Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1.Latar Belakang
Saluran pencernaan merupakan suatu saluran kontinu yang berjalan dari mulut
sampai anus. Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk memindahkan zat gizi atau
nutrient seperti air dan elektrolit dari makanan yang dimakan ke dalam lingkungan
internal tubuh.
Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapi.
Manifestasinya bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang mengancam jiwa
hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan. Pendekatan pada pasien dengan
perdarahan dan lokasi perdarahan saluran cerna adalah dengan menentukan beratnya
perdarahan dan lokasi perdarahan. Perdarahan saluran cerna dapat menyerang semua
orang dan semua golongan.
Perdarahan saluran pencernaan akut merupakan masalah kegawatan medis dengan
jumlah penderita yang masuk rumah sakit 7000 orang per tahun di Skotlandia.
Berdasarkan laporan penelitian di Inggris tahun 2007, angka mortalitas akibat
perdarahan saluran pencernaan akut mencapai tujuh persen. Sedangkan insidensi
kejadian perdarahan saluran pencernaan akut di Skotlandia Barat mencapai
170/100.000 penduduk dengan angka mortalitas 8,2% (SIGN, 2008).
Perdarahan saluran cerna dapat dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan saluran
cerna bagian atas dan perdarahan saluran cerna bagian bawah. Perdarahan saluran
cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi di saluran cerna yang dimulai dari
mulut hingga ke 2/3 bagian dari duodenum atau perdarahan saluran cerna proksimal
dari ligamentum Treitz. Perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan masalah
kegawatan dengan angka mortalitas di rumah sakit sebesar 10%. Walaupun sudah ada
perbaikan manajemen penanganan perdarahan saluran cerna bagian atas, akan tetapi
belum mampu menurunkan angka mortalitas secara signifikan sejak 50 tahun yang
lalu (National Institute for Health and Clinical Execellence, 2012).
Perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah perdarahan yang berasal dari usus
di sebelah distal ligamentum Treitz. Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian
bawah datang dengan keluhan darah segar sewaktu buang air besar. Hampir 80%
dalam keadaan akut berhenti dengan sendirinya dan tidak berpengaruh pada tekanan
darah. Hanya 25% pasien dengan perdarahan berat dan berkelanjutan berdampak pada
tekanan darah (Edelman, 2007).
Angka kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah di Amerika Serikat
mencapai 22 kasus per 100.000 penduduk dewasa pada tahun 2007. Walaupun sudah
berkembang pemeriksaan diagnostik yang canggih, namun 10% dari jumlah kasus
perdarahan saluran cerna bagian bawah, lokasi perdarahan tidak bisa teridentifikasi
(Edelman, 2007).
Pengobatan dan perawatan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna
seharusnya memperhatikan kebutuhan pasien, hal yang disukai pasien, serta
memperhatikan aspek spiritual dan kepercayaan pasien. Komunikasi yang baik dan
efektif antara pasien dan petugas kesehatan mutlak diperlukan. Selain itu pelayanan
keperawatan yang diberikan harus mengacu pada aspek biopsikososiokultural dan
spiritual pasien (National Institute for Health and Clinical Execellence, 2012).
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penulis tertarik menulis makalah asuhan
keperawatan pada klien dengan perdarahan saluran pencernaan.

1. 2.Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien perdarahan saluran cerna atau
gastrointestinal?

1. 3.Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan asuhan keperawatan
pada pasien dengan perdarahan saluran pencernaan.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah :
a. Menjelaskan definisi perdarahan saluran cerna bagian atas dan bawah.
b. Menjelaskan etiologi perdarahan saluran cerna bagian atas dan bawah.
c. Menjelaskan patofisiologi perdarahan saluran cerna bagian atas dan bawah.
d. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan perdarahan saluran
pencernaan.

1. 4. Manfaat
1.4.1. Bagi penulis
Menambah wawasan tentang asuhan keperawatan pada pasien perdarahan
saluran cerna atau gastrointestinal
1.4.2. Bagi pembaca
Menambah ilmu dan pengetahuan pembaca tentang asuhan keperawatan pada
pasien perdarahan saluran cerna atau gastrointestinal

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1. KONSEP PERDARAHAN SALURAN PENCERNAAN BAGIAN ATAS


2.1.1. Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang
terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian
besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus
peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh H. Pylori, penggunaan
obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS), alkohol. Robekan Mallory-Weiss,
varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran cerna
bagian atas yang jarang (Dubey, 2008).
Perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan perdarahan yang bersumber
dari proksimal sampai ligamentum Treitz. Pada kasus, perdarahan biasanya
bersumber dari esophagus, gaster, dan duodenum (SIGN, 2008).

2.1.2. Etiologi
Secara umum penyebab perdarahan saluran cerna dibagi menjadi dua, yaitu
penyebab mayor dan minor. Penyebab mayor perdarahan saluran pencernaan bagian
atas adalah (Cappell, 2008) :
a. Peptic ulcer
Tukak ini berkaitan dengan infeksi H. Pylori (80%) dan bisa juga dengan
aspirin/OAINS. Tukak peptik dapat di lambung, duodenum, esofagus, dan
diverticulum Meckel, dan hebat tidaknya perdarahan tergantung dari kaliber
pembuluh darah yang terluka. Forrest membagi aktivitas perdarahan ulkus peptikum
sebagai berikut :
Tipe Tipe perdarahan Gambaran pada endoskopi
Forrest 1a Aktif Perdarahan memancar
Forrest 1b Aktif Perdarahan merembes
Forrest 2a Tidak aktif Pembuluh darah terlihat pada dasar ulkus
Forrest 2b Tidak aktif Tukak ditutupi bekuan darah
Forrest 2c Tidak aktif Tukak tertutup bekuan merah/biru tua
Forrest 3 Tidak aktif Tukak dengan dasar yang bersih
Tabel 2.1. Klasifikasi Forrest perdarahan ulkus peptikum (Hadzibulic, 2007)
Keterangan : Tipe 1a, 1b, 2a, 2b, pada terapi dengan endoskopi, risiko
perdarahan ulang 43-55%. Tipe 2c, 3 tidak perlu terapi endoskopi, risiko
perdarahan ulang 5-10%.
b. Varises esophagus dan gaster
Perdarahan saluran cerna bagian atas karena varises terjadi pada 25-30 %
pasien sirosis hati, dengan angka kematian dari tahun 1971 sampai 1981

3
diberbagai penelitian di Indonesia 30-60 %. Harapan hidup selama 1 tahun
sesudah perdarahan pertama sekitar 32-80%.
Varices esofagus dan gaster disebabkan karena peningkatan aliran darah
dalam vena-vena kolateral dari aliran darah porta melalui vena gastrica coronaria
akibat hipertensi portal. Perdarahan varices ini terjadi bila hepatic venous
gradient melebihi 12 mmHg. Pasien dengan gastropati hipertensi portal tidak
selalu disertai dengan varices gastroesofageal yang nyata. Bila terjadi
perdarahan pada pasien kelompok gastropati ini, biasanya lebih banyak kronik
dan tersamar (Utama, 2012).
c. Perdarahan pada gastritis
Gastritis merupakan inflamasi atau iritasi pada lapisan gaster/lambung.
Gastritis merupakan penyakit dengan banyak penyebab. Sebagian besar
penderita gastritis akan merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada perut
bagian atas. Helicobacter pylori merupakan bakteri yang sering menginfeksi
lambung. Infeksi akibat bakteri ini bisa menyebabkan gastritis kronik. Gastritis
merupakan masalah medis yang sering terjadi. Sepuluh persen dari pasien yang
datang ke unit emergensi mengeluh nyeri pada perut sebelum akhirnya
didiagnosa gastritis (Balentine, 2012).
d. Esophagitis dan gastropati
Esophagitis dan gastropati adalah suatu peradangan esofagus dan lambung
disebabkan biasanya oleh asam lambung/refluxate lain misalnya pada GERD
atau obat-obat tertentu seperti OAIN/NSAIDs. Gastropati bisa juga terjadi pada
pasien dengan sakit berat misalnya pasien dengan ventilator, sepsis/multi organs
failure (MOF).

