Anda di halaman 1dari 5

9. Jelaskan alur diagnosis kasus pada skenario!

Langkah langkah untuk menegakkan diagnosis pada pasien


a. Anamnesis
- Identitas Pasien
- Keluhan Utama
- Sejak Kapan keluhan dirasakan
- Adakah rasa nyeri saat berkemih
- Adakah urine keluar tanpa disadari misalnya saat batuk, mengedan atau rasa
ingin kencing yang terus-terus
- Sering ngompol waktu tidur atau tidak
- Gejala-gejala lain yang berkaitan
- Riwayat Penyakit-penyakit selama ini: DM, hipertensi, ISK, hematuri
- Operasi sebelumnya
- Obat-obat yang sering dikonsumsi
- Kebiasaan hidup, makan dan minum : kopi, teh manis, alkohol, dll
- Kehidupan seksual
- Bowel habit sering konstipasi, mengedan
b. Pemeriksaan Fisik
-

Keadaan umum dan tanda vital

Inspeksi genitalia eksterna

Palpasi Abdomen : ada tumor atau tidak, buli-buli teraba/tidak

Rectal Toucher : meraba hipertrofi prostat, menentukan kekuatan tonus


sfingter dan otot dasar panggul

Pemeriksaan neurologis
o Reflex ani
o Reflex bulbocavernosis

Pemeriksaan meatus urethra sementara batuk/ mengedan waktu buli-buli


sementara penuh (Cough stress test) .

c. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : Urinalisis untuk mengetahui adanya infeksi atau tidak,
hematuri, pyuria.
b. Darah : Gula darah , Fungsi ginjal.
c. Mengukur urin sisa post miksi : USG atau langsung dengan kateter
d. Urodynamic evaluation / uroflow : menilai kekuatan otot detrusor
e. urethro cystoscopi melihat keadaan buli-buli dan urethra.
Pendekatan diagnosis inkontinensia urin

Secara sistematis dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan kemudian dengan
pemeriksaan penunjang dicari faktor-faktor inkontinensia. Dalam anamnesis juga dievaluasi
mengenai pola asupan cairan pasien, obat-obatan yang diminum (diuretik, psikotropik,
antikolinergik), penyakit-penyakit tertentu (diabetes mellitus, strok, demensia, dsb) dan gejala
yang berkaitan dengan saluran urin (disuria, gangguan berkemih).
Semua waktu berkemih dan jumlah urin, serta kejadian inkontinensia urin perlu
dicatat selama 2-7 hari. Catatan ini dapat memberikan kunci diagnostik yang berharga.
Sebagai contoh, inkontinensia yang terjadi hanya antara jam 8.00 sampai siang hari mungkin
disebabkan oleh diuretik yang diminum pagi hari.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan abdomen, rectum, dan genital untuk mencari
adanya pembesaran kandung kemih atau prostat atau gangguan saraf sacrum. Pada pasien
usia yang sudah renta/rapuh perlu diperhatikan status mobilitas dan status mentalnya karena
berkaitan dengan terjadinya inkontinensia urin. Terabanya kandung kemih pada pemeriksaan
fisik mungkin menunjukkan adanya inkontinensia overflow akibat dari obstruksi kandung
kemih atau tidak berkontraksinya kandung kemih. Sistokel yang besar menunjukkan adanya
inkontinensia stress, hipestesia perianal menunjukkan inkontinensia overflow akibat
denervasi sakral. Adanya parkinsonisme atau riwayat strok mengarahkan kemungkinan suatu
inkontinensia urgensi akibat ketidakstabilan kandung kemih.
Pendekatan berikut mungkin relative tidak invasif, akurat, hemat biaya dan ditoleransi
dengan baik. Tahap pertama adalah mengidentifikasi adanya inkontinensia urin tipe overflow
(sisa air kemih lebih atau sama dengan 450 ml), bila sesuai secara klinis, pasien dapat
dirujuk keahliurologi dan dapat dikateterisasi. Untuk 90-95% pasien sisanya tergantung jenis
kelamin pasien. Karena obstruksi jarang terjadi pada pasien wanita, diagnosis banding
umumnya antara inkontinensia stress atau over aktivitas detrusor. Kebocoran akibat stress
atau tekanan harus dicari selama pemeriksaan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien,
bila pasien usila wanita tersebut merasakan bahwa kandung kemihnya penuh, diminta untuk
beristirahat dan batuk dengan kuat segera sehingga kebocoran dapat segera diamati. Tidak
hanya kebocoran yang teratur pada saat dilakukan stress maneuvers merupakan bukti yang
kuat bahwa bukan suatu inkontinensia stress.
Pada pria, inkontinensia urin tipe stress jarang dijumpai. Masalah yang biasanya
dijumpai adalah membedakan overaktivitas detrusor dengan obstruksi. Tahapan berikutnya
adalah mencari kemungkinan adanya hidronefrosis pada pria dengan sisa urin melebihi 200
ml, dan merujuknya atau mengosongkan kandung kemih (dekompresi). Bila hidronefrosis
tidak dijumpai namun terdapat obstruksi, pasien tetap dirujuk untuk menjalani kemungkinan

