Anda di halaman 1dari 12

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Ulama adalah pewaris para nabi. (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu
anhu).
Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan
rahmat dan pertolongan-Nya, Allah Subhanahu wa Taala juga menjadikan para ulama
sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syariat terus terpelihara
kemurniannya sebagaimana awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang dari
mereka mengakibatkan terbukanya fitnah besar bagi muslimin.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya
yang diriwayatkan Abdullah bin Amr ibnul Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:



.





Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba.
Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah
tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari
kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa
dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no.
2673)
Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin Amr secara marfu
(riwayatnya sampai kepada Rasulullah): Sesungguhnya termasuk tanda-tanda
datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang
jahat. (Jamiul Ulum wal Hikam, hal. 60)
Meninggalnya seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan
ini menunjukkan keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan
rahmat dan barokah dari Allah Subhanahu wa Taala. Terlebih Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya:

Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala
bentuk kejahatan.
Kita telah mengetahui bagaimana kedudukan mereka dalam kehidupan kaum
muslimin dan dalam perjalanan kaum muslimin menuju Rabb mereka. Semua ini
disebabkan mereka sebagai satu-satunya pewaris para nabi sedangkan para nabi tidak
mewariskan sesuatu melainkan ilmu.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:
Ilmu merupakan warisan para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak
pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang
mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak
dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada kurun (abad, red)
ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling
besar. (Kitabul Ilmi, hal. 16)
Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Allah
Subhanahu wa Taala berfirman:



Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba kami. (Fathir: 32)
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab
(Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu
orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat
ini. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: Maknanya adalah: Kami
telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami
yaitu Al-Kitab (Al-Quran). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini
kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan
kepadamu dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan
orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Taala telah memuliakan
mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Taala menjadikan mereka
sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia,

mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik dan
sayyid bani Adam. (Fathul Qadir, hal. 1418)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:





.
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa
mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.
(Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad
di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no.
3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu
Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: Haditsnya shahih. Lihat
kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih
Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68)
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan: Kebijaksanaan
Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barang
siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan
bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat, maka itu dengan keadilan
Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut nabi dan rasul
menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang
yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu
para nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh
Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan
Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka pantas mendapatkan
pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan yang
penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan pengorbanan
mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka
mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi. (Al-Manhaj Al-Qawim fi
At-Taassi bi Ar-Rasul Al-Karim hal. 15)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan: Kita wajib memuliakan ulama muslimin
karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk
meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa. Barangsiapa terjatuh

dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin. Ulama
adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat
dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka
tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah
menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua
problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat
itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara. (Al-Ajwibah Al-Mufidah,
hal. 140)

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu taala anhu, bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa
sallambersabda,


Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat (HR. Bukhari)
Seputar perawi hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash bin Wail bin
Hasyim bin Suaid bin Saad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu
Muhammad, atau Abu Abdurrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu
diantara Al Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti Abdullah Ibn
Umar, Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya pent) yang pertama kali memeluk Islam,
dan seorang di antara fuqaha dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan
Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau
meninggal di Thaif.
Isi kandungan hadits :
Pertama:
Nabi shallallaahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara
agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa taala telah menjadikan agama ini
sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), Pada hari ini telah
kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan
telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda

beliau, Sampaikan dariku walau hanya satu ayat, Al Maafi An Nahrawani


mengatakan, Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya
sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam dapat segera
tersambung dan tersampaikan seluruhnya. Hal ini sebagaimana sabda beliau
shallallaahu alaihi wa sallam, Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak
hadir. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam terbagi dalam dua bentuk :
1. Menyampaikan dalil dari Al Quran atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik
sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun
persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak
mulia Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Cara penyampaian seperti ini
membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini
haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan
memiliki sikap adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi
dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muruah, ed).
2. Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada.
Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh capabilitas dan legalitas
tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan
mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan
memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa,
ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan
penelaahan terhadap perkataan - perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf
(perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia
mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah
khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus
menganut pendapat yang nyleneh.
Ketiga:

