Anda di halaman 1dari 13

PEMERINTAH KOTA BANDA ACEH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA


Jl. Soekarno-Hatta, Banda Raya, Banda Aceh (23238)
Telp./Faks. (0651) 43097/ 43095 Email: rsum@bandaacehkota.go.id
Website: http://rsum.bandaacehkota.go.id

KEPUTUSAN
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA
KOTA BANDA ACEH
NOMOR :
/TU.K/
/
/2015
TENTANG
PENERAPAN KEWASPADAAN ISOLASI
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA KOTA BANDA ACEH,

Menimbang

: a. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan di RSUD Meuraxa,


maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan yang profesional dan
bermutu tinggi dengan mengutamakan keselamatan dan pelayanan yang
berfokus kepada pasien;
b. bahwa pelayanan pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan
salah satu bentuk pelayanan di RSUD Meuraxa yang mendukung
pelayanan yang aman dan bermutu tinggi yang memberikan
perlindungan dari resiko infeksi terkait dengan pelayanan kesehatan;
c. bahwa penerapan kewaspadaan isolasi merupakan pilar utama dalam
pelayanan pencegahan dan pengendalian infeksi guna memutus rantai
penularan infeksi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a, b, dan c maka
perlu membentuk Peraturan Direktur RSUD Meuraxa tentang Kebijakan
Penerapan Kewaspadaan Isolasi di RSUD Meuraxa

Mengingat

: 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang
Standar Pelayanan Rumah Sakit;
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204 / Menkes /
SK / X/ 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1087/Menkes/SK/VIII/2010 tentang
Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270/Menkes/2007 tentang
Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit dan Fasiltas Pelayanan Kesehatan Lainnya
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 382/Menkes/2007 tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
Fasiltas Pelayanan Kesehatan Lainnya
9. SE Dirjen Bina Yanmed No. HK.03.01/III/3744/08 tentang Pembentukan
Komite PPI RS dan Tim PPI RS
10. SK Dirut RSUD Meuraxa No. PM.00.02/II/19/2011 tentang Pembentukan

Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) di


RSUD Meuraxa
MEMUTUSKAN :
Menetapka
n

: KEPUTUSAN DIREKTUR RSUD MEURAXA TENTANG PENERAPAN


KEWASPADAAN ISOLASI DI RSUD MEURAXA

Kesatu

: Penerapan Kewaspadaan Isolasi di RSUD Meuraxa sebagaimana yang


dimaksud tercantum dalam Lampiran Keputusan Direktur RSUD Meuraxa ini.

Kedua

: Penerapan Kewaspadaan Isolasi di RSUD Meuraxa sebagaimana yang


dimaksud dalam diktum kesatu merupakan pedoman bagi petugas, pasien,
dan masyarakat yang berada di lingkungan RSUD Meuraxa dalam
melaksanakan upaya-upaya meminimalisasi resiko infeksi terkait dengan
pelayanan kesehatan.

Ketiga

: Direktur rumah sakit bertanggung jawab penuh


kewaspadaan isolasi di RSUD Meuraxa.

Keempat

Kelima

terhadap penerapan

Pelaksanaan Penerapan Kewaspadaan Isolasi di RSUD Meuraxa harus


dilakukan oleh seluruh sumber daya manusia (SDM) yang memberikan
pelayanan kepada pasien di RSUD Meuraxa.
: Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari
terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Banda Aceh


Pada tanggal :
-------------------------------------------------Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa
Kota Banda Aceh
Direktur,

Dr. dr. Syahrul, Sp. S-K


Pembina Utama Muda
NIP. 19620202 198903 1 001

LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR
RSUD MEURAXA
NOMOR :
TENTANG
KEBIJAKAN PENERAPAN
KEWASPADAAN ISOLASI
PENERAPAN KEWASPADAAN ISOLASI
DI RSUD MEURAXA
I.

KEBIJAKAN UMUM
A. Kewaspadaan isolasi diterapkan untuk mengurangi risiko infeksi penyakit menular pada
petugas kesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun yang tidak diketahui.
B. Dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit setiap petugas harus menerapkan
kewaspadaan isolasi yang terdiri dari dua lapis yaitu kewaspadaan standar dan kewaspdaan
berdasarkan transmisi.
C. Kewaspadaan Isolasi Kewaspadaan Isolasi merupakan kombinasi dari :

1. Standar Precaution/ Kewaspadaan Standar, gabungan dari: Universal Precautions/


Kewaspadaan Universal dengan Body Substance Isolation/ Isolasi substansi/ cairan
tubuh. Berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau terbukti infeksi, setiap waktu di
semua unit pelayanan kesehatan

2. Transmission-based precautions/ Kewaspadaan berbasis transmisi, dipakai bila rute


transmisi tidak dapat diputus sempurna hanya Standar precautions.
D. Kewaspadaan standar harus diterapkan secara rutin dalam perawatan di rumah sakit yang
meliputi : kebersihan tangan, penggunaan APD, pemrosesan peralatan perawatan pasien,
pengendalian lingkungan, penatalaksanaan linen, pengelolaan limbah, kesehatan karyawan,
penempatan pasien, hygiene respirasi (etika batuk), praktek menyuntik yang aman dan
praktek untuk lumbal punksi.
E. Kewaspadaan berdasarkan transmisi diterapkan sebagai tambahan kewaspadaan standar
pada kasus kasus yang mempunyai risiko penularan melalui kontak, droplet, airborne.
II.

KEBIJAKAN KHUSUS

A. Pengkajian Pasien
Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) dan perawat melakukan pengkajian terhadap
pasien mulai masuk pasien masuk dan setiap hari selama pasien dirawat untuk menentukan
tempat perawatan atau teknik isolasi yang dibutuhkan pasien. Kewaspadaan isolasi yang
benar harus sesegera mungkin diterapkan jika diketahui bahwa pasien adalah penderita atau
suspek penderita penyakit menular.

