Anda di halaman 1dari 53

AKU DAN WIHDATUL WUJUD

Uraian Singkat Tanpa Rahasia

Zainurrahman
(Penulis buku Trinitas dan Nur Muhammad, Ruang Pertemuan Tuhan,
Rahasia Dzikir Nafas, Ghost Killer, Lihatlah Aku Seorang Sufi)

Majelis Dzikir Al-Jabbar Ternate


(1999-2010)

WordPress Publishing

Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah Swt, dan Salam serta Salawat dihaturkan kepada
Nabi Muhammad Saw. Buku ini ditulis, dan didistribusikan secara gratis.
Maksud dan tujuan penulis menulis buku ini adalah untuk memberikan
penjelasan umum dan singkat kepada masyarakat mengenai pandangan
Wihdatul Wujud yang sekian lama dipandang kafir dan negatif. Buku kecil ini
mengajak kita untuk melihat sisi-sisi positif dari pandangan Wihdatul Wujud,
dan disertai dengan beberapa penjelasan atas kesalah pahaman terhadap
Wihdatul Wujud. Semoga, buku kecil, sederhana, dan singkat ini dapat
mencapai tujuannya ditulis dan didistribusikan secara gratis ini.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada para jamaah Majelis Dzikir
Al-Jabbar, yang selama ini selalu berjuang demi mendapatkan pencerahan diri,
yang telah membantu saya dalam hal diskusi mengenai Wihdatul Wujud; terima
kasih juga kepada para pemikir jalanan, para ulama, dan para penulis yang saya
rahasiakan nama anda di buku ini; tak terhingga kepada Orang Tua tersayang,
dan para guru syekh mursyid yang telah menuntun saya dalam pencarian jati
diri yang sesungguhnya. Buku ini kami persembahkan kepada ummat.

Ternate, 9 April 2010

Zainurrahman

ISI KITAB

Pendahuluan ..............................................................................................................0
Jejak Wihdatul Wujud: Dari al-Hallaj hingga Syekh Siti Jenar .....................................2
Al-Hallaj ..................................................................................................................2
Ibnu Arabi ...............................................................................................................4
Abu Yazid al-Busthami .............................................................................................6
Syekh Siti Jenar .......................................................................................................7
Wihdatul Wujud Sebagai Kesadaran Spiritual dan Bukan Spekulasi Filsafati ........... 12
Wihdatul Wujud ....................................................................................................... 15
Berawal dari Maksud Allah untuk Dikenal .............................................................. 15
Kembali kepada Sumber ........................................................................................ 18
Hakikat Ilahiyah dan Insaniyah .............................................................................. 20
Sifat Ilahiyah dan Sifat Insaniyah ........................................................................... 23
Derajat Tauhid.......................................................................................................... 25
Tauhidul Asma ...................................................................................................... 25
Tauhidus Shifat...................................................................................................... 27
Tauhidul Afal ........................................................................................................ 28
Tauhiduzzat ........................................................................................................... 29
Menjelaskan Wihdatul Wujud ..................................................................................32
Premis-premis terhadap Wihdatul Wujud.............................................................. 32
Perumpamaan dan Penjelasan .............................................................................. 35
Pecahan kaca dan Wajah ................................................................................... 36
Cincin Kehidupan (Awal adalah akhir, dan akhir adalah awal) ............................ 36
Alif .................................................................................................................... 37
Setetes air dan samudra tak bertepi dan secercah cahaya dan matahari............ 38
Titik dan Cahaya ................................................................................................ 38
Penjara Kedirian ................................................................................................ 40
Maqam .....................................................................................................................41
Takhalli ................................................................................................................. 41
Tahalli ................................................................................................................... 42
Mahabbah ......................................................................................................... 43
Mujahadah ........................................................................................................ 43
Muraqabah ....................................................................................................... 44
Mukasyafah....................................................................................................... 45
Musyahadah...................................................................................................... 45
Mukafanah ........................................................................................................ 45
Wihdatul Wujud, Ibadah, dan Sosial ........................................................................ 46

Pendahuluan
Wihdatul wujud merupakan sebuah konsep spiritual yang paling
menggegerkan dunia Islam semenjak itu pertama kali dicetuskan oleh seorang
sufi Persia (Iraq), al-Hallaj. Dari istilahnya, Wihdatul Wujud dapat diartikan
sebagai sebuah konsep yang meniscayakan penyatuan antara hamba dengan
Tuhan. Hal ini merupakan gagasan yang sangat berbahaya, konon merupakan
kesesatan paling besar yang pernah dihadapi oleh para ahli fiqh. Akan tetapi,
hingga saat ini, belum ada yang mengerti apa sebenarnya Wihdatul Wujud itu
sendiri. Para sarjana Islam dan barat sudah mengemukakan berbagai hasil
penelitian mengenai hal tersebut, akan tetapi apakah Wihdatul Wujud itu bisa
dijustifikasi dengan logika? Sementara penemunya sendiri menemukannya
sebagai sebuah pengalaman spiritual? Ini merupakan sebuah kenyataan yang
aneh. Buku yang sedang anda baca ini akan mengungkap hakikat Wihdatul
Wujud yang sebenarnya. Anda jangan mengira anda sudah cukup memahami
Wihdatul Wujud sehingga anda menolaknya; saya akan dengan segera
menggengam pikiran anda dan mengajaknya jalan-jalan di sepanjang jalan
spiritual untuk menemukan kebenaran sejati. Ini bukan sekedar bacaan saja,
anda akan saya ajak mengembara ke alam kesadaran spiritual, untuk
menemukan sebuah alas an bagi anda untuk mengakui bahwa Wihdatul Wujud
merupakan tujuan anda diciptakan dimuka bumi ini.

Jejak Wihdatul Wujud: Dari al-Hallaj hingga Syekh Siti Jenar


Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn
Muhammad al-Badawi. Beliau lahir di kota Thur, sebelah timur laut Baida,
Persia atau sekarang dikenal dengan Iraq. Terlahir pada sekitar tahun 244 H
(857 M) dan meninggal pada tahun 309 H (922 M).
Seorang guru, sufi, yang sangat mashyur di zamannya, yaitu saat alHallaj berumur kurang lebih 20 tahun, adalah syeikh Amral al-Maliki. Dari
Syekh ini al-Hallaj mulai mempelajari tasawuf. Beberapa tahun berguru pada
syekh al-Maliki, al-Hallaj memilih untuk melanjutkan penuntutannya kepada
syekh selanjutnya, yaitu syekh al-Junaid al-Baghdadi. Dari syekh al-Maliki, alHallaj mengenal tasawuf dan zuhud dan kemudian melaksanakan kehidupan
zuhud yang sesungguhnya, namun pemikiran politik yang berbeda antara alHallaj dan syekh al-Maliki membuat mereka harus berpisah. Yang memotivasi
al-Hallaj hingga menemui syekh al-Baghdadi di Baghdad adalah rasa
kehampaan selama melaksanakan zuhud, al-Hallaj merasakan bahwa ada
sesuatu yang belum dia temukan dan wajib untuk dicari. Melalu syekh alBaghdadi, al-Hallaj menemukan jalan untuk melepaskan dahaga rohaninya, alBaghdadi menyuruhnya untuk menunaikan ibadah haji.
Disaat melaksanakan ibadah haji, al-Hallaj menemukan sebuah ilham,
bukan inspirasi, yang membawanya pada kesadaran penyatuan antara dia dan
Allah. Ilham itu sudah tentunya merupakan privasi yang tak tersentuh oleh
orang yang tidak mengalaminya. Intisari dari ilham yang dia temukan itulah
yang disebut Wihdatul Wujud, untuk pertama kalinya. Dengan kata lain,

Wihdatul Wujud lahir pertama kali di Tanah Suci, di saat al-Hallaj menunaikan
ibadah haji.
Sepulang dari ibadah haji, al-Hallaj mengemukakan pengalaman
spiritualnya, dalam sebuah konsep yang disebut dengan Hulul. Hulul artinya
bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia ketika manusia itu
mengalami Fana, sebuah proses peleburan indrawi basyariyah. Tanpa
pemahaman apa-apa tentang hal ini, tanpa diskusi, golongan Mutazilah dan
Syiah kemudian menggelar klaim akbar bahwa al-Hallaj telah menyebarkan
kesesatan terhadap umat Islam, khususnya tentang ketauhidan.
Apa yang disampaikan oleh al-Hallaj merupakan apa yang dia ilhami
dari proses tafakkurnya. Dan apa yang ditentang oleh kaum Mutazilah dan
Syiah adalah bahwa tidak benar Tuhan menempati diri manusia; tentu saja,
jika manusia masih dengan kesadarannya sebagai manusia, dan terutama karena
mereka belum paham apa yang dimaksud oleh al-Hallaj. Lagipula, menurut
beberapa literatur, semua ini hanyalah sebuah alasan untuk mengeliminasi alHallaj dari konstelasi politik saat itu. Al-Hallaj dicurigai dan dituduh
bersekongkol dengan sekelompok orang dalam upaya mengkudeta pemerintah.
Al-Hallaj merupakan pemerhati moral politik, suatu saat ada sekelompok besar
masa yang melakukan demonstrasi menuntut adanya reformasi moral politik,
dan masa ini mengaku mendapatkan dukungan dari al-Hallaj, dan hal ini
menyebabkan al-Hallaj dipenjara selama kurang lebih sembilan tahun. AlHallaj, singkat kata, dipenjara karena alasan politik, merongrong tatanan
pemerintah yang memang sudah harus ditata ulang, al-Hallaj dianggap
narapidana

yang

paling

berbahaya

karena

berupaya

menggulingkan

pemerintahan; anehnya, al-Hallaj sebenarnya menghabiskan waktunya untuk


zuhud dan berdakwah, dan tidak ada keuntungan baginya untuk menggulingkan
kekuasaan siapapun karena dia tidak tergolong orang yang cinta dunia.

Al-Hallaj kemudian dijatuhi hukuman mati, walaupun dari pihak


kerajaan sudah meminta ampunan untuk beliau, mengingat jasanya saat
mengobati putra mahkota kerajaan. Pada tahun 922 M, al-Hallaj disalib dan
dipukuli dengan balok hingga darahnya bercucuran dari kepala. Al-Hallaj
dibiarkan separuh mati selama sehari, dan akhirnya al-Hallaj dipenggal.
Ajaran al-Hallaj dikenal dengan kata al-Hulul. Menurut al-Hallaj,
diantara hamba dan Tuhan terdapat garis pemisah yang menegaskan hakikat
masing-masing. Garis pemisah itu sangat dekat, yaitu yang menyembah dan
yang disembah (al-Abid wal Mabud). Pada kondisi dimana ingatan hanya
tertuju kepada Allah semata, dan menolak selain Allah, termasuk diri sendiri,
maka al-Abid pun lenyap, dan tinggallah al-Mabud. Kebaqaan al-Mabud
merupakan konsekuensi dari fananya al-Abid. Pada titik inilah garis pemisah
dan pembeda hakikat pun hilang, sehingga pada hakikatnya yang menyembah
dan yang disembah adalah satu. Hanya saja, orang tidak memahami bahwa
yang dimaksud oleh al-Hallaj adalah bahwa al-Abid melebur masuk kedalam
al-Mabud, dan bukan al-Mabud merasuki tubuh al-Abid. Jika kesadaran alAbid masih dhahir, maka tidak fanalah dia, dan jika fana maka al-Mabud lah
yang dhahir dan al-Abid menjadi batin atau rahasia yang tersembunyi dibalik
kebesaran Allah Swt.

Ibnu Arabi
Ibnu Arabi merupakan salah seorang sufi termasyhur dizamannya, di
Andalusia (Spanyol). Beliau lahir di kota Mursiyah pada tahun 560 H (1165 M)
dan meninggal pada tahun 1240 M. Nama aslinya adalah Abu Bakr Muhammad
bin Ali, dan panggilan akrabnya adalah Ibnu Arabi.
Hasil pencarian jati diri dan pengalaman mistiknya menyimpulkan
sebuah kesadaran spiritual, yang kelak mendapatkan tantangan keras
sebagaimana yang dialami oleh al-Hallaj, yakni tidak ada yang maujud selain

Allah. Ibnu Arabi menegaskan bahwa Allah adalah kenyataan dari segala
sesuatu. Hal ini kemudian ditafsirkan sebagai kekeliruan mistik, padahal yang
dimaksud dengan Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu adalah bahwa
Allah yang menjadikan segala sesuatu itu nyata, sehingga Allah-lah kenyataan
mutlak yang harus dipahami.
Perumpamaan yang bisa diambil dari Wihdatul Wujud Ibnu Arabi
adalah bahwa segala sesuatu ini dapat terindrai karena cahaya dan udara,
cahaya membuat segala sesuatu terlihat dan udara membuat segala sesuatu
terdengar. Kita akan menolak bahwa cahaya dan udara merupakan kenyataan
mutlak, namun kita tidak menolak bahwa keberadaan cahaya dan suara untuk
menyatakan segala sesuatu adalah mutlak sifatnya. Begitu juga dengan Allah
Swt, sudah barang tentu Allah Maha Nyata (Ad-Dhahir), mana kala
keberadaanNya membuat nyata segala sesuatu (termasuk diri anda) maka
apakah anda keberatan untuk menerima pandangan Ibnu Arabi di atas?
Titik Wihdatul Wujud Ibnu Arabi terletak pada kemesraan Allah dan
segala eksistensi yang ada di dunia ini. Hanya saja saya perlu meluruskan
pandangan anda tentang hal ini, bahwa yang dimaksud dengan tidak ada yang
maujud kecuali ujud Allah adalah bahwa Ujud Allah merupakan kemutlakan
yang wajib untuk menyatakan segala yang maujud. Jika Allah tidak ada, maka
kita tidak ada. Untuk mengatakan bahwa pepohonan merupakan Ujud Allah itu
sangat naif, kesadaran spiritual tidak demikian, tetapi sesungguhnya yang
membuat pepohonan itu berwujud adalah adanya eksistensi Allah, sekaligus
eksistensi kita yang mengamati dan menyaksikan kenyataan pepohonan
tersebut. Ini bukanlah spekulasi filsafati, ini merupakan misal-misal bagi anda
yang suka salah paham dan salah tuduh. Segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini merupakan misal tentang kekuasaan Allah, bagi orang-orang yang
berpikir.