e. Duodenitis
Duodenitis merupakan inflamasi pada duodenum. Penyebabnya adalah
Helicobacter pylori. Duodenitis dapat menyebabkan nyeri pada perut,
perdarahan, serta gejala gastrointestinal lain. Banyak orang terinfeksi
Helicobacter pylori sejak usia mudah, tetapi tanda dan gejala akan muncul saat
usia dewasa.
f. Mallory-Weiss tear
Sindroma Mallory-Weiss merupakan bentuk perdarahan dari lapisan lendir
diantara lambung dan esophagus. Adapun gejala utama yang sering ditimbulkan
akibat sindroma ini adalah suatu sensasi mual muntah yang hebat. Robekan ini
bisa disebabkan akibat batuk-batuk yang hebat, kejang hebat pada epilepsi,
gangguan pola makan, hernia hiatal, dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol
4
dalam jumlah yang banyak atau alkoholisme, atau pada beberapa kasus sindroma
morning sickness akibat frekuensi mual muntah yang terlalu tinggi juga
berpotensi menyebabkan robekan Mallory-Weiss.
Tidak selamanya muntah-muntah adalah suatu bentuk gejala dari Mallory-
Weiss itu sendiri, melainkan gejala yang nyata bisa disertai dengan muntah yang
disertai dengan darah, atau warna feses yang kehitaman atau melena sebagai
akibat penguraian darah oleh asam lambung yang membentuk hematin.
Pengobatan utama biasanya dengan obat-obatan dan operasi penghentian
perdarahan, dan adalah suatu kejadian yang sangat langka sindroma ini
berkelanjutan pada tingkat kematian. Diagnosis pasti untuk menegakkan
sindroma ini adalah hanya dengan melalui pemeriksaan endoskopi. Berikut ini
adalah gambar Mallory-Weiss tear :

Gambar 2.1. Gambaran endoscopy Mallory-Weiss syndrome (Sumber : Caesar,


2010)
g. Angiodisplasia
Angiodisplasia merupakan lesi vascular pada saluran pencernaan, dan
biasanya bersifat asymptomatik sehingga bisa menyebabkan perdarahan saluran
pencernaan. Dinding pembuluh darah tipis dengan otot polos atau tidak dengan
pembuluh darah yang tipis. Angiodisplasia paling sering terjadi pada caecum dan
juga kolon ascenden proksimal. 77% kejadian angiodisplasia terjadi di kolon
ascenden dan caecum, 15% terjadi di jejunum dan ileum, sisanya terjadi di
sepanjang saluran pencernaan. Typical lesi pada angiodisplasia adalah kecil (<5
mm).
Angiodisplasia merupakan kelainan pembuluh darah yang sering dijumpai
pada saluran cerna. Angiodisplasia merupakan penyebab kedua terjadinya
perdarahan saluran pencernaan setelah divertikulosis selama kurun waktu 60
tahun ini. Prevalensi angiodisplasia pada saluran cerna bagian atas sekitar satu

5
sampai dua persen, sedangkan pada saluran cerna bagian bawah dan bisa
berdampak pada perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah enam persen.
Angiodisplasia pada usus kecil, 30-40% merupakan penyebab kasus
perdarahan pada saluran pencernaan. Hasil analisis kolonoscopy retrospectif
menunjukkan bahwa 12,1% dari 642 orang tanpa gejala Irritable Bowel
Syndrome (IBS) dan 11,9% dari orang dengan gejala Irritable Bowel Syndrome
(IBS) memiliki angiodisplasia kolon (Thomson, 2011).

Gambar 2.2. Gambaran endoscopy angiodisplasia (Sumber : Thomson, 2011)

h. Tumor saluran cerna bagian atas


i. Anastomotic ulcers (setelah pembedahan pada penyakit peptic ulcer)

j. Dieulafoy lesion
Dieulafoy lesion adalah suatu keadaan arteri submukosa yang dilatasi dan
ruptur sehingga timbul perdarahan saluran cerna. Biasanya terdapat pada cardiak
lambung namun bisa juga terjadi sepanjang saluran cerna. Sumber perdarahan
sukar terlihat dengan endoskopi bila tidak sedang berdarah karena lesi ini
dikelelingi mukosa yang normal. Pengobatan dengan endoskopi atau angiografi.
Sedangkan penyebab minor perdarahan saluran pencernaan bagian atas
adalah (Cappell, 2008) :
a) Cameron lesion
Cameron lesion merupakan erosi pada lipatan mukosa pada kesan
diafragma pada pasien dengan hernia hiatus yang besar. Relevansi klinis dari
Cameron lesion adalah komplikasi potensial yang bisa berdampak pada
perdarahan saluran pencernaan, dan anemia. Diagnosis Cameron lesion
biasanya ditegakkan dengan melakukan endoscopy (Maganty, 2008).
b) Gastric antral vascular ectasia (watermelon stomach)
Gastric antral vascular ectasia (GAVE) atau watermelon stomach
merupakan penyebab signifikan kehilangan darah akut pada lansia. GAVE
ditandai dengan adanya gambaran corak semangka pada pemeriksaan

6
endoscopy. Walaupun hal ini terkait dengan kondisi medis yang heterogen,
termasuk hepar, ginjal, dan penyakit jantung, namun patofisiologinya belum
diketahui.
Berikut ini contoh gambaran GAVE dari hasil pemeriksaan endoscopy :

Gambar 2.3. Gambaran endoscopy GAVE (Sumber : Thomson, 2011)

Gambar 2.4. Gambaran endoscopy GAVE (Sumber : Thomson, 2011)


c) Portal hypertensive gastropathy
Portal hypertensive gastropathy memiliki karakteristik adanya penampilan
mosaic seperti pola dengan atau tanpa bintik-bintik merah dari mukosa
lambung pada gambaran endoscopy pasien dengan sirosis atau tanpa sirosis
portal hypertension.
Portal hypertensive gastropathy biasanya terjadi pada fundus lambung.
Temuan histologis pada portal hypertensive gastropathy adalah adanya
dilatasi pada kapiler serta vena di mukosa dan submukosa tanpa erosi,
inflamasi dan thrombus fibrinous. Berikut ini adalah gambaran endoskopi
portal hypertensive gastropathy:

7
Gambar 2.5. Gambaran endoscopy portal hypertensive gastropathy
(Sumber : Hritz, 2012)
d) Post kemoterapi atau radiasi
Terapi radiasi dapat menyebabkan perubahan lapisan mukosa pada usus.
Ketika terapi radiasi dilakukan pada pasien dengan kanker abdomen dan
pelvis, perdarahan karena kerusakan mukosa dinding kolon dapat terjadi.
Komplikasi dapat terjadi secara cepat maupun lambat. Dengan rentang waktu
rata-rata 9-15 bulan.
e) Polip gastric
Polip gastric merupakan pertumbuhan jinak yang berbentuk bulat yang
tumbuh ke dalam rongga lambung. Polip gastric berasal dari epitel lambung
atau submukosa dan menonjol ke dalam lumen lambung. Polip gastric
berpotensi menimbulkan malignansi. Jika polip gastric tidak segera dilakukan
intervensi, maka kanker lambung mungkin dapat terjadi (Goddard, 2010).

Gambar 2.5. Gambaran endoscopy polip gastric (Sumber : Goddard, 2010)

f) Aortoenteric fistula

8
Aortoenteric fistula merupakan penyebab jarang pada perdarahan saluran
cerna. Angka kematian yang relative tinggi, dengan angka kejadian yang
rendah membuat tantangan diagnostic dan manajemen. Aortoenteric fistula
merupakan komunikasi antara aorta dan saluran pencernaan. Diagnosis
aortoenteric fistula harus dipertimbangkan dalam setiap pasien dengan
perdarahan saluran pencernaan dan sejarah masa lalu dari operasi aorta
(MacDougall, 2010).

Berikut ini adalah gambaran CT Scan aortoenteric fistula :

Gambar 2.6. Gambaran CT Scan portal aortoenteric fistula (Sumber :


MacDougall, 2010)
g) Connective tissue disease
Connective tissue disease merupakan penyakit yang memiliki jaringan ikat
di tubuh sebagai target utama patologi. Jaringan ikat merupakan bagian
structural tubuh yang pada dasarnya memegang sel-sel tubuh secara bersama-
sama. Bentuk jaringan ikat seperti kerangka, atau matrik pada tubuh. Jaringan
ikat terdiri dari dua molekul utama protein yaitu kolagen dan elastin.
Kebanyakan connective tissue disease diakibatkan aktivitas system imun
tubuh yang abnormal dengan inflamasi di jaringan sebagai akibat dari system
imun yang menyerang jaringan tubuh itu sendiri (autoimun) (Shiel, 2012).
h) Hemosuccus pancreaticus
Hemosuccus pancreaticus merupakan perdarahan dari papilla Vater
melalui kelenjar pancreas. Hemosuccus pancreaticus jarang menyebabkan
perdarahan pada saluran cerna bagian atas. Kesulitan dalam menentukan

