Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pencernaan Manusia


Sistem pencernaan atau yang biasa dikenal dengan sistem gastrointestinal
merupakan sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk berfungsi untuk
menyediakan proses mekanis, pencernaan, penyerapan makanan, sekresi air,
asam, enzim, buffer, garam, dan ekskresi produk sisa. Sistem pencernaan terdiri
dari saluran pencernaan dan organ aksesori. Saluran pencernaan dimulai dari
rongga mulut, faring, esofagus, lambung (gaster), usus halus (terdiri dari
duodenum, jejunum, dan ileum), usus besar (yang terdiri atas caecum, colon
ascenden, colon transversum, colon descendens, colon sigmoid), rectum, hingga
anus. Pada orang dewasa, panjang saluran pencernaan dari mulut hingga anus
sekitar 9 meter. Sedangkan organ aksesori terdiri dari gigi, lidah, dan organ
kelenjar seperti kelenjar ludah, hati, kantong empedu, dan pankreas.5-7

2.2 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


2.2.1 Definisi
Pendarahan pada saluran cerna atau gastrointestinal dibagi menjadi dua
kategori besar berdasarkan sumber perdarahannya, yaitu peerdarahan saluran
cerna bagian atas dan perdarahan saluran cerna bagian bawah. Penanda anatomis
yang memisahkan perdarahan atas dan bawah adalah ligamentum Treitz, juga
dikenal sebagai ligamen suspensorium duodenum. Struktur peritoneum ini
menahan fleksura duodenojejunal dari retroperitoneum.8 Oleh karena itu, definisi
dari perdarahan saluran cerna bagian atas yaitu kehilangan darah dari saluran
cerna yang terjadi di proksimal ligamentum Treitz, mulai dari esofagus, gaster,
douoenum, sampai bagian atas dari jejunum.9,10
Manifestasi klinis pada perdarahan yang berasal dari atas ligamentum Treitz
biasanya muncul sebagai hematemesis atau melena sedangkan perdarahan yang
berasal dari bawah paling sering muncul sebagai hematochezia. Hematemesis
adalah regurgitasi darah atau darah yang bercampur dengan isi lambung. Melena
adalah feses berwarna gelap, hitam, dan lembek yang biasanya memiliki bau khas
yang kuat yang disebabkan oleh aktivitas enzim pencernaan dan bakteri usus pada
hemoglobin. Sedangkan hematokezia adalah keluarnya darah merah terang
melalui rektum.8 Manifestasi lain dapat muncul, berupa gejala sekunder, seperti
kehilangan darah, seperti episode sinkop, kelelahan, dan kelemahan. 10 Tingkat
keparahan dari perdarahan saluran cerna bagian atas dapat dinilai dari
hemodinamik pasien dan dan kebutuhan akan transfusi packed red cell.
Perdarahan saluran cerna bagian atas termasuk salah satu kegawatandaruratan
yang banyak ditemukan di rumah sakit seluruh dunia dan merupakan salah satu

indikasi perawatan di rumah sakit dan banyak menimbulkan kematian bila tidak

ditangani dengan baik.11,12

2.2.2 Etiologi
Secara garis besar, penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu variceal dan non-variceal. Etiologi dari
perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering dilaporkan adalah pecahnya
varises esofagus (tersering di Indonesia), perdarahan tukak peptik, gastritis
erosive (terutama akibat konsumsi OAINS), gasropati hipertensi portal, esofagitis,
angiodisplasia, dieulafoy lession (perdarahan pada pelebaran pembuluh darah
yang mengikis melalui epitel gastrointestinal tetapi tidak memiliki ulserasi primer;
bisa di lokasi manapun di sepanjang traktus gastrointestinal), robekan Mallory-
Weiss, lesi Cameron (perdarahan dari ulkus yang terjadi di lokasi hernia hiatus),
fistula aortoenterik, tetrtelan benda asing, perdarahan pasca operasi (perdarahan
pasca-anastomosis, perdarahan pasca polipektomi, perdarahan pasca
sfingterotomi), tumor gastrointestinal, hemobilia (perdarahan dari tractus bilaris),
hemosuccus pankreatikus (perdarahan dari saluran pankreas).8,13,14

