Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkah dan rahmatNya
sehingga Bahan Bacaan Diseminasi HAM dengan judul Hak atas Kepemilikan Tanah dapat tersusun.
Sesuai Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-05OT.01.01 tahun 2010 tanggal
20 Desember 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM RI, pasal 885
menjelaskan bahwa salah satu tugas Direktorat Diseminasi HAM Direktorat Jenderal HAM adalah
melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknik dan
evaluasi di bidang Diseminasi HAM sesuai dengan kebijakan teknik yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal HAM, lebih lanjut dijelaskan pada pasal 889 bahwa untuk melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud Subdirektorat Program Diseminasi menyelenggarakan fungsi penyiapan bahan penyusunan
Metodologi Diseminasi dan bahan Diseminasi HAM.
Dalam rangka untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut, maka pada tahun 2013 Direktorat
Jenderal HAM telah menyusun bahan Diseminasi HAM yaitu Hak atas Kepemilikan Tanah. Bahan
Diseminasi ini dimaksudkan dapat memberikan pemahaman bagi peserta Diseminasi khususnya dan
masyarakat pada umumnya tentang Hak atas Kepemilikan Tanah.
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak
untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.
Hal tersebut sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) yang
menyebutkan bahwa Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Bahan Bacaan ini selanjutnya akan digunakan dalam rangka Kegiatan Diseminasi HAM dan
diharapkan dapat menjadi acuan bagi para Diseminator khususnya yang akan menyampaikan materi
Hak atas Kepemilikan Tanah.
Akhirnya Tim Penyusun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
tersusunnya bahan bacaan ini. Semoga Bahan Bacaan ini dapat memberikan manfaat bagi Diseminator
HAM khususnya serta masyarakat pada umumnya.
TIM PENYUSUN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................
i
iii
1
13
15
19
20
21
27
I.
DAFTAR PUSTAKA
ii
32
A. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi serta
memiliki nilai sosial, politik dan pertahanan keamanan bagi kehidupan manusia. Dengan
memiliki tanah, seseorang dapat melakukan investasi, tempat tinggal, dan tempat usaha
mencari nafkah. Bagi masyarakat pedesaan, tanah tidak hanya digunakan untuk tempat
tinggal tapi juga bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan dan air bersih mereka.
Terutama bagi masyarakat adat yang mempunyai keterikatan yang sangat erat dengan
tanahnya, kepemilikan tanah menjadi sentral hidup mereka. Tidak berbeda jauh dengan
daerah perdesaan, kawasan perkotaan juga sangat bergantung kepada tanah terutama
berkaitan dengan tempat tinggal, investasi, bisnis, dan ketersediaan sumber-sumber lainnya.
Mengingat dekatnya dan pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, banyak orang
mempertahankan tanahnya dimana dia tinggal atau berada.
Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan tanah, terutama di
kawasan perkotaan, maka masalah kepemilikan tanah semakin meningkat. Hal ini terjadi
seiring dengan bertambahnya laju pertumbuhan penduduk, perpindahan penduduk dari desa
ke kota, konversi peruntukan tanah untuk usaha atau kepentingan umum, penurunan kualitas
lingkungan hidup, dan perubahan struktur tanah karena pengaruh bencana alam. Alasan
tersebutlah yang menyebabkan ketersediaan tanah menjadi sangat terbatas dan hal ini sangat
rawan akan permasalahan atau konflik.
Berdasarkan data statistik dari KOMNAS HAM dan pengaduan ke Direktorat
Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, pengaduan terbanyak setiap tahunnya selalu
berkaitan dengan persoalan tanah terutama penggusuran, konversi peruntukan tanah, dan hak
kepemilikan ganda. Kebanyakan kasus pertanahan menjadi sangat kompleks karena pada
umumnya melibatkan kekerasan, intimidasi termasuk penculikan.1 Selain itu persoalan
pertanahan pada umumnya melibatkan lebih dari satu pihak dan/atau instansi seperti Badan
Pertanahan Nasional, pemerintah daerah, individu dan/atau perusahaan, serta pejabat-pejabat
1
"Klasifikasi Kasus Pelanggaran Ham Oleh Korporasi Tahun 2010 Dan 2011," (Jakarta: Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, 2010 - 2011).
terkait seperti Dinas Kehutanan jika melibatkan hutan, dan Polisi dalam hal pengamanan
area perusahaan atau jika ada kekerasan. Oleh karena itu masalah pertanahan selalu rentan
akan pelanggaran HAM. Dengan kata lain, pelanggaran HAM berkaitan dengan tanah dapat
berujung pada pelanggaran HAM lainnya.
