Anda di halaman 1dari 31

Sistem Sosial Masyarakat

Suku NIAS
Sebagai Acuan untuk mengenal suatu Sistem sosial dalam
Masyarakat, khususnya pada Masyarakat NIAS.

Oleh :
Calvin Sozanolo Telaumbanua

14109003

Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah &


Kota
Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan
Institiute Teknologi Medan

Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
berkatnya yang telah Ia berikan Kepada kita. Sehingga Makalah ini dapat
terselesaikan tanpa ada hambatan dan masalah yang berarti. Dan juga saya
ucapkan terimakasih kepada teman-teman blogger, yang telah memposting
artikel tentang Suku dan Kebudayaan Nias. Sehingga memudahkan saya untuk
menyusun makalah ini.
Dengan berbagi dan Memposting aritikel tentang Sistem Sosial dan Kebudayaan
Nias, saya brharap selurah masyarakat Nias dapat mengenal kembali bagaimana
Kebudayaan, Sistem Sosial Suku Nias. Dengan Makalah ini, saya berharap
teman-teman baik itu Masyarakat Nias maupun teman-teman se Bangasa dan
Setanah Air dapat mengenal Sistem sosial Masyarakat Nias.
Dalam pembuatan makalah ini, tidak semuanya adalah hasil dari pemikiran dari
Penulis, tapi dari teman-teman blogger yang telah memposting yang telah
langsung turun kelapangan untuk melihat sistem sosial budaya Suku Nias. Perlu
diketahui juga, Dewasa ini sistem sosial dan budaya Nias sudah mulai memudar.
Dan bahkan ada kebudayaan yang telah memudar dan menghilang. Tidak semua
yang dipaparkan ini, Dewasa ini masih di dijalani oleh masyarakt Nias baik itu
hukum dan Adat istiadat.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap
semoga

makalah

ini

dapat

bermanfaat

bagi

semua

pihak

yang

berkompeten. Amin.

Medan, 30 April 2013

Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
...................................

..............................................................
i

Daftar Isi
...................................

..............................................................
ii

BAB I: PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
............................................................................................
.....
1
1.2.
Rumusan Masalah
............................................................................................
.....
1
1.3.
Tujuan
............................................................................................
.....
1
BAB II : ISI
2.1
......
2.2

Pengertian Sistem Sosial


..............................................................
2
Kehidupan Sosial Masyarakat NIAS
..............................................................
3

......
A. Beberapa kebiasaan mendasar
..............................................................
......
3
B. Interkasi

Sosial

Masyarakat

NIAS

....................................................................
5

C. Tradisi Masayarakat Nias

.................................................................... 9

D. Pertarungan Identitas di Balik

Batu

2.3

....................................................................
11
Hirearki & Sistem Kekerabatan
..............................................................
13

......
Masayarakat NIAS
2.4
Peraturan dan Hukum (Fondrak)
..............................................................
......
16
Adat Nias yang Mengutuk (tidak mengenal Tuhan )
BAB III: Sistem Sosial Masyarakat NIAS Dan Perencanaan Wilayah dan Kota
3.1

Perencanaan Kawasan Wisata


..............................................................
......
18
3.2
Kawasan Lindung
............................................
........................
19
3.3
Pembangunan Daerah Tertinggal
..............................................................
......
19
BAB IV: PENUTUP
3.4

Kesimpulan
..............................................................
...................................
20

DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................
.....
21

Bab 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Hubungan Sistem Sosial Budaya dengan Perencaan Wilayah dan Kota
Sistem sosial dan budaya ini merupakan sebuah kegiatan kehidupan
bermasyarakat yang terdiri dari individu-individu yang melakukan kebiasaan,
kegiatan, dan tata cara sehingga timbul sebuah kesatuan atau komunitas
(Emile Durkheim). Dan Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) merupakan
disiplin ilmu yang terlahir karena adanya sebuah cita-cita yang sama dalam
meningkatkan kehidupan yang seimbang antara SDA dan SDM di wilayah dan
kota tersebut. Sebuah wilayah dan kota pasti terdapat kehidupan masyarakat
yang saling melakukan interaksi sosial dan budaya di dalamnya. Maka dari itu
sebuah perencanaan wilayah dan kota tidak akan berjalan dengan baik jika
perencana itu tidak mengenal sistem sosial dan budaya yang terdapat di
daerah tersebut. Budaya juga mempunyai hubungan dalam perencanaan.
Karena setiap daerah yang akan dibuat rencana itu pasti mempunyai budaya
dan adat istiadat yang berbeda-beda dalam kehidupannya. Jadi, seorang
perencana harus bisa memahami budaya yang terdapat dalam daerah tersebut
agar rencana yang dibuat terrealisasikan dengan lancar.
Untuk itu, sangat dianjurkan untuk Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan
Kota untuk mempelajari Sistem Sosial lebih lanjut. Sebagai bahan acuan, Setiap
Mahasiswa di tuntut untuk dapat mengenali sistem sosial yang ada pada
masayarakat. Sebagai awal mahasiswa harus dapat mengenali sistem sosial
yang ada di daerah Asal Mahasiswa/ suku Mahasiswa. Agar memudahkan
mahasiswa untuk mengenali sistem sosial yang ada pada masyarakat.
Dalam hal ini, Penulis sebagai mahasiswa Perencanaan Wilayah & Kota yang
berasal dari suku Nias, akan memaparkan dalam Makalah ini bagaimana
Sistem Sosial yang ada pada Masyarakat/Suku Nias).

1.2

Rumusan Masalah
Mengenal apa itu sistem sosial
Mengenal Kehidupan Sosial Masyarakat NIAS
Hirearki dan Sistem Kekerabata Masyarakat NIAS
Peraturan dan Hukum Adat NIAS

1.3

Tujuan Pembahasan
Mahasiswa/i lebih mengenal bagaimana sistem Sosial yang ada pada
masyarakat, yang pada umunya Sistem Sosialnya berbeda-beda yang
sangat dipengaruhi oleh budya. Yang kedepannya saat melakukan
Perencanaan Wilayah & Kota yang berkaitan dengan sistem Sosial
Masyarakat, seorang Planner tidak kesulitan lagi mengenai sistem sosial
yang ada pada masyarakat.

Bab 2
ISI
2.1. Pengertian Sistem Sosial
Menurut Sosiologi "Sistem sosial" merupakan ciptaan dari manusia, dalam
hal ini "sistem sosial" terjadi karena manusia adalah makhluk sosial. Ada
beberapa hal yang membuat manusia menciptakan "sistem sosial", antara
lain karena : "
Istilah "sistem" berasal dari bahasa Yunani "Systema" yang mempunyai
pengertian :
a. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian.
b. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen
secara teratur.
Jadi, dengan kata lain istilah "systema" itu mengandung arti sehimpunan
bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan
satu keseluruhan. (Sumber: Tatang M. Amirin, Drs.).
Sedangkan pengertian "sistem sosial", menurut Jabal Tarik Ibrahim dalam
bukunya Sosiologi Pedesaan, adalah sejumlah kegiatan atau sejumlah orang
yang mempunyai hubungan timbal balik relatif konstan. Hubungan sejumlah
orang dan kegiatannya itu berlangsung terus menerus. Dari tiga hal di atas
terdapat tiga hal pokok, yaitu :
a. Dalam setiap "sistem sosial" ada sejumlah orang dan kegiatannya.
b. Dalam sustu "sistem sosial", orang-orang dan atau kegiatan-kegiatan
itu berhubungan secara timbal-balik.
c. Hubungan yang bersifat timbal-balik dalam suatu "sistem sosial"
bersifat konstan.
Dari uraian tadi menunjukkan bahwa "sistem sosial" merupakan kesatuan
yang terdiri dari bagian-bagian (elemen atau komponen), yaitu :
a. Orang dan atau kelompok beserta kegiatannya.
b. Hubungan sosial, termasuk di dalamnya norma-norma, dan nilai-nilai
yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok tersebut.