B. Penempatan pasien
1. Keputusan penempatan pasien dapat ditentukan oleh Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP) dan case manager, atau atas rekomendasi Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS).
2. Pasien dengan penyakit non infeksius dapat ditempatkan secara langsung ke ruangan
perawatan sesuai dengan kelas perawatan dan jenis penyakit pasien tersebut dengan
penerapan kewaspadaan standar diikuti kewaspadaan berbasis transmisi kontak dan
droplet sementara menunggu hasil uji skrining MRSA untuk memastikan status
infeksi/kolonisasi MRSA pada pasien tersebut:

a. Bagi pasien yang tidak memiliki fasilitas perawatan kamar sendiri terutama pasien
Kelas 1, 2 dan 3, maka pasien bisa ditempatkan satu ruangan dengan pasien lainnya
dengan jarak antara tempat tidur minimal 1,5 meter dengan tempat tidur pasien
lainnya diberi sekat/tabir pembatas dan jika hanya ada satu kamar mandi maka setiap
pasien tersebut menggunakan kamar mandi segera didisinfeksi setelah digunakan.

b. Terapkan 5 momen kebersihan tangan selama merawat pasien, gunakan sabun dan
air atau handrub berbasis alkohol sesuai dengan tingkat noda/paparan pada tangan.

c. Lakukan dekontaminasi/disinfeksi peralatan perawatan pasien antara penggunaan


dengan pasien lain misalnya tensimeter, termometer, stetoskop, dan oksimetri nadi
menggunakan larutan klorin 0,5%.

d. Bagi pengunjung tidak disediakan APD tetapi dianjurkan untuk melakukan cuci tangan
setelah mengunjungi pasien
3. Bila didapatkan hasil MRSA positif maka pemberlakukan kewaspadaan standar diikuti
dengan peberlakuan kewaspadaan berdasarkan transmisi kontak dan droplet tetap
dipertahankan, dan pasien diberikan terapi MRSA sampai didapatkan hasil pemeriksaan
MRSA negatif. Sedangkan bila didapatkan hasil uji MRSA negatif dan pasien bukan
penderita penyakit infeksius maka cukup dengan pemberlakukan kewaspadaan standar
saja.
4. Terhadap pasien yang diduga atau diketahui menderita penyakit infeksius maka
pemberlakuan teknik isolasi dilaksanakan melalui penerapan kewaspadaan standar diikuti
dengan kewaspadaan berbasis transimisi menurut pola transmisi penyakit infeksi pasien
tersebut (kewaspadaan kontak, kewaspadaan droplet dan kewaspadaan airborne).
5. Pemisahan pasien pada Ruangan Isolasi Khusus diberlakukan terhadap pasien dengan
airborne disease, pasien dengan New Emerging dan Re-emerging Disease, SARS, flu
burung, flu babi, MERS, dan sebagainya, pasien dengan penyakit tropik infeksi dan
pasien dengan imunocompromised. Untuk itu RSUD Meuraxa telah menyediakan
Ruangan Isolasi di beberapa lokasi untuk keperluan penempatan pasien yang
membutuhkan perlakukan pemisahan (isolasi) sebagai berikut:
a. Ruangan Isolasi Tuberkulosis Paru di Irna Non Bedah II Ruangan Rawat Inap Paru
b. Ruangan Isolasi Penyakit Airborne bukan tuberkulosis di Irna Non Bedah Penyakit
Dalam (Dewasa) dan Irna Kebidanan dan Anak (Pediatrik)
c. Ruangan Rawat Inap PETRI bagi pasien dengan penyakit tropik infeksi
d. Ruangan Isolasi Penyakit Rabies bagi pasien dengan penyakit rabies yang berlokasi
di gedung rawat inap PETRI.
e. Ruangan Isolasi Protektif bagi pasien dengan immunocompromised. Ruangan
bertekanan udara tekanan udara positif di Irna Non Bedah Penyakit Dalam (Dewasa)
dan Irna Kebidanan dan Anak (Pediatrik).
f.

Ruangan Perinatologi level I, II, dan III bagi pasien neonatus atau bayi yang rentan.

6. Sebelum pasien ditransportasi ke ruangan isolasi khusus, DPJP harus


mengkomunikasikan kepada petugas ruangan isolasi terlebih dahulu untuk kesiapan
ruangan isolasi untuk menerima pasien baru.

C. Keputusan Isolasi
1. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) dan case manager, serta perawat
pencegahan dan pengendalian infeksi (IPCN) memiliki kewenangan dalam menentukan
pemberlakuan isolasi terhadap pasien.
2. Setiap petugas kesehatan yang bekerja di ruangan perawatan pasien berkewajiban
mematuhi ketentuan isolasi dan melaporkan adanya pelanggaran yang ditemukan.
Pelanggaran yang dilakukan berulangkali harus dilaporkan kepada kepala ruangan
perawatan.
3. Pasien, keluarga dan pengunjung pasien harus mematuhi ketentuan isolasi. Dokter,
perawat dan petugas kesehatan yang bekerja di ruangan perawatan pasien berkewajiban
mendidik pasien, keluarga dan pengunjung pasien untuk mematuhi ketentuan isolasi.
Kegiatan pendidikan kesehatan tersebut dapat menggunakan media komunikasi dan
informasi audio dan visual dari Instalasi Promkes dan Pemasaran, atau melalui media
leaflet/brosur. Kegiatan pendidikan harus didokumentasikan dengan seksama.

D. Jenis Kewaspadaan Isolasi


1. Kewaspadaan Standar
Semua pasien harus diberlakukan kewaspadaan standar, baik kemungkinan atau terbukti
infeksi, setiap waktu dan menjadi rutinitas di semua unit pelayanan kesehatan. Hal ini
karena segala bentuk darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi (kecuali keringat),
perlukaan kulit, dan membran mukosa merupakan sarana pembawa kuman penyebab
penyakit. Kewaspadaan standar ini diterapkan dengan asumsi bahwa setiap pasien
berpotensi terinfeksi atau memiliki kolonisasi organisme yang dapat ditularkan.