Sebagian orang yang mengaku sebagai dai, pemberi wejangan, dan pengisi
talim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama,
berdalil dengan hadits Sampaikan dariku walau hanya satu ayat. Mereka
beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan
hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya, ed). Bahkan mereka
berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai
pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu alaihi wa sallam tersebut. Menurut
mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih
layak jadi pendakwah.
Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi
orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang
mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk
menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan
satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap,
maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia
termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia
dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki.
Demikianlah sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, Terkadang orang yang
disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang
pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam
pemahaman). Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa
sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan
pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak paham,
ed)?! Semoga Allah melindungi kita dari kerusakan semacam ini.
Diterjemahkan dari : Taliqat ala Arbaina Haditsan fi Manhajis Salaf Syaikh Ali
bin Yahya Al Haddadi

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba-Nya selain dengan
diwasiatkannya para ulama. Sehingga, saat tidak tersisa lagi orang berilmu, orang-orang

mengangkat tokoh pemimpin yang bodoh yang ketika ditanya mereka menjawab tanpa
kapasitas ilmu. Sungguh, mereka sesat dan menyesatkan. (HR Bukhari - Muslim).
Pesan Rasulullah SAW di atas memprediksi kondisi masyarakat tanpa pedoman cahaya
ilmu. Pesan ini mungkin terkesan kontradiktif jika dibandingkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern kini yang berlangsung sedemikian pesat. Meski,
pertanyaan lain muncul, jika memang ilmu pengetahuan demi kebaikan orang banyak,
lantas kenapa kebejatan moral justru identik dengan perkembangan ilmu pengetahuan?

Anas bin Malik menjelaskan, hakikat ilmu termaksud, bukan dilihat dari pesatnya ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan skill. Tetapi, sirnanya ruh ilmu yang mewariskan rasa
takut kepada Allah dalam pelakunya (khasy-yah wa muraqabatullah).
Hilangnya rasa takut menjadikan ilmu tanpa cahaya. Ada perangkatnya namun hilang
ruh kebaikannya. Ilmu hanya dipergunakan sebagai kegunaan teknis dan mengabaikan
spirit kebaikan di dalamnya. Akibatnya, kedigdayaan ilmu dipergunakan seseorang guna
menebar kejahatan dan kesesatan; mengeksploitasi alam, merusak lingkungan, tatanan
sosial, dan moralitas kekuasaan. Sungguh, inilah yang disinyalir sesat dan menyesatkan.
Para ulama menggarisbawahi, terdapat tiga cara hilangnya ilmu dari seseorang.
Pertama, sirna dari hati. Kedua, wafatnya para ulama dan ini dimulai sejak Rasulullah
SAW wafat di (rasa takut kepada Allah) dan amal, sia-sia belaka.
Hadis di atas berpesan kepada para ulama dan penguasa. Sebagai pengayom, keduanya
memiliki misi penting dalam pemberdayaan masyarakat. Namun, jika ilmu mereka tidak
disertai rasa takut kepada Allah SWT, yang terjadi adalah mendahulukan kepentingan
pragmatis dan sesaat untuk diri sendiri.
Hilangnya ruh ilmu akibat tercerabutnya tradisi para ulama salaf. Yahya Ar-Razy
berwasiat, Wahai para ilmuan! Istanamu seperti para kaisar, pakaianmu ibarat kaum
zhahiri, sepatumu seperti pengikut Jalut, kendaraanmu sama dengan Qarun, gaya

kuasamu persis Firaun, dan dosamu layaknya kaum Jahiliyah. Lantas, di manakah
syariat Muhammad?. Semoga kita bukan orang berilmu yang tersesat.








