Anda di halaman 1dari 32

laporan pakan alami

BAB I
PENDAHULUAN

1.2. Latar Belakang

Skeletonema costatum merupakan salah satu diatomae euryhalin dengan bentuk kotak yang

indah dengan warna coklat keemasan. Namun waktu puncak pertumbuhan Skeletonema costatum

ini hanya satu hari. Oleh karena itu, perlu adanya teknik kultur yang baik untuk memperpanjang

waktu puncak populasinya.

Kultur phytoplankton murni atau monospesifik spesies dimulai dari kegiatan isolasi

kemudian dikembangakan sedikit demi sedikit secara bertingkat. Media kultur yang digunakan

mula-mula hanya beberapa millimeter saja, kemudian berangsur-angsur meningkat ke volume

yang lebih besar sehingga mencapai skala massal. Kultur phytoplankton hingga volume sekitar 3

liter masih dilakukan didalam laboratorium sehingga sering disebut denga kultur skala

laboratorium. Selanjutnya dilakukan kultur semi out-door yang dapat mencapai volume 60-100

liter. Kultur out-door merupakan tahapan kultur selanjutnya. Kultur aut-door biasanya dimulai dari

volume 1 ton hingga lebih dari 20 ton tergantung besar kecilnya skala pembenihan. Karna kultur

phytoplankton menggunakan proses yang bertingkat-tingkat dari volume keci ke volume yang

lebih besar, maka prinsip kultur phytoplankton tersebut disebut dengan kultur bertingkat atau

berlanjut (Effandie, 2001).

Pertumbuhan suatu jenis phytoplankton sangat erat kaitanya denga ketersediaan hara

makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Fakto-faktor lingkungan yang
berpegaruh terhadap pertumbuhan phytoplnakton antara lain cahaya, suhu, tekanan osmose, dan

pH air, yang kemungkinan dapat memacu atau menghambat pertumbuhan. Selain itu, faktor

genetik merupakan faktor internal yang sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat pertumbuhan

phytoplankton (Niagara, 2007).

Kultur phytoplakton skala laboratorium bisanya memerlukan kondisi lingkungan yang

terkendali. Hal ini dimaksudkan agar pertumbuhan phytoplankton optimal sehingga didapatkan

bibit (strarter) yang bermutu tinggi untuk skala kultur selanjutnya. Laboratorium kultur

phytoplakton perlu di lengkapi dengan air conditioner untuk mengatur suhu ruangan. Cahaya

sebagai sumber energy fotosintetis harus cukup, dengan intensitas sekitar 5.000-10.000 lux. Aerasi

juga sangat diperlukan dalam kultur phytoplankton baik pada skala laboratorium, semi out-door

maupun out-door (kaniusus, 2000).

Volume kultur pada setiap tahapan kultur dapat bervariasi tergantung pada ketersediaan

bibit atau strarter dan banyaknya kebutuhan phytoplankton. Tidak semua unit pembenihan mampu

melakukan tahapan kultur phytoplankton secara lengkap dari kultur skala laboratorium hingga

kultur skala massal sperti di atas, tergantung ketersediaan fasilitas. Pada unit pembenihan skala

kecil atau skala rumah tangga hingga skala sedang kultur phytoplankton biasanya hanya di lakukan

mulai dari skala semi out-door kemudian di lanjutkan ke skala massal. Bibit untuk kultur semi out-

door tersebut dapat diperoleh dari unit pembenihan skala besar atau dari unit-unit pembenihan

milik pemerintah (Haryati, 2001).

Dengan mengetahui arti penting dari pakan alami tersebut maka perlulah dilaksanakan

praktek budidaya pakan alami ini agar mahasiswa lebih mengenal cara mengkultur pakan alami

ikan/udang.

1.2. Tujuan dan Manfaat


Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui cara mengkultrul Skeletonema dalam skala

laboratorium.