9
lokasi perdarahan kadang-kadang menyebabkan keterlambatan pengobatan
dan kondisi kritis (Toyoki, 2008).
i) Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang disebabkan oleh virus human herpes
virus 8 (HHV8). Sarkoma kaposi pertama kali dideskripsikan oleh Moritz
Kaposi, seorang ahli ilmu penyakit kulit Hongaria di Universitas Wina tahun
1872. Sarkoma kaposi secara luas diketahui sebagai salah satu penyakit yang
muncul akibat dari AIDS pada tahun 1980-an.
Sarkoma kaposi dapat ditemui pada kulit, tetapi biasanya dapat
menyebar kemanapun, terutama pada mulut, saluran pencernaan dan saluran
pernapasan. Perkembangan sarkoma dapat terjadi lambat sampai sangat cepat,
dan berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang penting. Sarkoma
karposi pada saluran pencernaan biasanya terjadi pada sarkoma kaposi
dengan yang berhubungan dengan transplantasi atau yang berhubungan
dengan AIDS, dan dapat muncul dengan tidak adanya gangguan sarkoma
kaposi pada kulit. Lesi saluran pencernaan menyebabkan turunnya berat
badan, tekanan, muntah, diare, berdarah, malabsorpsi, atau gangguan perut.
j) Foreign bodies post prosedural : nasogastric tube erosions, biopsi endoscopy,
endoscopic polypectomy, EMR, endoscopic sphincterotomy

2.1.3. Patofisiologi
Penyakit ulkus peptikum adalah penyebab yang paling utama dari perdarahan
gastrointestinal bagian atas. Ulkus ini ditandai oleh rusaknya mukosa sampai
mencapai mukosa muskularis. Ulkus ini biasanya dikelilingi oleh sel-sel yang
meradang yang akan menjadi granulasi dan akhirnya jaringan parut.
Sekresi asam yang berlebihan adalah penting untuk pathogenesis penyakit
ulkus. Kerusakan kemampuan mukosa untuk mensekresi mucus sebagai pelindung
juga telah diduga sebagai penyebab terjadinya ulkus. Faktor-faktor risiko untuk
terjadinya penyakit ulkus peptikum yang telah dikenal, termasuk aspirin dan obat
anti-inflamasi nonsteroid, keduanya dapat mengakibatkan kerusakan mukosa.
Merokok kretek juga berkaitan dengan penyakit ini dan selain itu, sangat merusak
penyembuhan luka. Riwayat keluarga yang berhubungan dengan ulkus juga
diketahui sebagai salah satu faktor risiko.
Ulkus akibat stress ditemukan pada pasien yang mengalami sakit kritis dan
ditandai dengan erosi mukosa. Lesi yang berkaitan dengan pasien yang mengalami
trauma hebat secara terus-menerus, pasien yang mengalami sepsis, luka bakar yang

10
parah, penyakit pada system saraf pusat dan kranial, dan pasien yang menggunakan
dukungan ventilator untuk jangka lama. Rentang abnormalitas adalah hemoragi
pada permukaan yang kecil sampai ulserasi dalam dengan hemoragi massif.
Hipoperfusi mukosa lambung diduga sebagai mekanisme utama. Penurunan perfusi
diperkirakan memiliki andil dalam merusak sekresi mucus, penurunan pH mukosa
dan penurunan tingkat regenerasi sel mukosa. Semua faktor ini turut andil dalam
terjadinya ulkus.
Dalam gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan
peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral
dalam submukosa esophagus dan rectum serta pada dinding abdominal anterior
untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splanknik menjauhi hepar. Dengan
meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang
oleh darah dan membesar. Pembuluh yang berdilatasi ini disebut varises dan dapat
dipecah, mengakibatkan hemoragi gastrointestinal massif.
Hemoragi gastrointestinal bagian atas mengakibatkan kehilangan volume darah
tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan penurunan curah jantung. Jika
perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi
jaringan. Dalam berespons terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan
mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini
menerangkan tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada pasien saat
pengkajian awal. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi jaringan
mengakibatkan disfungsi selular. Sel-sel akan berubah menjadi metabolisme
anaerobik, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan
efek pada seluruh system tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi system
tersebut akan mengalami kegagalan (Hudak, 2010).

2.1.4. Manifestasi Klinis


Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami
perdarahan. Secara umum perdarahan saluran cerna diklasifikasikan sebagai
perdarahan akut (dapat berupa hematemesis, melena, atau hematoschizia), atau
kronik dengan manifestasi adanya darah samar di feses atau anemia.
Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat bermanifestasi klinis mulai dari
yang seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar sampai pada keadaan yang
mengancam hidup. Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau
hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan saluran

11
cerna bagian atas atau proksimal ligamentum Treitz. Perdarahan saluran cerna
bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam
bentuk melena (Djojoningrat, 2006).
Upper gastrointestinal tract bleeding (UGI bleeding) atau lebih dikenal sebagai
perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75% hingga 80%
dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun,
tetapi angka kematian dari perdarahan akut saluran cerna masih berkisar 3% hingga
10%, dan belum ada perubahan selam 50 tahun terakhir. Dari seluruh kasus
perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber perdarahannya berasal dari esofagus,
gaster, dan duodenum. Gejala klinis pasien dapat berupa :
1. Hematemesis : Muntah darah berwarna hitam seperti bubuk kopi.
2. Melena : Buang air besar berwarna hitam seperti teh atau aspal.
3. Hematoschizia : Buang air besar berwarna merah marun, biasanya dijumpai
pada pasien dengan perdarahan masive dimana transit time dalam usus yang
pendek.
Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah sinkope, instabilitas
hemodinamik karena hipovolemik, dan gambaran klinis dari komorbid seperti
penyakit hati kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal dsb.
1. Hematemesis termasuk ‘coffee ground emesis’ 40-50%.
2. Melena 70-80%.
3. Hematoschizia (feses warna merah atau marun) 15-20%.
4. Syncope 14%
5. Presyncope 43%
6. Dispepsia 18%
7. Nyeri epigastr 41%
8. Nyeri abdomen difus 10%
9. Berat badan menurun 12%
10. Ikterus 5%

2.2. KONSEP PERDARAHAN SALURAN PENCERNAAN BAGIAN BAWAH


2.2.1. Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian bawah didefinisikan sebagai perdarahan yang
berasal dari organ traktus gastrointestinal yang terletak di bagian distal dari
ligamentum Treitz yang menyebabkan ketidakseimbangan hemodinamik dan
anemia simptomatis. Pada umumnya perdarahan ini (sekitar 85%) ditandai dengan

12
keluarnya darah segar per anal/per rektal yang bersifat akut, transient, berhenti
sendiri (Edelman, 2007).

2.2.2. Etiologi
Berdasarkan penelitian dari 695 pasien yang masuk di ruang emergency,
penyebab dari perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah (Edelman, 2007) :
a. Diverticulosis
Perdarahan dari divertikulum biasanya tidak nyeri dan terjadi pada 3% pasien
divertikulosis. Feces biasanya berwarna merah marun, kadang-kadang bisa juga
menjadi merah. Meskipun divertikel kebanyakan ditemukan di kolon sigmoid,
namun perdarahan divertikel biasanya terletak di sebelah kanan. Umumnya
terhenti secara spontan dan tidak berulang. Oleh karena itu tidak ada pengobatan
khusus yang dibutuhkan oleh para pasien.
b. Hemorrhoids
Penyakit perianal contohnya: hemorrhoid dan fisura ani biasanya
menimbulkan perdarahan dengan warna merah segar tetapi tidak bercampur
dengan feces. Berbeda dengan perdarahan dari varises rectum pada pasien
dengan hipertensi portal kadang-kadang bisa mengancam nyawa. Polip dan
karsinoma kadang-kadang menimbulkan perdarahan yang mirip dengan yang
disebabkan oleh hemorrhoid, oleh karena itu pada perdarahan yang diduga dari
hemorrhoid perlu dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan
polip dan karsinoma kolon.
c. Kanker
Tumor kolon yang jinak maupun ganas yang biasanya terdapat pada pasien
usia lanjut dan biasanya berhubungan dengan ditemukannya perdarahan
berulang atau darah samar. Kelainan neoplasma di usus halus relatif jarang
namun meningkat pada pasien inflammatory bowel disease seperti Crohn’s
disease atau celiac sprue.
d. Inflammatory bowel disease
Macam-macam kondisi peradangan dapat menyebabkan perdarahan saluran
cerna bagian bawah yang akut. Perdarahan jarang muncul menjadi tanda,
melainkan berkembang dalam perjalanan penyakitnya, dan penyebabnya diduga
berdasarkan riwayat pasien. Kebanyakan pendarahan berhenti secara spontan
atau dengan terapi spesifik pada penyebabnya.
Penyebab infeksi meliputi Escherichia coli, tifus, sitomegalovirus, dan
Clostridium difficile. Cedera radiasi paling umum terjadi pada rectum setelah
radioterapi panggul untuk prostat atau keganasan ginekologi. Perdarahan

