dihindari selamas
trimester pertama kehamilan karena menyangkut teratogenitas. NVP tidak
direkomendasikan untuk wanita dengan jumlah sel CD4 >250 sel/mm 3 karena
meningkatkan risiko terjadinya ruam dan hepatotoksik. Tetapi jika si wanita telah
toleransi terhadap NVP- terdiri dari regimen sebelumnya saat kehamilan, regimen
ini sebaiknya dilanjutkan selama kehamilan[21].
Kombinasi dari stavudine dan didanosine sebaiknya dihindari selama
kehamilan karena berpotensi menyebabkan toksisitas mitokondrial dan asidosis
laktat. Pada umumnya, monoterapi sebaiknya dihindari selama kehamilan karena
berpotensi
dalam
menyebabkan
perkembanagan
resistensi
antiretroviral.
Indikasi: terapi untuk infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan obat antiretroviral
lain.
Kontra indikasi: hipersensitifitas terhadapa atazanavir, kombinasi dengan
midazolam, dihiroergotamin, ergotamin, ergonovin, metilergonovin, cisapride,
dan pimozid.
Efek samping: skit kepala, mual, ikterus, muntah, diare, nyeri abdomen, pusing,
insomnia, gangguan saraf perifer, ruam kulit.
Dosis: dewasa (pasien yang belum pernah mendapat terapi) sehari 1 x 400mg,
dewasa (pasien yang sudah pernah mendapat terapi) sehari 1 x 300mg, pasien
ditambah dengan ritnovir sehari 1 x 100mg + efavirenz.
Pengobatan untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat
menggunakan obat anti-HIV dimana menurut penelitian dapat mencegah
terjadinya transmisi virus HIV kepada janin dengan cara penggunaan sebagai
berikut[23]:
dilahirkan
- Penatalaksanan selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus
tersebut hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV
ibu menembus plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada
tidaknya antibodi IgG ,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat
membedakan antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring
dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak
membentuk sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif.
Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan
seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA atau DNA virus.
PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena sensitive untuk
mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus[20].
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih
belum diketahui pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi
yang tidak menyusui dan tidak diobati di negara-negara industri sampai sekitar
40% pada populasi serupa di negara-negara yang sedang berkembang. Tanpa
menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in utero dan 80% terjadi
selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi melalui
kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15%
penularan perinatal[20].
Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup
penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T
CD4+ yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical
Trials Group (PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada
perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar
dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang
ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji
HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan
merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari
kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena,
merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral
kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain yang
dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea
lain[20]:
1. seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi
angka penularan sebesar 50%);
2. pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3. pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4. tidak memberi ASI
dunia,
pada
2008,diperkirakan
430.000[240.000-610.000]
periodepra-melahirkan.
Dari
infeksi
baruyang
tersisa,sebagian
perkembangan
kehidupan,
penyakitterjadi
sering
sangat
menyebabkan
cepatdalam
kematian.
beberapa
Untuk
segera, konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada November 2008,
pertemuandiadakan
untukmeninjaurekomendasioleh
WHOuntuk
Asuhan Keperawatan
I.Pengkajian.
1.Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obatobat.
2.Penampilanumum : pucat, kelaparan.
3.Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam
hari berulang
kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4.Psikososial : kehilangan
pekerjaan dan
penghasilan,
perubahan pola
hilang interest
pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang
memori,
kaku kuduk,
kejang, paraplegia.
8.Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9.Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10.Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu
pernapasan, batuk
produktif atau non produktif.
11.GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,
inkontinensia,
perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12.Gu : lesi atau eksudat pada genital,
13.Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
II.Diagnosa keperawatan
1.Resiko
adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3.Intolerans
aktivitas berhubungan
dengan
kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
4.Perubahan
yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5.Diare berhubungan dengan infeksi GI
6.Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan
yang orang dicintai.
III.Intervensi keperawatan.
Diagnosa keperawatan 1
Resiko
dengan
imunosupresi,
dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada
infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
Diagnosa 2
Resiko
tinggi
pasien
aktivitas
berhubungan
motilitas
usus, yang
koping
meberikan tindakan.
3.Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang
patogen.
4.Mengumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order
DX.2
1.Menganjurkan
pasien
DX.6
1.Mengkaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.Membiarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
V. Evalusi
Setelah di berikan asuhan keperawatan kepada klien, kebutuhan klien sedikit
demi sedikit terpenuhi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang
disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai
depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk
pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita
hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu
yang terinfeksi virus tersebut.
3.2 Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik
dan saran sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hartati Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan HIV-AIDS.