Pertanyaannya untuk menghindari sengketa tanah, usaha apa yang harus dilakukan?
Apakah hak atas tanah itu sendiri merupakan suatu hak asasi manusia? Apa implikasinya
terhadap HAM? Kedua pertanyaan ini menjadi fokus dari bahan bacaan Diseminasi ini.
Diharapkan dengan adanya bahan bacaan Diseminasi ini, warga masyarakat mendapatkan
pemahaman mengenai Hak atas tanah dan implikasi HAM yang terkait.
(1) Mengakui dan menjamin hak milik atas tanah bagi masyarakat adat/asli..2 Dalam
kasus kasus tertentu, Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan untuk
menjaga dan melindungi hak-hak masyarakat tersebut, terutama dalam hal
penggunaan tanah yang tidak secara khusus dikuasai oleh mereka namun mereka
secara tradisional mempunyai akses untuk kegiatan kehidupan dan kegiatankegiatan tradisional.3
(2) Negara Pihak wajib untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat
asli/tradisional terhadap sumber-sumber daya alam. Hak tersebut termasuk hak
untuk turut serta berpartisipasi dalam penggunaan, pengelolaan dan pengamanan
sumber-sumber daya alam.4
(3) Konvensi ini juga mengakui dan mensyaratkan partisipasi dari masyarakat
asli/tradisional dalam bentuk dialog terhadap kebijakan atau produk perundangundangan yang membawa pengaruh terhadap mereka.5
(4) Negara Pihak juga berkewajiban untuk mengambil upaya penyelesaian sengketa
tanah melalui berbagai mekanisme seperti penggantian uang atau tanah atau
relokasi dengan mengedepankan prinsip persetujuan yang bebas berdasarkan
informasi yang cukup (free informed consent).6
partisipatoris dan prinsip persetujuan yang bebas berdasarkan informasi yang cukup
(free, prior, and informed consent) dalam mengambil keputusan atau kebijakan yang
terkait dengan masyarakat asli/tradisional.
dalam reformasi tanah dan agraria termasuk juga skema pemindahan lahan. CEDAW
secara tegas menyatakan bahwa pasangan suami istri mempunyai hak yang sama
terhadap kepemilikan, akuisisi, manajemen, administrasi, pemenuhan dan disposisi
properti dalam suatu perkawinan.7 Hak-hak yang sama dalam warisan, pembelian, dan
disposisi properti harus mengedepankan hak-hak perempuan.
c.
Hak atas perumahan/papan diakui oleh banyak instrumen HAM sebagai satu Hak
Asasi Manusia bagian dari Hak atas standar hidup yang layak. Interpretasi terhadap
hak atas perumahan/papan dicantumkan dalam Komentar Umum dari Komite Hak-hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan di dalam banyak hasil-hasil kerja dari special
7
"Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Cedaw)," Pasal 16 (h).
rapporteur. Sebagai contoh, Komentar Umum No. 4 mengenai hak-hak atas papan
menekankan bahwa hak ini tidak dapat diterjemahkan secara sempit tetapi harus
dilihat sebagai hak untuk hidup dengan manusiawi, aman, dan damai. Selanjutnya hak
ini mempunyai 4 (empat) elemen yaitu: kesediaan, habitat, lokasi, dan kemampuan.
e.
"General Comment 4: The Right to Adequate Housing (Art. 11(1))," (Commitee on Economic, Social, and
Cultural Rigths (CESCR), 13 Desember 1991).
"Voluntary Guidelines of the Food and Agriculture Organisation of the United Nations," (Food and Agriculture
Organisation, 2004).
10
Elisabeth Wickeri and Anl Kalhan, "Land Rights Issues in International Human Rights Law," (Institute for Human
Rights and Business, 2010).
Sama dengan hak atas pangan, pemenuhan hak atas air sangat tergantung akan
akses terhadap tanah. Setiap orang berhak atas akses yang cukup terhadap air yang
sehat, bersih dengan harga yang terjangkau untuk keperluan sehari-hari. Akses terhadap
air dan makanan dapat terganggu dengan adanya penggusuran paksa.
g. Hak-hak lainnya
Hak-hak di dalam HAM saling berkaitan satu sama lain dan akses terhadap tanah
terletak diantara berbagai hak. Selain berkaitan dengan hak terhadap sandang, pangan,
dan air, akses terhadap tanah juga sangat berhubungan dengan hak-hak yang lain
seperti hak atas pekerjaan. Hal ini karena akses terhadap tanah berimplikasi dengan
tersedianya pangan, air, dan kesehatan.