13
biasanya terjadi 1 tahun setelah pengobatan radiasi, tetapi dapat juga terjadi
hingga 4 tahun kemudian.
e. Kolitis iskemia
Kebanyakan kasus kolitis iskemia ditandai dengan penurunan aliran darah
viseral dan tidak ada kaitannya dengan penyempitan pembuluh darah mesenteik.
Kolitis iskemik, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera iskemik pada
sistem pencernaan, sering melibatkan daerah batas air (watershed ), termasuk
fleksura lienalis dan rectosigmoid junction. Umunya pasien kolitis iskemia
berusia tua. Dan kadang-kadang dipengaruhi juga oleh sepsis, perdarahan akibat
lain, dan dehidrasi.
Iskemia menyebabkan peluruhan mukosa dan peluruhan ketebalan parsial
dinding kolon, edema, dan pendarahan. Kolitis iskemik tidak berhubungan
dengan kehilangan darah yang signifikan atau hematochezia, walaupun sakit
perut dan diare berdarah adalah manifestasi klinis yang utama.
f. Angiodisplasia
Angiodisplasia merupakan penyebab 10-40% perdarahan saluran cerna
bagian bawah. Angiodisplasia merupakan salah satu penyebab kehilangan darah
yang kronik. Angiodisplasia kolon biasanya multipel, ukuran kecil dengan
diameter < 5 mm dan biasa terlokalisir di daerah caecum dan kolon sebelah
kanan. Sebagaimana halnya dengan vaskular ektasia di saluran cerna, jejas di
kolon umumnya berhubungan dengan usia lanjut, insufisiensi ginjal, dan riwayat
radiasi.
g. Solitary rectal ulcer syndrome
Solitary rectal ulcer syndrome merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika
terdapat ulcer yang berkembang pada rectum. Rectum merupakan sebuah
saluran yang dihubungkan sampai pada akhir kolon. Solitary rectal ulcer
syndrome jarang terjadi dan juga jarang terdeteksi pada penderita dengan
konstipasi kronik. Solitary rectal ulcer syndrome dapat menyebabkan perdarahan
pada rectal saat aktivitas mengejan pada waktu BAB.

2.2.3. Patofisiologi
Secara bagan, patofisiologi pada perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah
sebagai berikut :
Etiologi

Diverticulosis
Angiodisplasia
Kolitis
Karsinoma 14 Colon
Penyakit Anorectal
Infeksi Bakteri
2.2.4. Manifestasi klinis
Secara umum, manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bagian bawah sama
dengan manifestasi klinis perdarahan saluran cerna bagian atas. Tetapi, ada
beberapa perbedaan, diantaranya hematoschizia (darah segar keluar per anus)
biasanya berasal dari perdarahan saluran cerna bagian bawah (kolon). Maroon
stools (feses berwarna merah hati) dapat berasal dari perdarahan kolon bagian
proksimal (ileo-caecal).

2.3. PENATALAKSANAAN PADA PERDARAHAN SALURAN PENCERNAAN


Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan gastrointestinal akut adalah usaha
kolaboratif. Intervensi awal mencakup empat langkah :
a. Kaji keparahan perdarahan.
b. Gantikan cairan dan produk darah dalam jumlah yang mencukupi untuk mengatasi
syok.
Pasien dengan perdarahan gastrointestinal akut membutuhkan akses intravena
segera dengan intra kateter atau kanula berdiameter besar. Untuk mencegah
perkembangan syok hipovolemik, mulai lakukan penggantian cairan dengan larutan
intravena seperti ringer laktat dan normal saline. Tanda-tanda vital dikaji secara
terus-menerus pada saat cairan diganti. Kehilangan lebih dari 1.500 ml
membutuhkan penggantian darah selain cairan. Golongan darah pasien diperiksa
dicocoksilangkan, dan sel darah merah diinfusikan untuk membangkitkan kembali
15
kapasitas angkut oksigen darah. Produk darah lainnya seperti trombosit, faktor-
faktor pembekuan dan kalsium mungkin juga diperintahkan sesuai dengan hasil
pemeriksaan laboratorium dan kondisi yang mendasari pasien.
Kadang-kadang, obat-obat vasoaktif digunakan sampai tercapai keseimbangan
cairan untuk mempertahankan keseimbangan cairan untuk mempertahankan
tekanan darah dan perfusi pada organ-organ tubuh yang vital. Dopamine, epinefrin,
dan norepinefrin adalah obat-obat yang dapat digunakan untuk menstabilkan pasien
sampai dilakukan perawatan definitif.
c. Tegakkan diagnosis penyebab perdarahan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, endoskopi fleksibel adalah pilihan
prosedur untuk menentukan penyebab perdarahan. Dapat dipasang selang
nasogastrik untuk mengkaji tingkat perdarahan, tetapi ini merupakan intervensi
yang kontoversial. Dapat juga dilakukan pemeriksaan barium, meskipun seringkali
tidak menentukan jika terdapat bekuan dalam lambung, atau jika terdapat
perdarahan superfisial. Angiografi digunakan jika sumber perdarahan tidak dapat
dikaji dengan endoskopi.
d. Rencanakan dan laksanakan perawatan definitif.
1) Terapi Endoskopi
Scleroterapy adalah pilihan tindakan jika letak perdarahan dapat
ditemukan dengan menggunakan endoskopi. Letak perdarahan hampir selalu
disclerosiskan menggnukan agen pengsclerosis seperti natrium morhuat atau
natrium tetradesil sulfat. Agen ini melukai endotel menyebakan nekrosis dan
akhirnya menyebabkan sklerosis pada pembuluh yang berdarah. Metode
endoskopi tamponade thermal mencakup probe pemanas foto koagulasi laser
dan elektro koagulasi.
2) Bilas Lambung
Bilas lambung mungkin diperintahkan selama periode perdarahan akut,
tetapi ini merupakan modalitas pengobatan kontroversial. Beberapa dokter
yakin bahwa tindakan ini dapat mengganggu pembekuan mekanisme
pembekuan normal tubuh diatas tempat perdarahan. Sebagian dokter yang lain
meyakini bahwa bilas lambung dapat membantu membersihkan darah dari
dalam lambung, membantu mendiagnosis penyebab perdarahan selama
endoskopi. Jika diinstruksikan bilas lambung, maka 1000-2000 ml air atau
normal salin steril dalam suhu kamar dimasukan dalam selang nasogasatrik.
Cairan tersebut kemudian dikeluarkan menggunakan tangan dengan spuit atau