2.2 Kehidupan Sosial Masyarakat NIAS


Pemberian salam kepada sesama sangat tinggi nilainya terhadap satu dengan
yang lain. Bila seseorang tidak bersapaan atau memberi salam kepada yang
lain, maka diantara kedua belah pihak sudah terjadi disintegrasi sosial yang
mungkin disebabkan oleh sifat, gaya, cara jalan, tutur bahasa, cara berpakaian
atau penataan rambutnya yang kurang diterima oleh kebanyakan orang. Jika
sifat di atas tidak ada maka relasi mereka menjadi lebih akrab sehingga setiap
bertemu selalu menyapa dengan ucapan
Yaahowu (salam khas Nias), yang dilanjutkan dengan kata
Yae nafoda atau Bol6g6 d6d6u l6 Afoda (ini sirih kita atau maaf kita tidak
punya sirih).
Dalam situasi tersebut kedua belah pihak saling memakan sirih. Setelah itu
baru diakhiri dengan salam kembali dan kata
yaami ba lala (selamat jalan) sebagai kata perpisahan.
A. Beberapa kebiasaan mendasar :
1) Persiapan Orang yang hendak bertamu
Sebelum berangkat dari rumah, bila seorang bapak yang pergi ke suatu
tempat (teman atau pertemuan) selalu mempersiapkan Sirih, yang di
persiapkan oleh Istrinya kemudian menyimpannya di tempat Sirih.
Dalam perjalanan, setiap orang yang bertemu kepadanya selalu memberi
salam Yaahowu dan mengambil sirih yang telah dipersiapkan dari rumah
dan diberikan kepada orang yang bertemu dengan dia mengatakan Yae
nafoda (ini sirih kita). Setelah selesai baru melanjutkan perjalanan di mana
tujuan
pertamanya.
Bila seorang ibu rumah tangga yang hendak bertamu baik pergi kepada
Sitenga b66 (kerabat) maupun kepada orang lain, terlebih dahulu
mempersiapkan sirih yang ditempatkan di Naha Nafo (kempit sirih), dan
setiap orang yang hendak bertemu selalu memberi salam Yaahowu terus
bersalaman dan baru menyungguhkan sirih satu dengan yang lain.

2) Kebiasaan bila tamu datang di rumah


Bila seseorang datang di rumah untuk bertamu selalu dimulai dengan kata
salam Yaahowu dan dilanjutkan sikap bersalaman. Kemudian disambung
dengan kata Yae nafoda (ini sirih kita) atau bolog6 d6d6u L6afoda (maaf
tidak ada sirih kita). Baru ibu rumah tangga menyuguhkan sirih kepada para
tamu. Pada saat saling mungunyah sirih yang disuguhkan timbal balik,

Ibu rumah tangga berkata: Hadia g6da Gaa atau Baya? (apa makanan
kita?) dan sebagainya, Hana wamikaoniga? (Kenapa kalian
mengundang kami?).
Tamu yang datang menjawab: L6 had6i, m6iga man6r6-n6r6 man6
(tidak ada, hanya sekedar jalan-jalan saja).
Dari kata seorang ibu di atas, itu bukan berarti menghendaki supaya ada
makanan dengan bertanya apa makanan kita. Tetapi sapaan untuk
menindak lanjuti kata seterusnya supaya ada keakraban dan nampak lebih
dekat. Begitu sebaliknya dengan jawaban dari tamu yang mengatakan
hanya jalan-jalan saja atau meminta makanan kami. Itu semua kedua
belah pihak hubungan mereka lebih kekeluargaan. Hal ini juga tidak
dikatakan kepada orang yang tidak dikenal sama sekali. Kedua hal ini baik
sebagai tamu atau tuan rumah mempunyai tujuan yang berbeda dari pada
ungkapan pertama tadi.
Setelah beberapa saat baru tamu memberitahukan apa tujuan yang
sebenarnya dan tuan rumah baru berbicara yang sebenarnya sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki oleh tamu. Setelah selesai pembicaraan baru
dilanjutkan dengan kata mofan6ga (permisi, kami pergi). Tuan rumah tidak
terus mengizinkan pergi tetapi harus Lasaisi artinya kita tahan mereka
untuk menunggu makan. Dengan kata Tabase6 6da idan6 ua (mari kita
minum dulu) atau tabase6 6da wakhe safusi ua hana wa a6s6-a6s6 sibaik6
(mari kita tunggu makanan kita nasi putih dulu, kenapa tergesa-gesa sekali)
Ha wal6 diwo-diwoda (hanya saja, tidak ada lauk pauk kita).
Kata-kata di atas sikap tamu bisa menunggu bisa juga tidak. Karena hanya
merupakan basa basi. Dilanjutkan dengan kata maaf tidak ada lauk pauk
kita. Itu hanya menunjukkan kerendahan hati walaupun kenyataannya laukpauk mereka anak babi yang tambun, ayam atau Niowuru (daging babi
yang
sudah
digarami).
3) Kebiasaan waktu makan
Pada hari biasa masyarakat Nias makan tiga kali sehari. Pagi hari
masyarakat Nias, makan Sinan6 (umbi-umbian), siang hari mereka makan
umbi-umbian dan nasi sebagai Fangaz6khi d6d6 (makanan yang
menyenangkan). Pada malam harinya mereka makan seperti makan siang.
Sehingga setiap hari mereka rutin makan nasi dua kali sehari. Pada hari
minggu mereka makan dua kali sehari makan sebelum pergi ke gereja dan
pada malam harinya.
Pada saat makan sedang berlangsung tidak boleh ngomong-ngomong
karena marah Sobawi (yang selalu menegur anggota keluarga bila
melalaikan
ketertiban
di
rumah).
Makanan nasi ini lebih tinggi nilainya dari pada makanan yang lain. Bila
makan, tidak boleh tersisa dan dibuang begitu saja. Kemudian kalau
4

dimasak harus pakai ukuran apakah Tumba (jumba), Hinaoya (liter), kata
(tekong) dan lain-lain serta tidak boleh Lafas6s6 (dipadatkan) dalam
periuk, tidak boleh dipukul-pukul pinggir periuk dengan sendok. Semua
pantangan ini apabila tidak ditaati maka bisa berakibat marah Sibaya
Wache (pemilik dari pada nasi tersebut) seandainya marah akibatnya bila
menanam padi tidak subur dan tidak menghasilkan banyak buah serta
banyak mendatangkan berbagai wabah penyakit dan bila dimasak L6
mo6si (artinya walaupun satu jumba dimasak tetapi hasil masakan
nampak seperti satu liter).

4) Kebiasaan suami-istri bila pergi bersama


Orang Nias pada masa dulu bila pasangan suami-istri itu pergi bersama
mempunyai norma adat tertentu yang mana bila pergi bersama kemana saja
baik ke ladang, ke sawah, pergi kepada paman atau pergi pada pesta-pesta
selalu laki-laki di belakang dan perempuan di depan. Hal ini menunjukkan
bahwa wanita itu adalah istrinya, yang wajar mendapat perlindungan dari
berbagai gangguan, yang dicintai, yang dikasihani, serta menunjukkan rasa
tanggung jawab sebagai suami.
Bila seseorang anak muda jalan bersama dengan saudaranya perempuan
atau temannya perempuan yang lain, haruslah berjalan bersam secara
beriringan. Tetapi jika berjalan bersama laki-laki berada di belakang dan
perempuan di depan, itu merupakan ejekan kepada orang yang melihat.
Mereka mengatakan apakah mereka itu suami-istri? Atau kenapa orang itu
pergi seperti suami istri? Ini juga suatu tanda kepada publik bahwa dari letak
jalan seseorang mereka bisa mengetahui bahwa itu adalah suami-istri.

