PENDAHULUAN
Perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu
penyakit yang sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit. Sebagian besar
pasien datang dalam keadaan stabil dan sebahagian lainnya datang dalam keadaan gawat
darurat yang memerlukan tindakan yang cepat dan tepat. Perdarahan saluran cerna bagian
atas adalah salah satu kasus yang paling umum terjadi di Inggris. Tanda-tanda yang
paling umum dari perdarahan saluran cerna bagian atas adalah hematemesis (muntah
darah) dan melena (BAB hitam). Walaupun tatalaksana terapi dan teknik endoskopi
sudah mengalami kemajuan, kematian akibat perdarahan saluran cerna bagian atas
selama dua dekade terakhir tetap tinggi yaitu lebih dari 9.000 kematian setiap tahunnya
di Inggris.
Di Indonesia sendiri, kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas menunjukkan
adanya variasi geografis yang besar mulai dari 48 sampai dengan 160 kasus per 100.000
penduduk, dengan kejadian lebih tinggi pada pria dan usia lanjut. Perdarahan ulkus
peptikum merupakan penyebab tersering perdarahan saluran cerna bagian atas, berkisar
antara 31 - 67 % dari semua kasus, diikuti oleh gastritis erosif, perdarahan variceal,
esofagitis, keganasan dan robekan mallory weiss.
Studi lain menyebutkan bahwa di Indonesia, perdarahan karena ruptur varises
gastroesofagus merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif
sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-15% dan karena sebab lainnya < 5%. Mortalitas
secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, kematian pada penderita ruptur vrises
bisa mencapai 60% sedangkan kematian pada perdarahan non-varises sekitar 9-12%.
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran cerna bagian atas adalah
menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.
Tegaknya diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan langkah terapi yang
diambil.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINSI
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dalam
lumen saluran cerna mulai dari esofagus sampai dengan duodenum di daerah
ligamentum Treitz meliputi hematemesis dan atau melena. Hematemesis adalah
muntah darah. Darah bisa dalam bentuk segar (bekuan/gumpalan atau cairan
berwarna merah cerah) atau berubah karena enzim dan asam lambung menjadi
kecoklatan seperti butiran kopi. Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan
hitam seperti aspal dengan bau busu dan perdarahannya sejumlah 50-100 ml atau
lebih. Melena menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian atas (Longo et al,
2012).
2.2. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan salah satu kedaruratan medis
yang paling umum di Inggris, dengan perkiraan kejadian 134 per 100.000 kasus.
Meskipun kemajuan penyediaan terapi sudah meningkat, mortalitas perdarahan
SCBA selama dua dekade terakhir tetap tinggi yaitu lebih dari 9.000 kematian
setiap tahunnya di Inggris.
Di Indonesia, sekitar 70% penyebab SCBA adalah ruptur varises esofagus.
Namun, dengan perbaikan manajemen penyakit hepar kronik dan peningkatan
populasi lanjut usia, proporsi perdarahan ulkus peptikum diperkirakan bertambah.
Kejadian perdarahan SCBA menunjukkan adanya variasi geografis yang besar
mulai dari 48-160 kasus per 100.000 penduduk, dengan kejadian tertinggi pada
laki-laki dan lanjut usia (Simandibrata et al, 2012)
2
2. Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami
perdarahan SCBA berjenis kelamin laki-laki.
3. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Jenis-jenis OAINS yang sering dikonsumsi adalah ibuprofen, diklofenak
(voltaren), meloxicam, naproxen, indomethacin, ketoprofen, piroxicam dan
ketorolac.
4. Penggunaan obat-obat antiplatelet
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan
faktor perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis subterapi 10 mg
per hari masih dapat menghambat siklooksigenase. Aspirin dapat
menyebabkan ulkus lambung, ulkus duodenum, komplikasi perdarahan dan
perforasi pada perut dan lambung. Obat antiplatelet seperti clopidogrel
berisiko tinggi apabila dikonsumsi oleh pasien dengan komplikasi saluran
cerna.
5. Merokok
Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko terjadinya
ulkus duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok menghambat
proses penyembuhan ulkus, memicu kekambuhan, dan meningkatkan risiko
komplikasi.
6. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan
mukosa lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi akut mukosa
gaster yang ditandai dengan perdarahan pada mukosa.
