Anda di halaman 1dari 48

KLB berdasarkan mortalitas & morbiditas

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kesakitan/kematian yang
bermakna secara epidemiologis di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu (Kep. Dirjen
PPM&PLP No.451-I/PD.03.04/1991 Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan
KLB).
Menurut UU No. 4 Tahun 1984, kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun
waktu tertentu dan menjurus kepada wabah.
Wabah adalah kejadian berjangkitnya penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah
penderitanya meningkat secara nyata, melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah
tertentu serta dapat menimbulkan petaka.
Perbedaan definisi antara Wabah dan KLB :
Wabah harus mencakup:
1. Jumlah kasus yang besar.
2. Daerah yang luas
3. Waktu yang lebih lama.
4. Dampak yang timbulkan lebih berat.
Ketentuan KLB untuk DBD :
1. Jumlah kasus bulan ini >2 X dari kasus bulan yang sama tahun lalu
2. Jumlah kasus bulan ini > 2X dari rata-rata tahun lalu
3. Jumlah kasus bulan ini > dari jumlah kasus tertinggi tahun lalu
4. 1 kasus kematian
5. 1 kasus DSS
Tujuan Umum KLB :
Mencegah meluasnya (penanggulangan)
Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian)
Tujuan khusus :
1. Diagnosis kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit
2. Memastikan bahwa keadaan tersebut merupakan KLB
3. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
4. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB
5. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi KLB
Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya KLB
a. Herd Immunity yang rendah
Yang mempengaruhi rendahnya faktor itu, sebagian masyarakat sudah tidak kebal lagi, atau
antara yang kebal dan tidak mengelompok tersendiri.
b. Patogenesiti
Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit.
c. Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme tetapi mempengaruhi kehidupan ataupun
perkembangan organisme tersebut.
Jenis penyakit yang menimbulkan KLB :
1. Penyakit menular : Diare, Campak, Malaria, DHF

2. Penyakit tidak menular : Keracunan, Gizi buruk


3. Kejadian bencana alam yang disertai dengan wabah penyakit
Faktor Yang Mempengaruhi Mordibitas dan Mortalitas dalam KLB Untuk Mengukur
Masalah Penyakit ( Angka Kesakitan / Morbiditas )
Setiap gangguan di dalam fungsi maupun struktur tubuh seseorang dianggap sebagai penyakit.
Penyakit, sakit, cedera, gangguan dan sakit, semuanya dikategorikan di dalam istilah tunggal.
Morbiditas merupakan derajat sakit, cedera atau gangguan pada suatu populasi. Morbiditas juga
merupakan suatu penyimpangan dari status sehat dan sejahtera atau keberadaan suatu kondisi sakit.
Morbiditas juga mengacu pada angka kesakitan, yaitu jumlah orang yang sakit dibandingkan
dengan populasi tertentu yang sering kali merupakan kelompok yang sehat atau kelompok yang
beresiko. Di dalam Epidemiologi, ukuran utama morbiditas adalah angka insidensi & prevalensi dan
berbagai ukuran turunan dari kedua indikator tersebut. Setiap kejadian penyakit, kondisi gangguan
atau kesakitan dapat diukur dengan angka insidensi dan angka prevalensi.
Kriteria KLB
KLB meliputi hal yang sangat luas seperti sampaikan pada bagian sebelumnya, maka untuk
mempermudah penetapan diagnosis KLB, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Dirjen
PPM&PLP No. 451-I/PD.03.04/1999 tentang Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan
Penanggulangan KLB telah menetapkan criteria kerja KLB yaitu :
1. Timbulnya suatu penyakit/menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut
menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian/kematian > 2 kali dibandingkan dengan periode sebelumnya
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan >2 kali bila dibandingkan
dengan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya
5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikkan > 2 kali dibandingkan
angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya.
6. CFR suatu penyakit dalam satu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikkan 50 % atau
lebih dibanding CFR periode sebelumnya.
7. Proporsional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikkan > 2
kali dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu/tahun sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus : Kholera, DHF/DSS, (a)Setiap peningkatan kasus dari periode
sebelumnya (pada daerah endemis). (b)Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada
periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang
bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita :
Keracunan Makanan dan Pestisida
KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit yang tidak
mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui. Sebagai contoh adalah suatu KLB penyakit
Fog di London. Kejadian penyakit tersebut telah dimulai pada tahun 1952, tetapi tidak mendapat

perhatian karena dampak penyakit tersebut belum diketahui. Perhatian terhadap penyakit ini baru
dimulai setelah adanya informasi peningkatan jumlah kematian di suatu masyarakat. Hasil
penyelidikan KLB mengungkapkan bahwa peningkatan tersebut karena penyakit Fog (Mausner and
Kramer, 1985).
KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena :
a. Perubahan cara mendiagnosis penyakit
b. Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut
c. Perubahan organisasi pelayanan kesehatan
d. Perhatian yang berlebihan.
Klasifikasi KLB
a. Menurut Penyebab:
a. Entero toxin : misal yang dihasilkan oleh Staphylococus aureus, Vibrio, Kholera,
Eschorichia, Shigella.
b. Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum, Clostridium
perfringens.
c. Endotoxin : Infeksi, Virus, Bacteri, Protozoa, Cacing, Toksin Biologis, Racun jamur,
Alfatoxin, Plankton, Racun ikan, Racun tumbuh-tumbuhan, Toksin Kimia.
d. Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), cyanide, nitrit, pestisida.
Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN.
b. Menurut Sumber KLB
a. Manusia misal: jalan napas, tenggorokan, tangan, tinja, air seni, muntahan, seperti :
Salmonella, Shigella, Staphylococus, Streptoccocus, Protozoa, Virus Hepatitis.
b. Kegiatan manusia, misal : Toxin biologis dan kimia (pembuangan tempe bongkrek,
penyemprotan, pencemaran lingkungan, penangkapan ikan dengan racun).
c. Binatang seperti : binatang piaraan, ikan, binatang mengerat, contoh : Leptospira,
Salmonella, Vibrio, Cacing dan parasit lainnya, keracunan ikan/plankton
d. Serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya) misal : Salmonella, Staphylokok, Streptokok.
e. Udara, misal : Staphyloccoccus, Streptococcus, Virus, pencemaran udara.
f. Permukaan benda-benda/alat-alat misal : Salmonella.
g. Air, misalnya : Vibrio Cholerae, Salmonella.
h. Makanan/minuman, misal : keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng.
c. Menurut Penyakit wabah : Beberapa penyakit dari sumber di atas yang sering menjadi
wabah: Kholera, Pes, Demam kuning, Demam bolak-balik, Tifus bercak wabah, DBD,
Campak, Polio, DPT, Rabies, Malaria, Influensa, Hepatitis, Tipus perut, Meningitis,
Encephalitis, SARS, Anthrax.
Metodologi Penyelidikan KLB
Tingkat atau pola dalam penyelidikan KLB ini sangat sulit ditentukan, sehingga metoda yang
dipakai pada penyelidikan KLB sangat bervariasi. Menurut Kelsey et al., 1986; Goodman et al.,
1990 dan Pranowo, 1991, variasi tersebut meliputi :
a. Rancangan penelitian, dapat merupakan suatu penelitian prospektif atau retrospektif tergantung
dari waktu dilaksanakannya penyelidikan. Dapat merupakan suatu penelitian deskriptif, analitik
atau keduanya.

b. Materi (manusia, mikroorganisme, bahan kimia, masalah administratif),


c. Sasaran pemantauan, berbagai kelompok menurut sifat dan tempatnya (Rumah sakit, klinik,
laboratorium dan lapangan).
d. Setiap penyelidikan KLB selalu mempunyai tujuan utama yang sama yaitu mencegah
meluasnya (penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian),
dengan tujuan khusus :
a. Diagnose kasus-kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit
b. Memastikan keadaan tersebut merupakan KLB
c. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
d. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB
e. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang berisiko akan terjadi KLB
Langkah-langkah Penyelidikan KLB
a. Persiapan penelitian lapangan
b. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB
c. Memastikan Diagnose Etiologis
d. Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan
e. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat
f. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan)
g. Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran
h. Mengidentikasi keadaan penyebab KLB
i. Merencanakan penelitian lain yang sistematis
j. Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan
k. Menetapkan sistim penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi
l. Melaporkan hasil penyelidikan kepada Instansi kesehatan setempat dan kepada sistim pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi
Persiapan Penelitian Lapangan
Sebelum penyelidikan KLB dilaksanakan perlu adanya persiapan dan rencana kerja. Persiapan
lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin, dalam 24 jam pertama sesudah adanya informasi
(Kelsey., 1986), Greg (1985) dan Bres (1986) mengatakan bahwa persiapan penelitian lapangan
meliputi :
i. Pemantapan (konfirmasi) informasi.
Informasi awal yang didapat kadang-kadang tidak lengkap, sehingga diperlukan pemantapan
informasi untuk melengkapi informasi awal, yang dilakukan dengan kontak dengan daerah
setempat. Informasi awal yang digunakan sebagai arahan untuk membuat rencana kerja (plan of
action), yang meliputi informasi sebagai berikut :
1. Asal informasi adanya KLB. Di Indonesia informasi adanya KLB dapat berasal dari fasilitas
kesehatan primer (laporan W1), analisis sistem kewaspadaan dini di daerah tersebut (laporan
W2), hasil laboratorium, laporan Rumah sakit (Laporan KD-RS) atau masyarakat (Laporan
S-0).
2. Gambaran tentang penyakit yang sedang berjangkit, meliputi gejala klinis, pemeriksaan
yang telah dilakukan untuk menegakan diagnosis dan hasil pemeriksaannya, komplikasi
yang terjadi (misal kematian, kecacatan. Kelumpuhan dan lainnya).

3. Keadaan geografi dan transportasi yang dapat digunakan di daerah/lokasi KLB.


ii. Pembuatan rencana kerja
Berdasar informasi tersebut disusun rencana penyelidikan (proposal), yang minimal berisi :
1. Tujuan penyelidikan KLB
2. Definisi kasus awal
3. Hipotesis awal mengenai agent penyebab (penyakit), cara dan sumber penularan
4. Macam dan sumber data yang diperlukan
5. Strategi penemuan kasus
6. Sarana dan tenaga yang diperlukan.
Definisi kasus : definisi kasus sangat berguna untuk arahan pada pencarian kasus nantinya.
Mengingat informasi yang didapat mungkin hanya merupakan persangkaan penyakit tertentu atau
gejala klinis yang ditemui, maka definisi kasus sebaiknya dibuat longgar, dengan kemungkinan
kasus-kasus lain akan masuk. Perbaikan definisi kasus akan dilakukan setelah pemastian diagnose,
pada langkah identifikasi kasus dan paparan.
Hipotesis awal, hendaknya meliputi penyakit penyebab KLB, sumber dan cara penularan. Untuk
membuat hipotesis awal ini dapat dengan mempelajari gejala klinis, ciri dan pola epidemiologis
penyakit tersangka. Hipotesis awal ini dapat berubah atau lebih spesifik dan dibuktikan pada waktu
penyelidikan (Bres, 1986).
Tujuan penyelidikan KLB selalu dimulai dengan tujuan utama mengadakan penanggulangan dan
pengendalian KLB, dengan beberapa tujuan khusus, di antaranya :
a. Memastikan diagnosis penyakit
b. Menetapkan KLB
c. Menentukan sumber dan cara penularan
d. Mengetahui keadaan penyebab KLB
Pada penyelidikan KLB diperlukan beberapa tujuan tambahan yang berhubungan dengan
penggunaan hasil penyelidikan. Misalnya untuk mengetahui pelaksanaan program imunisasi,
mengetahui kemampuan sistem surveilans, atau mengetahui pertanda mikrobiologik yang dapat
digunakan (Goodman et al., 1990).
Strategi penemuan kasus, strategi penemuan kasus ini sangat penting kaitannya dengan pelaksanaan
penyelidikan nantinya. Pada penyelidikan KLB pertimbangan penetapan strategi yang tepat tidak
hanya didasarkan pada bagaimana memperoleh informasi yang akurat, tetapi juga harus
dipertimbangkan beberapa hal yaitu :
1. Sumber daya yang ada (dana, sarana, tenaga)
2. Luas wilayah KLB
3. Asal KLB diketahui
4. Sifat penyakitnya.
Beberapa strategi penemuan kasus yang dapat digunakan pada penyelidikan KLB dengan beberapa
keuntungan dan kelemahannya (Bres, 1986) :
a. Penggunaan data fasilitas kesehatan Cepat Terjadi bias seleksi kasus
b. Kunjungan ke RS atau fasilitas kesehatan Lebih mudah untuk mengetahui kasus dan kontak
Hanya kasus-kasus yang berat

c. Penyebaran kuesioner pada daerah yang terkena Cepat, tidak ada bias menaksir populasi
Kesalahan interpretasi pertanyaan
d. Kunjungan ke tempat yang diduga sebagai sumber penularan Mudah untuk menge-tahui
hubungan kasus dan kontak Terjadi bias seleksi dan keadaan sudah spesifik
e. Survai masyarakat (survai rumah tanggal, total survai) Dapat dilihat keadaan yang
sebenarnya Memerlukan waktu lama, memerlukan organisasi tim dengan baik
f. Survai pada penderita Jika diketahui kasus dengan pasti Memerlukan waktu lama, hasil
hanya terbatas pada kasus yang diketahui
g. Survai agent dengan isolasi atau serologi Kepastian tinggi, di-gunakan pada penya-kit
dengan carrier Mahal, hanya dilakukan jika pemerik saan lab dapat dikerjakan.
iii. Pertemuan dengan pejabat setempat.
Pertemuan dimaksudkan untuk membicarakan rencana dan pelaksanaan penyelidikan KLB,
kelengkapan sarana dan tenaga di daerah, memperoleh izin dan pengamanan.
Pemastian Diagnosis Penyakit Dan Penetapan KLB
Pemastian Diagnosis Penyakit
Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan gejala/tanda penyakit yang
terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya. Cara menghitung
distribusi frekuensi dari tanda-tanda dan gejala-gejala yang ada pada kasus adalah sebagai berikut :
a. Buat daftar gejala yang ada pada kasus
b. Hitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut
c. Susun ke bawah menurut urutan frekuensinya
Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah berjalan dengan
insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap berisiko, pada
tempat dan waktu tertentu. Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan waktu harus
diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi menurut waktu
(pola temporal penyakit). Penggambaran pola temporal penyakit yang penting untuk penetapan
KLB adalah, pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan kecenderungan jangka panjang
(periode tahunan pola maksimum dan minimum penyakit). Dengan demikian untuk melihat
kenaikan frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit pada tahun yang sama
bulan berbeda atau bulan yang sama tahun berbeda (CDC, 1979).
KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit yang tidak
mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui.
KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena :
a. Perubahan cara mendiagnosis penyakit
b. Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut, atau
c. Perubahan organisasi pelayanan kesehatan,
d. Perhatian yang berlebihan.