Penghormatan dengan kata Yaahowu dan pemberian sirih dalam porsi


adat.
Menurut porsi adat perkawinan yang telah dituturkan dalam acara Fanika
Era-era mb6w6 (suatu acara yang menguraikan tentang silsilah keturunan
dari pada pihak penganten perempuan yang diberitahukan secara formal
kepada pihak penganten laki-laki mulai dari famili terdekat sampai kepada
yang terjauh serta beban-beban yang harus ditanggung dalam hidupnya
sesuai dengan hubungan kekerabatan). H6n6 mb6w6 no awai, H6n6
mb6w6 no tosai (ribuan jujuran sudah selesai, ribuan jujuran masih tersisa),
artinya tanggung jawab terhadap mertua dan sanak famili dalam bentuk
beban-beban tidak pernah putus sampai seumur hidup. Karena itu
kemampuan penghormatan dengan harta benda sangat terbatas dalam
bentuk B6w6, maka diberi kelonggaran untuk mengatasi hal tersebut,
yaitu jangankan penghormatan dengan harta materi tetapi penghormatan
dengan kata-kata sapaan Yaahowu dan Famee afo (pemberian sirih)
5

kepada Sitenga b6,6 dan lain-lain, maka itu sudah cukup yang setara
nilainya dengan empat alisi babi, dan dianggap sudah lunas utangnya yang
telah dituturkan dalam acara Fanika era-era mb6w6.

Dewasa ini kebiasaan tersebut sudah tidak ada lagi, penghormatan berupa
harta materi maupun penghormatan dengan kata-kata sudah hampir tidak
ada lagi. Kita tidak tau bahwa dari kata-kata kita itu sudah ada nilainya yang
lebih dari b6w6 atau makanan. Inilah yang dikatakan Ho maig6 ami li
moroi ba g6 artinya dengan penghormatan kata-kata itu sudah cukup
senang dan berharga.

B. Interkasi Sosial Masyarakat NIAS


1) Bahasa Masyarakat nias
Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang
dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu
bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya.
Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan
hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang.
Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan
satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf
vokal. Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah
dengan (dibaca dengan e seperti dalam penyebutan enam ).
Penulisan
Untuk menulis sebuah kalimat dalam bahasa nias, harus memperhatikan
beberapa aturan 1. Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus
menggunakan tanda pemisah () contoh kata : Gaa ( abang.) 2. Semua kata
dalam bahasa nias asli selalu ditutup oleh huruf vokal. CONTOH KALIMAT
DALAM BAHASA NIAS omasido khm soroi ba dd gu yang artinya
Aku menyukaimu dengan sunguh-sunguh. io tarai ia daa irugi waara
waomasi gu khm yang artinya Mulai saat ini hingga selama-lamanya
sayang ku pada mu. Hawa l tema li gu yang artinya Kenapa kamu
ngak menjawab ucapanku.
Setiap kosa kata bahasa nias pasti memiliki huruf memiliki bunyi /e/ dan
memiliki bunyi /w/
Yaahowu = Biarlah engkau diberkati, bisa juga digunakan sebagai ucapan
salam
Tan Niha = Pulau Nias
Li Niha = Bahasa Nias

Kosakata
A

Abua / Awua =
Berat

Adogo =
Pendek

Abeto = Hamil
Abila =
Bengkok

Afkh = Perih

Afuo = Kurus

Ahakh =
Terkikis

Ahe = Kaki

Aetu = Putus

Abu = Bau

Afeto = Pahit

Ahono =
Tenang, Diam

Ahori = Habis

Aine = Mari

Akho = Arang

Akhi = Adik
7

Alawa = Tinggi

Aleu = Layu

Alifa = Lipan
(Kelabang)

Alio = Cepat

Alisi = Pundak

Als = Licin

Alg = Gelap

Ama = Bapak

Anaa = Emas

Bakha =
Dalam

Bakhu = Ikan
Lele

Bana =
Benang

Banio /
Sekhula =
Buah Kelapa

Banua =
Kampung

Bua = Buah

Fagl =
Sama, Mirip

Buku = Buku

Fahna =
Berbekal

Faigi = Lihat

Dadaoma =
Tempat Duduk

Fakhili = Mirip

Dalinga =
Telinga

Fakhili khili =
Mirip

Dalu-dalu =
Obat-obatan

Falakhi / Faluk
ha = Jumpa /
Ketemu /
Bertemu

Dania = Nanti

Daro-daro =
Tempat Duduk

Famaala =
Jebakan

Famakao =
Penyiksaan

Famakhai =
Hubungan

Baru = Baju

Baso = Baca

Anau =
Panjang

Baloi = Tunggu

Asio = Garam

Baa =
Bawang

Asolo =
Gemuk

Baa = Bulan

Duria = Kabar

Asu = Anjing

Bawa = Muka /
Mulut

Teu = Hujan

Famati = Iman

Atar = Tajam

Fao = Ikut

Bee = Beri

Ate = Hati

Ebua = Besar

Faoma = Sama

Atul = Benar,
Betul

Bekhu =
Hantu

Faomasi =
Kasih

Belewa =
Parang

Efa =
Lepaskan

Emali = Maling

Felai = Jilad

Ena =
Supaya

Fena = Pulpen

Fera = Peras

Aukhu = Panas

Auri = Hidup

Betua = Perut

Awena =
Barusan

Bongi =
Malam

Bai = Jenis
Kelamin Pria

Baero = Luar

Darua =
Berdua

Fili = Pilih

Bowoa =
Periuk

Faudu =
Berantem

Fofo = Burung

Bu = Rambut

Fabali = Pisah

Fuli = Kembali

Buull =
Marga
Buull

Fagami /
Fazkhi =
Memperbaiki

Gaa = Abang
8

Gae = Pisang

Gambara =
Gambar

Garawa =
Baskom

Gaso = Kasur

Gasa-gasa =
Sementara

Gawu = Pasir

Gawe =
Nenek

Gawkhu /
Afkhu =
Empedu

Gefe = Duit

Gefe Gu =
Duit Ku

Gelera =
Kelereng

Gowi = Ubi

Gowasa =
Pesta

Gowasa =
Marga
Gowasa

Hezo So? =
Kamu Lagi
dimana?

Hondr =
Marga
Hondr

Hadia Duria?
= Apa Kabar?
Halawa =
Marga
Halawa

Langu =
Racun

Lakha = Janda

Lawe = Wanita

Li = Suara /
Bahasa

Hor = Dosa

Halawa =
Hanya Diatas

Hr = Mata

Li = Suara

Hal = Ambil

Htu = Kentut

Hamega =
Kapan

Huku = Hukum

L Nasa =
Belum

Ll = Ampas

Li = Marga
Li

Lfi-lfi / Lwilwi =
Pinggang

Hana =
Kenapa
Haniha Man
Naw M? =
Siapa Aja
Teman Mu?
Haniha Naw
M? = Siapa
Teman Mu?