Kewaspadaan standar ini meliputi:


a. Kebersihan tangan (Hand hygiene) dan Alat Pelindung: Gunakan sarung tangan, gaun
pelindung, masker, pelindung mata, atau pelindung wajah sesuai dengan jenis
paparan yang akan dihadapi dan lakukan praktek penyuntikan yang aman.
b. Hygiene Pernapasan/Etika Batuk: Pasien dan pengunjung harus diajarkan untuk
menutup mulut dan hidung dengan tissu pada saat batuk atau bersin, membuang
tissu bekas pakai tersebut pada tempat sampah dan melakukan cuci tangan. Jika tak
ada tissu gunakan lengan atas bagian dalam sebagai penutup hidung dan mulut
ketika batuk/bersin.
Selanjutnya, pasien yang mempunyai gejala batuk atau gejala penyakit pernapasan
lainnya diinstruksikan untuk memakai masker bedah sampai dinyatakan sembuh
secara medis. Pasien harus diberi jarak minimal 1 meter dengan pasien lainnya,
termasuk di ruang tunggu pemeriksaan atau ruang rawat jalan.
c. Prosedur Punksi Lumbal: petugas yang melakukan punksi atau injeksi ke spinal atau
epidural/lumbal atau pemasangan kateter epidural diharuskan memakai masker
bedah.
d. Penyuntikan yang Aman:

1) Gunakan teknik aseptik untuk mencegah kontaminasi pada alat injeksi yang steril.
2) Gunakan alat injeksi steril sekali pakai (single used). Jangan memberikan obat
dengan satu alat suntik yang dipakai bersama untuk beberapa pasien, walaupun
jarum suntik (needle) sudah diganti dengan yang baru atau bahkan jika pemberian
melalui injection port atau melalui selang/botol infus.

3) Kateter Intra Vena (IV Cateter), cairan infus, Three Way Stopcock, Extension
Tube, Selang Infus, dan Konektor hanya untuk satu orang pasien, tidak dapat
dipakai ulang dan harus segera dibuang ke tempat sampah infeksius setelah
digunakan. Alat suntik, jarum suntik (needle) atau kateter dinyatakan
terkontaminasi jika sudah pernah tersambung atau ditusukkan pada injection port,
selang infus atau botol infus.

4) Utamakan pemberian obat injeksi dalam vial dosis sekali pakai.


5) Jangan gunakan obat vial/ampul sekali pakai untuk beberapa pasien secara
bersama-sama.

6) Sisa obat dalam vial/ampul sekali pakai tidak boleh digunakan lagi.
7) Pencampuran obat-obatan injeksi dalam satu alat suntik harus dihindari.
8) Pemberian beberapa macam obat injeksi untuk satu pasien, gunakan satu alat
suntik steril yang baru untuk satu macam obat yang akan diberikan.

9) Jika memang ada kebutuhan bahwa satu vial obat untuk beberapa kali pemberian
terhadap satu pasien, gunakan alat suntik yang baru dalam setiap pengambilan
obat.

10) Obat-obat dalam vial multi dosis harus disimpan sesuai dengan ketentuan yang
direkomendasikan pada kemasan oleh pabrik pembuat obat.

11) Obat-batan harus segera dibuang jika terjadi perubahan fisik/warna obat atau
sterilitas-nya diragukan.

12) Cairan infus bekas pakai tidak boleh digunakan untuk pasien lainnya.
2. Kewaspadaan berdasarkan transmisi
Jika dengan kewaspadaan standar saja diperkirakan tak cukup untuk memutus rute
transmisi infeksi maka diperlukan penerapan kewaspadaan berdasarkan transmisi, yang
terdiri dari: kewaspadaan kontak, kewaspadaan droplet, dan/atau kewaspadaan airborne,
sebagai kombinasi kewaspadaan standar.
Kewaspadaan berbasis transmisi dilaksanakan bila dijumpai pasien mengalami gejala
atau tanda penyakit infeksi menular. Walaupun untuk mendapatkan hasil tes laboratorium
membutuhkan waktu sedikitnya 2 sampai 3 hari, kewaspadaan berdasarkan transmisi
sudah harus diterapkan jika dijumpai riwayat gejala klinis dan patogenesis penyakit
mengarah kepada penyakit infeksi menular. Tidak mungkin dalam waktu singkat untuk
mengidentifikasi semua pasien yang membutuhkan Kewaspadaan Berbasis Transmisi

sehingga melalui gejala klinis tertentu dan kondisi pasien yang berpotensi membawa
risiko penyebaran infeksi sudah cukup untuk menjamin secara empiris keputusan
penerapan kewaspadaan berbasis transmisi sementara menunggu didapatkannya hasil
tes untuk konfirmasi.
Semua hasil laboratorium mikrobiologi telah disertai dengan cap rekomendasi Komite/Tim
PPIRS mengenai penerapan Kewaspadaan Berbasis Transmisi yang harus dilaksanakan
oleh unit kerja tempat perawatan pasien. Petugas kesehatan yang merawat pasien harus
melaksanakan teknik isolasi berdasarkan pola transmisi kuman sesuai dengan
rekomendasi Komite/Tim PPIRS tersebut.
a. Kewaspadaan kontak
Kewaspadaan kontak diterapkan bila mikroorganisme berpotensi untuk menular
melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan pasien lainnya atau lingkungan.
Kewaspadaan kontak juga diterapkan pada pasien yang menderita luka dengan
drainase cairan luka berlebihan, inkontinensia fekal, atau pengeluaran cairan tubuh
lain yang dapat meningkatkan kontaminasi dan resiko penyebaran penyakit.

1) Diutamakan pasien ditempatkan pada kamar tersendiri. Bila tidak memungkinkan


kamar tersendiri dimana pada kondisi pasien satu ruangan bersama dengan
pasien lain, maka jarak antar tempat tidur harus minimal 1 meter (3 kaki) dan
diberi sekat/skerm pembatas.

2) Bila pasien pada ruangan tersendiri pasang peringatan Kewaspadaan Kontak


pada pintu masuk kamar, sedangkan bila pasien satu ruangan bersama dengan
pasien lain maka peringatan Kewaspadaan Kontak digantungkan pada sisi
tempat tidur bagian kaki pasien. Peringatan Kewaspadaan Kontak juga
ditempelkan pada catatan medik pasien.

