Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH TENTANG

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN,
PANCASILA POLITIK DAN DEMOKRASI

Disusun Oleh
Nama
Kelas

:
Siti Marlina Fauziah
:
H-26

Jurusan

:
Managemen Informatika

32

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya

sehingga penyusunan makalah ini

dapat diselesaikan.
Makalah

ini saya susun

Kewarganegaraan

dengan

sebagai tugas dari

memuat

beberapa

Kewarganegaraan,pancasila,politik

mata kuliah Pendidikan

pembahasan
dan

dari

Pendidikan
demokrasi.

Terima kasih saya sampaikan kepada Bpk Rio M.Pd sebagai dosen mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi
lancarnya terselesaikan tugas makalah ini.
Demikianlah tugas ini saya susun semoga bermanfaat, dan dapat memenuhi
tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.

Sukabumi, 06 November
2014
Siti Marlina Fauziah
Penulis

32

DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................. ii
Latar Belakang....................................................................................... 1
BAB I : Pendidikan Kwarganeagaraan.....................................................2
Pendidikan Kewarganegaraan................................................................2
BAB II : Pancasila
1. Pengertian Pancasila....................................................................4
2. Filsafat Pancasila..........................................................................5
3. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa................................................
BAB III : Disintegrasi Bangsa
1. Faktor Penyebab Disintegrasi.....................................................13
2. Nilai Pancasila sebagai pemersatu bangsa................................14
3. Sinkronisasi antara Nasionalisme dengan Nilai-nilai Pancasila. .16
4. Ancaman Disintegrasi di Indonesia............................................16
5. Cara menanggulangi Disintegrassi Bangsa................................17
BAB IV : Politik...................................................................................... 18
BAB V : Demokrasi..............................................................................24
Kesimpulan........................................................................................... 32

32

Latar Belakang

Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education,


secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara
yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini
bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis
pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran
di sekolah.
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang
dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah
berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru. Segala hal yang terkait
dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar.
Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partaipartai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa
agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin
menambah problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan
segala permasalahannya.
Maka dari itu maka penting kita untuk mempelajari Pendidikan Kwarganeraan
pancasila politik dan demokrasi supaya kita bisa membuat masa depan bangsa ini lebih
bermartabat dan tidak dipandng sebelah mata oleh bangsa lain.

32

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

1.

Pengertian
Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education,
secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang
cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu
sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional
Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua,
sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan
disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat,
sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah
dikelola oleh Pemerintah sebagai suatun crash program. Kelima, sebagai kerangka
konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang
dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan
kewarganegaraan dalam status pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Dalam status
pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah
mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya.
Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di
Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi
civics, pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS.
Kini tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk pendidikan politik dalam bentuk
pendidikan kewarganegaraan yang lebih cocok untuk latar pendidikan non formal, yang
diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara yang
mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan cita-cita, nilai dan prinsip
demokrasi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di
Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem pendidikan demokrasi
untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat mendesak.Dalam status
kelima, yakni sebagai suatu kerangka konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan
terkesan masih belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemologi
pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara institusional, sistematis dan
sistemik. Paradigma pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatannya masih
belum sinergistik. Kerangka acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang
dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing statusnya
sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah, atau sebagai program pendidikan
disiplin ilmu dan program guru, atau sebagai pendidikan politik untuk masyarakat
mengesankan satu sama lain tidak saling mendukung secara komprehensif. Sebagai akibatnya, program pendidikan kewarganegaraan di sekolah, di lembaga pendidikan guru,
dan di masyarakat terkesan belum sepenuhnya saling mendukung secara sistemik dan
sinergistik.
Pendidikan Kewarganegaraan bagi mahasiswa sangat penting untuk diajarkan,
mengingat pendidikan kewarganegaraan merupakan proses dimana seseorang dapat
menghargai, menjaga dan merasa bangga terhadap negaranya.
sesungguhnya mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya menjadi hal yang
lebih utama di banding dengan pendidikan yang lainnya. Pendidikan Kewarganegaraan
lah yang mengajarkan bagaimana seseorang menjadi warga negara yang lebih
bertanggung jawab. Karena kewarganegaraan itu tidak dapat diwariskan begitu saja
melainkan harus dipelajari dan di alami oleh masing-masing orang. Apalagi negara kita
32

sedang menuju menjadi negara yang demokratis, maka secara tidak langsung warga
negaranya harus lebih aktif dan partisipatif. Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa
harus memepelajarinya, agar kita bisa menjadi yang terdepan dalam melindungi
negara.
Pendidikan Kewarganegaraan juga mengajarkan bagaimana kita itu tidak hanya
tunduk dan patuh terhadap negara, tetapi juga mengajarkan bagaimana kita itu harus
toleran dan mandiri. Pendidikan ini membuat setiap generasi baru memiliki ilmu
pengetahuan, pengembangan keahlian, dan juga pengembangan karakter publik.
Pengembangan komunikasi dengan lingkungan yang lebih luas juga tecakup dalam
Pendidikan Kewarganegaraan. Meskipun pengembangan tersebut bisa dipelajari tanpa
menempuh Pendidikan Kewarganegaran, akan lebih baik lagi jika Pendidikan ini di
manfaatkan untuk pengambangan diri seluas-luasnya.
Memiliki Rasa Kewarganegaraan yang Tinggi Selanjutnya dijelaskan tentang
hubungan antara perlunya memepelajari Pendidikan Kewarganegaraan dengan memiliki
rasa kewarganegaraan yang tinggi. Pendidikan Kewarganegaran menjadi penting
karena memiliki manfaat yang begitu besar. Sedang memiliki rasa kewarganegaraan
yang tinggi tersebut merupakan salah satu manfaatnya.
Sebagai mahasiswa yang mempelajari
Pendidikan Kewarganegaran akan
menjadi tahu betul mafaatnya. Salah satunya adalah menjadi seseorang yang memiliki
rasa kewarganegaraan yang tinggi. Hal ini tidak hanya mengenai bagaimana rasa
bangga menjadi seorang warga dari sebuah negara, akan tetapi juga mengatahui
bagaimana hak dan kewajiban dari seorang warga negara. Jika kita mengerti dan
paham betul apa yang di ajarkan dalam Pendidikan Kewarganegaraan pasti kita akan
memiliki rasa kewarganegaraan yang tinggi.
Kita akan menghargai kewarganegaraan yang kita miliki, bangga akan hak dan
kewajiban sebagai warga negara. Tentu saja kita akan paham bagaimana
memperlakukan diri kita terhadap negara. Sikap ini berhubungan dengan pentingnya
mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan yang menjadikan warga negara menjadi
aktif, toleran, dan partisipatif. Apapun yang terjadi di Negara kita, kita akan menjadi
aktif untuk selalu mendukung. Toleran dengan keberagaman yang dimiliki negara
Indonesia. Serta partisipatif dengan hal kebaikan apapun yang diselenggarakan oleh
negara.
Rasa kewarganegaraan yang tinggi, akan membuat kita tidak akan mudah goyah
dengan iming-iming kejayaan yang sifatnya hanya sementara. Selain itu kita tidak akan
mudah menyerap secara langsung budaya yang bukan berasal dari Indonesia dan juga
menghargai segala nilai-nilai yang berlaku di negara kita. Memiliki sikap tersebut tentu
tidak bisa kita peroleh begitu saja tanpa belajar. Oleh karena itu mengapa Pendidikan
Kewarganegaraan masih sangat penting untuk kita pelajari. Kemudian dapat dipahami
bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sangat penting manfaatnya, maka di masa depan
harus segera dilakukan perubahan secara mendasar konsep, orientasi, materi, metode
dan evaluasi pembelajarannya. Tujuannya adalah agar membangun kesadaran para
pelajar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan mampu menggunakan
sebaik-baiknya dengan cara demokratis dan juga terdidik

32

PANCASILA

1. Pengertian Pancasila Secara Etimologis, Historis, & Terminologis


a. Hakikat Pancasila
Kedudukan dan fungsi Pancasila bilamana dikaji secara ilmiah memliki pengertian
pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, sebagai
pandangan hidup bangsa, sebagai ideologi bangsa dan Negara, sabagai kepribadian
bangsa bahkan dalam proses terjadinya terdapat berbagai macam terminologi yang
harus didesktipsikan secara objektif. Selain itu, pancasila secara kedudukan dan
fungsinya juga harus dipahami secara kronologis.
Oleh karena itu, untuk memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut
rumusannya maupun peristilahannya maka pengertian Pancasila tersebut meliputi
lingkup pengertian sebagai berikut :
b. Pengertian Pancasila secara etimologis
Secara etimologis istilah Pancasila berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta
Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad
Yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan Pancasila memilki dua macam arti
secara leksikal yaitu :
panca artinya lima
syila vokal I pendek artinya batu sendi, alas, atau dasar
syiila vokal i pendek artinya peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau
yang senonoh
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa
diartikan susila yang memilki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara
etimologis kata Pancasila yang dimaksudkan adalah adalah istilah Panca Syilla
dengan vokal i pendek yang memilki makna leksikal berbatu sendi lima atau secara
harfiah dasar yang memiliki lima unsur. Adapun istilah Panca Syiila dengan huruf
Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang penting.
Pengertian Pancasila secara Historis
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr.
Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada
sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara
Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang
pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan
(tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk
memberikan nama Pancasila yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno
atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak
disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya,
kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang
Dasar 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat isi
32

rumusan lima prinsip atau lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama
Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan
istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah
Pancasila, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah
disebut dengan istilah Pancasila. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis
terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang secara
spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
c. Pengertian Pancasila secara Terminologis
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara
Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana
lazimnya negara-negara yang merdeka, maka panitia Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus
1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang dikenal
dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD
1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 aturan Aturan Peralihan yang
terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat.
Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut
tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4.