Hanu-hanu =
Nafas

Harefa =
Marga
Harefa

Harita =
Marga Harita

Gul = Marga
Gul

Harita =
Kacang

Gul = Ular

Hauga Bzi? =
Jam Berapa?

Gulo = Gula

Guti = Gunting

Gna (Bua
Gna) = Kenak
(Buah Nenas)

Hawaara =
Berapa Lama

Hezo mi? =
Mau kemana?

Ia daa =
Sekarang Ini

Idan = Air

Ikhu = Hidung

Ina = Mamak

Jaji = Janji

Mabu = Mabuk

Maifu =
Sedikit

Maigi =
Tertawa/Ketaw
a

Mako =
Cangkir ,
Galasi = Gelas

Manag =
Mencuri

Laful =
Diperas Sambil
Diputar

Manere =
Miring

Manga =
Makan

Lala = Cara,
Jalan

Manifi = Mimpi

Laluo = Siang

Manr-nr =
Jalan-jalan

Kaliru = Ribut

Koda, Foto =
Gambar

Kurusi =
Bangku/Kursi
L

Manu = Ayam

Omasi =
suka / mau

Resileti =
Resleting

Maoso =
Bangun

Ono = Anak

Rigi-rigi =
Jagung

Maena = Tari

Mbaa = Bak

Ono Alawe =
Anak
Perempuan

Mee =
Menangis

Mendrefa =
Marga
Mendrefa

Mofkh =
Sakit
Mozizio /
Mosindro =
Berdiri

Tanga =
Tangan

Tan Owi =
Sore

Tebai = Tidak
Boleh/Bisa

Tenga = Bukan

Tesendra =
Ketemu
(Sesuatu
benda yang
dicari =
Ketemu)

Tola =
Boleh/Bisa

Tt`a = Dada

Tundraha =
Sampan/Perah
u

Tuo Nifar =
Tuak Suling

Orifi =
Hidupkan

Roti = Roti

Oroma =
Kelihatan /
Terlihat

Rugi = Rugi

Salidi =
Kangkung

Sami = Yang
Enak

Safeto = Yang
Pahit

Owulo = Bulat
P

Pade = Hebat

Rabuta =
Buah
Rambutan

Nukha = Kain

Omasi =
disayangi

Talifus =
Saudara

Rorog = Jaga

Nomo =
Rumah bisa
juga Omo

Omasi do =
aku suka / aku
mau

Rfa (tadra
rfa) = Salib
(tanda salib)

Tabaloi = Kita
Tunggu

Orahu = Rapat

Naw
Bawaauri =
Teman Hidup

Ofulo =
Ngumpul

Tako = Peluk

Roko = Rokok

Naw = Teman

Teu = Tikus

Ono Matua =
Anak Laki-laki

Mr = Tidur
N

Sil mudnadna = Tidak


disangkasangka

Sanag =
Pencuri

Raga-Raga =
Tempat Ayam
Dari Bambu
(Kandang
Ayam)

Saraewa =
Celana

Saohagl =
Terimakasih

Uma = Cium

Rasoi =
Rasakan

Skhi / Baga =
Bagus/Baik/Ca
ntik

Umbu =
Sumber

Sukhu = Sisir

Undre =
Kunyit

Raso = Rasa

Ratigae =
Pisang Goreng

V
T
10

Waauri =
Kehidupan

Ya`ug =
Anda, Kamu

Yawa ba
Zorugo =
Diatas Surga

Zebua =
Marga
Zebua artinya
paling besar

Zendrat =
Marga
Zendrat

Zorugo =
Surga

Waruwu =
Marga
Waruwu
X

Yao = Aku,
Saya

Yawa = Diatas

Zagt =
Marga
Zagt

Zai = Marga
Zai

11

2) Sopan Santun Kekerabatan


Semua anggota keluarga dan kerabat boleh saling menyapa, hanya
saja cara menyapa di bedakan kepada yang lebih tua, daripada yang
lebih muda. Kepada yang lebih tua harus lebih hormat daripada yang
lebih muda umurnya. Antara mertua dengan menantunya perempuan
dan antara mertua dengan menantunya laki-laki mempunyai hubungan
yang erat sama seperti hubungan orangtua dengan anak kandungnya.
Demikian juga diantara yang beripar yaitu suami dengan istri saudara
laki-laki istrinya atau istri dengan saudara perempuan suaminya
dianggap seperti saudara kandung. Tidak ada garis pemisah antara
mereka, boleh bebas berbicara, hanya saja yang muda harus
menghormati yang lebih tua. Kelakar diantara kedua kelompok di atas
boleh tapi harus dalam batas-batas kesopanan. Yang tidak bebas
berkelakar ialah antara suami dengan saudara perempuan istrinya.
Kelompok keluarga pihak istri lebih-lebih orangtua atau saudara lakilaki istri mendapat penghormatan yang lebih tinggi dari kelompok
keluarga lainnya. Kalau mereka baru pertama kali datang/berkunjung
kerumah saudara perempuannya, mereka harus memotong seekor
anak babi minimal satu alisi. Tidak ada alasan tidak ada persediaan,
harus dicari biarpun berutang. Selain memotong anak babi biasanya
pemilik

rumah

tersebut

haruslah

memberikan

oleh-oleh/bawaan

berupa satu ekor anak babi. Jika tidak dia akan merasa malu terhadap
tetangga dan orang sekampungnya apalagi kalau mereka mengetahui
kepergiannya itu.
kerumah

anak

Itu sebabnya pihak keluarga istri jarang datang


perempuan,

jika

dilihatnya

anaknya

itu

masih

diperkirakan belum baik jalan hidupnya/sengsara.


Perlu juga diketahui bahwa babi yang disuguhkan sebagai lauk,
tidaklah dipotong secara sembarangan, karena yang disuguhkan dari
babi itu adalah rahangnya beserta daging yang senyawa dengan
rahang tersebut, jerohan atau alakha dan beberapa potong daging
pahanya serta rusuknya. Inilah makanan penghormatan yang paling
tertinggi, karena rahang atau simbi merupakan lambang sangkutan
atau tempat bergantung. Cara memasak daging babi itu menurut adat
hanya direbus saja bersama garam sedikit.
Jika fadono atau ono alawe yang datang dan baru pertama kali datang
atau jika dia telah panen maka ia akan membawa olwta/molw atau
membawa bingkisan makanan) berupa daging anak babi yang sudah

direbus, nasi dan afoatau sirih kemudian ia akan dijamu dengan


memotong seekor anak babi, tetapi yang lebih ditonjolkan untuk
disuguhkan yakni kaki babi depan atau tangan babi bersama simbi.
Tangan melambangkan kecekatan, jadi yang disuruh-suruh. Jika mereka
pulang harus diserahkan manu atau ayam dan satu ekor anak babi
bersama bingkisan makanan.
Penghormatan diantara anggota kerabat, orang lain atau tamu
haruslah
memberi
salam
yakni
yaahowu
disusul
dengan
penyuguhan afo disusul dengan menyediakan minuman dan makanan.
Kata yaahowu di pergunakan saat bertemu dengan siapa saja yang
berasal dari Nias.