Manfaat praktikum ini adalah menambah pengetahuan kepada mahasiswa dalam

membudidayakan skeletonema dalam skala laboratorium.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Sachlan (2002), klasifikasi Skeletonema costatum adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae
Phylum : Bacillariophyta
Class : Bacillariophyceae
Order : Centrales
Family : Coscinodiscaceae
Genus : Skeletonema

Species : Skeletonema costatum


Gambar 1. Skeletonema costatum
(Sumber: Dok. Pribadi, 2013)

Skeletonema costatum merupakan fitoplankton dari jenis diatomae yang bersel tunggal

dan ukuran sel berkisar antara 4-15 µm. Sel diatomae memiliki ciri khas yaitu dinding selnya

terdiri dari dua bagian seperti cawan petri. Dinding sel atas yang disebut epitekal saling menutupi

dinding sel bagian bawah yang disebut hipoteka pada masing-masing tepinya. Pada setiap sel

dipenuhi oleh sitoplasma. Dinding sel Skeletonema costatum memiliki frustula yang dapat

menghasilkan skeletal eksternal yang berbentuk silindris (cembung) dan mempunyai duri-duri

yang berfungsi sebagai penghubung pada frustula yang satu dengan yang lain sehingga

membentuk filamen (Haryati, 2001).

Widiyani (2003) menyatakan bahwa dinding sel Skeletonema costatum mengandung

pigmen yang terdiri dari klorofil-a, ß-karoten dan fukosantin. Pigmen yang dominan adalah

karotenoid dan diatomin. Adanya pigmen karoten menyebabkan dinding sel berwarna coklat

keemasan.
Morfologi Skeletonema costatum bersel tunggal (Uniselular), berukuran 4-6 mikron. Akan

tetapi alga ini dapat membentuk urutan ranti yang terdiri dari beberapa sel. Sel berbentuk seperti

kotak dengan sitoplasma yang memenuhi sel dan tidak memiliki alat gerak. Skeletonema costatum

dinding sel yang unik karena terdiri dari dua bagian yang bertindih (flustula) yang terbuat dari

silikat, bagian katub atas disebut epiteka dan kutup bawah disebut hipoteka. Pada bagian epiteka

terdiri dari komponen epivaf dan episingulum dan pada bagian hipoteka terdiri dari komponen

hipovaf dan hiposingulum (Clinton, 2004).

Suhu berperan dalam pengatur proses metabolisme organisme dalam perairan. Suhu

mempengaruhu suatu stadium daur hidup organisme dan merupakan factor pembatas penyebaran

suatu species. Dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan reproduksi secara ekologis

perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan skeletonema costatum.

Dalam proses aerasi, selain terjadi proses pemasukan gas-gas yang diperlukan dalam proses

potositesis juga akan timbul gesekan antara gelembung udara dengan moleku-molekul air sehingga

terjadi sirkulasi air. Proses sirkulasi air ini sangat penting untuk memperthankan suhu tetap

homogen serta penyebaran penyinaran dan nutrient tetap merata. Sirkulasi juga dapat mencegah

pengendapan plankton dan menimbulkan getaran air yang menyerupai getaran di alam

(Priyambodo, 2003;Mudjiman, 2004).

Salinitas merupakan salah satu factor lingkungan yang mempengaruhi tekanan osmotik

antara protoplasma sel organic dengan lingkungannya. Kadar garam yang berubah-ubah dalam air

dapat menimbulkan hambatan bagi kultur sekletonema costatum. Sekeltonema costatum tumbuh

optimal pada salinitas 25-29 ppt (Djarijah, 2005).

Pertumbuhan skeletonema costatum sangat tergantung pada intensitas lamanya penyinaran

dan panjang gelombang cahaya yang mengenai sel-sel tanaman selama fotosintesis. Biasanya,
dalam ruang kultur intensitas cahaya berkisar antara 500-5000 lux. Keadaan gelap dan terang juga

harus dikontrol. Kultur penyediaan bibit, intensitas cahaya yang diberikan berkisar antara 500-

1000 lux, biasnya 12 jam dalam keadaan terang dan 12 jam dalam keadaan gelap. Kultur missal

diruang terbuka, intensitas cahaya lebih baik diberikan dibawah 10.000 lux (Isnantyo dan

Kurniastuty, 2004).

