Anda di halaman 1dari 5

KULTURPUCUK

Tujuandarikulturpucukadalahperangsangandanperbanyakantunastunasataucabangcabang
aksilar.Prosespenggandaantunassangattergantungpadakonsentrasizatpengaturtumbuhsitokininpada
mediakultur(Ilievetal.,2010).Tunastunasyangberhasiltumbuhdapatdisubkulturataudiperbanyak
lagiataudapatdiakarkandanditumbuhkandalamkondisiinvivo.
Metodekulturyangseringditerapkanadalahkulturpucukmenggunakantunasyang
mengandungmeristempucuklateralpadaruaske2.Anisetal.,2003telahmengujikantunasaksilardan
apikaldaritanamanMorusalba,danhasilnyamenunjukkanbahwatunasaksilarmenghasilkantunaslebih
banyakdanlebihresponsifdibandingkandengantunasapikal.Ukuranpucukyangdigunakankurang
lebih2cm.MenurutWattimenaetal.,1992,ukuraneksplanyanglebihbesarmemilikitingkat
pertumbuhanlebihcepatpadatahapinisiasisecarainvitro.SelainitumenurutGeorgeetal.(2008),
teknikkulturdenganmenggunakantunasaksilarpalingbanyakdigunakankarenametodeinipaling
efektifdanmemilikikeberhasilantinggiuntukperbanyakantanaman.Metodeinijugamerupakanmetode
yangpalingbanyakditerapkanuntukproduksimasaltanamankayu(Lineberger,1980).Selainitudengan
kulturpucukmemungkinkanuntukmengontroltunasyangbebasvirusdanlajuperbanyakannyatinggi.
(http://kulturjaringan.blogspot.com/2013/02/kulturpucuklateral.html)

Kontaminasi
Kontaminasi merupakan permasalahan mendasar yang sering terjadi pada kultur in
vitro. Pada kondisi media yang mengandung sukrosa dan hara, serta kelembaban dan
suhu yang relatif tinggi, memungkinkan mikroorganisme serta spora jamur tumbuh dan
berkembang dengan pesat. Kontaminasi pada kultur in vitro dapat berasal dari:
Udara
Eksplan, baik secara eksternal maupun internal.
Organisme kecil yang masuk ke dalam media, seperti semut.
Botol kultur serta alat-alat yang kurang steril.
Lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor.
Kecerobohan dalam bekerja.

Setiap eksplan memiliki tingkat kontaminasi permukaan yang berbedan tergantung


dari :
Jenis tumbuhannya
Bagian tumbuhan yang dipergunakan
Morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak)
Lingkungan tumbuhnya (Green house atau lapang)
Musim waktu pengambilan (musim penghujan atau musim kemarau)
Umur tumbuhan (seedling atau tumbuhan dewasa)
Kondisi tumbuhannya (sehat atau sakit)
Mikroorganisme penyebab kontaminasi dapat berupa bakteri, fungi, protozoa, serangga,
virus dan lain-lain. Kontaminasi oleh fungi ditandai dengan munculnya benang-benang
halus yang berwarna putih, yang merupakan miselium fungi. fungi dapat menginfeksi
jaringan secara sistemik sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan jaringan eksplan
akan mati. Selain itu, kontaminasi oleh bakteri ditandai munculnya bercak-bercak
berlendir pada media atau eksplan. Bercak tersebut biasanya berwarna putih yang
merupakan koloni bakteri. Bakteri lebih sulit untuk dideteksi dibandingkan dengan
fungi karena dapat masuk ke dalam ruang antar sel.
Ada dua istilah dalam permasalahan kontaminasi, yaitu kontaminasi eksternal dan
kontaminasi internal.

