Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENGERTIAN DAN PENGATURAN NASIONALISASI


I.1.

Terminologi Nasionalisasi
Pengaturan nasionalisasi di Indonesia diatur di dalam Pasal 7, BAB V
tentang Perlakuan Terhadap Penanaman Modal, Undang-Undang No.25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA), yaitu sebagai berikut :
(1)

Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau


pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan
Undang-undang.

(2)

Dalam

hal

Pemerintah

melakukan

tindakan

nasionalisasi

atau

pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Pemerintah

akan

memberikan

kompensasi

yang

jumlahnya

ditetapkan berdasarkan harga pasar.


(3)

Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang


kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.
Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia berupaya melindungi investor asing

untuk tidak melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan


penanam modal. Klausul nasionalisasi biasanya diatur dalam perjanjian investasi
internasional dan disebut sebagai ekspropriasi, digunakan sebagai bentuk
perlindungan terhadap investor.
Nasionalisasi ialah suatu peraturan, dengan mana fihak penguasa
memaksakan semua atau segolongan tertentu untuk menerima (dwingt te
gedogen), bahwa hak-hak mereka atas semua atau beberapa matjam benda tertentu
beralih kepada negara. Nasionalisasi adalah suatu tjara peralihan hak dari fihak
partikelir kepada negara setjara paksa. Dalam rangka tindjauan tersebut maka
nasionalisasi dipandang sebagai suatu species daripada genus pencabutan
hak (onteigening).1

1Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia,


(Jakarta: Penerbit Universitas, 1960), hal 6.

Onteigening menundjuk kepada pentjabutan hak. Istilah ini kita


ketemukan dalam pasal 27 UUDS RI. Dalam arti kata yang lazim maka istilah
pentjabutan hak ini dipergunakan berkenaan dengan kepentingan umum. Pasal 27
tersebut berbunyi: pentjabutan hak milik untuk kepentingan umum atas suatu
nemd atau hak tidak dibolehkan kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut
aturan Undang-undang.2
Sebagaimana dikatakan di atas bahwa nasionalisasi adalah species dari
genus pencabutan hak atau ekspropriasi maka perlu diketahui makna dari dua
istilah tersebut terlebih dahulu. Dalam kamus hukum di Amerika Serikat,
expropriation adalah pengambilan hak milik individu oleh pemerintah atau
negara untuk kepentingan umum. kepentingan umum yang dimaksud adalah
dalam konteks hukum federal Amerika Serikat. berdasarkan amandemen V (1791)
dari konstitusi amerika serikat, pemerintah berhak untuk mengambil alih hak
kepemilikan dengan pemberian ganti kerugian (eminent domain).
Expropriation, n. (15c) 1. A governmental taking or modification of an
individuals property rights, esp. By eminent domain; condemnation (2)
also termed (in england) compulsory purchase (in scotland) compulsory
surrender. Cf. Appropriation (1). 2. A voluntary surrender of rights or
claims; the act of renouncing or divesting oneself of something previously
claimed as ones own expropriate, vb. expropriator, n.3
Sampai edisi kesembilan blacks law dictionary tidak ditemukan entri kata
nationalization. Kata nationalization baru muncul di Blacks Law Dictionary edisi
ke-10, yang memiliki arti Nationalization, n (1847) 1. The act of bringing an
industry under governmental control or ownership...4
Berbeda halnya dengan kamus hukum di Inggris, selain mengenal
terminologi expropriation, kamus hukum di Inggris juga mempunyai entri untuk
nationalization.5 karena pengadilan Inggris mempunyai pengalaman mengadili
keabsahan pencabutan hak milik yang dilakukan oleh pemerintah Uni Soviet
2Ibid.
3Blacks law dictionary tenth edition.
4Ibid, hal 1186.

dalam kasus Luther vs Sagor dan Princess Paley Olga vs Weisz, pemerintah
Inggris pernah melakukan nasionalisasi atas sektor perekonomian yang penting
bagi negara the commanding heights of the economy, dan juga karena
perusahaan multinasional asal Inggris, Anglo-Iranian oil company, pernah terkena
nasionalisasi pemerintah Iran.6
Kata nasionalisasi bukanlah istilah seni/art, tapi biasanya menandakan
pengambilalihan dalam beberapa program politik nasional dimaksudkan untuk
menciptakan ulang perusahaan yang telah ada, atau untuk memperkuat, industri
dikendalikan secara nasional.7
Tipe-tipe ekspropriasi yang menyediakan ganti kerugian yang pantas dapat
dibagi menjadi tiga kategori, sebagaimana berikut:8
(i)

Expropriation by law for purposes of public utility against adequate


and prior compensation, this is expropriation in its classical form, and
is often reffered to as expropriation pure and simple.

(ii)

Expropriation when adequate compensation cannot be payable in


advance is usually, but not necessarily, called requisition; it is
justified by some special urgency

(iii)

nationalization of whole industries, which may fall into either of


these categories.

Jadi dapat dikatakan bahwa nasionalisasi adalah termasuk ekspropriasi/


pengambilalihan langsung secara utuh.
Definisi ekspropriasi dapat dilacak sampai tahun 196, ketika Profesor
Louis Sohn dan Richard Baxter merancang Convention on International

5Yu un oppusunggu, masukan atas rancangan acuan perjanjian perlindungan dan promosi
penanaman modal, hal 7.
6Ibid, hal 7.
7B. A. Wortley, Expropriation in Public International Law, (Cambridge: University Press,
1939), hal 36.
8Ibid, hal 24.

Responsibility of States for Injuries to Alien, menggunakan kebiasaan hukum


internasional mendefinisikan pengambilalihan hak dengan kompensasi:
Not only an outright taking of property but also any such unreasonable
interference with the use, enjoyment, or disposal of property as to justify an
interference that the owner there of will not be able to use, enjoy, or dispose of the
property...9
Appleton berargumen bahwa definisi ekspropriasi adalah salah satu yang
telah berkembang dan diterima oleh pemerintah nasional selama ratusan tahun ke
belakang10, sebagaimana kesepakatan umum:
the term expropriation carries with it the connotation of a taking by
a governmental-type authority of a persons property with a view to
transferring ownership of that property to another usually the authority
that exercised its de jure or de facto power to do the taking.
Dari definisi tersebut terdapat tiga kriteria: (i) it is an act attributable to
the state, (ii) involves a transfer of property rights or rendering their use obsolete,
dan (iii) receives consequent compensation.
Kembali kepada konsep Profesor Sohn dan Baxter, sebuah perbedaan
penting harus dibuat antara dua tipe takings yang mana diaplikasikan dalam
ketiga kriteria tersebut, dengan penekanan pada elemen kedua dan ketiga.
Utamanya ada direct expropriation, sebuah pengambilan yang membutuhkan
'tindakan legislatif atau administratif yang mentransfer hak dan kepemilikan
fisik.11
Definisi kriteria ekspropriasi
9Louis B. Sohn & R. R. Baxter, responsibility of states for injuries to the economic
interests of aliens ii. Draft convention on the international law responsibility of states for
injuries to aliens.
10Barry appleton, regulatory takings: the international law perspective. NYU
environmental law journal, 2002, hal 46.
11Bassant el attar, bo-young li, didier kerssler, miguel burnier, expropriation clauses in
international investment agreements and the appropriate room for host states to enact
regulations: a practical guide for states and investors, (geneva: graduate institute of
internationa; and development studies, 2009), hal 5.

(i)

an act attributable to the state


atribusi dari suatu tindakan didefinisikan secara internasional,
mengenai tanggung jawab negara. Siapa yang bertanggung jawab
dengan tindakan negara? Dalam kasus apa terjadi pengurangan,
kegagalan bertindak, dan pertimbangan pengambilalihan hak? Konsep
ini muncul dengan adanya yurisprudensi Sea Land Service Inc vs Iran
1984.12

(ii)

transfer or rendering the use of property rights obsolete


ada dua unsur yang harus dipertimbangkan dalam kriteria ini, pertama,
penentuan properti yang dilindungi di bawah kalusul ekspropriasi, dan
kedua, perhitungan yang terkualifikasi sebagai hasil dari transfering or
rendering the enjoyment of property rights obsolete. Yang pertama
berkaitan dengan properti yang didefinisikan dengan municipal legal
system dan berdasarkan pacta sunt servanda, sedangkan yang kedua
berkaitan dengan indirect expropriation sebagaimana dalam kasus
Starrett Housing Inc. Iran-US.Ada hak-hak kebendaan yang ditransfer
dalam kasus ini, mereka sepenuhnya tetap tinggal dengan investor
untuk menuai manfaat yang terkait dengan properti yang sekarang ini
telah

menjadi

prasyarat

kemungkinan

untuk

pembentukan

pengambilalihan tidak langsung.13


(iii)

Compensation
Di sini Appleton membuat sebuah perbedaan antara ekspropriasi dan
pengambilalihan

tanpa

kompensasi.

Dia

berpendapat

bahwa

kompensasi hanya dipicu sebagai hasil dari pelanggaran hukum


internasional. Pelanggaran ini dapat diprovokasi dalam tigakeadaan,
jika ekspropriasi (a) bukan dilakukan untuk kepentingan umum, (b)
dengan diskriminasi, atau (c) melanggar prinsip-prinsip hukum
internasional. Sementara itu, Weiler melangkah lebih jauh dalam
perbedaan

pertimbangan

ekspropriasi,

termasuk

kompensasi,

12Ibid, hal 6.
13Ibid, hal 8.

sebagaimana sebuah norma internasional dari derogasi yang tidak


hanya membutuhkan kompensasi sebagai dampak dari perhitungan
ekspropriasi, tetapi juga pelanggaran norma. Dia berpendapat bahwa
host states melanggar hukum ketika mereka gagal mengawasi
keadaan-keadaan pasti saat mengambil alih suatu properti. Dengan
demikian kegagalan untuk bertindak untuk kepentingan umum
merupakan suatu pelanggaran; seperti praktik diskriminasi dalam
pengambilalihan

adalah

pelanggaran.14

Konsekuensinya,

adalah

penting untuk membuat perbedaan antara kompensasi untuk reparasi


pelanggaran dan kompensasi yang diperlukan dalam ekspropriasi.15
Sardjana hukum internasional Inggeris Lauterpacht terkenal sekali
pendiriannja dan seringkali dikutip dalam hubungan ini. Pada tahun
1937, dalam gubahannja dari buku Oppenheim International Law
jang terkenal, Lauterpacht sudah mengemukakan bahwa pada
nasionalisasi jang dilakukan setjara global massal ini tidaklah
diperlukan suatu pembajaran ganti rugi, jang penuh. Suatu penggantian
kerugian untuk sebaian (partial) sadja sudah mentjukupi.16
I.2.