Pertumbuhan phytoplankton dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran

sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Hingga saat ini kepadatan sel digunakan secara luas

untuk mengetahui pertumbuhan phytoplankton dalam kultur pakan alami. Ada empat fase

pertumbuhan yaitu :

1. Fase Istirahat

Sesaat setelah penambahan inokulum kedalam media kultur, populasi tidak mengalami

perubahan. Ukuran sel pada saat ini pada umumnya meningkat . Secara fisiologis phytoplankton

sangat aktif dan terjadi proses sintesis protein baru. Organisme mengalami metabolisme, tetapi

belum terjadi pembelahan sel sehingga kepadatan sel belum meningkat

2. Fase Logaritmik atau Eksponensial

Fase ini diawali oleh pembelahan sel dengan laju pertumbuhan tetap. Pada kondisi kultur

yang optimum, laju pertumbuhan pada fase ini mencapai maksimal

3. Fase Stasioner

Pada fase ini, pertumbuhan mulai mengalami penurunan dibandingkan dengan fase

logaritmik. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian. Dengan demikian
penambahan dan pengurangan jumlah phytoplankton relatif sama atau seimbang sehingga

kepadatan phytoplankton tetap.

4. Fase Kematian

Pada fase ini laju kematian lebih cepat daripada laju reproduksi. Jumlah sel menurun secara

geometrik.

Penurunan kepadatan phytoplankton ditandai dengan perubahan kondisi optimum yang

dipengaruhi oleh temperatur, cahaya, pH air, jumlah hara yang ada , dan beberapa kondisi

lingkungan yang lain

Skeletonema costatum digunakan dihampir setiap unit pembenihan di Indonesia,

khususnya pada pembenihan udang windu. Phytoplankton ini pertumbuhannya cepat, sehingga

sudah dapat dipanen dalam waktu dua hari masa pemeliharaan dan cocok untuk pakan larva udang

windu. Di beberapa negara , seperti Singapura Skeletonema Costatum juga digunakan sebagai

pakn larva kakap merah. Selain itu Skeletonema Costatum dapat digunakan sebagai pakan pada

budidaya biomassa Artemia

Untuk kultur laboratorium dapat menggunakan pupuk Conway ditambah silikat

(Na2SiO3) sebanyak 5mg/L, atau menggunakan pupuk dengan komposisi KNO3:80-100mg/L,

NaH2PO4:10-15mg/L, Na2SiO3:10-15mg/L, FeCl3:5-10 mg/L, EDTA : 5-10 mg/L. Sedangkan

untuk kultur skala massal dapat digunakan pupuk dengan komposisi Urea 60gr/ton, NaH2PO4 8

gr/ton, Na2SiO3 6gr/ton, FeCl3 1 gr/ton, EDTA 5 gr/ton atau TSP 15 gr/ton, Urea 30 gr/ton,

Na2SiO3 10gr/ton, KNO3 60gr/ton, FeCl 1 gr/ton, EDTA 3BG/ton


BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum kultur Skeletonema costatum dilaksanakan pada hari Senin 16 Mei 2013 dan

dilanjutkan pada hari Sabtu, tanggal 11 Mei 2013 sampai 19 Mei 2013. Pada pukul 14.00 WITA

dan bertempat di gedung Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univeritas

Haluoleo, Kendari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum kultur Skeletonema costatum dapat

dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaannya


No. Alat dan Bahan Kegunaan
A. Alat
- Mikroskop Mengamati sel S.costatum
- Kertas saring Menyaring air
- Kapas Menyaring air
- Corong Menyaring air
- Pipet tetes Mengambil sampel
- Kertas label Menandai perlakuan
- Kaca penutup Penutup kaca preparat
- Kaca preparat Tempat objek yang akan diamati
- Blower Sumber aerasi
- Autoclave Pensterilan alat dan bahan
- Erlenmeyer Wadah kultur
- Toples Wadah kultur
- Akuarium Wadah kultur
- Biker Wadah air
- Hand refractometer Pengukur salinitas
B. Bahan
- S.costatum Bahan amatan
- Air laut Media hidup S.costatum
- Aquades Membersihkan kaca preparat
- Pupuk Conway Menyuburkan S.costatum
3.3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja dalam pengkulturan Skeletonema costatum adalah sebagai berikut:

1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Mengukur salinitas air laut terlebih dahulu.