Untuk mentetapkan KLB dapat dipakai beberapa definisi KLB yang telah disusun oleh Depkes.
Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa menyusun dengan grafik Pola
Maksimum-minimum 5 tahunan atau 3 tahunan.
Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem Kewaspadaan Dini (SKD-KLB), yang dapat
diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan penanggulangan KLB secara dini dengan melakukan
kegiatan untuk mengantisipasi KLB. Kegiatan yang dilakukan berupa pengamatan yang sistematis
dan terus-menerus yang mendukung sikap tanggap/waspada yang cepat dan tepat terhadap adanya
suatu perubahan status kesehatan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan data
kasus baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi terjadi KLB secara mingguan sebagai upaya
SKD-KLB. Data-data yang telah terkumpul dilakukan pengolahan dan analisis data untuk
penyusunan rumusan kegiatan perbaikan oleh tim epidemiologi (Dinkes Kota Surabaya, 2002).
Berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular serta Peraturan
Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989, maka penyakit DBD harus dilaporkan segera dalam waktu
kurang dari 24 jam. Undang-undang No. 4 tahun 1984 juga menyebutkan bahwa wabah adalah
kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat, yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta
dapat menimbulkan malapetaka. Dalam rangka mengantisipasi wabah secara dini, dikembangkan
istilah kejadian luar biasa (KLB) sebagai pemantauan lebih dini terhadap kejadian wabah. Tetapi
kelemahan dari sistem ini adalah penentuan penyakit didasarkan atas hasil pemeriksaan klinik
laboratorium sehingga seringkali KLB terlambat diantisipasi (Sidemen A., 2003).
Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru 2 telah mengembangkan suatu sistem surveilans
dengan
menggunakan
teknologi
informasi
(computerize)
yang
disebut
dengan
Early Warning Outbreak Recognition System (EWORS). EWORS adalah suatu sistem jaringan
informasi yang menggunakan internet yang bertujuan untuk menyampaikan berita adanya kejadian
luar biasa pada suatu daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS secara cepat (Badan Litbangkes,
Depkes RI). Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui dengan cepat,
sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini mungkin. Dalam masalah DBD
kali ini EWORS telah berperan dalam hal menginformasikan data kasus DBD dari segi jumlah,
gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari seluruh rumah sakit DATI II di
Indonesia (Sidemen A., 2003)
Upaya penanggulangan KLB
Penyelidikan epidemilogis.
Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina.
Pencegahan dan pengendalian.
Pemusnahan penyebab penyakit.
Penanganan jenazah akibat wabah.
Penyuluhan kepada masyarakat.

Upaya penanggulangan lainnya.


Indikator keberhasilan penanggulangan KLB
Menurunnya frekuensi KLB.
Menurunnya jumlah kasus pada setiap KLB.
Menurunnya jumlah kematian pada setiap KLB.
Memendeknya periode KLB.
Menyempitnya penyebarluasan wilayah KLB.
Tim penanggulangan KLB
d. Terdiri dari multi disiplin atau multi lintas sektor, bekerjasama dalam penanggulangan KLB.
e. Salah satu anggota tim kesehatan adalah perawat (sebagai anggota masyarakat maupun
sebagai petugas disarana kesehatan).
f. Perawat dapat terlibat langsung di Puskesmas atau Rumah sakit.
Prosedur Penanggulangan KLB
1. Masa pra KLB
Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB / wabah adalah dengan melaksanakan Sistem
Kewaspadaan Dini secara cermat, selain itu melakukakukan langkah-langkh lainnya :
1. Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistik.
2. Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas.
3. Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat
4. Memperbaiki kerja laboratorium
5. Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain
Tim Gerak Cepat (TGC)
Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan penanggulangan
wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data penyelidikan epideomologis.
Tugas /kegiatan :
a. Pengamatan : Pencarian penderita lain yang tidak datang berobat.
Pengambilan usap dubur terhadap orang yang dicurigai terutama anggota keluarga
Pengambilan contoh air sumur, sungai, air pabrik dll yang diduga tercemari dan sebagai
sumber penularan
b. Pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi penyebarannya
Pencegahan dehidrasi dengan pemberian oralit bagi setiap penderita yang ditemukan di
lapangan.
c. Penyuluhahn baik perorang maupun keluarga
d. Membuat laporan tentang kejadian wabah dan cara penanggulangan secara lengkap.
2. Pembentukan Pusat Rehidrasi
Untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Tugas pusat rehidrasi :
a. Merawat dan memberikan pengobatan penderita diare yang berkunjung.
b. Melakukan pencatatan nama , umur, alamat lengkap, masa inkubasi, gejala diagnosa dsb.
c. Memberikan data penderita ke Petugas TGC
d. Mengatur logistik

e.
f.
g.
h.

Mengambil usap dubur penderita sebelum diterapi.


Penyuluhan bagi penderita dan keluarga
Menjaga pusat rehidrasi tidak menjadi sumber penularan (lisolisasi).
Membuat laporan harian, mingguan penderita diare yang dirawat.(yang diinfus, tdk diinfus,
rawat jalan, obat yang digunakan dsb.

Pencegahan terjadinya wabah/KLB


1. Pencegahan tingkat pertama
1. Menurunkan faktor penyebab terjadinya wabah serendah mungkin dengan cara desinfeksi,
pasteurisasi, sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme penyebab
penyakit dan menghilangkan sumner penularan.
2. Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air
bersih, sanitasi lingkungan, peningkatan lingkungan biologis seperti pemberntasan serangga
dan binatang pengerat serta peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga.
3. Meningkatkan daya tahan pejamu meliputi perbaikan status gizi,kualitas hidup penduduk,
pemberian imunisasi serta peningkatan status psikologis.
2. Pencegahan tingkat kedua
Sasaran pencegahan ini terutama ditunjukkan pada mereka yang menderita atau dianggap
menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tunas) dengan cara diagnosis dini
dan pengobatan yang tepat agar dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya
wabah serta untuk segera mencegah proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya
komplikasi.
3. Pencegahan tingkat ketiga
Bertujuan untuk mencegah jangan sampai penderita mengalami cacat atau kelainan permanen,
mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut
dengan dilakukannya rehabilitasi.
4. Strategi pencegahan penyakit
Dilakukan usaha peningkatan derajad kesehatan individu dan masyarakat, perlindungan
terhadap ancaman dan gangguan kesehatan, pemeliharaan kesehatan, penanganan dan
pengurangan gangguan serta masalah kesehatan serta rehabilitasi lingkungan.
Penyelidikan Epidemiologi

Penyelidikan Epidemiologi adalah rangkaian kegiatan untuk mengetahui suatu kejadian baik sedang
berlangsung maupun yang telah terjadi, sifatnya penelitian, melalui pengumpulan data primer dan
sekunder, pengolahan dan analisa data, membuat kesimpulan dan rekomendasi dalam bentuk
laporan.
Manfaat Epidemiologi antara lain:
1. Membantu pekerjaan Administrasi Kesehatan
2. Dapat menerangkan penyebab masalah kesehatan
3. Dapat menerangkan perkembangan alamiah penyakit
4. Dapat menerangkan keadaan suatu masalah kesehatan
5. Epidemi (singkat dan tinggi)
6. Pandemi (peningkatan yang sangat tinggi dan telah amat luas)
7. Endemi (frekuansi tetap dalam waktu yang lama)
8. Sporadik (berubah-ubah menurut perubahan waktu)
Tujuan Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Mendapatkan besaran masalah yang sesunguhnya, Mendapatkan gambaran klinis dari suatu
penyakit, Mendapatkan gambaran kasus menurut variabel Epidemiology, Mendapatkan informasi
tentang faktor risiko (lingkungan, vektor, perilaku, dll) dan etiologi, Dari ke empat tujuan di
tersebut dapat dianalisis sehingga dapat memberikan suatu penanggulangan atau pencegahan dari
penyak
Langkah Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi (PE)
1. Tahap survey pendahuluan :
a. Memastikan adanya KLB
b. Menegakan diagnosa
c. Buat hypotesa sementara ( penyebab, cara penularan, faktor yg mempengaruhi)
2. Tahap Pengumpulan Data :
a. Identifikasi kasus kedalam variabel epid (orang, tempat, waktu)
b. Uji hipotesis
c. Menentukan kelompok yg rentan
3. Tahap pengolahan data :

i. Lakukan pengolahan menurut variable epid, menurut ukuran epid, menurut nilai statstik.
j. Lakukan analisa data menurut variable epid, ukuran epid,dan nilai statistik. Bandingkan dg
nilai yang sudah ada
k. Buat intepretasi hasil analisa
l. Buat laporan hasil penanggulangan
4. Tentukan tindakan penanggulangan dan pencegahan :
a. Tindakan penanggulangan :
1. Pengobatan penderita
2. Isolasi kasus
b. Tindakan pencegahan :
1. Surveilans yg ketat
2. Perbaikan mutu lingkungan
3. Perbaikan status kesehatan masyarakat
Indikasi Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Pencegahan & Penanggulangan

Laporan masyarakat, politik, serta kepentingan legal aspek

On the Job Traning

Penelitian

Masalah Program Pemberantasan

Indikasi Penyelidikan Epidemiologi (PE)


Pencegahan & Penanggulangan

Laporan masyarakat, politik, serta kepentingan legal aspek

On the Job Traning

Penelitian

Masalah Program Pemberantasan

Ukuran Ukuran Dalam Epidemiologi


Proporsiadalah perbandingan yang pembilangnya merupakan bagian dari penyebut. Proporsi
digunakan untuk melihat komposisi suatu variabel dalam populasi

Ratio adalah perbandingan dua bilangan yang tidak saling tergantung. Ratio digunakan untuk
menyatakan besarnya kejadian

Contoh: Jumlah Mahasiswa Stikes = 100, ratio pria : wanita = 2 : 3. Berapa jumlah masing2
mahasiswa?
Rate adalah perbandingan suatu kejadian dengan jumlah penduduk yang mempunyai risiko kejadian
tersebut. Rate digunakan untuk menyatakan dinamika dan kecepatan kejadian tertentu dalam
masyarakat

Contoh:
a. Campak berisiko pada balita
b. Diare berisiko pada semua penduduk
c. Ca servik berisiko pada wanita
PENGUKURAN ANGKA KESAKITAN/ MORBIDITAS
INCIDENCE RATE
Incidence rate adalah frekuensi penyakit baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu tempat /
wilayah / negara pada waktu tertentu

PREVALENCE RATE
Prevalence rate adalah frekuensi penyakit lama dan baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu
tempat/ wilayah/ negara pada waktu tertentu. PR yang ditentukan pada waktu tertentu (misal pada
Juli 2000) disebut Point Prevalence Rate. PR yang ditentukan pada periode tertentu (misal 1 Januari
2000 s/d 31 Desember 2000) disebut Periode Prevalence Rate.