2. Hak Atas Tanah menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Secara khusus, pengakuan akan hak-hak yang terkait dengan Hak tanah terdapat pada
UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant on Economic, Social,
and Cultural Rights (Kovenan internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya). UU No. 39 Tahun 1999 mengenai HAM tidak menyebutkan hak atas tanah
sebagai salah satu HAM. Namun, ada beberapa pasal yang berkaitan langsung maupun
tidak langsung dengan hak atas tanah: Berkaitan dengan hak atas papan, pasal 31
menegaskan bahwa tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu. Selanjutnya pasal 36
tentang hak atas kesejahteraan memberikan pengakuan bahwa setiap orang berhak
mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi
pengembangan dirinya, keluarganya, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak
melanggar hukum.11 Negara menjamin bahwa tidak seorangpun boleh dirampas miliknya
dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.12 Yang sangat menarik adalah
pengakuan bahwa hak milik mempunyai fungsi sosial yang diartikan bahwa setiap
penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum. Dengan kata lain, hak
11
12
a. Kewajiban Negara
Dalam hak asasi manusia (HAM), pemangku kewajiban HAM sepenuhnya adalah
negara. Hal ini bisa dilihat dari berbagai Komentar Umum mengenai pasal-pasal dalam
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). Semua penjelasan dalam Komentar
Umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara.
Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mencantumkan
jaminan mengenai perlindungan HAM:
13
14
1. Secara umum, kewajiban negara terhadap HAM dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok :
a) Kewajiban untuk menghormati HAM (to respect)
Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara
untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang
sah (legitimate). Kewajiban ini harus diterapkan pada semua hak, baik hak hidup,
integritas personal, privasi maupun hak untuk bekerja, hak atas pangan, kesehatan
dan pendidikan. Kewajiban negara untuk menghormati adalah kewajiban paling
dasar. Dalam hubungannya dengan hak-hak yang berkaitan langsung atau tidak
langsung negara tidak melakukan intervensi terhadap hak milik atas tanah
sepanjang yang bersangkutan dapat memiliki dan atau menggunakan haknya.
10
untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM lain. Kewajiban ini termasuk juga
mengambil langkah-langkah demi menjamin akses terhadap tanah untuk
kelompok masyarakat rentan seperti warga miskin, perempuan, warga minoritas,
dan kelompok masyarakat asli/tradisional.
2. Disamping ketiga kewajiban pokok HAM, masih ada lagi 2 kewajiban negara lainnya
meliputi:
a) Kewajiban bertindak (obligation of conduct)
Kewajiban untuk bertindak mensyaratkan negara melakukan langkah-langkah
tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu hak. Dalam hubungannya dengan
hak-hak yang membutuhkan akses terhadap tanah, negara wajib untuk mengambil
upaya-upaya hukum, kebijakan, dan upaya lainnya untuk melakukan mekanisme
reformasi tanah, mekanisme pencegahan dan penyelesaian sengketa tanah serta
menjamin bahwa kelompok-kelompok rentan seperti kelompok minoritas,
masyarakat adat, dan kelompok perempuan serta warga miskin mendapatkan
akses atas tanah. Tanpa jaminan terhadap akses terhadap tanah, hak-hak asasi
lainnya seperti hak atas pangan, air bersih, perumahan berada pada posisi rawan
untuk dilanggar.
11
Dengan kata lain, suatu kebijakan harus dipikirkan terlebih dahulu termasuk
akibatnya sebelum diambil dan dilaksanakan. Jangan sampai kebijakan yang
bagus dapat melahirkan suatu pelanggaran HAM yang baru.
Sebagai
pihak
dituntut
harus
dan
segera.
Jika
kewajiban-kewajiban
tersebut
gagal
untuk
12
kunci
terhadap pangan,
Hak Atas Tanah menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Agraria (UUPA)
Pada pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960, dikatakan bahwa atas dasar ketentuan dalam
pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,
bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Dikaitkan dengan hak atas tanah, UUPA (pasal 2 ayat 2) memberi wewenang kepada negara
untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
memelihara bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1). Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
13
yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.
14
1. Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat yang dapat dipunyai orang atas tanah
dan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hanya warganegara Indonesia yang
dapat mempunyai hak milik. Lebih lanjut, pemerintah menetapkan badan-badan hukum
yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya seperti bank Negara, perkumpulan
koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial. Terjadinya hak milik, karena
hukum adat dan Penetapan Pemerintah, serta karena ketentuan oleh undang-undang. Setiap
tindakan mengalihkan, menghapuskan dan membebankannya kepada pihak lain harus
didaftarkan di kantor pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian
yang kuat.