3) Petugas yang merawat pasien harus menggunakan gaun pelindung kedap


air/apron plastik dan sarung tangan bila melakukan kegiatan yang bersentuhan
langsung dengan pasien atau dengan benda atau lingkungan yang
terkontaminasi. Gaun dan sarung tangan dipakai saat memasuki ruangan dan
dilepaskan sebelum meninggalkan ruangan pasien dekat pintu keluar atau di ante
room. Lakukan kebersihan tangan pada saat masuk dan keluar kamar pasien dan
setelah melepaskan APD, mengikuti 5 momen kebersihan tangan.

4) Petugas maupun pengunjung tidak perlu memakai gaun pelindung dan sarung
tangan bila memasuki ruangan pasien hanya untuk interaksi secara verbal.

5) Jaga pintu kamar agar selalu tertutup dan pasien selalu di dalam kamar kecuali
jika pasien harus ditransportasi ke tempat lain untuk kepentingan prosedur atau
tes diagnostik yang dipandang perlu dan tidak dapat dilakukan di dalam ruangan
pasien.
b. Kewaspadaan Droplet
Kewaspadaan droplet diterapkan bila mikroorganisme berpotensi menular melalui
kontak jarak dekat antara saluran pernapasan atau membran mukosa dengan sekresi
saluran napas pasien. Beberapa agen infeksius yang dapat menular melalui droplet
adalah B. Pertussis, influenza, adenovirus, rhinovirus, N. meningitides, dan
streptococcus Group A.
1)

Diutamakan pasien ditempatkan pada kamar tersendiri. Bila tidak


memungkinkan kamar tersendiri dimana pada kondisi pasien satu ruangan
bersama dengan pasien lain, maka jarak antar tempat tidur harus minimal 1,5
dan diberi sekat pembatas.

2)

Tidak diperlukan ruangan bertekanan negatif.

3)

Bila pasien pada ruangan tersendiri pasang peringatan Kewaspadaan


Droplet pada pintu masuk kamar, sedangkan bila pasien satu ruangan
bersama dengan pasien lain maka peringatan Kewaspadaan Droplet
digantungkan pada sisi tempat tidur bagian kaki pasien. Peringatan
Kewaspadaan Droplet juga ditempelkan pada catatan medik pasien.

4)

Petugas dan pengunjung harus menggunakan masker untuk segala kegiatan


pelayanan kepada pasien. Lakukan kebersihan tangan pada saat masuk dan
keluar kamar pasien dan setelah melepaskan APD, mengikuti 5 momen
kebersihan tangan.

5)

Jaga pintu kamar agar selalu tertutup dan pasien selalu di dalam kamar dan
jika pasien harus ditransportasi ke tempat lain untuk kepentingan prosedur
atau tes diagnostik maka pasien dipakaikan masker bedah bila memungkinkan
dan mematuhi standar etika batuk.

c. Kewaspadaan Airborne
Kewaspadaan airborne digunakan terhadap mikroorganisme yang dapat
menyebarkan infeksi dalam jarak yang jauh terbawa oleh udara. Terhadap pasien
dengan airborne disease diberlakukan teknik pemisahan dengan penempatan pada
ruangan isolasi bertekanan negatif:

Memiliki sistem ventilasi udara sendiri terpisah dengan sistem air conditioner
sentral.

Ruangan bertekanan udara negatif, memiliki sistem ventilasi campuran


dilengkapi dengan exhaust fan yang menjamin pertukaran udara 6 sampai 12
kali per jam.

Memiliki saluran pengeluaran udara ke lingkungan yang memadai atau


memiliki sistem penyaringan udara yang efisien sebelum udara disirkulasikan
ke ruangan lain dengan exhauster.

Ventilasi tidak mengarah secara langsung ke ruangan perawatan lainnya,


tetapi mengarah ke area bebas yang mendapatkan cahaya matahari dan
berjarak minimal 5 meter dibatasi oleh area terbuka yang cukup mendapatkan
sinar matahari dengan unit perawatan pasien lainnya.

Pintu harus selalu tertutup dan pasien harus selalu berada di dalam ruangan.

Harus dilakukan pemantauan tekanan udara secara berkala dan terdokumentasi.

Dalam Ruangan Isolasi Airborne bertekanan udara negatif diutamakan pasien


ditempatkan pada kamar tersendiri atau memenuhi persyaratan berikut:

1) Pasien dengan penyakit airborne dalam kategori New Emerging dan Re-emerging
Disease, seperti SARS, Flu Burung, Flu Babi dan MERS ditempatkan di Ruangan
Isolasi Airborne Non TB di Irna Non Bedah bagi pasien dewasa dan Ruangan
Isolasi Airborne non TB di Irna Kebidanan dan Anak bagi pasien pediatrik.
a) Pasien dalam status suspect harus ditempatkan dalam kamar tersendiri
sampai diagnosa definitif didapatkan dari pemeriksaan laboratorium
b) Bila terbukti positif, pasien dapat ditempatkan di dalam satu kamar bersama
pasien lain dengan kasus yang sama di ruangan isolasi airborne.

2) Pasien rubeola virus [measles], dan varicella virus [chickenpox] ditempatkan di


Ruangan Isolasi Airborne Non TB di Irna Non Bedah bagi pasien dewasa dan
Ruangan Isolasi Airborne non TB di Irna Kebidanan dan Anak bagi pasien
pediatrik. Diutamakan pasien dalam kamar sendiri-sendiri dan bila tidak
memungkinan kamar tersendiri, pasien dapat ditempatkan bersama pasien lain
yang memiliki kasus yang sama.