[ :

-


























. ]
























:




























Terjemahan Hadis:
Imam Bukhori rahimahullahu taala berkata bahwa Said ibnu Talid
telah berkata bahwa Ibnu Wahbin telah berkata bahwa Abdurrahman
bin Syuraih telah berkata yang demikian juga dari yang lainnya juga
dari Abi Aswad dari Urwah dia berkata bahwa Abdullah bin Amr bin
Ash radiallahu anhuma berhaji kepada kami ( Makkah) dan aku
(Urwah) mendengarnya mengatakan bahwa aku mendengar
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan, Sesungguhnya
Allah tidak mencabut ilmu itu setelah ilmu itu diberikan kepada kalian,
akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut nyawa para ulama
dengan ilmu mereka. Tinggallah manusia-manusia yang jahil. Mereka
dimintai fatwa, mereka pun berfatwa, tetapi dengan logika saja.
Akibatnya mereka sesat dan menyesatkan. Kata Urwah, saya
menyampaikan hadis tersebut kepada Aisyah, istri Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, (tampaknya Aisyah belum pernah mendengar hadis
tersebut dan mendiamkannya untuk sementara) kemudian Abdullah
bin Amru bin Ash datang kembali lalu Aisyah radiallahu anha
mengatakan, wahai anak saudariku ( Urwah, anak Asma bin Abu

Bakar) temuilah kembali Abdullah dan cek kembali kebenaran hadis


tersebut. Saya pun kembali menemui Abdullah bin Amru bin Ash dan
bertanya kepadanya, apakah betul hadis ini kamu dengar dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam? Ternyata yang beliau sampaikan kali ini
persis sama dengan yang pernah disampaikan kepadaku sebelumnya.
Saya pun kembali menemui Aisyah dan mengabarkan bahwa saya
telah mengecek kebenaran hadis tersebut dan yang disampaikannya
sama saja dengan yang telah disampaikan sebelumnya maka beliau
kagum, senang dengan hal tersebut dan mengatakan, sungguh
Abdullah bin Amr telah menghapal hadis tersebut.
Penjelasan:
Abdullah bin Amr bin Ash radiallahu anhuma mengatakan bahwa











, ilmu itu tidak dicabut begitu
, artinya,

saja setelah diberikan kepada kalian. Kata,



setelah diberikan kepada kalian, ini menunjukkan bahwa ilmu itu
datang dari Allah Subhanahu wa Taala. Namun, ilmu ini akan dicabut
sebagaimana perbendaharaan dunia ini akan hilang satu demi satu.
Inilah satu di antara tanda kiamat dalam beberapa riwayat. Juga
dalam Hadis Bukhori dari riwayat Anas bin Malik bahwa di antara
tanda kiamat adalah ilmu dicabut dan tetaplah atau tinggallah atau
yang eksis adalah kejahilan. Dalam riwayat yang lain bahwa di antara
tanda kiamat adalah ilmu makin sedikit dan kejahilan makin tampak.
Apakah ilmu akan hilang secara mendadak? Apakah orang yang
awalnya tahu tiba-tiba menjadi bodoh; orang yang tadinya hapal tibatiba lupa dan sebagainya? Ternyata ilmu tidak hilang dengan cara itu,
sedikit demi sedikit, tetapi Allah Subhanahu wa Taala mengangkat
ilmu ini dengan kepergian para ulama. Jadi, kepergian ulama adalah
musibah yang sangat besar. Kata Jabir bin Abdullah tidak ada
musibah yang lebih besar dari kepergian Rasulullah Shallallahu Alaihi

wa Sallam dan Abdullah bin Abbas radiallahu anhuma karena beliau


adalah ulama umat. Hal ini karena kita lebih butuh ilmu daripada
yang lainnya. Kita butuh teknokrat, insinyur, dan lain-lain, tetapi kita
masih bisa hidup tanpa mereka. Adapun ilmu, kita tidak bisa hidup
tanpanya. Kata Imam Ahmad, ilmu kita butuhkan sepanjang nafas dan
detak jantung kita dan lebih kita butuhkan daripada makanan dan
minuman. Kebutuhan terhadapnya lebih dari sekadar 23 kali sehari,
tetapi dia dibutuhkan setiap saat.