ATTACK RATE
Attack Rate adalah jumlah kasus baru penyakit dalam waktu wabah yang berjangkit dalam
masyarakat di suatu tempat/ wilayah/ negara pada waktu tertentu

PENGUKURAN MORTALITY RATE


CRUDE DEATH RATE
CDR adalah angka kematian kasar atau jumlah seluruh kematian selama satu tahun dibagi jumlah
penduduk pada pertengahan tahun

SPECIFIC DEATH RATE


SDR adalah jumlah seluruh kematian akibat penyakit tertentu selama satu tahun dibagi jumlah
penduduk pada pertengahan tahun

CASE FATALITY RATE


CFR adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk menentukan kegawatan/
keganasan penyakit tersebut

MATERNAL MORTALITY RATE


MMR = AKI = Angka kematian Ibu adalah jumlah kematian ibu oleh sebab kehamilan/ melahirkan/
nifas (sampai 42 hari post partum) per 100.000 kelahiran hidup

INFANT MORTALITY RATE


IMR = AKB = angka kematian bayi adalah jumlah kematian bayi (umur <1tahun) per 1000
kelahiran hidup

NEONATAL MORTALITY RATE


NMR = AKN = Angka Kematian Neonatal adalah jumlah kematian bayi sampai umur < 4 minggu
atau 28 hari per 1000 kelahiran hidup

PERINATAL MORTALITY RATE


PMR = AKP = angka Kematian Perinatal adalah jumlah kematian janin umur 28 minggu s/d 7 hari
seudah lahir per 1000 kelahiran hidup

Perilaku Pencarian Pengobatan


Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari
tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai
aktivitas masing-masing. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku
(manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun
yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Skiner (1938) seorang ahli psikologis, merumuskan bahwa
perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua:
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert).
Misalnya : seorang ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu
bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Misalnya :
seorang ibu memeriksa kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk
diimunisasi.
Perilaku Kesehatan Individu
Perilaku kesehatan individu pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta
lingkungan. Batasan ini mempunyai 2 unsur pokok, yakni respons dan stimulus atau perangsangan.
Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap) maupun bersifat
aktif (tindakan yang nyata atau practice). Sedangkan stimulus atau rangsangan terdiri 4 unsur

pokok, yakni : sakit & penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan lingkungan. Dari
batasan ini perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok :
1) Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau usaha-usaha
seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk
penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebeb itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari
3 aspek :
a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan
kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sakit.
c. perilaku gizi (makanan & minuman).
2) Perilaku Pencarian atau Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau sering
disebut Perilaku Pencarian Pengobatan (health seeking behavior) adalah menyangkut upaya
atau tindakan seseorang pada saat menderita dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini
dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
3) Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yakni respons seseorang terhadap makanan
sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan, meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek
kita terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya/zat gizi, pengelolaan
makanan, dll.
4) Perilaku Kesehatan Lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun sosial budaya dan bagaimana sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatannya. Seorang ahli lain (Becker, 1979) membuat klasifikasi tentang
perilaku kesehatan ini.
a. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau
kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.
Perilaku ini mencakup antara lain :
a) Menu seimbang
b) Olahraga teratur
c) Tidak merokok
d) Tidak minum-minuman keras dan narkoba
e) Istirahat yang cukup
f) Pengendalian stres
g) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan
b. Perilaku sakit mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit. Persepsinya
terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan
penyakit dan sebagainya, dsb.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) mencakup :
a) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b) Mengenal/mengetahu fasilitas atau sasaran pelayanan penyembuhan
penyakit yang layak.
c) Mengetahu hak (misalnya : hak memperoleh perawatan dan pelayanan
kesehatan).
Kosa & Robertson mengatakan bahwa perilaku kesehatan individu cenderung dipengaruhi oleh
kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang diinginkan dan kurang
berdasarkan pada pengetahuan biologi. Memang kenyataannya demikian, tiap indivisu mempunyai
cara yang berbeda dalam mengambil tindakan penyembuhan atau pencegahan yang berbeda
meskipun gangguan kesehatannya sama. Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan
penilaian individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut. Penilaian

semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan individu menstimulasi dimulainya
suatu proses sosial psikologis. Proses semacam ini menggambarkan berbagai tindakan yang
dilakukan si penderita mengenai gangguan yang dialami dan merupakan bagian integral interaksi
sosial pada umumnya. Proses ini mengikuti suatu keteraturan tertentu yang dapat diklasifikasikan
dalam 4 bagian, yakni :
1) Adanya suatu penilaian dari orang yang bersangkutan terhadap suatu gangguan atau
ancaman kesehatan. Dalam hal ini persepsi individu yang bersangkutan atau orang lain
(anggota keluarga) terhadap gangguan tersebut akan berperan. Selanjutnya gangguan
dikomunikasikan kepada orang lain (anggota keluarga) dan mereka yang diberi informasi
tersebut menilai dengan kriteria subjektif.
2) Timbulnya kecemasan karena adanya persepsi terhadap gangguan tersebut. Disadari bahwa
setiap gangguan kesehatan akan menimbulkan kecemasan baik bagi yang bersangkutan
maupun bagi anggota keluarga lainnya. Bahkan gangguan tersebut dikaitkan dengan
ancaman adanya kematian. Dari ancaman-ancaman ini akan menimbulkan bermacammacam bentuk perilaku.
3) Penerapan pengetahuan orang yang bersangkutan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan masalah kesehatan, khususnya mengenai gangguan yang dialaminya. Oleh karena
gangguan kesehatan terjadi secara teratur di dalam suatu kelompok tertentu maka setiap
irang di dalam kelompok tersebut dapat menghimpun pengetahuan tentang berbagai macam
gangguan kesehatan yang mungkin terjadi. Dari sini sekaligus orang menghimpun berbagai
cara mengatasi gangguan kesehatan itu baik secara tradisional maupun modern. Berbagai
cara penerapan pengetahuan baik dalam menghimpun berbagai macam gangguan maupun
cara-cara mengatasinya tersebut merupakan pencerminan dari berbagai bentuk perilaku.
4) Dilakukannya tindakan manipulatif untuk meniadakan atau menghilangkan kecemasan atau
gangguan tersebut. Di dalam hal ini baik orang awam maupun tenaga kesehatan melakukan
manipulasi tertentu dalam arti melakukan sesuatu untuk mengatasi gangguan kesehatan.
Dari sini lahirlah pranata-pranata kesehatan baik tradisional maupun modern.
Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Mengobati
Mayoritas masyarakat dengan pengetahuan kurang dan sedang (78%), sikap yang sedang (8%)
cenderung akan berobat ke puskesmas jika mereka telah menderita atau merasakan matanya sakit
seperti gatal, mata merah, belekan, jika telah mengalami kebutaan, bila sudah tidak dapat bekerja ,
tidak dapat mengenali seseorang dalam jarak dekat maupun jauh, dan tidak bisa berjalan dengan
baik. Mereka biasanya akan mengeluh sakit pada matanya sehingga mereka baru memeriksakan
sakitnya ke puskesmas. Berdasarkan teori perilaku pencarian pelayanan kesehatan disebutkan
bahwa perilaku orang yang sakit untuk memperoleh penyembuhan mencakup tindakan- tindakan
seperti perilaku pencarian dan penggunaan fasilitas/tempat pelayanan kesehatan (baik tradisional
maupun modern). Tindakan ini dimulai dari mengobati sendiri sampai mencari pengobatan di luar
negeri
Masyarakat jika menderita sakit cenderung mengobati sendiri terlebih dahulu dengan membeli obat
di warung seperti tetes mata, salep di apotik tanpa resep dari dokter, mereka hanya menanyakan
kepada penjaga apotik obat mana yang biasa digunakan untuk mata merah, padahal dengan mereka
membeli obat tanpa resep dokter belum tentu itu baik buat kesehatan mata, dan belum tentu obat
tersebut tidak menimbulkan efek samping jika mengabaikan aturan pemakaian. Dan ada juga yang
mengobati secara tradisional yaitu dengan mengompres mata dengan air hangat, air sirih, air teh,
daun kelor dan air bambu. Di sisi lain masyarakat dengan pengetahuan baik (22%) dan bersikap
baik (92%) berperilaku langsung mengobati ke puskesmas atau rumah sakit. Hal ini dikarenakan
mereka mengetahui apa yang akan terjadi jika terlambat dalam melakukan pengobatan, dan juga

mereka memiliki dasar pengetahuan yang baik tentang kesehatan, khususnya kesehatan mata.
Sehingga jika mengalami gangguan pada mata mereka langsung mengobati dengan rasional.
Pelayanan Kesehatan Modern
1. Polindes.
Polindes adalah salah satu program pembangunan oleh pemerintah RI bidang kesehatan yang
berangkat dari persoalan tingginya angka kesakitan dan kematian ibu karena hamil dan bersalin.
Program ini merupakan program penyediaan fasilitas layanan kesehatan di desa yang jauh dari
fasilitas kesehatan yang memadai. Tiga tujuan utama program adalah:
sebagai tempat pelayanan kesehatan ibu, anak dan KB.
sebagai tempat pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan.
sebagai tempat konsultasi, penyuluhan dan pendidikan kesehatan bagi masyarakat, dukun
bayi dan kader kesehatan.
Secara institusi dan gagasan, polindes merupakan representasi sistim medis modern yang dalam
proses intervensi di masyarakat sasaran akan bertemu dengan sistim medis lokal tradisional.
Dinamika dan proses komunikasi yang terjadi antara keduanya menghasilkan adopsi parsial
program oleh masyarakat sasaran. Hal yang menarik dari data temuan lapangan adalah terdapat
perbedaan perspektif antara program dan nilai-nilai lokal dalam menginterpretasi kehamilan dan
persalinan dan etiologi tentang sehat sakit. Program beroperasi atas dasar prinsip-prinsip fisiologis
dan model-model biomedis serta bekerja atas diktum preventif.
Hal ini konsisten dengan cara kerja sistem medis modern (dalam hal ini program KIA di polindes)
yaitu mencegah lebih baik dari pada mengobati. Bagi pengetahuah lokal, kehamilan dan persalinan
lebih dijelaskan dalam kerangka religius dan transendental sehingga campur tangan manusia
dianggap minimal dan pasif. Dalam konteks pemikiran ini, pemeliharaan dan perawatan dengan
makna mencegah resiko sebalum terjadi tidak dikenal dan dianggap mendahului takdir yang
memberi rasionalisasi rendahnya angka kunjungan konsultasi ibu selama kehamilan hingga paska
bersalin. Pada gilirannya hal ini menghambat deteksi dini resiko pada kehamilan ibu dan
menghalangi upaya-upaya untuk mengatasinya. Pendekatan program yang cendrung tekhnikal
medis membuat program menjadi keras dan impersonal bagi ibu. Memperhatikan dan mengadopsi
sistim kognisi lokal, etiologi setempat dan pola keterlibatan individu-individu dalam sistim sosial
setempat kedalam program dapat memberi keuntungan pada program dalam jangka panjang hingga
program dapat menyediakan layanan yang lebih sesuai dengan kondisi dan pengetahuan lokal.
Upaya memahami nilai-nilai budaya dan sistim sosial setempat memberi pemahaman tentang
faktor- faktor yang menghambat diadopsinya program dan merancang strategi yang dapat
mendukung program. Kata kunci: Polindes, pelayanan kesehatan ibu hamil bersalin, faklor sosial
budaya.
2. Holistik Modern
Sudah saatnya bagi masyarakat untuk beralih ke layanan kesehatan holistik modern. Dalam
situasi biaya pelayanan kesehatan umum sekarang ini sangat tinggi dan kadang-kadang terasa
mencekik dan sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat, maka untuk mendapatkan konsultasi
dan pengobatan berbagai penyakit secara maksimum dengan akurat dan hemat, sudah saatnya
masyarakat memanfaatkan layanan kesehatan Holistik Modern.
DR.ASVIAL RIVAI, M.D (M.A) sang pelopor dan pengembang layanan kesehatan holistik modern
itu di Indonesia sejak tahun 1997, menjelaskan. Di bawah ini, kami tampilkan wawancara Kris
Sadipun dari Bekasi Ekspres (BE) dengan DR.ASVIAL RIVAI (AR) di Kantor Pusat Holistik
Moderen, Mall Belannova, Sentul City, Bogor, dalam bentuk tanya-jawab menyangkut keunggulan
layanan kesehatan Holistik Moderen
BE: Apa yang dimaksud dengan layanan kesehatan Holistik Modern?

AR: Itu hanya sebuah nama. Apalah arti sebuah nama, banyak orang berkata begitu. Tapi
sebenarnya holistik modern merupakan sebuah sebutan terhadap satu sistem pelayanan
terpadu dalam memenuhi berbagai kebutuhan untuk pemeliharaan dan perbaikan tingkat
kesehatan yang mungkin sudah rusak yang disebut sakit-sakitan. Layanan kesehatan holistik
modern dalam arti yang sangat dalam, meliputi berbagai pelayanan termasuk layanan
pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh, konsultasi kesehatan secara menyeluruh (baik
fisik, emosional dan juga kejiwaan), perawatan / pengobatan penyakit-penyakit secara
menyeluruh (juga fisik, emosional dan kejiwaan), pemberian nasehat dan anjuran-anjuran
kesehatan secara menyeluruh (berlaku juga untuk kesehatan fisik, emosional dan kejiwaan),
kontrol ulang serta bimbingan / tuntunan selama penyakit-penyakitnya belum sembuh atau
selama masih dibutuhkan oleh sipenderita. Itu dilakukan secara terpadu oleh satu tenaga
praktisi yang sudah dilatih untuk menekuni profesi itu, tanpa harus rujuk kesana sini, tanpa
harus ambil darah, tanpa suntikan, tanpa melukai dan malah tanpa buka-buka pakaian sangat
etis.
Dalam melakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh, digunakan berbagai metode yang megacu
pada ilmu pengetahuan kesehatan dengan benar, sebagai satu pandangan lain nonmedis, yang
merupakan terobosan baru dalam bidang kesehatan yang sangat sederhana tapi sangat efektif, yaitu
ilmu iridology yang berasal atau ditemukan oleh seorang dokter medis di Eropa (yaitu satu ilmu
pengetahuan bagaimana mendeteksi penyakit malalui tanda-tanda yang terjadi pada mata akibat
adanya gangguan penyakit itu), Ilmu kinesiology yang berasal atau ditemukan oleh seorang ahli
saraf di Amerika (yaitu ilmu pengetahuan bagaimana mengetahui tingkat kesehatan organ-organ dan
sistem tubuh melalui kelemahan yang terjadi pada otot lengan) dan ilmu phytobiophysics yang
berasal atau ditemukan oleh seorang dokter juga di Inggris (yaitu bagaimana mengetahui dan
memperbaiki tingkat penyakit dan kelemahan tubuh seseorang melalui perobahan energy yang
terjadi pada tubuh yang ditest dengan energy bunga-bungaan berbagai warna). Dan ada juga
berbagai cara pendeteksian dan perawatan yang lain, seperti heart lock, jump leading,
universal energy, podorachidian dan lain-lain.
3. Pelayanan Kesehatan Tradisional
Sekalipun pelayanan kesehatan moderen telah berkembang di Indonesia, namun jumlah masyarakat
yang memanfaatkan pengobatan tradisional tetap tinggi. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional,
2001 ditemukan sekitar 57,7% penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri, sekitar 31,7%
menggunakan obat tradisional serta sekitar 9,8% menggunakan cara pengobatan.
Adapun yang dimaksud dengan pengobatan tradisional disini adalah cara pengobatan atau
perawatan yang diselenggarakan dengan cara lain diluar ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan
yang lazim dikenal, mengacu kepada pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang diperoleh
secara turun temurun, atau berguru melalui pendidikan, baik asli maupun yang berasal dari luar
Indonesia, dan diterapkan sesuai norma yang berlaku dalam masyarakat (UU No 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan).
Banyak faktor yang berperan, kenapa pemanfatan pengobatan tradisional masih tinggi di Indonesia.
Beberapa diantaranya yang dipandang penting adalah:
a. Pengobatan tradisional merupakan bagian dari sosial budaya masyarakat.
b. Tingkat pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan latar belakang budaya masyarakat
menguntungkan pengobatan tradisional.
c. Terbatasnya akses dan keterjangkauan pelayanan kesehatan moderen.
d. Keterbatasan dan kegagalan pengobatan modern dalam mengatasi beberapa penyakit tertentu.
e. Meningkatnya minat masyarakat terhadap pemanfaatan bahan-bahan (obat) yang berasal dari
alam (back to nature).
f. Meningkatnya minat profesi kesehatan mempelajari pengobatan tradisional.
g. Meningkatnya modernisasi pengobatan tradisional.

