PENDAHULUAN
Sindrom Mallory Weiss adalah suatu kondisi klinis dimana terjadi laserasi
pada mukosa longitudinal pada distal esophagus dan proksimal lambung, yang
pertama kali didefinisikan pada tahun 1929 sebagai sindroma perdarahan saluran
gastrointestinal bagian atas dengan manifestasi mual dan muntah oleh G. Kenneth
Mallory dan Soma Weiss pada 15 pasien alkoholik.3
1
Sindrom Mallory Weiss adalah laserasi linier pada mukosa perbatasan
esofagus dan lambung. Hal ini biasanya terjadi karena muntah hebat berlangsung
lama. Pada pemeriksaan endoskopi akan ditemukan kemerahan pada mukosa
esofagus bagian bawah daerah gastroesophageal junction yang kemudian sering
disebut sebagai Mallory Weiss Tear. Dalam waktu singkat akan sembuh. Bila
anemia terjadi oleh karena perdarahan yang hebat perlu dilakukan transfusi
darah.4
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Etiologi perdarahan, lebih sering pada perdarahan variseal dan jarang pada
lesi mukosal kecil seperti robekan Mallory Weiss. Perdarahan ulkus peptikum
merupakan penyebab tersering perdarahan SCBA berkisar 31 – 67 % dari semua
3
kasus, diikuti oleh gastritis erosif, perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan
robekan. Di Indonesia 70% penyebab perdarahan SCBA adalah karena varises
esofagus yang pecah. Namun demikian, diperkirakan oleh karena semakin
meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya
populasi perdarahan oleh karena ulkus peptikum akan meningkat.7
2.3 Etiologi
4
Gambar 1. Perdarahan pada Sindrom Mallory Weiss
5
Muntah pada bayi dan anak merupakan gejala yang sering ditemukan dan
sering kali merupakan gejala awal dari penyakit infeksi didalam atau luar
gastrointestinal, dan kelainan anatomi gastrointestinal. Penatalaksanan ditujukan
pada penyebab muntah. Penggunaan obat antiemetik hanya untuk gangguan
fungsional gastrointestinal dan merupakan kontraindikasi pada kelainan mekanik
gastrointestinal. Sifat dan ciri muntah akan sangat membantu untuk mengetahui
penyebab mutah misalnya bahan muntahan yang berwarna merah atau kehitaman
(coffee ground vomiting) menunjukan adanya lesi di mukosa lambung. Muntah
yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan robekan pada mukosa daerah sfingter
bagian bawah esofagus yang menyebabkan mutah berwarna merah kehitaman
(Mallory Weiss syndrome).9
2.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati
kronis, riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik,
alkohol, jamu-jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat stroke. Kemudian
ditanya riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan
ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya hematemesis
sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.10
6
1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar
2. Riwayat perdarahan sebelumnya
3. Riwayat perdarahan dalam keluarga
4. Ada tidaknya perdarahan dibagian tubuh lain
5. Penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi nonsteroid dan
antikoagulan
6. Kebiasaan minum alkohol
7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronis, demam berdarah,
demam tifoid, DM, hipertensi, dan alergi obat-obatan.
8. Riwayat transfusi sebelumnya.10
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan awal perdarahan saluran cerna:
Adanya stigmata penyakit hati kronik, suhu badan dan perdarahan di
tempat lain, tanda – tanda langkah awal menentukan beratnya perdarahan
dengan memfokuskan status hemodinamiknya. Pemeriksaan meliputi:10
Tekanan darah dan nadi posisi baring
Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
Ada tidaknya vasokonstriksi perifer ( akral dingin )
Kelayakan nafas
Tingkat kesadaran
Produksi urin.
Hipotensi (tekanan darah < 90/60 mmHg , frekuensi nadi > 100x/menit)
Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20
mmHg
Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit
7
Akral dingin
Kesadaran menurun
Anuria atau oliguria
c. Pemeriksaan penunjang
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan:10
1. Elektrokardiagram (terutama pasien berusia > 40 tahun)
2. BUN, kreatinin serum
3. Elektrolit (Na, K, Cl)
4. Pemeriksaan lainnya :
a) Endoskopi
8
Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan
gold standard. Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat
dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera
(bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 -
24 jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil. Tidak
ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan
darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-
pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat
ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya.10
Lokasi dan sumber perdarahan:
Esofagus :Varises, erosi, ulkus, tumor
Gaster: Erosi, ulkus, Mallory Weiss, tumor, polip, angiodisplasia,
varises, gastropati kongestif.