Tidak benar bahwa Ibnu Arabi menemukan bahwa wujud selain Allah
adalah wujud bayangan, karena sesungguhnya dengan Ujud Allah maka wujud
selainnya menjadi berwujud, berkesistensi. Bukankah segala sesuatu berasal
dari kehendakNya? Sehingga yang ada itu hanya berasal dari kehendak dan
kehendak berasal dari yang Berkehendak. Jika kita hanya wujud bayangan,
maka tidak dikenakan hukum apapun, karena bayangan hanya mengikuti gerak
Ujud Allah. Tetapi Wujud merupakan kenyataan Ujud. Alam semesta, termasuk
manusia, merupakan kenyataan Ujud Allah; dengan kata lain, Wujud selain
Allah merupakan bukti nyata Ujud Allah.
Ada pergerakan pemahaman Wihdatul Wujud antara al-Hallaj dan Ibnu
Arabi, jika al-Hallaj menemukan bahwa Allah mengambil tempat pada diri
manusia ketika manusia tersebut fana, maka Ibnu Arabi menemukan bahwa
bukan hanya manusia, tetapi alam semesta. Namun Ibnu Arabi menegaskan
pada aspek kenyataan dan bukan asoek penempatan sebagaimana Hululnya al-Hallaj. Al-Hallaj menegaskan kesadaran spiritual internal, yaitu
kesadaran seorang hamba dalam keadaan fana bahwa Allah adalah satu-satunya
Ujud; sedangkan Ibnu Arabi menegaskan bahwa Ujud Allah merupakan
kenyataan mutlak bagi Wujud selain Allah.

Abu Yazid al-Busthami


Nama beliau adalah Abu Yazid Taifur ibn Isa al-Bustami. Beliau
dilahirkan di Bistam, Persia (Iraq) pada tahun 804 M. Menurut beberapa
literatur, Abu Yazid merupakan pencetus pertama konsep fana dan baqa.
Salah satu teorinya adalah al-Ittihad. Abu Yazid berguru kepada salah seorang
Syekh yang bernama Syekh Shaddiq yang mengajarkan beliau prinsip-prinsip
dasar tasawuf. Dari Syekh Shaddiq, Abu Yazid mempelajari bahwa syariat dan
hakikat merupakan pasangan yang tak terpisah antara satu dan yang lain;
begitupula sebaliknya, syariat dan hakikat.

Persoalan fana dan baqa akan saya paparkan pada bagian kemudian
secara gamblang. Ittihad, sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj, merupakan
kesadaran spiritual bersatunya hakikat Allah dan hakikat hamba dalam proses
fana. Bahkan, penyatuan yang dimaksud bukanlah pernyatuan rohani, apalagi
jasmani. Penyatuan yang dimaksud adalah peleburan hakikat hamba kepada
hakikat Allah, laksana setetes air laut terjatuh ke dalam samudra; atau dengan
kacamata Ibnu Arabi kenyataan hamba yang hanya merupakan titik melebur
pada kenyataan Allah yang menyamudra.
Pandangan Abu Yazid ini dianggap menyesatkan, karena meniscayakan
adanya penyatuan Allah dan hamba. Ini dianggap sebagai degradasi derajat
Allah yang maha Mulia; menganggap Allah sederajat dengan hamba
merupakan pelecehan terhadap Allah. Disinilah kesalah tafsiran para ulama
pada saat itu (hingga saat ini). Yang dimaksud dengan Hulul dan Ittihad
bukanlah menyamakan derajat Allah dan hamba, melainkan justru meniadakan
hamba sehingga yang ada hanyalah Allah semata. Diri sendiri merupakan
sesuatu yang bisa menghalangi kita sampai kepada Allah, sehingga untuk
menyatakan Ujud Allah, maka Wujud diri harus melebur, atau disebut dengan
fana.

Syekh Siti Jenar


Biografi Syekh Siti Jenar masih merupakan kontroversi hingga saat ini,
bahkan ada atau tidaknya beliau masih merupakan misteri. Sebuah literatur
menyebutkan bahwa beliau terlahir pada tahun 1426 M di Cirebon dan
meninggal pada tahun 1517 M. Bapak beliau bernama Syekh Datuk Shaleh dan
beliau masih tergolong keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib KW.

Syekh Siti Jenar memiliki sejumlah nama (sebutan), beliau hampir


memiliki satu nama di setiap tempat di mana beliau menjalankan dakwahnya.
Nama yang sangat jelas, selain Siti Jenar, adalah Syekh Abdul Jalil dan Syekh
Lemah Abang.
Syekh Siti Jenar tumbuh remaja di sebuah Padepokan Giri Amparan
Jati, milik paman beliau. Padepokan ini berada di atas Gunung Jati. Dapa usia
15 tahun, Syekh Siti Jenar berhasrat untuk turun gunung untuk melihat
keadaan luar. Disinilah perjalanan spiritual Syekh Siti Jenar dimulai.
Syekh Siti Jenar berangkat ke Baghdad (Iraq) untuk memperdalam
wawasan agama Islamnya. Dia berkenalan dengan seorang sufi masyhur, yang
kemudian menjadi gurunya mengenai tasawuf, yakni Syekh Ahmad Tawalud.
Syekh Ahmad memiliki puluhan kitab marifat yang merupakan peninggalan
Syekh Abdul Mubdi al-Baghdadi.
Syekh Siti Jenar diperbolehkan untuk tinggal di rumah Syekh Ahmad,
dand dari sekian banyak kitab marifat yang ada di rumah itu, beberapa
diantaranya adalah kitab milik al-Hallaj, yang dipelajari secara sangat hati-hati
oleh Syekh Siti Jenar. Bukan hanya itu, kitab-kitab Ibnu Arabi dan al-Ghazali
juga dipelajari sama hati-hatinya.
Syekh Siti Jenar juga melaksanakan perjalanan penuntutan di India, dan
kembali ke Cerebon pada tahun 1463 M. Syekh Siti Jenar menjadikan Wihdatul
Wujud sebagai pedomannya, namun sama sekali bukan sebuah keputusan yang
benar bahwa beliau menistakan syariat. Kembalinya dia ke Cirebon membawa
dia kepada suatu posisi dalam konstelasi Wali Songo, beliau menjadi salah satu
penyebar agama Islam di Jawa, di Indonesia.
Sebagai salah satu anggota penyebar Islam, Syekh Siti Jenar
dipercayakan untuk mengajarkan Syahadat (Persaksian). Pemikiran Syekh Siti
jenar yang didominasi oleh hakikat itu kemudian membawanya kepada sebuah

kesadaran musyahadah tertinggi, yang dia sebut Manunggaling Kawula lan


Gusti. Beliau kemudian mengajarkan Manunggaling Kawula lan Gusti kepada
para santrinya yang menurut Sunan Kalijaga belum cukup pegetahuan
Syariatnya.
Syekh Siti Jenar juga pernah mempelajari hakikat dari Sunan Giri dan
Sunan Bonang, tetapi ini masih misteri. Ada sebuah mitos menarik, yakni
Syekh Siti Jenar mencuri ilmu Sunan Giri dengan berubah wujud menjadi
cacing tanah. Para pencerita mitos ini mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar
menguasai ilmu kanuragan, termasuk ilmu merubah wujud. Tetapi bagi saya
tidak demikian, Syekh Siti Jenar tidak mempelajari kanuragan, karena
kanuragan itu hanya dipelajari oleh orang Buddha pada saat itu, sedangkan
Syekh Siti Jenar lahir dalam keluarga Islam yang fanatik. Lagi pula, Syekh Siti
Jenar memiliki guru para sufi tersohor di Iraq dan India, dan mempelajari kitab
langsung dari para sufi-sufi salafusshalih.
Manunggaling kawula lan gusti merupakan penjawaan Hulul dan
Ittihad. Istilahnya diubah ke dalam bahasa Jawa agar mudah dipahami oleh
masyarakat. Bisa dikatakan bahwa Wihdatul Wujud telah mendarah daging
pada Syekh Siti Jenar, dan itulah kebenaran yang beliau temukan.
Syekh Siti Jenar mengajarkan kepada para santrinya bagaimana cara
untuk bersaksi, yaitu harus menyaksikan agar tidak terjadi persaksian palsu. Ini
yang tidak diajarkan oleh para wali yang lain paa saat itu; dan tugas ini
bukanlah tugas yang mudah.
Syekh Siti Jenar menjelaskan bahwa kenyataan manusia itu mesra
dengan kenyataan Allah, sehingga Allah senantiasa mengawasi dan senantiasa
dekat, bahkan lebih dekat dengan urat nadi; demikian Syekh Siti Jenar
mengutip ayat al-Quran. Akan tetapi Syekh Siti Jenar tidak serta merta

memberikan penjelasan bagaimana mengalami hal tersebut, karena Syekh Siti


Jenar tahu betul bahwa santrinya masih pemula.
Ajaran Syekh Siti Jenar memang sangat kental dengan hakikat dan
tasawuf yang pada saat itu bisa dibilang baru, karena para wali, meskipun
menguasai hal yang sama, tetapi sama sekali tidak mengajarkan hal tersebut. Ini
bisa dimaklumi, karena tugas yang diemban berbeda-beda. Apa yang harus
diajarkan lagi jika tugas yang diemban adalah mengajarkan Syahadat? Sebuah
Hadits menyebutkan bahwa Awal dari Agama adalah mengenal Allah. Dan
ini merupakan titik tolak Syekh Siti Jenar, bahwa jika mereka tidak marifat
maka mereka sebenarnya tidak menyembah Allah, melainkan menyembah budi
semata.
Menyadari hal ini, Syekh Siti Jenar kemudian mengajarkan kepada para
santrinya tentang hakikat ketuhanan, baik dari sumber-sumber yang
dipelajarinya, maupun dari hasil perjalanan spiritualnya. Ini diklaim oleh para
wali dan pemerintah setempat sebagai upaya penyesatan, namun sekali lagi, ini
tidak benar. Sunan Kalijaga sendiri memahami apa yang diajarkan oleh Syekh
Siti Jenar, hanya saja Sunan Kalijaga keberatan jika manunggaling Kawula lan
Gusti diwejang kepada para santri yang masuh bodoh itu.
Syekh Siti Jenar menolak apa yang disebut-sebut oleh para wali sebagai
sesat itu. Karena dia tahu benar bahwa apa yang dia ajarkan itu penting, demi
benarnya arah peribadatan para santri. Lucunya, apa yang dialami oleh al-Hallaj
kembali terulang, dengan alasan politik, Syekh Siti Jenar akhirnya dihukum
penggal. Misteri kematiannya juga sampai saat ini belum terungkap dengan
jelas.
Para pejabat kerajaan Demak Bintoro menjadi gelisah, mereka khawatir
jika ajaran Syekh Siti Jenar ini menimbulkan pemberontakan terhadap
pemerintah. Salah satu murid Syekh Siti jenar adalah Ki Ageng Pengging yang

10

merupakan anak istana Majapahit yang pada saat itu berstatus sederajat dengan
Raden Patah. Pemerintah khawatir jika terjadi bentrokan antara aden Patah dan
Ki Ageng Pengging. Raden Patah pernah memanggil Ki Ageng Pengging untuk
menghadap demi klarifikasi ajaran Manunggaling Kawula lan Gusti, namun Ki
Ageng Pengging menolaknya, karenanya raden Patah dan para Wali
menyepakati untuk menyeret Syekh Siti Jenar di Sidang perwalian. Mereka
mengutus Syekh Domba dan pangeran Bayat, tetapi setelah melewati debat
yang ketat dengan Syekh Siti Jenar, Syekh Domba malah menjadi murid Syekh
Siti Jenar. Akhirnya, para Wali sendiri datangi Syekh Siti Jenar dan
menghukumi Syekh Siti Jenar, dengan alasan tidak mematuhi sultan demak
pada saat itu. Belum lagi mereka mengeksekusi Syekh Siti Jenar, beliau telah
melepas diri dengan jalan kematian beliau sendiri, dan kemudian diikuti oleh
beberapa santri yang telah menguasai ilmu tersebut.
Demikianlah perjalanan Wihdatul Wujud sejak al-Hallaj hingga Syekh
Siti Jenar, yang sampai saat ini mendapatkan tudingan sesat, kafir, zindiq,
murtad, dan sebagainya. Melalui risalah Aku dan Wihdatul Wujud ini, anda
akan menemukan jalan yang telah ditemukan oleh al-Hallaj, Ibnu Arabi, Abu
Yazid al-Butshami, Syekh Siti Jenar, dan saya sendiri. Upaya yang saya
lakukan ini bukan semata-mata untuk menantang balik tudingan-tudingan
tesebut, tetapi juga untuk memurnikan Wihdatul Wujud, dan mengenang para
Sufi termasyhur sepanjang sejarah, yang dituding-tuding seperti dan dilaknat
seperti Firaun. Saya masih tidak mengerti, mengapa para ulama di dunia ini
hampir tidak bisa membedakan Firaun dengan para Sufi.