16
dipasang pada suction intermiten sampai sekresi lambung jernih. Irigasi
lambung dengan cairan normal saline agar menimbulkan vasokontriksi. Setelah
diabsorbsi lambung, obat dikirim melalui sistem vena porta ke hepar dimana
metabolisme terjadi, sehingga reaksi sistemik dapat dicegah. Pengenceran
biasanya menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml larutan.
Pasien beresiko mengalami apsirasi lambung karena pemasangan
nasogastrik dan peningkatan tekanan intragastrik karena darah atau cairan yang
digunakan untuk membilas. Pemantauan distensi lambung dan membaringkan
pasien dengan kepala ditinggikan penting untuk mencegah refluk isi lambung.
Bila posisi tersebut kontraindikasi, maka diganti posisi dekubitus lateral kanan
memudahkan mengalirnya isi lambung melewati pilorus.
3) Pemberian Pitresin
a) Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak menolong,
maka diberikan vasopresin (Pitresin) intravena.
b) Obat ini menurunkan tekanan vena porta dan oleh karenanya menurunkan
aliran darah pada tempat perdarahan. Dosis 0,2-0,6 unit permenit.
c) Karena vasokontsriktor maka harus diinfuskan melalui aliran pusat.
d) Hati-hati dalam penggunaan obat ini karena dapat terjadi hipersensitif.
e) Obat ini dapat mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretiknya.
4) Mengurangi Asam Lambung
Karena asam lambung menyebabkan iritasi terhadap tempat perdarahan
pada traktus gastrointestinal bagian atas, adalah penting untuk menurunkan
keasaman asam lambung. Ini dapat digunakan dengan obat-obat antihistamin
(H2)-antagonistik. Contohnya : simetidin (tagamet), ranitidine hipoklorida
(zantac), dan famotidin (pepsid). Obat-obat ini menurunkan pembentukan asam
lambung dengan menghambat antihistamin.
Antasid juga biasanya diberikan. Kerja antasid sebagai buffer alkali
langsung diberikan untuk mengontrol pH lambung. Perawat bertanggung jawab
terhadap ketepatan aspirasi isi lambung untuk pemeriksaan pH dan pemantauan
efek-efek samping dari terapi. Sucralfate, garam alumunium dasar dari sukrosa
oktasulfat, yang beraksi secara lokal sebagai obat pelindung mukosa juga dapat
diperintahkan untuk profilaksis perdarahan stress.
5) Memperbaiki Status Hipokoagulasi
Adalah bukan hal yang tidak lazim untuk mendapati pasien yang
mengalami perdarahan gastrointestinal berat yang mempunyai status
hipokuagulasi karena defisiensi berbagai faktor pembekuan. Salah satu
masalah yang paling penting dalam kategori ini adalah kegagalan hepar pada
17
pasien yang tidak mampu untuk menghasilkan faktor-faktor pembekuan darah.
Situasi klinis umum lainnya adalah pemberian makanan melalui intravena
jangka panjang pada pasien yang mendapat berbagai antibiotik dan pasien yang
mengalami defisiensi vitamin K. tanpa memperhatikan penyebabnya seseorang
harus memperbaiki keadaan ini untuk mengurangi jumlah perdarahan. Jika
diduga adanya faktor defisiensi utama lain, plasma segar diberikan untuk
memperbaiki abnormalitas.
6) Balon Tamponade
Terdapat bermacam balon tamponade antara lain tube Sangstaken-
Blakemore, Minnesota, atau Linton-Nachlas. Alat ini untuk mengontrol
perdarahan gastrointestinal bagian atas karena varises esofagus.
Tube Sangstaken-Blakemore mengandung 3 lumen:
a) Balon gastrik yang dapat diinflasikan dengan 100-200 ml udara.
b) Balon esopagus yang dapat diinflasikan dengan 40 mm Hg (menggunakan
spigmomanometer).
c) Lumen yang ke-3 untuk mengaspirasi isi lambung.
Tube Minnesota, mempunyai lumen tambahan dan mempunyai lubang
untuk menghisap sekresi paring. Sedangkan tube Linton-Nachlas terdiri hanya
satu balon gaster yang dapat diinflasikan dengan 500-600 ml udara. Terdapat
beberapa lubang/bagian yang terbuka baik pada bagian esofagus maupun
lambung untuk mengaspirasi sekresi dan darah.
Tube/selang Sangstaken-Blakemore setelah dipasang di dalam lambung
dikembangkan dengan udara tidak lebih dari 50 ml. Kemudian selang ditarik
perlahan sampai balon lambung pas terkait pada kardia lambung. Setelah
dipastikan letaknya tepat (menggunakan pemeriksaan radiografi), balon
lambung dpat dikembangkan dengan 100-200 ml udara. Kemudian selang
dibagian luar ditraksi dan difiksasi.
Jika perdarahan berlanjut balon esopagus dapat dikembangkan dengan
tekanan 250 40 mmHg (menggunakan spigmomanometer) dan dipertahankan
dalam 24-48 jam. Jika lebih lama depat menyebabkan edema, esopagitis,
ulserasi atau perforasi esopagus.
Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini adalah observasi
konstan dan perawatan cermat, dengan mengidentifikasi ketiga ostium selang,
diberi label dengan tepat dan diperiksa kepatenannya sebelum dipasang.
7) Terapi-terapi Pembedahan
Pembedahan dilakukan pada pasien yang mengalami perdarahan massive
yang sangat membahayakan nyawa dan pada pasien yang mengalami
18
perdarahan yang terus menerus meskipun telah menjalani terapi medis
agregasif. Terapi pembedahan untuk penyakit ulkus peptikum atau ulcer yang
disebabkan oleh stress mencakup reseksi lambung (antrektomi), gastrektomi,
gastroenterostomi, atau kombinasi operasi untuk mengembalikan keutuhan
gastrointestinal. Vagotomi akan mengurangi sekresi asam lambung. Antrektomi
mengangkat sel-sel penghasil asam dalam lambung. Billroth I adalah prosedur
yang mencakup vagotomi dan antrektomi dengan anastomosis lambung pada
duodenum. Billroth II meliputi vagotomi, reseksi antrum, dan anastomosis
lambung pada jejunum. Perforasi lambung dapat diatasi hanya menutup atau
menggunakan patch untuk menutup lubang pada mukosa.
Operasi dekompresi hipertensi porta dapat dilakukan pada pasien yang
mengalami varises esophagus dan varises gaster. Dalam pembedahan ini,
disebut pirai kava porta, dimana dibuat hubungan antara vena porta dengan
vena kava inferior yang mengalihkan aliran darah ke dalam vena cava untuk
menurunkan tekanan.

Secara bagan, manajemen penatalaksanaan pasien dengan perdarahan


saluran pencernaan bagian atas adalah sebagai berikut :

19
Gambar 2.7. Bagan manajemen penatalaksanaan pasien dengan perdarahan saluran cerna
bagian atas (Sumber : Wilkins, 2012)

Secara bagan, manajemen penatalaksanaan pasien dengan perdarahan saluran


pencernaan bagian atas adalah sebagai berikut :

20
Gambar 2.8. Bagan manajemen penatalaksanaan pasien dengan perdarahan saluran cerna
bagian bawah (Sumber : Cagir, 2012)

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PERDARAHAN


SALURAN PENCERNAAN
3.1.1. Pengkajian Primer
Pengkajian yang dilakukan menggunakan pendekatan Airway, Breathing,
Circulation, dan Diasability (ABCD).
a. Airway
Untuk mengkaji airway, maka yang dilakukan perawat adalah dengan teknik
look, listen and feel. Look yang dilakukan adalah melihat kebersihan jalan nafas.
21
Pada kasus perdarahan saluran pencernaan, khususnya saluran cerna bagian atas
biasanya terjadi muntah darah. Oleh karena itu, perawat harus melakukan
pengkajian terhadap risiko terjadinya aspirasi pada saluran napas. Pada teknik
listen, biasanya pada perdarahan saluran cerna bagian atas terdapat suara napas
gurgling karena adanya cairan (darah) pada saluran pernapasan. Untuk feel,
perawat merasakan hembusan napas pasien. Pada kasus perdarahan saluran
pencernaan bagian atas, biasanya bisa terjadi sumbatan parsial atau total pada
saluran napas akibat menggumpalnya (clothing) darah.
b. Breathing
Pada breathing yang perlu dikaji oleh perawat adalah adanya perubahan
frekuensi napas pasien, adanya penggunaan otot-otot pernapasan. Pada kejadian
perdarahan saluran pencernaan, biasanya terjadi penurunan kadar haemoglobin
dalam darah, sehingga transportasi oksigen ke sel terganggu akibat berkurangnya
pengangkut oksigen (Hb) dan berdampak pada peningkatan frekuensi napas dan
penggunaan otot-otot bantu pernapasan.
c. Circulation
Untuk mengevaluasi keparahan kehilangan darah dan untuk mencegah atau
memperbaiki penyimpangan klinis syok hipovolemik, perawat harus lebih sering
mengkaji pasien. Pada fase pertama perdarahan, kehilangan darah kurang dari
800 ml, pasien mungkin hanya akan menunjukkan tanda-tanda lemah, ansietas,
dan berkeringat. Dengan perdarahan yang berlebihan suhu tubuh meningkat
sampai 38,40–390 C sebagai respon terhadap perdarahan, dan bising usus
menjadi hiperaktif karena sensitivitas usus besar terhadap darah.
Jika tingkat kehilangan darah berkisar antara sedang sampai berat (kehilangan
>800 ml), respon system saraf simpatis menyebabkan pelepasan katekolamin,
epinefrin, dan norepinefrin. Keadaan ini pada awalnya menyebabkan
peningkatan frekuensi jantung dan vasokonstriksi vascular perifer dalam upaya
untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Dengan tingkat kehilangan
darah sedang sampai berat, akan timbul tanda-tanda dan gejala syok.
Sejalan dengan berkembanganya gejala-gejala syok, pelepasan katekolamin
akan memicu pembuluh darah pada kulit, paru-paru, intestine, hepar, dan ginjal
untuk berkontraksi, dengan demikian akan meningkatkan aliran volume darah ke
jantung dan otak. Karena penurunan aliran darah pada kulit, maka kulit pasien
akan sangat dingin saat disentuh. Dengan berkurangnya aliran darah ke paru-
paru, terjadi hiperventilasi untuk mempertahankan pertukaran gas yang adekuat.