15
sesuai dengan perkembangan zaman. Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha
adalah Tanah Negara. Hak guna usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.
Setiap tindakan untuk mengalihkan, menghapuskan atau membebankan hak guna
usaha dengan hak lain harus didaftarkan di kantor pertanahan setempat. Pendaftaran
dimaksud merupakan pembuktian yang kuat. Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani hak tanggungan.
4. Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya,
yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang.
Hak pakai dapat diberikan :
16
a. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan yang tertentu;
b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
c. pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsurunsur pemerasan.
Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Hak pakai atas
tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak
17
18
E. Pendaftaran Tanah
Pendaftaran Tanah merupakan salah satu yang disyaratkan dalam UU Pokok Agraria
(UUPA). Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 mengenai pendaftaran tanah yang
diamandemen dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 mengatur mengenai proses
pendaftaran tanah yang terdiri dari:
- Pengukuran, pemetaan, dan pencatatan tanah;
- Pendaftaran hak-hak atas tanah dan pengalihan hak atas tanah
- Penerbitan sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah.
Dengan didaftarkannya tanah diharapkan dapat menjadi kepastian hukum bagi pemegang hak
dan masyarakat sekitar, walaupun di dalam praktek, penyimpangan mengenai sertifikat tanah
seperti sertifikat ganda menjadi sumber permasalahan sengketa tanah. Sayang sekali,
berdasarkan data statistik 2006, hanya 30% dari 85 juta properti yang sudah disertifikat.15
Tidak mengherankan bahwa persoalan kepemilikan tanah akan tetap menjadi akar sengketa
tanah di kemudian hari. Hal ini jelas akan memberikan dampak negatif terhadap pemenuhan
hak-hak asasi manusia.
15
Pidato Joyo Winoto, Head of National Land Agency on the opening session of the national symposium and
workshop in Tiara Hotel Medan, 13 November 2006
19
20
G. Hak Ulayat
Perlindungan terhadap masyarakat tradisional dan pengakuan terhadap hak-hak mereka
secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 dan dipelbagai perundang-undangan baik di tingkat
nasional maupun daerah. Pasal 18 B ayat (2) dari UUD 1945 mengakui eksistensi dari
masyarakat
adat termasuk hukum adatnya. Pengakuan tersebut juga terdapat dalam Pasal
67 ayat (1) dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960
tentang Agraria, pasal 9 ayat (2) dari UU No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan, dan pasal
15 huruf (d) dari UU No. 25 Tahun 2007 mengenai investasi. Undang-undang tersebut secara
singkat mewajibkan setiap orang termasuk penanam modal untuk menghormati hukum adat
dari masyarakat tradisional di segala situasi.
Hak-hak masyarakat tradisional yang diatur termasuk juga hak adat atas tanah atau yang
biasa dikenal hak ulayat. Hak ini sangat problematik di lapangan karena kepemilikannya yang
bersifat kolektif dan seringkali hak ini tidak disertai dengan sertifikat. Problema ini akan
dijelaskan lebih lanjut dalam bagian ini.
1. Definisi
Apa itu hak ulayat? UU Pokok Agraria tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa
itu hak ulayat dan masyarakat tradisional. Namun, Peraturan Menteri Pertanahan/Badan
Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 memberikan definisi mengenai tanah ulayat
sebagai tanah yang diberikan status hak ulayat oleh suatu kelompok masyarakat yang
mencerminkan masyarakat tradisional.
16
tersebutlah yang menentukan sendiri tanah mereka. Pasal 1 dari Peraturan ini, lebih jauh,
mendefinisikan hak ulayat sebagai hak bersama berdasarkan hukum adat untuk
menggunakan tanah dan sumber-sumber alam untuk kelangsungan suatu masyarakat adat.
Hak ini diakui karena adanya hubungan yang sangat erat antara masyarakat tradisional dan
tanah mereka.
Agrarian Ministry (Menteri Negara Agraria) was changed to National Land Agency
(BadanPertanahanNasional).
16
21
Di tingkat daerah, beberapa kota dan kabupaten melalui peraturan daerah memberikan
beberapa klarifikasi mengenai definisi hak ulayat yang berlaku di daerahnya masingmasing. Contohnya adalah Peraturan Daerah dari Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001
mengenai hak ulayat yang didefinisikan sebagai hak untuk menggunakan tanah dan
sumber-sumber alam di dalamnya untuk kesejahteraan masyarakat tradisional.17 Berbeda
dengan Kabupaten Lebak, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 16 Tahun 2008
menyatakan bahwa hak ulayat adalah hak kolektif dari suatu masyarakat adat untuk
memiliki tanah ulayat dan mengambil keuntungan dari tanah dan sumber-sumber alam
yang ada di dalamnya. 18 Dengan kata lain, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat tidak
hanya memiliki hak untuk menggunakan tanah ulayat tapi juga memilikinya.