11

Wihdatul Wujud Sebagai Kesadaran Spiritual dan Bukan


Spekulasi Filsafati
Dari apa yang telah dipaparkan secara singkat diatas, sudah barang tentu
Wihdatul Wujud merupakan salah satu kesadaran spiritual yang ditemukan atau
terangkat ke permukaan hati melalui perjalanan spiritual, dan bukan hasil
pemikiran semata. Adapun upaya untuk menjabarkannya dengan kata-kata dan
pikiran bukanlah sebuah alasan untuk mengatakan bahwa Wihdatul Wujud
adalah spekulasi filsafati. Meskipun demikian, memangnya apa yang salah jika
para filsuf (baik muslim maupun yang non-muslim) menemukan sesuatu yang
sama melalui pemikiran? Bukankah ilmu dan akal mereka juga merupakan
rahmat Allah? Bukankah Allah memerintahkan kepada manusia untuk
merenungi, memikirkan, mentafakkuri apa yang ada di langit dan di bumi? Dan
Allah tidak mendegradasi mereka yang non-muslim; surat al-Maidah ayat 69
menyatakan hal tersebut. Hanya saja, keimanan merupakan faktor yang
menyebabkan pertolakan antara kita dan mereka, tetapi persoalan ilmu lain lagi
ceritanya, ilmu, amal dan iman tidak dapat disamakan. Mereka memiliki ilmu,
namun tidak memiliki iman dan amal, maka ilmunya bermanfaat.
Yang penting untuk saya sampaikan bahwa Wihdatul Wujud bukan
merupakan hasil spekulasi para sufi dengan filsafat Yunani tentang eksistensi.
Wihdatul Wujud merupakan hasil atau buah dari perjalanan spiritual, dan bila
perlu saya akan mengatakan bahwa para sufi seperti al-Hallaj, Ibnu Arabi, Abu
Yazid al-Busthami, Syekh Siti Jenar, al-Ghazali, dan lain-lainnya, merupakan
para filsuf Islam yang dalam istilah kita disebut mutakallimin (pakar ilmu
kalam). Hasil pemikiran mereka merupakan ilmu, namun sekali lagi, Wihdatul
Wujud bukan ditemukan lewat berfilsafat tetapi berhakikat dan bertarikat.
Adapun istilah yang nantinya dirumuskan seperti Fana, Baqa, Ittihad, Hulul,
Manunggaling kawula lan Gusti, merupakan istilah untuk mengidentifikasi apa

12

yang mereka alami; pengistilahan dan pengkonsepan itu menjadi penting karena
jika tidak maka tidak ada cara lain untuk mengajarkannya kepada ummat.
Akan tetapi kenyataan jadi lain, ketika para pembaca dan peneliti
Wihdatul Wujud lebih menitik beratkan pada proses konsepsinya yang terkesan
filosofis, mereka tidak memperhatikan dan tidak menyadari bahwa konsepkonsep tersebut merupakan upaya untuk mengkristalkan pengalaman spiritual
para sufi tersebut. Ibaratnya mereka tidak melihat plot cerita dengan baik,
sehingga mereka hanya menyalahkan seorang pendakwah dengan filsafatnya
tanpa melihat asal-usulnya sebagai sebuah kesadaran spiritual.
Sangat penting untuk disadari bahwa mula-mula para sufi melakukan
apa yang diistilahkan dengan takhalli atau penyucian jiwa, sebagian
menyebutnya tazkiyatunnafs. Kemudian tahalli, yakni menghiasi diri dengan
amal shalih. Takhalli bagi para sufi adalah zuhud dan tahalli adalah bertarikat.
Bertarikat dan berzuhud merupakan esensi dari dari kehidupan sufi. Mereka
berzuhud demi menolak segala sesuatu selain Allah, dan bertarikat demi
mendekatkan diri kepada Allah, dengan melalui amal shalih tentunya. Akan
tetapi tingkatan beramal mereka bukan pada tataran menggugurkan kewajiban
semata, melainkan karena cinta dan kerinduan kepada Allah. Sebagai hasilnya
adalah tahalli, atau marifat. Apa susahnya bagi Allah untuk mengilhami
sebuah pertemuan manis bagi hambaNya yang melakukan pekerjaan berat dan
getir ini? Para sufi Wihdatul Wujud, termasuk saya sendiri, mengalami hal ini
dengan awal lumpuhnya segala ilmu bahkan diri sendiri sirna, dengan kata lain
terlempar pada tataran bawah sadar, lebih ke bawah lagi dimana kesadaran
insaniyah

sirna

dan

kesadaran

ilahiyah

menjadi

nyata.

Bagaimana

menjelaskannya jika kita tidak merumuskan apa yang dirasakan dalam sebuah
konsep? Celakanya, banyak orang di dunia ini hanya melihat konsep yang mirip
filsafat dan tidak mempertimbangkan asal-usul dan alasan untuk pengkonsepan

13

tersebut. Memang benar bahwa anda harus mengalaminya barulah anda


memahami konsep tersebut, jika tidak kami sampaikan maka itu akan menjadi
ilmu yang tidak kami amalkan.
Hilangnya kesadaran insaniyah bukan serta merta mengupgrade status
kita dari hamba menjadi Tuhan, tetapi merasa hadirnya Tuhan di dalam diri dan
bukan di luar diri. Ingatlah, bahwa Tuhan memilih hati hambaNya sebagai
tempat bersemayam; dengan catatan sudah bersih dari segala sesuatu selain dia.
Akan tetapi persemayaman ini sifatnya time release, atau sistem lepas. Maksud
saya adalah kesadaran ilahiyah ini menjadi nyata saat kesadaran insaniyah
lebur, hilang. Ketika sang sufi kembali kepada kesadaran insaniyahnya, maka
kesadaran ilahiyah itupun segera ghaib.
Dengan demikian, Wihdatul Wujud bukanlah hasil spekulasi filsafati,
seperti yang dilakukan oleh para filsuf Yunani yang berpikir keras tentang
eksistensi seperti postulat Cartesian cogito ergo sum, tetapi Wihdatul Wujud
merupakan hasil pergumulan upaya hamba dan kasih sayang Tuhan. Tidak
selalu sempurna dalam menjelaskan fenomena Wihdatul Wujud, karena hanya
pengalamanlah yang akan menjadi penjelas sejati.
Pada bagian ini, saya harap anda sudah memiliki gambaran dan secercah
cahaya kesiapan untuk melanjutkan pada kajian Wihdatul Wujud yang akan
saya sampaikan. Saya harapkan anda geser sedikit saja pedang anda dan duduk
tenang untuk merenungi apa yang akan saya sampaikan, saya memohon
ampunan kepada Allah dan rahmatNya agar kita semua bisa mendapatkan
pencerahan sejati. Kesimpulan akan selalu berada di tangan anda sebagai
pembaca.

14

Wihdatul Wujud
Berawal dari Maksud Allah untuk Dikenal
Allah telah menciptakan mahlukNya dengan beberapa tingkatan niat.
Mula-mula Allah menciptakan makhluk dengan niat sebagaimana tertuang
dalam hadits qudsi:
Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi, Aku ingin dikenal,
maka Kuciptakan makhluk dan denganKu mereka mengenalKu.
Allah merupakan Al-Awwal yang tidak diawali, Dia bersifat Ada Sedia
(Wujud). Kehendak Allah adalah untuk dikenali (untuk dimarifati).
Kesendirian Allah merupakan kebenaran mutlak yang tak bisa ditolak, karena
jika ada sesuatu selain Allah, maka Allah bukanlah Yang Awal. Dalam kitab
Daqaaiqul Akhbar disebutkan bahwa sebelum Allah menciptakan para malaikat
yang bertugas untuk menyebut dan memuji diriNya, Allah memuji diriNya
sendiri yang Maha Indah dan Elok. Allah ingin dikenal, sebagai Yang Maha
Esa dan itulah yang menjadi misi setiap nabi yang turun dimuka bumi, yaitu
memperkenalkan Allah Yang Maha Esa, misalnya surat Hud ayat 84.
Dengan demikian, mengenal Allah merupakan tugas utama makhluk,
terutama manusia. Mengenal Allah lebih signifikan dari pada mengenal hukumhukumNya. Hal ini saya sebutkan karena dengan mengenal Allah maka kitapun
segera mengetahui apa yang diinginkanNya dan apa yang tidak diinginkanNya.
Mengenal Allah haruslah secara kaffah, secara totalitas. Syekh Siti Jenar
mengutamakan hal ini dalam persoalan ibadah, dimana dia menyatakan bahwa
ibadah tanpa marifat adalah syirik. Bagaimana bisa anda beribadah kepada
Allah dengan niat lillahi taala, sementara anda belum mengenal siapa Allah?
Bahkan jika ditanyakan apakah Allah adalah namaNya, bagaimana anda
menjelaskannya? Jika anda mengatakan Ya maka bagaimana mungkin anda
memanggil-manggil namaNya dengan namaNya, sedangkan anda begitu

15

menghormati dosen anda dang memanggilnya dengan pak atau prof. Ini
adalah tanda bahwa anda melakukan ibadah tanpa marifat.
Jika anda bersaksi Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah apakah
benar anda menyaksikannya? Atau anda hanya menyebutnya sebagai formalitas
masuk Islam saja? Apa benar anda menyaksikan bahwa Allah adalah Esa?
Jangan-jangan selama ini kita hanya melakukan persaksian palsu semata.
Syekh Siti Jenar menekankan bahwa bisa jadi kita selama ini
menyembah akal budi saja, artinya, pengenalan Tuhan itu tidak bersumber dari
kesadaran ruhaniah tetapi karena spekulasi akal budi saja. Ini sangat berbahaya,
karena ini sudah termasuk syirik. Yang bisa membawa makhluk (manusia) pada
marifatullah secara kaffah adalah dengan melalui pengalaman ruhani, karena
Allah tidak akan pernah bisa dikenal dengan logika saja.
Wihdatul Wujud, jangan hanya dipandang dari segi terminologinya saja,
menyatunya hamba dengan Tuhan. Lihat makna lebih dalam, hanya dengan
menghilangkan diri dan segala sesuatu selain Allah barulah kita bisa
menggapai marifat. Setelah itu, Allah akan senantiasa berada dalam hati, dan
ibadah akan menjadi lebih sejuk. Arti hakiki dari marifat juga bukan sematamata mengenal Allah, tetapi Allah memperkenalkan DiriNya kepada kita,
sebagai rahmat, buah dari upaya keras kita melakukan perjalanan menuju dia.
Upaya para sufi adalah untuk bisa mengenal diriNya secara hakiki,
bukan hanya hasil pemikiran dan logika saja. Karena secara logika, Allah hanya
bisa dikenali perbuatanNya saja, tetapi untuk mengenali secara hakiki, maka
kita harus mengenaliNya dari nama, sifat, perbuatan, hingga dzat. Ini memang
hanya bisa ditemukan dalam tasawuf, dan ini merupakan hasil perjalanan
spiritual dan bukan semata-mata spekulasi filsafat saja.

16

Untuk bisa marifatullah secara kaffah, seperti yang telah disebutkan,


manusia harus mampu menolak segala sesuatu selain Allah. Ini hanya bisa
dilakukan dengan zuhud, dan kemudian melakukan perjalanan spiritual dengan
cara bertarikat. Tarikat maksudnya jalan, dan ibadah merupakan tarikat. Jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Suatu ketika Sayidina Ali bertanya
kepada Rasul tentang jalan dekat menuju Allah dan Rasul bersabda Dzikir.
Ini merupakan landasan sufi untuk bertarikat, yakni dengan melakukan ritual
dzikrullah. Mengingat Allah dengan cara khusus, sebagaimana yang Rasulullah
lakukan selama berada di Gua Hira atau di kamar khusus yang disebut dengan
kamar khalwat; kemudian perjalanan tarikat ini disebut dengan berkhalwat,
yakni bersunyi diri untuk berdzikir kepada Allah.
Bagi anda yang suka menafsirkan kalimat sepotong-potong untuk
mencari kesalahan orang lain, saya ingatkan, khalwat disini bukan hanya duduk
dengan tasbih di tangan, tetapi disertai dengan zuhud, saya sudah menyebutnya
di depan. Bersunyi diri agar tidak terganggu, dan para sufi kebanyakan
menjauhi keramaian sosial bukan untuk mengisolasi dirim tetapi mengisolasi
hati dari segala sesuatu selain Allah. Pada tingkatan tertentu, bahkan diri yang
mengingat pun sudah dilupakan, sehingga yang ada hanya yang diingat saja,
yakni Allah semata. Mendekat, mendekat, lebih dekat, hingga hakikat melebur;
inilah fana. Apakah selamanya seperti itu? Tidak, pengenalan dan penyatuan
itu begitu singkat. Bagaimana bisa kita tahu bahwa itu Allah? Ini tidak mungkin
dijelaskan, karena hanya yang mengalaminya saja yang memahaminya; bisa
jadi iblis yang datang? Hakikat iblis tidak setara dengan Allah dan hanya Allah
tujuan kita. Dengan demikian, iblis tidak mungkin mampu menembus hijab
dzikrullah. Mengapa para sufi tidak dapat menjelaskan hal tersebut secara rinci
sehingga dituduh mengada-ngada? Itu karena fana diawali dengan lumpuhnya
ilmu bahkan diri sendiri. Hanya Nurullah semata yang dapat menjelaskannya

17

kepada anda. Jika semua yang dipaparkan benar (dan memang benar), maka
sungguh celaka tangan-tangan yang menuduh para sufi (waliyullah) sesat,
bahkan membunuh mereka, karena yang mereka tuduh dan bunuh adalah para
kekasih Allah, para pemegang rahasia ketuhanan terbesar dan terpenting bagi
ummat manusia. Alhasil, korupsi kiri-kanan, prostitusi kiri-kanan, intimidasi
dan peperangan sana-sini, karena kebenaran sudah diputarbalikkan menjadi
kesesatan; manusia tidak lagi menggenggam kebenaran, karena pemegang
kebenaran sudah dibunuh, dari karakter hingga jiwa. Mungkin kelak saya juga
akan dibunuh karena menganut faham Wihdatul Wujud, Alhamdulillah karena
saya juga termasuk daftar orang-orang yang menyampaikan kebenaran tersebut.