7. Riwayat Gastritis
Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada
kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi oleh
adanya gangguan dalam mekanisme pertahanan mukosa dan proses
penyembuhan.
8. Diabetes mellitus (DM)
Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit komorbid
yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya perdarahan.
3
Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan mekanisme pasti yang
terjadi pada perdarahan SCBA yang disebabkan oleh diabetes mellitus.
9. Infeksi bakteri Helicobacter pylori
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral yang
hidup dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung.
Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat infeksi
H.pylori <75% pada pasien ulkus duodenum. Dari hasil penelitian di New
York 61% dari ulkus duodenum dan 63% dari ulkus gaster disebabkan oleh
infeksi H. pylori.
10. Chronic Kidney Disease
Patogenesis perdarahan saluran cerna pada chronic kidney disease masih
belum jelas, diduga faktor yang berperan antara lain efek uremia terhadap
mukosa saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia,
penggunaan antiplatelet dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat
dialysis.
11. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena jejas.
Selain itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak mudah
melekat sehingga pada penderita hipertensi dianjurkan untuk
mengkonsumsi obat-obat antiplatelet.
12. Chronic Heart Failure
Penelitian yang ada mengatakan bahwa chronic heart failure dapat
meningkatkan faktor risiko perdarahan SCBA sebanyak 2 kali lipat.
(Soll, A. H., et al. 2009; Djojoningrat, 2011)
2.3. ETIOLOGI
Ulkus peptikum merupakan penyebab paling umum dari perdarahan saluran
cerna bagian atas yaitu sekitar 50%. Penyebab lainnya yaitu gastropati (OAINS,
alkohol, stres, dll), robekan mallory-weis, esofagitis, varises esofagus, neoplasma,
dll.
4
Tabel 2.3.1. Penyebab Saluran Cerna Bagian Atas
(Sumber: Longo et al. 2012)
a. Ulkus Peptikum
Perdarahan merupakan penyulit ulkus peptikum yang paling sering terjadi,
sedikitnya ditemukan pada 15-25% kasus selama perjalanan penyakit.
Walaupun ulkus disetiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun
tempat perdarahan tersering adalah dinding posterior bulbus duodenum,
karena ditempat ini dapat terjadi erosi arteri pankreatikoduodenalis atau
arteria gastroduodenalis. Tiga faktor utama dalam patogenesis ulkus adalah
H. pylori, OAINS, dan pH asam (Bunnet, et al. 2015).
b. Varises Esofagus
Esophagus bagian bawah merupakan saluran kolateral penting yang timbul
akibat sirosis dan hipertensi portal. Vena esophagus daerah leher
mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan dibawah diagfragma
vena esophagus masuk kedalam vena gastrika sinistra. Hubungan antara
vena porta dan vena sistemik memungkinkan pintas dari hati pada kasus
hipertensi portal. Aliran kolateral melalui vena esofagus menyebabkan
terbentuk varises esophagus (vena varikosa esophagus). Vena yang melebar
ini dapat pecah, menyebabkan perdarahan yang bersifat fatal. Hipertensi
portal juga bertanggung jawab untuk perdarahan dari varises lambung,
5
varises di usus kecil dan besar, dan gastropati hipertensi portal dan
enterokolopati (Tripathi, et al. 2015).
c. Gastritis Erosif
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa
lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus, atau local. Banyak sekali
etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya gastritis, antara lain endotoksin
bakteri, kafein, alcohol, aspirin, OAINS, dan stress lebih sering dianggap
sebagai penyebab gastritis akut (Bunnet, et al. 2015).
d. Esofagitis
Esofagitis merupakan peradangan pada lapisan esofagus atau kerongkongan
yang berisiko menimbulkan kerusakan jaringan-jaringan esofagus.
Esofagitis yang dapat menyebabkan perdarahan ialah esofagitis refluks
kronis. Esofagitis refluks kronis merupakan bentuk esofagitis yang paling
sering ditemukan secara klinis. Gangguan ini disebabkan oleh sfingter
esophagus bagian bawah yang bekerja dengan kurang baik dan refluks asam
lambung atau getah alkali usus ke dalam esophagus yang berlangsung
dalam waktu yang lama. Sekuele yang terjadi akibat refluks adalah
peradangan, perdarahan, dan pembentukan jaringan parut dan striktur
(Bunnet, et al. 2015).
e. Sindroma mallory-weis
Hematemesis atau melena yang secara khas mengikuti muntah-muntah
berat yang berlangsung beberapa jam atau hari, dapat ditemukan satu atau
beberapa laserasi mukosa lambung mirip celah, yang biasanya berada di sisi
lambung pada gastroesofageal junction (Bunnet, et al. 2015).