2.2.3 Epidemiologi
Jika dibandingkan dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah,
perdarahan saluran cerna bagian atas lebih sering terjadi.8 Insiden perdarahan
saluran cerna bagian atas bervariasi, yaitu sekitar 100-150 kasus per 100.000
penduduk setiap tahun, dengan insiden tertinggi pada laki-laki dan usia tua. 15,16
Mortalitas akibat perdarahan saluran cerna bagian atas berkisar antara 7-14%,
sedangkan mortalitas karena perdarahan ulang mendekati 40%, terutama pada
pasien dengan usia tua. Penyebab perdarahan saluran cerna atas terbanyak di
Indonesia yaitu pecahnya varises esofagus, sedangkan di negara barat penyebab
terbanyak (95%) ialah non-varises dengan sebanyak 50-70% kasus karena
perdarahan ulkus peptikum.12

2.2.4 Faktor Risiko


Penelitian sebelumnya mengidentifikasikan bahwa terdapat beberapa faktor
risiko yang berkaitan dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas.
Faktor risiko tersebut terbagi menjadi 3 golongan besar, yaitu kondisi komorbid
(diabetes, penyakit liver, gagal ginjal kronis, dan GERD), penggunaan obat-
obatan (penggunaan antiplatelet: aspirin, cilostazol, clopidogrel, penggunaan obat
antiinflamasi non steroid, penggunaan steroid, dan antikoagulan termasuk
warfarin, rivaroxaban, dabigatran, apixaban, dan golongan SSRI), dan kebiasaan
pribadi yaitu merokok dan konsmsi alkohol.17
1. Usia
Perdarahan saluran cerna bagian atas sering terjadi pada orang dewasa dan
terdapat peningkatan risiko kejadian pada usia >60 tahun. Penelitian yang
dilakukan oleh Colin et al. di University of Nottingham di Nottingham City
Hospital tahun 2011, kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak

yaitu pada kelompok usia >65 tahun. Hal ini juga serupa dengan yang dilaporkan
oleh Mc Closkey et al. di University of Glasgow Crosshouse Hospital UK tahun
2011, bahwa penyebab akibat non-varises lebih sering ditemukan pada kelompok
usia >65 tahun.12

2. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menyatakan bahwa risiko perdarahan saluran cerna
lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.16,17 Penelitian
Wasse et al di Amerika tahun 2003 dari 5.576 laki-laki, 367 (6,58%) mengalami
perdarahan saluran cerna dan dari 5.266 perempuan 331 orang (6,29%)
mengalami perdarahan saluran cerna. Penelitian Sotoudehmanesh et al di Iran
tahun 2002 dari 124 laki-laki dan 82 perempuan dengan menggunakan analisis
regresi multivariate didapatkan bahwa pasien laki-laki 2,24 kali lebih banyak
mengalami perdarahan saluran cerna daripada perempuan.19

3. Penggunaan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS)


NSAID secara ireversibel menghambat siklooksigenase 1 yang terkait dengan
penurunan kadar prostaglandin mukosa pelindung yang menginduksi ulserasi
lambung dan usus. Tingkat perdarahan saluran cerna yang dilaporkan pada pasien
yang menerima NSAID berkisar antara 2,4% hingga 12% meskipun risikonya
mungkin lebih tinggi jika pasien juga mengonsumsi alkohol. Pada saluran cerna
bagian atas, efek NSAID dikurangi dengan penggunaan PPI secara bersamaan.
Namun pada PPI saluran cerna bagian bawah mungkin tidak efektif dan beberapa
penelitian menunjukkan bahwa PPI meningkatkan perdarahan.20

4. Penggunaan obat-obat antiplatelet


Insiden GIB pada pasien yang menggunakan aspirin dosis rendah adalah
sekitar 0,97/1000 orang-tahun untuk perdarahan saluran cerna atas dan 1,68 untuk
perdarahan saluran cerna bawah.21 Sebuah tinjauan sistematis dari 11 uji coba
terkontrol secara acak (RCT) membandingkan pasien yang menerima aspirin dosis
rendah dengan kontrol menemukan bahwa aspirin meningkatkan risiko GIB
sekitar 60%.22 Aspirin mengganggu produksi prostaglandin, yang membuat
mukosa lambung lebih rentan terhadap cedera dengan menghambat sekresi lendir
dan mengurangi produksi bikarbonat. Aspirin juga dapat menyebabkan
peradangan mukosa dan ulserasi di usus kecil, dan studi database berbasis
populasi menunjukkan hal itu meningkatkan risiko terjadinya perdarahan kolon.
Clopidogrel juga dikaitkan dengan terjadinya perdarahan saluran cerna, meskipun
risikonya mungkin lebih rendah daripada aspirin. Terapi antiplatelet ganda
(DAPT) meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna lebih lanjut.20