3) Pasien TB Paru di tempatkan secara terpisah dalam 4 kategori di Ruangan Isolasi


TB Paru di Irna Non Bedah II Penyakit Paru:
a) Ruangan isolasi suspek tuberkulosis bagi pasien yang diduga menderita
tuberkulosis paru (Suspevt TB Paru) dengan fasilitas masing-masing pasien
ditempatkan pada kamar tersendiri sampai didapatkan hasil pemeriksaan BTA
3 kali berturut-turut. Bila BTA negatif pasien bisa ditempatkan sesuai dengan
kelas perawatannya atau bergabung bersama pasien lainnya dengan BTA
negatif. Bila BTA positif maka pasien ditempatkan di ruangan isolasi BTA
positif. Ruangan isolasi ini memiliki sistem ventilasi udara sendiri terpisah
dengan sistem air conditioner sentral. Ruangan bertekanan udara negatif,
memiliki sistem ventilasi campuran dilengkapi dengan exhaust fan yang
menjamin pertukaran udara 12 kali perjam. Ventilasi tidak mengarah secara
langsung ke ruangan perawatan lainnya, tetapi mengarah ke area bebas yang
mendapatkan cahaya matahari dan berjarak minimal 5 meter dengan unit
perawatan pasien lainnya. Pasien ditempatkan pada
b) Ruangan isolasi BTA positif bagi pasien tuberkulosis paru dengan hasil
pemeriksaan BTA positif. Diutamakan pasien dalam kamar tersendiri atau bila

tak memungkinkan maka pasien dapat di tempatkan satu kamar bersama


dengan penderita TB BTA positif lainnya. Ruangan Memiliki sistem ventilasi
udara sendiri terpisah dengan sistem air conditioner sentral. Memiliki tekanan
udara negatif dengan sistem ventilasi campuran dilengkapi dengan exhaust
fan yang menjamin pertukaran udara 12 kali per jam. Ventilasi tidak mengarah
secara langsung ke ruangan perawatan lainnya, tetapi mengarah ke area
bebas yang mendapatkan cahaya matahari dan berjarak minimal 5 meter
dengan unit perawatan pasien lainnya.
c) Ruangan Isolasi Tuberkulosis Resistent Multi Obat/MDR TB bagi penderita
tuberkulosis dengan MDR. Diutamakan pasien dalam kamar tersendiri atau
bila tak memungkinkan maka pasien dapat di tempatkan satu kamar bersama
dengan penderita TB dengan MDR lainnya. Ruangan Memiliki sistem ventilasi
udara sendiri terpisah dengan sistem air conditioner sentral. Memiliki tekanan
udara negatif dengan sistem ventilasi campuran dilengkapi dengan exhaust
fan yang menjamin pertukaran udara 12 kali perjam. Ventilasi tidak mengarah
secara langsung ke ruangan perawatan lainnya, tetapi mengarah ke area
bebas yang mendapatkan cahaya matahari dan berjarak minimal 5 meter
dengan unit perawatan pasien lainnya.
d) Ruangan perawatan penderita TB Paru BTA negatif sesuai dengan kelas
jaminan/paket perawatan pasien. Diberlakukan terhadap pasien TB yang
sudah dinyatakan tidak infeksius (sudah mendapat pengobatan Obat Anti TB
secara efektif minimal 2 minggu dengan gejala klinis (seperti: batuk) membaik
dan hasil pemeriksaan BTA sputum negatif pada 2 kali pemeriksaan di hari
yang berbeda).

4) Untuk semua kasus yang dirawat di Ruangan Isolasi Airborne, pada pintu masuk
ruangan isolasi airborne perawatan pasien ditempelkan peringatan Kewaspadaan
Airborne Peringatan Kewaspadaan Airborne juga ditempelkan pada catatan
medik pasien.

5) Petugas kesehatan dan pengunjung harus memakai masker N-95, sarung tangan,
penutup kepala dan gaun lengan panjang ketika memasuki ruangan perawatan
pasien dan melepaskannya setelah keluar ruangan di ruangan ganti/ante room.
Khusus pada ruangan isolasi airborne yang merawat pasien infeksi saluran
pernapasan akut dalam kategori New Emerging dan Re-emerging Disease
diberlakukan Isolasi Ketat dimana setiap petugas yang memasuki ruangan isolasi
harus menggunakan APD lengkap. Pengunjung tidak diperkenankan memasuki
ruangan perawatan pasien.

6) Untuk semua pasien dengan airborne disease, jika pasien harus ditransportasi ke
tempat lain/dibawa ke luar ruangan maka pasien dipasangkan masker bedah bila
memungkinkan dan mematuhi standar etika batuk.

7) Jaga pintu kamar agar selalu tertutup dan pasien selalu di dalam kamar kecuali
jika harus dibawa ke tempat lain untuk prosedur atau tes diagnostik dipandang
perlu dan tidak dapat dilakukan di dalam ruangan pasien.

E. Keputusan mengakhiri perlakuan isolasi


Pemberlakuan kewaspadaan isolasi dengan kewaspadaa berbasis transmisi dapat dihentikan
atau pasien dapat dikembalikan ke tempat perawatan umum jika:

Telah didapatkan bukti melalui hasil laboratorium bahwa pasien tidak mengalami
kolonisasi ataupun infeksi penyakit menular. Untuk pasien suspek TB Paru harus
didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan BTA sputum 3 kali berturut-turut (Sewaktu
Pagi-Sewaktu)

Pasien dinyatakan sembuh secara klinis oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan
(DPJP)

Walaupun telah ada keputusan untuk mengakhiri perlakuan kewaspadaan isolasi,


kewaspadaan standar tetap diberlakukan.

F. Perawatan paska terinfeksi dan kolonisasi penyakit menular


Jika seorang pasien dengan riwayat infeksi atau kolonisasi penyakit menular yang sudah
keluar dari RSUD Meuraxa masuk kembali untuk mendapatkan perawatan (readmission)
maka terhadap pasien tersebut tetap diberlakukan penerapan kewaspadaan isolasi yang
sesuai dengan resiko penyebaran infeksi yang dialaminya sampai didapatkan bukti-bukti

secara klinis atau laboratorium yang cukup untuk keputusan mengakhiri perlakuan
kewaspadaan isolasi

G. Isolasi Protektif
Penerapan isolasi protektif membutuhkan fasilitas gedung/ ruangan khusus yang didesain
dengan sistem tekanan udara positif (+). Tidak diperkenankan adanya bunga-bungaan atau
tanaman dalam pot, baik tanaman hidup maupun replika. Tidak diperkenankan adanya buahbuahan atau sayuran ditempatkan atau disimpan dalam ruangan perawatan pasien. Ruangan
pasien dengan imunitas menurun harus memiliki fasilitas :

1. Ruang Ante-Room.
2. Tersedia fasilitas wastafel cuci tangan minimal 1 setiap ruangan
3. Tersedia handrub di setiap tempat tidur.
4. Menggunakan laminary air flow dan bertekanan positif (AC dengan HEPA filter),
dibersihkan secara periodik minimal tiap 3 bulan.