3. Menyaring air laut sebanyak 2 liter dengan menggunakan corong, kapas, serta kertas saring.

4. Mensterilkan air hasil saringan dalam autoclave selama 1 jam.

5. Menyiapkan wadah kultur yang telah diisi air sebanyak 250 ml serta ditambahkan pupuk Conway

sebanyak 10 ml dan diaduk secara merata.

6. Memasukkan bibit S.costatum sebanyak 100 ml dan mengatur besarnya aerasi.

7. Mengamati bibit yang telah dimasukkan di bawah mikroskop.

8. Selang 2 hari kemudian dilakukan pengamatan terlebih dahulu sebelum pemindahan pada wadah

erlenmeyer 1 liter yang telah diisi air 500 ml. setelah pengamatan, ditambahkan pupuk Conway

sebanyak 10 ml pada wadah baru.


9. Selang 2 hari kemudian, dilakukan pengamatan dan pemindahan pada wadah toples yang telah

diisi air dan ditambahkan pupuk Conway 10 ml dan selang 2 hari kemudian, dilakukan pengamatan

dan pemindahan pada akuarium yang telah ditambahkan pupuk Conway 20 ml.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan pada praktikum ini dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Pengamatan pada praktikum pengkulturan Skeletonema costatum.


No Hari/Tanggal Jumlah
Gambar
Sel
1. 12 mei 2013 14
2. 14 mei 2013 15

3. 16 mei 2013 40

4. 18 mei 2013 51
5. Rabu, 22 43
Mei 2013

4.2. Pembahasan

Skeletonema costatum digunakan dihampir setiap unit pembenihan di Indonesia,

khususnya pada pembenihan udang windu. Phytoplankton ini pertumbuhannya cepat, sehingga

sudah dapat dipanen dalam waktu dua hari masa pemeliharaan dan cocok untuk pakan larva udang

windu. Di beberapa negara , seperti Singapura Skeletonema Costatum juga digunakan sebagai

pakn larva kakap merah. Selain itu Skeletonema Costatum dapat digunakan sebagai pakan pada

budidaya biomassa Artemia. Phytoplankton atau mikroalgae mempunyai peran mensintesa bahan

organik dalam lingkungan perairan. Mikroalgae melakukan aktifitas fotosintesa untuk membentuk

molekul-molekul karbon komplek melalui larutan nutrien dari beberapa sumber yang diasumsi

dengan bantuan pencahayaan sinar matahari/ energi lampu neon untuk membentuk sel-sel baru

menajdi produk biomassa. Di perairan alami mikroalgae dominan memberikan konstribusi untuk

memproduksi biomassa dalam sistim perairan laut, estuarin dan sungai. Walaupun sedikit

pengaruh kombinasi dari sejumlah sel-sel fitoplankton akan dikonsumsi oleh hewan baik tingkat

rendah maupun tingkat tinggi didalam ekosistem perairan yang digambarkan melalui jaring-jaring

makanan (food web).


Dari hasil pengamatan pola pertumbuhan S. costatum mengikuti model pertumbuhan

logaritmik, yaitu dimulai dari fase log atau eksponensial, fase penurunan laju pertumbuhan, fase

stationer, dan fase kematian. Pada kultur S.costatum, waktu terjadinya fase lag diduga

karena kultur telah mengalami adaptasi sebelumnya.

Fase log atau eksponensial S.costatum berlangsung dari pengamatan pertama sampai 2

dengan log kepadatan belum terlalu tinggi. Pada fase ini kultur mengalami peningkatan jumlah sel

yang sangat besar, hal ini sesuai dengan pernyataan Arinardi (2000), menyatakan bahwa fase log

atau eksponensial S.ostatum berlangsung dari awal kultivasi sampai hari ke-4 dengan

log kepadatan 1,0–2,9 sel/ml. Pada fase ini kultur mengalami peningkatan jumlah sel yang sangat

besar karena sel mulai mengalami pembelahan dengan cepat dimana kecepatan pembelahan sel S.

costatum yang berasal dari daerah tropis berlangsung sekitar 4 jam, tergantung kondisi lingkungan.