Legalitas Ekspropriasi: Klausul Ekspropriasi


Agar ekspropriasi sesuai dengan hukum, baik langsung maupun tidak
langsung, harus memenuhi beberapa kondisi yang berbentuk pembatasan pada
kekuatan host country untuk mengambil hak: (i) non diskriminasi, (ii)
kepentingan umum, (iii) kompensasi, dan (iv) proses hukum.
(i)

Non diskriminasi
Pada tahun 1868 Charles Calvo, seorang advokat Argentina, berpandangan
bahwa warga negara dan orang asing harus diperlakukan sama. Mengikuti
prinsip-prinsip umum hukum internasional, diskriminasi yang ditujukan
terutama untuk menghindari konsep entitas asing atas dasar kebangsaan.

14Todd Weiler, International Investment Law And Arbitration, Cameron, 2005, hal 631.
15Ibid, hal 7.
16Op.Cit, Gouw giok siong, hal 97.

Lebih jauh, kriteria non diskriminasi juga membawa kewajiban bagi host
state untuk memperlakukan anggota dari kelompok asing yang sama
secara non diskriminasi.17 Larangan diskriminasi ini unik karena
teraplikasi dan tidak terpisahkan dengan tiga kriteria lainnya.18
(ii)

Kepentingan Umum
Persyaratan ini merupakan salah satu yang sering digaungkan di beberapa
perjanjian internasional dan biasanya digunakan sebagai justifikasi untuk
derogasi dari prinsip-prinsip yang diterima secara umum. Menurut
Sornarajah kepentingan umum adalah
...non discriminatory measures related to anti-trust, consumer protection,
securities, environmental protection, land planning are non compensable
takings sine they are regarded as essential to the efficient funcitioning of
the state.19

(iii)

Kompensasi
Secara umum, kebanyakan negara mengadopsi Hull Formula yang
mengatakan bahwa ganti kerugian harus dilakukan secara prompt,
adequate, and effective. Selain itu, beberapa negara mengadopsi
appropriate compensationdengan variasi standar ganti rugi yang
berbeda, karena Hull Formula tidak meghitung faktor praktik lampau,
penipisan sumber daya alam, dan pertukaran valuta asing.20

(iv)

Proses Hukum
Proses Hukum membutuhkan penawaran dengan hak untuk menguji
hukum tentang skema pembayaran kompensasi.

17UNCTAD, taking of property. UNCTAD series on issues in international investment


agreements (UNCTAD/ITE/IIT/15), UN, 2000, hal 12.
18Op. Cit, hal 13.
19M sornarajah, the international law on foreign investment, cambridge: cambridgee
university press, 1994, hal 283.
20Op. Cit. UNCTAD, taking of property, hal 13.

Persyaratan bahwa kompensasi investor asing harus dinilai oleh


pengadilan negara tuan rumah yang independen kini ditemukan di
ketentuan pengambilalihan pada banyak perjanjian bilateral dan beberapa
perjanjian regional. Itu telah dikemukakan bahwa kebutuhan proses
hukum ditangani melalui cara lain selain melalui pengadilan, seperti
termasuk

mekanisme

pengambilalihan.

Namun,

penilaian

kompensasi

ketidakpastian

seputar

dalam

klausul

gagasan

hukum

kebendaan dalam hukum internasional umum juga tercermin dalam


penerapannya dalam kerangka pengambilalihan.21
I.3.

Indirect Expropriation
Ekspropriasi tidak langsung menggunakan pengukuran pengambilalihan
fisik secara singkat namun juga terdapat pengambilalihan dalam jumlah yang
menghancurkan nilai ekonomi investasi secara permanen atau mencabut
kemampuan mengelola pemilik, menggunakan dan mengontrol propertinya dalam
cara yang berarti.22Lebih lanjut, Brownlie, menerangkan ekspropriasi tidak
langsung sebagai gagasan yang menekankan pada ekspropriasi secara de jure yang
tidak membutuhkan kompensasi.
expropriation in international law connotes the deprivation of a persons
use and enjoyment of is property, either as the result of a formal act having that
consequence, or as the result of other actions which de facto have that effect.23
I.4. Nasionalisasi
Nasionalisasi biasanya merujuk pada pengambilalihan secara masif dan dalam
skala besar dari kebendaan pribadi dalam seluruh sektor-sektor ekonomi atau pada
sebuah industri atau pada spesifik sektor. Nasionalisasi serentak dalam seluruh
sektor ekonomi pada umumnya dimotivasi oleh pertimbangan kebijakan;
perhitungan dimaksudkan untuk mencapai penguasaan ekonomi negara secara
utuh dan melibatkan pengambilalihan seluruh produksi yang dimiliki secara
21Ibid, hal 31.
22UNCTAD, expropriation, new york & geneva, 2012, hal 6.
23Metalclad corp. V. United mexican states, 40 LL.M. 36, 50 103 (icsid 2000), hal 9.

privat. Banyak bekas negara jajahan melakukan nasionalisasi dalam rangka


dekolonialisasi setelah perang dunia dua. Nasionalisasi industri secara luas terjadi
ketika pemerintah berupaya untuk menata kembali industri tertentu dengan
mengambil alih perusahaan swasta di industri dan menciptakan monopoli Negara.
Dalam kasus ini, aset diambil menjadi milik publik.24

BAB II
SEJARAH NASIONALISASI DI INDONESIA
II.1.

Pengalaman Indonesia dalam kebijakan nasionalisasi


Pembahasan soal nasionalisasi tentu tidak terlepas dari sejarah perekonomian
Indonesia. Dalam perjalanan sejarah Indonesia khususnya pada fase penjajahan,
Belanda memang tidak pernah bertujuan untuk mengembangkan Indonesia,
melainkan semata untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Dari aspek ekonomi,
Indonesia masih dalam keadaan miskin pasca kemerdekaan tahun 1945. Hal ini
disebabkan masih terdapat intervensi dari pemerintah belanda dalam bentuk
under investment di sistem perekonomian Indonesia. Disamping itu, Indonesia
masih terbebani dengan hutang-hutang diantaranya sebagai konsekuensi dari
perjanjian internasional yang mengikat. Konferensi Meja Bundar yang
ditandatangani para pemimpin republic di Den Haag pada tahun 1949 memuat
jaminan bahwa hak-hak yang diberikan kepada modal asing akan dihormati. 25 Hal
ini memberi ruang belanda untuk mengendalikan semua bagian dari
perekonomian Indonesia seperti industri pertambangan, perkebunan dan
perbankan. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya mengendalikan sektor
pertanian dan kerajinan dalam skala kecil yang dikelola menggunakan teknologi
24Op. Cit, UNCTAD, expropriation, new york & geneva, 2012, hal 5
25Budiman Ginting,Refleksi Historis Nasionalisasi Perusahaan Asing di Indonesia:
Suatu Tantangan terhadap kepastian hukum atas kegiatan Investasi Di Indonesia, Jurnal
equality, Vol.12. No. 2: 2007.

yang usang sehingga dapat dipastikan tidak memberi banyak keuntungan bagi
perekonomian bangsa.
Setelah merdeka, terdapat beberapa gagasan terhadap upaya perbaikan
perekonomian bangsa, berupa indonesianisasi, nasionalisasi, dan pengambilalihan
hak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada masa Kabinet Ali
Sastroamidjojo I (Juli 1953 - Juli 1955), kecenderungan untuk melakukan
Indonesianisasi hak milik asing dan sentiment negative terhadap modal asing
makin menguat. Kabinet ini menempatkan proses indonesianisasi sebagai agenda
utama.
Beberapa upaya atau langkah-langkah terhadap perbaikan ekonomi belum
memberikan hasil yang maksimal, dikarenakan belum ada pemahaman yang jelas
bagaimana

hal

itu

dicapai,

selain

itu

disebabkan

oleh

ketidaksiapan/ketidakmampuan sistem pemerintahan, bahkan tidak jarang perilaku


oknum yang korup.
Berkaca pada pengalaman terdahulu, pemerintah Indonesia melakukan 2
(dua) kebijakan penting dalam upaya memperbaiki perekonomian bangsa
Indonesia. Pertama, Pemerintah mengubah haluan politiknya dari pembangunan
yangberorientasi pada ekonomi liberal kapitalis menjadi ekonomi nasional yang
ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini ditandai dengan sikap politik
pembatalan perjanjian Den Haag pada masa kabinet Burhanuddin Harahap.
Pembatalan secara sepihak ini kemudian dikukuhkan oleh Presiden Soekarno pada
tanggal 3 Mei 1956 melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956 tentang
Pembatalan Hubungan Indonesia-Nederland Berdasarkan Perjanjian Konferensi
Meja Bundar. Undang-Undang ini disahkan pada tanggal 3 Mei 1956,
diundangkan pada tanggal 22 Mei 1956 dan mempunyai daya surut sampai
tanggal 15 Februari 1956. Dengan Pembatalan ini, maka Indonesia terbebas dari
kewajiban untuk memenuhi janji-janji terhadap penanaman modal asing sebagai
termaktub dalam perjanjian Den Haag. Kebijakan ini berdampak pada
perusahaan-perusahaan modal asing terutama milik belanda, banyak yang
melikuidasi aset mereka dengan cara menjualnya kepada warga Negara asing
keturunan Cina dan pembeli asing-pembeli asing lainnnya. Kedua, Langkah
pemerintah Indonesia untuk melakukan penyitaan atau membuat kebijakan
nasionalisasi perusahan-perusahaan asing di Indonesia. Setelah tahun 1957, proses
10

indonesianisasi dan sentiment terhadap modal asing makin menjadi dengan


dilakukannya nasionalisasi secara langsung, yang sebelumnya telah didahului
dengan tindakan pemogokan oleh tenaga kerja buruh Indonesia, pengambilalihan
atau penyitaan perusahaan belanda di seluruh penjuru tanah air.
Nasionalisasi menjadi salah satu unsur penting yang mempengaruhi
kebijakan politik-ekonomi Indonesia pasca kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia
dirasa belum sempurna karena masih banyak aset dan sumber daya alam yang
dimiliki atau dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing khususnya milik belanda.
Langkah Nasionalisasi terbanyak oleh Indonesia dilakukan pasca kemerdekaan.
Hal ini ditandai dengan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan perusahaanperusahaan belanda akibat meningkatnya sentiment negative terhadap modal asing
dan gagalnya penyelesaian irian barat, dan nasionaliasi kedua dilakukan terhadap
perusahaan amerika dan inggris, saat berkonfrontasi Malaysia. Indonesia
menganggap Amerika Serikat dan Inggris sebagai pendukung utama pembentukan
Malaysia. Pemerintah Soekarno menganggap sikap itu termasuk neo kolonialisme
dan neo imperialism.
Tindakan nasionalisasi ini diambil untuk mengganti kekuatan ekonomi
kolonial menjadi kekuatan ekonomi nasional agar memberi manfaat sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengambil alihan perusahaan-perusahaan
PMA tersebut telah menghancurkan dominasi yang dinikmati oleh Belanda dalam
struktur ekonomi kolonial.
Dalam perjalanan tindakan nasionalisasi, terutama perkembangan setelah
pengambilalihan perusahaan belanda, tidak dapat dihindarkan bahwa secara
umum produksi dan eskpor perusaahan yang diambil alih tersebut menurun.
Penurunan ini terjadi karena kesukaran-kesukaran yang muncul sehubungan
dengan

berkurangnya

tenaga

ahli,

alat-alat

produksi, transportasi,

dan

sebagainya.26 Hal tersebut juga memicu munculnya kekacauan ekonomi yang


berujung pada inflasi dan adanya konflik penguasaan penguasan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
II.2.