6
2.4. PATOFISIOLOGI
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam
proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa
mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi
sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel
makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa
juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang
melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH
netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular
ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga
berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut
atau kronik dapat terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-mekanisme
protektif tersebut (Turner, J. R. 2010).
7
termasuk mengubah transduksi sinyal dan menurunkan pertahanan mukosa. H.
pylori merupakan patogen yang sangat umum dan angka infeksinya lebih tinggi
di negara miskin dengan sanitasi yang kurang baik. Rute penyebaran dari orang
ke orang kemungkinan besar adalah melalui fecal-oral.
Ulkus peptikum (tukak lambung) dibedakan dari gastritis oleh
kedalaman lesi, dengan ulkus peptikum yang sudah menembus mukosa. Ulkus
yang dikelilingi oleh mukosa yang meradang mengisyaratkan bahwa
sebelumnya telah terjadi gastritis terlebih dahulu (Turner, J. R. 2010).
Prostaglandin diketahui dapat meningkatkan aliran darah mukosa serta
sekresi bikarbonat dan mukus serta merangsang perbaikan dan pembaharuan sel
mukosa. Karena itu, defisiensi prostaglandin akibat pemberian obat anti
inflamasi non-steroid (OAINS) atau gangguan lain dapat mempermudah
timbulnya gastritis dan ulkus peptikum (Bunnet, N. W 2015).
8
Gastritis erosif akut mencakup peradangan akibat cedera superfisial di
mukosa, erosi mukosa, atau ulkus dangkal akibat berbagai gangguan terutama
alkohol, obat dan stres. Pada gastritis erosif, lapisan submukosa dan muskularis
mukosa tidak tertembus seperti pada ulkus peptikum. Hipersekresi asam,
anoksia lambung, gangguan pertahanan alami (terutama berkurangnya sekresi
mukus), pembaharuan epitel, mediator jaringan (prostaglandin), penurunan pH
intramukosa, dan defisit energi intramukosa dilaporkan berperan sebagai faktor
dalam pembentukan cedera superfisial mukosa lambung (Turner, J. R. 2010).
Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang
sehingga rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. OAINS dan obat
antiplatelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya
dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang
menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster. Infeksi Helicobacter
pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam lambung
dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan
menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan
sekresi lambung (Turner, J. R. 2010).
Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol
yang berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam dan isi minuman berakohol
selain alkohol juga merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan perlukaan
mukosa saluran cerna. Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi
radiasi dan kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena
hilangnya kemampuan regenerasi sel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid pada perdarahan
SCBA dan menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien DM terjadi
perubahan mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan prostasiklin yang
berfungsi mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah terjadi
perdarahan. Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum. Merokok
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum. Merokok
memicu kekambuhan, menghambat proses penyembuhan dan respon terapi
sehingga memperparah komplikasi ulkus kearah perforasi (Turner, J.R. 2010).
9
2.5. DIAGNOSIS
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran cerna adalah menentukan
beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.
Pemeriksaannya meliputi:
a. Tekanan darah dan nadi
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokontriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan nafas
e. Tingkat kesadaran
f. Produksi urin (0,5-1 cc/kgBB per jam)
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskular akan
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil dengan tanda-tanda sebagai
berikut:
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi >
100 menit
b. Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20
mmHg
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15 / menit
d. Akral dingin
e. Kesadaran menurun
f. Anuria atau oliguri (produksi urin < 30 ml/jam)
ANAMNESIS
Pada anamnesis yang perlu ditekankan adalah:
10
• Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar
• Riwayat perdarahan sebelumnya
• Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
• Penggunaan obat-obatan terutama anti infamasi non-steroid dan anti
koagulan
• Kebiasaan minum alkohol
• Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, dispepsia, demam
berdarah, demam tifoid, CKD, DM, hipertensi dan alergi obat-obatan
• Riwayat konsumsi obat-obatan terutama OAINS dan obat asam urat
• Riwayat mengkonsumsi jamu-jamuan
• Riwayat transfusi sebelumnya
(Adi, P. 2014)
PEMERIKSAAN FISIK
Dalam pemeriksaan fisik yang pertama harus dilakukan adalah penilaian ABC,
pasien-pasien dengan hematemesis yang masif dapat mengalami aspirasi atau
sumbatan jalan nafas, hal ini sering ini sering dijumpai pada pasien usia tua dan
pasien yang mengalami penurunan kesadaran.