22
Seiring dengan penurunan aliran darah ke hepar, produk sisa metabolisme
akan menumpuk dalam darah. Produk sisa ini, ditambah dengan absorbsi darah
busuk dari traktus intestinal dan penurunan aliran darah melalui ginjal, akan
menyebabkan peningkatan dalam kadar urea darah. Nitrogen urea darah (BUN)
dapat digunakan untuk mengikuti perjalanan perdarahan gastrointestinal. Nilai
BUN di atas 40-dalam lingkup perdarahan gastrointestinal dan kadar kreatinin
normal-menandakan perdarahan major. BUN akan kembali normal kira-kira 12
jam setelah perdarahan berhenti.
Haluaran urin adalah pengukur yang paling sensitif dari volume intravascular
yang harus diukur setiap jam. Dengan menurunnya volume intravascular,
haluaran urin menurun, mengurangi reabsorbsi air oleh ginjal sebagai respon
oleh pelepasan hormon antidiuretik (ADH) oleh lobus posterior kelenjar
pituitary.
Perubahan tekanan darah yang lebih besar dari 10 mmHg, dengan
peningkatan frekuensi jantung 20 kali per menit baik dalam posisi berdiri
maupun duduk, menandakan kehilangan darah lebih besar dari 1000 ml. respon
pasien terhadap kehilangan darah tergantung dari jumlah dan kecepatan
kehilangan darah, usia, derajat kompensasi, dan kecepatan perawat.
Pasien mungkin akan melaporkan rasa nyeri dengan perdarahan
gastrointestinal dan hal ini diduga peningkatan asam lambung yang mengenai
ulkus lambung. Nyeri tekan pada daerah epigastrium merupakan tanda yang
tidak umum terjadi. Abdomen dapat menjadi lembek atau distensi. Hipertensi
sering hiperaktif karena sensitivitas usus terhadap darah.
Pemasangan IV line 2 jalur dengan menggunakan IV cath ukuran besar
diperlukan untuk mengantisipasi penambahan cairan dan tranfusi darah.
d. Disability
Pada disability yang perlu dikaji perawat adalah tingkat kesadaran. Untuk
mengkaji tingkat kesadaran digunakan GCS (Glasgow Coma Scale). Selain itu
reaksi pupil dan juga reflek cahaya juga harus diperiksa.
e. Exposure
Pada exposure, yang dilakukan perawat adalah membuka seluruh pakaian
pasien dan melakukan pengkajian dari ujung rambut sampai ujung kaki. Perawat
mengkaji adanya etiologi lain yang mungkin menyebabkan gangguan
pencernaan.

3.1.2. Pengkajian Sekunder


a. Riwayat Penyakit

23
Yang perlu dikaji pada pengkajian primer ini antara lain penyakit yang
pernah diderita pasien, misalnya hepatitis, penyakit hepar kronis, hemorrhoid,
gastritis kronis, dan juga riwayat trauma.
b. Status Nutrisi
Yang perlu dikaji pada status nutrisi adalah menggunakan prinsip A, B, C, D,
yaitu :
1) Anthopometri
Yang bisa dikaji dari anthopometri antara lain : BB dan TB pasien sebelum
sakit.
2) Biochemical
Pada biochemical, pengkajian dengan mempertimbangkan nilai
laboratorium, diantaranya : nilai Hb, Albumin, globulin, protein total, Ht,
dan juga darah lengkap.

3) Clinical
Pada pengkajian clinical, perawat harus mempertimbangkan tanda-tanda
klinis pada pasien, misalnya tanda anemis, lemah, rasa mual dan muntah,
turgor, kelembaban mukosa.
4) VAS
VAS atau Visual Analog Scale adalah alat yang digunakan untuk mengukur
derajat nyeri pasien. Ada beberapa metode pengukuran nyeri yang dirasakan
oleh pasien salah satunya adalah VAS. Alat pengukuran nyeri sangat
dibutuhkan oleh terapis sebagai bahan evaluasi hasil terapi yang sudah kita
lakukan serta sebagai alat untuk memberikan laporan bahwa ada hasil dari
terapi yang sudah kita lakukan.
Tujuh skala penilaian :
Skala 1 Tidak nyeri
Skala 2 Nyeri sangat ringan
Skala 3 Nyeri ringan
Skala 4 Nyeri tidak begitu berat
Skala 5 Nyeri cukup berat
Skala 6 Nyeri berat
Skala 7 Nyeri hampir tidak tertahankan
5) Diit
Pada diit, perawat bisa berkolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan kebutuhan kalori pada pasien. Selain itu, komposisi nutrisi pada
pasien juga harus diperhatikan. Pemberian nutrisi enteral dini lebih
menguntungkan pada penderita perdarahan saluran cerna karena pemberian
nutrisi enteral dini dapat memperkecil permiabilitas intestinal, menurunkan
translokasi bakteri dan juga dapat mencegah multi organ failure. Selain itu

24
pemberian nutrisi enteral pada pasien dengan perdarahan saluran cerna juga
dapat meningkatkan aliran darah pada gaster, mempertahankan aliran darah
pada kolon.
Selain itu, pemberian nutrisi enteral dan ranitidine juga dapat
menurunkan insiden perdarahan gastrointestinal. Nutrisi enteral
(karbohidrat, lemak, dan protein), juga dapat memicu vasodilatasi lapisan
mukosa saluran cerna. Karbohidrat dapat meningkatkan aliran darah
mesenterika 70%, lemak dapat meningkatkan aliran darah mesenterika 40%.
Pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas yang bukan karena
varises dan tidak ada penyakit hati kronis, maka pasien tidak perlu
dipuasakan. Perawat atau ahli gizi harus memberikan diit secara bertahap,
mulai dari diit cair, saring, lunak, dan padat (normal). Komposisi nutrisi dan
kebutuhan kalori yang diberikan harus sesuai dengan penyakit dasar pasien.
Tetapi jika perdarahan saluran cerna atas tersebut berasal dari varises
esofagus, maka tidak ada anjuran untuk dipuasakan, tetapi pemberian nutrisi
enteral ditunda saat perdarahan aktif. Nutrisi enteral dapat dilanjutkan tanpa
menunggu produk NGT jernih. Bila perlu, pemberian parenteral nutrisi
sampai perdarahan berhenti lalu dilanjutkan diit secara bertahap mulai diit
cair, saring, lunak dan normal lagi dengan komposisi nutrisi dan kebutuhan
kalori sesuai penyakit dasar.
Pada pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah, terutama
pada Chron disease nutrisi parenteral dapat meredakan symptom selama
“acute attack” dan kambuh ketika kembali ke nutrisi oral. Prinsip pamberian
nutrisi pada inflammatory bowel disease tidak membebani bagian/segmen
saluran cerna yang sedang sakit berat. Pada pasien yang mengalami diare
berat 10-20x/hari, maka pemberian elektrolit dan cairan harus dilakukan
untuk menggantikan kehilangan cairan dan elektrolit.
c. Status Eliminasi
Yang harus dikaji pada status eliminasi pada pasien dengan perdarahan
saluran cerna, antara lain warna feses, konsistensi, serta bau dari feses. Selain itu
perlu juga dikaji adanya rasa nyeri saat BAB. Bising usus juga harus dimonitor
terus untuk menentukan status peristaltik.

3.1.3. Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum klien: keadaan penampilan klien.
b. Tanda-tanda vital : seperti tekanan darah, suhu, nadi, respirasi.

25
c. Antropometri: tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala,
lingkar dada, lingkar perut, skin fold.

d. Head to toe :
1. Kepala : warna, ukuran ,kesimetrisan, nyeri, pembengkakan, kontour, lesi,
kondisi kulit kepala.
2. Wajah : pergerakan, ekspresi, pigmentasi, tremor, acne.
3. Mata : ketajaman, warna konjungtiva, warna sclera, pergerakan bola mata.
4. Telinga : ketajaman, keadaan telinga.
5. Hidung : penciuman, ukran, kesimetrisan, cuping hidung, warna mukosa,
edema, kelembutan dan nyeri.
6. Mulut dan kerongkongan :
a) inspeksi dan palpasi bibir, mukosa mulut. normalnya warna merah muda,
simetris,lembab , tanpa lesi.
b) inspeksi gusi dan gigi. observasi kebersihan gigi, warna, kebersihan. catat
gigi tanggal, patah,nyeri,gigi yg tdk teratur, perdarahan atau radang gusi.
c) inspeksi lidah dan dasar mulut. simetris, warna merah muda, posisi lidah,
ukuran lidah, mobilisasi lidah.
d) inspeksi langit-langit mulut, palatum,uvula. warna, simetris, tekstur,
reformitas tulang.
e) inspeksi tenggorokan, gunakan spatel lidah, pen light untuk melihat tonsil,
warna dan adanya pembesaran (catat ada bau khas)
f) tes rasa untuk mengetahui nervus vii dan ix dengan gula, garam atau
lemon.
7. Leher : kesimetrisan , pergerakan, massa, nyeri, dll.
8. Dada : ukuran, bentuk, kesimetrisan, warna kulit, dll.
9. Paru-paru : pola pernafasan, bunyi pernapasan.
10. Jantung : pola jantung, bunyi jantung.
11. Abdomen :
Pemeriksaan abdomen mengunakan 4 metode
Urutan pemeriksaan ;
1) Inspeksi untuk mengetahui bentuk dan gerakan perut, tentukan kontur
atau bentuk kesimetrisan abdomen :
a. pertama observasi dari samping, evaluasi garis bentuk abdomen,
kemudian berdiri didepan kaki klien, bandingkan sisi kiri dan
kanan, periksa ada tonjolan tau massa (ketidaksemitrisan bentuk).
Abdomen simetris dengan variasi bentuk datar, cekung, seperti
perahu atau cembung.
b. observasi lokasi dan garis bentuk umbilikus : apakah ditengah
abdomen, inverted atau menonjol, kebersihan. Umbilicus secara
sentral berada antara prosesus xipoideus dan simpisis pubis,