Sejarah Regulasi Nasionalisasi Perusahaan Belanda


26 Bondan Kanuwoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, (Jakarta: PT.
Primacon Jaya Dinamika, 2001), hal 83.

11

Dalam

sejarah,

sejatinya

Indonesia

telah

melakukan

tindakan

pengambilalihan beberapa perusahaan asing antara lain termuat dalam UU No. 24


Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. UU ini menguatkan
pendirian Indonesia untuk menasionalisasi De Javasche Bank N.V yang
diharapkan menjadi suatu bank sentral yang menjadi tunjangan yang kuat bagi
pembangunan bank-bank dan perekonomian nasional di Negara Indonesia yang
bebas dari campur tangan asing. UU No. 24 Tahun 1951 sedikitnya telah mengatur
mengenai penggantian ganti kerugian akibat dari pengambilalihan saham De
Javasche Bank. Menteri Keuangan Saat itu diberik kuasa untuk mengambil segala
tindakan yang pelu untuk pelaksanaan Undang-Undang Ini.
UU Darurat No. 10 Tahun 1954 tentang Nasionalisasi Bataviasche
Verkeers Matschappij (BVM) N.V yang telah diubah dengan UU No. 71 Tahun
1957. UU ini merupakan bentuk nasionalisasi Indonesia terhadap perusahaan
pengangkutan umum milik Belanda. Dalam ini UU ini juga diatur mengenai
pengambilalihan saham dan penggantian kerugian.
Kebijakan Nasionalisasi secara langsung terhadap perusahaan belanda
selanjutnya tertuang dalam Undang-undang No. 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang berada di dalam
wilayah

Republik

Indonesia

(Undang-undang

Nasionalisasi

Perusahaan

Belanda) sebagai dasar dari pelaksanaan nasionalisasi. UU ini merupakan


langkah pemerintah Indonesia sebagai pemerintah yang berdaulat atas rakyatnya
untuk mempercepat pelaksanaan dasar-dasar ekonomi nasional dalam rangka
pelaksanaan pembatalan K.M.B. Dalam penjelasan Umum UU ini, tujuan
nasionalisasi adalah untuk lebih memperkokoh potensi nasional dan untuk
melikuidasi kekuasaan ekonomi kolonial Belanda27. UU ini disahkan pada tanggal
27 Desember 1958 dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 1958, tetapi
mempunyai daya surut sampai tanggal 3 Desember 1957 sebagai patokan oleh
Pemerintah, sebagai tanggal untuk memberi pertanggungjawaban atas tindakan
nasionalisasi. Tanggal 3 desember 1957 tercatat dalam sejarah nasional sebagai
hari tatkala terjadi pemogokan selama 24 jam pada perusahaan-perusahaan
27 Penjelasan Umum UU No. 86/1958.

12

Belanda yang diikuti dengan pengambilalihan perusahaan pelayaran KPM para


buruh, dan minggu berikutnya disusul dengan penyitaan perusahaan-perusahaan
belanda di segenap penjuru tanah air Indonesia.
UU Nasionalisasi Perusahaan Belanda menegaskan pengambilalihan
perusahaan belanda baik pusat maupun cabangnya, disamping itu kepada para
pemilik perusahaan-perusahaan tersebut diberi ganti kerugian yang besarnya
ditetapkan oleh Panitia yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh Pemerintah.
Terhadap keputusan Panitia tersebut, Baik pemilik maupun Pemerintah dapat
mengajukan banding kepada Mahkamah Agung yang akan memberi keputusan
terakhir.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan
Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda sebagai salah satu peraturan
pelaksana UU No. 86 Tahun 1958, memuat beberapa cakupan antara lain kategori
perusahaan milik belanda yang dilakukan nasionalisasi dan Penetapan anggota
panitia penetapan ganti kerugian. Sementara itu, berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1959 tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi
Perusahaan Belanda, Pemerintah membentuk Badan Nasionalisasi Perusahaan
Belanda (Banas) untuk mengatur serta mengawasi kelancaran jalannya
nasionalisasi. Banas bertanggungjawab kepada Dewan Menteri.
Selain itu, Pemerintah Indonesia menetapkan sejumlah Peraturan
Pemerintah dalam rangka Implementasi UU Nasionalisasi Perusahaan Belanda,
yang pada pokoknya dicatat beberapa hal sebagai berikut:28
1. Keseriusan Pemerintah Indonesia untuk memberikan kompensasi atau
ganti rugi. Sebagai pelaksanaan UU Nasionalisasi Perusahaan
Belanda, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 tentang PokokPokok

Pelaksanaan

Undang-undang

Nasionalisasi

Perusahaan

Belanda menetapkan Panitia Penetapan Ganti Kerugian sekurangkurangnya

terdiri

wakil-wakil

kementerian

kehakiman

dan

kementerian keuangan. Disamping itu, Perdana Menteri dapat

28Rustanto, Nasionalisasi dan Kompensasi, e-Jurnal, 2010.

13

mengangkat beberapa orang partikelir atau dari jawatan/instansi lain


sebagi anggota panitia.
2. Hampir semua Peraturan Pemerintah termaksud mulai berlaku pada
hari diundangkan tetapi berlaku surut atau mempunyai daya surut
sampai tanggal 3 Desember 1957 (ref UU 86/1958), kecuali Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 1959 tentang Penentuan Pengenaan
Nasionalisasi Percetakan Kebayoran P.T. yang mempunyai daya surut
sampai tanggal 1 Januari 1958 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1959 berlaku surut sampai tanggal 1 April 1959 atau hanya satu
hari sebelum ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 2 April 1959.
3. Penentuan perusahaan-perusahaan Belanda yang dikenakan
nasionalisasi nampak dilakukan tergesa-gesa, sehingga kurang cermat
dan belum semua perusahaan milik Belanda tercakup. Contoh
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1960 yang melengkapi
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1958 terkait nasionalisasi
Perusahaan Perkebunan/Pertanian)
4. Tidak semua perusahaan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi
dikelola oleh instansi pemerintah pusat atau badan usaha milik Negara
tingkat pusat Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1960 tentang
Penentuan Perusahaan Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi
menyerahkan
Shareholding),

N.V Denis

(Se

berkedudukan

di

Eerste

Nederlandsch Indische

Bandung,

berikut

anak-anak

perusahaannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat.


Di antara perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi, ada
yang diputuskan untuk dinyatakan bubar atau dilikuidasi. Pembubaran atau
likuidasi ini menimpa N.V. K.P.M (Koninklijke Paketvaart Maatschappij)
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1960.
II.3.

Kasus Tembakau Bremen


Kebijakan Nasionalisasi terhadap Perusahaan Belanda yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia telah membawa Indonesia ke sengketa litigasi internasional
salah satunya yang dikenal dalam Kasus Tembakau Bremen. Indonesia
menghadapi gugatan yang diajukan oleh mantan pemilik NV Verenigde Deli

14

Maatschappijen dan NV Senembah Maatschappij, yang dinasionalisasi oleh


Pemerintah Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang No. 86 Tahun
1958, perusahan tembakau tersebut dikenakan nasionalisasi berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 1959 tanggal 23 Febrruari 1959, yang mempunyai
daya surut sampai 3 Desember 195729.
Pokok permasalahan ialah Pihak Belanda/penggugat tidak mengakui
keabsahan nasionalisasi berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 dengan alasan bahwa
hal tersebut bertentangan dengan asas-asas hukum internasional dan bertentangan
dengan hukum antar bangsa (volkenrecht) karena bersifat diskriminatif hanya
kepada perusahaan belanda saja. Undang-undang ini dianggap tidak dapat
dipergunakan oleh Hakim Jerman, karena bertentangan dengan ketertiban umum
jerman (public order). Menurut hukum perdata internasional, seorang hakim
nasional harus mengeyampingkan hukum asing bilamana bertentangan dengan
ketertiban umum daripada negaranya.30 Selain itu, Penggugat melihat kompensasi
ganti kerugian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak memenuhi syarat
pembayaran secara adequate, effective, and prompt.31
Perkara tembakau Bremen dimenangkan oleh Pemerintah Indonesia. Hal
ini menjadi tonggak dalam hukum internasional bahwa nasionalisasi dalam rangka
dekolonisasi dapat dibenarkan.
II.4.

Klausula Nasionalisasi dalam Regulasi Penanaman Modal Indonesia


Dalam perjalanan pengaturan nasionalisasi, Indonesia telah mengeluarkan
beberapa regulasi yang terkait dengan penanaman modal asing atau penanaman
modal dalam negeri, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal
Asing sebagaimana telah diubah dengan UU No.15 Prp Tahun 1960,
29 Gouw Giok Siong, Op. Cit, hal 156.
30Ibid, hal 156.
31Ibid.

15

yang selanjutnya dicabut berdasarkan Undang-undang Nomor 16


Tahun 1965.
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11
Tahun 1970.
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1970.
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

UU Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing merupakan


salah satu kebijakan pemerintah Indonesia yang diterbitkan dengan pertimbangan
saat itu Indonesia belum memiliki modal yang cukup baik rupiah maupun deviden
untuk memperbesar produksi dan mengembangkan ekonomi nasional nasional.
Sehingga Pemerintah melihat masih dibutuhkan penanaman modal asing.
Istilah Nasionalisasi tidak diatur tegas dalam UU Nomor 78 Tahun 1958,
namun UU ini memberikan jaminan bagi perusahaan Industri Asing bahwa
perusahaannya tidak akan dimiliki oleh Negara atau diubah menjadi milik
nasional untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau 30 tahun untuk perusahaan
perkebunan besar asing. Adapun hal tersebut terdapat dalam Pasal 13 UU Nomor
78 Tahun 1958 yang berbunyi:
Pasal 13
(1) Kepada perusahaan Industri asing dapat diberikan jaminan, bahwa
perusahaannya tidak akan dimiliki oleh negara atau diubah menjadi milik
nasional, untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.
(2) Jangka waktu sebagai termaksud pada ayat 1 menjadi 30 tahun untuk
perusahaan perkebunan besar asing.
(3) Sesudah jangka waktu jaminan berakhir soal pemindahan milik ketangan
pengusaha nasional diatur oleh Dewan.