2. Kepemilikan Hak Ulayat
Persoalan kepemilikan sangat penting terutama dalam hal akusisi atau peralihan hak untuk
tujuan apapun. Peraturan Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999
menyatakan bahwa suatu masyarakat tradisional dapat mengalihkan kepemilikan tanahnya
ke pihak lain. Untuk beberapa jenis usaha tertentu seperti pertanian, perkebunan, dan lainlain yang memerlukan hak pakai atau hak guna bangunan, suatu masyarakat adat dapat
mengalihkan hak menggunakan tanah ulayatnya sementara dengan suatu perjanjian.
Negara wajib untuk menghormati dan mematuhi perjanjian tersebut. 19 Sebagai akibatnya,
Negara tidak dapat menerbitkan ijin usaha penggunaan lahan sementara apabila tidak ada
perjanjian20 diantara masyarakat tradisional dan pengguna lahan / pengusaha.21 Berkaitan
dengan perkebunan, Pasal 9 (2) dari UU No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan mengatur
bahwa setiap orang atau pelaku usaha yang berniat untuk membangun suatu perkebunan di
tanah
ulayat
harus
mendapatkan
persetujuan
dari
masyarakat
adat
untuk
memindahtangankan hak atas tanah ulayat tersebut. Sayangnya, ketentuan tersebut tidak
mempunyai sanksi pidana bagi pelanggar. Dalam kaitannya dengan kehutanan, hak-hak
masyarakat adat sangat terbatas. UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan memberikan
17
"The 2001 Lebak Law No. 65 on the Protection for Hak Ulayat of Baduy People," (2001), Art. 1 point 4.
"The 2008 West Sumatra Province Law No. 16 on Hak Ulayat," (2008), Art. 1 point 7.
19
"The 1999 Regulation of Ministry of Agrarian No. 5 on Guidelines of Dispute Settlement of Hak Ulayat," (1999).
20
"The 1999 Regulation of Ministry of Agrarian No. 5 on Guidelines of Dispute Settlement of Hak Ulayat," (1999),
Art. 4.
21
"The 1999 Regulation of Ministry of Agrarian No. 5 on Guidelines of Dispute Settlement of Hak Ulayat."
18
22
mandat kepada pemerintah sebagai pemegang hak milik atas seluruh hutan di Indonesia.
Hak ulayat menurut UU ini diartikan sebagai suatu hak untuk mengumpulkan dan
mengolah sumber-sumber hutan untuk kesejahteraan masyarakat adat.22
UU ini
membatasi pelaksanaan hak ulayat. Hak-hak ulayat berupa hak untuk mengumpulkan dan
mengolah hasil hutan tersebut baru dapat dilaksanakan apabila tanah ulayat itu ada dan
keberadaannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Namun, UU ini tidak
mengklarifikasi bagaimana menentukan keberadaan hak ulayat. Disamping UU, banyak
kabupaten/ kota juga mulai mengatur mengenai masalah tanah atau hak ulayat melalui
peraturan daerah. Sebagai contoh adalah provinsi Sumatera Barat yang mempunyai
peraturan daerah yang khusus mengatur mengenai hak ulayat. Peraturan daerah tersebut
mengatur definisi hak ulayat, pemegang hak ulayat, fungsi dan pendaftaran tanah ulayat,
serta mekanisme pemindahtanganan hak ulayat kepada pihak lain. Peraturan daerah ini
juga mengijinkan penanam modal untuk menggunakan hak ulayat sepanjang ada perjanjian
formal antara penanam modal dan masyarakat adat. Demi kepentingan mereka, penanam
modal diwajibkan untuk memberikan sebagian dari keuntungan perusahaan bagi
masyarakat adat.
23
dilanggar. Sejalan dengan provinsi Sumatera Barat, kabupaten Kampar di provinsi Riau
juga menerbitkan peraturan daerah yang mewajibkan pengguna tanah untuk mendapatkan
persetujuan dari semua anggota masyarakat adat jika mereka bermaksud untuk
menggunakan tanah ulayat. 24 Namun, peraturan tersebut tidak mempunyai sanksi hukum
jika dilanggar.
3. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat
Kementerian Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional telah mengeluarkan sebuah
peraturan mengenai Pedoman Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat. Pedoman tersebut
sangat umum meliputi dua hal : kepemilikan dan penentuan hak ulayat. Namun, Pedoman
itu tidak mengatur mekanisme peralihan hak milik dan atau penyelesaian sengketa.