h. Meningkatnya publikasi dan promosi pengobatan tradisional.


i. Meningkatnya globalisasi pelayanan kesehatan tradisional.
j. Meningkatnya minat mendirikan sarana dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan
tradisional.
Pengobatan alternatif bias dilakukan dengan menggunakan obat-obat tradisional, yaitu bahan atau
ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran
dari bahan-bahan tersebut yang turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman. Pengobatan alternatif merupakan bentuk pelayanan pengobatan yang menggunakan
cara, alat atau bahan yang tidak termasuk dalam standar pengobatan kedokteran moderen
(pelayanan kedoteran standar) dan digunakan sebagai alternatif atau pelengkap pengobatan
kedokteran moderen tersebut.
Berbagai istilah telah digunakan untuk cara pengobatan yang berkembang di tengah masyarakat.
WHO (1974) menyebut sebagai traditional medicine atau pengobatan tradisional. Para ilmuwan
lebih menyukai traditional healding. Adapula yang menyebutkanalternatif medicine. Ada juga
yang menyebutkan dengan folk medicine, ethno medicine, indigenous medicine (Agoes, 1992;59).
Dalam sehari-hari kita menyebutnya pengobatan dukun. Untuk memudahkan penyebutan maka
dalam hal ini lebih baik digunakan istilah pengobatan alternatif, karena dengan istilah ini apat
ditarik garis tegas perbedaan antara pengobatan moderen dengan pengobatan di luarnya dan juga
dapat merangkum sistem-sistem pengobatan oriental (timur) seperti pengobatan tradisional atau
sistem penyembuhan yang berakar dari budaya turun temurun yang khas satu etnis (etno medicine).
Pengobatan alternatif sendiri mencakup seluruh pengobatan tradisional dan pengobatan alternatif
adalah pengobatan tradisional yang telah diakui oleh pemerintah. Pengobatan yang banyak dijumpai
adalah pengobatan alternatif yang berlatar belakang akar budaya tradisi suku bangsa maupun
agama. Pengobat (curer) ataupun penyembuh (healer) dari jasa pengobatan maupun penyembuhan
tersebut sering disebut tabib atau dukun. Pengobatan maupun diagnosa yang dilakukan tabib atau
dukun tersebut selalu identik dengan campur tangan kekuatan gaib ataupun yang memadukan antara
kekuata rasio dan batin.
Salah satu cirri pengobatan alternatif adalah penggunaan doa ataupun bacaan-bacaan. Doa atau
bacaan dapat menjadi unsur penyembuh utama ketika dijadikan terapi tunggal dalam
penyembuhan.Selain doa ada juga ciri yang lain yaitu adanya pantangan pantangan.
Pantangan berarti suatu aturan-aturan yang harus dijalankan oleh pasien. Pantangan-pantangan
tersebut harus dipatuhi demi kelancaran proses pengobatan, agar penyembuhan dapat selesai dengan
cepat. Dimana pantanganpantangan tersebut sesuai dengan penyakit yang diderita pasien. Seperti
misalnya penyakit patah tulang maupun terkilir, biasanya dilarang unutk mengkonsumsi minum es
dan kacang-kacangan. Makanan-makanan tersebut menurutnya dapat mengganggu aliran syarafsyaraf yang akan disembuhkan.
Asumsi Determinan Perilaku
Menurut Spranger membagi kepribadian manusia menjadi 6 macam nilai kebudayaan. Kepribadian
seseorang ditentukan oleh salah satu nilai budaya yang dominan pada diri orang tersebut. Secara
rinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti
pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.
Namun demikian realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi
oleh faktor lain diantaranya adalah pengalaman, keyakinan, sarana/fasilitas, sosial budaya dan
sebagainya. Proses terbentuknya perilaku dapat diilustrasikan pada gambar berikut :

Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkap faktor penentu yang dapat mempengaruhi
perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain
1. Teori Lawrence Green (1980)
Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan
seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar
perilaku (non behavior causes).
Faktor perilaku ditentukan atau dibentuk oleh :
Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau
tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obatobatan, alat-alat steril dan sebagainya.
Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
2. Teori Snehandu B. Kar (1983)
Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan bertitik tolak bahwa perilaku merupakan fungsi
dari :
Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya
(behavior itention).
Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support).
Adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accesebility of
information).
Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau keputusan
(personal autonomy).
Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).
3. Teori WHO (1984)
WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah :
Pemikiran dan perasaan (thougts and feeling), yaitu dalam bentuk pengetahuan, persepsi,
sikap, kepercayaan dan penilaian seseorang terhadap objek (objek kesehatan).
1. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
2. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang
menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih
dahulu.
3. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering
diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat
seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap
tindakan-tindakan kesehatan tidak selalu terwujud didalam suatu tindakan tergantung
pada situasi saat itu, sikap akan diikuti oleh tindakan mengacu kepada pengalaman

orang lain, sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar pada banyak atau
sedikitnya pengalaman seseorang.
Tokoh penting sebagai Panutan. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia
katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.
Sumber-sumber daya (resources), mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya.
Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber didalam suatu
masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut
kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama dan selalu berubah, baik
lambat ataupun cepat sesuai dengan peradapan umat manusia (Notoatmodjo, 2003)

Banyak faktor yang berperan, kenapa pemanfatan pengobatan tradisional masih tinggi di
Indonesia. Beberapa diantaranya yang dipandang penting adalah:
1. Pengobatan tradisional merupakan bagian dari sosial budaya masyarakat.
2. Tingkat pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan latar belakang budaya masyarakat
menguntungkan pengobatan tradisional.
3. Terbatasnya akses dan keterjangkauan pelayanan kesehatan moderen.
4. Keterbatasan dan kegagalan pengobatan modern dalam mengatasi beberapa penyakit tertentu.
5. Meningkatnya minat masyarakat terhadap pemanfaatan bahan-bahan (obat) yang berasal dari
alam (back to nature).
6. Meningkatnya minat profesi kesehatan mempelajari pengobatan tradisional.
7. Meningkatnya modernisasi pengobatan tradisional.
8. Meningkatnya publikasi dan promosi pengobatan tradisional.
9. Meningkatnya globalisasi pelayanan kesehatan tradisional.
10. Meningkatnya minat mendirikan sarana dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan tradisional.
Pengobatan alternatif bias dilakukan dengan menggunakan obat-obat tradisional, yaitu bahan atau
ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran
dari bahan-bahan tersebut yang turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman. Pengobatan alternatif merupakan bentuk pelayanan pengobatan yang menggunakan
cara, alat atau bahan yang tidak termasuk dalam standar pengobatan kedokteran moderen
(pelayanan kedoteran standar) dan digunakan sebagai alternatif atau pelengkap pengobatan
kedokteran moderen tersebut.
Berbagai istilah telah digunakan untuk cara pengobatan yang berkembang di tengah masyarakat.
WHO (1974) menyebut sebagai traditional medicine atau pengobatan tradisional. Para ilmuwan
lebih menyukai traditional healding. Adapula yang menyebutkanalternatif medicine. Ada juga
yang menyebutkan dengan folk medicine, ethno medicine, indigenous medicine (Agoes, 1992;59).
Dalam sehari-hari kita menyebutnya pengobatan dukun. Untuk memudahkan penyebutan maka
dalam hal ini lebih baik digunakan istilah pengobatan alternatif, karena dengan istilah ini apat
ditarik garis tegas perbedaan antara pengobatan moderen dengan pengobatan di luarnya dan juga
dapat merangkum sistem-sistem pengobatan oriental (timur) seperti pengobatan tradisional atau
sistem penyembuhan yang berakar dari budaya turun temurun yang khas satu etnis (etno medicine).
Pengobatan alternatif sendiri mencakup seluruh pengobatan tradisional dan pengobatan alternatif
adalah pengobatan tradisional yang telah diakui oleh pemerintah. Pengobatan yang banyak dijumpai

adalah pengobatan alternatif yang berlatar belakang akar budaya tradisi suku bangsa maupun
agama. Pengobat (curer) ataupun penyembuh (healer) dari jasa pengobatan maupun penyembuhan
tersebut sering disebut tabib atau dukun. Pengobatan maupun diagnosa yang dilakukan tabib atau
dukun tersebut selalu identik dengan campur tangan kekuatan gaib ataupun yang memadukan antara
kekuata rasio dan batin.
Salah satu cirri pengobatan alternatif adalah penggunaan doa ataupun bacaan-bacaan. Doa atau
bacaan dapat menjadi unsur penyembuh utama ketika dijadikan terapi tunggal dalam
penyembuhan.Selain doa ada juga ciri yang lain yaitu adanya pantangan pantangan.
Pantangan berarti suatu aturan-aturan yang harus dijalankan oleh pasien. Pantangan-pantangan
tersebut harus dipatuhi demi kelancaran proses pengobatan, agar penyembuhan dapat selesai dengan
cepat.
Dimana pantanganpantangan tersebut sesuai dengan penyakit yang diderita pasien. Seperti misalnya
penyakit patah tulang maupun terkilir, biasanya dilarang unutk mengkonsumsi minum es dan
kacang-kacangan. Makanan-makanan tersebut menurutnya dapat mengganggu aliran syaraf-syaraf
yang akan disembuhkan.

Aspek Sosial Budaya dalam menggunakan fasilitas


kesehatan
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan
artefak.
1. Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau
disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga
masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan,
maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan, dan buku-buku hasil karya para
penulis warga masyarakat tersebut.
2. Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul
dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati, dan
didokumentasikan.
3. Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat,
dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam
kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan
dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur, dan
memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

KOMPONEN
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli
antropologi Cateora, yaitu :
1. Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk
dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian
arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga
mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung
pencakar langit, dan mesin cuci.
2. Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke
generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
3. Lembaga social
Lembaga social, dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan,
dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan
menjadi dasar, dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh Di Indonesia
pada kota, dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja
pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota kota besar hal tersebut terbalik, wajar
seorang wanita memilik karier
4. Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan, dan membangun system kepercayaan atau keyakinan
terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat.
Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup, dan
kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
5. Estetika
Berhubungan dengan seni, dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama, dan tari
tarian, yang berlaku, dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap
masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala
peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan, dan efektif. Misalkan di
beberapa wilayah, dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj harus
meletakan janur kuning, dan buah buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda.
Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan
cara tersebut.
6. Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian,
dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa
merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik, dan
komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan, dan
kekomplekan bahasa ini harus dipelajari, dan dipahami agar komunikasi lebih baik, dan efektif
dengan memperoleh nilai empati, dan simpati dari orang lain.
WHO yang merumuskan determinan perilaku ini sangat sederhana. Dikatakan mengapa seseorang
berperilaku, karena ada empat alasan pokok (determinan), yaitu:
a. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling). Hasil pemikiran-pemikiran dan perasaanperasaan seseorang atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek
atau stimulus, merupakan modal awal untuk bertindak atau berperilaku. Didasarkan

pertimbangan untung ruginya, manfaatnya dan sumber daya atau uang yang tersedia dan
sebagainya.
b. Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai (personnal references).
Di dalam masyarakat, di mana sikap paternalistic masih kuat, maka perubahan perilaku
masyarakat bergantung acuan kepada tokoh masyarakat setempat.
c. Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung terjadinya perubahan perilaku.
Dalam teori Green, sumber daya ini adalah sama dengan faktor enabling (sarana, prasarana,
fasilitas).
d. Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku
seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku tiap-tiap etnis berbeda-beda, karena memang
masing-masing etnis mempunyai budaya yang berbeda yang khas.
Dari uraian ketiga teori di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat
tentang kesehatan ditentukan dan dibentuk oleh pengetahuan yang diterima. Kemudian timbul
persepsi dari individu dan memunculkan sikap, niat, keyakinan/kepercayaan, yang dapat
memotivasi dan mewujudkan keinginan menjadi suatu perbuatan.
Perilaku Kesehatan Masyarakat dan Pola pencarian pengobatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit
dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Bentuk dari perilaku
tersebut ada dua yaitu pasif dan aktif. Perilaku pasif merupakan respon internal dan hanya dapat
dilihat oleh diri sendiri sedangkan perilaku aktif dapat dilihat oleh orang lain. Masyarakat memiliki
beberapa macam perilaku terhadap kesehatan. Perilaku tersebut umumnya dibagi menjadi dua, yaitu
perilaku sehat dan perilaku sakit. Perilaku sehat yang dimaksud yaitu perilaku seseorang yang sehat
dan meningkatkan kesehatannya tersebut. Perilaku sehat mencakup perilaku-perilaku dalam
mencegah atau menghindari dari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah, atau penyebab
masalah (perilaku preventif). Contoh dari perilaku sehat ini antara lain makan makanan dengan gizi
seimbang, olah raga secara teratur, dan menggosok gigi sebelum tidur.
Yang kedua adalah perilaku sakit. Perilaku sakit adalah perilaku seseorang yang sakit atau telah
terkena masalah kesehatan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah
kesehatannya. Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking
behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila terkena masalah
kesehatan untuk memperoleh kesembuhan melalui sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas
dan rumah sakit.
Secara lebih detail, Becker (1979) membagi perilaku masyarakat yang berhubungan dengan
kesehatan menjadi tiga, yaitu:
1. perilaku kesehatan : hal yang berkaitan dengan tindakan seseorang dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatannya. Contoh : memilih makanan yang sehat, tindakan-tindakan yang
dapat mencegah penyakit.
2.

perilaku sakit : segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang individuyang merasa
sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Contoh
pengetahuan individu untuk memperoleh keuntungan.