5. Mempunyai fasilitas komunikasi yang menghubungkan orang yang berada di dalam dan
di luar ruangan.

6. Tersedia kamar mandi dengan shower dan tanpa bak mandi.


Pemberlakukan isolasi protektif diutamakan terhadap pasien dengan kekurangan sistem
imunitas (imunocompromissed) akibat penyakit-penyakit atau keganasan pada sistem
hematopoetik, seperti: pasien dengan neutropenia (neutrofil < 1000 sel/mm, Leukemia,
Hemofilia, hematopoietic stem cell transplant (HSCT) dan lain-lain:

1. Petugas memakai Pakaian kerja khusus dan APD seperti topi, masker, gaun, sarung
tangan dan sandal khusus sebelum masuk ke ruang ante-room, dan tidak diperkenankan
memakai perhiasan seperti cincin, gelang dan jam tangan. Petugas yang sedang sakit
tidak boleh masuk ke ruangan pasien.

2. Pakaian pasien setelah masuk ke kamar perawatan diganti dengan baju khusus yang
disediakan rumah sakit.

3. Pengunjung dilarang masuk ruangan perawatan pasien kecuali satu orang penunggu
pasien bila dibutuhkan untuk mendampingi pasien dan tetap berada dalam ruangan
perawatan, keluar atau masuk dibenarkan hanya untuk keperluan khusus atas seizin
petugas.

4. Tidak diperkenankan siapapun baik petugas atau pengunjung yang sedang menderita
gejala demam atau infeksi lainnya masuk ke ruangan perawatan pasien.

5. Pasien yang mendapatkan perlakuan isolasi protektif harus menggunakan masker,


diutamakan masker N95 bila mampu mentoleransi ketika pasien di transportasi/dibawa
keluar ruangan.

6. Pada keadaan pasien yang memerlukan isolasi protektif dan diketahui bahwa pasien
ternyata menderita atau suspek infeksi penyakit airborne, petugas yang merawat harus
berkonsultasi dengan Tim PPI dan mendapatkan rekomendasi Komite PPI terlebih
dahulu.

7. Semua petugas dan penunggu pasien harus menggunakan APD yang sesuai dengan
persyaratan (masker bedah, gaun/apron dan sandal khusus) yang disediakan rumah
sakit. APD dipakai saat memasuki ruangan dan dilepaskan sebelum meninggalkan
ruangan pasien dekat pintu keluar atau ante room.

8. Semua petugas dan penunggu pasien harus mematuhi 5 momen kebersihan tangan
selama merawat pasien.

9. Semua peralatan yang digunakan dan masuk ke ruangan pasien harus melewati proses
dekontaminasi dengan larutan disinfektan atau UV.

10. Alat-alat tulis (pulpen, dokumen medik, surat konsul dan lain-lain) tidak diperkenankan
keluar masuk dari ruang ante-room.

H. Mengelola pengunjung pasien di Kamar Isolasi


1. Lakukan skrining terhadap pengunjung:
a. Pasang peringatan bahwa keluarga dan pengunjung yang memiliki tanda dan gejala
penyakit menular tidak diperkenankan masuk ke ruangan perawatan isolasi pasien.

b. Petugas ruangan isolasi secara aktif melakukan pemeriksaan terhadap pengunjung


yang memiliki tanda dan gejala penyakit infeksi menular.
c. Pengunjung dengan penyakit infeksi yang berpotensi menyebarkan infeksi dilarang
mengunjungi pasien sampai menjalankan pemeriksaan, diagnosis dan pengobatan
yang tepat dan secara medis dinyatakan tidak berpotensi menularkan infeksi.
d. Dalam keadaan yang tidak memungkinkan membatasi kunjungan/kehadiran anggota
keluarga pasien terutama keluarga inti pada pasien dengan kondisi kritis atau
penyakit terminal, maka jika keluarga tersebut memiliki tanda dan gejala penyakit
infeksi harus diinstruksikan menggunakan APD yang sesuai untuk mencegah potensi
pemaparan.
2. Gunakan teknik pengamanan Barrier Precautions terhadap pengunjung
Pengunjung pasien harus memakai Alat Pelindung Diri (APD) yang sama dengan yang
perlakuan kewaspadaan isolasi.

I. Pembatasan personil (Area Personil Terbatas)


1. Petugas kesehatan yang rentan dan tidak memiliki imunisasi sebaiknya tidak ikut
merawat pasien yang diketahui atau diduga menderita measles (rubeola)/gondongan,
varicella (chickenpox)/cacar air, herpes zoster, atau smallpox jika, ada petugas kesehatan
lain yang telah mendapatkan vaksinasi atau telah memiliki kekebalan aktif terhadap
penyakit tersebut di atas.
2. Dalam kondisi petugas kesehatan yang rentan harus memasuki ruangan perawatan
pasien, maka petugas kesehatan tersebut harus memakai masker N-95 dan APD lainnya
yang sesuai panduan penggunaan APD.
3. Petugas kesehatan yang dianggap telah memiliki kekebalan terhadap penyakit measles
(rubeola), rubella, influenza, atau varicella zoster harus menggunakan Alat Pelindung
Diri (APD) yang sesuai dengan potensi penularan, termasuk Masker, Sarung Tangan, dan
Gaun Panjang ketika merawat pasien yang diketahui atau diduga menderita measles,
chickenpox, mumps, atau herpes zoster.