22
23
Selain itu, Badan Pertanahan Nasional telah menyiapkan sebuah mekanisme untuk
menyelesaikan sengketa tanah yang terbatas pada hak atas tanah.
Selanjutnya, UU No. 30 Tahun 1999 mengenai Penyelesaian Arbitrasi dan Penyelesaian
Sengketa Alternatif dengan menggunakan mediator atau arbitrasi dimana semua pihak
dalam sengketa harus setuju.25 Mekanisme arbitrasi hanya dapat dilakukan untuk sengketa
berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Penyelesaian Sengketa Alternatif
dilakukan untuk kasus-kasus perdata.
26
hanya dapat
tipe-tipe penyelesaian sengketa lainnya seperti rekonsiliasi, pendapat para ahli, dan lainlain. Beberapa peraturan pelaksana UU ini mengatur secara khusus tipe-tipe sengketa dan
mekanismenya.27
Pertanyaannya adalah apakah mekanisme penyelesaian alternatif dapat diberlakukan dalam
sengketa tanah. Bahkan sebelum UU tentang Arbitrasi dan Penyelesaian Sengketa
Alternatif, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan seringkali digunakan
dalam kasus-kasus tanah. UU ini melegitimasi praktek penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia. UU ini juga menentukan kerangka
waktu bagi proses mediasi dan arbitrasi. UU ini didukung oleh UU No. 17 Tahun 2007
mengenai Rencana Nasional Jangka Panjang 2005 2025 yang berfokus pada
perkembangan penyelesaian sengketa tanah melalui sistem administrasi dan pengadilan.
Di dalam kasus-kasus tanah, negosiasi dan mediasi biasanya melibatkan satu atau beberapa
komponen masyarakat seperti: pemimpin adat, pegawai dari Badan Pertanahan Nasional,
Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, KOMNAS HAM
serta para aktivis sebagai mediator.28 Meskipun mekanisme mediasi menyodorkan
penyelesaian yang cepat dan tidak mahal, mekanisme ini hanya dapat dilakukan dengan
efektif apabila seluruh pihak mau bekerjasama dan memiliki itikad baik mengingat sifat
25
"The 1999 Law No. 30 Arbitration and Alternative Dispute Settlement," (1999).
Ibid.
27
For example: 2000 Government Regulation No. 54 on the Agency for Settling Environmental Disputes.
28
Irin Siam Musnita, "Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi Di Kabupaten Sorong"
(University of Diponegory, 2008), p. 88.
26
24
dari mediasi adalah suka rela dan amat sangat tergantung dari itikad baik dan kesediaan
dari masing-masing pihak.29
4. Permasalahan mengenai Hak Ulayat
Meskipun masyarakat adat dan kebudayaannya termasuk hak atas tanah telah diatur dan
dilindungi dalam berbagai ketentuan, beberapa permasalahan terus muncul di lapangan.
Pertama, hukum mengenai pertanahan sangat rumit dan saling tumpang tindih. Hal ini
juga berlaku terhadap tanah ulayat. Lebih jauh, sebelum menentukan adanya tanah ulayat,
beberapa peraturan mensyaratkan pengertian masyarakat adat. Siapa yang disebut sebagai
masyarakat adat sehingga berhak memiliki hak ulayat atas tanah ulayat? Keputusan dari
Direktur Jenderal Kehutanan dan Perkebunan No. 922/VI-PHT/2000 tentang Pedoman
Penyelesaian Sengketa Tanah memberikan definisi mengenai masyarakat adat sebagai
suatu kelompok masyarakat yang terikat oleh hukum adat berdasarkan kesamaan tempat
tinggal atau keturunan. Lebih lanjut, peraturan ini juga mensyaratkan dua hal: hak ulayat
hanya berlaku apabila masyarakat terikat oleh hukum adat dan apabila hukum adat juga
berlaku terhadap tanah ulayat tersebut.30
Di lapangan, tidak mudah untuk menentukan masyarakat adat yang berhak untuk
memegang hak ulayat karena proses integrasi dan transmigrasi.31 Sering kali dijumpai,
suatu kelompok adat mengontrol suatu area untuk hidup, bercocok tanam, dan berproduksi
turun temurun tetapi tidak jelas apakah area tersebut merupakan hak ulayat atau tidak. 32
Pemerintah daerah mencoba untuk memberikan definisi mengenai masyarakat adat yang
akan digunakan di daerahnya namun hal ini pun tidak mudah mengingat mobilitas dan
keragaman masyarakat di daerahnya terutama di daerah perkotaan.