Pertumbuhan yang baik pada S.costatum terjadi pada fase eksponensial. Pada fase ini

diawali oleh pembelahan sel dengan laju pertumbuhan tetap, hal ini sesuai dengan pernyataan

(Chester, 2002). Menyatakan bahwa Pada hari ke-5 kultur mengalami peningkatan jumlah sel yang

lambat pada log kepadatan 3,08 sel/ml. Fase ini disebut sebagai fase penurunan laju pertumbuhan

dengan warna kultur sama seperti akhir fase log. Turunnya laju pertumbuhan mikroalga

disebabkan oleh 3 hal, yaitu berkurangnya mikronutrien sebagai faktur pembatas karena telah

banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial, adanya toksik yang dihasilkan oleh alga itu sendiri

sebagai hasil dari metabolisme dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah

sel sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya.
BAB
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Diatom memiliki lima tingkatan fase pertumbuhan yangni fase induksi/istirahat, fase logaritmik

atau eksponensial, fase stationer, fase menurunnya laju pertumbuhan dan fase kematian.

2. Kultur Skeletonema costatum merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga ketersediaan

pakan alami bagi larva ikan dan udang pada usaha pembenihan.

B. Sara

Hal yang harus diperhatikan kultur diatom ialah masalah pupuk dan parameter kualitas air

yang harus tetap terjaga

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Pakan alami adalah sumber pakan yang penting dalam usaha pembenihan ikan, udang,

kepiting, dan kerang. Pakan alami merupakan pakan yang sudah tersedia di alam, untuk pakan

buatan adalah pakan yang dibuat dari beberapa macam bahan yang kemudian di olah menjadi

bentuk khusus sesuai dengan yang di kehendaki. Pemberian pakan yang berkualitas akan

memperkecil persentase kematian larva. Dalam budidaya terutama dalam usaha pembenihan,

pakan merupakan salah satu faktor pembatas. Secara umum pakan terdiri dari pakan alami dan

pakan buatan (Purwakusuma, 2008).

Artemia merupakan udang renik yang tergolong udang primitif. Zooplankton ini hidup

secara planktonik di perairan yang berkadar garam tinggi yakni antara 15–300 permil. Sebagai

plankton, Artemia tidak dapat mempertahankan diri terhadap pemangsanya sebab tidak

mempunyai alat ataupun cara untuk membela diri (Mudjiman, 2007).

Siklus hidup pada Artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15-

20 jam pada suhu 25oC kista akan menetas menjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio

ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan tetap menyelesaikan

perkembanganya kemudian berubah menjadi naupli yang akan bisa berenang bebas. Pada awalnya

telur artemia berwarna orange coklatan karena masih mengandung kuning telur. Setelah 12 jam

mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai

makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organic lainya. Pada dasarnya

mereka tidak akan peduli (tidak memilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut

tersedia dalam air dengan ukuran yang sesuai (Diana Chilmawati, 2007).
Dengan mengetahui arti penting dari pakan alami tersebut maka perlulah dilaksanakan

praktek budidaya pakan alami ini agar mahasiswa lebih mengenal cara penetasan telur kista

artemia.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan praktikum ini adalah untuk mengamati proses terjadinya penetasan kista artemia.

Manfaat praktikum ini adalah mengetahui terjadinya penetasan kista artemia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Bougis (2008) klasifikasi Kista Artemia adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia.
Phylum : Arthropoda
Class : Branchiopoda
Order : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Kista
Spesies : Kista artemia
Gambar 2. Kista artemia
(Sumber: Dok. Pribadi, 2013)

Kista merupakan tempat atau telur dari Artemia yang berbentuk bulat kecil dan berwarna

coklat. Diameternya bervariasi antara 224,7-267,0 mikrometer (µm) dan beratnya rata-rata 1,885

mikrorogram (µg). Secara anatomi, susunan kista Artemia terdiri dari dua lapisan yaitu korion

dan selaput embrio. Selaput ini adalah semacam membran atau selaput yang membungkus embrio

(Harefa, 2005).