5. Merokok
Meskipun tidak secara langsung menimbulkan terjadinya perdarahan saluran
cerna, merokok diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya ulkus duodenum,
ulkus gaster maupun keduanya. Merokok menghambat proses penyembuhan
ulkus, memicu kekambuhan, dan meningkatkan risiko komplikasi.23

6. Alkohol
Konsumsi alkohol merupakan salah satu faktor risiko terkenal untuk perdarahan
saluran cerna yang terkait dengan hipertensi portal dan sirosis. Namun,
hubungannya dengan etiologi lain dari perdarahan saluran cerna utama kurang
jelas. Sebagian besar penelitian tentang perdarahan non-varises berfokus pada
ulkus peptikum. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa konsumsi alkohol >15
g/hari (sekitar 1 gelas atau lebih) dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan
saluran cerna bagian atas, terutama sekunder akibat tukak lambung.24

7. Diabetes Mellitus
Beberapa penelitian menyatakan bahwa diabetes mellitus merupakan penyakit
komorbid yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya

perdarahan saluran cerna. Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan


mekanisme pasti yang terjadi pada perdarahan saluran cerna bagian atas yang
disebabkan oleh diabetes mellitus.25

8. Chronic Kidney Disease


Pasien dengan gagal ginjal kronis telah dilaporkan memiliki tingkat
perdarahan saluran cerna yang lebih tinggi akibat penyakit ulkus peptikum dan
angiodisplasia dibandingkan dengan populasi umum. Dalam sebuah penelitian
yang mengevaluasi pasien anemia dengan gagal ginjal kronis non-dialisis tahap 3-
5, 52,9% ditemukan memiliki sumber perdarahan saluran cerna pada endoskopi
atas dan bawah. Lesi lambung ditemukan lebih sering pada pasien dengan gagal
ginjal kronis stadium 5 dibandingkan dengan stadium 3-4.26

2.2.5 Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


2.2.5.1 Perdarahan Nonvariceal
Perdarahan nonvarises paling sering muncul dari komplikasi yang
berhubungan dengan asam lambung, baik penyakit ulkus peptikum kronis atau
penyakit mukosa yang berhubungan dengan stres. Perdarahan saluran cerna
bagian atas akut yang berasal dari ulkus peptikum kronis biasanya berkembang di
luar pengaturan rumah sakit, sedangkan penyakit mukosa yang berhubungan
dengan stres lebih mungkin terjadi pada pasien sakit kritis selama masuk rumah
sakit. Ketidakseimbangan antara asam lambung dan sekresi pepsin dan
mekanisme pertahanan mukosa adalah patofisiologi bersama yang menyebabkan
perdarahan saluran cerna bagian atas pada ulkus peptikum dan penyakit mukosa
yang berhubungan dengan stres kronis. Dalam kondisi fisiologis normal,
mekanisme pertahanan dan perbaikan mukosa seperti sekresi mukus dan
bikarbonat, produksi prostaglandin endogen, dan aliran darah mukosa melindungi
mukosa gastroduodenal dari kerusakan oleh asam lambung dan pepsin. Lesi
mukosa akibat ulkus peptikum kronis biasanya disebabkan oleh infeksi
Helicobacter pylori atau obat anti inflamasi nonsteroid. Sedangkan H.pylori
mendegradasi mukosa lambung melalui enzim bakteri dan peradangan lambung
langsung, obat antiinflamasi nonsteroid menyebabkan iritasi langsung pada
mukosa gastrointestinal dan menghambat sintesis prostaglandin. Sebaliknya,
penyakit mukosa yang berhubungan dengan stres berkembang dalam pengaturan
mekanisme pertahanan dan perbaikan yang berkurang dari respons stres yang luar
biasa selama penyakit kritis dan iskemia mukosa.27-29