26
umbilicus bervariasi dalam bentuk dengan inversi atau agak
menonjol.
c. observasi kulit abdomen :
i. warna kulit : warna kulit harus konsisten dengan kulit
sekitarnya
ii. striae : kadang terjadi striae pink atau warna biru, pada saat
berlanjutnya warna menjadi putih perak
iii. jaringan parut : pada awalnya, jaringan parut berwarna merah,
kemudian berkembang menjadi merah muda dan kadang-
kadang kembali ke warna kulit
iv. lesi, kemerahan ; permukaan kulit halus
v. pembesaran vena
d. observasi pegerakan dinding abdomen (pulsasi) : gerakan
pernapasan abdomen umum pada laki-laki dan anak-anak,
peristalsis dapat terlihat pada orang kurus
2) Auskultasi untuk mendengarkan suara perut atau peristaltik dan suara
pembuluh darah. Auskultasi penting dilakukan sebelum perkusi dan
palpasi, karena perkusi dan palpasi akan mempengaruhi frekuensi dan
karakter dari usus.
a. Tempatkan diafragma stetoskop dengan hati-hati pada abdomen,
gunakan tekanan ringan, perhatikan frekuensi, nada dan intensitas
bising usus yang dihasilkan : bising usus terjadi pada frekuensi 5
sampai 35 kali/menit, merupakan bunyi dengan nada tinggi dengan
intensitas bervariasi
b. Auskultasi dengan bel stetoskop untuk bunyi vaskular : bunyi
vascular tidak terdengar
i. timpany ; suara keras, terdengar diatas lambung dan intestine
ii. dullness (redup) ; suara yg singkat, terdengar pada daerah hati,
limfa.
iii. hyperresonance ; > timpany, ada distensi atau berisi udara.
iv. flat ; suara halus, pendek, bila ada massa tumor, tulang, otot.
3) perkusi untuk mendengarkan atau mendeteksi adanya gas, cairan atau
massa di dalam perut
4) palpasi untuk mengetahui bentuk, ukuran dan konsistensi organ-organ
dan struktur di dalam perut.
a. Gunakan palpasi ringan, rasakan adanya spasme otot, area yang
nyeri tekan, massa dan krepitasi subkutan
b. Palpasi dalam sekarang digunakan untuk meraba massa dan organ
abdomen
12. Ginjal : pengeluaran urine, jumlah ,warna dan bau, frekuensi.
27
13. Rektum : pigmentasi, hemoroid (penonjolan berwarna hitam),
abses, kista, massa, lesi, gatal, perasaan terbakar.
3.1.4. Pemeriksaan diagnostik
Hitung hematokrit dan hemoglobin diperintahkan dengan hitung darah
lengkap. Adalah penting untuk menganggap bahwa hematokrit umumnya tidak
berubah pada jam-jam pertama setelah perdarahan gastrointestinal akut karena
mekanisme kompensasi. Cairan yang diberikan pada saat masuk juga
mempengaruhi hitung darah. Jumlah sel darah putih dan glukosa mungkin
meningkat, mencerminkan respon tubuh terhadap stress. Penurunan kalium dan
natrium kemungkinan terjadi karena disertai muntah. Tes fungsi hepar biasa
digunakan untuk mengevaluasi integritas hematologi pasien. Perpanjangan masa
protombin dapat menandakan penyakit hepar atau terapi bersamaan jangka
panjangf anti koagulan. Alkalosis respiratori umumnya terjadi karena adanya
aktivasi dari system saraf simpatik terhadap kehilangan darah. Jika kehilangan
sebagian besar darah, maka akan terjadi asidosis metabolik sebagai akibat dari
metabolisme anaerobic. Hipoksemia mungkin juga akan terjadi karena penurunan
kadar hemoglobin yang bersirkulasi dan dihasilkan kerusakan transport oksigen ke
sel-sel.
Pemeriksaan PT/APTT diperlukan untuk mengetahui apakah ada gangguan
dalam hal waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah. Pemeriksaan cross-
match diperlukan juga sebelum dilaksanakan tranfusi darah.
Endoskopi adalah prosedur pilihan untuk mendiagnosa ketepatan letak dari
perdarahan, karena inspeksi langsung mukosa adalah mungkin dengan
menggunakan skop serat optik. Endoskopi yang fleksibel memungkinkan tes ini
dilakukan di tempat tidur dan tes ini secara rutin dilakukan oleh dokter setelah
pasien secara hemodinamik stabil. Ketepatan diagnostik dari tes ini berkisar antara
60% sampai 90%.

3.1.5. Rencana Asuhan Keperawatan


a. Diagnosa : Defisit volume cairan yang berhubungan dengan
kehilangan darah akut.
Kriteria hasil / : Pasien akan tetap stabil secara hemodinamik
Tujuan-tujuan
pasien
Intervensi : 1. Pantau tanda-tanda vital setiap jam.
2. Pantau nilai-nilai hemodinamik (missal SAP,
Keperawatan

28
DAP, TDKP, IJ, CJ, TVS).
3. Ukur haluaran urin setiap 1 jam.
4. Ukur masukan dan haluaran dan kaji
keseimbangan.
5. Berikan cairan pengganti dan produk darah
sesuai instruksi. Pantau adanya reaksi-reaksi
yang merugikan terhadap komponen terapi
(missal reaksi transfusi).
6. Tirah baring total, baringkan pasien pada posisi
terlentang dengan kaki ditinggikan untuk
meningkatkan preload pasien jika pasien
mengalami hipotensif. Jika terjadi normotensif,
tempatkan tinggi bagian kepala tempat pada 45
dewrajat untuk mencegah aspirasi lambung.
7. Perkecil jumlah darah yang diambil untuk
analisa laboratorium.
8. Pantau hemoglobin dan hematokrit.
9. Pantau elektrolit yang mungkin hilang bersama
cairan atau berubah karena kehilangan atau
perpindahan cairan.
10. Periksa feses terhadap darah untuk 72 jam
setelah masa akut.
b. Diagnosa : Kerusakan pertukaran gas : yang berhubungan dengan
penurunan kapasitas angkut oksigen dan dengan
faktor-faktor risiko aspirasi.
Kriteria hasil / : Pasien akan mempertahankan oksigenasi dan
Tujuan-tujuan pertukaran gas yang adekuat.
pasien
Intervensi : 1. Pantau SaO2 dengan menggunakan oksimetri
Keperawatan atau ABGs.
2. Pantau bunyi nafas dan gejala-gejala pulmonal.
3. Gunakan supplemental O2 sesuai instruksi.
4. Pantau suhu tubuh.
5. Pantau adanya distensi abdomen.
6. Baringkan pasien pada bagian kepala tempat
tidur ditinggikan jika segalanya
memungkinkan.
7. Pertahankan fungsi dan patensi kateter
nasogastrik dengan tepat.