Kedua, yang sering dijumpai di lapangan adalah kesulitan dalam pembuktian. Hukum
nasional mengenai pertanahan membutuhkan adanya sertifikat sebagai bukti kepemilikan
29
"Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi Di Kabupaten Sorong" (University of Diponegory,
2008), p. 104.
30
Letter of Director General of Forestry and Plantation No. 922/VI-PHT/2000 on the Guidelines for Dispute
Settlement for HakUlayat.
31
Laurens Bakker, ""Can We Get Hak Ulayat?": Land and Community in Pasir and Nunukan, East Kalimantan,"
(Berkeley: Center for Southeast Asia Studies, UC Berkeley, 23 May 2008).
32
I Ketut Gunawan, The Politics of the Indonesian Rainforest : A Rise of Forest Conflicts in East Kalimantan
During Indonesia's Early Stage of Democratisation (Bonn: Civillier Verlag Gottingen, 2004), p. 76.
25
tanah. Sayangnya, hukum adat tidak mensyaratkan adanya sertifikat sebagai bukti
kepemilikan tanah. Meskipun telah ada usaha dari pemerintah daerah untuk mendaftarkan
tanah ulayat supaya mendapatkan bukti kepemilikan, 33 di lapangan tidak selalu demikian.
Tidak semua pemerintah daerah mempunyai peraturan yang mewajibkan pendaftaran tanah
ulayat. Oleh karena itu perbedaan pandangan antara hukum adat dan hukum Negara sering
kali menimbulkan permasalahan tanah terutama dalam hal peralihan peruntukan atau hak
tanah atau akusisi tanah.
Ketiga, merupakan masalah laten. Peraturan perundang-undangan mengenai tanah sangat
rumit, sporadik, dan saling tumpang tindih sehingga harmonisasi hukum
menjadi
permasalahan utama. Konflik antar hukum menjadi sesuatu yang sering kali sukar untuk
dihindari. Sebagai contoh : Keputusan Menteri Agraria (Kepala Badan Pertanahan
Nasional) yang berlaku di seluruh Indonesia hanya mendefinisikan Hak Ulayat sebagai hak
untuk menggunakan tanah ulayat, sementara di Peraturan Daerah Sumatera Barat
sebagaimana telah diuraikan diatas Hak Ulayat diartikan tidak hanya hak untuk
menggunakan tanah tapi juga memiliki tanah. Pertanyaannya adalah: yang mana yang
berlaku? Selain masalah isi, kerumitan juga ditambah dengan badan pelaksana peraturan
yang tumpang tindih dan kurangnya koordinasi antara mereka.
33
"The 1999 Law No. 12 of Kampar Regency on Land with Hak Ulayat."
26
H. Penggusuran Paksa
Penggusuran Paksa biasanya didefinisikan sebagai tindakan memindahkan atau mengusir
seseorang atau kelompok
layang, di bawah tol, jalur hijau, taman dan tempat umum (pasal 20 d).
d) Penggunaan untuk kepentingan umum. Dari sekian banyak alasan, alasan
penggunaan untuk kepentingan umum merupakan alasan yang paling sering
27
digunakan oleh para pihak. Banyak pihak sering menggunakan alasan ini untuk
melestarikan kepentingan yang lain. Contohnya: penggusuran masyarakat di
Rawasari dengan alasan untuk membangun ruang terbuka hijau, ternyata digunakan
untuk membangun apartemen. Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan, ada beberapa alasan
yang dapat digunakan untuk kepentingan umum dan pembangunan:
1) pertahanan dan keamanan nasional;
2) jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas
operasi kereta api;
3) waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan
sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
4) pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
5) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
6) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
7) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
8) tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
9) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
10) fasilitas keselamatan umum;
11) tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
12) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
13) cagar alam dan cagar budaya;
14) kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
15) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta
perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
16) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
17) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
18) pasar umum dan lapangan parkir umum.
e) Penelantaran tanah.
Berdasarkan data statistik, BPN mencatat lebih dari 7 juta hektar lahan yang
ditelantarkan di Indonesia. Data statistik tersebut tidak termasuk tanah-tanah pribadi
28
2.
34
Pasal 52 UUPA dan Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang
menegaskan bahwa Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
29
3.
Ini berarti penggusuran masih dapat dibenarkan dalam keadaaan yang sangat
luar biasa. Komite PBB untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mengatakan
bahwa pengusiran hanya dapat dibenarkan di dalam keadaan yang luar biasa, dan sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang terkait. Dalam hal ini ada beberapa
persyaratan tentang tata cara atau prosedur penggusuran paksa yang harus diikuti :
a. Penggusuran merupakan jalan terakhir dimana tidak ada jalan lain selain penggusuran
itu sendiri. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan bahwa sebelum ada
penggusuran terutama yang melibatkan banyak orang, semua kemungkinan lain telah
dijelajahi dengan melakukan perundingan dengan para korban penggusuran. Hal ini
untuk menghindari terjadinya penggusuran dengan cara kekerasan.