• Tanda-tanda syok : takikardia, akral dingin dan lembab, takipnu, oliguria,
penurunan kesadaran, hipotensi ortostatik, JVP (Jugular Vein Pressure)
meningkat.
• Tanda-tanda penyakit hati kronis dan sirosis : hipertensi portal (pecahnya
varises esofagus, asites, splenomegali), ikterus, edema tungkai dan sakral,
spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti, venektasi dinding perut (caput
medusa).
• Tanda-tanda anemia : pucat, koilonikia, telangiektasia
• Tanda-tanda keganasan : limfadenopati, organomegali (hepatomegali,
splenomegali), penurunan berat badan, anoreksia, rasa lemah.
• Pemeriksaan abdomen : untuk mengetahui adanya nyeri tekan, distensi, atau
massa. Adanya nyeri tekan epigastrik merupakan tanda ulkus peptikum, dan
adanya hepatosplenomegali meningkatkan kemungkinan varises.
• Pemeriksaan rektal untuk massa, darah, melena, dan darah samar pada feses.
Warna feses ini mempunyai nilai prognostik
11
(Djojoningrat, D. 2011)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan:
a. EKG (terutama pada pasien berusia > 40 tahun)
b. BUN, kreatinin serum pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh
kuman usus akan mengakitbakan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin
serum tetap normal atau sedikit meningkat
c. Elektrolit (Na, K, Cl); perubahan elektrolit bisa terjadi karena perdarahan,
transfusi, atau kumbah lambung
(Adi, P. 2014)
a. Pemeriksaan laboratorium
Ø Pemeriksaan darah lengkap : Hb, Ht, golongan darah, jumlah eritrosit,
leukosit, trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, PT, APTT,
morfologi darah tepi, fibrinogen, dan crossmatch jika diperlukan transfusi.
Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30 %.
Ø Pemeriksaan ureum dan kreatinin :
Perbandingan BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum dapat
dipakai untuk memperkirakan asal perdarahan. Nilai puncak biasanya
dicapai dalam 24-48 jam sejak terjadinya perdarahan. Normal
perbandingannya adalah 20. Bila di atas 35, kemungkinan perdarahan
12
berasal dari saluran cerna bagian atas (SCBA). Di bawah 35, kemungkinan
perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB). Azotemia sering terjadi
pada perdarahan saluran cerna. Derajat azotemia tergantung pada jumlah
darah yang hilang, lamanya perdarahan, dan derajat integritas fungsi
ginjal. Azotemia terjadi tidak tergantung pada penyebab perdarahan. BUN
mempunyai kepentingan untuk menentukan prognosis. BUN sampai
setinggi 30mg/100ml mempunyai prognosis yang baik. 50 – 70 mg/100 ml
mempunyai mortalitas setinggi 33%. Nilai di atas 70 mg/100 ml
mengakibatkan keadaan fatal. BUN = 2,14 x nilai ureum darah.
Ø Pemeriksaan fungsi hati : AST (SGOT), ALT (SGPT), bilirubin, fosfatase
alkali, gama GT, kolinesterase, protein total, albumin, globulin, HBSAg,
AntiHBS.
Ø Tes guaiac (+) : pemeriksaan darah samar dari feses masih dapat terdeteksi
sampai seminggu atau lebih setelah terjadi perdarahan.
Ø Pemeriksaan elektrolit : kadar Na+, Cl-, K+. K+ bisa lebih tinggi dari
normal akibat absorpsi dari darah di usus halus. Alkalosis hipokloremik
pada waktu masuk rumah sakit menunjukan adanya episode perdarahan
atau muntah-muntah yang hebat.