Kembali kepada Sumber


Allah merupakan Sumber segala sesuatu, karena segala sesuatu
bersumber dari kalam kunNya. Segala sesuatu merupakan kehendakNya,
tentunya segala sesuatu juga diberikan kodrat dan iradat agar mampu
mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing. Innalillahi wa inna ilaihi
rajiun, ini merupakan dasar dari pernyataan bahwa segala sesuatu akan kembali
kepada asal masing-masing. Jasad kembali kepada tanah sebagaimana asalnya
diciptakan nabi Adam as, ruh kembali kepada asalnya di alam arwah, nafas
kembali pada asalnya, dan kita pun kembali kepadaNya sebagai asalnya. Akan
tetapi apakah kita harus menunggu meninggal dunia baru bisa kembali kepada
asal? Atau haruskah kita mendapatkan musibah barulah kita menyebutkannya?
Suatu ketika Rasulullah pernah bersabda Matilah engkau sebelum engkau
mati, hadits ini merupakan petunjuk bahwa kita harus kembali kepada Allah,
kepada sumber, untuk mengenal diriNya secara kaffah sebelum kita mati.
Kematian sebelum mati diawali dengan matinya cinta kepada dunia, yaitu
dengan berzuhud. Kemudian dilanjutkan dengan matinya sifat-sifat dhalalah,
memberantas penyakit jiwa dengan takhalli. Kemudian mematikan seluruh

18

ingatan terhadap segala sesuatu selain Allah semata, dan ini dilakukan dengan
cara berkhalwat.
Ucapkanlah la ilaha illallah, dan sadarkan diri bahwa ucapan ini
mengandung dua makna. Bahwa segala sesuatu selain Allah adalah ilah,
termasuk diri sendiri. Arti kedua adalah bahwa ilah itu sebenarnyalah ada dan
Allah adalah satu-satunya ilah. Kedua makna ini akan menggiring kesadaran
insaniyah menuju ketenggelaman diri kedalam hakikat Allah, sebagai sumber;
laksana secercah cahaya yang kembali pada matahari, seperti setetes air laut
kembali pada samudra yang tak bertepi, dimana ilah tidak ada, yang ada hanya
Allah. Ingatlah, YANG ADA HANYA ALLAH.
Saat kesadaran insaniyah sudah melebur, tenggelam, dan sirna, maka
sesungguhnya yang berdzikir dan yang didzikirkan adalah satu. Apa dayanya
secerah cahaya lilin pada matahari? Apa dayanya setetes air laut pada samudra
tak bertepi? Kembalinya kita pada sumber selagi masih hidup membuahkan
pengenalan luar biasa kepada Allah Yang Maha Agung.
Ada potensi besar dalam diri manusia, tetesan air atau secercah cahaya
yang kami maksudkan adalah Ruh, yang digambarkan dalam surat Shaad ayat
72. Setitik ruh yang Allah tiupkan dari diriNya sendiri. Banyak ulama
menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata sebagian dari ruhKu adalah
ruh ciptaanKu. Tentu saja tidak ada yang tidak diciptakan oleh Allah, tetapi
jika demikian, maka untuk apa para malaikat diharuskan bersujud? Jika
manusia itu hanyalah prang-orang seperti anda, yang bahkan tidak memahami
bahwa di dalam diri terdapat unsur ilahiyah? Oleh karena itu, kami lebih
memahami ayat tersebut bahwa sebagian diri Allah telah diteteskan pada
manusia, sehingga manusia memiliki naluri untuk kembali pada asalnya. Inilah
alasan mengapa Allah ingin dikenal dan dia berkata dan denganKu mereka

19

mengenalKu. Artinya dengan setetes dari diriNya itulah yang menyebabkan


kita mampu mengenalnya, dengan cara kembali kepada sumber kita.
Selain itu, Allah menciptakan alam semesta dari Nur Muhammad, dan
Nur Muhammad merupakan pancaran Nurullah. Perhatikan sebuah hadits
riwayat Jabir r.a. bahwa sesungguhnya Jabir r.a. bertanya kepada Rasulullah
Ya Rasulullah, apakah yang mula-mula Allah ciptakan? kemudian Rasulullah
menjawab Mula-mula Allah menciptakan Nur nabimu, dan dari Nur itulah
segala sesuatu diciptakan, termasuk engkau Jabir. Allah Maha Awal, dan telah
mengambil bahan baku penciptaan alam semesta dari diriNya sendiri, yaitu
dengan beriradah. Termasuklah manusia, diciptakan dari Nur Muhammad, dan
Nur Muhammad diciptakan dari cipratan Nurullah yang memancar dari diriNya
sendiri.
Terlalu dini untuk menyebutkan ini paham Syiah, karena ini
merupakan Hadits Rasulullah dan bukan perkataan Imam Syiah, bahkan bukan
Sayidina Ali, tetapi langsung dari Rasulullah; artinya, ini harus dipatuhi oleh
semua golongan ummat Islam, bukan Syiah saja.
Wihdatul Wujud merupakan kenyataan kembalinya seorang hamba
kepada Allah sebelum dia mengalami kematian, dan memanglah tidak harus
mengalami mati barulah bertemu dengan Allah; justru bertemu dengan Allah
dan kembali kepada Allah semasa hidup lebih penting; agar segala perilaku
lahir dan batin senantiasa mendapatkan bimbingan dari Allah, dan senantiasa
merasa mesra bersama Allah.

Hakikat Ilahiyah dan Insaniyah


Tidak dapat kita sangkal bahwa tiada daya dan upaya melainkan dari
Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, artinya, Allah merupakan sumber
daya dan upaya. Wihdatul Wujud sesungguhnya membagi bagian-bagian yang
menjadi hakikat (dan hak) ilahiyah dan hakikat insan, sebagai khalifah Allah.

20

Bagi Allah ada qudrat dan iradat, demikian pula qudrat dan iradat insan. Qudrat
Allah adalah menentukan sedangkan qudrat insan adalah menjalankan
ketentuan; iradah Allah adalah berkehendak dan iradah insan adalah
menginginkan; disini kita melihat bahwa ada hubungan absolut antara qudratiradat ilahiyah dan qudrat-iradat insaniyah. Dengan sebuah kesimpulan, bahwa
keilahiyahan tidak akan terjadi tanpa keinsanian, maka Allah menjadi Dzat
Maha Mulia, karena terciptanya hamba yang rendah. Allah, merupakan Tuhan
saat Dia menciptakan makhluk karena Dia berkehendak seperti itu. Jika tidak
ada makhluk maka tidak ada yang mengakui bahwa Dia adalah Tuhan, apakah
Dia mengakui bahwa Dia Tuhan? Ya, Dia mengakuinya, namun iradahNya
untuk diketahui dan diakui menyebabkan turunnya insan dengan hakikatnya.
Hakikat insan adalah mengakui, dan hakikat ilahi adalah diakui. Namun di satu
sisi, hakikat insan juga harus diakui, yaitu Allah mengakui bahwa insan adalah
hamba. Pengakuan ini hanya bagi insan yang ingin mengetahui seberapa jarak
antara dia dan Allah, secata tegas disebutkan dalam al-Quran surat al-Baqarah
ayat 186:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,


maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran.
Ini merupakan hak-hak insan yang diakui oleh Allah, segaligus
penegasan hak-hak ilahiyah. Apa yang dapat ditarik sebagai kesimpulan adalah
adanya hubungan saling mengakui hakikat masing-masing, dan bahkan saling
mengikat antara satu dan yang lain. Seorang insan ditegaskan untuk beriradah

21

hanya kepada Allah, memenuhi segala qudrah Allah, beriman kepada Allah,
dan akhirnya berada dalam kebenaran atau terhindar dari kesesatan.
Menyadari bahwa hakikat ilahiyah dan insaniyah adalah dekat,
menyebabkan lahirnya bimbingan langsung dari Allah tanpa perantara,
mendapatkan kesadaran diawasi secara langsung dari Allah. Kedekatan antara
Allah dan Hamba adalah sangat dekat, tentunya jika hamba itu mencintai Allah
dan tidak hanya melaksanakan ibadah sebagai rutinitas semata.
Pada akhirnya, tidak semua manusia diakui oleh Allah sebagai
hambaNya. Hanya sebagian dari sekian banyak manusia yang diakui sebagai
hambaNya. Ini artinya bahwa hakikat insaniyah dan ilahiyah juga merupakan
hubungan kausal (jika mengakui maka diakui); misalnya yang terdapat dalam
ayat berikut:

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu


terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu
orang-orang yang sesat (al-Hijr: 42).
Ayat diatas menunjukkan bahwa kata kecuali merupakan penolakan
terhadap manusia yang sesat. Allah tidak mengakui sebagian manusia sebagai
hambaNya, lantaran mereka mengikuti syaithan. Dan bagi Allah, syaithan tidak
akan bisa menggoda hambaNya. Ini menunjukkan bahwa derajat hamba
sangatlah tinggi untuk ukuran manusia, karena sejauh ini, setiap manusia
senantiasa masih dukuasai oleh syaithan. Dan ternyata, hanya sebagian dari
manusia di muka bumi ini yang diakui sebagai hamba Allah, yakni orang-orang
yang juga mengakui hakikat Allah sebagai Sang Ilahi, dengan pengakuan dan
persaksian yang sesungguhnya.

22

Melihat hakikat yang telah dipaparkan, maka insan dan ilahi itu laksana
cahaya dan sifat meneranginya, es dengan dinginnya, pedang dengan tajamnya.
Sebuah misal lain, adanya seorang ayah karena ada anak yang mengakuinya,
adanya seorang suami karena ada isteri yang mengakuinya. Artinya, secara
hakikat, Ilahi dan Insani itu merupakan kausalitas yang tak dapat dilerai satu
dan yang lainnya. Dengan demikian, adanya Allah sebagai kenyataan adanya
hamba, dan begitu pula sebaliknya. Maka, secara hakikat, Allah dan hamba itu
tidak terpisahkan, atau merupakan rangkaian hakikat yang tak terpisahkan.
Wihdatul Wujud, pada gilirannya, merupakan sebuah paradigma sufistik
yang sarat dengan makna hakikat dan bukan makna syariat. Para ahli syariat,
yang sudah tentu tidak ahli dalam hakikat, langsung saja menghempaskan
ajaran al-Hallaj, Ibnu Arabi, al-Busthami, dan Syekh Siti Jenar dalam
kekafiran, padahal mereka tidak memahami bahwa ajaran Wihdatul Wujud
merupakan penyatuan secara hakikat, dan bukan dzat.
Tidakmungkin dzat Allah menyatu dengan dzat hamba, karena dzat
Allah laisa kamistlihi syaiun (tidak serupa dengan apapun) dan Maha Suci.
Sementara dzat manusia adalah kotor dan hina. Seperti yang digambarkan
dalam surat al-Mursalat ayat 20 dan surat as-Sajdah ayat 8; bahwa manusia
diciptakan dari air yang hina. Para sufi yang berilmu tentu saja tidak luput dari
perhatian kearah ini. Tetapi secaha hakikat, ruh manusia merupakan tiupan ruh
(ciptaan) Allah yang juga suci. Karena yang suci akan berasal dari Yang Maha
Suci.

Sifat Ilahiyah dan Sifat Insaniyah


Dari segi sifat, manusia mewarisi tiga sifat yang potensial; yakni sifat
ilahiyah, sifat malaikat, dan sifat hewani. Secara jasmaniah, insan mewarisi
sifat hewani seperti makan, minum, kawin, bertumbuh, memiliki rasa marah,
dan sebagainya. Sifat ini diakomodir oleh hawa nafsu, dan inilah sisi hewani

23

manusia. Jika manusia lebih condong pada sifat hewani, maka dia lebih rendah
dari pada binatang. Untuk menghindari ini, maka manusia juga diberikan akal
dan ilmu. Dari segi malaikat, manusia memiliki naluri beriman, beribadah, dan
taat. Sedangkan sifat ilahiyah, hampir semua sifat Allah diwarisi oleh manusia,
hanya saja sifatnya tidak memiliki makna Maha.
Jika Allah Maha Esa, maka manusia itu pun esa. Kita hanya terlahir
sekali, dan kita akan mati sekali. Kita tidak pernah ada bandingan dengan
segala sesuatu apapun, atau dengan seorang pun. Esa, unik dan memiliki
kekhususan yang tidak akan pernah sama, walaupun kembar identik.
Marifat terhadap sifat-sifat ilahiah yang terwarisi pada diri merupakan
hal mutlak yang harus dilakukan. Ini penting dalam rangka menuju hakikat
insan kamil. Segala sesuatu Allah wariskan kepada kita, namun kita saja yang
kemudian membuang satu demi satu. Sedangkan sebagian besar lebih
mementingkan aspek hewaninya, dan sebagian lagi mementingkan aspek
malaikatnya. Adanya sifat-sifat hewani dalam diri manusia adalah untuk
menguji sifat malaikat. Sedangkan adanya sifat malaikat itu disebabkan karena
manusia diciptakan dengan model ciptaan sebelumnya, yakni malaikat; sifatsifat malaikat menjadikan kita beriman dan taat. Sementara sifat-sifat ilahiyah
menjadi penuntun menuju insan kamil. Apa yang menjadi titik temu antara
hakikat ini dengan Wihdatul Wujud? Kembali kita melihat para sufi yang
berzuhud. mereka jarang makan, jarang minum (puasa), mereka jarang tidur
untuk berdzikir kepada Allah diwaktu malam, mereka menjauhi obrolan yang
sia-sia, mereka membenci pembunuhan, dan melatih kesabaran untuk
melumpuhkan hawa nafsu. Mereka melakukan mujahadah semacam ini demi
menekan sifat hewani dalam diri mereka habis-habisan. Pada saat yang sama,
mereka juga menghiasi diri dengan amalan-amalan ketaatan meniru apa yang
dilakukan oleh para malaikat. Disamping melaksanakan amalan fardhu dan

24

rawatib, mereka juga melakukan amalan yang dilakukan oleh para malaikat,
yaitu berdzikir memuji Allah. Dengan melakukan ini, mereka sebenarnya
melakukan perjalanan ruhani menuju tingkat tertinggi, yakni tingkat
marifatunnafs. Mereka menemukan diri mereka sebagai hamba yang memiliki
sifat-sifat ilahiyah, sebagian sufi menyebut sifat-sifat rabbaniyah.
Sebagai sesuatu yang diwarisi, mereka ingin bertemu dengan
sumbernya, yakni yang mewariskan sifat itu, Allah. Sebelum mereka sampai
para mengenal Allah, mereka harus mengenal diri sendiri, apa yang disebut
marifatunnafs. Ini tercermin dalam ungkapan man arafa nafsahum faqad arafa
rabbahum (barangsiapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya).
Mereka kemudian mencari jati diri yang sebenarnya, dan ini akan semakin
mudah jika aspek-aspek selain Allah dihilangkan (dilupakan) lebih dahulu.
Para sufi kemudian melakukan perjalanan dengan pendekatan tauhid
yang empat. Yaitu Tauhidul Asma, Tauhidus Sifat, Tauhidul Afal, dan
Tauhiduzzat.