Kerakyatan

yang

dipimpin

oleh

hikmat

kebijaksanaan

dalam

permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang
secara konstisional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang
disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia.
2. Filsafat Pancasila
Istilah filsafat secara etimologis merupakan padanan kata falsafah (Arab) dan
philosophy (Inggris) yang berasal dari bahasa Yunani

(philosophia). Kata

philosophia merupakan kata majemuk yang terususun dari kata philos atau philein
yang berarti kekasih, sahabat, mencintai dan kata sophia yang berarti kebijaksanaan,
hikmat, kearifan, pengetahuan. Dengan demikian philosophia secara harafiah berarti
mencintai kebijaksanaan, mencintai hikmat atau mencintai pengetahuan. Cinta
mempunyai pengertian yang luas. Sedangkan kebijaksanaan mempunyai arti yang
bermacam-macam yang berbeda satu dari yang lainnya.
Istilah philosophos pertama kali digunakan oleh Pythagoras.

Ketika Pythagoras ditanya, apakah engkau seorang yang bijaksana?


32

Dengan

rendah

hati

Pythagoras

menjawab,

saya

hanyalah

philosophos, yakni orang yang mencintai pengetahuan.


Ada dua pengertian filsafat, yaitu:

Filsafat dalam arti proses dan filsafat dalam arti produk.

Filsafat sebagai ilmu atau metode dan filsafat sebagai pandangan


hidup
Filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis.

Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai


pandangan hidup, dan dalam arti praktis. Ini berarti

Filsafat Pancasila mempunyai

fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan
perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara bagi bangsa Indonesia.
a. Pengertian Filsafat Pancasila
Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang
dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila. Filsafat Pancasila
dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang
Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk
mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila
dikatakan sebahai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh the faounding father kita, yang dituangkan dalam
suatu sistem (Ruslan Abdul Gani). Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan
penngertian ilmiah yaitu tentang hakikat dari Pancasla (Notonagoro).
b. Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat dapat dilakukan dengan
cara deduktif dan induktif.
Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis

dan

menyusunnya

secara

sistematis

menjadi

keutuhan

pandangan

yang

komprehensif.
Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya

masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejalagejala itu.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat.
Yang

dimaksud

sistem

adalah

suatu

kesatuan

bagian-bagian

yang

saling

berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan


merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem
filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila
Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi.
32

Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia
yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan
masyarakat

bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan

demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan
sistem-sistem

filsafat

lainnya,

seperti

materialisme,

idealisme,

rasionalisme,

liberalisme, komunisme dan sebagainya.

Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:


Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh.

Dengan kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya
terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.
Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat

digambarkan sebagai berikut:

Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;

Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai


sila 3, 4 dan 5;
Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai

sila 4, 5;

Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan

menjiwai sila 5;

Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.

Inti sila-sila Pancasila meliputi:

Tuhan, yaitu sebagai kausa prima

Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial

Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri

Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong

Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang
menjadi haknya.
Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti

mengungkapkan konsep-konsep

kebenaran Pancasila yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan
juga bagi manusia pada umumnya. Wawasan filsafat meliputi bidang atau aspek
penyelidikan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga bidang tersebut dapat
dianggap mencakup kesemestaan. Oleh karena itu, berikut ini akan dibahas landasan
Ontologis Pancasila, Epistemologis Pancasila dan Aksiologis Pancasila.

Landasan Ontologis Pancasila


Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau
tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika.
Masalah ontologis antara lain: Apakah hakikat sesuatu itu? Apakah realitas yang ada
tampak ini suatu realitas sebagai wujudnya, yaitu benda? Apakah ada suatu rahasia
di balik realitas itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup? Dan seterusnya.
Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan)
manusia,

benda,

alam

semesta

(kosmologi),

metafisika.

Secara

ontologis,
32

penyelidikan

Pancasila

sebagai

filsafat

dimaksudkan

sebagai

upaya

untuk

mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila.


Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang
berdiri sendiri-sendiri, malainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar
ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak
yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar
antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia. Hal
tersebut

dapat

dijelaskan

bahwa

yang

Berketuhan

Yang

Maha

Esa,

yang

berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan


yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta
yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia. Sedangkan manusia
sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang
mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat
kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai
makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis sila
pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (lihat Notonagoro, 1975:
53).
Hubungan kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila adalah
berupa hubungan sebab-akibat:
Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia,

satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan.


Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan

adil adalah sebagai sebab, dan negara adalah sebagai akibat.

Landasan Epistemologis Pancasila


Epistemologi adalah cabang filsafat

yang menyelidiki asal, syarat, susunan,

metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan,


proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan.
Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of
science.
Menurut

Titus

(1984:20)

terdapat

tiga

persoalan

yang

mendasar

dalam

epistemologi, yaitu:

Tentang sumber pengetahuan manusia;

Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;

Tentang watak pengetahuan manusia.


Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya
untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Pancasila
sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini
berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu
ideologi. Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam
kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan
dasar ontologisnya.

Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat


32

dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Pancasila sebagai suatu obyek
pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan dan susunan
pengetahuan Pancasila.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama
adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai tersebut
merupakan kausa materialis Pancasila. Tentang susunan Pancasila sebagai suatu
sistem pengetahuan, maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis,
baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu.
Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal.
Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan Pancasila, di mana sila
pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainny, sila kedua didasari
sila pertama dan mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila
ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila
keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan
ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelma, sila kelima didasari dan dijiwai sila
pertama, kedua, ketiga dan keempat Dengan demikian susunan Pancasila memiliki
sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu:
Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-sila

Pancasila yang merupakan inti sari Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak
dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta
dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan konkrit.
Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai

pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum
Indonesia.

Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit, yaitu isi arti
Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki
sifat khhusus konkrit serta dinamis (lihat Notonagoro, 1975: 36-40)
Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu hakikat manusia
yang memiliki unsur pokok susunan kodrat yang terdiri atas raga dan jiwa. Hakikat
raga manusia memiliki unsur fisis anorganis, vegetatif, dan animal. Hakikat jiwa
memiliki unsur akal, rasa, kehendak yang merupakan potensi sebagai sumber daya
cipta manusia yang melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan pemikiran
memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Selain itu, potensi atau daya tersebut mampu
meresapkan pengetahuan dan menstranformasikan pengetahuan dalam demontrasi,
imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham. Dasar-dasar rasional
logis Pancasila menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, juga menyangkut isi arti
Pancasila tersebut.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan
manusia yang bersumber pada intuisi.

Manusia pada hakikatnya kedudukan dan

kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila
pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang
32

bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tinggi. Dengan demikian
kebenaran dan pengetahuan manusia merupapakan suatu sintesa yang harmonis
antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia
untuk mendapatkankebenaran yang tinggi. Selanjutnya dalam sila ketiga, keempat,
dan kelima, maka epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama
dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial.
Sebagai

suatu

paham

epistemologi,

maka

Pancasila

mendasarkan

pada

pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena
harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius
dalamupaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam
hidup manusia.

Landasan Aksiologis Pancasila


Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar
aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga
merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita
membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani
axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori.
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik.
Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika
suatu nilai.
Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik,
berharga. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang
dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Nilai itu
sesuatu yang berguna. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang
diinginkan. Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related science). Nilai
itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek.
Ada berbagai macam teori tentang nilai.

Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat


dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:
Nilai-nilai

kenikmatan:

dalam

tingkat

ini

terdapat

nilai

yang

mengenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang
atau menderita.
Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang

penting dalam kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran.


Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan

(geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun
lingkungan.

Nilai-nilai

semacam

ini

misalnya,

keindahan,

kebenaran,

dan

pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.

32

Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai

yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.
(Driyarkara, 1978)
Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan

kelompok:

Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi

semua benda yang dapat dibeli.


Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan

keindahan dari kehidupan badan.


Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang

dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.


Nilai-nilai sosial: berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan

manusia.

Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial

yang diinginkan.

Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.

Nilai-nilai

intelektual:

nilai-nilai

pengetahuan

dan

pengajaran

kebenaran.
Nilai-nilai keagamaan

Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu:

Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.

Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani

yang dapat dibedakan menjadi empat macam:


Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta)

manusia.

Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur


perasaan (aesthetis, rasa) manusia.

Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur


kehendak (will, karsa) manusia.

Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan


mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar,
nilai instrumental, dan nilai praktis.

Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang
bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi.
Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

32

Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan

norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme
lembaga-lembaga negara.
Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam

kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu
benar-benar hidup dalam masyarakat.

Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan
nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua
aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara.

Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai


Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang
berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.

Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu


nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga
mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia

3. Pancasila Sebagi Ideologi Bangsa dan Negara


Beberapa pengertian ideologi:

A.S. Hornby mengatakan bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang


membentuk landasan teori ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh seorang atau
sekelompok orang.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa secara umum ideologi sebagai


kumpulan gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis,
yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan, dan agama.

Gunawan Setiardja merumuskan ideologi sebagai seperangkat ide asasi


tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.

Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideologi sebagai suatu sistem


pemikiran yang dapat dibedakan menjadi ideologi tertutup dan ideologi terbuka.