(Adi, P. 2014; El-Tawil, 2012)
Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk memperkirakan
asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24-48 jam sejak terjadinya
perdarahan, normal perbandingnya 20, diatas 35 kemungkinan perdarahan berasal
dari SCBA, dibawah 35 kemungkinan perdarahan SCBB. Pada kasus yang masih
sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah pemeriksaan selanjutnya
adalah endoskopi (Adi, P. 2014).
b. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard. Tindakan endoskopi selain
untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu
dilakukan segera (bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun
waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil .
Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan
darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien
13
dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat ditentukan
lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Kadar Hb minimal untuk
dilakukan endoskopi adalah 8 mg/dL dengan keadaan hemodinamik stabil
(Turner, J.R. 2010)
A.
B.
C.
Gambar 2.6.1. A. Esofagitis Erosif. B. Gastritis Erosif. C. Ulkus Peptikum
(Sumber: Turner, J. R. 2010)
14
Aktivitas perdarahan Kriteria endoskopis
Forest I a - perdarahana aktif Perdarahan arteri menyembur
Forest I b – perdarahan aktif Perdarahan merembes
Forest II - perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada dasar ulkus atau
masih terdapat sisa-sisa perdarahan terlihat pembuluh darah
Forest III – perdarahan berhenti tanpa
Lesi tanpa ada sisa perdarahan
sisa perdarahan
Tabel 2.6.2. Kriteria Forest
(Sumber: Adi, P. 2014)
c. Pemeriksaan radiologis
- Barium meal : dengan kontras ganda dilakukan pemeriksaan esofagus,
lambung, dan doudenum untuk melihat ada tidaknya varises di daerah 1/3
distal esofagus, terdapat ulkus, polip atau tumor di esofagus, lambung,
doudenum.
- Barium enema : untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab perdarahan
saluran cerna bagian bawah.
- USG : untuk menunjang diagnosis hematemesis/melena bila diduga
penyebabnya adalah pecahnya varises esofagus karena secara tidak
langsung memberi informasi tentang ada tidaknya hepatitis kronik, sirosis
hati dengan hipertensi portal, keganasan hati, dengan cara yang non
invasif dan tak memerlukan persiapan sesudah perdarahan akut berhenti.
- Arteriografi abdomen : untuk menentukan letak perdarahan, terutama pada
penderita dengan perdarahan aktif. Juga berguna untuk mendeteksi lesi
yang menyebabkan perdarahan.
- EKG, foto toraks : untuk identifikasi dini adanya penyakit jantung paru
kronis, terutama pada pasien > 40 tahun
(Kim, J. et al. 2012).
15
Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Nasogastric Tube
(NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat
berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan
arteri.Seperti halnya warna feses maka warna aspirat pun dapat memprediksi
mortalitas pasien.Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan
tukak duodeni ditemukan adanya aspirat yang jernih pada NGT (Kim, J. et al.
2012).
2.6. TATALAKSANA
A. PEMERIKSAAN AWAL
16
B. STABILISASI HEMODINAMIK
Resusitasi yang dilakukan adalah pemberian cairan intravena dan
suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat
dibutuhkan. Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan
kristaloid dan pasang monitor CVP (central venous pressure). Tujuannya
untuk memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil.
Penderita dengan perdarahan 500 – 1000 cc perlu diberi infus Dextrose 5%,
Ringer laktat atau Nacl 0,9% (Adi, P. 2014)
C. TERAPI NON-ENDOSKOPIS
Ø Pemasangan NGT (Nasogastric Tube)
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama
dilakukan adalah kumbang lambung melalui pipa nasogastrik. Kumbah
lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi
dan dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan.
17
Pemasangan pipa nasogastrik ini dilakukan pada perdarahan yang diduga
masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT
bertujuan untuk mencegah distensi lambung, aspirasi, dekompresi dan
menilai perdarahan (Alwi, I. 2017)
Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk
pemasangan pipa nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan
hemodinamik stabil atau yang sudah jelas perdarahan SCBB. OCreotide
Sekiranya sejak awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi,
dianjurkan pipa nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila
dalam kurun waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu dapat
dianggap bukan perdarahan SCBA (Alwi, I. 2017).
18
Pada perdarahan SCBA, antasida, sitoprotektor (sukralfat), dan antagonis
reseptor H2 dapat diberikan untuk penyembuhan lesi mukosa penyebab
perdarahan.