Derajat Tauhid
Para sufi, para ahli hakikat, selalu saja ribuan langkah lebih maju dan
lebih depan dari yang bukan sufi dan bukan ahli hakikat. Kata tauhid senantiasa
diartikan dengan menyucikan Allah dan tidak menyekutukanNya. Para sufi,
khususnya sufi Wihdatul Wujud, mendapatkan pemahaman yang lebih tinggi
dari itu. Marilah kita bahas empat derajat tauhid.

Tauhidul Asma
Persoalan nama Allah merupakan persoalan yang sering dibahas asalusulnya. Sebagian literatur menyebukan bahwa kata Allah merupakan
destinasi terakhir dari El, Eli, Elah, Ilah, Allah. Semua kata ini, konon, berasal

25

dari bahasa Aram. El digunakan untuk merujuk pada Dzat Mulia, digunakan
oleh Ezra. Sementara itu, Eli digunakan di zaman nabi Isa as. Misalnya dala
kitab tertulis Yesus berteriak Eli Eli Lama Sabaktani yang artinya Tuhan,
Tuhan, mengapa Engkau tinggalkan daku. Kemudian kata Elah dan Ilah yang
digunakan untuk arti yang sama sampai pada bahasa Arab (ilah artinya Tuhan)
dan Allah dengan tujuan yang sama, Tuhan. Tentang hal ini, sangat terbuka
untuk dikritik.
Jika dilihat dengan baik, maka perjalanan sebutan Allah ini melalui
proses panjang namun pada satu konteks, yaitu konteks bahasa lokal yang
menderivasi atau turun-menurun; dari bahasa Aram, Ibrani, ke Arab.
Pertanyaannya adalah, apakah benar Allah adalah nama Tuhan secara dzat?
Hal penting yang harus dicermati adalah bahwa al-Quran turun dengan
bahasa Arab yang mudah dipahami oleh masyarakat Arab sendiri. Misalnya
nama Allah sendiri. Dalam al-Quran surat al-Qashash ayat 30 misalnya, Allah
mendeklarasikan dirinya secara demikian. Allah Maha Mengetahui, hanya kata
Allah saja yang paling relevan bagi bangsa Arab untuk merujuk pada
diriNya. Bagaimana jika al-Quran tidak turun dalam bahasa Arab, namun
bahasa Inggris, tentu saja kita tidak akan menyebut namaNya Allah, namun
God.
Jika memang benar Allah adalah nama Tuhan, maka betapa kasar dan
tidak sopannya kita karena menyebut namaNya tidak lebih dari seperti
memanggil nama teman kita. Kepada ayah kita tidak memanggil nama, kepada
guru kita tidak juga berlaku demikian, tetapi kepada Allah kita memanggil
namaNya? Ini suatu hal yang tidak pernah dipikirkan oleh yang bukan ahli
hakikat. Sesungguhnya, ketika Allah mendeklarasikan ketuhananNya innany
Annallah dimaksudkan Sesungguhnya Akulah Tuhan dan Tuhan adalah
hakikatnya, dan bukan nama dzatNya yang sesungguhnya tidak berhuruf tidak

26

pula bersuara. Sehingga pada tahap nama, Allah hanyalah sebuah sebutan
hakikat sebagai Tuhan dan bukan nama dzatNya. Allah hanya mengajarkan
bagaimana mensifatiNya lewat asmaulhusnah, namun mengenai hakikat
dzatNya sendiri, Allah adalah Sirr (Rahasia). Oleh karena itu, al-Hallaj lebih
suka menyebut Ana al-Haqq ketimbang innany Annallah. Nama dzatNya
tidak tersentuh, dan hanya bisa ditauhidkan dengan marifat, Hu (Dia).
Sebagaimana ketika para sufi telah mengalami fana, kebingungan melanda.
Mereka tidak lagi bisa membedakan mana Allah dan mana Allah dalam
sebutan. Insan Wihdatul Wujud tidak menemukan Tuhan sebagai Allah saat
fana namun menemukan Dia sebagai Dia.

Tauhidus Shifat
Setelah mentauhidkan asma Allah secara marifat sebagai sirr, maka
sesudah itu mentauhidkan sifat-sifat ilahiyah. Beberapa sifat yang sangat
relevan adalah bahwa Allah itu Wujud. Wujudnya Allah merupakan kenyataan
maujud insan. Mentauhidkan Wujud Allah adalah sekaligus mentauhidkan yang
maujud. Allah hadir dalam maujud insan, baik sebelum, sedang, dan sesudah
maujud itu ada. Jika melihat makhluk, maka itu adalah cerminan Qidam Khaliq.
Kemudian, Allah Qiyamuhu Taala binafsihi, seperti huruf alif yang berdiri
tegak tanpa penyanggah apapun. Allah pun beriradah dan insanpun demikian,
hingga qudrat ilahiyah pun ada pada qudrat insaniyah seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya. Mentauhidkan sifat Allah adalah mengumpulkan
segala sifat kepada Yang Satu dan mengembalikan Yang Satu kepada yang
segala. Melihat sifat Allah pada insan dan semesta, merupakan wujud tauhidus
shifat, dan juga sebaliknya, melihat sifat insan sebagai wujud sifat Allah. Akan
tetapi hal ini hanya berlaku untuk para sufi yang sudah berzuhud menolak dunia
dan akhirat. Bagi anda yang bukan atau baru akan menuju ke Wihdatul Wujud,

27

hal ini sangat diharamkan bagi anda; oleh karenanya anda pun mengharamkan
hal demikian.
Mengakui bahwa sifat insan merupakan wujud sifat Allah tanpa marifat
sebelumnya merupakan pengakuan buta, dan kafir. Bukan hanya kebanyakan
para ahli fiqih mengkafirkan ajaran ini, tetapi para sufi pun akan
mengharamkan pengakuan ini,

jika diakui oleh orang yang belum

mengalaminya, atau belum melalui jenjang-jenjang yang sudah ditentukan.

Tauhidul Afal
Perbuatan merupakan wujud sifat, dan begitu pula sebaliknya. Kita
melihat bumi berputar, matahari bergerak, angin bertiup, dan sebagainya,
hingga jantung berdetak, merupakan afal Allah pada alam dan pada insan.
Mentauhidkan perbuatan Allah maksudnya mengembalikan segala hakikat
perbuatan pada qudrat dan iradat, baik itu hakikat ilahiyah maupun insaniyah.
Qudrat Allah adalah bahwa Dia berkuasa melakukan apapun yang Dia
inginkan, dan Iradah Allah adalah bahwa Dia berkehendak sesuai dengan
keinginanNya sendiri. Tidak demikian pada perbuatan insan. Meskipun insan
memilki qudrat (kuasa) untuk melakukan apa yang diinginkan, tetapi insan
memiliki qudrat yang berada dibawah qudrat Allah. Begitu juga iradah
(kehendak), walaupun insan berkehendak pada sesuatu, namun iradah Allah
yang menentukan.
Tauhidul afal adalah mengembalikan segala perbuatan insan yang
dilakukan atas dasar qudrah dan iradah kepada qudrah dan iradah Allah.
Artinya, kita tidak akan berkuasa tanpa izin Allad, dan tidak pula mencapai
kehendak tanpa izin Allah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua
perbuatan akan dihukumkan sebagai perbuatan Allah. Perlu dipisahkan antara
perbuatan Allah dan perbuatan insan (Afal Allah dan afal insan).

28

Afal Allah meliputi afal insan, sedangkan afal insan berada di dalam
dan di bawah afal Allah. Sehingga dari segi perbuatan, meskipun insan yang
mempertanggungjawabkan perbuatannya tanpa didzalimi oleh Allah, tetap saja
semua bergerak pada koridor yang sudah ditentukan oleh Allah sendiri. Inilah
mengapa sehingga para sufi yang perbuatannya sudah terikat zuhud selalu
merasa dibimbing oleh Allah.
Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah dalil:
Apa bila Aku sudah mencintai hambaKu, maka Aku menjadi
matanya dan denganKu dia melihat, Aku menjadi telingaNya dan
denganKu dia mendengar; Aku menjadi lisannya dan denganKu dia
berkata-kata...
Dalil ini menegaskan bahwa bagi orang yang sudah mentauhidkan
perbuatan (Afal Allah dan insan) akan senantiasa terjaga, karena dia tidak akan
melakukan perbuatan apapun terkecuali itu diizinkan oleh Allah, dan sesuai
dengan ketentuan Allah sendiri. Inilah Wihdatul Wujud, dan bukan
menganggap bahwa perbuatan manusia merupakan perbuatan Allah. Saya
ingatkan, bahwa ini diharamkan bagi orang-orang yang belum sampai pada
tingkatan yang seharusnya; bukan dikafirkan oleh orang yang belum sampai
ilmunya.

Tauhiduzzat
Tingkat ini adalah tingkat paling tertinggi dari mentauhidkan Allah.
Tauhid bukan semata-mata bertawakkal dan menolak tuhan selain Allah, tetapi
juga menolak segala sesuatu selain Allah. Akan tetapi penolakan ini hanya
bermaksud untuk mendapatkan pengenalan yang murni, tanpa ada distorsi saja.
Tauhid bukan hanya mengumandangkan tahlil dan melaknat latta, uzza, dan
manatta. Akan tetapi tauhid juga mensucikan Allah dari segala sesuatu selain
Dia, termasuk diri sendiri.

29

Jangan mengira diri sendiri tidak bisa menjadi berhala. Jika seseorang
telah melakukan shalat selama puluhan tahun, hingga dahinya menghitam
sebagai bekas sujudnya, dan dia merasa sudah menjadi ahli ibadah, maka
perasaan dan dirinya itu akan menjadi sesuatu selain Allah yang bisa
menghalangi dia dari pengenalan Allah yang sesungguhnya.
Allah adalah Dzat Yang Maha Tinggi, Mulia, Indah, dan seterusnya.
Dia tidak serupa dengan apapun, dan tidak bisa digambarkan dengan apapun.
Wihdatul Wujud tidak

pernah

menggambarkan Dzat

Allah,

apalagi

menyamakan Allah dengan diri sendiri, ini fitnah. Wihdatul Wujud tidak
pernah mengklaim bahwa diri adalah Allah, ini juga fitnah. Wihdatul Wujud
tidak pernah menceritakan Dzat Allah, melainkan Wihdatul Wujud adalah
sebuah kesadaran mistis bertemunya dengan Allah tanpa diri sendiri.
Allah tidak akan pernah didapati dengan penglihatan, baik dengan mata
hati maupun dengan mata kepala. Namun Dzat Allah bisa disadari hakikatNya,
tentu saja hal ini tidak akan diterima bagi orang-orang yang belum melewati
tarafnya.
Mentauhidkan Dzat Allah adalah menyadari bahwa Allah memiliki
DzatNya sendiri yang terlepas dari dzat-dzat lain. Di saat yang sama,
mentauhidkan Dzat Allah adalah melupakan dzat-dzat lain, dan hanya Allah
satu-satunya Dzat yang Maha Ada; yang lain hanya diadakan saja.
Di dalam hadits qudsi Allah berfirman, Disaat engkau hadir maka Aku
pun ghaib; dan disaat engkau gaib maka Aku pun hadir. Dalam hadits qudsi
lain Sesungguhnya Akulah yang maha Nyata, namun kenyataanmu telah
merenggut kenyataanKu. Dua hadits qudsi ini menjadi jaminan bahwa
kenyataan diri sendiri (maujud) merupakan penghalang yang menyebabkan
kenyataan Allah (Ujud) menjadi gaib.