a. Kontaminasi eksternal atau kontaminasi permukaan biasanya disebabkan oleh


mikroorganisme yang berasal dari luar eksplan. Respon kontaminasi eksternal ini sangat
cepat karena mikroorganismenya berada permukaan eksplan. Kontaminasi permukaan
dapat diatasi dengan cara :
Karantina tanaman induk dalam greenhouse
Sterilisasi kontak dengan menyikat eksplan dengan sikat halus
Pencucian menggunakan berbagai perlakuan bahan kimia dan durasii sterilisasi.
Jika permukaan tanaman ditutupi oleh rambut atau sisik, menggunakan detergen dan
digoyang goyang untuk mengilangkan gelembung udara yang mungkin mengandung
mikroorganisme.
Penggunaan kombinasi bahan sterilan.
b. Kontaminasi Internal
Kontaminasi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari eksplan yang
tumbuh dan berkembang secara bertahap dalam kondisi in vitro. Pertumbuhan dan
perkambangan mikroorganisme internal biasanya muncul beberapa minggu / bulan
setelah di kultur. Kontaminasi internal dapat diminimalisir atau dapat diatasi dengan
cara:
Karantina tanaman induk dalam greenhouse
Menggunakan HgCl2 , antibiotik dan fungisida sistemik
Contoh antibiotik alami yaitu propolis
Contoh antibiotika sintetik yaitu Plant Preservative Mixture (PPM), Cefotaxime,
Ceftriaxone, Chlorampenicol, Rifampicin, dll.
Penggunaan kombinasi bahan sterilan.
2. Browning/Pencoklatan
Pencoklatan adalah suatu keadaan munculnya warna coklat atau hitam yang
menyebabkan tidak terjadi pertumbuhan dan perkembangan atau bahkan menyebabkan
kematian pada eksplan. Pencoklatan umumnya merupakan tanda adanya kemunduran
fisiologis eksplan biasanya eksplan akan mati.
Browning terjadi akibat pengaruh akumulasi senyawa fenolik yang teroksidasi akibat
stress mekanik atau pelukaan pada eksplan. Senyawa fenol tersebut adalah enzim
polifenol eksidase dan tirosinase. Dalam kondisi oksidatif akibat pelukaan, enzim
tersebut akan secara alami disintesis oleh tanaman sebagai bentuk pertahanan diri.
Menurut Laukkanen et al. (1999) dalam Hutami (2008), ketika sel rusak, isi dari
sitoplasma dan vakuola menjadi tercampur, kemudian senyawa fenol teroksidasi
menghambat aktivitas enzim. Senyawa fenol yang berlebihan akan bersifat racun yang
merusak jaringan eksplan dan akhirnya menyebabkan kematian eksplan (Corduk and
Aki, 2011).
Menurut George dan Sherrington (1984) ada beberapa cara untuk menanggulangi
masalah pencokelatan, seperti:
a. Meminimalisir senyawa fenol

-Transfer eksplan ke media baru

- Penambahan arang aktif untuk menonaktifkan enzim peroksidase.Enzim


tersebut merupakan
kelompok enzm oksidoreduktase yang berperan
sebagai katalis reaksi oksidasi senyawa fenol.

- Penggunaan PVP (Polivenolpirolidon) untuk mengikat senyawa fenol agar


tidak teroksidasi

- Penambahan antioksidan seperti Asam askorbat, PPVP (polivinilpolipirolidon)


dan DTT (1,4-ditioDL-treitol) untuk menurunkan akumulasi peroksidase


- Pencucian eksplan pada air mengalir
b. Modifikasi Potensial Redoks
Penggunaan asam askorbat (C6H8O6) untuk menghambat reaksi oksidasi senyawa
fenolik, karena asam askorbat memiliki potensial redoks yang rendah serta mampu
mengikat oksigen
Perendaman eksplan dalam air pasca pemotongan dari tanaman induk mampu menekan
oksidasi dari oksigen bebas.
c. Penghambatan Aktifitas Enzim Fenol Oksidase
Penggunaan Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA) dapat menghambat aktivitas
polifenol oksidase dengan mengikat ion-ion seperti Cu++ Co++, dan Zn++, yang
mempu menjadi senyawa fenol ketika teoksidasi
EDTA Juga dapat mengganggu aktivitas enzim peroksida.
d. Penurunan Aktifitas Fenolase

Penggunaan Asam askorbat mampu menurunkan pH, karena pH optimum enzim


Fenol Oksidase berkisar antara 4,0-7,0.