Ideologi tertutup, merupakan suatu sistem pemikiran tertutup. Ciri-cirinya:


merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan memperbarui
masyarakat;

atas

nama

ideologi

dibenarkan

pengorbanan-pengorbanan

yang

dibebankan kepada masyarakat; isinya bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu,
melainkan terdiri dari tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang
diajukan dengan mutlak.

Ideologi terbuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ciri-cirinya:


bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan digali
dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri; dasarnya bukan keyakinan
ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dari konsensus masyarakat

32

tersebut; nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung
operasional.
Fungsi utama ideologi dalam masyarakat menurut Ramlan Surbakti (1999) ada dua,
yaitu: sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu
masyarakat, dan sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur
penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat. Pancasila sebagai ideologi
mengandung nilai-nilai yang berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafat
bangsa. Dengan demikian memenuhi syarat sebagai suatu ideologi terbuka.
Sumber semangat yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah
terdapat dalam penjelasan UUD 1945: terutama bagi negara baru dan negara muda,
lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok,
sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan
kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah dan
mencabutnya

Sifat Ideologi
Ada tiga dimensi sifat ideologi, yaitu dimensi realitas, dimensi idealisme, dan
dimensi fleksibilitas.

1.

Dimensi Realitas: nilai yang terkandung dalam dirinya, bersumber dari


nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama pada waktu ideologi itu lahir,
sehingga mereka betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu
adalah milik mereka bersama. Pancasila mengandung sifat dimensi realitas ini dalam
dirinya.

2.

Dimensi idealisme: ideologi itu mengandung cita-cita yang ingin diicapai


dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila
bukan saja memenuhi dimensi idealisme ini tetapi juga berkaitan dengan dimensi
realitas.

3.

Dimensi fleksibilitas: ideologi itu memberikan penyegaran, memelihara dan


memperkuat

relevansinya

dari

waktu

ke

waktu

sehingga

bebrsifat

dinamis,

demokrastis. Pancasila memiliki dimensi fleksibilitas karena memelihara, memperkuat


relevansinya dari masa ke masa.
4.Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila
a.Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang
berkembang secara cepat.
b.Kenyataan menujukkan bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup danbeku cendnerung
meredupkan perkembangan dirinya.
c. Pengalaman sejarah politik masa lampau.
d.Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat
abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai
tujuan nasional.
Sekalipun Pancasila sebagai ideologi bersifat terbuka, namun ada batas-batas
keterbukaan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:
32

e.Stabilitas nasional yang dinamis


f. Larangan terhadap ideologi marxisme, leninnisme dan komunisme
g.Mencegah berkembangnya paham liberalisme
h.Larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan bermasyarakat
i. Penciptaan norma-norma baru harus melalui konsensus.
5.Makna Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
a.Makna Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah bahwa nilai-nilai yang
terkandung

dalam

ideologi

Pancasila

itu

menjadi

cita-cita

normatif

bagi

penyelenggaraan bernegara. Dengan kata lain, visi atau arah dari penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya kehidupan yang
ber-Ketuhanan, yang ber-Kemanusiaan, yang ber-Persatuan, yang ber-Kerakyatan, dan
yang ber-Keadilan.
b.Pancasila

sebagai

ideologi

nasional

selain

berfungsi

sebagai

cita-cita

normatif

penyelenggaraan bernegara, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan


nilai yang disepakati bersama, karena itu juga berfungsi sebagai sarana pemersatu
masyarakat yang dapat memparsatukan berbagai golongan masyarakat di Indonesia.

32

DISINTEGRASI BANGSA
A.
1)

Disintegrasi dan Faktor-faktor Penyebabnya


Disintegrasi Bangsa
Disintegrasi secara harfiah dipahami sebagai perpecahan suatu bangsa menjadi bagianbagian yang saling terpisah (Websters New Encyclopedic Dictionary 1996).
Bila dicermati adanya gerakan pemisahan diri sebenarnya sering tidak berangkat dari
idealisme untuk berdiri sendiri akibat dari ketidak puasan yang mendasar dari perlakuan
pemerintah terhadap wilayah atau kelompok minoritas seperti masalah otonomi daerah, keadilan
sosial, keseimbangan pembangunan, pemerataan dan hal-hal yang sejenis.
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang
dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah
berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru.

Segala hal yang terkait

dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar.
Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai
politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar
mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah
problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala
permasalahannya.
Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak
adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang
memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut
mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang tinggi.
Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini.
Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun
pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat
masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan
bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar
telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat
Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah
terpicu untuk bertindak yang menjurus kearah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar
kelompok atau golongan.
2)
a)

Faktor-faktor Penyebab Disintegrasi Bangsa


Geograf
Indonesia yang terletak pada posisi silang dunia merupakan letak yang sangat strategis untuk
kepentingan lalu lintas perekonomian dunia selain itu juga memiliki berbagai permasalahan
yang sangat rawan terhadap timbulnya disintegrasi bangsa. Dari ribuan pulau yang dihubungkan
oleh laut memiliki karakteristik yang berbeda-beda dengan kondisi alamnya yang juga sangat
berbeda-beda pula menyebabkan munculnya kerawanan sosial yang disebabkan oleh perbedaan
daerah misalnya daerah yang kaya akan sumber kekayaan alamnya dengan daerah yang kering
tidak memiliki kekayaan alam dimana sumber kehidupan sehari-hari hanya disubsidi dari

b)

pemerintah dan daerah lain atau tergantung dari daerah lain.


Demograf
Jumlah penduduk yang besar, penyebaran yang tidak merata, sempitnya lahan pertanian,
kualitas SDM yang rendah berkurangnya lapangan pekerjaan, telah mengakibatkan semakin
tingginya tingkat kemiskinankarena rendahnya tingkat pendapatan, ditambah lagi mutu
pendidikan yang masih rendah yang menyebabkan sulitnya kemampuan bersaing dan mudah

32

dipengaruhi oleh tokoh elit politik/intelektual untuk mendukung kepentingan pribadi atau
c)

golongan.
Kekayaan Alam
Kekayaan alam Indonesia yang melimpah baik hayati maupun non hayati akan tetap menjadi
daya tarik tersendiri bagi negara Industri, walaupun belum secara keseluruhan dapat digali dan
di kembangkan secara optimal namun potensi ini perlu didayagunakan dan dipelihara sebaikbaiknya untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat dalam peran sertanya secara berkeadilan

d)

guna mendukung kepentingan perekonomian nasional.


Ideologi
Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa Indonesia dalam penghayatan dan pengamalannya
masih belum sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila, bahkan saat ini sering
diperdebatkan.

Ideologi pancasila cenderung tergugah dengan adanya kelompok-kelompok

tertentu yang mengedepankan faham liberal atau kebebasan tanpa batas, demikian pula faham
e)

keagamaan yang bersifat ekstrim baik kiri maupun kanan.


Politik
Berbagai masalah politik yang masih harus dipecahkan bersama oleh bangsa Indonesia saat ini
seperti diberlakukannya Otonomi daerah, sistem multi partai, pemisahan TNI dengan Polri serta
penghapusan dwi fungsi BRI, sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang belum dapat
diselesaikan secara tuntas karena berbagai masalah pokok inilah yang paling rawan dengan

f)

konflik sosial berkepanjangan yang akhirnya dapat menyebabkan timbulnya disintegrasi bangsa.
Ekonomi
Sistem perekonomian Indonesia yang masih mencari bentuk, yang dapat pemberdayakan
sebagian besar potensi sumber daya nasional, serta bentuk-bentuk kemitraan dan kesejajaran
yang diiringi dengan pemberantasan terhadap KKN. Hal ini dihadapkan dengan krisis moneter
yang berkepanjangan, rendahnya tingkat pendapatan masyarakat dan meningkatnya tingkat

g)

pengangguran serta terbatasnya lahan mata pencaharian yang layak.


Sosial Budaya
Kemajemukan bangsa Indonesia memiliki tingkat kepekaan yang tinggi dan dapat menimbulkan
konflik etnis kultural.

Arus globalisasi yang mengandung berbagai nilai dan budaya dapat

melahirkan sikap pro dan kontra warga masyarakat yang terjadi adalah konflik tata nilai. Konflik
tata nilai akan membesar bila masing-masing mempertahankan tata nilainya sendiri tanpa
h)

memperhatikan yang lain.


Pertahanan dan Keamanan
Bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini menjadi bersifat multi
dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini seiring dengan
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi dan komunikasi. Serta
sarana dan prasarana pendukung didalam pengamanan

bentuk ancaman yang bersifat multi

dimensional yang bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.
B.

Nilai-nilai Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa


Di saat menipisnya nilai-nilai nasionalisme pada diri manusia Indonesia, berbagai hasutan dan
isu-isu baik politik, ekonomi, pendidikan, agama dan sosial budaya dapat memicu timbulnya
berbagai konflik di daerah-daerah Indonesia, hal inilah yang merupakan akar dari timbulnya
disintegrasi. Keterbatasan SDM (Sumber Daya Manusia) serta buruknya moral manusia Indonesia
menyebabkan manusia Indonesia mudah dihasut dan dipofokatori yang tidak baik oleh bangsa
lain. Bangsa Indonesia mudah diadu domba dan mempunyai sifat yang tidak stabil bila sudah
terpengaruh oleh uang. Dengan uang manusia Indonesia mudah diubah dari yang berperangai
baik menjadi tidak baik, bahkan ikatan persaudaraan bisa menjadi permusuhan.
Untuk itu perlu kiranya penegakan yang jelas atas alat pemersatu bangsa. Salah satunya
adalah penegakkan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai norma-norma yang luhur dalam setiap
aspek kehidupan seperti halnya yang telah dijaga oleh nenek moyang bangsa Indonesia sejak
dulu. Pancasila bukan hanya sebuah bentuk filosofis bangsa Indonesia yang dikristalisasikan

32

sebagai ideology Negara, tetapi Pancasila adalah tatanan hidup yang luhur dan merupakan citacita yang ingin diwujudkan oleh para pendiri bangsa kita.
Untuk itu seluruh elemen masyarakat harus memahami apa saja nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Pemahaman untuk setiap nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dapat diwujudkan melalui pendidikan kewarganegaraan. Namun, bagaimana dengan
putra-putri Indonesia yang tidak bisa mengenyam pendidikan? Maka perlu ada perhatian khusus
yang

harus

dilakukan

oleh

pemerintah

untuk

memperbaiki

pendidikan

di

Indonesia.