16

Namun dipenghujung tahun 1958, Pemerintah Indonesia melakukan


nasionalisasi perusahan-perusahaan milik belanda dengan dasar UU Nomor 86
Tahun 1958. Penerbitan UU Nomor 86 Tahun 1958 ini menimbulkan
kekhawatiran para investor asing tentang komitmen Indonesia terhadap modal
asing. Kebijakan Nasionalisasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia tersebut
dinilai ironi. Pertama, ketidaksesuaian dengan komitmen pemerintah jaminan
yang tertuang dalam Pasal 13 UU Nomor 78 tahun 1958. Kedua, Penerbitan UU
Nomor 86 Tahun 1958 (diundangkan 31 Desember 1958), hanya sekitar dua bulan
setelah diterbitkan UU Nomor 78 Tahun 1958 (diundangkan tanggal 27 Oktober
1958). Penerbitan UU tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda ini praktis
membuat Undang-undang Penanaman Modal Asing menjadi Tidak Efektif.
Ditambah lagi, pada tahun 1965 Indonesia mencabut UU Nomor 78 Tahun 1958
tentang Penanaman Modal Asing melalui UU Nomor 16 Tahun 1965.
Pada fase antara tahun 1965 sampai dengan tahun 1967, Indonesia
mengalami kekosongan hukum dibidang penanaman modal asing. Peluang
penanaman modal asing masuk di Indonesia baru terbuka setelah Pemerintah
Indonesia menetapkanUndang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing.
Pengaturan mengenai Nasionalisasi sudah termuat dalam UU Nomor 1
Tahun 1967 sebagaimana terdapat dalam Bab VIII Nasionalisasi dan
Kompensansi Pasal 21 s.d Pasal 22 yang berbunyi :
Pasal 21 UU 1 1967
Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/ pencabutan hak milik
secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakantindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus perusahaan yang
bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan kepentingan
Negara menghendaki tindakan demikian.
Pasal 22 UU 1 1967
(1) Jikalau diadakan tindakan seperti tersebut pada pasal 21 maka

17

Pemerintah wajib memberikan kompensasi/ganti rugi yang jumlah,


macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak sesuai
dengan azas-azas hukum internasional yang berlaku.
(2) Jikalau antara kedua belah pihak tidak tercapai persetujuan mengenai
jumlah, macam dan cara pembayaran kompensasi tersebut maka akan
diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak.
(3) Badan arbitrase terdiri dari tiga orang yang dipilih oleh Pemerintah dan
pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai
ketuanya yang dipilih bersama-sama oleh Pemerintah dan pemilik
modal.
Penjelasan pasal 21-22
Untuk menjamin ketenangan bekerja modal asing yang ditanam di
Indonesia maka dalam pasal ini ditetapkan bahwa Pemerintah tidak akan
melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan modal asing, kecuali jika
kepentingan Negara menghendakinya. Tindakan demikian itu hanya dapat
dilakukan dengan Undang- undang serta dengan pemberian kompensasi
menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional.
Terakhir, Indonesia memuat pengaturan Nasionalisasi dalam regulasi
penanaman modal Indonesia UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 yang berbunyi:
Pasal 7 UU 25 Tahun 2007
(1) Pemerintah

tidak

akan

melakukan

tindakan

nasionalisasi

atau

pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan


undang-undang.
(2) Dalam hal Pemerintah

melakukan

tindakan

nasionalisasi

atau

pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan
berdasarkan harga pasar.
Yang dimaksud dengan harga pasar adalah harga yang ditentukan

18

menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai


independen yang ditunjuk oleh para pihak
(3) Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang
kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.
(4) Yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan
tertulis oleh para pihak yang bersengketa
Persamaan antara UU Nomor 1 Tahun 1967 dan UU Nomor 25 Tahun
2007 ialah masih dipertahankannya prinsip nasionalisasi terhadap penanaman
modal asing yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang, dan pengaturan
kompentasi ganti rugi, serta penyelesaian sengketa antara para pihak. Sedangkan
perbedaannya ialah UU Nomor 1 Tahun 1967 mengatur mengenai divestasi atau
Indonesianisasi saham bagi penanaman modal asing seperti yang termaktub dalam
Pasal 27 Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Divestasi atau Indonesianisasi Saham dalam hal ini dapat dimaknai sebagai upaya
Negara dalam melakukan nasionalisasi secara tidak langsung.
Selain itu, terdapat perbedaan istilah mengenai nasionalisasi diantara
kedua UU ini. UU Nomor 1 Tahun 1967 memberikan pengertian yang lebih luas
terhadap Nasionalisasi yang mencakup pencabutan hak milik secara menyeluruh
atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus
perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan, UU Nomor. 25 Tahun 2007,
pengertian Nasionalisasi terbatas pada pengambilalihan hak kepemilikan penanam
modal.32
Ditinjau dari aspek kepastian hukum, pengaturan mengenai nasionalisasi
sejatinya diatur oleh Negara sebagai bagian dari hak Negara berdaulat. Namun
hak ini cenderung tidak ditonjolkan, mengingat masing-masing Negara memiliki
kepentingan tersendiri dari masuknya penanaman modal asing di Indonesia.
Kepastian hukum dalam nasionalisasi modal asing dapat diperoleh dari ketentuan
32 Hulman Panjaitan, dan Abdul Mutalib Makarim,Komentar dan Pembahasan Pasal
Demi Pasal terhadap UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, (Jakarta: Indhill
Co, 2007), hal 35.

19

dalam peraturan perundang-undangan suatu Negara dan di dalam perjanjianperjanjian internasional mengenai penanaman Modal. Permasalahan yang kerap
terjadi dalam tindakan Nasionalisasi ialah soal pergantian ganti rugi. Keadilan
dalam pemberian kompensasi ganti rugi tidak mudah tercapai. Mengingat
keadilan merupakan ruang abstrak yang kerap menimbulkan penafsiran subjektif
para pihak.

BAB III
URGENSI NASIONALISASI DI INDONESIA
III.1.

Ekonomi Kerakyatan sebagai Pendorong Nasionalisasi


Pendekatan analysis economic of law digunakan untuk menganalisis
pendorong munculnya ide nasionalisasi. Penulis menemukan bahwa salah satu
pendorong timbulnya nasionalisasi adalah sistem ekonomi kerakyatan yang dianut
oleh Indonesia. Ekonomi kerakyatan merupakan terminologi ekonomi yang
digunakan Mohammad Hatta pasca kolonialisme Hindia Belanda. Dengan
memperhatikan situasi kondisi sosial ekonomi peninggalan pemerintah Hindia
Belanda yang pada saat itu menempatkan kaum pribumi dalam kelas strata sosial
paling bawah. Ekonomi kerakyatan diciptakan sebagai cara untuk menjadikan
bangsa pribumi sebagai tuan di negeri sendiri.
Konsep ekonomi kerakyatan kemudian dinyatakan dalam konstitusi
Republik Indonesia Pasal 33 UUD 1945, yang menjelaskan secara terperinci
mengenai:
(1)

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas


kekeluargaan.

(2)

Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai


hajat hidup orang banyak (harus) dikuasai oleh negara.

20

(3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selain itu, negara memiliki peran yang sangat besar dalam sistem ekonomi
kerakyatan.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara
dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut:
(1)

mengembangkan koperasi

(2)

mengembangkan BUMN;

(3)

memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung


di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

(4)

memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan


penghidupan yang layak;

(5)

memelihara fakir miskin dan anak terlantar.


Ekonomi kerakyatan (Demokrasi ekonomi) adalah sistem ekonomi

nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, di
mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau
penilikan anggota-anggota masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan

masyarakat

(rakyat)

dalam

mengendalikan

jalannya

roda

perekonomian. (Baswir, 1993). Sistem Ekonomi Kerakyatan mengacu pada nilainilai Pancasila sebagai sistem nilai bangsa Indonesia yang tujuannya adalah
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan salah satu
unsur intrinsiknya adalah Ekonomi Pancasila (Mubyarto: 2002) dengan nilai-nilai
dasar sebagai berikut:33
1) Ketuhanan, di mana roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh
rangsangan ekonomi, sosial, dan moral.
2) Kemanusiaan, yaitu : kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga
masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi
dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.
3) Kepentingan Nasional (Nasionalisme Ekonomi), di mana nasionalisme
ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi
terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri.
33 Mubyarto, dkk.Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: Lembaga Suluh Nusantara, 2014), hal
135.

21

4) Kepentingan Rakyat Banyak (Demokrasi ekonomi) : demokrasi ekonomi


berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif
menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat.
5) Keadilan Sosial, yaitu : keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil
antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi
yang luas, bebas, dan bertanggung jawab, menuju pewujudan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia
yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan
menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Pemihakan dan
perlindungan ditujukan pada ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan sampai
57 tahun Indonesia merdeka selalu terpinggirkan. Syarat mutlak berjalannya
sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang
politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.34
Moral Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang
berkeadilan sosial mencakup:
a. Peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun
perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab;
b. Penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan
sistem dan kebijakan ekonomi;
c. Pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan
multikultural. d. Pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial;
d. Penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat;
e. Pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan
sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan
strategi melaksanakan demokrasi ekonomi, yaitu, produksi dikerjakan oleh semua
untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang
seorang. Maka, kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan
program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin
dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus
memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
34Ibid, hal 9.

22

Akhir kata,Globalisasi bukan momok tetapi merupakan kekuatan serakah dari


sistem kapitalisme-liberalisme yang harus dilawan dengan kekuatan ekonomipolitik nasional yang didasarkan pada ekonomi rakyat. Sistem ekonomi
Kerakyatan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33 inilah
yang mendorong semakin kuatnya ide nasionalisasi di Indonesia. Bahkan, ide ini
menjadi slogan-slogan yang diucapkan oleh para calon presiden untuk merebut
hati rakyat, misalnya berdaulat secara politik atau mandiri secara ekonomi.Namun
amat memprihatinkan karena nyatanya nasionalisasi saat ini menjadi mimpi yang
sulit untuk diwujudkan karena berhadapan dengan berbagai kepentingan asing dan
mentalitas pemimpin kita yang lemah.
III.2.