29
8. Atasi segera mual.
c. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap infeksi : yang berhubungan
dengan aliran intravena.
Kriteria hasil / : Pasien tidak akan mengalami i9nfeksi nosokomial.
Tujuan-tujuan
pasien
Intervensi : 1. Pertahankan kestabilan selang intravena.
Keperawatan Amankan aplians intravena berikut selangnya.
2. Ukur suhu tubuh setiap 4 jam.
3. Pantau system intravena terhadap patensi,
infiltrasi, dan tanda-tanda infeksi (nyeri
setempat, inflamasi, demam, sepsis).
4. Ganti letak intravena setiap 48-72 jam dan prn.
5. Ganti larutan intravena sedikitnya setiap 24
jam.
6. Pantau letak insersi setiap penggantian tugas.
7. Dokumentasikan tentang selang, penggantian
balutan, dan keadaan letak insersi.
8. Gunakan teknik aseptic saat mengganti balutan
dan selang. Pertahankan balutan yang bersih,
transparan, dan steril.
9. Ukur SDP terhadap kenaikan.
10. Lepaskan dan lakukan pemeriksaan kultur bila
terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi.
d. Diagnosa : Ansietas : yang berhubungan dengan sakit kritis,
ketakutan akan kematian ataupun kerusakan bentuk
tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial, atau
ketidakmampuan yang permanen.
Kriteria hasil / : 1. Pasien akan mengekspresikan ansietasnya pada
Tujuan-tujuan nara sumber yang tepat.
2. Pasien akan mulai mengidentifikasi sumber
pasien
ansietasnya.
Intervensi : 1. Berikan lingkungan yang mendorong diskusi
Keperawatan terbuka untuk persoalan-persoalan emosional.
2. Gerakan system pendukung pasien dan libatkan
sumber-sumber ini sesuai kebutuhan.
3. Berikan waktu pada pasien untuk
mengekspresikan diri. Dengarkan dengan aktif.
4. Berikan-berikan penjelasan yang sederhana
untuk peristiwa-peristiwa dan stimuli
30
lingkungan.
5. Identifikasi sumber-sumber rumah sakit yang
memungkinkan untuk mendukung pasien atau
keluarganya.
6. Berikan dorongan komunikasi terbuka antara
perawat-keluarga mengenai masalah-masalah
emosional.
7. Validasikan pengetahuan dasar pasien dan
keluarga tentang penyakit kritis.
8. Libatrkan system pendukung religious sesuai
kebutuhan

(Hudak & Galo, 2010)

31
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Perdarahan bisa terjadi dimana saja di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari
mulut sampai anus. Bisa berupa ditemukannya darah dalam tinja atau muntah
darah,tetapi gejala bisa juga tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui
pemeriksaan tertentu. Perdarahan pada system pencernaan antara lain dapat
disebabkan oleh : robekan jaringan, kanker kerongkongan, iritasi gastritis, luka pada
usus, kanker pada usus, tumor pada usus, penyakit divertikulum, pembuluh darah
abnormal, hemoroid dan robekan pada anus.
Pada penderita pendarahan saluran pencernaan, manifestasi klinis yang terlihat
antara lain: Muntah darah (hematemesis), Mengeluarkan tinja yang kehitaman
(melena) dan Mengeluarkan darah dari rektum (hematoskezia). Selain itu juga
menunjukkan gejala-gejala anemia, seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada
dan pusing.
Untuk pengobatan atau penatalaksanaan pada pasien gawat darurat dengan
perdarahan saluran pencernaan dilakukan sesuai dengan penyebab terjadinya
perdarahan. Secara umum penatalaksanaan tersebut ialah dengan cara menghentikan
perdarahan yang terjadi
4.2. Saran
4.2.1. Untuk perawat
Bagi teman sejawat, diharapkan benar-benar memahami konsep dasar
penyakit perdarahan saluran pencernaan, karena berdasarkan pengetahuan
dan keterampilan itulah maka perawat dapat menerapkan asuhan
keperawatan yang komprehensif.
4.2.2. Untuk pendidikan
Untuk institusi diharapkan lebih melengkapi literatur yang berkaitan dengan
masalah ini, sehingga dalam penyusunan makalah ini lebih mempermudah
penulis sehingga makalah yang dihasilkan lebih bernilai.

32
DAFTAR PUSTAKA

Balentine, J.R, 2012, Gastritis, overview,


http://www.emedicinehealth.com/gastritis/article_em.htm, Diakses tanggal 12 Maret
2016
Caesar, R, 2010, Sindroma Mallory-Weiss, http://www.medicalera.com, Diakses tanggal 12
Maret 2016.
Cagir, B, 2012, Lower Gastrointestinal Bleeding,
http://emedicine.medscape.com/article/188478-overview, Diakses tanggal 12 Maret
2016.
Cappell, M.S, Friedel, D, 2008, Initial Management of Acute Upper Gastrointestinal
Bleeding: From Initial Evaluation up to Gastrointestinal Endoscopy, Med Clin N Am,
vol. 92, pp. 491–509, http://misanjuandedios.org/files/19_HGIS.pdf, Diakses tanggal
12 Maret 2016.
CV Indonesia rehab equipment. 2012. Alat Pemeriksaan Set. http://alat-
fisioterapi.com/alat-pemeriksaan-set/. Diakses tanggal 10 Maret 2016 pukul 16.00
Dubey, S, 2008, Perdarahan Gastrointestinal Atas, Dalam Teks Atlas Kedokteran
Kedaruratan Greenberg, vol. 1, pp. 275, Jakarta : Erlangga.
Edelman, D.A, Sugawa, C, 2007, Lower Gastrointestinal Bleeding: a review, Surg Endosc,
vol. 21, pp. 514-520, http://misanjuandedios.org/files/20_HGII_A_.pdf, Diakses
tanggal 12 Maret 2016.
Goddard, A.F, et al, 2010, The management of gastric polyp, Gut, vol. 59, pp. 1270-1276,
http://files.i-md.com/medinfo/material/, Diakses tanggal 13 Maret 2016.
Hadzibulic, E, and Govedarica, S, 2007, Significance of Forrest Classification, Rockall’s
and Blatchford’s Risk Scoring System in Prediction of Rebleeding in Peptic Ulcer
Disease, Acta Medica Medianae, vol.46, pp. 38-43, http://publisher.medfak.ni.ac.rs/,
Diakses tanggal 11 Maret 2016.
Hritz, I, 2012, Portal Hypertensive Gastropathy: Clinical Findings and A Case Report,
http://www.gastrosource.com/Patient-Cases/, Diakses tanggal 11 September 2016.
Hudak, C.M. 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Alih Bahasa : Ester, M.,
dkk. Edisi 6. Jakarta : EGC.
Macdougall, L, et al, 2010, Aorto-Enteric Fistulas: A Cause of Gastrointestinal Bleeding
not to be Missed, BJMP, vol. 3, no. 2, pp. 317, http://www.bjmp.org/content/, Diakses
tanggal 12 Maret 2016.
Maganty, K, and Smith, R.L, 2008, Cameron Lesions: Unusual Cause of Gastrointestinal
Bleeding and Anemia, Digestion, vol. 77, pp. 2-4,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18622137, Diakses tanggal 11 Maret 2016.

33
Muttaqin, A. dan Sari, K. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.
National Institute for Health and Clinical Execellence, 2012, Acute Upper Gastrointestinal
Bleeding: Management, NICE clinical guideline 141,
http://www.nice.org.uk/nicemedia/live/13762/59549/59549.pdf, Diakses tanggal 12
Maret 2016.
Nguyen, H, et al, 2009, Gastric Antral Vascular Ectasia (Watermelon Stomach)—An
Enigmatic and Often-Overlooked Cause of Gastrointestinal Bleeding in the Elderly,
Fall, vol. 13, no. 4, pp. 46-49,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2911825/, Diakses tanggal 11 Maret
2016.
Righo, Argitya, dkk. 2015. Asuhan Keperawatan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas.
http://dokumen.tips/documents/asuhan-keperawatan-perdarahan-saluran-cerna-bagian-
atas.html. Diakses tanggal 6 Maret 2016 pukul 16.00

Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN), 2008, Management of Acute Upper


and Lower Gastrointestinal Bleeding: A National Clinical Guideline,
http://www.sign.ac.uk/pdf/sign105.pdf, Diakses tanggal 11 Maret 2016.
Shiel, W.C, 2012, Connective Tissue Disease,
http://www.medicinenet.com/connective_tissue_disease/article.htm, Diakses tanggal
11 Maret 2016.
Sudoyo, A.W, 2006, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi 4, Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sugeng. 2016. Verbal Descriptive Scale (VAS). http://www.dseerys-
physio.org/2015/11/pemeriksaan-nyeri-fisioterapi-verbal.html. Diakses tanggal 10
Maret 2016 pukul 16.00
Talbot, Laura A. 1997. Pengkajian Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC
Thomson, A.B.R, 2011, Angiodysplasia of the Colon,
http://emedicine.medscape.com/article/170719, Diakses tanggal 7 Maret 2016.
Toyoki, Y, et al, 2008, Hemosuccus pancreaticus: Problems and Pitfalls in Diagnosis and
Treatment, World Journal of Gastroenterology, vol. 14, no. 17, pp. 2776-2779,
http://www.wjgnet.com/1007-9327/14/2776.pdf, Diakses tanggal 7 Maret 2016.
Utama, H.Y, 2012, Diagnosa dan Manajemen Perdarahan Saluran Cerna / Diagnosis and
Management of Gastrointestinal Bleeding,
http://www.herryyudha.com/2012/07/diagnosa-dan-manajemen-perdarahan.html,
Diakses tanggal 7 Maret 2016.

34
Wilkins, T, et al, 2012, Diagnosis and Management of Upper Gastrointestinal Bleeding,
American Family Physician, vol. 85, no. 5, pp. 469-476, www.aafp.org/afp, Diakses
tanggal 7 Maret 2016.

35

Anda mungkin juga menyukai