J. Transportasi pasien isolasi


1. Pasien yang dirawat di ruangan isolasi tidak boleh meninggalkan kamar isolasi kecuali
untuk kepentingan medis (pemeriksaan atau pengobatan yang tidak memungkinkan
dilakukan di ruangan perawatannya).
2. Saat melakukan transportasi pada pasien dengan isolasi droplet atau airborne, pasien
harus dipasangkan masker (pada isolasi airborne diutamakan Masker N-95) bila pasien
mentoleransi dan menganjurkan higienis pernapasan dan etika batuk.
3. Pasien dengan luka terbuka dan lesi pada kulit harus dalam kondisi tertutup saat
transportasi.
4. Segala kantong/botol penampung cairan tubuh: NGT, drainase, urine bag, WSD dan
sebagainya harus dalam kondisi tertutup dengan baik saat transportasi.
5. Sebelum dilakukan transportasi pada pasien yang mendapat perlakukan isolasi terlebih
dahulu unit kerja tempat perawatan pasien menghubungi unit kerja penerima agar dapat
menyiapkan segala sesuatu keperluan.

K. Fasilitas dan peralatan


1. Barang-barang atau peralatan hanya dibawa ke ruangan perawatan pasien ketika hendak
digunakan saja.
2. Kertas blangko/formulir yang umumnya juga dipakai untuk semua pasien tidak boleh
disimpan dalam ruangan perawatan pasien. Untuk meminimalisasi terjadinya infeksi
silang maka patuhi 5 momen kebersihan tangan.
3. IV pump/ syringe pump dan peralatan elektronik lainnya harus dibersihkan dan
didisinfeksi dengan menggunakan klorin 0,05% atau Miliseptol setelah digunakan.
4. Benda tajam bekas pakai dibuang ke dalam Safety Box.
5. Kursi roda atau kereta dorong sesudah dipakai untuk psien yang mendapatkan perlakuan
isolasi harus segera dibersihkan oleh petugas cleaner dengan larutan disinfektan (klorin
0,05%) sebelum disimpan atau digunakan kembali.

L. Linen and Laundry

Semua linen yang telah digunakan oleh pasien dinyatakan telah terkontaminasi. Linen tidak
boleh dikibaskan. Linen yang telah dipakai dimasukkan ke dalam kantong linen kotor dengan
terlebih dahulu dimasukkan ke dalam plastik linen berwarna kuning dan bagian mulut plastik
diikat dengan kuat untuk selanjutnya diantar ke Instalasi Binatu.
Gunakan sarung tangan dan APD lainnya sesuai dengan standar dalam mengeloloa linen
kotor.

M. Urine dan Feses


Urine dan feses pasien yang mendapatkan perlakuan isolasi dapat dibuang langsung ke
toilet. Pasien harus menggunakan urinal dan bedpan masing-masing dan tidak boleh tertukar
dengan milik pasien lain. Bila pasien telah bebas dari infeksi atau kolonisasi maka urinal dan
bedpan diganti dengan yang baru. Pada pasien dengan kewaspadaan kontak, urinal, bedpan
dan urine bag bekas pakai dibuang ke tempat sampah infeksius.

N. Pembuangan Darah dan Cairan Tubuh selain Urine dan Feses


Gunakan APD yang sesuai (apron/gaun, sarung tangan, masker, dan/atau google) saat
pembuangan darah dan cairan tubuh.

O. Penanganan spesimen laboratorium


Hati-hati dalam mengambil spesimen agar tidak mengkontaminasi bagian luar wadah
penampung spesimen. Jika bagian luar wadah terkontaminasi segera dibuang ke tempat
sampah infeksius dan usahakan untuk mengambil spesmen yang baru. Bila pengambilan
spesimen baru tak memungkinkan, tutup rapat wadah penampung spesimen agar tidak bocor
dan lakukan disinfeksi bagian luar wadah penampung dengan klorin 0,05%. Selanjutnya
spesimen dibawa ke laboratorium menggunakan kontainer spesimen. Spesimen dalam
vacutainer boleh dikirim langsung dengan sistem pneumatic tube.

P. Penanganan Kontaminasi Pakaian


1. Linen yang terkontaminasi oleh cairan tubuh pasien harus dikemas dalam kantong linen
kotor dengan terlebih dahulu dibungkus dengan katong plastik warna kuning yang
tertutup rapat dan diberi label peringatan pola transmisi kuman untuk selanjutnya
diproses di Instalasi Binatu.

2. Pakaian pasien yang memiliki kutu dimasukkan ke dalam kantong plastik warna kuning
dan ditutup rapat selama 48 jam agar kutu yang ada di linen mati.

Q. Penanganan sampah
Sampah yang berasal dari kamar isolasi tidak dianggap sebagai sampah infeksius kecuali
terkontaminasi oleh cairan tubuh pasien. Sampah yang berasal dari kamar isolasi penderita
Multi-Drug Resistant Organism (MDRO) dapat disalin ke tempat sampah pada ruangan ante
room atau di ruangan perawatan pasien.

R. Isolasi pada Pasien Pediatrik


Pada beberapa kasus pediatrik memerlukan modifikasi penerapan teknik isolasi, namun
prinsip kewaspadaan standar tetap diterapkan kepada semua pasien tanpa terkecuali.