Isu Nasionalisasi MIGAS di Indonesia


Sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas penguasaan upstream migas tanah
air berada di tangan pemodal asing, baik swasta maupun milik negara asing.
Sedangkan Pertamina sebagai perusahaan milik negara, hanya menguasai 17
persen blok migas, itupun kebanyakan sumur tua yang diwariskan perusahaan
asing setelah kontrak berakhir. Sementara pada blok migas strategis (cadangan
besar), penguasaan pertamina tidak lebih dari 5 persen.35
Dominasi asing, ditambah lambatnya penemuan cadangan migas baru dan
tingginya konsumsi BBM domestik menjadi mantra resource curse bagi
Indonesia.Oleh sebab itu, upaya-upaya penghematan konsumsi energi final
(berupa konversi BBM ke BBG, panas bumi, tenaga matahari, dan bio energi),
perbaikan fiscal policy untuk mendorong eksplorasi cadangan migas baru, dan
strategi untuk meningkatkan porsi penguasaan nasional pada lini upstream migas
merupakan sesuatu yang sangat diperlukan.36

35 Kulas, George Hormat, focus group discussion bertema Politik Migas Menuju Kedaulatan
Energi dan Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana
Kupang, NTT, https://www.academia.edu/7400729/Kedaulatan_di_Hulu_Migas, diakses pada 8
November 2015.

36Ibid.

23

Oleh karena itu, isu nasionalisasi aset-aset migas kemudian menjadi perbincangan
yang banyak menuai perhatian masyarakat, mengingat menjelang berakhirnya
kontrak blok-blok migas yang akan berakhir dalam beberapa tahun ke depan.
Paling tidak hingga 2018, terdapat puluhan kontrak migas (PSCJOA) akan
berakhir. Antara lain blok siak (Chevron, 2013), mahakam (Total, 2017), South
Sumatra, SES (CNOOC, 2018), South Natuna Sea B (Conoco-Phillips, 2018),
East Kalimantan (Chevron, 2017), Sanga-sanga (Virginia, 2018), Lho Sukon B
(Exxon, 2017), Corridor, Bertak, dan Bijak Ripah (Conoco- Phillips 2016),
Onshore Salawati Basin (Petro China, 2016), dan Arun B (Exxon, 2017).37
Dengan berakhirnya kontrak asing dianggap sebagai kesempatan bagi pemerintah
untuk segera mengambil alih secara penuh blok-blok migas tersebut.38Paling tidak
ada beberapa alasan yang kemudian mendasari untuk dilakukannya nasionalisasi.
Helmy Akbar mengungkapkan bahwa belajar dari Venezuela, jika kondisi
kepemilikan pengelolaan migas masih terus berada ditangan asing, ada beberapa
hal yang harus dikaji dan diwaspadai mulai dari regulasi hingga operasi. Pertama
pembajakan substansi Undang-undang Migas. Menurutnya, di Indonesia hal
tersebut sudah terjadi, Undang-undang Migas nomor 22 tahun 2001 dibuat ketika
posisi Indonesia dalam tekanan IMF, sehingga kepentingan asing benar-benar ada
dalam pembahasan Undang-undang ketika itu, dimana Undang-undang tersebut
mengkooptasi UUD 1945 Pasal 33. Pada 1999, USAID secara terbuka mengakui
bahwa RUU Migas (yang kemudian menjadi UU No. 22 Tahun 2001) adalah
rancangan mereka bersama ADB, sebagai salah satu bentuk paket kebijakan yang
diberikan kepada Pemerintah Indonesia saat itu untuk memecahkan masalah krisis
moneter.39Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, Kuntoro Mangkusubroto
menyatakan bahwa RUU Migas diajukan sebagai bentuk akomodasi terhadap

37Helmy Akbar, 2013, Nasionalisasi Migas, Jakarta, Pusat Dokumentasi dan Jaringan
Informasi Hukum Nasional,
http://perpustakaan.bphn.go.id/index.php/searchkatalog/byId/35060, diakses pada 17
Oktober 2015.
38 Institut Teknologi Bandung, Seminar Shortclass Migas: Kupas Isu Nasionalisasi Aset
Migas Indonesia, Institut Teknologi Bandung,
http://www.itb.ac.id/news/itbberita_4917.pdf, diakses pada 17 Oktober 2015.

24

tuntutan liberalisasi perekonomian saat itu.40Selain itu, Menteri Energi dan


Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa tujuan
dibuatnya UU Migas adalah untuk memacu masuknya investor asing di sektor
hilir migas.41Hal-hal tersebutlah sebabnya mengapa UU No. 22 Tahun 2001
tentang Migas sangat berbau liberalisasi terhadap industri migas di tanah
air.42Lebih lanjut jika dilihat secara mendasar dan menyeluruh mengenai apa yang
terkandung dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas ini, ada empat agenda
utama yang terkandung, yaitu:43
1. Mengakhiri

kedudukan

Pertamina

sebagai

pemegang

Kuasa

Pertambangan;
2. Mengakhiri Pertamina sebagai pemegang monopoli atas penyelenggaraan
sektor hilir migas serta memecah Pertamina menjadi beberapa ranting
perusahaan dengan badan hukum tersendiri;
3. Menghapus subsidi BBM secara bertahap untuk akhirnya menyerahkan
harga BBM kepada mekanisme pasar; dan
4. Membuka peluang bagi badan usaha swasta, baik domestik maupun asing,
untuk bergerak di sektor hulu dan hilir migas.
Bila kita perhatikan keempat poin di atas, sangat terasa bahwa UU Migas
mengandung unsur liberalisasi yang sangat besar terhadap bidang industri migas
nasional baik hulu maupun hilir.44

39 Pers Mahasiswa UI, Kebijakan Migas di Indonesia: Milik Bangsa atau


Asing?,https://www.academia.edu/3702534/Kebijakan_Migas_di_Indonesia, diakses pada 8
November 2015.

40Ibid.
41Ibid.
42Ibid.
43Op. Cit, Pers Mahasiswa UI.
44Ibid.

25

Kedua, penghilangan peran negara dalam penetapan harga.Negara bukan saja


tidak punya kontrol atas harga, tetapi juga terhadap penilaian atas royalti dan
pajak pendapatan yang menjadi hak negara. Ketiga, penghilangan potensi
pemasukan bagi negara dengan dalih privatisasi. Keempat, ketidakadilan
perjanjian kerjasama dalam mengelola minyak PDVSA (milik pemerintah) dan
negara dalam posisi yang sangat menguntungkan. Kelima, terjadinya sabotase
sistematik dokumen-dokumen perjanjian kerjasama.45
Praktik kecurangan oleh pihak asing telah mengakibatkan kerugian utama negara,
yaitu terkurasnya SDA tak terbarukan dan hilangnya potensi pendapatan negara
dari sisi fiskal berupa royalti, pajak pendapatan, pajak ekspor, serta deviden.
Berkat perjuangan aksi heroik Chavez, Exxon Mobil sebagai perusahaan swasta
migas terbesar di dunia dibuat tercengang ketika lembaga arbitrase internasional
memenangkan PDVSA pada Maret 2008 di London.46
Alasan lain adalah bahwa Indonesia yang sejak tahun 1986 merupakan negara
besar pengekspor minyak, yang juga sebagai salah satu anggota Organization of
the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Sejak krisis tahun 1998, produksi
minyak buminya terus mengalami penurunan hingga akhirnya pada 2004
Indonesia mengalami defisit produksi minyak bumi, sekaligus menjadikan
Indonesia sebagai negara net oil importer.47 Status sebagai net oil importer inilah
yang membuat pemerintah memutuskan untuk keluar dari OPEC pada 2008,
setelah sebelumnya pada 2007 tercatat kapasitas produksi minyak bumi Indonesia
hanya sebesar 910.000 barel/hari dari kebutuhan minimum 1,3 juta barel/hari. 48
Keadaan ini membuat Indonesia harus mengimpor minyak bumi untuk memenuhi
kebutuhan domestik yang semakin mendorong ketergantungan Indonesia terhadap
bantuan asing demi menyelamatkan neraca keuangan negara.Hal tersebut tentu

45Op. Cit, Helmy Akbar, hal 1.


46Ibid.
47Op. Cit, Pers Mahasiswa UI.
48Ibid.

26

semakin menguatkan kontrol asing terhadap setiap kebijakan perekonomian di


Indonesia.49
Selanjutnya menurut Helmi Akbar, Polemik pemilikan blok mahakam adalah
masalah nasionalisme. Kembalinya perusahaan nasional seperti pertamina adalah
simbol kembalinya kedaulatan Indonesia atas sumber daya alam. Dhus
penguasaan kembali blok mahakam yang memiliki cadangan tersisa mencapai 5.8
triliun kaki kubik gas plus 185 juta barel minyak, tergolong strategis. Saat ini
pihak asing menguasai 70% sektor migas nasional, pendapatan negara terhadap
sektor ini juga masih tergolong rendah.Penguasaan cadangan migas oleh
perusahaan asing masih dominan. Dari total 225 blok migas yang dikelola
kontraktor kontrak kerjasama non-pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan
asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta 77 blok
dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal.

50

Hal ini belum ditambah

dengan praktik kecurangan yang merugikan negara oleh para produsen migas,
seperti Chevron, Total E&P dan British Petrolum (BP). Ketiga pihak ini
dilaporkan malas-malasan untuk menyetor devisa hasil ekspor kepada BUMN
yang ada, walaupun sudah ditekan oleh kementerian ESDM. Padahal saat ini
produksi minyak Chevron 327.692 barel per hari (39,7%) dari produksi nasional.
Total E&P memproduksi 64.7888 barel per hari (minyak) dan 1.693 mmscfd (gas)
dengan kuota 7.8% dari produksi minyak nasional, serta 20.8%

untuk gas.

Sementara BP memegang 1.219 mmscfd (gas) yaitu 15% dari produksi nasional.51
Idealnya, pemerintah tidak memperpanjang kotrak-kontrak yang habis masa
berlakunya seperti diatur dalam UU No. 22 tahun 2001 dan PP No. 35 tahun 2004.
Apalagi jika menggunakan landasan ideologis Pasal 33 UUD 1945, kepemilikan
asing seharusnya segera dihapus. Juga, keberadaan landasan hukum yang
menjamin secara sah pemutusan kontrak yang berakhir masa berlakunya adalah
Pasal 2 UU No. 22 tahun 2001 dan Pasal 28 PP No. 35 tahun 2004, maka
kesempatan Indonesia untuk membesarkan BUMN/ pertamina dan menegakkan
49Ibid.
50Ibid.
51Ibid.