C. Tradisi Masayarakat Nias


Tradisi Lompat Batu Nias
Tradisi melompat batu atau yang biasa disebut oleh orang Nias
sebagai fahombo batu adalah pada mulanya dilakukan oleh seorang
pemuda Nias untuk menunjukan bahwa pemuda yang bersangkutan
sudah dianggap dewasa dan matang secara fisik. Lebih jauh dari itu
bila sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga
mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna
maka itu artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela
kampungnya samui mbanua atau laimba hor, jika ada konflik dengan
warga desa lain.
Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa tradisi lompat batu ini tidak
terdapat di semua wilayah Nias dan hanya terdapat pada kampungkampung tertentu saja seperti di wilayah Teluk Dalam. Dan satu hal
lagi, tradisi ini hanya boleh diikuti oleh kaum laki-laki saja, dan sama
sekali tak memperbolehkan kaum perempuan untuk mencobanya
mengingat lompat batu merupakan ajang ketangkasan yang nantinya
bila berhasil melompat dengan sempurna yang bersangkutan akan
didampuk menjadi pembela kampungnya ketika ada perselisihan
dengan kampung lain.
Oleh karena begitu prestisiusnya kemampuan lompat batu ini, maka
sang pemuda yang telah berhasil menaklukan batu ini pada kali
pertama bukan saja akan menjadi kebanggaan dirinya sendiri tapi juga
bagi keluarganya. Bagi keluarga sang pemuda yang baru pertama kali
mampu melompati batu setinggi 2 meter ini biasanya akan
menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukuran atas
keberhasilan anaknya.

Karena suatu kebanggaan, maka setiap pemuda tidak mau kalah


dengan yang lain. Sejak umur sekitar 7-12 tahun atau sesuai dengan
pertumbuhan seseorang, anak-anak laki-laki biasanya bermain dengan
melompat tali. Mereka menancapkan dua tiang sebelah menyebelah,
membuat batu tumpuan, lalu melompatinya. Dari yang rendah, dan
lama-lama ditinggikan. Ada juga dengan bantuan dua orang teman
yang memegang masing-masing ujung tali, dan yang lain
melompatinya secara bergilir. Mereka bermain dengan semangat
kebersamaan dan perjuangan.
Uniknya, konon meski sudah latihan keras tidak semua pemuda
akhirnya berhasil melewati undukan batu bersusun itu, bahkan tak
jarang dari mereka ada yang sampai patah tulang karena tersangkut
ketika mencoba melewati batu tersebut. Tapi tak jarang pula ada
pemuda yang hanya berlati sekali dua tapi langsung mampu melewati
batu tersebut. Menurut kepercayaan setempat hal ini dipengaruhi oleh
faktor genetika. Jika ayahnya atau kakeknya seorang pemberani dan
pelompat batu, maka diantara para putranya pasti ada yang dapat
melompat batu. Kalau ayahnya dahulu adalah seorang pelompat batu
semasih muda, maka anak-anaknya pasti dapat melompat walaupun
latihannya sedikit. Bahkan ada yang hanya mencoba satu-dua kali,
lalu, bisa melompat dengan sempurna tanpa latihan dan pemanasan
tubuh.
Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga dihubungkan
dengan kepercayaan lama. Seseorang yang baru belajar melompat
batu, ia terlebih dahulu memohon restu dan meniati roh-roh para
pelompat batu yang telah meninggal. Ia musti memohon izin kepada
arwah para leluhur yang sering melompati batu tersebut. Tujuanya
untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat
ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab
banyak juga pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan.
Lantas kenapa para pemuda yang mampu melompat batu kemudian
akan menjadi ksatria dikampungnya? Itu lantaran ketika terjadi
peperangan antar kampung maka para prajurit yang menyerang harus
mempunyai keahlian melompat untuk menyelamatkan diri mengingat
setiap kampung di wilayah Teluk Dalam rata-rata dikelilingi oleh pagar
dan benteng desa. Maka dari itu ketika tradisi berburu kepala orang
atau dalam sebutan mereka mangaihg dijalankan sang pemburu
kepala manusia ketika dikejar atau melarikan diri, mereka harus
mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah
dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon talianu supaya tidak
terperangkap di daerah musuh.Itu juga sebabnya desa-desa didirikan
di atas bukit atau gunung hili supaya musuh tidak gampang masuk
dan tidak cepat melarikan diri.

Dan bagi pemuda yang dapat selamat dari perangkap musuh itulah
yang kemudian akan pulang ke kampungnya dengan segala
kehormatan dan dielu-elukan sebagai pahlawan.
D. Pertarungan Identitas di Balik Batu
Dalam konteks kebudayaan Nusantara, Nias adalah representasi dari
kejayaan zaman megalitikum atau zaman batu besar. Tradisi
pembuatan benda-benda kebudayaan yang terbuat dari batu sangat
massif di pulau ini--dan mungkin tidak dapat dicari bandingannya di
kawasan-kawasan Nusantara lainnya. Hampir setiap jengkal di daerah
Nias tersebar batu-batu besar dengan berbagai bentuk, seperti menhir,
dolmen, peti kubur, tugu, arca megalitik, tangga rumah, dan tempat
duduk.
Bagi penduduk Nias, batu telah menjadi penanda bagi identitas
seseorang dan tertib sosial. Orang Nias secara turun-temurun mewarisi
ritual dan tradisi yang kompleks, di mana hampir di setiap momen
tradisi tersebut selalu melibatkan unsur batu di dalamnya. Batu
digunakan sebagai alat untuk mengabadikan momen-momen penting,
seperti upacara kelahiran, perkawinan, peneguhan status seseorang
(owasa), pemujaan roh leluhur, hingga kematian. Di balik batu tersebut
terpahat berbagai makna, seperti makna religi, status sosial,
keabadian, pengabdian (terhadap leluhur), dan pengetahuan.
Menurut kepercayaan orang Nias, pada hakikatnya sejak manusia
dilahirkan ke bumi ia harus berjuang untuk mendapat gelar setinggitingginya dengan menyelenggarakan beragam ritus (tata cara dl
upacara keagamaan) secara bertahap. Posisi ritus sangat penting
dalam kebudayaan Nias, karena di balik semua ritus tersimpan
semangat untuk menyemaikan harga diri dan identitas.
Kewajiban menyelenggarakan ritus bermula dari perkawinan. Setelah
pasangan suami-istri dikaruniai anak, mereka wajib melaksanakan
mamatoro toi nono atau ritus memberi nama kepada bayi yang baru
lahir dengan memotong beberapa ekor babi sesuai kesanggupan.
Setelah anak menginjak masa kanak-kanak, orang tua si anak wajib
menyelenggarakan pesta dengan memotong satu hingga empat ekor
babi yang dibagikan kepada keluarga dan tetangga. Pesta ini bertujuan
untuk menanamkan perasaan harga diri pada anak melalui perhatian
dari keluarga dan tetangga sekeliling (hlm. 89).
Orang tua juga wajib memotong 6-12 ekor babi setelah anak menginjak
dewasa. Setelah itu, pesta yang lebih besar masih harus
diselenggarakan. Dengan disaksikan seluruh anggota keluarga dan
orang kampung, harga diri anak kembali dimuliakan dengan 24 ekor
babi sebagai ongkosnya.