Penggelapan selama 14 hari mampu menekan aktifitas fenolase. Cahaya


mempengaruhi sintesa enzim pada pigmen, oksidasi fenol akan meningkat
dengan adanya cahaya (Creasy, 1968 dalam Hutami, 2008).

3. Senescence
Senescence dicirikan dengan menguningnya daun karena penurunan jumlah klorofil dan
kloroplas (Gut et al., 1987 dalam Ryun Woo et al., 2001). Secara alami senescence
timbul akibat dari kematian sel yang dilakukan oleh tanaman itu sendiri (Programmed
Cell Death / PCD), karena pengaruh umur dan cekaman lingkungan sekitar (Yoshida,
2003).
Berkurangnya unsur hara merupakan salah satu bentuk cekaman lingkungan dari
tanaman in vitro, karena pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada media di dalam
botol. Semakin lama media tersebut akan berkurang dan mengakibatkan proses
metabolisme tanaman in vitro akan menjadi lambat. Menurut Schippers et al. (2007),
kekurangan nitrogen dapat mempercepat senescence pada daun, tetapi peranan hormon
juga menentukan prerkembangan proses senescence pada daun. Senescence dapat pula
terjadi akibat berkurangnya kandungan sitokinin dalam media, karena sitokinin berperan
dalam pembentukan kloroplas dan menghambat penuaan (senescence) (Wattimena,
1992; Parthier, 2004; Srivastava, 2001; Gan and Amasino, 1995). Sitokinin juga
berpengaruh terhadap distribusi nutrisi menuju ke daun dari bagian-bagian tanaman
yang lain (Taiz and Zeiger, 2010).
Selain itu, kondisi cekaman aerasi juga dapat menjadi penyebab senescence pada
tanaman in vitro. Menurut Jackson et al. (1994); Jackson (2003), dalam kondisi in vitro
mengharuskan tanaman untuk tumbuh dalam botol yang tertutup rapat, semakin lama
tanaman akan kesulitan mendapatkan oksigen dan karbondioksida sementara itu etilen
akan terus terakumulasi. Lebih lanjut, Heet al. (1996); Wang et al. (2002); Bailey-Serres
and Chang (2005); Peng et al. (2005); Drew et al. (1979) dalam Geisler-Lee et al.
(2010), menyatakan bahwa dalam kondisi anoksia, akan terjadi peningkatan prekursor
etilen (1-Aminocyclopropane-1-Carboxylate (ACC) Sintase (ACS) dan ACC Oksidase
(ACO)) dan berakibat pada peningkatan konsentrasi etilen. Akumulasi etilen akan

menghambat pertumbuhan planlet dan dapat memacu senescence pada daun (Aharoni
and Lieberman, 1979; Grbic and Bleecker, 1995; Jing et al., 2002; Jing et al., 2005).
4. Eksplan Dorman
Eksplan yang mengalami dorman terlihat tidak mampu merespon zat pengatur tumbuh
tetapi dari fisik eksplan tersebut masih terlihat segar. Terjadinya dormansi pada eksplan
diduga akibat senyawa fenolik yang masih tersisa dalam eksplan. Senyawa fenol
tersebut keluar secara osmosis menyebar di sekitar eksplan dan mengganggu distribusi
hormon dan nutrisi dari media, sehingga sel-sel tidak merespon media perlakuan.
Menurut Corduk and Aki (2011); Kaewubon and Meesawat (2009), akumulasi senyawa
fenol dalam media menyebabkan eksplan kehilangan kemampuan untuk tumbuh selama
masa kultur. Sakakibara et al. (2004) menyatakan bahwa senyawa fenol mampu
mengaktifkan enzim sitokinin oksidase (CKX) yang mampu mendegradasi sitokinin.
Dalam upaya pencegahan agar tidak mendapati eksplan yang dorman dapat dilakukan
dengan menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik., Karena
awal pertumbuhan eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif membelah,
atau dari sel-sel tua yang muda kembali. Selain itu dapat dicegah dengan penggunaan
media kultur yang cocok.
5. Hiperhidrisitas
Hiperhidrisitas atau yang biasa disebut dengan istilah vitrivikasi merupakan gelaja
pertumbuhan planlet yang tidak normal atau ketidak normalan morfologi dan fisiologis.
akibat stress yang tibul karena pelukaan, tidak optimalnya media kultur maupun
lingkungan mikro (wadah kultur) (Kevers et al., 2004). Lebih lanjut, Rice et al., 1992
menyatakan bahwa kadar ammonium dan kandungan uap air yang berlebihan didalam
wadah kultur juga dapat menyebabkan gejala tersebut. Hal tersebut juga berkaitan
dengan kosentrasi sitokinin yang terlalu tinggi, rendahnya potensial matriks, dan
meningkatnya kosentrasi etilen didalam wadah kultur (Kevers et al., 1984). Uap air
akan menyebabkan media menjadi berair serta sitokinin juga mempengaruhi sel dalam
menyerap air, sehingga air akan terakumulasi pada apoplast. Seperti penelitian yang
dilakukan Rojes-martinez et al., 2010 bahwa hiperhidrisitas dapat terjadi akibat kondisi
jenuh air dan akumulasi gas pada wadah kultur. Kondisi tersebut juga merupakan
kondisi anoksia.