Duodenum :Ulkus, erosi, tumor, divertikulitis.
b) Angiography
Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan
menatalaksana perdarahan berat, khususnya ketika penyebab
perdarahan tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi
atas maupun bawah.10
c) Conventional Radiographic Imaging
9
Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu
dibutuhkan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi
adakalanya dapat memberikan beberapa informasi penting. Misalnya
pada CT scan; CT Scan dapat mengidentifikasi adanya lesi massa,
seperti tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang
mungkin dapat menjadi sumber perdarahan.10
Tabel 1. Perbedaan perdarahan SCBA dan SCBB
2.7 Penatalaksanaan
10
Adapun penatalaksaan pada kasus Sindrom Mallory Weiss adalah sebagai
berikut:11
11
kasusyang dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup 20-25%, usia
lanjut 30%, sedangkan pada hipertensi portal jangan melebihi 27-28%.11
12
3 sampai 6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus
0,1-0,5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan efek samping serius
berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu pemberiannya
disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena
dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan
sampai maksimal 400mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan
sistolik di atas 90 mmHg.11
d) Somatostatin dan analognya (octreotid)
Somatostatin dan analognya (octreotid) diketahui dapat menurunkan
aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif dibanding dengan
vasopressin. Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus
dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin dapat menghentikan
perdarahan akut varises esofagus pada 70-80% kasus, dan dapat pula
digunakan pada perdarahan non varises. Dosis pemberian somastatin,
diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam
selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti, octreotid dosis bolus
100 mcg intravena dilanjutkan perinfus 25 mcg/jam selama 8-24 jam
atau sampai perdarahan berhenti.11
e) Obat-obatan golongan antisekresi asam
Obat-obatan golongan antisekresi asam yang dilaporkan bermanfaat
untuk mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik ialah
inhibitor proton dosis tinggi. Diawali oleh bolus omeprazole 80 mg/iv
kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/KGBB/jam selama 72 jam,
perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi
omeprazole hanya 4,2%. Suntikan omeprazole yang beredar di Indonesia
hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus ialah
persediaan esomeprazole dan pantoprazole dengan dosis sama seperti
omeprazole. Pada perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat, dan
antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA karena
tukak peptik kurang bermanfaat.11
f) Balon tamponade
13
Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises
esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah sengstaken
blakemore tube (SB-tube) yang mempunyai 3 pipa serta 2 balon masing-
masing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi pemasangan SB-tube
yang bisa berakibat fatal ialah pneumonia aspirasi, laserasi sampai
perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam.
Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang
berpengalaman dan ditidaklanjuti dengan observasi yang ketat.11
2) Endoskopis
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif
atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya
meliputi:12
1) Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater
probe).
2) Noncontact thermal (laser 3). Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin,
polidokanol, alkohol, cyanoacrylate, atau pemakain klip).
14
akibat nekrosis jaringan dilokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi
endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa mencapai di atas 95% dan
tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-
20%.12
c. Terapi Radiologi
d. Terapi Pembedahan
15
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan
radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk
tim multi disipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan
waktu yang tepat kapan tindakan bedah baiknya dilakukan.11
2.8 Prognosis
Prognosis dari sindrom Mallory Weiss umumnya baik. Perdarahan dari lesi
ini berhenti secara spontan pada 80-90% pasien. Dengan terapi konservatif,
sebagian perdarahan sembuh secara spontan dalam waktu 48-72 jam. Dengan
demikian, sindrom Mallory Weiss dapat dengan mudah terlewatkan jika
endoskopi tertunda. Angka kematian pada sindrom Mallory Weiss adalah sama
dengan pasien ulkus peptikum. Kematian sering disebabkan karena syok
hipovolemik akibat kehilangan banyak darah. Kekambuhan lesi ini jarang
terjadi.13
16
BAB III
PENUTUP
17
DAFTAR PUSTAKA
18
11. Suraatmaja, 2008. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. FK UNUD RS
Sanglah, Denpasar Bali.
12. Hwang et al, 2013. The Role of Endoscopy in the Management of Acute Non-
Variceal Upper GI Bleeding. American Society for Gastrointestinal
Endoscopy. Doi:10.1016/j.gie.2012.02.033.
13. Louis, Michel, Wong, 2015. Mallory Weiss Tear Syndrome.
http://emedicine.medscape.com/article/187134-overview#a1/ (Accessed 30
November 2015).
19
REFERAT DESEMBER 2015
20