Memprioritaskan anggaran belanja Negara sebesar 20% untuk dunia pendidikan rasanya kurang,
karena sebenarnya yang bobrok adalah sistem pengaturan di Indonesia, sehingga walaupun
anggaran untuk pendidikan dinaikkan tetap saja pendidikan di Indonesia tidak akan maju, karena
banyak penyelewengan-penyelewengan dalam praktiknya. Maka inilah system regulasi Indonesia
yang sangat bobrok, dan inilah juga yang memicu ketidak adilan bagi rakyat yang akhirnya
memberikan celah disintegrasi bangsa untuk bernafas.
Namun dalam hal ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, seharusnya para
pelajar, baik siswa maupun mahasiswa juga bertanggung jawab dalam memberikan contoh yang
baik dalam pengamalan nilai pancasila. Kiranya perlu dibentuk sebuah organisasi yang
mewadahi usaha-usaha pemerataan pendidikan. Mahasiswa lebih baik mebentuk suatu kelompok
pemberi pendidikan gratis bagi rakyat yang tidak mampu, daripada melakukan demonstrasi yang
ujung-ujungnya tindak anarkis.
Inilah beberapa nilai-nilai Pancasila yang yang seharusnya dipahami dan diamalkan oleh
manusia Indonesia selurunya:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Makna sila ini adalah:
a.

Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan

kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.


b. Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganutc.

penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.


Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan

d.

kepercayaan masing-masing.
Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.

2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab


Makna sila ini adalah:
a.

Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

manusia.
Saling mencintai sesama manusia.
Mengembangkan sikap tenggang rasa.
Tidak semena-mena terhadap orang lain.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
Berani membela kebenaran dan keadilan.
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia internasional dan
dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama
dengan bangsa lain.

3. Persatuan Indonesia
Makna sila ini adalah:
a.
b.
c.
d.
e.

Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Rela berkorban demi bangsa dan negara.
Cinta akan Tanah Air.
Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal
Ika.

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan

32

Makna sila ini adalah:


a.
b.
c.
d.

Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.


Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi
dengan semangat kekeluargaan.

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Makna sila ini adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
C.

Bersikap adil terhadap sesama.


Menghormati hak-hak orang lain.
Menolong sesama.
Menghargai orang lain.
Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.

Sinkronisasi antara Nasionalisme dengan Nilai-nilai Pancasila


Bangsa tidak akan pernah ada tanpa adanya rasa nosinalisme antar warganya. Maka
Nasionalisme merupakan hal penting yang mengikat rasa senasib dan sepenanggung jawab
terhadap bangsa dan Negara. Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mempertahankan

kedaulatan

sebuah

negara

(dalam

bahasa

Inggris

"nation")

dengan

mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.


Bangsa Indonesia saat ini sangat kekurangan orang yang ber-nasionalisme tinggi,
keadaan inilah yang memicu banyak konflik-konflik daerah akibat tidak adanya rasa nosionalisme
pada diri pribadi. Persaan memiliki bangsa ini sudah lenyap, sehingga bertindak semena-mena
dan tidak menghargai satu dengan yang lain.
Nasionalisme mengajarkan pada diri kita bahwa kita harus merasa memiliki bangsa ini,
wilayah dan negara ini meskipun banyak kekurangan, namun juga dijiwai oleh semangat untuk
memajukan bangsanya demi kelangsungan hidup generasi penerus bangsa. Nasionalisme
mengajarkan kita untuk saling menghormati satu dengan yang lain meskipun berbeda suku,
agama, ras, budaya, keyakinan dan pendapat, demi menjaga keutuhan bangsanya. Nasionalisme
mengajarkan kita untuk bangga menjadi bagian dari negara
D.

Ancaman Disintegrasi di Indonesia


Berdasarkan faktor penyebab terjadinya isu dan gerakan disintegrasi yang diterangkan di atas,
jelas sekali bahwa bangsa ini sangat rawan adanya gerakan maupun konflik daerah yang
menjurus ke arah disintegrasi. Setelah lepasnya Timor Leste dari pangkuan ibu pertiwi, bangsa
ini masih ada ancaman disintegrasi kembali. Setelah GAM mereda, ada Gerakan Papua Merdeka,
yang notabene juga sama seperti GAM yaitu ingin memerdekakan daerahnya dan lepas dari
Indonesia.
Akhir-akhir ini juga sering terjadi konflik-konflik kecil di daerah, seperti di Tarakan,
Kalimantan Timur, dan juga yang masih sering terjadi kerusuhan di Ambon. Konflik-konflik terjadi
karena perbedaan suku maupun agama.
Bangsa ini rasanya tidak akan pernah lepas dari masalah disintegrasi, karena manusiamanusianya tidak segera sadar. Bangsa ini masih terlalu lemah untuk mengikat tali persatuan
dan kesatuan dari Sabang sampai Merauke.
Apalagi sekarang ini memasuki era globalisasi, dimana jalinan informasi dan komunikasi
sudah saling terbuka di seluruh dunia. Kehadiran globalisasi memang membawa dampak yang
baik juga terhadap kehidupan kita, karena kita sekarang lebih bisa berinteraksi dan mendapat
lebih banyak ilmu pengetahuan dari bangsa lain sehingga kita tidak terpuruk dalam
keterbelakangan. Namun dampak negatif yang ditimbulkan juga besar sekali untuk memicu
terjadinya disintegrasi suatu bangsa.
Beberapa dampak negative dari globalisasi:

32

1.

Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa


kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi
Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa
akan hilang

2.

Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena
banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di
Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala
berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.

3.

Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa
Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia
dianggap sebagai kiblat.

4.

Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena
adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan
pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda.
Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah
membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda
sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang
cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang
memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Padahal cara berpakaian
tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka
dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara
menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan
mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan
dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka
sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna.
Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa
yang menggunakan tidak semestinya. Misalnya untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya
internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap
masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan
handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan
cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut
kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya
adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu
ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral
generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya
dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa
sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa
depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme? Bukankah
hal itu berakibat pada disintegrasi bangsa? Karena tidak adanya kepuasan terhadap milik bangsa
sendiri.

E.

Cara Menanggulangi Disintegrasi Bangsa

32

Dari hasil analisis diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan
pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara
lain :
a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
b. Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus.
c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma (nilai-nilai Pancasila) yang
menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan
pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan
bijaksana, serta efektif.

POLITIK
1 Pengertian Politik Menurut Para Ahli
ROD HAGUE
Politi adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok
mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha
-

untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggotanya.


ANDREW HEYWOOD
Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk
membuat,mempertahankandan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang
mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan

kerjasama.
CARL SCHMIDT
Politik adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang yang lebih membuat
keputusan keputusan daripada lembaga-lembaga abstrak
LITRE
Politik didefinisikan sebagi ilmu memerintah dan mengatur Negara.
IBNU AQIL
Politik adalahhal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan
lebh jauh dari kerusakan meskipuntidak digariskan oleh Rasulullah SAW.

2. Konsep-konsep Politik
Sejak awal hingga perkembangan terakhir terdapat sekurang-kurangnya lima
pandangan mengenai politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh oleh
warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik
ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Ketiga,

politik

sebagai

segala

kegiatan

yang

diarahkan

untuk

mencari

dan

mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang


berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai
konflik

dalam rangka mencari

dan/atau

mempertahankan

sumber-sumber yang

dianggap penting (Surbakti : 1992 : 2). Kelima cara pandang dalam melihat politik
tersebut dapat dijelaskan berikut ini.
1. Pandangan Klasik