30

Untuk mencapai derajat tauhiduzzat, maka insan harus mampu


mengingat hanya Allah dan melupakan selain Allah termasuk melupakan diri
sendiri, karena diri sendiri adalah sesuatu selain Allah. Ketika Dzat Allah
menampakkan diri, maka dzat diri sendiri menjadi luluh lantak, sirna seperti
setetes air masuk ke samudra tak bertepi; lebur seperti gunung-gunung hancur
dan nabi Musa as pun pingsan (tidak menyadari bahwa dirinya maujud).
Proses demikian disebut fana. Imam Ali menyebutkan bahwa dia
pernah mengalami hal ini (dalam kitab Tanyalah Aku Sebelum Engkau
Kehilangan Aku) bahkan Imam Ali (Sayidina Ali) mengalami fana di dalam
fana, hingga hanya Allah yang disaksikan, diri sendiri sudah dilupakan.
Fana, menurut para sufi, juga terbagi menjadi fana fil afal, fana fil
asma, fana fis shifat, dan fana fiz dzat. Fana tingkat ini adalah fana tauhid
tertinggi, dan hanya dengan cara ini insan bisa mengenal Allah secara kaffah.
Seluruh penjelasan dari sebelumnya hingga di tahap ini merupakan
serangkaian yang tidak dapat dikaji secara terpisah. Salah satu penyebab adanya
salah tafsir terhadap Wihdatul Wujud adalah karena tafsiran terpisah. Semua ini
juga tidak mungkin bisa didapati dengan cara berpikir, namun dengan cara
melaksanakannya. Oleh sebab itu, sangat rugi orang-orang yang mengkafirkan
dan membunuh para auliya Wihdatul Wujud dengan berdasar pada pengetahuan
dan kajian parsial, sudah barang tentu alasannya karena apa yang mereka
sampaikan adalah sebuah kesadaran spiritual yang luar biasa dahsyat. Akan
tetapi, juga disadari bahwa semua ini adalah rahasia Allah yang harus ditutupi.
Tetapi sampai kapan? Jika semakin lama semakin banyak para auliya dikafirkan
dan dibunuh? Dan meskipun rahasia Allah, dalam sebuah hadits qudsi
disebutkan

bahwa

Innahu

Sirri

wa

Anaa

Sirruhu

yang

anrtinya

Sesungguhnya hambaKu adalah rahasiaKu dan Aku adalah rahasianya.


Rahasia Allah ada dalam diri kita sendiri, dan apa yang kita alami akan selalu

31

menjadi rahasia Allah. Sehingga rahasia ini sebenarnya adalah rahasia antara
kita dan Dia, sangat personal dan oleh karena itu hanya bisa diungkap
kebenarannya melalui pengalaman dan bukan bacaan semata.

Menjelaskan Wihdatul Wujud


Premis-premis terhadap Wihdatul Wujud
Berikut ini akan saya paparkan beberapa saja dari premis yang
dilontarkan kepada para sufi Wihdatul Wujud, dan saya akan menjelaskan
bahwa premis-premis tersebut sangat tidak relevan dengan Wihdatul Wujud ang
sesungguhnya. Kebanyakan diantara premis tersebut disebabkan oleh kajian
parsial yang dilakukan oleh para pakar fiqh, dan tentu saja setiap orang yang
tidak mengalami Wihdatul Wujud pasti akan menganut premis-premis tersebut
juga. Saya ingin menekankan bahwa Wihdatul Wujud itu bisa menjadi haram
jika diakui oleh orang yang belum pernah melewati tahap fana.
Premis pertama adalah bahwa Wihdatul Wujud sesat karena tidak ada
lagi dikotomi Pencipta dan ciptaan. Wihdatul Wujud yang sesungguhnya tidak
menghapus adanya ciptaan, tetapi insan sebagai ciptaan telah melupakan
dirinya sendiri, sehingga yang ada hanyalah Pencipta dan ini hanya terjadi pada
proses fana saja; tentu saja jika insan telah kembali pada kesadaran
insaniyahnya, diapun akan mengakui bahwa dia hamba dan Allah adalah
Tuhan. Wihdatul Wujud mengakui bahwa Allah adalah Pencipta dan manusia
(sufi) hanyalah seorang insan yang berupaya memahami Allah tanpa ada
perantara, termasuk diri sendiri. Ini akan menjawab pertanyaan jika semua
adalah Allah, maka apa fungsi hamba? sebenarnya pertanyaan ini keliru, tetapi
jika harus dijawab maka akan dijawab (untuk melanjutkan paparan di atas)

32

bahwa fungsi hamba adalah untuk meniadakan segala sesuatu selain Dia,
termasuk dirinya sendiri.
Premis kedua, bahwa Wihdatul Wujud adalah Pantheisme, yang
menggeneralisir bahwa segala sesuatu adalah Allah. Ini sebuah kekeliruan, dan
kekeliruan ini berawal dari pernyataan Ibnu Arabi. Saya mengakui bahwa Ibnu
Arabi terlanjur mengungkapkan kalimat yang mungkin tidak sesuai dengan
pengalamannya sendiri, tetapi setiap sufi punya cara masing-masing. Tidak
sepenuhnya benar bahwa Wihdatul Wujud menyapu rata bahwa segala sesuatu
itu Allah; artinya Wihdatul Wujud bukan Pantheisme. Kesadaran tauhid tingkat
tinggi, seperti yang saya paparkan sebelumnya, mengangkat sebuah kesimpulan
bahwa segala sesuatu diliputi oleh qudrat dan iradah Allah. Mulai dari sifat
sampai perbuatan segala makhluk merupakan kenyataan bahwa Allah beriradah
dan Allah berqudrat. Melihat adanya jejak perbuatan Allah pada segala sesuatu
itulah Wihdatul Wujud, jadi bukannya segala sesuatu itu adalah Allah.
Premis ketiga, bahwa Wihdatul Wujud menyamakan antara Pencipta
dan ciptaan. Sebuah misal dilontarkan adalah seorang tukang kayu dan kursi
yang dibuatnya; sudah tentu kursi bukanlah tukang kayu. Wihdatul Wujud tidak
akan juga menganggap bahwa kursi adalah tukang kayu, dan juga sebaliknya.
Bukan hanya itu, bahkan seorang anak yang murni (secara jasmani) merupakan
hasil percampuran antara ayah dan ibu sekalipun tidak akan disamakan; anak
tetap anak, ayah tetap ayah, dan ibu tetap ibu. Sangat naif untuk menyamakan
semuanya. Tetapi yang perlu disadari bahwa Allah menciptakan segala sesuatu
dengan qudrah dan iradah melalui kalam kun dan tanpa bahan baku. Sehingga
misal diatas tidak relevan. Adapun yang terdapat dala Wihdatul Wujud,
mengenai hubungan antara Pencipta dan ciptaan adalah percikan dan Sumber.
Pencipta tetap pada hakikatnya dan ciptaan juga pada hakikatnya. Tetapi khusus
untuk manusia, Allah memberikan kelebihan khusus, yaitu adanya percikan

33

ilahiyah yang merupakan peta untuk kembali kepada Sumber utama, yaitu
Allah sendiri. Dan untuk menelusuri peta itu, haruslah dengan jalan yang telah
saya ulas diatas, hingga mencapai tahap fana.
Premis keempat, bahwa Wihdatul Wujud meniscayakan penyatuan
wujud antara Allah dan hamba; ini keliru, dan mungkin istilah Wihdatul Wujud
harus direform menjadi Wihdatul Hakikat. Hakikat ilahiyah dan hakikat
insaniyah memiliki hubungan kausal, dan hubungan itu tidak akan bisa terpisah.
Ketidakterpisahan itu merupakan jembatan yang menghubungan antara kedua
hakikat. Ini sebabnya mengapa kedua hakikat itu berbeda tetapi disatukan,
karena adanya hubungan kausal. Tidak benar bahwa Wihdatul Wujud
meniscayakan penyatuan secara fisik, bahkan ketika seorang sufi fana,
pikirannya pun sudah tidak berfungsi; bagaimana bisa seorang sufi yang dengan
kesadaran insaniyahnya berani mengaku bahwa Allah mengambil tempat dalam
wujud fisiknya? Ini mustahil.
Para sufi Wihdatul Wujud mengungkapkan ungkapan-ungkapan seperti
Ana al-Haqq atau Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada adalah Gusti Allah
merupakan kalam qadim yang bersumber dari mabuk marifat atau ekstase
sufistik. Ini tidak bisa disalahkan karena mereka berada pada tataran labil, dan
mereka tidak akan mengungkapkan secara normal. Namun setelah mengalami
hal tersebut, kesadaran spiritual itu sudah menjadi sesuatu yang permanen.
Namun sekali lagi, kesadaran itu hanya dialami pada satu titik fana saja.
Memang benar, bahwa meskipun sufi tersebut sudah kembali pada kesadaran
insaniyahnya, tidak akan merubah apa yang telah dia alami. Akan tetapi pada
saat itu pula sang sufi hanya mengetahui bahwa telah terjadi pengenalan
(marifatullah) secara kaffah tanpa penghalang, termasuk diri sendiri. Alhasil,
apa saja yang selama ini menjadi gambaran tentang Wihdatul Wujud tidak
pernah menjadi jelas.

34

Premis keenam, bahwa Wihdatul Wujud adalah hasil spekulasi filsafat


(hasil olah pikir para sufi). Para sufi dengan sangat terpaksa harus menjelaskan
apa yang mereka alami, dan akhirnya penjelasan mereka dituduh sebagai
spekulasi. Ini tidak benar, Wihdatul Wujud bukanlah sebuah hasil spekulasi.
Walaupun para sufi akhrinya harus berfilsafat agar bisa menjelaskan
fenomena tersebut, itu hanya karena filsafat satu-satunya jalan untuk
menjelaskan fenomena secara sistematis dan komprehensif. Wihdatul Wujudlah fenomena itu, sedangkan dari dulu hingga sekarang Wihdatul Wujud malah
disebut-sebut sebagai hasil olah pikiran. Sekali lagi, Wihdatul Wujud adalah
fenomenanya, dan dijelaskan oleh para sufi dengan cara (terpaksa) berfilsafat,
bukan hasil berfilsafat itu yang menjadi Wihdatul Wujud. Dimana manusia
hidup, disitu pastilah ada proses berpikir, dan Allah senantiasa menekankan
bahwa apa yang ada di langit dan di bumi, diantara malam dan siang, terdapat
tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir (al-Baqarah:164; Ali
Imran:190; Yunus:6). Akan tetapi Wihdatul Wujud bukanlah hasil pemikiran
ini, tetapi penjelasan tentang Wihdatul Wujud mengambil perumpamaanperumpamaan dengan cara berpikir.
Masih banyak lagi premis yang dilontarkan, tetapi saya pikir beberapa
diatas sudah cukup untuk meluruskan pandangan umum yang miring terhadap
Wihdatul Wujud. Intinya adalah, bahwa Wihdatul Wujud hendaknya dialami,
sebaiknya juga tidak dikaji secara parsial, karena hanya akan menimbulkan
kesalahpahaman yang berujung pada tuding-tudingan.

Perumpamaan dan Penjelasan


Pada bagian ini, saya akan memaparkan simbol dan misal yang
digunaka sebagai perumpamaan dalam Wihdatul Wujud. Saya mengakui bahwa
terdapat misal-misal yang digunakan yang sebenarnya keliru, seperti misal
pecahan kaca dan wajah milik Ibnu Arabi.

35

Pecahan kaca dan Wajah

Ibnu Arabi menggunakan perumpamaan pecahan kaca, jika ada seribu


pecahan kaca dan satu wajah, maka satu wajah itu akan terlihat di setiap
pecahan kaca itu. Beliau menyatakan bahwa satu wajah itu adalah Allah
sedangkan pecahan kaca itu adalah makhluk. Kesempatan ini saya ingin
meluruskan pandangan tersebut. Adapun pecahan-pecahan kaca itu sudah
merupakan makhluk, namun bukan berarti bahwa Allah ada disetiap diri
makhluk. Hanya manusia saja yang mendapatkan kehormatan itu, sehingga
diperintahkan segala malaikat untuk bersujud. Akan tetapi disegala sesuatu itu
terdapat jejak-jejak perbuatan Allah, misalnya pohon tumbuh dengan
hukumNya, air mengalir dengan iradahNya, angin bertiup dengan perintahNya
(al-Baqarah:164, misalnya), dan seterusnya. Melalui penjejakan ini, maka insan
tidak lagi terpaku pada eloknya ciptaan, tetapi elok dan kuasanya Sang
Pencipta. Sehingga yang dimaksud dengan perumpamaan itu adalah melihat
jejak-jejak Afal Allah dibalik segala kenyataan yang ada.
Cincin Kehidupan (Awal adalah akhir, dan akhir adalah awal)

Kehidupan manusia seperti sebuah cincin, dimana temukan awal maka


disitu pulalah akhir; dan akhir itu merupakan awal pula. Jika diperhatikan,
orang yang sudah menjelang usia sangat tua, sikapnya kembali pada sikap
kanak-kanak, dan bahkan ketidakberdayaannya seperti bayi. Ini karena dia
kembali pada awal dia dilahirkan. Cincin tersebut tidak benar-benar berupa
cincin, tetapi ada sedikit potongan yang memisahkan cincin tersebut. Kita
berasalh dari Allah dan Allahlah tempat kita akan dikembalikan. Awal
merupakan akhir, dan akhir itu merupakan awal. Yang dimaksudkan adalah
bahwa manusia dihidupkan dengan tiupan nafas, dan akan berakhir dengan
menghembuskan nafas, yaitu nafas yang ditiupkan untuk menghidupkan dan
kelak akan diambil untuk mematikan. Perjalanan kembali kepada awal sebelum

36

waktunya memang disebut prematur, tetapi itulah yang harus dilakukan agar
kehidupan di dunia ini tidak sia-sia. Jika semasa hidupnya kita tidak pernah
menziarahi awal, yakni berjumpa dengan Allah, maka kita sama saja seperti
orang yang buta. Ketika hidup tidak mengenal Allah, dan ketika menjelang
sakartul maut kita pun tidak mengenal Allah. Dengan kata lain, kita buta
kepada Allah semasa hidup, maka akan lebih buta lagi di akhirat nanti (alIsra:72).
Alif