2.2.5.2 Perdarahan Variceal


Sirosis yang berasal dari keracunan, kondisi autoimun, alkoholisme kronis,
penyakit hati berlemak nonalkohol, atau hepatitis kronis menyebabkan
penumpukan bertahap jaringan parut di hati. Perubahan fibrotik ini mengubah
struktur hepar, menyebabkan peningkatan resistensi aliran portal dan
perkembangan selanjutnya dari varises untuk dekompresi vena portal. Namun,
seiring berkembangnya sirkulasi kolateral portosistemik, terjadi vasodilatasi
splanknik dan peningkatan curah jantung, memperburuk hipertensi portal. Lapisan
jaringan tertipis dari semua varises ditemukan di persimpangan gastroesofageal,
membuat area ini lebih rentan terhadap ruptur. Perdarahan menjadi lebih mungkin
karena tekanan, aliran, dan ukuran varises terus meningkat.27,30

2.2.6 Manifestasi Perdarahan


Gejala perdarahan pada saluran cerna bagian atas dibagi menjadi dua
macam macam yaitu hematemesis dan melena. Hematemesis adalah perdarahan
saluran cerna bagian atas atau proksimal dari ligamen Trietz yang ditandai dengan
muntah darah segar atau berwarna coklat tua. Melena mengacu pada feses
berwarna kehitaman dan berbau khas yang menunjukkan adanya perdarahan pada
saluran cerna bagian atas dan berlangsung sekitar 14 jam. Hematochezia adalah
perdarahan melalui anus yang ditandai dengan feses berwarna merah terang atau
merah marun, biasanya merupakan cerminan dari perdarahan saluran cerna bagian
bawah.10,31,32

2.2.7 Diagnosis
Pada anamnesis, penting untuk digali adanya keluhan nyeri abdomen;
emesis seperti bubuk kopi, disfagia, tinja berwarna hitam dan lembek, darah
merah cerah per rektum, hematemesis; dan nyeri dada. Penggunaan obat juga
harus ditanyakan, terutama penggunaan sebelumnya dari clopidogrel, warfarin,
NSAID, aspirin, golongan inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI), dan
kortikosteroid karena obat ini meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna
bagian atas. SSRI menghambat agregasi trombosit, dan penggunaan NSAID atau
aspirin bersamaan dengan SSRI lebih lanjut meningkatkan risiko perdarahan
saluran cerna bagian atas. Selain itu, harus harus dipastikan adanya riwayat
perdarahan ulkus peptikum atau pembedahan, episode perdarahan saluran cerna
bagian atas sebelumnya, dan alkohol atau penggunaan obat-obatan terlarang.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan termasuk operasi abdomen sebelumnya,
diabetes mellitus, penyakit arteri koroner, penyakit ginjal atau hati kronis, atau
penyakit paru obstruktif kronik. Nilai tekanan darah dan nadi dapat normal.
Namun, jika perdarahan parah, pasien mungkin mengalami hipotensi atau
takikardi, atau mungkin menunjukkan hipotensi ortostatik. Pemeriksaan fisik
harus menilai adanya guarding, rebound tenderness, bekas luka operasi
sebelumnya, dan gejala sisa penyakit hati kronis. Pemeriksaan rektal harus
dilakukan dan warna tinja dinilai (misalnya, untuk melena atau darah merah
terang). Spesimen tinja harus dikumpulkan untuk dilakukan pemeriksaan darah
tersamar.33,34
Tes laboratorium awal meliputi pemeriksaan hemoglobin, hematokrit,
nitrogen urea darah, dan kreatinin, jumlah trombosit, waktu protrombin dan
tromboplastin parsia, tes fungsi hati, dan crossmatch. Pasien dengan perdarahan
aktif dan koagulopati harus dipertimbangkan untuk transfusi dengan fresh frozen
plasma, dan pada trombositopenia harus dipertimbangkan untuk transfusi dengan
trombosit. Transfusi darah umumnya harus diberikan kepada mereka yang
memiliki kadar hemoglobin 7 g per dL ( 70 g per L) atau kurang; kadar
hemoglobin harus dipertahankan pada 9 g per dL (90 g per L).33
Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas, harus dilakukan
endoskopi (EGD) untuk mengidentifikasi penyebab dan kemungkinan mengobati
sumber perdarahan. Berbagai penelitian telah mencoba mengidentifikasi waktu
terbaik untuk melakukan endoskopi, namun sampai saat ini, tidak ada bukti bahwa
EGD emergensi lebih baik daripada EGD rutin (dilakukan dalam 24 hingga 48
jam). American College of Gastroenterology merekomendasikan bahwa semua
pasien dengan perdarahan saluran cerna atas harus menjalani endoskopi dalam
waktu 24 jam setelah masuk, setelah dilakukan upaya resusitasi untuk
mengoptimalkan parameter hemodinamik dan masalah medis lainnya. Sesuai
rekomendasi American College of Gastroenterology, endoskopi dalam waktu 12
jam harus dipertimbangkan untuk semua pasien dengan gambaran klinis risiko
tinggi (misalnya, takikardia, hipotensi, emesis berdarah atau aspirasi nasogastrik
di rumah sakit) untuk berpotensi meningkatkan hasil klinis.10
Terdapat beberapa sistem penilaian yang dirancang untuk memprediksi
pasien yang mungkin memerlukan intervensi dan juga untuk memprediksi
perdarahan ulang dan kematian. Salah satunya adalah skor Rockall, yang
dirancang untuk memprediksi perdarahan ulang dan kematian dan mencakup usia,
komorbiditas, adanya syok, dan stigmata endoskopi. Rockall pra-endoskopi juga
tersedia dan dapat digunakan untuk stratifikasi risiko pasien untuk perdarahan
ulang dan kematian bahkan sebelum evaluasi endoskopi. Pasien dengan dua atau
lebih sedikit poin dianggap berisiko rendah dan memiliki kemungkinan 4,3%
perdarahan ulang dan 0,1% kematian. Sebaliknya, pasien dengan skor enam atau
lebih memiliki tingkat perdarahan ulang 15% dan kematian 39%.10,35,36
Sistem penilaian lain yang secara tradisional digunakan perdarahan saluran
cerna atas adalah skor Blatchford. Sistem penilaian ini dirancang untuk
memprediksi kebutuhan intervensi. Ini termasuk kadar hemoglobin, tekanan
darah, presentasi sinkop, melena, penyakit hati, dan gagal jantung. Skor enam atau
lebih tinggi dikaitkan dengan risiko lebih besar dari 50% untuk membutuhkan
intervensi.10,37