3.

perilaku peran sakit : segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang sedang
sakit untuk memperoleh kesehatan.

Terdapat dua paradigma dalam kesehatan yaitu paradigma sakit dan paradigma sehat.Paradigma
sakit adalah paradigma yang beranggapan bahwa rumah sakit adalah tempatnya orang sakit. Hanya
di saat sakit, seseorang diantar masuk ke rumah sakit. Ini adalah paradigma yang salah yang
menitikberatkan kepada aspek kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan paradigma sehat Menitikberatkan
pada aspek promotif dan preventif, berpandangan bahwa tindakan pencegahan itu lebih baik dan
lebih murah dibandingkan pengobatan.
Pengaruh sosial budaya terhadap kesehatan masyarakat
Tantangan berat yang masih dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalahsebagai
berikut.
1. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi serta penyebaran
penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah.
2. Tingkat pengetahuan masyarakat yang belum memadai terutama pada golongan wanita.
3. Kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, dan perilaku yang kurang
menunjang dalam bidang kesehatan.
Kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan.Aspek sosial budaya
yang berhubungan dengan kesehatanAspek soaial budaya yang berhubungan dengan kesehatan
anatara lain adalah faktorkemiskinan, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup, pelacuran
dan homoseksual.
Respon seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut :
1. Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa. Alasannya antara lain bahwa
kondisi yang demikian tidak akan mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari.
Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun gejala yang dideritanya akan
lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan tugas-tugas lain
yang dianggap lebih penting daripada mengobati sakitnya. Hal ini merupakan suatu bukti
bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di dalam hidup dan kehidupannya.Alasan lain
yang sering kita dengar adalah fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat jauh letaknya, para
petugas kesehatan tidak simpatik, tidak responsif, dan sebagainya. Dan akhirnya alasan takut
dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya, dan sebagainya.
2. Kedua, tindakan mengobati sendiri, dengan alasan yang sama seperti telah diuraikan. Alasan
tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut sudah percaya
kepada diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu usaha
pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian
pengobatan keluar tidak diperlukan.
3. Ketiga, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional. Untuk masyarakat
pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat teratas dibanding
dengan pengobatan-pengobatan yang lain.Dukun yang melakukan pengobatan tradisional
merupakan bagian dari masyarakat, berada di tengah-tengah masyarakat, dekat dengan
masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima
oleh masyarakat daripada dokter, bidan, farmasis, dan sebagainya yang masih asing bagi
mereka, seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obat-obatnya pun merupakan
kebudayaan mereka.
4. Keempat, mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat dan
sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. Obat-obat yang mereka dapatkan pada
umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol. Namun
demikian, sampai sejauh ini pemakaian obat-obat bebas oleh masyarakat belum
mengakibatkan masalah yang serius. Khususnya mengenai jamu sebagai sesuatu untuk
pengobatan makin tampak peranannya dalam kesehatan masyarakat. Untuk itu perlu diadakan
penelitian yang lebih mendalam.

5.

Kelima, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh


pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai
pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.
6. Keenam, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh
dokter praktik.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit adalah berbeda
dengan konsep kita tentang sehat-sakit itu. Demikian juga persepsi sehat-sakit antara kelompokkelompok masyarakat pun akan berbeda-beda pula.
Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan.
Kedua pokok pikiran tersebut akan mempengaruhi atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas
kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi sehat-sakit masyarakat belum sama dengan konsep
sehat-sakit kita, maka jelas masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang
diberikan. Bila persepsi sehat-sakit masyarakat sudah sama dengan pengertian kita, maka
kemungkinan besar fasilitas yang diberikan akan mereka pergunakan.
Perilaku pencarian pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor besar yaitu faktor
predisposing, faktor enabling, dan faktor need.
1. Faktor predisposing adalah predisposisi seseorang untuk menggunakan pelayanan yaitu faktor
demografi,faktor struktur sosial, dan faktor keyakinan terhadap kesehatan
2. Faktor Enabling merupakan kemampuan seseorang untuk mencari pelayanan berupa
sumberdaya keluarga atau sumber daya masyarakat.
3. Faktor need adalah kebutuhan seseorang akan pelayanan
Komunikasi
Komunikasi kesehatan disebut juga promosi kesehatan. Karena komunikasi merupakan kegiatan
untuk mengondisikan fakktor-faktor predisposisi. Kurangnya pengetahuan, dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan dan penyakit, adanya tradisi, kepercayaan yang negative tentang penyakit,
makanan, lingkungan, dan sebagainya, mereka tidak berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.
Untuk itu maka diperlukan komunikasi, pemberian informasi-informasi tentang kesehatan. Untuk
berkomunikasi yang efektif para petugas kesehatan perlu dibekali ilmu komunikasi, termasuk media
komunikasinya.
Pola Pikir
Perilaku pencarian Pengobatan (Health Seeking Behavior) adalah pola atau perilaku pencarian
pelayanan kesehatan di masyarakat. Dua hal yang perannya kuat dalam menentukan pengambilan
keputusan tentang pengobatan.
Pertama adalah persepsi mereka terhadap penyakit. Orang yang mempesepsikan penyakitnya
sebagai penyakit ringan cenderung untuk memilih pengobatan sendiri (self medication) misalnya
dengan mencari obat di warung atau apotik, orang yang mengganggap penyakit mereka serius,
biasanya tiga hari sampai seminggu tidak sembuh cenderung untuk memilih datang ke dokter atau
layanan kesehatan, tetapi mereka yang menganggap penyakitnya sangat serius atau kronis seperti
diabetes, stroke dan hipertensi justru memilih pengobatan alternatif baik itu tabib, pengobatan
herbal, maupun dukun.
Kedua adalah persepsi mereka tentang layanan kesehatan profesional. Mereka yang
mempersepsikan bahwa pengobatan profesional sulit untuk dijangkau, mahal dan tidak efektif
cenderung untuk lari ke pengobatan sendiri dan pengobatan alternatif. Pada penderita penyakit
kronis yang sifatnya degeneratif seperti penyakit diabetes dan darah tinggi atau strok, tampaknya
kebanyakan mengangap bahwa penyembuhan melalui usaha medis adalah sia-sia.

Kebiasaan
Aspek social dan budaya mempengaruhi kesehatan. Masing-masing kebudayaan memiliki berbagai
pengobatan untuk penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit. Pada masyarakat tradisional,
tidak semua penyakit itu disebabkan oleh penyebab biologis. Kadangkala mereka menghubunghubungkan dengan sesuatu yang gaib, sihir, roh jahat atau iblis yang mengganggu manusia dan
menyebabkan sakit. Masing-masing suku memiliki cara yang beda-beda dalam pengobatan
penyakitnya yang tidak berhubungan dengan ilmu kedokteran.
Penanggulangan
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan di puskesmas perlu ditunjang dengan adanya
penelitian-peneliatian sosial budaya masyarakat, persepsi dan perilaku masyarakat tersebut terhadap
sehat-sakit. Bila diperoleh data bahwa masyarakat masih mempunyai persepsi sehat-sakit yang
berbeda dengan kita, maka kita dapat melakukan pembetulan konsep sehat-sakit itu melalui
pendidikan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, pelayanan yang kita berikan akan diterima
oleh masyarakat.
Dampak
Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being ,
merupakan resultante dari 4 faktor yaitu:
1. Environment atau lingkungan.
2. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan ecological
balance.
3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan sebagainya.
4. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif, kuratif,
rehabilitatif.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling besar
pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku
sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor -faktor seperti kelas social,
perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara
klinis), bergantung dari variable-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di
kalangan pasien.
Aspek Pelayanan Kesehatan Dilihat Dari Aspek Sosbud
Pengaruh sosial budaya terhadap kesehatan masyarakat Tantangan berat yang masih dirasakan
dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalahsebagai berikut.
1.
Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi serta
penyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah.
2.
Tingkat pengetahuan masyarakat yang belum memadai terutama pada golongan
wanita.
3.
Kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, dan perilaku yang
kurang menunjang dalam bidang kesehatan.
4.
Kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan.Aspek
sosial budaya yang berhubungan dengan kesehatanAspek soaial budaya yang berhubungan
dengan kesehatan anatara lain adalah faktorkemiskinan, masalah kependudukan, masalah
lingkungan hidup, pelacuran dan homoseksual.
Kemiskinan

Konsep dasar kemiskinan.


Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berkaitan antara lain tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, aksesterhadap barang dan jasa,
lokasi, geografi, gender dan kondisi lingkungan.
Mengacu pada Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Kemiskinan adalahkondisi dimana
seseorang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuanyang tidak terpenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkankehidupan yang bermatabat. Definisi ini
beranjak dari pendekatan berbasis hak yangmengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hakhak dasar yang sama dengananggota masyarakat lainnya.
Kemiskinan membahayakan kesehatan, baik secara fisik dan mental. Penyakit umumyang sering
terjadi berkaitan dengan faktor kemiskinan adalah kekurang vitamin,penyakit cacing, gusi berdarah,
beri-beri, penyakit mata, Kurang Kalori Protein(KKP), busung lapar, dan lain-lain.
Miskin adalah mereka yang tidak mendapatkan makanan yang cukup sehat dan akancukup
kandungan gizinya.Fakta saat ini derajat kesehatan penduduk miskin masih rendah, hal ini
ditandaidengan:
a. Kematian penduduk miskin tiga kali lebih tinggi daripada penduduk yangtidak miskin.
b. Pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan pendidikan belummendukung.
c. Perilaku hidup bersih di masyarakat belum membudaya.
d. Angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak, serta angka kematian ibu (AKA/AKI)
pada penduduk miskin jauh lebih tinggi dari yang tidak miskin.

Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan


Rujukan Medis dan Kesehatan
Sistem Rujukan (Referal System)
Di negara Indonesia sistem rujukan telah dirumuskan dalam SK. Menteri Kesehatan RI No.32 tahun
1972, yaitu suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan
tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal
dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara
horizontal dalam arti antara unit-unit yang setingkat kemampuannya. Macam rujukan yang berlaku
di negara Indonesia telah ditentukan atas dua macam dalam Sistem Kesehatan Nasional, yaitu:
1. Rujukan kesehatan
Rujukan kesehatan pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kesehatan masyarakat (public health
services). Rujukan ini dikaitkan dengan upaya pencegahan penyakit dan peningkatan derajat
kesehatan. Macamnya ada tiga, yaitu: rujukan teknologi, rujukan sarana, dan rujukan
operasional.
2. Rujukan medis
Pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kedokteran (medical services). Rujukan ini terutama
dikaitkan dengan upaya penyembuhan penyakit. Macamnya ada tiga, yaitu: rujukan penderita,
rujukan pengetahuan, rujukan bahan-bahan pemeriksaan.
Tujuan Depkes
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
masyarakat melalui peningkatan dan mekanisme rujukan berjenjang antar puskesmas dengan RS

Dati II, RS Dati I dan RS tingkat pusat dan labkes dalam suatu system rujukan, sehingga dapat
mendukung upaya mengurangi kematian ibu hamil dan melahirkan dan angka kematian bayi.
Tugas Sistem Rujukan
Memeratakan pelayanan kesehatan melalui system jaringan pelayanan kesehatan mulai dari Dati II
sampai pusat karena keterbatasan sumber daya daerah yang seyogyanya bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di wilayahnya
Syarat Rujukan
Adanya unit yang mempunyai tanggung jawab baik yang merujuk maupun yang menerima
rujukan .
Adanya pencatatan tertentu :
- Surat rujukan
- Kartu Sehat bagi klien yang tidak mampu
- Pencatatan yang tepat dan benar
- Kartu monitoring rujukan ibu bersalin dan bayi (KMRIBB)
Adanya pengertian timbal balik antar yang merujuk dan yang menerima rujukan
Adanya pengertian tugas tentang system rujuikan
Sifat rujukan horizontal dan vertical (kearah yang lebih mampu dan lengkap).
Jenis Rujukan
o Rujukan medis
- Rujukan pasien
- Rujukan pengetahuan
- Rujukan laboratorium atau bahan pemeriksaan
o Rujukan kesehatan
- Rujukan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan, misalnya : pengiriman dokter ahli
terutama ahli bedah, kebidanan dan kandungan, penyakit dalam dan dokter anak dari RSU
Provinsi ke RSU Kabupaten.
- Pengiriman asisten ahli senior ke RS Kabupaten yang belum ada dokter ahli dalam jangka
waktu tertentu.
- Pengiriman tenaga kesehatan dari puskesmas RSU Kabupaten ke RS Provinsi.
- Alih pengetahuan dan keterampilan di bidang klinik, manajemen dan pengoperasian
peralatan.
o Rujukan manajemen
- Pengiriman informasi
- Obat, biaya, tenaga, peralatan
- Permintaan bantuan : survei epidemiologi, mengatasi wabah (KLB)

Manfaat sistem rujukan, ditinjau dari unsur pembentuk pelayanan kesehatan:

1.
a.
b.
c.
2.
a.
b.
3.
a.
b.
c.

Dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan (policy maker)


Membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan berbagai macam peralatan
kedokteran pada setiap sarana kesehatan.
Memperjelas sistem pelayanan kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara berbagai
sarana kesehatan yang tersedia.
Memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan.
Dari sudut masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan (health consumer)
Meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari pemeriksaan yang sama secara
berulang-ulang.
Mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, karena telah diketahui dengan
jelas fungsi dan wewenang setiap sarana pelayanan kesehatan.
Dari sudut kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan keseahatan (health provider)
Memperjelas jenjang karier tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif lainnya seperti
semangat kerja, ketekunan, dan dedikasi.
Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, yaitu: kerja sama yang terjalin.
Memudahkan atau meringankan beban tugas, karena setiap sarana kesehatan mempunyai
tugas dan kewajiban tertentu.

Mutu
Sistem terdiri dari :
Input

Pelayanan

Kesehatan

Subsistem yang akan memberikan segala masukan untuk berfungsinya sebuah sistem,
seperti sistem pelayanan kesehatan : Potensi masyarakat, Tenaga kesehatan, Sarana
kesehatan
Proses
Kegiatan yg berfungsi untuk mengubah sebuah masukan menjadi sebuah hasil yg
diharapkan dari sistem tersebut, yaitu berbagai kegiatan dalam pelayanan kesehatan.
Output
Hasil yang diperoleh dari sebuah proses, Output pelayanan kesehatan : pelayanan yang
berkualitas, efektif dan efisien serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga
pasien sembuh & sehat optimal.
Dampak
Akibat yang dihasilkan sebuah hasil dari sistem, relative lama waktunya. Dampak sistem
Pelayanan kesehatan adalah masyarakat sehat, angka kesakitan & kematian menurun.
Umpan balik (feedback)
Suatu hasil yang sekaligus menjadikan masukan dan ini terjadi dari sebuah sistem yang
saling berhubungan dan saling mempengaruhi, berupa kualitas tenaga kesehatan
Lingkungan
Semua keadaan di luar sistem tetapi dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan.

Tingkat Pelayanan Kesehatan


Menurut Leavel & Clark dalam memberikan pelayanan kesehatan harus memandang pada tingkat
pelayanan kesehatan yg akan diberikan, yaitu :
Health promotion (promosi kesehatan)
Merupakan tingkat pertama dalam memberikan pelayanan melalui peningkatan kesehatan,
Contoh : kebersihan perorangan, perbaikan sanitasi lingkungan.
Specifik protection (perlindungan khusus)
Masyarakat terlindung dari bahaya/ penyakit2 tertentu. Cth : Imunisasi, perlindungan
keselamatan kerja
Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini & pengobatan segera)
Sudah mulai timbulnya gejala penyakit, Cth : survey penyaringan kasus.
Disability limitation (pembatasan cacat)
Dilakukan untuk mencegah agar pasien atau masyarakat tidak mengalami dampak kecacatan
akibat penyakit yang ditimbulkan.
Rehabilitation (rehabilitasi)
Dilaksanakan setelah pasien didiagnosa sembuh. Sering pada tahap ini dijumpai pada fase
pemulihan terhadap kecacatan seperti latihan- latihan yang diberikan pada pasien.
Lembaga pelayanan kesehatan

Rawat jalan

Institusi

Hospice

Community Based Agency


Lingkup sistem pelayanan kesehatan

Tertiary health service : tenaga ahli/subspesialis (RS tipe A atau B)

Secondary health care : RS yg tersedia tenaga spesialis

Primary health care : Puskesmas, balai kesehatan


Rumah sakit dapat dibagi dalam beberapa jenis menurut kategorinya :

Menurut pemilik : pemerintah, swasta

Menurut filosofi yang dianut : profit hospital dan non profit hospital

Menurut jenis pelayanan yang diselenggarakan : General Hospital dan Specialty Hospital

Menurut lokasi (pemerintah) : pusat, provinsi dan kabupaten

Menurut kemampuan yang dimiliki rumah sakit di Indonesia dapat digolongkan dalam
beberapa kategori :

Rumah sakit tipe A : Specialis dan sub specialis lebih luas, Top referral hospital

Rumah sakit tipe B : Specialis dan sub specialis terbatas, pelayanan rujukan dari
kabupaten

Rumah sakit tipe C : Spesialis terbatas, Pelayanan rujukan dari Puskesmas

Rumah sakit tipe D : Pelayanan rujukan dari Puskesmas

Rumah sakit tipe E : (rumah sakit khusus) : RS Jiwa, RS Jantung, RS Paru, kanker, Kusta.

Puskesmas dibina oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota terkait kegiatan upaya kesehatan
masyarakat (UKM)

Puskesmas dibina oleh rumah sakit kabupaten/kota terkait upaya kesehatan perorangan
(UKP)

edang dalam proses untuk penggabungan UKM dan UKP


UKM
Pemerintah dan peran serta aktif masyarkat dan swasta.
Mencakup: promkes, pemeliharaan kes, P2M, keswa, pengendalian penyakit tdk menular, sanitasi
dasar, gizi masyarakat.
UKP
dapat diselenggarakan oleh masyarakat, swasta dan Pemerintah .
Mencakup: promkes, pencegahan, pengobatan rwt jalan, pengobt rwt inap, rehabilitasi
Puskesmas :

Posyandu balita dan lansia

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Polindes (poliklinik desa)


Puskesmas kebanyakan hanya dijadikan tempat transit permohonan rujukan.
Trend Issu pelayanan kesehatan

Adanya fragmentasi pelayanan

penerapan otonomi

penetapan Puskesmas sebagai ujung tombak

Alokasi anggaran promotive dan prepentive

Serta kurangnya sumber daya manusia


Faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan
1.
Ilmu pengetahuan & teknologi baru
2.
Pergeseran nilai masyarakat
3.
Aspek legal dan etik
4.
Ekonomi
5.
Politik
Masalah sistem pelayanan kesehatan

Upaya Kesehatan

Pembiayaan Kesehatan

Sumber Daya Manusia Kesehatan

Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan

Manajemen dan Informasi Kesehatan

Pemberdayaan Masyarakat
Undang- undang sistem pelayanan kesehatan

Landasan Adil, yaitu Pancasila

Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945, khususnya: Pasal 28 A, setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28 A ayat (1), setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan.

Skema Fungsi kesehatan


Menurut skema di atas fungsi sistem kesehatan yaitu: (1) stewardship; (2) Pendanaan; (3)
Pengembangan Sumber Daya, termasuk SDM; dan (4) pemberi pelayanan berusaha agar terjadi
perluasan cakupan pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pelayanan, dan efisiensi yang pada
akhirnya meningkatkan status kesehatan.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kesehatan
Faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Pergeseran masyarakat dan konsumen
Hal ini sebagai akibat dari peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen terhadap
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan upaya pengobatan. sebagai masyarakat yang
memiliki pengetahuan tentang masalah kesehatan yang meningkat, maka mereka mempunyai
kesadaran yang lebih besar yang berdampak pada gaya hidup terhadap kesehatan. akibatnya
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan meningkat.
b. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain dapat meningkatkan pelayanan
kesehatan karena adanya peralatan kedokteran yang lebih canggih dan memadai walau di sisi
yang lain juga berdampak pada beberapa hal seperti meningkatnya biaya pelayanan kesehatan,
melambungnya biaya kesehatan dan dibutuhkannya tenaga profesional akibat pengetahuan dan
peralatan yang lebih modern.
c. Issu legal dan etik.
Sebagai masyarakat yaang sadar terhadap haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan
pengobatan , issu etik dan hukum semakin meningkat ketika mereka menerima pelayanan
kesehatan. Pemberian pelayanan kesehatan yang kurang memadai dan kurang manusiawi maka
persoalan hukum kerap akan membayanginya.
d. Ekonomi
Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan barangkali hanya dapat dirasakan oleh orangorang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan

yang dibutuhkan, namun bagi klien dengan status ekonomi rendah tidak akan mampu
mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna karena tidak dapat menjangkau biaya
pelayanan kesehatan.
e. Politik
Kebijakan pemerintah dalam sistem pelayanan kesehatan akan berpengaruh pada kebijakan
tentang bagaimana pelayanan kesehatan yang diberikan dan siapa yang menanggung biaya
pelayanan kesehatan
Dimensi Mutu Pelayanan
a. Dimensi Kompetensi Teknis; berhubungan dengan bagaimana pemberi layanan kesehatan
mengikuti standar layanan kesehatan yang telah disepakati, yang meliputi ketepatan,
kepatuhan, kebenaran dan konsistensi.
b. Dimensi Keterjangkauan; artinya layanan kesehataan yang diberikan harus dapat dicapai
oleh masyarakat, baik dari segi geografis, sosial, ekonomi, organisasi, dan bahasa.
c. Dimensi Efetivitas; layanan kesehatan yang diberikan harus mampu mengobati atau
megurangi keluhan masyarakat/pasien dan mampu mencegah meluasnya penyakit yang
diderita olehnya.
d. Dimensi Efisiensi; dengan adanya layanan kesehatan yang efisiens maka masyarakat atau
pasien tidak perlu menunggu terlalu lama yang dapat mengakibatkan masyarakat/pasien
tersebut membayar terlalu mahal.
e. Dimensi Kesinambungan; masyarakat/pasien dilayanai secara terus menerus sesuai dengan
kebutuhannya, termasuk rujukan yang tidak perlu mengulangi prosedur.
f. Dimensi Keamanan; layanan kesehatan harus aman dari resiko cidera, infeksi, efek samping,
atau bahaya lainnya, sehingga prosedur yang akan menjamin pemberi dan penerima pelayan
disusun.
g. Dimensi Kenyamanan; layanan kesehatan yang diberikan akan terasa nyaman bagi
masyarakat/pasien jika dapat mempengaruhi kepuasan dan menimbulkan kepercayaan untuk
datang kembali.
h. Dimensi Informasi; layanan kesehatan ini sangat perlu diberikan oleh petugas puskesmas
dan rumah sakit kepada masyarakat, yang mana dapat mempengaruhi perubahan perilaku.
i. Dimensi Ketepatan Waktu; layanan kesehatan harus dilakukan dalam waktu dan cara yang
tepat, oleh pemberi layanan yang tepat, menggunakan peralatan dan obat yang tepat, serta
biaya yang tepat (efisien).
j. Dimensi Hubungan Antarmanusia; hubungan antarmanusia yang baik akan menimbulkan
kepercayaan dan kredibilitas dengan cara saling menghargai, menjaga rahasia, saling
menghormati, responsif, memberi perhatian, dan lain-lain.
Syarat pokok pelayanan kesehatan
Suatu pelayanan kesehatan dikatakan baik apabila:
1. Tersedia (available) dan berkesinambungan (continuous)
Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit ditemukan,
serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.
2. Dapat diterima (acceptable) dan bersifat wajar (appropriate)
Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan
masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan,

keyakinan dan kepercayaan mesyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan
kesehatan yang baik.
3. Mudah dicapai (accessible)
Ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian, untuk dapat
mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan
menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan
saja, dan sementara itu tidak ditemukan didaerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang
baik.
4. Mudah dijangkau (affordable)
Keterjangkauan yang dimaksud adalah terutama dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan
keadaan yang seperti itu harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai
dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal hanya mungkin
dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja bukanlah kesehatan yang baik.
5. Bermutu (quality)
Mutu yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan
kode etik serta standart yang telah ditetapkan.
Prinsip pelayanan prima di bidang kesehatan
1. Mengutamakan pelanggan
Prosedur pelayanan disusun demi kemudahan dan kenyamanan pelanggan, bukan untuk
memeperlancar pekerjaan kita sendiri. Jika pelayanan kita memiliki pelanggan eksternal dan
internal, maka harus ada prosedur yang berbeda, dan terpisah untuk keduanya. Jika pelayanan
kita juga memiliki pelanggan tak langsung maka harus dipersiapkan jenis-jenis layanan yang
sesuai untuk keduanya dan utamakan pelanggan tak langsung.
2. System yang efektif
Proses pelayanan perlu dilihat sebagai sebuah system yang nyata (hard system), yaitu tatanan
yang memadukan hasil-hasil kerja dari berbagai unit dalam organisasi. Perpaduan tersebut harus
terlihat sebagai sebuah proses pelayanan yang berlangsung dengan tertib dan lancar dimata para
pelanggan.
3. Melayani dengan hati nurani (soft system)
Dalam transaksi tatap muka dengan pelanggan, yang diutamakan keaslian sikap dan perilaku
sesuai dengan hati nurani, perilaku yang dibuat-buat sangat mudah dikenali pelanggan dan
memperburuk citra pribadi pelayan. Keaslian perilaku hanya dapat muncul pada pribadi yang
sudah matang.
4. Perbaikan yang berkelanjutan
Pelanggan pada dasarnya juga belajar mengenali kebutuhan dirinya dari proses pelayanan.
Semakin baik mutu pelayanan akan menghasilkan pelanggan yang semakin sulit untuk
dipuaskan, karena tuntutannya juga semakin tinggi, kebutuhannya juga semakin meluas dan
beragam, maka sebagai pemberi jasa harus mengadakan perbaikan terus menerus.
5. Memberdayakan pelanggan
Menawarkan jenis-jenis layanan yang dapat digunakan sebagai sumberdaya atau perangkat
tambahan oleh pelanggan untuk menyelesaikan persoalan hidupnya sehari-hari.
Program Pokok Puskesmas
1. Promosi Kesehatan (Promkes)

a. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat


b. Sosialisasi Program Kesehatan
c.

Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas)

2. Pencegahan Penyakit Menular (P2M) :


a. Surveilens Epidemiologi
b. Pelacakan Kasus : TBC, Kusta, DBD, Malaria, Flu Burung, ISPA, Diare, IMS (Infeksi
Menular Seksual), Rabies
3. Program Pengobatan :
a. Rawat Jalan Poli Umum
b. Rawat Jalan Poli Gigi
c. Unit Rawat Inap : Keperawatan, Kebidanan
d. Unit Gawat Darurat (UGD)
e. Puskesmas Keliling (Puskel)
4. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
a. ANC (Antenatal Care) , PNC (Post Natal Care), KB (Keluarga Berencana),
b. Persalinan, Rujukan Bumil Resti, Kemitraan Dukun
5. Upaya Peningkatan Gizi
a. Penimbangan, Pelacakan Gizi Buruk, Penyuluhan Gizi
6. Kesehatan Lingkungan :
a. Pengawasan SPAL (saluran pembuangan air limbah), SAMI-JAGA (sumber air minumjamban keluarga), TTU (tempat-tempat umum), Institusi pemerintah
b. Survey Jentik Nyamuk
7. Pencatatan dan Pelaporan :
a. Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)
Program Tambahan/Penunjang Puskesmas :
Program penunjang ini biasanya dilaksanakan sebagai kegiatan tambahan, sesuai kemampuan
sumber daya manusia dan material puskesmas dalam melakukan pelayanan
1. Kesehatan Mata : pelacakan kasus, rujukan
2. Kesehatan Jiwa : pendataan kasus, rujukan kasus
3. Kesehatan Lansia (Lanjut Usia) : pemeriksaan, penjaringan
4. Kesehatan Reproduksi Remaja : penyuluhan, konseling
5. Kesehatan Sekolah : pembinaan sekolah sehat, pelatihan dokter kecil
6. Kesehatan Olahraga : senam kesegaran jasmani

TARGET INDIKATOR PELAYANAN MINIMAL PUSKESMAS


Pelayanan Kesehatan Dasar :
1. Cakupan kunjungan Ibu hamil K4 95 % pada Tahun 2015;
2. Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 80 % pada Tahun 2015;

3. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan
90% pada Tahun 2015;
4. Cakupan pelayanan nifas 90% pada Tahun 2015;
5. Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80% pada Tahun 2010;
6. Cakupan kunjungan bayi 90%, pada Tahun 2010;
7. Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) 100% pada Tahun 2010;
8. Cakupan pelayanan anak balita 90% pada Tahun 2010;
9. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 - 24 bulan keluarga miskin 100
% pada Tahun 2010;
10. Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100% pada Tahun 2010;
11. Cakupan Penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 100 % pada Tahun 2010;
12. Cakupan peserta KB aktif 70% pada Tahun 2010;
13. Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100% pada Tahun 2010;
14. Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015.
Pelayanan Kesehatan Rujukan
1.
Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin
100% pada Tahun 2015;
2.
Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus diberikan sarana
kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota 100 % pada Tahun 2015.
Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa /KLB
1. Cakupan Desa/ Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi < 24
jam 100% pada Tahun 2015.
Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
1. Cakupan Desa Siaga Aktif 80% pada Tahun 2015.
PELAYANAN IMUNISASI
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan, kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit
atau sakit ringan. (Depkes RI, 2005).
Tujuan imunisasi adalah diharapkan anak menjadi lebih kebal terhadap penyakit sehingga dapat
menurunkan angka mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan.(A.Aziz, 2008)
Jenis Imunisasi Dasar, dan Pemberian
Di Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan leh emerintah/ imunisasi dasar dan ada juga
yang hanya anjuran. Imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana telah diwajibkan oleh WHO
ditambah dengan hepatitis B, sedangkan imunisasi yang hanya dianjurkan oleh pemerintah dapat
digunakan untuk mecegah suatu kejadian luar biasa atau penyakit endemik atau untuk kepentingan
tertentu misal imunisasi meningitis pada jamaah haji.
Jenis-Jenis Imunisasi :
a. Imunisasi pasif (passive immunization)
Imunisasi pasif ini adalah Immunoglobulin jenis imunisasi ini dapat mencegah
penyakitcampak (measles pada anak-anak).
b. Imunisasi aktif (active immunization)Imunisasi yang diberikan pada anak adalah :
BCG, untuk mencegah penyakit TBC

DPT, untuk mencegah penyakit-penyakit diptheri, pertusis dan tetanus


Polio, untuk mencegah penyakit poliomilitis
Campak, untuk mencegah penyakit campak (measles)
Hepatitis B, untuk mencegah penyakit hepatitis B (Notoatmodjo. 1997)

Cakupan imunisasi dalam program imunisasi nasional merupakan parameter kesehatan nasional.
Besar cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 80%, artinya di setiap desa, anak-anak berusia
di bawah 12 bulan, 80% harus sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Tetapi saat ini, cakupan
imunisasi belum memuaskan. Salah satu dampak cakupan imunisasi yang tidak sesuai target adalah
terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Penyakit dapat dicegah bila cakupan imunisasi sebesar 80%
dari target. Penularan berbanding searah dengan cakupan imunisasi. Apbila anak yang tidak
diimunisasi semakin banyak maka penularan akan semakin meningkat. Sedangkan cakupan
imunisasi yang tinggi akan mengurangi penularan (majalah farmacia, 2012).
Rendahnya cakupan imunisasi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah aspek
geografis dimana di daerah pelosok akses pelayanan kesehatan masih minim termasuk imunisasi.
Selain itu, masyarakat sering menganggap bahwa anak yang menderita batuk pilek tidak boleh
diimunisasi. Faktor lain adalah kurangnya kesadaran masyarakat atas imunisasi akibat minimnya
pendidikan. Sehingga tenaga kesehata seperti dokter, bidan atau perawat memiliki kewajiban
mengingatkan pasien tentang jadwal imunisasi. Faktor lain adalah munculnya kelompok anti vaksin.
Selain itu, kesalahan pemahaman masyarakat mengenai ASI juga turut mempengaruhi kesediaan
untuk melakukan imunisasi. ASI memang meningkatkan daya tahan, namun perlindungan ASI juga
akan berkurang seiring munculnya paparan pada anak (majalah farmacia, 2012).
Dalam program Intensifikasi Imunisasi Rutin, upaya pemberian imunisasi harus lebih intensif
dibandingkan tahun lalu. Imunisasi dasar diketahui sangat efektif dalam memberikan perlindungan
terhadap suatu penyakit pada masa depan kehidupan. Imunisasi dasar berfungsi membentuk sel
memori yang akan dibawa seumur hidup. Jika imunisasi dasar diberikan lengkap dan sel memori
terbentuk semakin dini, maka semakin bagus perlindungan yang diberikan (Hadinegoro, 2012).
Namun pada vaksin tertentu (vaksin mati atau vaksin komponen, misalnya hepatitis B atau DTP),
imunisasi dasar saja tidak cukup memberikan perlindungan dalam jangka panjang sehingga harus
dilakukan booster atau penguat. Kekebalan yang diberikan imunisasi dasar tidak berlangsung
seumur hidup dan ditandai dengan titer antibodi yang semakin lama semakin menurun. Pemberian
booster dimaksudkan membangkitkan kembali sel memori untuk membentuk antibodi agar titer
antibodi selalu di atas ambang pencegahan (protective level) (Hadinegoro, 2012).
Vaksin DTP misalnya yang diberikan usia 2, 4, 6 bulan perlu diberikan booster pada usia 18-24
bulan dan 5 tahun. Di usia lima tahun kekebalan kembali turun sehingga perlu booster kedua
bahkan ketiga dalam jangka waktu setiap 5-10 tahun. Komponen T (tetanus) pada vaksin DTP juga
harus bisa memberikan perlindungan seumur hidup terhadap tetanus neonatorum (penting untuk
melindungi bayi yang dilahirkan dari infeksi tetanus apabila pemotongan tali pusat tidak steril).
Vaksin TT diberikan pada anak usia sekolah dan ibu hamil (Hadinegoro, 2012).

Sampai kapan booster diberikan, tergantung data epidemiologi dan pola penyakit dari kelompok
usia yang rentan terkena penyakit. Misalnya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus yang bisa dicegah
dengan vaksin DTP bisa mengancam anak-anak maupun dewasa sehingga semua usia rentan
terhadap penularan penyakit-penyakit ini (Hadinegoro, 2012).
Keberhasilan pemberian imunisasi pada anak dipengerhui oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu :
Tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi
Potensi antigen yang disuntikkan
Waktu pemberian imunisasi
Status nutrisi terutama protein karena protein diperlukan untuk sintesis antibodi
Imunisasi dasar untuk bayi
Vaksinasi Jadwal
pemberian-usia

Booster/Ulangan

BCG
Hepatitis B

-Tuberkulosis
1 tahun-- pada bayi Hepatitis B
yang lahir dari ibu
dengan hep B.
18bulan-booster1
Dipteria, pertusis,
6tahun-booster 2
tetanus,dan polio
12tahun-booster3
-Campak

Waktu lahir
Waktulahir-dosis I
1bulan-dosis 2
6bulan-dosis 3
DPT
dan 3 bulan-dosis1
Polio
4 bulan-dosis2
5 bulan-dosis3
campak
9 bulan

Imunisasi yang dianjurkan


Vaksinasi
MMR

Jadwal pemberian-usia
1-2 tahun

Booster/Ulangan
12 tahu

Manfaat
Measles, meningitis, rubella

Hib

3bulan-dosis 1
4bulan-dosis 2
5bulan-dosis 3
12-18bulan
12-18bulan

18 bulan

Hemophilus influenza tipe


B

---

Hepatitis A
Cacar air

Hepatitis A
Cacar air

Yang harus diperhatikan, tanyakan dahulu dengan dokter anda sebelum imunisasi jika bayi anda
sedang sakit yang disertai panas; menderita kejang-kejang sebelumnya ; atau menderita penyakit
system saraf.
Jadwal imunisasi
Jadwal pemberian imunisasi :

Keterangan:
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014.
1. Vaksin Hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului
pemberian injeksi vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatitis
B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatitis
B selanjutnya dapat menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi.
2. Vaksin Polio. Pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral (OPV-0).
Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin OPV
atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal umur 2 bulan.
Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertamadiberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat
diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur
lebih dari 7 tahun DTP yang diberikan harus vaksin Td, di-booster setiap 10 tahun.
5. Vaksin Campak. Campak diberikan pada umur 9 bulan, 2 tahun dan pada SD kelas 1
(program BIAS).
6. Vaksin Pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu
dosis ulangan 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis
terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin Rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen
selesai diberikan sebelum umur 16 minggu dan tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin
rotavirus pentavalen: dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2, dan ke-3
4-10 minggu, dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4
minggu).
8. Vaksin Varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, namun terbaik pada
umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2
dosis dengan interval minimal 4 minggu.

9. Vaksin Influenza. Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang setiap
tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak umur kurang dari 9
tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 <36 bulan, dosis
0,25 mL.
10.
Vaksin Human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10
tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV
tetravalen dengan interval 0, 2, 6 bulan.
Pemberian vaksin bisa melalui injeksi, misalnya vaksin BCG, DPT, DT, TT, Campak dan Hepatitis
B. Sedangkan yang diberikan secara oral yaitu vaksin polio
BCG : 1 X (bayi 0-11 bulan)
DPT : 3 X ( bayi 2-11 bulan) selang 4 minggu
Polio : 3 X ( bayi 2-11 bulan) selang 4 minggu
Campak : 1X ( anak 9-11 bulan)
TT IH : - 1 x ( BOOSTER) bila ibu hamil pernah menerima TT 2 X pada
o Waktu calon pengantin atau pada kehamilan sebelumnya)
2 X (selang 4 minggu) bila ibu hamil belum pernah divaksinasi TT
o Selama kehamilan. Bila pada waktu kontak berikutnya (saat
pemberian TT2 tetap) diberikan dengan maksud untuk
memberikan perlindungan pada kehamilan berikutnya
DT : 2x ( selang 4 minggu) anak kelas 1 sampai wanita
TT : 2x ( 4 minggu ) anak kelas 6 SD sampai wanita
TT calon pengantin wanita : 2 X ( selang 4 minggu) sebelum akad nikah
Persiapan alat: Spuit lengkap, alat sterilisator, kapas air hangat.
Persiapan Vaksin: Vaksin yg sesuai dengan sasaran dimasukkan dalam termos es (vaksin carier ).
Persiapan sasaran : Pemberitahuan kepada orang tua bayi ( sasaran ) tempat penyuntikan dan efek
sampingnya.
Pemberian Imunisasi : Pengambilan vaksin sesuai dengan dosisnya. Desinfeksi pada tempat yang
akan disuntik. Pemberian Imunisasi sesuai dengan jenis vaksin sbb :
BCG : Intra cutan, dosis 0,05 cc.
Polio : Tetes mulut, dosis 2 tetes.
DPT, HB, Campak : Subcutan, dosis 0,5 cc.
Pemberian obat antipiretik untuk imunisasi DPT, dijelaskan cara dan dosis pemberian.
Memberikan Informasi kepada orang tua bayi mengenai jadwal imunisasi berikutnya. Pencatatan /
pelaporan : Imunisasi yang diberikan dicatat dalam buku catatan imunisasi dan Buku KIA / KMS.
Langkah-langkah kegiatan :
1. Petugas Imunisasi menerima kunjungan bayi sasaran Imunisasi yang telah membawa Buku
KIA / KMS di Ruang Imunisasi setelah mendaftar di loket pendaftaran.
2. Petugas memriksa status Imunisasi dalam buku KIA / KMS dan menentukan jenis imunisasi
yang akan diberikan.