32

Sebagimana dikemukakan Aristoteles, pandangan klasik melihat politik sebagai


suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal
ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Filsuf ini
membedakan urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama (kepentingan publik)
dengan

urusan-urusan

yang

menyangkut

kepentingan

individu

atau

kelompok

masyarakat (swasta). Pada hemat Aristoteles, urusan-urusan yang menyangkut


kebaikan bersama memiliki nilai moral yang lebih tinggi dari pada urusan-urusan yang
menyangkut kepentingan individu/swasta.
Menurut Aristoteles, manusia merupakan makhluk politik dan sudah menjadi
hakikat manusia untuk hidup dalam polis. Hanya dalam polis itu manusia dapat
memperoleh sifat moral yang paling tinggi, karena di sana urusan-urusan yang
berkenaan dengan seluruh masyarakat akan dibicarakan dan diperdebatkan, dan
tindakan-tindakan untuk mewujudkan kebaikan bersama akan diambil. Di luar polis
manusia dipandang sebagai makhluk yang berderajat di bawah manusia seperti
binatang atau sebagai makhluk yang berderajat di atas manusia seperti Dewa atau
Tuhan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksudkan dengan kepentingan umum
atau kebaikan bersama? Apakah yang harus dipandang sebagai isi atau substansi
kebaikan bersama? Siapakah yang harus menafsirkan suatu urusan merupakan
kepentingan umum atau tidak?.
Rumusan kepentingan umum yang dikemukakan oleh para sarjana sangat
bervariasi, sebagian mengatakan kepentingan umum merupakan tujuan-tujuan moral
atau nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak seperti keadilan, kebajikan, kebahagiaan, dan
kebenaran. Sebagian lagi merumuskan kepentingan umum sebagai keinginan orang
banyak sehingga mereka membedakan general will (keinginan orang banyak atau
kepentingan umum) dari will of all (keinginan banyak orang atau kumpulan keinginan
banyak orang).
Sementara itu, ada yang merumuskan kepentingan umum sebagai kepentingan
golongan mayoritas. Samuel P. Huntington dalam (Surbakti : 1999 : 3), melukiskan
kepentingan umum secara singkat sebagai kepentingan pemerintah karena lembaga
pemerintahan dibentuk untuk menyelenggarakan kebaikan bersama.
Konsep politik menurut pandangan klasik ini nampak sangat kabur. Ketidakjelasan
ini akan menghadapkan kita kepada kesukaran dalam menentukan patokan kepentingan
umum yang disetujui bersama dalam masyarakat. Namun, satu hal yang patut
mendapatkan perhatian dari pandangan klasik berupa penekanan yang diberikan pada
apa yang seharusnya dicapai demi kebaikan bersama seluruh warga negara polis, dan
dengan cara apa sebaiknya tujuan-tujuan itu dicapai. Dengan kata lain, pandangan
klasik lebih menekankan aspek filosofis (idea dan etik) dari pada aspek politik.
Dalam pengertian politik terkandung tujuan dan etik masyarakat yang jelas.
Berpolitik ialah membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan
ikut serta dalam upaya mengejar tujuan bersama. Barangkali aspek filosifis ini yang
merupakan kelebihan, dan arena itu menjadi ciri khas pandangan klasik. Dalam hal ini
32

aspek-aspek filosofis lebih ditekankan dari pada aspek politik. Oleh karena itu metode
kajian yang digunakan bukan empirisme, melainkan metode spekulatif-normatif.
2. Pandangan Kelembagaan
Pandangan

ini

melihat

politik

sebagai

hal

yang

berkaitan

dengan

penyelenggaraan negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara sebagai
komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang
sah dalam wilayah tertentu.
Negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk menggunakan paksaan fisik
yang sah. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan persaingan untuk membagi
kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antar negara
maupun antar kelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara merupakan suatu
struktur administrasi atau organisasi yang kongkret, dan ia membatasi pengertian
negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang digunakan untuk memaksakan
ketaatan.
Berdasarkan pendapat Weber tersebut di atas dapat disimpulkan tiga aspek
sebagai ciri negara, yaitu :
a. Berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda, seperti jabatan,
peranan, dan lembaga-lembaga yang memiliki tugas yang jelas batasnya, yang
bersifat kompleks, formal, dan permanen;
b. Kekuasaan untuk menggunakan paksaan dimonopoli oleh negara. Negara yang
memiliki kewenangan yang sah untuk membuat keputusan yang final dan
mengikat seluruh warga negara. Para pejabatnya mempunyai hak untuk
menegakkan keputusan itu seperti menjatuhkan hukuman dan menanggalkan
hak milik. Dalam hal ini, untuk melaksanakan kewenangan maka negara
menggunakan aparatnya seperti polisi, militer, jaksa, hakim, dan petugas
lembaga pemasyarakatan.
c. Kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik hanya berlaku dalam batas-batas
wilayah negara tersebut.
Sebelum perang dunia kedua, para sarjana ilmu politik mengidentifikasikan politik
sebagai studi mengenai negara. Dalam hal ini, ada berbagai literatur yang berjudul
pengantar ilmu politik yang diawali dengan pernyataan ilmu politik bermula dan
berakhir dengan negara.
Akan tetapi, saat ini para sarjana ilmu politik tidak lagi menggunakan
konseptualisasi itu, sebab mereka berpendapat bahwa politik merupakan gejala serba
hadir dalam masyarakat apa saja, yang tidak terbatas pada masyarakat negara atau
negara modern. Lalu mereka mencari dan merumuskan konsep politik yang sejauh
mungkin dapat diterapkan dalam sebanyak mungkin tempat dan waktu.
Timbul pertanyaan, mengapa mereka tidak lagi menggunakan pandangan
kelembagaan? Mereka mengajukan empat kritik terhadap pandangan kelembagaan
tersebut. Pertama, konsep itu terlalu sempit, ciri-ciri negara yang disebutkan itu berlaku
pada masyarakat yang berbentuk negara, khususnya negara-negara industri maju
32

seperti Eropa Barat, dan Amerika Utara. Sebagaimana diketahui ada berbagai
masyarakat suku atau masyarakat yang baru merdeka, yang sekalipun belum
memenuhi ciri-ciri negara modern akan tetapi sudah malaksanakan proses dan kegiatan
politik.
Masyarakat yang disebutkan terakhir ini belum memenuhi ciri-ciri negara modern,
hal tersebut disebabkan antara lain :
a. Belum ada diferensiasi struktur dan spesialisasi peranan yang jelas. Satu struktur
melaksanakan lebih dari satu fungsi. Dengan kata lain struktur masyarakatnya
masih bersifat sederhana dan informal, akan tetapi kegiatan politik sudah
berlangsung.
b. Tidak memiliki struktur yang memonopoli kewenangan dalam menggunakan
paksaan fisik sebab kekuasaan terpencar atau terdistribusi kepada seluruh
anggota masyarakat. Sanksi biasanya lebih kepada sanksi moral dan psikologis
seperti pengucilan dari pergaulan, sindiran, teguran, dan gossip.
c. Batas wilayah masyarakat belum jelas sebab penduduk cenderung berpindah,
termasuk apabila mereka tidak senang kepada pemimpin mereka.
Kedua, di negara-negara industri maju kekuasaan tidak terpusat pada negara
melainkan terdistribusikan pada negara-negara bagian, dan kepada berbagai kekuatan
politik dalam masyarakat. Ketiga, konseptualisasi di atas terlalu melihat negara dari
sudut pandang yuridis-formal sehingga negara cenderung dilihat sebagai gejala yang
statis. Keempat, yang melakukan kegiatan bukan lembaga negara (yang tidak memiliki
nilai dan kepentingan), tetapi elit yang memegang jabatan tersebut yang ternyata
memiliki nilai dan kepentingan sendiri. oleh karena itu, perilaku elit yang memiliki
jabatan pada lembaga tersebut yang dipelajari, bukannya lembaganya. Demikian kritik
yang diajukan oleh kaum behavioralist.
Akan tetapi, pada tahun 1980-an sejumlah ilmuwan politik Amerika Serikat
kembali menjadikan negara sebagai fokus kajian. Mereka memandang negara tidak lagi
sekadar

arena

persaingan

kepentingan

di

antara

berbagai

kepentingan

dalam

masyarakat, tetapi juga sebagai lembaga yang memiliki otonomi (terlepas dari
pengaruh masyarakat), dan memiliki kemampuan (yang melaksanakan kebijakan yang
dibuat sendiri). negara dilihat sebagai lembaga yang memiliki kepentingan yang
berbeda dari berbagai kepentingan yang bersaing atau bertentang yang ada di dalam
masyarakat. Pandangan ini disebut juga statist perspective (perspektif negara).
3. Pandangan Kekuasaan
Pandangan
mempertahankan

ketiga,
kekuasaan

melihat
dalam

politik

sebagai

masyarakat.

Oleh

kegiatan
karena

mencari
itu,

ilmu

dan
politik

dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan, dan penggunaan


kekuasaan di manapun kekuasaan itu ditemukan.
Robson

dalam

(Surbakti

1999

5),

merupakan

salah

seorang

yang

mengembangkan pandangan tentang kekuasaan mengatakan bahwa, ilmu politik


sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada perjuangan untuk memperoleh dan
32

mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain,


ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan. Ilmu politik mempelajari hal ihwal yang
berkaitan dengan kekuasaan dalam masyarakat, yakni sifat, hakikat, dasar, prosesproses, ruang lingkup, dan hasil-hasil kekuasaan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan kekuasaan? Menurut
pandangan ini, kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk
berfikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Kekuasaan
dilihat sebagai interaksi antara pihak yang dipengaruhi dan mempengaruhi, atau yang
satu mempengaruhi dan yang lain mematuhi. Hubungan ini selalu diamati dan dipelajari
oleh ilmuwan politik yang mengikuti pandangan ketiga ini.
Konsep politik sebagai perjuangan mencari dan mempertahankan kekuasaan juga
memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, konseptualisasi tersebut tidak membedakan
kekuasaan yang beraspek politik dari kekuasaan yang tidak beraspek politik. Misalnya,
kemampuan para kiyai atau pendeta untuk mempengaruhi jamaah agar melaksanakan
ajaran agama tidaklah beraspek politik. Hal itu karena tidak berkaitan dengan
pemerintah selaku pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai, melainkan
menyangkut

lingkungan

masyarakat

yang

lebih

terbatas.