Budaya patriarki Nias membuat semua pesta yang dilaksanakan selalu


dalam konteks kebutuhan kaum laki-laki. Puncak dari semua pesta
yang harus ditunaikan oleh laki-laki Nias adalah Owasa, pesta
terbesarnya. Kala itu ratusan ekor babi dipotong, puluhan gram emas
dibagikan, dan ribuan tamu dijamu makanan selama tiga hari tiga
malam. Meskipun pelakunya harus menanggung risiko ekonomi yang
serius, demi harga diri pesta itu harus ditunaikan. Dampak sosial
Owasa sungguh luar biasa. Jika seseorang telah menunaikan Owasa,
maka setiap perkataannya dengan sendirinya telah menjadi hukum
adat.
"Semua perjuangan sudah gagal karena tradisi. Namun, yang namanya
adat sudah mendarah daging sehingga akan menjadi beban jika tidak
dilaksanakan." Demikian kesaksian salah seorang responden dalam
buku (Bahan Referensi) ini tentang Owasa yang dilaksanakannya.
Pundi-pundi kekayaan yang dikumpulkannya selama puluhan tahun
ludes atas nama tradisi ini. Bahkan, dia masih harus menanggung
sejumlah utang meskipun Owasa sudah ditunaikan puluhan tahun yang
lalu.
Berbicara tentang identitas dan harga diri, orang Nias juga mewarisi
sebuah tradisi yang bernama Mangani binu, yang oleh banyak
pengamat luar dianggap biadab. Mangani binu adalah tradisi berburu
kepala manusia untuk keperluan memuliakan harga diri. Dulu, sebelum
Kristen datang, simbol kejayaan laki-laki Nias ditentukan oleh seberapa
banyak kepala manusia yang telah dipenggalnya. Semakin banyak
kepalanya, semakin diseganilah dia.
Waktu itu, tradisi Mangani binu juga berlaku bagi kaum lelaki yang
akan meminang calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala
musuh kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak
jumlah kepala yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin
berharga lelaki tersebut.
Meskipun tradisi Mangani binu sudah lama ditinggalkan oleh
masyarakat Nias, namun pembunuhan dengan memenggal kepala
masih kerap terjadi hingga sekarang. Menurut kesaksian penulis (yg
menjadi sumber referensi) selama meneliti di sana, bayang-bayang
pemburu kepala di masa lalu masih menghantui kehidupan
kebanyakan orang Nias saat ini. Anak-anak kecil selalu dilarang
bermain pada saat hari menjelang malam agar terhindar dari petaka
itu. Kebiasaan para lelaki dewasa Nias yang selalu membawa senjata
tajam ketika berpergian malam hari juga menunjukkan betapa bayangbayang Mangani binu masih kuat pengaruhnya di Nias (hlm. 72).
Johannes Hammerle dalam Asal-Usul Masyarakat Nias (2001)
mengajukan sebuah jawaban. Menurut dia, orang Nias mendiami

kawasan yang secara topografis membuat mereka harus tetap


selamat. Hidup di kawasan terpencil dengan sumber daya alam yang
terbatas membuat persaingan antarsesama orang Nias menjadi kuat.
Karena telah menjelma mejadi pola perilaku, suasana persaingan itu
menjalar hingga ke semua lini kehidupan orang Nias, yang selanjutnya
berujung pada persaingan memperebutkan prestise di ruang sosial.
Setelah ajaran Kristen mulai menancapkan pengaruhnya di Nias sejak
akhir abad ke-19, ritual-ritual adat yang tidak sesuai dengan iman
Kristen
mulai
ditinggalkan.
Kristen
melarang
pembunuhan
antarsesama manusia, mengutuk tradisi pemujaan roh leluhur,
melarang mendirikan menhir dan membuat patung untuk mengenang
leluhur yang sudah meninggal, dan melarang pesta-pesta besar karena
terlalu boros.
Transformasi adat ini berlangsung cukup massif. Keajaiban dalam
pengabaran Injil terjadi pada 1916 ketika digelar Fangefa Sebua
(Pengampunan Besar) atau Fangesa Sebua (Pertobatan Massal) yang
dimotori oleh misionaris Kristen (zendeling). Sejak peristiwa tersebut,
orang-orang Nias mulai berani menghanyutkan patung-patung
perwujudan nenek moyang mereka, menhir, patung-patung dewa, dan
benda-benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai.
Keberhasilan misi Kristen di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi
yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna
ritual tersebut bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual
fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti famaoso dalo
(mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal).
Contoh lainnya adalah tradisi lompat batu di Nias. Tradisi ini
berkembang bersamaan dengan hadirnya para zendeling di pulau ini.
Tradisi ini sengaja diciptakan untuk menghapus tradisi berburu kepala.
Simbol kehebatan yang pada awalnya ditentukan oleh seberapa
banyak jumlah kepala yang berhasil dipenggal berusaha diganti
dengan kemampuan menaklukkan tumpukan batu yang menjulang.
Namun, resistensi terhadap agama baru juga muncul. Hal ini
disebabkan oleh ketidaksetujuan sebagian orang Nias terhadap agama
Kristen yang cenderung membenci adat. Gerakan resistensi di Nias
lazim disebut sebagai Fa'awosa. Gerakan ini telah melahirkan sektesekte yang memadukan berbagai unsur kepercayaan, seperti ajaran
Kristen, Islam, dan unsur-unsur budaya megalitik. Menurut catatan
Kantor Urusan Agama Nias, sampai tahun 2006, sedikitnya telah
berkembang 58 sekte di Nias. Hal ini menunjukkan bahwa orang Nias
belum mengikhlaskan adat yang mereka warisi dari leluhurnya lenyap
ditelan kehadiran agama baru.

Kehadiran buku ini menurut saya tepat waktu, karena setelah gempa
besar dan tsunami melanda Nias pada 2004, perhatian masyarakat luar
tersedot pada fenomena tersebut, sehingga kekayaan tradisi yang
berkembang di Nias luput dari perhatian. Buku ini adalah semacam
reportase etnografis penulisnya yang berusaha menampilkan identitas
kebudayaan orang lain dengan derajat analisis dan empati yang tinggi.
Latar belakang penulisnya yang berasal dari budaya Sunda-Jawa
sepertinya tidak menjadi kendala dalam mengakrabi budaya lain. Ini
terbukti dengan kelincahannya dalam mengisahkan budaya Nias
secara cair dengan bahasa sehari-hari yang nyaris tanpa pretensi
ilmiah. Yang jelas, buku ini akan membawa pembaca memasuki relungrelung sejarah kebudayaan Nias yang terentang dari zaman prasejarah
hingga masa kini.

2.3. Hirearki & Sistem Kekerabatan Masyarakat NIAS


Di pulau Nias juga dikenal istilah marga yaitu sistem yang mengikuti garis
ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari perkumpulanperkumpulan dari seorang nenek moyang. Pernikahan dalam satu marga
tidak dibenarkan.
Hirearki Masyarakat Nias
Di samping itu pula di Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias
dikenal ada sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta
yang tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini
seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang
ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berharihari. Adapun beberapa rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara
lain :
1. Siulu (Balugu/Salaa)
yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi
secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses
pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Faulu). Bangsawan yang telah
memenuhi kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fauulu
disebut Siulu Si Maawai dan menjadi Bal Ziulu yaitu
bangsawan yang memerintah;
2. Ere
yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran
seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere
Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam berbicara terutama
menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam
ere, yaitu: Ere Brnadu dan Ere Mbanua;

3. Siila
yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah
desa. Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada
setiap masalah-masalah yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh
Bal Ziulu dan Siulu lainnya;
4. Sato
yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut
Ono mbanua atau si fagl-gl atau niha si tol;
5. Sawuyu (Harakana)
perang, kemudian mereka menjadi budak.