30
b. Penggusuran harus diikuti suatu upaya pemulihan berupa kompensasi materi atau
penggantian lahan sehingga penggusuran tidak menyebabkan seseorang kehilangan
tempat tinggal atau terjadi pelanggaran HAM baru lainnya. Pemerintah dengan
demikian harus memastikan bahwa alternatif tempat tinggal atau lahan yang memadai
harus tersedia bagi orang yang terkena penggusuran.
c. Penggusuran tersebut harus dilaksanakan dengan kepatuhan yang ketat pada prinsipprinsip umum kewajaran dan kesebandingan (general principles of reasonableness
and proportionality), meliputi:
1) Pemberitahuan yang wajar dan patut harus diberikan kepada semua orang yang
akan digusur sebelum tanggal penggusuran;
2) Informasi tentang penggusuran lahan baik untuk peruntukkan lain atau tempat
tinggal, harus diberitahukan kepada semua yang terkena penggusuran dalam waktu
yang cukup;Pejabat pemerintah atau pewakilan mereka harus hadir selama
penggusuran, terutama ketika banyak orang sedang diusir;
3) Petugas yang melakukan penggusuran harus memiliki tanda pengenal yang jelas
dan sesuai;
4) Penggusuran tidak boleh dilakukan ketika cuaca sangat buruk atau di malam hari,
kecuali para penghuni menyetujuinya;
5) Bantuan hukum harus diberikan bagi mereka yang memerlukannya.
31
35
32
b.
Orang yang memberikan persetujuan harus cukup umur dan sehat sehingga mampu
memberikan persetujuannya.
c.
33
5. Kebijakan yang sensitive terhadap kaum rentan seperti: miskin, masyarakat adat, dan
perempuan;
Berdasarkan data KOMNAS HAM dan Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum
dan HAM dalam hal permasalahan dengan tanah biasanya kaum rentan seperti masyarakat
miskin, masyarakat adat, dan perempuan menjadi korban bagi penggusuran. Hal ini
dikarenakan keterbatasan sumber-sumber mereka dan lemahnya posisi mereka jika
dihadapkan dengan para investor maupun pemerintah itu sendiri. Oleh karena itu sudah
menjadi tugas pemerintah untuk melindungi mereka dengan membuat program-program
dan kebijakan pertanahan yang sensitif terhadap kaum rentan.
34
DAFTAR PUSTAKA
"The 1999 Law No. 12 of Kampar Regency on Land with Hak Ulayat." 1999.
"The 1999 Law No. 30 Arbitration and Alternative Dispute Settlement." 1999.
"The 1999 Law No. 41 on Forestry." 1999
"The 1999 Regulation of Ministry of Agrarian No. 5 on Guidelines of Dispute Settlement of Hak Ulayat."
1999.
"The 2001 Lebak Law No. 65 on the Protection for Hak Ulayat of Baduy People." 2001.
"The 2008 West Sumatra Province Law No. 16 on Hak Ulayat." 2008.
Bakker, Laurens. ""Can We Get Hak Ulayat?": Land and Community in Pasir and Nunukan, East
Kalimantan." Berkeley: Center for Southeast Asia Studies, UC Berkeley, 23 May 2008.
"Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Cedaw)."
"General Comment 4: The Right to Adequate Housing (Art. 11(1))." Commitee on Economic, Social, and
Cultural Rigths (CESCR), 13 Desember 1991.
Gunawan, I Ketut. The Politics of the Indonesian Rainforest : A Rise of Forest Conflicts in East
Kalimantan During Indonesia's Early Stage of Democratisation.
Gottingen, 2004.
"Indigenous and Tribal People Convention No. 169." International Labour Organisation, 1989.
"Klasifikasi Kasus Pelanggaran Ham Oleh Korporasi Tahun 2010 Dan 2011." Jakarta: Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia, 2010 - 2011.
Musnita, Irin Siam. "Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi Di Kabupaten Sorong."
University of Diponegory, 2008.
"Undang-Undang No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia." 1999.
"Voluntary Guidelines of the Food and Agriculture Organisation of the United Nations." Food and
Agriculture Organisation, 2004.
Wickeri, Elisabeth, and Anl Kalhan. "Land Rights Issues in International Human Rights Law." Institute
for Human Rights and Business, 2010.
35