tindakan pembedahan. Untuk yang lain, pada pasien-pasien dengan gejala inkontinensia
urgensi diduga karena overaktivitas detrusor dapat diberi pengobatan. Obat-obat untuk
merelaksasi kandung kemih seyogyanya dihindari pada pasien dengan sisa urin 150 ml atau
lebih. Pendekatan yang sama juga disarankan pada pasien dengan gangguan kognitif yang
dapat diamati secara dekat. Pasien usila pria tanpa inkontinensia urgensi yang gagal dengan
terapi empiris, dan yang terganggu fungsi kognitifnya harus dirujuk.
A. Pemeriksaan Status Fungsional
Dilakukan observasi atau pencarian terhadap :
1. Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika bangkit dari duduk
dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan, ketika mau
duduk dibawah
2. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu,
memakai kursi roda atau dibantu
3. Aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, berpakaian, berpergian, kontinens
B. Pemeriksaan Status Kognitif

Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisik justru terlihat lebih menonjol
terutama saat mereka sakit. Faal kognitif yang paling sering terganggu pada pasien
geriatri yang dirawat inap karena penyakit akut anatara lain memori segera dan jangka
pendek, persepsi, proses pikir, dan fungsi eksekutif, gangguan tersebut dapat
menyulitkan dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam

pengobatan dan tindak lanjut adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi
kepatuhan dan kemampuan pasien untuk melaksanakan program yang telah
direncanakan sehingga pada akhirnya pengelolaan secara keseluruhan akan terganggu
juga.
Gangguan faal kognitif bisa ditemukan pada derajat ringan (mild cognitive
impairment / MCI dan vascular cognitive impairment /NCI) maupun yang lebih berat
(demensia ringan sedang dan berat) hal
tersebut tentunya memerlukan pendekatan
diagnosis dan terapeutik tersendiri.
Penipisan adanya ganguan faal kognitif
secara objektif antara lain dapat dilakukan
dengan pemeriksaan neuropsikioatri
seperti Abbreviated Mental Test,
The Mini-Mental State Exmination
(MMSE), The Global Deterioration Scale
(GDS), dan The Cinical Dementia Ratings
(CDR).
C. Pemeriksaan Status Gizi

Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada seorang
pasien geriatri. Gangguan nutrisi akan mempengaruhi status imun dan keadaan umum
pasien. Adanya gangguan nutrisi seringkali terabaikan mengingat gejala awal seperti
rendahnya asupan makanan disangka sebagi kondisi normal yang akan terjadi pada
pasien geriatri. Sampai kondisi status gizi turun menjadi gizi buruk baru
tersadar bahwa memang ada masalah di bidang gizi. Pada saat tersebut biasanya
sudah terlambat atau setidaknya akan amat sulit menyusun program untuk mengobati
status gizi buruk.

Pengkajian status nutrisi


dapat dilakukan dengan anamnesis
gizi (anamnesis asupan),
pemeriksaan antropometrik,
maupun biokimiawi. Dari
anamnesis harus dapat dinilai
berapa kilometer energi, berapa
gram protein, dan berapa gram
lemak yang rata rata dikonsumsi
pasien. Juga perlu dievaluasi
berapa gram serat dan
mililiter cairan yang dikonsumsi.
Jumlah vitamin dan
mineral biasanya dilihat secara
lebih spesifik sehingga
memerlukan perangkat instrumen
lain dengan bantuan seorang ahli gizi. Pemeriksaan antropometrik yang lazim
dilakukan adalah pengukuran indeks massa tubuh dengan memperhatikan perubahan
tinggi tubuh dibandingkan saat usia dewasa muda. Rumus tinggi lutut yang
disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai untuk dikalkulasi tinggi badan orang usia
lanjut.
Referensi

Darmojo, R. Boedhi. 2008. Geriatri Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI


Setiadi S, Pramantara IDP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed V. Jakarta: Interna
Publishing

Anda mungkin juga menyukai