Obat golongan antagonis reseptor H2 (simetidin, ranitidin, famotidin,
nizatidin) menghmabat secara kompetitif ikatan histamin dengan reseptor
H2 sehingga mengurangi konsentrasi cAMP intraseluler dan mengurangi
sekresi asam lambung.
Obat golongan proton pump inhibitor bekerja dengan mengikat
sistem enzim H+K+ ATP-ase dari sel parietal dan menghambat masuknya
atau menekan ion hidrogen ke dalam lumen lambung. Sedangkan sukralfat
bekerja dengan berikatan dengan glikoprotein pada mukosa lambung dan
membentuk barier yang menghalangi difusi HCl serta mencegah degradasi
oleh pepsin. (Alwi, I. 2017)
19
infus 0.1-0.5 U/menit. Vasopressin dapat memberikan efek samping
berupa insufisiensi koroner mendadak, maka disarankan bersamaan
preparat nitrat, misalnya nitrogliserin IV dengan dosis awal 40 mcg/menit
kemduaian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400 mcg/menit
dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg. Hal ini
dilakukan untuk mencegah insufisiensi aorta mendadak (Alwi, I. 2017).
D. BALON TAMPONADE
Sengstaken Blakemore tube (SB-tube) mempunyai tiga pipa serta
dua balon masing-masing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi
pemasangan SB-tube antara lain pnemoni aspirasi, laserasi sampai
perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam.
Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang
berpengalaman dan ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat. (Alwi, I.
2017)
20
E. TERAPI ENDOSKOPIS
Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan perdarahan
aktif dan mencegah perdarahan ulang. Beberapa teknik, termasuk injeksi,
ablasi dan mekanik telah dikembangkan. Pemilihan tindakan dapat
disesuaikan dengan penampakan fokus perdarahan dan risiko terkait untuk
kejadian perdarahan persisten dan rekuren. Terapi ini ditujukan untuk
perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang
tampak (Adi, P. 2014)
Terapi endoskopis yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan
pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan
menggunakan adrenalin 1:10000 sebanyak 0.5-1 ml tiap kali suntik dengan
batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi 1 ml.
Keberhasilan terapi endoskopis mencapai di atas 95% dan tanpa terapi
tambahan, perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-20% (Simandibrata,
2012)
Pilihan pertama untuk mengatasi varises esofagus adalah ligasi
varises. Terapi pilihan adalah hemostasis endoskopi. Ligasi varises
mengurangi efek samping dari pemakaian sklerosan, serta lebih menurunkan
frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Bila ligasi sulit dilakukan,
skeloterapi dapat digunakan sebagai terapi alternatif.
Pasien dengan ulkus dengan dasar bersih diberikan diet lunak dan
dipulangkan setelah endoskopi dengan syarat hemodinamik stabil, Hb cukup
stabil dan tidak ada masalah kesehatan lain (Kim, J. 2012; Adi, P. 2014)
F. TERAPI RADIOLOGI
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap
berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi
endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan
hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau
embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas
dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS
(Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt) untuk mengalihkan aliran
darah di vena porta apabila pengikatan varises tidak bisa mengatasi
perdarahan (Kim, J. 2012)
21
G. TERAPI PEMBEDAHAN
Pembedahan dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan
radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam
bentuk tim multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk
menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan
(Adi, P. 2014)
2.7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi pada perdarahan saluran cerna adalah
timbulnya anemia, pneumoni aspirasi, koma hepatikum, syok hipovolemik yang
dapat diikuti dengan gagal ginjal akut. Bila berlangsung terus-menerus, hal tersebut
dapat menyebabkan kegagalan multi organ dan kematian (Adi, P. 2014)
2.8. PROGNOSIS
Skala prognostik dapat ditentukan berdasarkan gejala klinis, hasil
laboratorium dan hasil endoskopi untuk membedakan pasien dengan risiko rendah
dengan pasien yang memiliki risiko perdarahan berulang. Banyak faktor yang
mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah
selama perawatan, dan lain-lain. Faktor risiko terjadinya perdarahan berulang pada
perdarahan saluran cerna bagian atas non-variceal: (Wilkins, T. 2012)
ENDOSKOPIS KLINIS
• Perdarahan aktif • Usia > 65 tahun
• Ukuran ulkus > 2 cm • Status kesehatan yang buruk
• Lokasi ulkus terdapat di • Memiliki penyakit peyerta
dinding duodenum posterior • Konsentrasi Hb awal yang rendah
atau kurvatura bagian posterior • Membutuhkan transfusi
• Terdapat darah segar pada pemeriksaan
dubur, pada muntahan atau aspirasi
nasogastrik
• Syok / Sepsis
• Peningkatan konsentrasi urea, kreatinin
atau serum aminotransferasi
22
Pada umumnya penderita dengan perdarahan saluran cerna bagian atas
yang disebabkan pecahnya varises esofagus mempunyai faal hati yang
buruk/terganggu sehingga setiap perdarahan baik besar maupun kecil
mengakibatkan kegagalan hati yang berat. Mengingat tingginya angka kematian
dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan saluran cerna bagian atas maka
perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah
terjadinya sirosis hati (Wilkins, T. 2012)
23
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dalam
lumen saluran cerna mulai dari esofagus sampai dengan duodenum di daerah ligamentum
Treitz meliputi hematemesis dan atau melena. Di Indonesia sendiri, kejadian perdarahan
saluran cerna bagian atas menunjukkan adanya variasi geografis yang besar mulai dari 48
sampai dengan 160 kasus per 100.000 penduduk, dengan kejadian lebih tinggi pada pria
dan usia lanjut.
Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas bergantung pada etiologi penyakit
dasar yang dimiliki. Fokus diagnosis pada kasus ini adalah menentukan penyebab
perdarahan sehingga dapat dilakukan terapi yang sesuai dan tepat sasaran. Bila tidak
ditangani lebih lanjut, perdarahan saluran cerna dapat menimbulkan berbagai macam
komplikasi yang berisiko menimbulkan kematian. Mengingat tingginya angka kejadian
perdarahan saluran cerna, maka perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif
terutama untuk mencegah terjadinya sirosis hati.
24
DAFTAR PUSTAKA
Adi, P. 2014. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Dalam Sudoyo, A. W. Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 1873-1880
Albeldawi, M., Qadeer, M. A., et al. 2010. Managing acute upper GI bleeding, preventing bleeding: current
policies and future perspectives. Cleveland: Cleveland Clinical Journal Medicine; 77: 131-142
Alwi, I., Salim, S. 2017. Panduan Praktis Klinis: Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing; 176-181
Bunnet, N. W., et al. 2015. Penyakit Gastrointestinal. Dalam Ganong, W.F. Patofisiologi Penyakit Edisi 5.
Jakarta: EGC; 397-401
Djojoningrat, D. 2011. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (Hematemesis Melena). Dalam: Rani, A. A.
Buku Ajar Gastroenterologi Edisi 1. jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 33-44
El-Tawil, A. M., 2012. Trends on Gastrointestinal Bleeding and Mortality: Where are we standing?.
Birmingham: World Journal of Gastroenterology; 18: 1154-1158
Kim, J., et al. 2012. Management and Prevention of Upper GI bleeding. USA: PSAP-Gastroenterology and
Nutrition; 7-26
Longo, D. L., et al. 2012. Chapter 47 Gastrointestinal Bleeding on Harrison’s Manual of Medicine 18th
Edition. New York: McGraw Hill; 261-264
Simandibrata, M., et al. 2012. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Atas Non
Varises di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia
Siregar, L., Aziz, A., et al. 2011. Clinical profile and outcome of non-variceal upper gastrointestinal
bleeding in relation to timing of endoscopic procedure in patient undergoing elective endoscopy.
Jakarta: Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia;12-3: 140-
145
Soll, A.H., et al. 2009. Peptic Ulcer Disease in Yamada’s Textbook of Gastroenterology. 5th edition. USA:
Lippincott Williams & Wilkins; 936-946
Tripathi, D., et al. 2015. UK guidelines on the management of the variceal haemorrhage in cirrhotic
patients. UK: BMJ Publishing Group; 1-25
Turner, J. R., 2010. The Gastrointestinal Tract dalam Robbins and Cotran Pathologis Basis of Disease. 8th
edition. Philadelphia: Elsevier Saunders Inc; 763-770
Wilkins, T., Khan, N., et al. 2012. Diagnosis and Management of Upper Gastrointestinal Bleeding. Georgia:
Georgia Health Sciences University; 85-5: 469-476
25