cangkang artemia terdiri dari lipoprotein yang mengandung banyak hematin (semacam

hemoglobin). Senyawa ini ternyata dapat di larutkan oleh bahan-bahan oksidator yaitu senyawa

hipoklorit, baik berupa NaOCl (natrium hipoklorit) maupun Ca(OCl)2. Kaporit ini selain berfungsi

sebagai pendekap kista artemia, juga berfungsi sebagai disinfektan. Klorin bebas yang terdapat

pada kaporit di dalam air akan bereaksi menjadi bentuk hypochlorous dan asam hipoklorit. Klorin

bebas dan hypochlorous inilah yang berfungsi sebagai disinfektan. Beberapa manfaat dekapsulasi

terhadap kista artemia, seperti: nauplius bersih dari cangkang kista dan kista yang tidak menetas,

telur akan bebas dari hama, nauplius Artemia akan lebih mudah lepas dari cangkangnya karena

cangkang lebih tipis dan telur yang telah menetas dapat langsung digunakan untuk makanan

(Mudjiman, 2004).

Kista Artemia yang ditetaskan pada salinitas 15-35 ppt akan menetas dalam waktu 24-36

jam. Larva Artemia yang baru menetas dikenal dengan nauplius. Nauplius dalam pertumbuhanya
mengalami 15 kali perubahan bentuk. Masing-masing perubahan merupakan satu tingkatan yang

disebut instar (Diana Chilmawati, 2007).

Penetasan kista artemia dapat di lakukan dengan cara langsung atau non-dekapsulasi dan

dekapsulasi. Pada cara non-dekapsulasi kista artemia hanya di rendam pada air tawar selama 15

menit. Perendaman dengan air tawar tersebut bertujuan untuk melunakkan kista artemia.

Sedangkan pada dekapsulasi selain di rendam dengan air tawar kista artemia juga di rendam

dengan larutan klorin. Dekapsulasi merupakan proses penipisan/pembersihan cangkang Artemia

dengan mengunakan bahan dekapsulan yaitu berupa kaporit (Ca(OCl)2). Bahan dekapsulan ini

bersifat desinfektan, sehingga selain membersihkan kiste Artemia dari kotoran, juga akan

membersihkannya dari bakteri pembawa bibit penyakit. Awal hidup Artemia dimulai dari saat

menetasnya kista atau telur. Setelah 15 - 20 jam pada suhu 25° C, kista akan

menetas manjadi embrio. Pada fase ini, embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian

berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna

orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan

makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas

mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini Artemia akan mulai

makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya

Artemia tidak memilih jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia di air

dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa

dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada

kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian

biomasnya akan mencapi 500 kali dibandingakan biomas pada fase naupli (Purwakusuma, 2008).
Pertama kali menetas larva kista Artemia disebut Instar I. Nauplius stadia I (instar I) ukuran

400 mikron. Lebar 170 mikron dan berat 15 mikrogram, berwarna orange kecoklatan. Setelah 24

jam menetas, naupli akan berubah menjadi instar II. Gnatobasen sudah berbulu, bermulut, terdapat

saluran pencernaan dan dubur. Tingkatan selanjutnya, pada kanan dan kiri mata nauplius

terbentuksepasang mata majemuk. Bagian samping badanya mulai tumbuh tunas-tunas

kaki, setelah instar XV kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang. Nauplius menjadi Artemia

dewasa (proses instar I-XV) antara 1-3 minggu. Pada tiap tahapan perubahan instar nauplius

mengalami moulting. Artemia dewasa memiliki panjang 8-10 mm ditandai dengan terlihat jelas

tangkai mata pada kedua sisi bagian kepala, antena berfungsi untuk sensori. Pada jenis jantan

antenna berubah manjadi alat penjepit (muscular grasper). Sepasang penis terdapat pada bagian

belakang tubuh. Pada jenisbetina antenna mengalami penyusutan (Diana Chilmawati,

2007).
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum penetasan cysta artemia ini dilaksanakan pada hari sabtu dan minggu, tanggal

25 dan 26 Mei 2013 bertempat di Laboratorium Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Haluoleo. Kendari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini, dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Alat Dan Bahan Beserta Kegunaannya.