Tabel 1. Skor Rockall38


Tabel 2. Skor Blatchford38

2.2.8 Tatalaksana
Tatalaksana perdarahan saluran cerna secara umum terdiri dari, penilaian
hemodinamik disertai resusitasi cairan dan stabilisasi hemodinamik, penilaian
onset dan derajat perdarahan, usaha menghentikan perdarahan secara umum,
usaha identifikasi lokasi sumber perdarahan dengan modalitas sara penunjang
yang tersedia, mengatasi sumber perdarahan secara definitive, minimalisasi
komplikasi yang dapat terjadi, upaya pencegahan terjadinya perdarahan ulang
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.38

2.2.8.1 Tatalaksana Awal


Langkah paling awal yang harus segera dilakukan adalah penilaian status
hemodinamik dan resusitasi. Dilakukan dengan pemberian cairan intravena
pemberian oksigen, koreksi koagulopati, dan transfusi darah bila dibutuhkan,
dengan batas transfusi darah adalah jika Hb ≤7,0 g/dL, atau lebih tinggi apabila
perdarahan masih berlanjut atau perdarahan masif atau adanya komorbid seperti

penyakit jantung koroner, hemodinamik tidak stabil, dan lanjut usia. Hemoglobin
minimal untuk endoskopi adalah 8 g/dL, namun jika akan dilakukan terapi
endoskopi, hemoglobin minimal 10 g/dL dan hemodinamik stabil.9,39
Pemasangan nasogastric tube (NGT) dilakukan pada perdarahan yang
diduga masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT
bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai perdarahan sehingga
tidak diperlukan pada semua pasien dengan perdarahan.9,38
Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan (Rekomendasi 1B)
untuk pasien dengan perdarahan saluran cerna atas non varises, seperti pada ulkus
peptikum. Suasana lingkungan asam menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya lisis pada bekuan
yang telah terbentuk. Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi asam
lambung intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah. Pada jangka
panjang, terapi antisekretorik juga mendukung penyembuhan mukosa. Bila
endoskopi akan ditunda dan tidak dapat dilaksanakan, PPI intravena
direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lanjut. Asam Tranexamat tidak
direkomendasikan, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat
manfaat pada perdarahan akibat varises. Pemberian antibiotik seperti golongan
sefalosforin generasi ketiga dapat mengurangi infeksi dan mortalitas pasien
dengan perdarahan saluran cerna bagian atas.9,38,40
2.2.8.2 Tatalaksana Endoskopi
Endoskopi direkomendasikan dalam ≤24 jam. Pada pasien risiko tinggi
seperti instabilitas hemodinamik (takikardia, hipotensi) yang menetap setelah
resusitasi atau muntah darah segar, aspirat darah segar pada selang nasogastrik,