27

kedaulatan migas nasional masih sangat besar.52 Helmy Akbar menilai bahwa PT
Pertamina sebenarnya sudah layak mengelola lapangan migas blok mahakam.
Untuk pengendalian resiko, pertamina dapat memanfaatkan producing area
terlebih dahulu. Adapun undeveloped area dapat dikelola belakangan dengan cara
meminjam teknologi pihak lain hingga penguasaan teknologi eksploitasi dikuasai.
Prinsipnya kepemilikan hingga 100% pun, PT Pertamina masih mampu
melakukannya.53
Sebenarnya masalah kontrak-kontrak migas yang akan segera berakhir tersebut
juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.
15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi
(wilayah kerja migas) yang akan berakhir Kontrak Kerjasamanya (Permen
ESDM 15/15) dan telah berlaku sejak diundangkan pada tanggal 11 Mei 2015.
peraturan tersebut memuat beberapa poin penting yaitu:
1. Pengelolaan WK yang akan berakhir kontraknya dapat dilakukan dengan
mempanjang kontrak kontraktor sebelumnya, pengelolaan oleh Pertamina,
pengelolaan bersama antara KKKS dan Pertamina, atau melalui sistem lelang.
2. Persetujuan atau penolakan pengelolaan WK yang kontraknya akan berakhir,
diberikan paling lambat satu tahun sebelum kontrak berakhir.
3. Jika Menteri menolak usulan perpanjangan kontrak, maka WK tersebut akan
ditawarkan melalui lelang sebelum kontrak berakhir.
4. Dirjen Migas akan memberi penilaian perpanjangan kontrak, berdasarkan
evaluasi dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas
(SKK Migas).
5. Dirjen Migas dapat membentuk Tim Perpanjangan Kontrak Kerja Sama dan
Pengelolaan Wilayah Kerja serta menetapkan standar penilaian, sebagai
pedoman penilaian atau evaluasi.
6. Jika kontraktornya terdiri dari dua perusahaan, maka permohonan diajukan
berdasarkan kesepakatan antar perusahaan tersebut.

52Ibid.
53Ibid, hal 2.

28

7. Permohonan perpanjangan kontrak disampaikan paling cepat 10 tahun dan


paling lambat 2 tahun sebelum kontrak berakhir.
8. Jangka waktu perpanjangan kontrak dilakukan paling lama 20 tahun untuk
setiap kali perpanjangan.
9. Menteri akan menetapkan bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok kontrak
untuk Pertamina.
10. Jika Pertamina dan KKKS sama-sama mengajukan pengelolaan WK, Menteri
dapat mengambil kebijakan memberikan WK tersebut kepada: Pertamina,
untuk WK yang kontraknya tidak diperpanjang; KKKS, untuk WK yang
kontraknya diperpanjang; Pertamina dan KKKS secara bersama-sama untuk
melaksanakan pengelolaan WK tersebut.
11. Pertamina atau KKKS tidak boleh mengalihkan sahamnya secara mayoritas
kepada pihak lain dalam jangka waktu tiga tahun masa kontrak. Kecuali,
kepada afiliasinya atau mitra konsorsium pemegang saham lainnya.
12. Besaran hak partisipasi (participating interest/PI) kepada Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), paling besar 10 persen dari suatu WK.
Peraturan Menteri ini merupakan salah satu jawaban atas pertanyaan yang
kerap kali diungkapkan oleh para investor atau kontraktor yang bergerak di bidang
migas, terkait kelangsungan investasi pada wilayah kerja migas, terlebih bagi
investor atau kontraktor yang akan berakhir masa kontraknya. Jelas dapat kita
lihat bahwa terdapat 3 (tiga) cara pengelolaan wilayah kerja migas yang akan
berakhir masa kontrak kerjasamanya berdasarkan peraturan ini, yaitu:
1. Pengelolaan oleh PT Pertamina (Persero)
2. Perpanjangan kontrak kerja sama oleh kontraktor
3. Pengelolaan secara bersama antara PT Pertamina (Persero) dan kontraktor.
Namun sekali lagi, rencana nasionalisasi ini tentu saja membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan dan harus dilakukan dengan hati-hati. Pertanyaan
mendasar bagi Indonesia: nasionalisasi seperti apa yang akan direalisasikan?
Menjawab pertanyaan tersebut, Wiratmaja mengungkapkan bahwa nasionalisasi
yang ingin dicapai Indonesia adalah melalui optimalisasi dari kekayaan yang
Indonesia miliki saat ini ditambah dengan penemuan-penemuan baru di bidang
migas.Penekanan ini berangkat dari kenyataan bahwa Wilayah Kerja (WK)

29

eksplorasi migas memang tersebar di Indonesia, namun jumlah WK yang telah


produksi relatif sedikit. Jika pun ada, WK tersebut masih terpusat di daerah Jawa,
Sumatera, dan sebagian kecil Kalimantan. Sedangkan banyak WK di wilayah
timur Indonesia potensinya sangat besar namun belum terjamah. Kondisi
demikian dipandang sebagai tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam memulai
langkah nasionalisasinya. Lebih lanjut menurut Wiratmaja, tantangan ini dapat
diatasi jika semua aspek dan pihak mendukung. Pembangunan infrastruktur
seperti kilang BBM dan gas, pipeline, atau regasifikasi terutama di wilayah
Indonesia timur digiatkan. Segala bentuk regulasi di Indonesia sedemikian rupa
disusun agar mampu mendorong perkembangan migas di Indonesia, bukan malah
sebaliknya. Pertamina Persero juga diprioritaskan sebagai pemain utama dalam
migas Indonesia serta industri penunjang seperti jasa kontraktor juga diharapkan
berasal dari lokal.54
Akan tetapi, harus diakui bahwa nasionalisasi blok-blok migas Indonesia
kenyataannya tidaklah semudah yang dibayangkan. Oleh Dr. Salis dan Didi
Setiarto menegaskan bahwa banyak hal yang dijadikan pertimbangan seperti
masalah kapasitas dan kesiapan pribadi Indonesia, terutama dalam masalah
pendanaan untuk eksplorasi dan pembangunan infrastruktur. Dr. Salis, Didi
Setiarto, dan Wiratmaja menyetujui bahwa nasionalisasi migas di Indonesia bukan
berarti harus seratus persen anti asing. Menurut ketiganya bahwa justru yang
harus dilakukan dari nasionalisasi ini adalah Indonesia dapat memposisikan diri
sebagai

pemegang

wewenang

tertinggi

atas

blok-blok

migas

tersebut.

"Nasionalisasi di Indonesia bukan seperti Venezuela, tetapi bagaimana kapasitas


nasional Indonesia berperan besar dalam pengelolaan blok-blok migas tersebut.55
Khusus terkait blok Mahakam sendiri, Presiden Joko Widodo telah melakukan
pertemuan dengan pimpinan Total E & P dan menyepakati bahwa terkait masalah
blok Mahakam ini, meskipun pemerintah memberikan prioritas terhadap

54 Institut Teknologi Bandung, Op. Cit, hal 1.


55Ibid.

30

pertamina, akan tetapi Total E & P tetap diberi kesempatan bekerja sama dengan
Pertamina.56

BAB IV
NASIONALISASI DI VENEZUELA
Seperti Indonesia, Republik Bolivar Venezuela (Venezuela) juga merupakan
negara berkembang, penghasil minyak bumi dan eksportir minyak bumi terbesar
di dunia, namun Venezuela berani melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan
minyak bumi asing di negaranya.
IV.1.

Nasionalisasi dan Tujuan Nasionalisasi Perusahaan Minyak Asing di


Venezuela
Republik Bolivar Venezuela merupakan salah satu produsen minyak
bumi terbesar di dunia dengan hasil produksi sebesar 3,3 juta barel per hari.

56http://katadata.co.id/berita/2015/05/20/peraturan-masa-transisi-blok-migas-telahterbit# sthash.v3yrH4fI.dpbs, diakses pada 8 November 2015.

31

Venezuela juga menjadi ekportir minyak terbesar ke lima di dunia dan terbesar ke
empat untuk Amerika Serikat.57
Mantan Presiden Hugo Chavez (Chavez) menyadari potensi minyak
bumi yang dimiliki Venezuela, kemudian membuat kebijakan Revolusi
Bolivarian, suatu revolusi yang terinspirasi dari pemikiran Simon Bolivar yang
menekankan pada peningkatan standar hidup dan martabat rakyat.58 Chavez
menyadari bahwa neoliberalisme dijalankan oleh sekelompok kecil elit yang
berusaha

mengambil

keuntungan

dengan

menjalankan

ekonomi

yang

dikendalikan oleh keputusan sedikit orang (oligarki) dengan mengorbankan


mayoritas rakyat. Oleh karena itu, salah satu bentuk perlawanan terhadap
neoliberalisme

adalah

dengan

merebut

hak-hak

segelintir

elit

dan

mengembalikannya kepada mayoritas rakyat. Revolusi Bolivarian menggunakan


jalur parlemen dan referendum dengan partisipasi rakyat dengan salah satu
program dan produk pentingnya yaitu pengesahan Konstitusi Bolivarian Tahun
1999.59
Terkait di bidang energi, Chavez membuat kebijakan nasionalisasi yang dilakukan
oleh Venezuela terhadap perusahaan minyak asing , dikarenakan minyak
berkonstribusi terhadap setengah Gross Domestic Product (GDP) Venezuela serta
bertujuan untuk:
i.

Memberi pengaruh di dalam negeri dengan program sosial;

ii.

Memberi pengaruh di kawasan Amerika Latin;

iii.

Menggunakan energi untuk meningkatkan pengaruh di dunia internasional

iv.

dengan mengancam mengentikan pasokan ke Amerika Serikat; dan

57Richard A. Crooker, Modern World Nations: Venezuela (New York: Chelsea House
Publishers, 2006), hal 70.
58 John Lynch, Simon Bolivar A Life (New Haven and London: Yale University Press,
2006), hal 175.
59 Konstitusi Bolivarian tahun 1999 adalah suatu visi kerakyatan yang diamantkan
dengan tegaknya kedaulatan ekonomi dan politik rakyat Venezuela dengan anti
imperialisme, melakukan demikrasi partisipatif, swadaya ekonomi, distribusi yang adil
dari pendapatan pertambangan minyak Venezuela. Patrick Barret dkk, ed., The New Latin
American Left: Utopia Reborn (London: Plutpo Press, 2008), hal 79.