3. Petugas menanyakan keadaan bayi kepada orang tuanya ( keadaan bayi yang memungkinkan
untuk diberikan imunisasi atau bila tidak akan dirujuk ke Ruang Pengobatan ).
4. Petugas menyiapkan alat ( menyeteril alat suntik dan kapas air hangat ).
5. Petugas menyiapkan vaksin ( vaksin dimasukkan ke dalam termos es ).
6. Petugas menyiapkan sasaran ( memberitahukan kepada orang bayi tentang tempat
penyuntikan.
7. Petugas memberikan Imunisasi ( memasukkan vaksin ke dalam alat suntik, desinfeksi
tempat suntikan dengan kapas air hangat, memberikan suntikan vaksin / meneteskan vaksin
sesuai dengan jadwal imunisasi yang akan diberikan.
8. Petugas melakukan KIE tentang efek samping pasca imunisasi kepada orang tua bayi
sasaran imunisasi.
9. Petugas memberikan obat antipiretik untuk imunisasi DPT, dijelaskan cara dan dosis
pemberian.
10. Petugas memberitahukan kepada orang tua bayi mengenai jadwal imunisasi
berikutnya.Petugas mencatat hasil imunisasi dalam Buku KIA / KMS dan Buku Catatan
Imunisasi serta rekapitulasi setiap akhir bulannya

Tabel 2. Kontra indikasi jenis vaksin (Wong, 2004)

Tabel 3. Kejadian yang mungkin terjadi pascaimunisasi (Wong, 2004)


Perkembangan Imunisasi di Indonesia
Kegiatan imunisasi di Indonesia di mulai di Pulau Jawa dengan vaksin cacar pada tahun 1956. Pada
tahun 1972, Indonesia telah berhasil membasmi penyakit cacar. Pada tahun 1974, Indonesia resmi
dinyatakan bebas cacar oleh WHO, yang selanjutnya dikembangkan vaksinasi lainnya. Pada tahun
1972 juga dilakukan studi pencegahan terhadap Tetanus Neonatorum dengan memberikan suntikan
Tetanus Toxoid (TT) pada wanita dewasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga pada tahun
1975 vaksinasi TT sudah dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia. (Depkes RI,2005).
Program Imunisasi TT di Indonesia
Vaksin jerap TT ( Tetanus Toxoid ) adalah vaksin yang mengandung toxoid tetanus yang telah
dimurnikan dan terabsorbsi ke dalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan
sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40 IU. Dipergunakan
untuk mencegah tetanus pada bayi yang baru lahir dengan mengimunisasi Wanita Usia Subur
(WUS) atau ibu hamil, juga untuk pencegahan tetanus pada ibu bayi. (Depkes RI, 2005)
Sifat Vaksin
Vaksin TT termasuk vaksin yang sensitif terhadap beku (Freeze Sensitive=FS) yaitu golongan
vaksin yang akan rusak bila terpapar/terkena dengansuhu dingin atau suhu pembekuan. (Depkes RI,
2005).
Jadwal Imunisasi TT ibu hamil
1. Bila ibu hamil sewaktu caten (calon pengantin) sudah mendapat TT sebanyak 2 kali, maka
kehamilan pertama cukup mendapat TT 1 kali, dicatat sebagai TT ulang dan pada kehamilan
berikutnya cukup mendapat TT 1 kali saja yang dicatat sebagai TT ulang juga.
2. Bila ibu hamil sewaktu caten (calon pengantin) atau hamil sebelumnya baru mendapat TT 1
kali, maka perlu diberi TT 2 kali selama kehamilan ini dan kehamilan berikutnya cukup
diberikan TT 1 kali sebagai TT ulang
3. Bila ibu hamil sudah pernah mendapat TT 2 kali pada kehamilan sebelumnya, cukup mendapat
TT 1 kali dan dicatat sebagai TT ulang.
Cara pemberian dan dosis
1. Sebelum digunakan, vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi homogen.
2. Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikkan secara
intramuskular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5 ml dengan interval 4 minggu.
Dilanjutkan dengan dosis ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk mempertahankan kekebalan
terhadap tetanus pada wanita usia subur, maka dianjurkan diberikan 5 dosis. Dosis ke empat dan
ke lima diberikan dengan interval minimal 1 tahun setelah pemberian dosis ke tiga dan ke empat.
Imunisasi TT dapat diberikan secara aman selama masa kehamilan bahkan pada periode trimester
pertama.
3. Di unit pelayanan statis, vaksin TT yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 4 minggu
dengan ketentuan :
Vaksin belum kadaluarsa
Vaksin disimpan dalam suhu +2 - +8C

Tidak pernah terendam air.


Sterilitasnya terjaga
VVM (Vaccine Vial Monitor) masih dalam kondisi A atau B.
4. Di posyandu, vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi untuk hari berikutnya
Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan, gejalanya seperti lemas dan kemerahan pada lokasi
suntikan yang bersifat sementara dan kadang-kadang gejala demam. (Depkes RI, 2005).
Kontraindikasi Vaksin TT
Ibu hamil atau WUS yang mempunyai gejala-gejala berat (pingsan) karena dosis pertama TT.
(Depkes RI, 2005).
Kerusakan Vaksin
Keterpaparan suhu yang tidak tepat pada vaksin TT menyebabkan umur vaksin menjadi berkurang
dan vaksin akan rusak bila terpapar /terkena sinar matahari langsung. (Depkes RI, 2005).
Perencanaan Program Vaksinansi
Pada program imunisasi menentukan jumlah sasaran merupakan suatu unsur yang paling penting.
Menghitung jumlah sasaran ibu hamil didasarkan 10 % lebih besar dari jumlah bayi. Perhitungan ini
dipakai untuk tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa.
Sasaran Imunisasi Ibu Hamil = 1,1 x Jumlah bayi
Menentukan Target Cakupan
Menentukan target cakupan adalah menetapkan berapa besar cakupan imunisasi yang akan dicapai
pada tahun yang direncanakan untuk mengetahui kebutuhan vaksin yang sebenarnya. Penetapan
target cakupan berdasarkan tingkat pencapaian di masing-masing wilayah kerja maksimal 100 %.
Target Cakupan Imunisasi Ibu Hamil yang akan dicapai :
TT 1 Ibu hamil = 90% TT2 + (Plus TT3+TT4+TT5)=80%
Menghitung Indeks Pemakaian Vaksin (IP)
Menghitung indeks pemakaian vaksin berdasarkan jumlah cakupan imunisasi yang dicapai secara
absolut dan berapa banyak vaksin yang digunakan.Dari pencatatan stok vaksin setiap bulan
diperoleh jumlah ampul/vial vaksin yang digunakan. Untuk mengetahui berapa rata-rata jumlah
dosis diberikan untuk setiap ampul/vial, yang disebut Indeks Pemakaian Vaksin (IP) dapat dihitung :
Jumlah suntikan (cakupan) yang dicapai tahun lalu
IP Vaksin = ----------------------------------------------------------------------------Jumlah vaksin yang terpakai tahun lalu
Menghitung Kebutuhan Vaksin
1. Setelah menghitung jumlah sasaran imunisasi, menentukan target cakupan dan menghitung
besarnya indeks pemakaian vaksin, maka data-data tersebut digunakan unuk menghitung
kebutuhan vaksin.
2. Puskesmas mengirimkan rencana kebutuhan vaksin ke kabupaten/kota.(Depkes RI, 2005).
Sebelum menghitung jumlah vaksin yang kita perlukan, terlebih dahulu dihitung jumlah kontak
tiap jenis Rumusnya :
Jumlah Kontak = Jumlah sasaran x Target cakupan

Untuk menghindari penumpukan vaksin, jumlah kebutuhan vaksin satu tahun harus dikurangi sisa
vaksin tahun lalu. Rumus Kebutuhan Vaksin ;
Jumlah kontak
Kebutuhan Vaksin =--------------------- =....ampul/vial
IP

Tujuan Syariat Islam & Hukum Menjaga Kesehatan


serta Berobat
Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum qishash
yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan
dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah
menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut
melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:
Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada orangorang yang dibunuh (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau daiat
(ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:
Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan
hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang
baik (pula) (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon pembunuh
akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya. Dengan begitu, jiwa
orang beriman akan terpelihara.
3. Memelihara akal (Hifzh al-aqli)
Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia dibutuhkan untuk
memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah) menuju manusia kamil. Salah
satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah dengan menghindari khamar (minuman
keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut:
Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan judi.
Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya. (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.
4. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat Islam telah jelas
ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh dinikahi. Al-Quran telah
mengatur hal-hal ini:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (QS
Al-Baqarah [2]: 221).
Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali
dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS An-Nur [24]: 2).

Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional (dengan
disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.
5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman, karena Islam
mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang tertulis di dalam AlQuran:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagaimana)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
perkasa lagi Maha Bijaksana (QS Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan yang
sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri dengan serta merta dihukum
potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri
karena lapar dan hanya mengambil beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak
akan dipotong tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan
menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian
Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai
tindak pencurian.
KLB Dalam Pandangan Islam
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.s. As-Syura: 30)
Dalam sudut pandang wahyu Allah terakhir, musibah dan bencana ada kaitannya dengan dosa atau
maksiat yang dilakukan oleh manusia-manusia pendurhaka.Bencana alam berupa letusan gunung
api, banjir bandang, wabah penyakit, kekeringan, kelaparan, kebakaran, dan lain sebagainya, dalam
pandangan alam Islam (Islamic worldview), tidaklah sekedar fenomena alam. Al-Quran
menyatakan dengan lugas bahwa segala kerusakan dan musibah yang menimpa umat manusia itu
disebabkan oleh perbuatan tangan mereka sendiri. Tentu saja kata tangan sebatas simbol
perbuatan dosa/maksiat, karena suatu perbuatan maksiat melibatkan panca indera, dan juga
dikendalikan dan diprogram sedemikian rupa oleh otak, kehendak dan hawa nafsu manusia.
Maksiat, sebagaimana taat, ada yang bersifat menentang tasyri Allah seperti melanggar perkara
yang haram, dan ada yang bersifat menentang takwin Allah (sunnatullah) seperti melanggar dan
merusak alam lingkungan. Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad Saw. telah
menetapkan dalam salah satu sabdanya,
Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah,janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi
apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya.
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta,
dan keturunan.Setidaknya tiga dari yang disebut berkaitan dengankesehatan. Tidak heran jika
ditemukan bahwa Islam amat kayadengan tuntunan kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang
pentingnya kesehatan dalampandangan Islam.
1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
2. Afiat.
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesra, kata "afiat" dipersamakan dengan "sehat". Afiat diartikan sehat dan

kuat,sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik segenap badan serta
bagian-bagiannya (bebas dari sakit).Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap
anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat
melihat maupun membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat
melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek
yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata. Dalam konteks
kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad Saw.:
Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.
Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas beribadah,
sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu.
Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan meletakkan prinsip:
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian
banyak petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi Saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya
pencegahan.
Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga kebersihan.
Kebersihan digandengkan dengan taubat dalam surat Al-Baqarah (2): 222:
Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat,dan senang kepada orang yang
membersihkan diri.
Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan kesehatan
fisik.Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah: Dan bersihkan
pakaianmu dan tinggalkan segala macam kekotoran (QS Al-Muddatstsir [74]: 4-5).
ISLAM MEMERINTAHKAN UMATNYA UNTUK BEROBAT
Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama islam sebab berobat termasuk upaya memelihara
jiwa dan raga, dan ini termasuk salah satu tujuan syariat islam ditegakkan, terdapat banyak hadits
dalam hal ini, diantaranya;
Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Alloh menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada
obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram. (HR.Abu Dawud
3874, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif al-Jami 2643)
Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada Nabi shallallahu alaihi
wa sallam:
Wahai Rosululloh, apakah kita berobat?,Nabi bersabda,berobatlah, karena sesungguhnya Alloh
tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak
ada obatnya), mereka bertanya,apa itu ? Nabi bersabda,penyakit tua. (HR.Tirmidzi 2038,
dan disahihkan oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah 3436)
1. Menjadi wajib dalam beberapa kondisi:
a. Jika penyakit tersebut diduga kuat mengakibatkan kematian, maka menyelamatkan jiwa
adalah wajib.
b. Jika penyakit itu menjadikan penderitanya meninggalkan perkara wajib padahal dia mampu
berobat, dan diduga kuat penyakitnya bisa sembuh, berobat semacam ini adalah untuk
perkara wajib, sehingga dihukumi wajib.

c.

Jika penyakit itu menular kepada yang lain, mengobati penyakit menular adalah wajib untuk
mewujudkan kemaslahatan bersama.
d. Jika penyakit diduga kuat mengakibatkan kelumpuhan total, atau memperburuk
penderitanya, dan tidak akan sembuh jika dibiarkan, lalu mudhorot yang timbul lebih
banyak daripada maslahatnya seperti berakibat tidak bisa mencari nafkah untuk diri dan
keluarga, atau membebani orang lain dalam perawatan dan biayanya, maka dia wajib
berobat untuk kemaslahatan diri dan orang lain.
2. Berobat menjadi sunnah/ mustahab
Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi tidak sampai membahayakan diri dan orang lain,
tidak membebani orang lain, tidak mematikan, dan tidak menular , maka berobat menjadi sunnah
baginya.
3. Berobat menjadi mubah/ boleh
Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak berakibat seperti kondisi hukum
wajib dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya berobat atau tidak berobat
4. Berobat menjadi makruh dalam beberapa kondisi
a. Jika penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan, sedangkan obat yang digunakan diduga
kuat tidak bermanfaat, maka lebih baik tidak berobat karena hal itu diduga kuat akan berbuat
sis- sia dan membuang harta.
b. Jika seorang bersabar dengan penyakit yang diderita, mengharap balasan surga dari ujian ini,
maka lebih utama tidak berobat, dan para ulama membawa hadits Ibnu Abbas dalam kisah
seorang wanita yang bersabar atas penyakitnya kepada masalah ini.
c. Jika seorang fajir/rusak, dan selalu dholim menjadi sadar dengan penyakit yang diderita,
tetapi jika sembuh ia akan kembali menjadi rusak, maka saat itu lebih baik tidak berobat.
d. Seorang yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat, lalu ditimpa suatu penyakit, dan
dengan penyakit itu dia berharap kepada Alloh mengampuni dosanya dengan sebab
kesabarannya.
e. Dan semua kondisi ini disyaratlkan jika penyakitnya tidak mengantarkan kepada kebinasaan,
jika mengantarkan kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka berobat menjadi wajib.
5. Berobat menjadi haram
Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara yang haram maka hukumnya haram, seperti
berobat dengan khomer/minuman keras, atau sesuatu yang haram lainnya.

Anda mungkin juga menyukai