Sistem Kekerabatan Masyarakat Nias


a. Garis Keturunan
Suku bangsa Nias mengikuti garis keturunan patrilineal, yaitu
mengikuti hitungan hubungan kekerabatan melalui laki-laki. Anak
laki-laki maupun perempuan mengikuti garis keturunan ayah.
Apabila anak laki-laki kawin, biasanya tinggal dirumah orangtuanya
dalam waktu satu, dua, tiga tahun sampai lahir anak pertama. Tapi,
anak perempuan yang sudah kawin harus keluar dari rumah
orangtuanya mengikuti suaminya.
Suku bangsa Nias yang berasal dari satu satu garis keturunan
disebut sisambua mado. Mereka diikat oleh pertalian darah yang
dihitung melalui laki-laki. Setiap nenek moyang dan keluarga
keturunannya
memiliki atia
nadu. Sampai
generasi
yang
kesembilan perkawinan diantara keturunannya dilarang untuk
generasi selanjutnya perkawinan diantara keturunannya tidak
menjadi masalah lagi.
Hanya
saja
persyaratan
harus
dipenuhi
yakni;
memisahkan atia nadu keturunan
tersebut
dari
kumpulan atia nadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu
dengan memotong babi sebesar 4 alisi. Babi tersebut diberikan oleh
pihak laki-laki. Jadi dengan terjadinya perkawinan ini berarti kawin
dalam lingkungan marga atau mado yang sama. Itulah sebabnya di
daerah Nias kita jumpai suami/istri yang marganya sama.
b. Kelompok Kekerabatan
Kelompok kekerabatan orang Nias terkecil adalah sangambat yaitu
keluarga batih, tetapi kelompok yang penting adalah sangambat
sebua, yakni keluarga besar virilokal yang terdiri dari keluarga batih
senior ditambah lagi dengan keluarga batih putra-putranya yang
tinggal serumah, sehingga berupa sebuah rumah tangga dan satu
kesatuan
ekonomis.
Gabungangabungan
dari sangambat
sebua dari satu leluhur disebut Mado (di Nias Utara, Timur dan
Barat) atau Gana (di Nias Tenggara di Nias Selatan).

Fungsi kelompok keluarga dari kedua belah pihak ini, paling


menonjol dalam upacara peralihan dari tingkat hidup remaja
ketingkat hidup berkeluarga. Jadi, apabila anak sangambat tadi
terutama anak perempuan kawin maka yang banyak memegang
peranan ialah keluarga dari pihak suami. Mulai dari awal upacara
sampai berakhir, mereka yang menjadi penghubung antara pihak
laki-laki dan orangtua perempuan serta yang menentukan segala
sesuatu yang berhubungan dengan upacara tersebut. Mereka ini
merupakan kelompok kekerabatan yang disebut menurut dekatnya
dengan sangambat tadi. Kelompok keluarga yang paling dekat
yaitu yang sekandung dan sepupu dihitung dari garis keturunan
pihak laki-laki yang disebut Iwa.
Saudara sepupu tingkat kedua disebut Huwa dan saudara-saudara
tingkat seterusnya disebut banua. Dari kelompok kekerabatan
banua yang menerima hak dalam upacara-upacara adat
ialah Salawa dan stafnya. Selain dari kelompok kekerabatan diatas,
masih ada satu kelompok kekerabatan dari pihak suami yaitu
kelompok-kelompok saudara perempuan yang sudah kawin beserta
keluarga mereka masing-masing, yang disebut fadono atau ono
alawe, termasuk keluarga yang mengawini anaknya perempuan.
Fungsi
dari fadono berbeda
dengan Iwa, Huwa dan Banua.
Kelompok kekerabatan ini merupakan pekerja dalam upacara yang
dilaksanakan
olehsangambat tadi.
Itulah
sebabnya
dalam
pembagian urakha yang
menjadi
bagian
mereka
adalah
tangan/kedua kaki sebelah muka sebagai lambang kecekatan.
Keluarga dari pihak istri merupakan suatu kelompok kekerabatan
yang disebutuwu. Jadi dari merekalah sumber hidup anakanak sangambat itu, hal inilah yang menjadikan derajat uwu lebih
tinggi kedudukannya dari semua kelompok kekerabatan tadi dan
selalu mendapat penghormatan yang tertinggi dari ngambat
tersebut. Selain itu keluarga yang memberi istri bagi anak lakilaki sangambatmerupakan satu kekerabatan yang disebut sitenga
b. Kelompok ini diundang apabila sangambat mengawinkan
anaknya, mengaadakan pesta kematian atau pesta adat lainnya.

2.4. Peraturan dan Hukum (Fondrak) Adat Nias yang


Mengutuk (tidak mengenal Tuhan )
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat
dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum Adat Nias ini terkenal dengan
sebutan Fondrak, yang ditetapkan untuk mengatur tata kehidupan
masyarakat
Nias
dengan
sanksi
berupa
kutuk
bagi
yang
melanggarnya. Menurut Viktor Zebua, istilah Fondrak berasal dari
kata rak,artinya:
tetapkan
dengan
sumpah
dan
sanksi
kutuk. Fondrak merupakan
forum
musyawarah,
penetapan,
dan
pengesahan adat dan hukum. Bagi yang mematuhifondrak akan

mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan


sanksi.
Seperti halnya mitos tentang asal-usul orang Nias yang konon
diturunkan nidada dari langit Tetehli Anaa, maka Fondrak ini
diturunkan bersama dengan Hia Walangi Sinada di daerah Gomo (Bagian
Selatan Nias). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Nias maka
para raja dan tetua adat bermufakat untuk membaharui peraturan yang
ada sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing rakyatnya.
Proses pengesahan Fondrak ini terkesan mistis dan mengerikan
(menurut penulis), karena melibatkan binatang atau benda yang
diumpamakan sebagai siksaan atau kutuk yang akan dialami oleh para
pelanggarnya. Fondrak ini dilaksanakan di Ar Gosali (Rumah
musyawarah) yang dihadiri oleh raja dan para tetua adat. Mereka
menetapkan Fondrak dengan menggunakan ayam, lidi, dan timah panas.
Salah seorang tetua adat akan mematah-matahkan lidi atau kaki dan
sayap ayam serta menuangkan timah panas ke dalam mulut ayam
tersebut. Saat melakukan ritual tersebut, dia akan mengucapkan kutuk
Barangsiapa yang melanggar segala sesuatu yang telah ditetapkan
dalam Mondrak ini, maka dia akan segera mati (patah seperti lidi), atau
disiksa seperti ayam yang kaki dan tangannya patah serta segala yang
dimakannya akan terasa panas seperti timah panas yang dimasukkan ke
mulut ayam. Terkadang, mereka juga menggunakan kucing atau anjing
dengan kutuk L mowaa ba dan ba l molehe ba mbanua yang artinya
tidak bakalan memiliki keturunan.
Pada masa itu (terutama sebelum masuknya ajaran agama Kristen
ke Pulau Nias), Fondrak ini sangat dipercaya memiliki kekuatan dan
banyak yang mengalami kutuk seperti yang telah ditetapkan para tetua
tersebut. Selain Fondrak, adapula hukuman lainnya bagi individu
yang melanggar peraturan, mulai dari denda emas dan babi, hingga
hukuman pancung (leher dipenggal). Proses memancung leher adalah
dengan menidurkan orang yang akan dihukum di atas tanah dan lehernya
diletakkan di atas batang pisang, barulah eksekusi dilakukan.
Seperti halnya raja-raja lainnya, Fondrak juga dilakukan di Talu
Nidanoi dan Laraga (daerah Gunungsitoli Idanoi dan Gunungsitoli Selatan)
oleh dua raja besar di masa itu yakni Balugu Samn Bauwudan (Mado
Harefa) dan Balugu Tuha Badan (Mado Zebua). Seiring dengan
perkembangan zaman dan pengenalan masyarakat akan agama maka
kepercayaan akan kutuk tersebut sudah mulai berkurang (sekalipun masih
ada yang hingga saat ini masih mempercayainya, terutama para tetuatetua adat di Pulau Nias). Sementara hukuman pancung sudah mulai
berkurang di Nias sejak kedatangan para misionaris yang menyebarkan
agama kristen sejak tahun 1830.
Cerita dari para orang tua di masa kecil, bahwa apabila
kedapatan orang yang berbuat zina maka akan dikenakan hukuman
pancung baik pria maupun wanitanya. Dahulu, komunikasi antara
pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan saudara sangatlah
dibatasi, apalagi bila sampai ketahuan pacaran. Dilarang