32

v.

Membangun aliansi dengan negara produsen energi (Iran dan Rusia) dan
negara

vi.

konsumen energi (Cina) untuk secara bertahap meninggalkan dependensi


ekspor minyak ke Amerika Serika.

IV.2.

Tindakan Tindakan Nasionalisasi Perusahaan Minyak Asing di Venezuela


Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Venezuela dalam melakukan
nasionalisasi terhadap perusahaan minyak asing, yaitu:
(i)

Pemotongan produksi minyak untuk memulihkan harga minyak dunia


yang rendah;

(ii)

Penghapusan kebijakan Apertura, yaitu kebijakan fasilitas pembentukan


32 perjanjian pelayanan operasional dengan 22 perusahaan minyak asing60;

(iii)

Pemberlakuan Undang-undang Gas dan Hidrokarbon tahun 2001, yang


mengatur bahwa royalti yang harus dibayarkan oleh perusahaan swasta
meningkat dari 1-17% menjadi 20-30%61;

(iv)

Melakukan nasionalisasi terhadap Petrleos de Venezuela (PDVSA),


yang pada awalnya dikuasai oleh para pemodal Chevron Corpds; Royal
Dutch Shell, Repsol dan Exxon, sehingga menjadi perusahaan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan pengelolaan perusahaan minyak
tersebut dikerjakan sendiri oleh kaum buruh serta mengontrol keuntungan
yang didapat dari hasil ekspor minyak62;

(v)

Kebijakan penggabungan perusahaan yang dilakukan oleh Kementerian


Energi dan Perminyakan Venezuela
Operasional

dengan

dengan menghentikan Perjanjian

perusahaan-perusahaan

minyak

nasional

dan

internasional (kebijakan Apertura). Dalam perjanjian tersebut, 16


60Country Analysis Brief: Venezuela, artikel diakses pada 5 November 2015 pukul
22.00 dari http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/Venezuela/pdf.pdf.
61Ibid.
62A. Umar Said, Dapatkah Presiden Hugo Chavez Dijatuhkan oleh Washington?,
http://kontak.club.fr/DapatkahPresiden Hugo Chavez dijatuhkan oleh Washington.htm,
artikel diakses pada 3 November 2015 pukul 22.45.

33

perusahaan asing menandatangani kesepakatan untuk masuk ke dalam


perusahaan gabungan dan menjadi mitra bagi perusahaan minyak nasional
Venezuela yaitu PDVSA sebagaimana yang diungkapkan oleh Chavez
kepada majalah First Magazine: Official Report Venezuela a New
Economic Model tahun 2006, yaitu sebagai berikut:
We are telling to the world, together with you executives of
companies which range from the United States to Japan, that a
nationalist project such as the one under way in Venezuela is not
incompatible with the presence of international companies and of the
national private sector.
Kami katakan kepada dunia dan para eksekutif perusahaaanperusahaan yang terbentang dari Amerika Serikat hingga Jepang,
bahwa

proyek

nasionalisasi

yang

dilakukan

oleh

Venezuela

merupakan salah satu cara untuk menunjukan bahwa Venezuela tidak


cocok dengan kehadiran perusahaan-peusahaan internasional dan
sektor privat nasional.
Dasar hukum penggabungan perusahaan asing dan nasional adalah Pasal
12 Konstitusi Negara Venezuela yang berbunyi:63
the hydrocarbon reservoirs, whatever their nature, that exist in
the national territory, under the seabed of the territoria sea in the
exclusive economic zone and in the continental shelf, belong to
the Republic, are goods in the public domain and therefore
inalienable and unlimited in time.
Cadangan hidrokarbon apapun asalnya, yang ada di teritori
nasional, bawah dasar laut dalam Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE), dan landas kontinental adalah milik negara dan
merupakan barang di ranah publik dan oleh karenanya tidak
dapat dirampas dan dibatasi oleh waktu.

63Model for Mixed Companies Approved No. 5, March 2006, hal. 8, artikel diakses pada
3 November 2015 pukul 22.30 dari
http://www.pdvsa.com/interface.en/database/fichero/publication/1421/62.pdf.

34

Modal dari perusahaan gabungan diwakili oleh dua jenis saham.


Kelas A akan dipegang oleh perusahaan negara 100% sebagai
pemegang saham utama dan Kelas B akan dipegang oleh kontraktor
sebelumnya sebagai pemegang saham minoritas. Statuta dalam
perusahaan gabungan menjamin perlindungan dasar bagi pemegang
saham minimum dengan mensyaratkan sebuah mayoritas yang
berkualifikasi bagi persetujuan atas keputusan tertentu.64
Kronologi transisi ke arah penggabungan perusahaan terjadi secara
bertahap, yaitu (a) pada tanggal 17 Agustus 2005, PDVSA bertemu
dengan kelompok perusahaan minyak asing Repsol YPF, China
National Petroleum Corporation, Harvest Vinncler, Hocol, Vinncler
Oil & Gas, Inemaka, Suelopetrol dan Open65dan (b) tanggal 28
September 2015, PDVSA menandatangani perjanjian dengan
Petroleo Brasileiro (Petrobras), Perenco, Tecpetrol dan Teikoku
Oil.66Selanjutnya, Shell, British Petroleum dan the General Fuel
Company ikut menandatangani pada tanggal 1 Desember 2005, yang
tidak lama kemudian persyaratan baru ini disetujui oleh Eni Oil &
Gas, West Falcon, Sansom Hydrocarbons dan Chevron.67
Kerja sama tersebut menarik bagi semua pihak terkait dikarenakan
kontrak tersebut diperpanjang untuk 20 tahun ke depan. Padahal
perjanjian operasional sebelumnya akan berakhir pada tahun 2013
dan 2017 sedangkan penggabungan peusahaan akan tetap berlaku
sampai dengan tahun 2026.68 Hal tersebut membuka kesempatan bagi
64Ibid.
65Rafael Ramirez Carreno, Gearing up to face new challenges, dalam First Magazine:
Official Report Venezuela a New Economic Model, 2006, hal 24.
66Ibid.
67Ibid, hal 25.
68Ibid.

35

para perusahaan tersebut untuk ikut dalam operasi minyak dengan


teknologi di kawasan Faja del Orinoco yang memiliki kandungan
minyak non-konvensional jauh lebih besar daripada Arab Saudi. Dari
sisi hubungan internasional, Venezuela menegakkan kedaulatannya
dengan menunjukkan sebagai negara yang mempunyai kekuatan
terhadap perusahaan asing. Sebagaimana dikatakan oleh Rafael
Ramirez, Mantan Menteri Energi dan Perminyakan Venezuela dan
Presiden PDVSA pada acara penandatanganan penggabungan
perusahaan di Isatana Miraflores pada 1 Januari 2006, yaitu:69
This ceremony has to do with an oil policy aimed at rescuing
full sovereignty over the management of our main resource, of
our leading economic activity: oil.
Upacara ini harus dilakukan dengan kebijakan minyak bertujuan
menyelamatkan kedaulatan penuh atas pengelolaan sumber daya
utama kami, kegiatan utama ekonomi kita: minyak.
Komentar tersebut menjelaskan bahwa Venezuela yang berhak
atas kedaulatan dan mengelola serta menyelamatkan sumber daya
utamanya, yaitu minyak.
(vi)

Mengambil alih proyek Orinoco Belt, suatu proyek pembangunan


salah satu cadangan minyak terbesar di dunia yang sebelumnya
dikontrol oleh enam perusahaan asing, seperti Conoco Philips,
Chevron, Exxon Mobil bekerja sama dengan British Petroleum,
Statoil dan Total.70Setelah diambil alih, proyek tersebut
dikendalikan

sekurang-kurangnya

60%

oleh

PDVSA dan

keuntungan dari proyek tersebut akan dikembalikan ke Venezuela


serta meningkatkan pajak perusahaan.
Pengambilalihan proyek tesebut menuai gugatan kompensasi sebesar
10 milliar dollar AS, melalui arbitrase oleh Exxon Mobil di
International Chamber of Commerce

(ICC), meskipun pada

69Ibid.
70Op.Cit.

36

akhirnya yaitu tanggal 2 Januari 2012, ICC memutuskan bahwa


Venezuela cukup membayar 908 juta dollar AS.
(vii)

Pada

akhir

Desember

2012,

Hugo

Chavez

melakukan

nasionalisasi terhadap dua perusahaan minyak asing yang


beroperasi di Venezuela, yaitu ENI (Italia) dan TOTAL SA
(Perancis).71
IV.3.

Dampak Nasionalisasi Perusahaan Minyak Asing terhadap

Venezuela
Kebijakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Hugo Chavez membawa
dampak yang positif terhadap masyarakat Venezuela, dengan pemberlakukan
nasionalisasi pemerintah Venezuela dapat mengelola sendiri sumber daya
minyak yang dimilikinya demi kebutuhan masyarakat. Dengan dana dari
hasil nasionalisasi Chavez mampu membangun sebuah gerakan ekonomi
rakyat mandiri dengan 70.000 BUMN, dari jumlah semula yang hanya
sebanyak 762 BUMN ketika Chavez baru pertama kalinya naik menjadi
presiden Venezuela.

71 Michelle Billig, The Venezuela Oil Crisis: How To Secure Americas Energy in
Foreign Affairs, Vol. 83, No.5, 2004, hal 4.

37

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1.

Kesimpulan
1. Nasionalisasi biasanya merujuk pada pengambilalihan secara masif dan
dalam skala besar dari kebendaan pribadi dalam seluruh sektor-sektor
ekonomi atau pada sebuah industri atau pada spesifik sektor.
Nasionalisasi serentak dalam seluruh sektor ekonomi pada umumnya
dimotivasi oleh pertimbangan kebijakan; perhitungan dimaksudkan untuk
mencapai penguasaan ekonomi negara secara utuh dan melibatkan
pengambilalihan seluruh produksi yang dimiliki secara privat. Banyak
bekas

negara

jajahan

melakukan

nasionalisasi

dalam

rangka

dekolonialisasi setelah perang dunia dua. Nasionalisasi industri secara luas


terjadi ketika pemerintah berupaya untuk menata kembali industri tertentu
dengan mengambil alih perusahaan swasta di industri dan menciptakan
monopoli Negara. Dalam kasus ini, aset diambil menjadi milik publik.
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan dari uraian di atas dan
dari pasal 7 Undang-Undang No. 25 tahun 2007 bahwa nasionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikanpenanam modal adalah tindakan
pemerintah yang dilakukan dengan undang-undang disertai pemberian
kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar, yang
mana jika tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi penyelesaiannya
dilakukan melalui arbitrase.
2. Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan
strategi melaksanakan demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh
semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggotaanggota

masyarakat.