No. Alat dan Bahan Kegunaan
A. Alat
- Mikroskop Mengamati sel S.costatum
- Kertas saring Menyaring air
- Kapas Menyaring air
- Corong Menyaring air
- Pipet tetes Mengambil sampel
- Kertas label Menandai perlakuan
- Kaca penutup Penutup kaca preparat
- Kaca preparat Tempat objek yang akan diamati
- Blower Sumber aerasi
- Autoclave Pensterilan air
- Botol akua 1,5 liter Wadah kultur
- Biker Wadah air
- Hand refractometer Pengukur salinitas
B. Bahan
- Artemia salina Bahan amatan
- Air laut Media amatan
- Aquades Mencuci kaca preparat dan
penutup

3.3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja pada praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Menyaring air laut yang akan digunakan dan mensterilkannya di autoclave.

2. Menyiapkan botol aqua yang memiliki daya tampung 1,5 liter air.

3. Memotong botol aqua pada bagian bawahnya dan dibersihkan dengan air bersih dan dibersihkan

dengan air laut.

4. Menimbang cysta Artemia sebanyak 1 gram untuk ditetaskan. Dan diamati keadaan telur sebelum

terhidrolisis.

5. Menyediakan gelas beker untuk tempat telur Artemia sp.


6. Mengisi air dengan air tawar dan direndam selama 1 jam, setelah itu tiriskan airnya sampai kering

dan kemudian diberi air laut dan dimasukkan kedalam botol akua yang sudah dipotong tadi,

kemudian dilakukan pengamatan telur setelah dilakukan perendaman.

7. Memasukkan air kedalam botol dengan jumlah air laut 1 liter dan diberi aerasi.

8. Mengamati dibawah mikroskop di setiap perkembangan selama selang 2 jam dan mencatat hasil

yang di peroleh.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan pada praktikum ini dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut.

Tabel 4. Hasil Pengamatan Praktikum Penetasan Kista Artemia


N0 Hari/ Tanggal Gambar Keterangn
Jam
pengamatan
1. Sabtu/ sebelum di rendam
25-5-2013 / dengan air tawar
Pukul 02.30

2. Sabtu/ Setelah direndam


25-5-2013 / dengan air tawar
Pukul 03.30 selama 1 jam
3. Sabtu/ Tahap perendaman
25-5-2013 / dengan air laut selama
Pukul 05.30 1 jam

4. Sabtu/ Tahap pembelahan


25-5-2013 / kista Artemia sp.
Pukul 07.00
malam
5. Sabtu/ Memasuki stadia
25-5-2013 / payung.
Pukul 08.00
malam

6. Sabtu/ Tahap setelah


25-5-2013 / penetasan kista
Pukul 10.00 Artemia sp.
malam

7. Sabtu/ Memasuki fase


25-5-2013 / payung
Pukul 12.00
malam

8. Minggu/ Fase payung


26-5-2013 /
Pukul 02.00
malam
9. Minggu/ Mulai berenang aktif
26-5-2013 /
Pukul 04.00
malam

10. Minggu/ Cysta artemia yang


26-5-2013 / masih membelah
Pukul 06.00 pagi

11. Minggu/ Telur yang masih


26-5-2013 / membelah dan akan
Pukul 08.00 pagi memasuki fase
payung
12. Minggu/ Nauplius artemia yang
26-5-2013 / belum aktif bergerak
Pukul 10.00 pagi

13. Minggu/ Nauplius artemia yang


26-5-2013 / mulai aktif berenang
Pukul 12.00 dan warna tubuhnya
siang masih seperti saat
nauplius

10. Minggu/ Nauplius artemia yang


26-5-2013/ aktif bergerak.
Pukul 02.00
siang
4.2. Pembahasan

Penetasan Kista Artemia tidak terlepas oleh pengaruh faktor lingkungan dalam hal ini

kualitas air yang sangat menunjang dalam proses penetasan Kista Artemia yakni suhu, kadar

garam, kepadatan Kista, cahaya dan aerasi. garam optimal untuk penetasan adalah antara 5 – 35

ppt, namun untuk keperluan praktis biasanya digunakan air laut (kadar garam antara 25–35 ppt)