endoskopi dilakukan very early dalam ≤12 jam. Di sisi lain, endoskopi early
meningkatkan risiko desaturasi terutama bila dilakukan sebelum resusitasi dan
stabilisasi Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan pendarahan aktif
dan mencegah perdarahan ulang. Metode terapinya meliputi contact thermal
(monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe), noncontact thermal
(laser), dan non-thermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol,
cyanoacrylate, atau pemakaian klip).38 ACG merekomendasikan terapi endoskopi
untuk perdarahan aktif memancar atau merembes atau pembuluh darah visibel
tanpa perdarahan. Pada bekuan yang resisten dengan irigasi (bekuan adheren),
terapi endoskopi dapat dipertimbangkan terutama pada pasien risiko tinggi
perdarahan ulang. Terapi endoskopi tidak direkomendasikan untuk ulkus dengan
dasar bersih atau bintik pigmentasi.9,11
Pada perdarahan variceal, teknik yang dilakukan meliputi endoscopic
variceal ligation (EVL) atau endoscopic sclerotherapy (ES). Tingkat keberhasilan
mencapai 90%. Hasil meta analisis menunjukan EVL lebih baik dalam mencegah
perdarahan berulang, striktur dan mortalitas. Ballon tamponade sangat efektif
untuk mentabilkan hemostasis pada perdarahan varises akut, namun meningkatkan
angka perdarahan ulang dan komplikasi. Tindakan pembedahan pada perdarahan
varises meliputi dekompresi sirkulasi porta (emergency surgical shunt operation)
dan transeksi esofagus.38
2.3 Kerangka Teori
2.4 Kerangka Konsep
DAFTAR PUSTAKA