, tetapi ilmu itu dicabut

bersama dengan dicabutnya nyawa para ulama. Karena itu, sangat
penting kita memanfaatkan kehadiran ulama, selama para ulama
masih hidup.
Krisis ulama ini adalah fenomena yang pasti akan terjadi sehingga
jangan terlambat memanfaatkan keberadaan mereka. Ilmu Imam
Nawawi yang kita nikmati sekarang, masih banyak yang tidak sempat
beliau tuangkan dalam buku-buku beliau. Usia beliau hanya 45 tahun
dan begitu banyak buku yang telah beliau tulis, tetapi ilmu yang
belum sempat beliau pindahkan mungkin masih lebih banyak lagi.
Apalagi ulama yang tidak sempat menulis atau tidak memiliki
kemampuan menulis. Ada ulama yang memiliki kemampuan menulis
dan berceramah, seperti Imam Ibnu Al Jauzi. Ceramah-ceramahnya
sangat disenangi sebagaimana tulisan-tulisannya yang tersebar.
Ulama kita yang lain, Ibnu Abi ad Dunya, juga begitu banyak bukubukunya, tetapi mungkin tidak dikenal pada hal yang lain. Yang
lainnya, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid seorang ulama
kontemporer yang juga telah wafat. Beliau lebih memilih untuk
menulis daripada tampil berceramah.
Di negeri kita, Alhamdulillah, ukhuwah islamiyah sangat tampak.
Namun, krisis ulama juga melanda kita. Apalagi jika kita ingin mencari
ulama yang rabbaniyyun, yaitu ulama yang tidak hanya berilmu,

punya hapalan, punya pemahaman yang baik, tetapi juga ulama yang
diambil pengamalannya dan akhlaknya. Hari ini kita mungkin punya
banyak ulama yang berilmu, tetapi sangat sulit menemukan yang
berkarakter rabbani.
Pada akhirnya, yang tinggal hanyalah orang-orang bodoh. Padahal
semakin menjelang hari kiamat persoalan menjadi semakin banyak
dan semakin kompleks. Bahkan ada sesuatu yang tidak dibayangkan
terjadi, akhirnya terjadi. Ada juga perbuatan yang dulu dianggap
sebagai dosa besar sekarang dianggap sebagai hal yang sepele, dosa
kecil, lumrah. Persoalan semakin banyak sehingga kebutuhan
terhadap ulama makin besar. Karena ulama makin sedikit sementara
kebutuhan akan ulama makin banyak, orang-orang mencari siapa
yang bisa memberi jawaban atas permasalahan mereka. Akhirnya,


tinggallah atau muncullah

Dalam riwayat yang lain, fa
idzaa lam yabqa aalimun. Dalam riwayat yang lain, fa idzaa lam
yubqi aaliman, ketika Allah tidak lagi menyisahkan satu alim
pun. Ittakhadzannasu

ru-uusal

juhhaala. Dalam riwayat lain,

Ittakhadzannasu ruasa juhhaala, orang mengangkat pemimpinpemimpin yang bodoh.


Zaman kita hari ini mirip dengan zaman yang dikatakan oleh
Rasulullah SAW.












Sesungguhnya kalian hidup di zaman yang fuqahanya (ulama)
banyak dan penceramahnya sedikit, sedikit yang minta-minta dan
banyak yang memberi, beramal pada waktu itu lebih baik dari
berilmu. Dan akan datang suatu zaman yang ulamanya sedikit dan

penceramahnya banyak, peminta-minta banyak dan yang memberi


sedikit, berilmu pada waktu itu lebih baik dari beramal. (HR. AthThabrani).
Dengan hadits ini maka cukuplah kita bisa memahami apa yang terjadi ketika zaman
dahulu (Nabi) terjadi dengan zaman kita, banyak ulama yang tampil dengan performa
layaknya artis, tetapi jika ditanyakan satu bab ilmu meraka tidak banyak
mengetahuinya. Naudzubillahi min dzalik. Berarti jelas telah terbukti dari apa yang
telah dikatakan Rosulullah Saw tentang masa depan. Oleh karena itu, menjadi ulama
bukan perkara yang mudah. Melainkan harus memenuhi syarat-syarat khusus agar bisa
menjadi ulama yang benar-benar pewaris Nabi.

Anda mungkin juga menyukai