mengganggu atau melirik anak gadis orang bahkan mengerlingkan


mata sekalipun, apabila ketahuan maka bersiap-siaplah untuk
digebuki oleh saudara-saudara si cewek. Pertengakaran antar
kampung seringkali diawali oleh masalah melirik atau mengganggu
cewek di masa lampau. Bahkan sekalipun sudah bertunangan, pria
dan wanita tidak boleh bertemu. Mereka baru bisa bersama setelah
menikah. Sistem perjodohan berlaku pada masa itu, seringkali
pengantin perempuan baru mengenal wajah pengantin prianya
setelah acara pernikahan. Sehingga apapun dan bagaimanapun
kondisi yang menjadi pendampingnya harus diterima, sekalipun dia
cacat ataupun sudah tua. Terima saja apa adanya.

BAB III
Sistem Sosial Masyarakat NIAS
Dan Perencanaan Wilayah dan Kota
3.1. Perencanaan Kawasan Wisata
PANTAI
Secara Gegrafis Suku Nias Berada di sebuah Pulau yang memilik Pesisir
pantai yang sunggug sangat Luas (belum di paparkan di atas). Nias
Memiliki pantai yang sangat Indah dan masih belum terjamah oleh
aktifitas manusia yang merusak. Tidak hanya 1 atau 2 Pantai saja, tetapi
ada puluhan Pantai yang berpotensi sebagai kawasan Wisata.
Di lihat dari sudut pandang Perencanaan Wilayah dan Kota, ini sangat
berpotensi untuk dijadikan sebagai kawasan Wisata. Kenapa tidak, lautnya
masih bersih belum tersentuh oleh aktifitas manusia. Degan
ditetapkannya sebagai kawasan wisata wisata dapat membantu
perekonomian Masayarakat Nias, serta hubungan Sosial dengan
masyarakat Luar Nias dapat terjalin.
Tentu saja Pemerintah yang berperan aktif untuk mengembangkannya
dan dibantu oleh masyarakat setempat.
Bekas Kerajaan
Bawamataluo merupakan salah kerajaan yang ada yang pada zaman dulu.
Dimana peninggalan sejarahnya masih dapat dilihat hingga saat ini.
Rumah Adat yang dulu dijadikan sebagai tempat tinggal Raja dan rumahrumah adata jaman dulu hingga kini masih berdiri kokoh. Ditambah
dengan peninggalan sejarah lompat batu yang khas dari daerah Nias. Ini
membuat
parawisatawan Mancanegara hingga Internasional ingin
menyaksikan nya secara langsung.
Hingga kini bawamataluo masih merupakan tempat yang eksis untuk
dikunjungi, selain rumah adat yang masih berdiri Kokoh, hingga lompat
batu dan tarian perang yang khas dari Nias. Pantainya juga sering
dikunjungi oleh Turis luar Negeri, yang sering dijadikan sebagai tempat
untuk Berselancar.

3.2. Kawasan Lindung


Beberapa daerah di Nias, hingga kini masih terdapat peninggalan sejarah
yang sangat tak terhitung jumlahnya. Mulai dari batu-batu prasejarah
hingga rumah-rumah adat yang masih berdiri kokoh.
Untuk melindungi itu semua agar tidak dirusak dan hilang, pemerintah
dapat menetapkan nya sebagai kawasan lindung. Untuk menjaga
peninggalan sejarah yang kelak nantinya masih dapat dilihat oleh anak
cucu kita.

3.3. Kawasan budidaya


Ini merupakan potensi yang sangat besar pada Masyarakat Nias,
mengingat masih beluma adanya kawasan budidaya. Kelak apabila
beberapa wilayah di jadikan sebagai kawasan budidaya, dapat membantu
perekonomian masyarakat yang ada di Nias. Sehingga dapat merubah
Mindset (pola pikir) masyarakat nias yang berpikir Lebih mudah mencari
pekerjaan di Negeri Orang dari pada di Negeri Sendiri.

3.4. Pembangunan Daerah Tertinggal


Merupakan Salah satu tugas pemerintah dalam mengembankan daerahdaerah tertinggal yang ada di Pelosok. Tidak sedikit daerah-daerah yang
masih belum terjamah oleh pembangunan Pemerintah, muali dari Struktur
hingga Infrastruktur.
Tidak heran beberapa masyarakat Nias yang berada di pelosok-pelosok
masih berpikir ke belakang. Yah, itu salah satu faktor yang membuat pola
pikir, dan sistem sosial masyarakat tertinggal.
Sebagai seorang Perencanaan wilayah dan Kota, ini perlu diperhatikan.
Memperhatikan daerah-daerah yang masih tertinggal baik dalam segi
pembangunan, pendidikan dan Sistm sosial. Dan merencanakan sebuah
perencanaan yang dapat membangun daerah-derah tertinggal yang
berada di pelosok. Sehingga seluruh daerah-daerah tertinggal yang
berada di pelosok-pelosok dapat terjamah dan diperhatikan oleh
pemerintah. Sehingga masyarakat dapat hidup Nyaman, aman dan
tentram.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Sistem sosial pada masyarakat Nias sangatlah Unik. Di mana dipengaruhi oleh
beberapa aspek-aspek kehidupan yang tumbuh dan berkembang pada
masyarakat itu sendiri, baik itu dari Adat istiadat, kepercayaan, tradisi, Peraturan
hingga kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat itu sendiri.
Lambat laun, setelah perkembangan zaman dan masuknya pengaruh budaya
luar ke Pulau Nias, Kebiasaan, hukum, dan adat yang ada pada masyarakat
dalam konteks yang tidak baik perlahan-lahan mulai hilang dan ditinggalkan.
Sehingga Dewasa ini, sistem sosial yang ada pada masayarakat Nias sekarang
berbeda dengan sistem sosial yang ada pada masa dulu.

DAFTAR PUSTAKA
Widjajati, Laely (2010). Pengertian Sistem Sosial (Menurut Sosiologi). [online].
Tersedia: http://laely-widjajati.blogspot.com/2010/01/pengertian-sistem-sosialmenurut.html (April 2015)
Halawa, Ernimawati (2014). Ingedible Atau Karya Sastra Yang Tidak Berwujud
Benda Masyarakat Nias. [online].
Tersedia : http://ernihalawa.blogspot.com/2014/10/sastra-ingedible-masyarakatnias.html (Mei 2015)
Ruang Baca|Koran Tempo (2008). Pertarungan Identitias di Balik Batu. [online].
Tersedia : http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?
doky=MjAwOA==&dokm=MDg=&dokd=MzE=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=VUxT&u
niq=NzI2 (April 2015)
Hulu, Dominiria (2010). Sistem Kekerabatan Masyarakat Nias. [online].
Tersedia : https://dominiriahulu.wordpress.com/2010/03/15/sistem-kekerabatanmasyarakat-nias/ (April 2015)
Hondro, Rivalry (2014). Bahasa Nias. [online].
Tersedia : https://rivalryhondro.wordpress.com/httpniasonline-net/bahasa-nias/
(Mei 2015)

Anda mungkin juga menyukai