Namun,

apabila

konseptualisasi di atas diikuti maka kemampuan para pemimpin agama untuk


mempengaruhi cara berfikir dan perilaku anggota jamaah termasuk dalam kategori
kegiatan politik. Kedua, kekuasaan hanya salah satu konsep dalam ilmu politik. Selain
kekuasaan, ilmu politik masih memiliki konsep-konsep yang lain seperti kewenangan,
legitimasi, konflik, konsensus, kebijakan umum, integrasi politik, dan ideologi. Jadi politik
sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan semata dalam ilmu politik
merupakan konseptualisasi yang sempit dan kurang tajam. Walaupun harus diakui
bahwa konsep kekuasaan politik merupakan salah satu konsep yang tidak terpisahkan
dari ilmu politik.
4. Pandangan Fungsionalisme
Fungsionalisme

memandang

politik

sebagai

kegiatan

merumuskan

dan

melaksanakan kebijakan umum. Menyimpang dari pandangan kelembagaan tersebut di


atas. Dewasa ini para sarjana politik memandang politik dari kacamata fungsional.
Menurut mereka, politik merupakan kegiatan para elit politik dalam membuat dan
melaksanakan kebijakan umum.
Di antara sarjana politik yang menggunakan pandangan fungsional dalam
mempelajri gejala politik ialah David Easton dan Harold Lasswell. David Easton
merumuskan politik sebagai the authoritative allocation of values for a society, atau
alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan kewenangan, dan karena itu mengikat
untuk suatu masyarakat.
Oleh karena itu, yang digolongkan sebagai perilaku politik berupa setiap kegiatan
yang mempengaruhi (mendukung, mengubah, menentang) proses pembagian dan
penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat.

32

Sementara itu, Lasswell menyimpulkan proses politik sebagai masalah who gets
what, when, how, atau masalah siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.
Mendapatkan apa artinya mendapatkan nilai-nilai, Kapan berarti ukuran pengaruh
yang digunakan untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak,
Bagaimana berarti dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai.
Yang menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai sebagai hal-hal
yang diinginkan, hal-hal yang dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalaman upaya
yang berbeda untuk mencapainya. Nilai-nilai itu ada yang bersifat abstrak berupa
prinsip-prinsip hidup yang dianggap baik seperti keadilan, keamanan, kebebasan
persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, kemanusiaan,
kehormatan, dan nasionalisme. Di samping yang bersifat abstrak, ada pula nilai-nilai
yang bersifat kongkret seperti pangan, sandang, perumahan, fasilitas kesehatan,
fasilitas pendidikan, sarana perhubungan, komunikasi, dan rekreasi. Nilai-nilai itu ada
yang berupa kebutuhan spiritual, ada pula yang berupa kebutuhan materi-jasmaniah.
Nilai yang abstrak dan kongkrit itu dirumuskan dalam bentuk kebijakan umum yang
dibuat dan dilaksanakan oleh

pemerintah. Jadi, kegiatan mempengaruhi pemerintah

dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum berarti mempengaruhi


pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara otoritatif untuk suatu masyarakat.
Kelemahan pandangan fungsionalisme adalah menempatkan pemerintah sebagai
sarana dan wasit terhadap persaingan di antara berbagai kekuatan politik untuk
mendapatkan

nilai-nilai

yang

terbanyak

dari

kebijakan

umum.

Fungsionalisme

mengabaikan kenyataan bahwa pemerintah juga memiliki kepentingan sendiri, baik


berupa kepentingan yang melekat pada kepentingan lembaga pemerintah (yang
mewakili kepentingan umum), maupun kepentingan para elit yang memegang jabatan
(melaksanakan peranan).
Di samping itu, fungsionalisme cenderung melihat nilai-nilai secara instrumental
bukan sebagai tujuan seperti yag ditekankan pandangan klasik. Bagi fungsionalisme
nilai-nilai sebagai tujuan bersifat sangat relatif karena berbeda dari satu tempat dan
waktu ke tempat dan waktu yang lain.
Dalam hal ini, politik tidak dapat pernah bersifat netral, bahwa politik secara ideal
seharusnya menyangkut kebaikan bersama.

5. Pandangan Konflik
Menurut pandangan ini, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan
pelaksanaan kebijakan umum tiada lain selain upaya untuk mendapatkan dan/atau
mempertahankan nilai-nilai. Dalam memperjuangkan hal itu seringkali terjadi perbedaan
pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan yang bersifat fisik di antara
berbagai pihak. Dalam hal ini di antara pihak yang berupaya mendapatkan nilai-nilai,
dan pihak yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini telah mereka
dapatkan, antara pihak yang sama-sama berupaya keras untuk mendapatkan nilai-nilai

32

yang sama dan pihak yang sama-sama mempertahankan nilai-nilai yang selama ini
mereka kuasai.
Perbedaan

pendapat,

perdebatan,

persaingan,

bahkan

pertentangan

dan

perebutan dalam mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai disebut konflik.


Oleh karena itu menurut pandangan konflik, pada dasarnya politik adalah konflik.
Pandangan ini ada benarnya sebab konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam
masyarakat, termasuk dalam proses politik. Selain itu, konflik merupakan gejala yang
melekat dalam setiap proses politik.
Akan tetapi, konseptualisasi ini tidak seluruhnya tepat. Hal tersebut disebabkan
selain konflik, konsensus, kerja sama, dan integrasi juga terjadi dalam hampir semua
proses politik. Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, dan pertentangan untuk
mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai itu justru diselesaikan melalui
proses dialog sehingga sampai pada suatu konsensus maupun diselesaikan lewat
kesepakatan dalam bentuk keputusan politik yang merupakan pembagian dan
penjatahan

nilai-nilai.

Oleh

karena

itu,

keputusan

politik

merupakan

upaya

menyelesaikan konflik politik.


Kelemahan lain dari konseptualisasi ini ialah konflik tidak semua berdimensi
politik sebab selain konflik politik terdapat pula konflik pribadi, konflik ekonomi, konflik
agama yang tidak selalu diselesaikan melalui proses politik. Apabila konflik-konflik yang
disebutkan terakhir ini berkaitan dengan pemerintah atau diselesaikan melalui proses
politik maka konflik-konflik yang semula tidak berdimensi politik berkembang menjadi
konflik politik.
Dari segi metodologi, kelima pandangan ini acapkali dikelompokkan menjadi dua
kategori umum, yakni tradisionalme dan behavioralisme. Ilmu politik tradisionalisme
memandang gejala politik dari segi normatif, dan menganggap tugas ilmu politik untuk
memahami dan memberikan gejala politik, bukan menjelaskan apalagi memperkirakan
apa yang akan terjadi. Ilmu politik tradisional melihat politik sebagai perwujudan tujuan
masyarakat-negara. Termasuk ilmu politik tradisional dalam hal ini berupa pandangan
klasik dan pandangan kelembagaan.
Behavioralisme memandang politik dari segi apa adanya (what it is) yang
berupaya menjelaskan mengapa gejala politik tertentu terjadi, kalau mungkin juga
memperkirakan gejala politik apa yang akan terjadi. Behavioralisme memandang politik
sebagai kegiatan (perilaku), yang berawal dari asumsi terdapat keajegan atau pola
dalam perilaku manusia. Oleh karena itu, politik sebagai pola perilaku dapat dijelaskan
dan diperkirakan. Termasuk behavioralisme dalam hal ini berupa pandangan kekuasaan,
pandangan konflik, dan pandangan fungsionalisme.

32

DEMOKRASI
1.Sejarah Demokrasi
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari
demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki
beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali
berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan
konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang
merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1,500 negara kota
(poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang
berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat
Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu
demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang
penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi
dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi
baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena.
Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang
mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari
sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan
menyuarakan pendapat mereka.
Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM. Sistem
demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan
dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis.
2. Prinsip-prinsip demokrasi
Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial.
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari
pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya,
prinsip-prinsip demokrasi adalah:
1. Kedaulatan rakyat;
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3. Kekuasaan mayoritas;
4. Hak-hak minoritas;
5. Jaminan hak asasi manusia;
6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
7. Persamaan di depan hukum;
8. Proses hukum yang wajar;
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10.

Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;

11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.


3.Asas pokok demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan
hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam
hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi,
yaitu:

32

1.

Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat


untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan
adil; dan

2.

Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk
melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

4.Ciri-ciri pemerintahan demokratis


Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik
Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh
hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
1.

Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik
langsung maupun tidak langsung (perwakilan).

2.

Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga
negara).

3.

Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.

4.

Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat
penegakan hukum

5.

Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.

6.

Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol
perilaku dan kebijakan pemerintah.

7.

Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan
rakyat.

8.

Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin
negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.

9.

Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan


sebagainya).

5.Jenis Jenis Demokrasi


a. Menurut cara penyaluran kehendak rakyat, demokrasi dibedakan atas :
1. Demokrasi Langsung
Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat
memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan. Dalam sistem ini,
setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki
pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi. Sistem demokrasi langsung
digunakan pada masa awal terbentuknya demokrasi di Athena dimana ketika terdapat suatu
permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh rakyat berkumpul untuk membahasnya. Di era
modern sistem ini menjadi tidak praktis karena umumnya populasi suatu negara cukup besar
dan mengumpulkan seluruh rakyat dalam satu forum merupakan hal yang sulit. Selain itu,
sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat modern cenderung
tidak memiliki waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik negara.
2. Demokrasi perwakilan
Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum
untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.
6.Menurut dasar prinsip ideologi, demokrasi dibedakan atas :
a. Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal)
Prinsip demokrasi ini didasarkan pada suatu filsafat kenegaraan bahwa manusia adalah
sebagai makhluk individu yang bebas. Oleh karena itu dalam system demokrasi ini
kebebasan individu sebagai dasar fundamental dalam pelaksanaan demokrasi.