Berdasarkan hasil Pengamatan kista artemia direndam kedalam air tawar selama 1 jam

untuk melakukan hidrasi kista artemia, setelah itu telur kista artemi dipindahkan kewadah air laut

untu melakukan proses penetsan dangan mengunkan air rasi. Pada pengamatan yang diperoleh

pada pukul 02.30 WITA dari masing-masing metode yang dilakukan tidak ditemukannya artemia,

dalam artian bahwa kista artemia yang ditebar dalam wadah penetasan belum mengalami

penetasan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chumadi (1992) bahwa dalam menetaskan kista

artemia ada beberapa tahapan yang harus dilakukan antara lain adalah memantau proses penetasan

kista artemia. Kista artemia yang ditetaskan dalam wadah budidaya berbentuk kerucut dan bening

akan sangat mudah untuk memantau proses penetasannya. Proses penetasan artemia akan

berlangsung selama 24-48 jam.

Pada pengamatan awal (I) terlihat Kista Artemia mengalami perubahan bentuk dari bulat

tidak beraturan menjadi bulat penuh pasca proses hidrasi (perendaman) hal ini disebabkan oleh

adanya masukan (input) partikel air kedalam Kista Artemia sehingga bentuk Kista menjadi

sempurna (bulat penuh).

Berdasarkan hasil pengamatan ke-2 terlihat Kista Artemia, menetas setelah 21-48 jam

(masa inkubasi). dari pengamatan awal hingga akhir perubahan yang terjadi pada Kista Artemia

dimulai dari telur, stadia payung hingga stadia nauplii (Instar 1). secara kasat mata Artemia yang

sudah menetas dapat diketahui secara sederhana yakni dengan melihat perubahan warna di media
penetasan, sedangkan Artemia yang belum menetas pada umumnya berwarna cokelat muda, akan

tetapi setelah menetas warna media berubah menjadi oranye. Warna oranye belum menjamin

Artemia sudah menetas sempurna, oleh karena itu untuk meyakinkan bahwa Artemia sudah

menetas secara sempurna disamping melihat perubahan warna juga dengan mengambil contoh

Artemia dengan menggunakan beaker glass. Jika seluruh nauplius Artemia sudah berenang bebas

maka itu menunjukkan penetasan selesai. Akan tetapi jika masih banyak yang terbungkus

membran, maka harus ditunggu 1-2 jam agar semua Artemia menetas secara sempurna.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:

1. Larva artemia yang baru menetas dikenal dengan nauplius.


2. Antena berfungsi untuk sensori. Pada jenis jantan antena berubah menjadi alat penjepit (muscular

grasper), sepasang penis terdapat pada bagian belakang tubuh.

3. Dalam penetasan Kista Artemia tidak terlepas oleh pengaruh faktor lingkungan dalam hal ini

kualitas air yang sangat menunjang dalam proses penetasan Kista Artemia yakni suhu, kadar

garam, kepadatan Kista, cahaya dan aerasi.

B. Saran

Pengamatan budidaya pakan alami di atas juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan

misalnya kandungan oksigen terlarut melalui aerasi.

DAFTAR PUSTAKA

iana chilmawati, 2007. Pembudidayaan Artemia Untuk Pakan Udang dan Ikan. Penebar Swadaya:Jakarta.
arefa, 2005. Laporan Kegiatan Kultur Kopepoda dan Artemia dengan Pakan Fermentasi, Dirjen perikanan BBL
Lampung.
aryati. 2001. Percobaan Penggunaan Beberapa Macam Komposisi Media Terhadap Pertumbuhan Populasi
Monokultur Skeletonema costatum Greville. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Peternakan
dan Perikanan. UNDIP Semarang.
Mudjamin, A. 2007. Laporan Hasil Latihan Budidaya Artemia. Dinas Perikanan Daerah Propinsi Jatim
Purwakusuma, W. 2008. Kista Artemia
urwakusuma, W. 2008. Artemia Salina. (http://www.o fish.com/pakanIkan/Artemia.php). Diakses pada tanggal
25 Mei 2013.

LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA PAKAN ALAMI
(Penetasan Telur Kista Artemia)
Oleh

NAMA : ALFIN
STAMBUK : I1A2 11 030
PRODI : BUDIDAYA PERAIRAN
KELOMPOK : II (DUA)
ASISTEN : ERIKA ISMAYANI, S.Si

FAKULTAS PERIKANAN DAN IL MU KELAUTAN


UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013

Anda mungkin juga menyukai