Suatu ketika, Rasulullah ditanyakan tentang hakikat ikhlas. Rasulullah


menjawb Ikhlas itu laksana seekor semut hitam, berada di atas batu hitam, di
dalam goa, di malam hari. Makna yang terkandung adalah bahwa Rasulullah
membayangkan keberadaan semut hitam itu yang tidak diketahui oleh siapapun
terkecuali semut hitam itu sendiri dan Allah. Hubungan saling mengetahui itu
membentuk garis vertikal antara Allah Maha Tinggi dan insan yang rendah diri.
Garis vertikal itu kemudian membentuk huruf Alif yang menggambarkan sifat
Allah Qiyamuhu Binafsihi. Kegelapan yang dialami oleh insan merupakan
rahasia keberadaannya di alam jiwa, kegelapan itu hanya diketahui oleh Allah,
dan kerahasiaan itulah yang disebut dengan ikhlas. Alif itu menghubungkan
hakikat Allah di satu titik tertinggi, dan insan di satu titik terendah, tetapi
apakah ujung-ujung huruf alif itu terpisah? Allah menciptakan insan (Adam)
dan diturunkan ke bumi; kemudian Allah juga berfirman bahwa pada akhir
sepertiga malam Dia turun ke langit yang dekat dengan bumi, kedua pernyataan
ini menggambarkan bahwa ada posisi atas dan posisi bawah. Adam diturunkan
melalui aliran vertikal Alif dari atas ke bawah, dan Allah turun dari
singgasanaNya pun menggambarkan gerak vertikal dari atas ke bawah. Ini
menggambarkan posisi

Allah sebagai

Al-Ala (Yang Maha Tinggi)

kedudukanNya, dan insan pada derajat yang rendah karena diciptakan dari air

37

yang hina (secara jasmaniah). Dalam tasawuf, konsep ini disebut marifatul
Alif. Tetapi dalam hal ini, Alif hanyalah sebuah simbol saja, yang menjelaskan
posisi hamba tetap rendah, posisi Allah tetap tinggi dan tak sederajat, tetapi
ujung demi ujung huruf Alif itu merupakan jalinan rahasia yang menyatukan
hamba dan Allah, yakni keikhlasan.
Setetes air dan samudra tak bertepi dan secercah cahaya dan matahari

Ini merupakan perumpamaan yang berulang-ulang digunakan dalam


penjelasan-penjelasan sebelumnya. Insan merupakan hasil dari qudrat dan
iradah Allah, dan oleh karenanya datang dari Allah kembali kepada Allah.
Setetes air yang tertetes ke samudra tak bertepi tidak akan merubah hakikat
samudra itu, tetapi menghilangkan hakikat insan; bukan berarti insan menjadi
Allah, tetapi kesadaran insan lebur dan hanya Allah Yang Maha Ada. Sesaat
saja, ketika tetesan air tadi terhempas kembali keluar dari samudra tak bertepi,
tetesan tersebut tetap mengingat samudra tak bertepi untuk selamanya. Seorang
insan yang kembali pada kesadaran insaniyahnya, tidak akan pernah melupakan
siapa TuhanNya. Ini memang merupakan kerja keras yang sangat dan sangat
berat, namun ganjarannya pun sangat manis, yaitu bertemu dengan Allah tanpa
perantara, bahkan tanpa diri sendiri. Dengan kata lain, pertemuan manis antara
Allah dan insan merupakan buah dari kerja keras melakukan perjalanan dan
upaya (apapun itu), seperti yang digambarkan dalam al-Quran bahwa
perjalanan itu akan tingkat demi tingkat (al-Insyiqaaq:19) dan akhirnya bertemu
dengan Allah (al-Insyiqaaq:6).
Titik dan Cahaya

Sebagaimana hubungan dengan Allah disimbolkan dengan Alif yang


berdiri tegak tanpa disanggah apapun, insan disimbolkan dengan titik yang
merupakan bayangan dibawah kaki Alif itu. Mengapa bayangan Alif

38

membentuk titik? Hal ini karena cahaya yang menyinari Alif itu berada tepat
diatas Alif. Alif itu merupakan Zaitunatil la syarkiyyah wala gharbiyyah,
cahaya itu tidak berada di timur atau di barat, tidak pula di selatan atau di utara,
dan berada tepat di atasnya. Cahaya itulah Nurullah, yang Allah berikan kepada
siapa saja yang Dia kehendaki (an-Nuur:35). Sesungguhnya Nur itu terdiri atas
3, yakni Nurullah, Nur Muhammad dan Nur Insan. Ada yang menyebutnya Nur
Islam, Nur Iman, dan Nur Ihsan. Inilah yang dimaksud dalam ayat di surat
Annur sebagai cahaya di atas cahaya. Insan hanyalah titik yang merupakan
bayang-bayang Tuhan, yang mendapatkan pancaran cahaya, hingga
cahayanya sendiri memendar seperti tersentuh oleh cahaya yang lain. Cahaya
insan merupakan cahaya pinjaman yang dipantulkan dari cahaya Muhammad
(seperti cahaya bulan meminjam cahaya matahari), dan Nur Muhammad itu
sendiri merupakan pancaran Nur Ilahiyah, atau Nur Muhammad. Insan tercipta
dari satu titik air yang hina (Yaasin:77), dan titik itu pula awal segala huruf dan
kejadian. Titik mengawali alif, ba, ta, tsa, dan seterusnya. Sehingga ada dua
jenis titik, yaitu titik nuthfah, dan titik nukhtah. Dari titik-titik ini insan dan alQuran diciptakan, sehingga insan dapat mengenali Allah dengan dua jalan,
yaitu jalan melalui diri sendiri, dan jalan melalui al-Quran. Melalui diri sendiri,
insan akan menemukan akhir bahwa dia hanyalah titik yang tidak berdaya, yang
berada di dalam samudra tak bertepi, yang lemah berada di dalam kekuatan dan
kebesaran, yang merupakan bayangan dari Alif Qiyamuhu Taala Binafsihi.
Sedangkan melalui al-Quran, dia akan menemukan dirinya adalah titik di
bawah huruf Ba dari ayat Bismillahirrahmanirrahim, ayat pertama surat alFatihah. Artinya, dia berada di bawah awal al-Quran diturunkan, dan dia harus
menjalankan semua perintah karena dia hanyalah titik bayang-bayang semata,
yang tidak berdaya upaya, kecuali bersandar kepada Allah semata. Bertemunya
titik dan Alif kembali yaitu kenyataan bahwa al-Quran diawali dengan huruf

39

Ba, sedangkan ayat pertama yang turun adalah Iqra, yang diawali dengan
huruf Alif. Inilah, Alif, titik, dan cahaya. Cahaya menyinari Alif, dan
menghasilkan bayangan titik. Cahaya adalah Nurullah, Alif adalah jalinan cinta
dan hubungan mesra antara Allah dan Insan lewat sifat-sifat mereka, dan titik
adalah insan yang tak berdaya. Kemudian titiklah awal dan sekaligus akhir
segala-galanya, di dalam al-Quran, titik mengawali segalanya dan juga
mengakhiri segalanya. Pengalaman spiritual Wihdatul Wujud juga merupakan
pengalaman titik tertentu, sebelum dan sesudah titik itu bukanlah Wihdatul
Wujud; dan titik itu adalah kesadaran spiritual yang tak berhuruf dan tak
bersuara, hanya ada Insan dan Allah, dan insan pun hilang, sehingga hanya ada
Allah semata.
Penjara Kedirian

Titik (jauhar, nuthfah, nukhtah) adalah hakikat insaniyah, dan ketika


hakikat itu ditiupkan ke dalam jasad, maka terpenjaralah insan di dalam penjara
kedirian, yaitu jasad dan segala keinginannya. Karena jasad maka kita
mengantuk, lelah, lapar, haus, berbirahi, berkeinginan pada dunia. Jasad
merupakan penjara yang mengikat kita kepada dunia, dan menjauhkan kita dari
Allah. Kita tertipu dengan nikmat dunia, dan kita mensyukuri bahwa kita
diberikan tangan dan kaki untuk mendapatkan harta, padahal kita akan lebih
bersyukur jika kita tidak menginginkan semua itu dan tidak pernah dilemparkan
ke dunia jasmani dan senantiasa berada di dekat Allah sediakala. Karena jasad
kita harus melakukan segala sesuatu selain beribadah kepada Allah, karena
jasad kita harus mengingat hal-hal selain Allah, dan karena jasad kita menjadi
terhalang dari Allah. Inilah mengapa setiap anak yang dilahirkan selalu saja
mengeluarkan tangisan, karena setelah terlahir, hakikatnya melihat dunia yang
tidak sama dengan alam kebersamaannya bersama hakikat ilahiyah. Karena
jasad kita juga berpeluang masuk neraka, padahal walaupun tidak masuk

40

syurga, namun berada disisi Allah kita lebih bahagia. Inilah mengapa sehingga
para sufi senantiasa berzuhud, yakni menepis segala keinginan jasad. Setelah
mengalami Wihdatul Wujud, dimana berhasil menepis, memusnahkan jasad,
maka kebahagiaan terlahir, sebuah kebahagiaan dahsyat yang menyebabkan
sukr dan syathiyat. Sekembali pada jasad, maka para sufi tidak lagi merasa
terpenjara, karena Allah pun selalu besertanya (innallaha maana). Segala yang
maujud ternyata merupakan kenyataan bahwa Ujud Allah nyata. Kebahagiaan
itu melahirkan kerinduan untuk kembali, kembali kepada Sumber, kembali pada
Awal, kembali kepada Allah.
Masih banyak lagi sederetan perumpamaan yang menggambarkan
kesadaran spiritual Wihdatul Wujud yang sangat singkat itu. Hanya saja, jika
perumpamaan itu diakui dalam keadaan diluar fana, atau dinilai oleh orang
diluar sufi, maka semua itu terkesan sebagai kekafiran. Sebaliknya, para sufi
Wihdatul Wujud sangat melarang jika terjadi pengakuan diluar fana, apalagi
oleh orang-orang yang bukan termasuk pada tataran tersebut.

Maqam
Yang dimaksud dengan Maqam adalah tingkatan atau wilayat yang akan
(harus) dilalui oleh seorang sufi Wihdatul Wujud. Yang saya sebutkan dan
jelaskan disini hanyalah Maqam yang inti-inti saja.

Takhalli
Takhalli merupakan tingkatan dimana insan, karena beriradah kepada
ilahi, melakukan proses penyucian diri, dengan cara bertaubat, berpuasa,
menyucikan diri jasmani, menekankan keinginan jasmani, menjauhkan pikiran
dari kesenangan duniawi, dan membersihkan hati dari sifat-sifat mazmumah
(tercela). Di dalam diri insan terdapat empat belas gudang yang mula-mula

41

berisi kejahatan dan kegelapan; tujuh pada jasad dan tujuh pada ruh. Keempat
belasnya harus dibersihkan dan kelak diisi dengan perbuatan suci yang
mahmudah (terpuji). Tujuh pada jasad adalah: mata, telinga, hidung, mulut,
tangan, kaki, dan kemaluan. Ketujuh ini harus disucikan dengan cara bertaubat
atas segala perbuatan yang keji dan mungkar. Untuk menyucikan ini, setelah
bertaubat haruslah menggunakannya di jalan yang ditentukan oleh syariat
Islam. Tujuh pada ruhani adalah titik-titik halus (lathifah atau lathaif) yakni:
lathifatul qalbi, lathifatul khafi, lathifatul akhfa, lathifatur ruh, lathifatus sirri,
lathifatun nafsi, lathifatu kullu jasad. Semua lathifah ini harus dicuci dan
mencucinya harus dengan berzuhud. Dzikir merupakan pencuci lathifah,
khususnya hati, sebagai mana Rasulullah bersabda Segala sesuatu ada
pencucinya, dan pencuci hati adalah dzikir. Dzikir yang diutamakan adalah
istighfar dan tahlil.

Tahalli
Setelah insan bertakhalli, saatnya dia harus bertahalli, yaitu menghiasi
diri dengan amalan-amalan mahmudah (terpuji). Secara jasmani dia harus
bersadaqah, baik kepada orang lain, kepada alam semesta, maupun kepada
dirinya sendiri. Semua itu harus terprogram dalam kehidupan insan secara
teratur, terencana, dan bertujuan yang jelas. Dalam bertahalli ini, seorang insan
bukan hanya mencintai amalan fardhu, tetapi juga amalan sunnah. Allah
mencintai insan bukan dengan amalan fardhu, tetapi amalan sunnah. Insan
harus menekan hasrat duniawinya dengan cara berpuasa dan zuhud
lillahitaala. Di waktu siang dan malam hanya mengingat Allah, bersunyi diri,
hanya mencari keridhaan Allah, menyeru dalam hati Ilahi Anta Maqsuudi,
Waridhaka Mathluubi. Hanya Allah yang dimaksudkan dan keridhaanNya yang
dicari. Lisannya selalu basah dengan La ilaha illallah, dan hatinya selalu
berdetak Allah-Allah, serta nafasnya naik turun mengikuti irama dzikir Hu....

42

dan Allah..., setiap langkah kakinya disertai dengan Syahadataini, pandangan


atanya dijaga dari yang haram, telinganya, lisannya dan segalanya. Kemudian
insan juga melakukan perjalanan spiritual tarikat dengan cara berdzikir dan
berdzikir di waktu dan jangka waktu yang ditetapkan oleh tarikat masingmasing. Namun maqam dzikirnya secara umum disebut sebagai berikut:
Mahabbah

awalnya insan harus menghadirkan cinta dan kerinduan kepada Allah.