Hiperhidrisitas tentunya tidak diharapkan pada kultur in vitro. Tanda-tanda


Hiperhidrisitas, seperti:
Tanaman yang dihasilkan pendek-pendek atau kerdil, seringkali tidak mempunyai
internodus atau juga memiliki internodus yang berhimpitan.
Pertumbuhan batang cenderung kearah pertambahan diameter
Daunya memiliki kecenderungan melebar pada bagian pangkal, akhirnya helaian
berbentuk seperti panah.
Daun memiliki klorofil yang sedikit di bandingan dengan yang normal
Tanaman terlihat lemah dan tembus cahaya karena mengandung banyak air

6. Variabilitas Genetik
Variabilias genetik dapat dikatakan menjadi salah satu kendala dalam kultur in vitro
apabila tujuan pengkulutran tersebut untuk upaya perbanyakan tanaman yang seragam
dalam jumlah yang banyak, dan bukan sebagai upaya pemuliaan. Variabilitas genetik
dapat disebabkan oleh Subkultur berulang tanpa terkontrol atau juga disebabkan oleh
metode kultur yang tidak sesuai.
7. Eksplan Gosong

Istilah Eksplan gosong bukan berarti eksplan tersebut hangus terbakar, akan tetapi ada
bagian tertentu pada eksplan dimana selnya menjadi mati, tetapi bukan akibat browning.
Sering kita mendapati eksplan yang ditanam menjadi mati, atau ada bagian pada eksplan
yang mati dalam beberapa hari saja. Mengidentifikasi eksplan gosong memang agak
sulit karena ciri-cirinya menyerupai browning. Tetapi secara visual, eksplan gosong
sama seperti daun yang direndam beberapa menit dalam air panas.

Eksplan gosong dapat terjadi akibat:


Konsentrasi bahan sterilan yang terlalu pekat
Kesahalahan pemilihan bahan sterilan
Durasi sterilisasi yang terlalu lama
Kerusakan mekanis akibat penggoyangan yang terlalu keras
Media yang digunakan tidak cocok, atau kesalahan dalam membuat media
Peralatan dissecting set masih panas saat digunakan untuk memotong atau menanam
eksplan

Agar tidak mendapati eksplan yang gosong, ada beberapa tindakan pencegahan, seperti:
Penggunaan bahan sterilan dan durasi sterilisasi dioptimalkan
Penggoyangan eksplan pada saat sterilisasi jangan terlalu kuat
Memastikan alat yang digunakan telah dingin pasca sterilisasi alat menggunakan lampu
Bunsen. Atau setidaknya panas akibat sterilisasi tersebut dipastikan tidak melukai sel
eksplan.
(http://kultur-jaringan.blogspot.com/2014/03/permasalahan-permasalahandalam-kultur.html) diakses 11/11/2014 pukul 09:04

Anda mungkin juga menyukai