32

Pemikiran tentang Negara demokrasi sebagaimana dikembangkan oleh Hobbe, Lockedan


Rousseaue bahwa Negara terbentuk karena adanya perbenturan kepentingan hidup mereka
dalam hidup bermasyarakat dalam suatu natural state. Akibatnya terjadilah penindasan di
antara satu dengan yang lainnya.Oleh karena itu individu-individu dalam suatu masyarakat
itu membentuk suatu persekutuan hidup bersama yang disebut Negara, dengan tujuan
untuk melindungi kepentingan dan hak individu dalam kehidupan masyarakat Negara. Atas
dasar kepentingan ini dalam kenyataanya muncullah kekuasaan yang kadangkala menjurus
ke otoriterianisme.
Berdasarkan kenyataan yang dilematis tersebut, maka muncullah pemikiran ke arah
kehidupan demokrasi perwakilan liberal, dan hal inilah yang sering dikenal dengan
demokrasi-demokrasi

libera.

Individu

dalam

suatu

Negara

dalam

partisipasinya

disalurkannya melalui wakil yang dipilih melalui proses demokrasi.


Menurut Held (2004:10), bahwa demokrasi perwakilan liberal merupakan suatu
pembaharuan kelembagaan pokok untuk mengatasi problema keseimbangan antara
kekuasaan memaksa dan kebebasan. Rakyat harus diberikan jaminanan kebebasan secara
individual baik di dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, keagamaan bahkan kebebasan
anti agama.
Konsekuensi dari implementasi sistem dan prinsip demokrasi ini adalah berkembang
persaingan bebas, terutama dalam ekonomi sehingga akibatnya individu yang tidak mampu
menghadapi persaingan tersebut akan tenggelam. Akibatnya kekuasaan kapitalislah yang
menguasai kehidupan Negara, hal ini sesuai dengan analisis P.L. Berger bahwa dalam era
globalisasi dewasa ini dengan semangat pasar bebas yang dijiwai oleh filosofi demokrasi
liberal, maka kaum kapitalislah yang berkuasa
b. Demokrasi Rakyat (Demokrasi Proletar)
Demokrasi

rakyat

disebut

juga

demokrasi

proletar

yang

berhaluan

Marxisme-

Komunisme.Demokrasi rakyat mencita-citakan kehidupan yang tidak mengenal kelas sosial.


Manusia dibebaskan dari keterikatannya kepada pemilikan pribadi tanpa ada penindasan
atau paksaan. Akan tetapi, untuk mencapai masyarakat tersebut dapat dilakukan dengan
cara paksa atau kekerasan.
Demokrasi Rakyat (Proletar) disebut juga adalah demokrasi yang berlandaskan ajaran
komunisme danmarxisme.
Demokrasi

Demokrasi ini tidak mengakui hak asasi warga negaranya.

inibertentangan dengan demokrasi konstitusional.

Demokrasi ini mencita-citakan

kehidupantanpa kelas sosial dan tanpa kepemilikan pribadi. Negara adalah alat untuk mencapaikomunisme
yaitu untuk kepentingan kolektifisme.

7. Menurut dasar wewenang dan hubungan antara alat kelengkapan negara, demokrasi
dibedakan atas :
a. Demokrasi Sistem Parlementer
Periode 1945-1959 Demokrasi Parlementer
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem
parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini
kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di
beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri

32

dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri
sebagai kepala pemerintahan.
Masa demokrasi parlementer merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena
hamper semua elemen demokrasi dapat kita temukan perwujudannya dalam kehidupan politik
di Indonesia.
Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranam yang sangat
tinggi

dalam proses politik yang berjalan.

Kedua, akuntabilitas (pertanggungjawaban)

pemegang jabatan dan politis pada umumnya sangat tinggi. Ketiga, kehidupan kepartaian boleh
dikatakan memperoleh pelung yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal.
Keempat, sekalipun Pemilihan Umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955, tetapi
Pemikihan Umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Kelima,
masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi
sama sekali, sekalipun tidak semua warga Negara dapat memanfaatkannya dengan maksimal.
Keenam, dakam masa pemerintahan Parlementer, daerah-daerah memperoleh otonomi yang
cukup bahkan otonomi yamg seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai landasan
untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa demokrasi perlementer mengalami
kegagalan? Banyak sekali para ahli mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Dari sekian
banyak jawaban, ada beberapa hal yang dinilai tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, munculnya usulan presiden yang dikenal dengan konsepsi presiden untuk
membentuk pemerintahan yang bersifat gotong-royong. Kedua, Dewan Konstituante mengalami
jalan buntu untuk mencapai kesepakatan merumuskan ideologi nasional. Ketiga, dominannya
politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik. Keempat, Basis
social ekonomi yang masih sangat lemah.
b. Demokrasi Sistem Presidensial
Periode 1966-1988, masa demokrasi Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi
konstitusional yang menonjolkan system presidensial. Landasan formal periode ini adalah
pancasila, UUD 1945 dan ketetapan MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali
penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa demokrasi terpimpin. Namun dalam
perkembangannya peran presiden dan semakin dominan terhadap lembaga-lembaga Negara
yang lain. Melihat praktek demokrasi pada masa ini, nama pancasila hanya digunakan sebagai
legistimasi politis penguasa saat itu sebanya kenyataannya yang dilaksanakan tidak sesuai
dengan nilai-nilai pancasila.

Pertama, rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hamper ridak pernah terjadi.

Kedua, rekruitmen politik bersifat tertutup.

Ketiga, Pemilihan Umum.

Keempat, pelaksanaan hak dasar waega Negara.


Salah satu ciri Negara demokratis dibawa rule of law adalah terselenggaranya kegiatan
pemilihan umum yang bebas. Pemilihan umum merupakan sarana politik untuk mewujudkan
kehendak rakyat dalam hal memilih wakil-wakil mereka di lembaga legislatif serta memilih
pemegang kekuasaan eksekutif baik itu presiden/wakil presiden maupun kepala daerah.
Pemilihan umum bagi suatu Negara demokrasi berkedudukan sebagai sarana untuk
menyalurkan hak asasi politik rakyat. Pemilihan umum memiliki arti penring sebagai berikut:

Untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga legislative.

32

Membentuk dukungan yang mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan

eksekutif untuk jangka tertentu.


Rakyat melalui perwakilannya secara berkala dapat mengoreksi atau mengawasi kekuatan
eksekutif.

3.Pelaksanaan Demokrasi Di Indonesia


Pelaksanaan

Demokrasi

di

Indonesia

dibagi

menjadi

beberapa

periodesasi:

1.Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi ( 1945 1950 ).


Tahun 1945 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke
Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu
disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat
sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi
sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh
Presiden denan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah
negara yang absolut pemerintah mengeluarkan :

Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga
legislatif.

Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik.

Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn


presidensil menjadi parlementer

2.
a.

Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Lama


Masa demokrasi Liberal 1950 1959
Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang atau berkedudukan
sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa demokrasi ini peranan
parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-partai politik.
Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan :
Dominannya partai politik
Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
Bubarkan konstituante
Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950

32

Pembentukan MPRS dan DPAS

b.

Masa demokrasi Terpimpin 1959 1966


Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua
kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri:

Dominasi Presiden
Terbatasnya peran partai politik
Berkembangnya pengaruh PKI
Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:

Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan

Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden
membentuk DPRGR

Jaminan HAM lemah

Terjadi sentralisasi kekuasaan

Terbatasnya peranan pers

Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur)

Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI.

2.

Pelaksanaan demokrasi Orde Baru 1966 1998


Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret
1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala
bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan
Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:

Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada

Rekrutmen politik yang tertutup

32

Pemilu yang jauh dari semangat demokratisPengakuan HAM yang terbatas

Tumbuhnya KKN yang merajalela

Sebab jatuhnya Orde Baru:

Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )

Terjadinya krisis politik

TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba

Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi
Presiden

Pelaksanaan demokrasi pada masa Reformasi 1998 s/d sekarang.


Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden
Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.

3. Pelaksanaan demokrasi Orde Reformasi 1998 sekarang


Demokrasi
demokrasi

yang

dikembangkan

pada

dengan

mendasarkan

pada

penyempurnaan

pelaksanaannya

dan

masa

reformasi

Pancasila

perbaikan

dan

pada

dasarnya

adalah

1945,

dengan

UUD

peraturan-peraturan

yang

tidak

demokratis, dengan meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara


dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada
prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga-lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Demokrasi Indonesia saat ini telah dimulai dengan terbentuknya DPR MPR hasil
Pemilu 1999 yang telah memilih presiden dan wakil presiden serta terbentuknya
lembaga-lembaga tinggi yang lain.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:

Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi

Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum

Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN

32

Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
RI

Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV


Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum sudah dua kali yaitu
tahun 1999 dan tahun 2004