Kemakmuran

masyarakat

lebih

diutamakan

ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka, kemiskinan tidak dapat


ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus
memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang
sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan
jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal. Oleh karena
itu, sistem ekonomi kerakyatan ini harus ditegakkan Indonesia. Namun

38

tentu hal tersebut dapat dicapai jika berdaulat di bidang politik, mandiri di
bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Artinya bahwa jika
nasionalisasi dapat mewujudkan kedaulatan tersebut, maka Indonesia
harus melakukan nasionalisasi.
V.2.

Saran
1. Terkait dengan Sistem ekonomi Kerakyatan Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33 kenyataannya menjadipendorong
semakin kuatnya ide nasionalisasi di Indonesia. Bahkan, ide ini menjadi
slogan-slogan yang diucapkan oleh para calon presiden untuk merebut hati
rakyat,

misalnya

berdaulat

secara

politik

atau

mandiri

secara

ekonomi.Namun amat memprihatinkan karena nyatanya nasionalisasi saat


ini masih menjadi mimpi yang sulit untuk diwujudkan dengan berhadapan
dengan berbagai kepentingan asing. Terkait masalah tersebut, seharusnya
kita belajar dari Venezuela bagaimana keberanian dari Kebijakan
nasionalisasi yang dilakukan oleh Hugo Chavez membawa dampak yang
positif terhadap masyarakat Venezuela. Karena perlu ditekankan bahwa
posisi bargainIndonesia saat ini sudah jauh lebih baik. Indonesia telah
mengalami pertumbuhan dan evolusi ekonomi yang pesat. Terlebih bahwa
posisi Indonesia lebih strategis sebagai anggota G20. Melihat kenyataan
bahwa sebenarnya posisi kita lebih baik dibandingkan dengan Venezuela,
seharusnya terhadap nasionalisasi tersebut jika kita memang ingin
melakukannya tentunya minimal keberhasilannya sama dengan Venezuela.
Serta bahwa Indonesia sebaiknya jangan ingin di Intervensi karena hal ini
menyangkut masalah kedaulatan negara.
2. Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara sebaiknya diberi
kesempatan yang lebih besar atau dengan kata lain diprioritaskan dalam
hal pengelolaan migas negara. Jadi ketika kontrak asing berakhir, terlebih
dahulu diberi tawaran kepada pihak Pertamina untuk memastikan apakah
sanggup untuk melakukan pengelolaan terhadap kontrak blok migas yag
masa kontrak kerjanya habis tersebut atau tidak. Ketika Pertamina tidak
menyanggupi hal tersebut, barulah ditawarkan kepada pihak asing namun
penawaran disini hanya sekedar ikut serta. Artinya bahwa pihak asing ini
bekerja sama dengan pihak Pertamina dalam pengelolaan tersebut. Jadi
39

Pertamia disini tetap sebagai pengelola yang utama. Kemudian terhadap


sahamnya, mayoritas dimiliki oleh pertamina atau negara sehingga
memudahkan dalam pengambilan keputusan.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU

40

B.A. Wortley. 1939. Expropriation in Public InternationalLaw. Cambridge:


University Press.
Barret, Patrick, dkk. (Eds). 2008. The New Latin American Left: Utopia Reborn.
London: Plutpo Press.
Billig, Michelle. 2004. The Venezuela Oil Crisis: How To Secure Americas
Energy in Foreign Affairs (Vol. 83, No.5).
Crooker, Richard A. 2006. Modern World Nations: Venezuela. New York:
Chelsea House Publishers.
Kanuwoyoso, Bondan. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia.
Jakarta: PT. Primacon Jaya Dinamika.
Lynch, John. 2006. Simon Bolivar A Life. New Haven and London: Yale
University Press.
M sornarajah. 1994. The International Law On Foreign Investment.Cambridge:
cambridgee university press.
Mubyarto, dkk. 2014. Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Lembaga Suluh Nusantara.
Panjaitan, Hulman dan Abdul Mutalib Makarim. 2007. Komentar dan
Pembahasan Pasal Demi Pasal Terhadap UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Jakarta: Indhill Co.
Siong, Gouw Giok. 1960. Segi-Segi HukumInternasional Pada Nasionalisasi di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas.
JURNAL
Appleton, Barry. 2002. Regulatory Takings: The International Law Perspective.
NYU environmental law journal.
Attar, Bassant el, dkk. 2009.Expropriation Clauses In International Investment
Agreements and The Appropriate Room For Host States To Enact

41

Regulations: APractical Guide For States and Investors.Geneva:


Graduate Institute Of International; and Development Studies.
Todd Weiler, Todd. 2005. International Investment Law And Arbitration.
Cameron.
Ginting, Budiman. 2007. RefleksiHistorisNasionalisasi Perusahaan Asing di
Indonesia: SuatuTantangan terhadap kepastian hukum atas kegiatan
Investasi Di Indonesia. Jurnal equality, Vol.12. No. 2.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 15 Tahun 2015 tentang
Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir
Kontrak Kerja Samanya.
Peraturan Pemerintah

No. 2 Tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan

Undang-undang Nasionalisasi Perusahan Belanda.


Peraturan

PemerintahNo.

Tahun

1959

tentang

Pembentukan

Badan

Nasionalisasi Perusahaan Belanda.


Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan
Pertanian/ Perkebunan Tembakau Milik Belanda yang dikenakan
Nasionalisasi.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1959 tentang Tugas Kewajiban Panitia
Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan Perusahaan Milik Belanda yang
dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti
Kerugian.
Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1960 tentang Penentuan Perusahaan
Pertanian/ Perkebunan milik belanda yang dikenakan Nasionalisasi.
Peraturan PemerintahNo. 33 Tahun 1960 tentang Penentuan Perusahaan Milik
Belanda yang dikenakan Nasionalisasi.
Peraturan PemerintahNo. 34 Tahun 1960 tentang Nasionalisasi N.V K.P.M.
Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas.

42

Peraturan PemerintahNo. 50 Tahun 1960 tentang Penambahan Peraturan


Pemerintah No. 1 tahun 1960 tentang Penentuan Perusahaan-perusahaan
Farmasi Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi.
Undang-undang Darurat No. 10 Tahun 1954 tentang Nasionalisasi Bataviasche
Verkeers Matschappij (BVM) N.V.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang No. 13 Tahun 1956 tentang pembatalan hubungan IndonesiaNederland berdasarkan perjanjian konferensi meja bundar.
Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan Undang-undang No. 6
Tahun 1968.
Undang-undang No. 12 Tahun 1970 tentang Perubahan Undang-undang No. 6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal DalamNegeri.
Undang-undang No. 15 Pip. Tahun 1960 tentang Perubahan Undang-undang No.
78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing.
Undang-undang No. 16 Tahun 1965 tentang Pencabutan Undang-undang No. 78
Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing yang telah diubah Undangundang No. 15 Pip. Tahun 1960.
Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Undang-undang No. 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V.
Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Undang-undang No. 71 Tahun 1957 tentang penetapan Undang-undang Darurat
No. 10 Tahun 1954 tentang Nasionalisasi Bataviasche Verkeers
Matschappij (BVM) N.V.
Undang-undang No. 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing.

43

Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan


Perusahaan Milik Belanda yang berada di Wilayah Republik Indonesia.
SUMBER DIGITAL
Akbar, Helmy. 2013, Nasionalisasi Migas, Jakarta, Pusat Dokumentasi dan
Jaringan Informasi Hukum Nasional,http://perpustakaan.bphn.go.id/index.
php/searchkatalog/byId/35060. Diakses pada 17 Oktober 2015.
Bandung, Institut Teknologi. Seminar Shortclass Migas: Kupas Isu Nasionalisasi
Aset Migas Indonesia. Institut Teknologi Bandung. http://www.itb.ac.id/
news/itb_berita_4917.pdf. Diakses pada 17 Oktober 2015.
Country Analysis Brief: Venezuela. Artikel diakses pada 5 November 2015 pukul
22.00 dari http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/Venezuela/pdf.pdf.
http://katadata.co.id/berita/2015/05/20/peraturan-masa-transisi-blok-migas-telahterbit#sthash.v3yrH4fI.dpbs.Diakses pada 8 November 2015.
Kulas, George Hormat.Focus Group Discussion Bertema Politik Migas Menuju
Kedaulatan Energi dan Kesejahteraan Sosial. Fakultas Ilmu Sosial dan
IlmuPolitik

Universitas

Nusa

Cendana

Kupang,

NTT.

https://www.academia.edu/7400729/Kedaulatan_di_Hulu_Migas.Diakses
pada 8 November 2015.
Metalclad corp. V. 2000. United mexican states, 40 LL.M. 36, 50 103. Icsid.
Model for Mixed Companies Approved No. 5, March 2006, hal. 8, artikel diakses
pada

November

2015

pukul

22.30

darihttp://www.pdvsa.com/

interface.en/database/fichero/publication/1421/62.pdf.
Rustanto. 2010. NasionalisasidanKompensasi, e-Jurnal.
Said,A. Umar. Dapatkah Presiden Hugo Chavez Dijatuhkan oleh Washington?
http://kontak.club.fr/Dapatkah Presiden Hugo Chavez dijatuhkan oleh
Washington.htm, artikel diakses pada 3 November 2015.

44

UI, Pers Mahasiswa. Kebijakan Migas di Indonesia: Milik Bangsa atau Asing?,
https://www.academia.edu/3702534/Kebijakan_Migas_di_Indonesia.
Diakses pada 8 November 2015.
UNCTAD.2012. Expropriation.New York &Geneva.
UNCTAD. 2000. taking of property. UNCTAD series on issues in international
investment agreements (UNCTAD/ITE/IIT/15), UN.
SUMBER LAIN (MAJALAH, DRAFT, KAMUS)
Blacks law dictionary tenth edition.
Carreno, Rafael Ramirez. 2006. Gearing up to face new challenges, dalam First
Magazine: Official Report Venezuela a New Economic Model.
Oppusunggu, Yu un. Masukan Atas Rancangan Acuan Perjanjian Perlindungan
dan Promosi Penanaman Modal. Dalam Sosialisasi dan Diskusi Kampus
tentang Pembahasan Draft Template Perjanjian Peningkatan dan
Perlindungan Penanaman Modal (P4M), Depok, 30 September 2015.
Sohn, Louis B& R. R. Baxter, responsibility of states for injuries to the economic
interests of aliens ii. Draft convention on the international law
responsibility of states for injuries to aliens.

45

Anda mungkin juga menyukai