Bagaimana mungkin seseorang melakukan perjalanan secara berhasil jika dia
melakukannya tanpa kerinduan terhadap apa yang dia cari. Cinta kepada Allah
akan melahirkan cinta Allah kepada insan. Biasanya orang yang menjalani hal
ini hanya sekedar mencari tahu saja, sudah pasti kegagalan yang akan dicapai,
bahkan tidak sedikit yang mengalami gangguan kejiwaan. Cinta adalah
persiapan awal untuk melakukan perjalanan dan kerinduan akan senantiasa
menjadi motif pencarian dari tahap ke tahap. Cinta dan kerinduan kepada Allah
bukan hanya pembuka perjalanan bertahalli, tetapi juga akan senantiasa hadir di
pertengahan dan di akhir perjalanan insan bertahalli. Pada maqam ini, insan
berdzikir istighfar dan ya Rahman ya Rahim...
Mujahadah

Ini adalah tahapan dimana insan berupaya keras, berjuang melawan


segala sesuatu selain Allah yang menghampiri hati dan pikiran. Biasanya ini
adalah pengaruh dari semakin banyaknya kesibukan dunia yang menjebak kita.
Dalam situasi ini, kita benar-benar bisa mengukur sedalam apakah kita terjebak
dengan dunia, semakin keras pejuangan kita, adalah pertanda bahwa ikatan
dunia yang menjebak kita semakin keras, tebal, dan dalam. Pikiran insan akan
seperti seekor burung yang bertengger dari satu dahan kesibukan dunia ke
dahan ingatan dunia yang lain. Hanya rahmat Allah saja yang bisa membuat

43

insan berhasil melalui maqam ini. Insan harus senantiasa berusaha untuk
menepis segala sesuatu selain Allah, sementara itu Allah pun belum dikenal,
maka dengan demikian insan hanya bisa menepis segala-galanya karena Allah
laisa kamistlihi syaiun, tidak serupa dengan apapun jua. Sang insan menahan
lapar, haus, lelah, mengantuk; perjuangan jasad, hati, dan akal. Insan tetap
berjuang sambil berdzikir La ilaha illallah... ketika bayang-bayang apapun
muncul dalam hati dan pikirannya, insan berlindung dengan menyebutkan
audzu billahi minka (aku berlindung kepada Allah dari engkau). Jika seorang
insan telah terlepas dari maqam ini, pertandanya adalah ketika tidak ada sesuatu
apapun yang hadir, dan ini hal ini sangat sulit saya gambarkan dengan katakata. Namun sewaktu-waktu insan bisa saja terjatuh lagi dan harus
bermujahadah lagi. Ini merupakan pintu masuk ke wilayat fana yang paling
sulit, sangat sulit. Hal yang paling sulit untuk dilakukan dalam ber-Wihdatul
Wujud, adalah menepis segala sesuatu dan tinggallah diri sendiri saja, mencari
Allah.
Muraqabah

Di maqam ini, insan sudah tidak lagi menyadari hal lain selain dirinya
dan Allah saja, dia berupaya untuk mendekat kepada Allah dengan hakikathakikatnya, dengan ilmu dan marifat yang dia miliki, disertai dengan dzikir Ya
Allah Ya Allah... pada saat ini, insan hanya menyadari bahwa Allahlah yang dia
tuju, hakikat Allah. Setelah melalui perjalanan yang keras. Cinta dan kerinduan
tidaklah boleh surut, haruslah lebih bersemangat lagi. Hati merasa dituntun oleh
Allah dan inilah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Inilah jalan yang
dicari dan dipilih oleh insan, untuk memenuhi panggilan Allah dalam surat alMaidah ayat 35. Dan sebagai hasil dari upaya kerasnya, insan akan berjumpa
dengan Allah (al-Insyiqaaq:6). Akan tetapi, masih terdapat hijab antara Allah

44

dan insan; hijab inilah merupakan hakikat yang membedakan antara Allah dan
insan.
Mukasyafah

Pada tahap ini, hijab tersingkap, Allah membuka hijab itu dengan
rahmatNya, sehingga insan dapat (seolah-olah) melihat Allah dengan melalui
NurNya. Inilah ihsan yang Rasulullah maksudkan, seolah-olah engkau
melihatNya, dan jika tidak maka Dia melihat engkau. Cahaya itu semakin lama
semakin dekat, besar, dan terang. Insan melihat Nur. Lisan telah mati, hati dan
akal berdzikir tanpa nama, hanya menunjuk pada Dia (Hu..., atau ada sufi lain
mengatakan Hua...).
Musyahadah

Di maqam ini,

insan melakukan persaksian (syahadah)

yang

sesungguhnya, seperti insan mengakuiNya ketika berada di Alam Arham,


dimana Allah bertanya Alastu birabbikum, dan insan menjawab Balaa
Syahidna... yang saya temukan adalah Syahidna ala anfusana watsabata
indanaa, Anta Khaliiquna, wa Anta Rabbuna, wa La ilaha illa Anta. Ini adalah
persaksian sesungguhnya kepada Allah, dimana hanya ada Allah dan insan,
hamba yang terpilih.
Mukafanah

Pada tahapan ini, saya tidak bisa menjelaskan apa-apa lagi, melainkan
menyebutkan bahwa inilah saatnya lumpuh segala ilmu dan marifat,
lumpuhnya kesadaran insaniyah, dan lebur ke dalam hakikat ilahiyah dan.... (.)
sekali lagi, tidak ada lagi yang dapat dibicarakan oleh kata-kata disini. Dan
inilah puncak tertinggi perjalanan spiritual, Wihdatul Wujud. Saya memohon
ampun kepada Allah karena telah membuka rahasiaNya, demi mengembalikan
iman pada tempatnya.

45

Wihdatul Wujud, Ibadah, dan Sosial


Peran Wihdatul Wujud dalam keseharianku, khususnya dalam
menjalankan syariat sehari-hari (shalat, puasa, shadaqah, tartil, hubungan sosial,
dan sebagainya), sangatlah penting. Saya merasakan adanya pergeseran jarak
antara apa yang sedang saya perbuat dan kepada

dan untuk Siapa saya

melakukan hal tersebut. Saya mengambil kesimpulan bahwa kesadaran spiritual


yang satu ini benar-benar berkontribusi positif atas pengamalan syariat seharihari saya.
Bermujahadah benar-benar meninggalkan jejak kesungguhan dan
keseriusan dalam beribadah. Kebanyakan orang melakukan ibadah secara
tidak serius karena kesadaran spiritual beribadah bisa dikatakan dangkal, atau
setidaknya mereka belum merasakan betapa nikmatnya beribadah tanpa ada
segala sesuatu selain yang beribadah dan Yang Diibadahkan. Misalnya dalam
shalat, saya benar-benar merasakan adanya perbedaan antara sebelum dan
sesudah saya memiliki kesadaran spiritual Wihdatul Wujud. Saya kemudian
menganalisa, dengan memohon rahmat dan petunjuk dari Allah, agar bisa
memahami fenomena ini.
Memang benar, kita selama ini beribadah sebagai rutinitas semata. Saya
menyadari adanya tingkat-tingkat beribadah, sesuai dengan tingkat-tingkat
orang yang melaksanakan ibadah itu, sesuati dengan ayat dalam surat Ali Imran
ayat 163, bahwa sesungguhnya setiap insan adalah bertingkat-tingkat dihadapan
Allah. Ini juga sejalan dengan hadits bahwa dua orang dari ummat Rasulullah
melaksanakan shalat yang sama, namun perbedaan mereka seperti antara langit
dan bumi.
Ketika

berdiri

menghadap

Kiblat

untuk

melaksanakan

shalat,

kemampuan kita untuk menepis segala sesuatu selain Allah adalah sangat
penting, dan malah utama. Saya benar-benar merasakan hal itu, walaupun saya

46

tidak akan bisa membayangkan seperti apa perasaan itu. Ini merupakan imbas
dari mujahadah yang sering dilakukan dengan sungguh-sungguh. Membaca
niat, dan kemudian mengangkat tangan untuk takbiratul ihram, anda tidak akan
pernah bisa membayangkan bagaimana shalat yang sesungguhnya. Bisa jadi,
selama ini anda shalat tetapi seperti yang para sufi katakan Sesungguhnya
mereka itu tidak shalat, mereka hanya melakukan gerakan-gerakan yang
menyerupai gerakan shalat saja. Buktinya, shalat tidak selalu mencegah
perbuatan keji dan mungkar bagi sekian banyak orang, saya yakin anda tidak
termasuk orang-orang ini. Jika ini terjadi, sederhana, karena yang dilakukan
bukan shalat. Api itu membakar, jika tidak membakar maka bukanlah itu api;
shalat itu mencegah pervuatan keji dan mungkar, jika tidak mencegah
perbuatan keji dan mungkar, maka bukanlah itu shalat. Inilah yang selalu
disebut-sebut oleh guru saya Syekh Abdjan Muhyiddin.
Shalat bagi seorang sufi Wihdatul Wujud bukan hanya sekedar
penggugur dosa, tetapi melihat bahwa shalat itu adalah wujud cinta dan
kerinduan pada Allah, dan sebagai sarana untuk mengenal kembali diri insan
beserta hakikatnya sendiri. Shalat bagi seorang sufi Wihdatul Wujud bukan
hanya wujud pengabdian saja, tetapi sebagai wujud yang menyatakan Ujud
Allah beserta hakikat ilahiyahnya sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, karena seorang sufi Wihdatul Wujud
memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi akan meninggalkan jejak-jejak
perbuatan Allah, maka sang sufi senantiasa berpikiran jernih dan berhati bersih
kepada siapapun, dan kepada apapun; karena sadar bahwa semua ini merupakan
hak Allah, wujud dari qudrah dan iradahNya yang harus dinyatakan oleh insan.
Tidak benar bahwa sufi Wihdatul Wujud menjadi semena-mena karena
merasa dirinya (atau dalam dirinya ada) Tuhan, justru sebaliknya, kesadaran
bertuhan Wihdatul Wujud merangsang simpati terhadap segenap makhluk yang

47

ada, dan bahkan tidak merasa lebih mulia dari seekor nyamuk. Terhadap
sesama manusia, seorang sufi tidak pernah merasa suci, walaupun menurut
kebanyakan orang mereka disebut orang suci. Para sufi, khususnya Wihdatul
Wujud, senantiasa memandang setiap makhluk, khususnya manusia, sama;
karena semuanya berasal dari Sumber yang sama. Hal ini sangat berbeda
dengan apa yang terjadi pada masyarakat kita, dimana sebagian dari para ulama
(apalagi yang sering masuk TV) memiliki watak berbeda ketika mereka
berdakwah dan setelah berdakwah. Ketika mereka berdakwah, santun dan
senyum menghiasi wajah, kata-kata yang manis mengucur dari bibir yang tak
bosan tersenyum. Tetapi ketika keluar dari masjid, mereka menjadi sangat
kharismatik sehingga sulit untuk berbaur dengan masyarakat sekitar. Pernah
beberapa kali saya mengalami hal demikian. Suatu saat saya berpapasan dengan
seorang ustad yang luar biasa alim (menurut pandangan masyarakat), beliau
sering masuk TV, karena saya sangat mencintai ulama saya kemudian
mengucapkan salam walaupun pada saat itu kami berseberangan sisi jalan.
Ustad itu memandang saya dengan sesuatu di wajahnya. Beliau tidak
berhenti, tidak menjawab salam saya, dan saya yakin sayam saya terdengar
sangat jelas. Sesuatu itu sebenarnya lebih cocok berada diwajah seorang yang
angkuh, congkak, atau sombong. Hal itu menunjukkan bahwa ternyata tidak
semua seperti yang kita kira.
Sudah pasti jika seorang lebih cenderung memikirkan ibadah lahirnya
dari pada ibadah batinnya, akan merasa diri suci dan tidak layak dipandang
sama. Celakanya, ibadah batin hanya benar-benar ditekankan secara benar di
dalam ajaran tasawuf, dan akhir puncak tertinggi tasawuf adalah marifat,
Wihdatul Wujud.
Bagaimana bisa para ulama menuduh Wihdatul Wujud kafir dan
dilaknat seperti Firaun (laknatullah), sedangkan oknum-oknum mereka secara

48

tidak sadar justru bersikap sombong seperti Firaun? Salah satunya adalah
kesombongan khafi, atau kesombongan yang tidak disadari. Ini merupakan
suatu ironi. Sedangkan para sufi sama sekali tidak memiliki apa yang mereka
tuduhkan. Silahkan anda baca literatur tentang al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan lainlainnya. Hal semacam itu tidak terjadi, karena mereka telah melakukan
tazkiyatunnafs, takhalli, sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya. Lebih
lagi, mereka memiliki kesadaran batiniah yang sangat peka, dan mereka
bukanlah pendakwah komersial yang tidak suka diorbit oleh pemerintah, karena
pemerintah juga tidak menyukai mereka. Mereka tidak berdakwah demi uang,
karena mereka berzuhud. mereka tidak suka membanggakan diri, karena itu
akan menyebabkan kedirian mereka semakin kuat, dan itu bertentangan dengan
prinsip mereka sendiri. Itulah para sufi Wihdatul Wujud dalam kehidupan
mereka dan beribadah mereka. Mereka tidak mengharapkan pahala, karena bagi
mereka (kami) pahala itu hanyalah sebentuk bujukan dari Allah agar manusia
beribadah, seperti seorang anak nakal yang dijanjika permen untuk belajar.
Akhirnya, manusia beribadah untuk pahala, dan semakin banyak dia merasa
memiliki pahala, semakin dia memandang rendah orang lain. Insan, tidak
melakukan hal itu, karena dalam hati mereka, sudah bertajalli Allah Yang Lebih
Indah dari Syurga.

49

Anda mungkin juga menyukai