1. AYANG
2. ANIL
3. UDI
4. JANGAN BERHENTI SAYANG NOE YA
5. Widowati H, Rinata E. Buku ajar anatomi. Sidoarjo: Umsida; 2017. h. 81-
94
6. Ogobuiro I, Gonzales J, Tuma F. Physiology, gastrointestinal [homepage
on the internet] In : Statpearls. Treassure Island (FL). [cited 17 July 2022].
Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537103/
7. Chalik R. Anatomi fisiologi manusia. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan;
2016. h. 183-2013.
8. DiGregorio AM, Alvey H. Gastrointestinal Bleeding. [homepage on the
internet]. In: StatPearls. Treasure Island (FL). [cited 18 July 2022].
Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537291/
9. Nugraha DA. Diagnosis dan tatalaksana perdarahan saluran cerna bagian
atas non-variseal. CDK 2017; 44(5): 323-27.
10. Antunes C, Copelin II EL. Upper gastrointestinal bleeding. [homepage on
the internet] In : Statpearls. Treassure Island (FL). [cited 19 July 2022].
Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470300/
11. Kamboj AK, Hoversten P, Leggett CL. Upper gastrointestinal bleeding :
etiologies and management. Mayo Clin Proc 2019; 94(4): 697-703.
12. Effendi J, Walelemh BJ, Sugeng C. Profil pasien perdarahan saluran cerna
bagian atas yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado periode
2013-2015. Jurnal e-Clinic 2016; 4(2).
13. Pongprasobchai S, Nimitvilai S, Chasawat J, Manatsathit S. Upper
gastrointestinal bleeding etiology score for predicting variceal and non-
variceal bleeding. World J Gastroenterol 2013; 15(9)
14. Sutjahjo A. Dasar-dasar ilmu penyakit dalam. Surabaya: Airlangga
University Press; 2016. h. 114-6
15. Nelms DW, Pelaez CA. The acute upper gastrointestinal bleed. Surg Clin
N Am 2018;
16. Feinman M, Haut ER. Upper gastrointestinal bleeding. Surg Clin N Am
2014; 94
17. Kim SH, et al. Prevalence of upper gastrointestinal bleeding risk factors
among the general population and osteoarthritis patients. World J
Gastroenterol 2016; 22(48)
18. Lau JY, Sung J, Hill C, Henderson C, Howden CW, Metz DC. Systematic
review of the epidemiology of complicated peptic ulcer disease: incidence,
recurrence, risk factors and mortality. Digestion. 2011;84:102–113.
19. Tyas A, Miro S, Asyari A. Gambaran kejadian perdarahan saluran cerna
pada pasien penyakit ginjal kronik di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas 2020; 9(1).
20. Oakland K. Changing epidemiology and etiology of upper and lower
gastrointestinal bleeding. Best Practice and Research Clinical
Gastroenterology 2019.
21. Cea Soriano L, Lanas A, Soriano-Gabarro M, Garcia Rodriguez LA.
Incidence of upper and lower gastrointestinal bleeding in new users of
low-dose aspirin. Clin Gastroenterol Hepatol : Off Clin Pract J Am
Gastroenterol Assoc 2018.
22. Elwood PC, Morgan G, Galante J, Chia JW, Dolwani S, Graziano JM, et
al. Systematic review and meta-analysis of randomised trials to ascertain
fatal gastrointestinal bleeding events attributable to preventive low-dose
aspirin: No evidence of increased risk. PLoS One 2016;11. e0166166.
23. Langsted A, Nordestgaard BG. Smoking is associated with increased risk
of major bleeding: a prospective cohort study. Thrombosis and
Haemostasis 2018. 119(1)
24. Strate LL, et al. A propective study of alcohol consumption and smoking
and the risk of major gastrointestinal bleeding in men. PLoS One 2016;
11(11)
25. Kisioglu SV, et al. Gastrointestinal bleeding risk factors in patients with
type 2 diabetes mellitus. Journal of The College of Physicians and
Surgeons Pakistan 2022; 32(1): 15-19
26. Muftah M, Mulki R, Dhere T, Keilin S, Chawla S. Diagnostic and
therapeutic considerations for obscure gastrointestinal bleeding in patients
with chronic kidney disease. Ann Gastroenterol 2019; 32(2)
27. Gibson W, Scaturo N, Allen C. Acute management of upper
gastrointestinal bleeding. AACN Advanced Critical Care 2018; 29(4):
369-376.
28. Kim BSM, et al. Diagnosis of gastrointestinal bleeding: a practical guide
for clinicians. World J Gastrointest Pathophysiol 2014; 5(4): 467-478
29. Lanas A, et al. Non-variceal upper gastrointestinal bleeding. Nature
Review Disease Primer 2018; 4
30. Ibrahim M, Mostafa I, Deviere J. New developments in managing variceal
bleeding. Gastroenterology 2018; 154.
31. Dubey SRK, et al. Clinico-etiological pattern of upper gastrointestinal
bleeding in children. International Journal of Contemporary Children
2017; 4(1): 132-135.
32. Sanda A, Mutmainnah, Samad IA. Analysis of blood urea
nitrogen/creatinine ratio to predict the gastrointestinal bleeding tract site.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory 2017;
24(1): 86-90.
33. Wilkins T, et al. Diagnosis and Management of upper gastrointestinal
bleeding. Am Fam Physician 2012; 85(5): 469-76.
34. Hreinsson JP, Kalaitzakis E, Gudmundsson S, Bjornsson ES. Upper
gastrointestinal bleeding: incidence, etiology, and outcomes in a
population-based setting. Scandinavian Journal of Gastroenterology 2013;
48: 439-447.
35. Cieniawski D, et al. Prognostic value of the Rockall score in patients with
acute non variceal bleeding from the upper gastrointestinal tract. Przegl
Lek 2013; 70(1):1-5
36. Bozkurt MA, et al. The importance of rockall scoring system for upper
gastrointestinal bleeding in long-term follow-up. Indian J Sung 2016.
37. The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on
management of non-variceal upper gastrointestinal tract bleeding in
Indonesia. Indones J Intern Med 2014; 46(2).
38. Yusuf F. Managemen of upper gastrointestinal bleeding in daily practice.
Aceh: Proceeding; 2018.
39. Putra H, Jurnalis YD, Sayoeti Y. Tatalaksana medikamentosa pada
penyakit saluran cerna. Jurnal Kesehatan Andalas 2019; 8(2).
40. Stanley AJ, Laine L. Management of acute upper gastrointestinal
bleeding. BMJ 2019.

Anda mungkin juga menyukai