4. Demokrasi Di Indonesia Saat Ini


Demokrasi Indonesia pasca kolonial, kita mendapati peran demokrasi yang makin luas. Di
zaman Soekarno, kita mengenal beberapa model demokrasi. Partai-partai Nasionalis, Komunis
bahkan Islamis hampir semua mengatakan bahwa demokrasi itu adalah sesuatu yang ideal.
Bahkan bagi mereka, demokrasi bukan hanya merupakan sarana, tetapi demokrasi akan
mencapai sesuatu yang ideal. Bebas dari penjajahan dan mencapai kemerdekaan adalah tujuan
saat itu, yaitu mencapai sebuah demokrasi. Oleh karena itu, orang makin menyukai demokrasi.
Demokrasi yang berjalan di Indonesia saat ini dapat dikatakan adalah Demokrasi Liberal.
Dalam sistem Pemilu mengindikasi sistem demokrasi liberal di Indonesia antara lain sebagai
berikut:
1. Pemilu multi partai yang diikuti oleh sangat banyak partai. Paling sedikit sejak reformasi,
Pemilu diikuti oleh 24 partai (Pemilu 2004), paling banyak 48 Partai (Pemilu 1999). Pemilu
bebas berdiri sesuka hati, asal memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan KPU. Kalau semua
partai diijinkan ikut Pemilu, bisa muncul ratusan sampai ribuan partai.
2. Pemilu selain memilih anggota dewan (DPR/DPRD), juga memilih anggota DPD (senat).
Selain anggota DPD ini nyaris tidak ada guna dan kerjanya, hal itu juga mencontoh sistem di
Amerika yang mengenal kedudukan para anggota senat (senator).
3. Pemilihan Presiden secara langsung sejak 2004. Bukan hanya sosok presiden, tetapi juga
wakil presidennya. Untuk Pilpres ini, mekanisme nyaris serupa dengan pemilu partai, hanya
obyek yang dipilih berupa pasangan calon. Kadang, kalau dalam sekali Pilpres tidak diperoleh
pemenang mutlak, dilakukan pemilu putaran kedua, untuk mendapatkan legitimasi suara
yang kuat.
4. Pemilihan pejabat-pejabat birokrasi secara langsung (Pilkada), yaitu pilkada gubernur,
walikota, dan bupati. Lagi-lagi polanya persis seperti pemilu Partai atau pemilu Presiden.
Hanya sosok yang dipilih dan level jabatannya berbeda. Disana ada penjaringan calon,
kampanye, proses pemilihan, dsb.
5. Adanya badan khusus penyelenggara Pemilu, yaitu KPU sebagai panitia, dan Panwaslu
sebagai pengawas proses pemilu. Belum lagi tim pengamat independen yang dibentuk
secara swadaya. Disini dibutuhkan birokrasi tersendiri untuk menyelenggarakan Pemilu,
meskipun pada dasarnya birokrasi itu masih bergantung kepada Pemerintah juga.
6. Adanya lembaga surve, lembaga pooling, lembaga riset, dll. yang aktif melakukan riset
seputar perilaku pemilih atau calon pemilih dalam Pemilu. Termasuk adanya media-media

32

yang aktif melakukan pemantauan proses pemilu, pra pelaksanaan, saat pelaksanaan,
maupun paca pelaksanaan.
7. Demokrasi di Indonesia amat sangat membutuhkan modal (duit). Banyak sekali biaya yang
dibutuhkan untuk memenangkan Pemilu. Konsekuensinya, pihak-pihak yang berkantong
tebal, mereka lebih berpeluang memenangkan Pemilu, daripada orang-orang idealis, tetapi
miskin harta.Akhirnya, hitam-putihnya politik tergantung kepada tebal-tipisnya kantong para
politisi.
Semua ini dan indikasi-indikasi lainnya telah terlembagakan secara kuat dengan payung
UU Politik yang direvisi setiap 5 tahunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem
demikian telah menjadi realitas politik legal dan memiliki posisi sangat kuat dalam
kehidupan politik nasional.
Pesta demokrasi yang kita gelar setiap 5 tahun ini haruslah memiliki visi kedepan yang
jelas untuk membawa perubahan yang fundamental bagi bangsa Indonesia yang kita cintai
ini, baik dari segi perekonomian, pertahanan, dan persaiangan tingkat global. Oleh karena
itu, sinkronisasi antara demokrasi dengan pembangunan nasional haruslah sejalan bukan
malah sebaliknya demokrasi yang ditegakkan hanya merupakan untuk pemenuhan
kepentingan partai dan sekelompok tertentu saja.
Jadi, demokrasi yang kita terapkan sekarang haruslah mengacu pada sendi-sendi bangsa
Indonesia yang berdasarkan filsafah bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945.

5. Tantangan dan Harapan


Amartya Sen, penerima nobel bidang ekonomi menyebutkan bahwa demokrasi dapat
mengurangi kemiskinan. Pernyataan ini akan terbukti bila pihak legislatif menyuarakan hakhak orang miskin dan kemudian pihak eksekutif melaksanakan program-program yang efektif
untuk mengurangi kemiskinan. Sayangnya, dalam masa transisi ini, hal itu belum terjadi
secara signifikan.
Demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan
ekonomi

yang cukup.

Sedangkan

bagi

golongan ekonomi

bawah,

demokrasi

belum

memberikan dampak ekonomi yang positif buat mereka. Inilah tantangan yang harus dihadapi
dalam masa transisi. Demokrasi masih terkesan isu kaum elit, sementara ekonomi adalah
masalah riil kaum ekonomi bawah yang belum diakomodasi dalam proses demokratisasi. Ini
adalah salah satu tantangan terberat yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan
demikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik. Setiap
manusia

memiliki

hak

untuk

menyampaikan

pendapat,

berkumpul,

berserikat

dan

bermasyarakat. Dengan demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main. Aturan
main tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus yang terdapat dalam undangundang maupun peraturan pemerintah.
Di masa transisi, sebagian besar orang hanya tahu mereka bebas berbicara, beraspirasi,
berdemonstrasi. Namun aspirasi yang tidak sampai akan menimbulkan kerusakan. Tidak
sedikit fakta yang memperlihatkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasi
menyampaikan pendapat. Untuk itu orang memerlukan pemahaman yang utuh agar mereka

32

bisa menikmati demokrasi. Demokrasi di masa transisi tanpa adanya sumber daya manusia
yang kuat akan mengakibatkan masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ini adalah tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah
menapak. Pengaruh asing tersebut jelas akan menguntungkan mereka dan belum tentu
menguntungkan Indonesia. Dominannya pengaruh asing justru mematikan demokrasi itu
sendiri karena tidak diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnya menguntungkan
Indonesia. Standar ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab mandulnya demokrasi di
Indonesia.
Anarkisme yang juga menggejala pasca kejatuhan Soeharto juga menjadi tantangan bagi
demokrasi di Indonesia. Anarkisme ini merupakan bom waktu era Orde Baru yang meledak
pada saat ini. Anarkisme pada saat ini seolah-olah merupakan bagian dari demonstrasi yang
sulit dielakkan, dan bahkan kehidupan sehari-hari. Padahal anarkisme justru bertolak belakang
dengan hak asasi manusia dan nilai-nilai Islam.
Harapan dari adanya demokrasi yang mulai tumbuh adalah ia memberikan manfaat
sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat dan juga bangsa. Misalnya saja, demokrasi bisa
memaksimalkan pengumpulan zakat oleh negara dan distribusinya mampu mengurangi
kemiskinan. Disamping itu demokrasi diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang lebih
memperhatikan kepentingan rakyat banyak seperti masalah kesehatan dan pendidikan.
Tidak hanya itu, demokrasi diharapkan mampu menjadikan negara kuat. Demokrasi di
negara yang tidak kuat akan mengalami masa transisi yang panjang. Dan ini sangat
merugikan bangsa dan negara. Demokrasi di negara kuat (seperti Amerika) akan berdampak
positif bagi rakyat. Sedangkan demokrasi di negara berkembang seperti Indonesia tanpa
menghasilkan negara yang kuat justru tidak akan mampu mensejahterakan rakyatnya. Negara
yang kuat tidak identik dengan otoritarianisme maupun militerisme.
Harapan rakyat banyak tentunya adalah pada masalah kehidupan ekonomi mereka serta
bidang kehidupan lainnya. Demokrasi membuka celah berkuasanya para pemimpin yang
peduli dengan rakyat dan sebaliknya bisa melahirkan pemimpin yang buruk. Harapan rakyat
akan adanya pemimpin yang peduli di masa demokrasi ini adalah harapan dari implementasi
demokrasi itu sendiri.
Di masa transisi ini, implementasi demokrasi masih terbatas pada kebebasan dalam
berpolitik, sedangkan masalah ekonomi masih terpinggirkan. Maka muncul kepincangan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik dan ekonomi adalah dua sisi yang berbeda
dalam sekeping mata uang, maka masalah ekonomi pun harus mendapat perhatian yang
serius dalam implementasi demokrasi agar terjadi penguatan demokrasi. Semakin rendahnya
tingkat kehidupan ekonomi rakyat akan berdampak buruk bagi demokrasi karena kuatnya
bidang politik ternyata belum bisa mengarahkan kepada perbaikan ekonomi. Melemahnya
ekonomi akan berdampak luas kepada bidang lain, seperti masalah sumber daya manusia.
Sumber daya manusia yang lemah jelas tidak bisa memperkuat demokrasi, bahkan justru bisa
memperlemah demokrasi.
Demokrasi di Indonesia memberikan harapan akan tumbuhnya masyarakat baru yang
memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, berumpul, berpolitik dimana masyarakat
mengharap adanya iklim ekonomi yang kondusif. Untuk menghadapi tantangan dan
mengelola harapan ini agar menjadi kenyataan dibutuhkan kerjasama antar kelompok dan
partai politik agar demokrasi bisa berkembang ke arah yang lebih baik.

32

KESIMPULAN
-

Pendidikan Kewarganegaraan bagi mahasiswa sangat penting untuk diajarkan,


mengingat pendidikan kewarganegaraan merupakan proses dimana seseorang dapat
menghargai, menjaga dan merasa bangga terhadap negaranya.
Pancasila berfungsi sebagai Ideologi Bangsa dan Negara dan sebagai pedoman utama
bagi dari semua hokum-hukum yang ada di Indonesia.
Ada lima pandangan mengenai politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang
ditempuh oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama.
Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan
pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai
konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap
penting.
Dalam Demokrasi Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam
kebijakan politik dan sosial.

32

Anda mungkin juga menyukai