1. NICU dan Ruangan Perawatan Perinatologi


a. Neonatus yang tidak membutuhkan ruangan bertekanan negatif dapat tetap
ditempatkan dalam inkubator/crib/isolette. Tidak tersedia ruangan khusus perorangan
bagi neonatus. Bayi harus ditempatkan di area yang sebaik mungkin meminimalisasi
resiko transmisi dan pertahankan jarak minimal 1,5 meter antara inkubator satu dan
lainnya.
b. Bayi yang memiliki resiko transmisi airborne yang membutuhkan ruangan bertekanan
negatif ditempatkan sementara di ruangan tindakan yang dilengkapi sistem ventilasi
HEPA filter. Jika memungkinkan ruangan tindakan dalam waktu singkat dimodifikasi
dengan pemasangan sistem ventilasi campuar dengan exhaust fan yang menjamin
pertukaran udara 6 sampai 12 kali perjam oleh teknisi Instalasi Pemeliharaan Sarana
Non Medik atas rekomendasi Tim PPIRS. Untuk sementara segala tindakan rutin
yang dilakukan di ruangan tindakan dikerjakan di ruangan lain atau langsung di
tempat perawatan.
c. Penempatan bayi di NICU dapat dilakukan secara kohorting melalui kordinasi dengan
Tim PPIRS.

d. Peringatan kewaspadaan isolasi berdasarkan pola transmisi infeksi yang sesuai


ditempelkan/ digantungkan pada dinding inkubator/crib/isolette dan dapat dengan
mudah terlihat.

2. Anak (umum)
a. Anak dengan penyakit non infeksius dapat ditempatkan secara langsung ke ruangan
perawatan sesuai dengan kelas perawatan dan jenis penyakit pasien tersebut dengan
penerapan kewaspadaan standar disertai dengan kewaspadaan berdasarkan
transmisi kontak dan droplet pada awal masa perawatan sementara menunggu hasil
uji skrining MRSA untuk memastikan status infeksi/kolonisasi MRSA pada anak
tersebut.

b. Bagi pasien yang tidak memiliki fasilitas perawatan kamar sendiri terutama pasien
Kelas 1, 2 dan 3, maka pasien bisa ditempatkan satu ruangan dengan pasien lainnya
dengan jarak antara tempat tidur minimal 1 meter dengan tempat tidur pasien lainnya
diberi sekat/tabir pembatas dan jika hanya ada satu kamar mandi maka setiap pasien
tersebut menggunakan kamar mandi segera didisinfeksi setelah digunakan.

c. Bila didapatkan hasil MRSA positif maka pemberlakukan kewaspadaan standar


disertai dengan kewaspadaan berdasarkan transmisi kontak dan droplet dilanjutkan
sampai didapatkan hasil pemeriksaan MRSA negatif. Sedangkan bila didapatkan hasil
uji MRSA negatif dan anak bukan penderita penyakit infeksius maka pemberlakukan
kewaspadaan berbasis transmisi kontak dan droplet dapat dihentikan, tetapi tetap
menerapkan kewaspadaan standar.

d. Pemberlakuan teknik isolasi disesuaikan dengan pola transmisi penyakit infeksi


anak(kewaspadaan kontak, kewaspadaan droplet dan kewaspadaan airborne).

e. Anak yang memiliki resiko transmisi airborne yang membutuhkan ruangan bertekanan
negatif dapat ditempatkan di Ruangan Isolasi Penyakit Airborne yang memiliki sistem
ventilasi HEPA filter dan pertukaran udara 12 kali perjam.

f. Peringatan kewaspadaan isolasi berdasarkan pola transmisi infeksi yang sesuai


ditempelkan/ digantungkan pada pintu kamar, sisi tempat tidur bagian kaki, dan pada
rekam medik pasien

S. Routine and Terminal Cleaning


Ruangan dan segala peralatan pasien di ruangan isolasi harus selalu dibersihkan menurut
Standar Prosedur Kebersihan Rutin. Pembersihan ruangan dilakukan dua kali sehari atau bila
tampak kotor dengan cairan desinfektan. Air dan kain pembersih untuk pel dan moping/ lap
harus diganti dengan yang baru untuk setiap kali pembersihan satu ruangan. Petugas
Cleaner harus menggunakan APD yang sesuai.
Setelah pasien meninggalkan ruangan perawatan maka dilakukan prosedur terminal cleaning
agar ruangan bisa dipakai untuk pasien berikutnya.
Lakukan pemeriksaan kultur (udara, air, dan peralatan) minimal setiap 6 bulan.

T. Penanganan Post Mortem


Gunakan kewaspadaan standar bagi setiap personil yang merawat jenasah pasien. Jika
pasien diketahui memiliki penyakit infeksi (Hepatitis B, C, HIV, dan sebagainya), maka pasien
diberi label penanda sebagai pedoman dalam penerapan Kewaspadaan Berbasis Transmisi
selama dan sesudah proses otopsi.

U. Sumber Daya
1. Perawat Pencegahan dan Pengendalian Infeksi/Infection Prevention and Control Nurse
(IPCN)

Mengawasi semua aspek Prosedur ini;

Memantau kinerja petugas RSUD Meuraxa dalam Prosedur ini;

2. Petugas diwajibkan untuk:

Memastikan mereka mematuhi persyaratan Prosedur ini;

Mematuhi semua Kebijakan dan Prosedur Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di


RSUD Meuraxa;

Mematuhi semua Kebijakan dan Prosedur Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah
Sakit di RSUD Meuraxa.

V. Sarana dan Peralatan

Kantong plastik kedap air warna putih dan kuning untuk pembungkus linen kotor

Alat Pelindung Diri (APD) sesuai dengan potensial hazard yang akan dihadapi

Fasilitas Gel/Handrub alkohol kebersihan tangan

Gedung/Ruangan Isolasi bertekanan udara negatif dan bertekanan udara positif bagi
isolasi protektif dengan kamar single dan mandi/toilet pribadi untuk perawatan pasien

Ruangan Anteroom/Kamar ganti dengan Lemari Alat Pelindung Diri sebelum masuk
ruangan

Alat-alat khusus bagi pasien isolasi misalnya: manset tekanan darah, stetoskop, dan
oximeter nadi yang selalu didekontaminasi setelah pemakaian

Fasilitas bahan disinfektan untuk dekontaminasi

W. Pembinaan dan Pengawasan


Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang. Pembinaan dan
pengawasan tertinggi dilakukan oleh Dewan Direksi RSUD Meuraxa melalui Komite
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS). Pembinaan dapat
dilaksanakan antara lain melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis dan temu
konsultasi dan lain-lain.
Pengawasan dilaksanakan dua macam, yakni pengawasan internal, yang dilakukan oleh
atasan langsung unit kerja/bagian/instalasi di lingkungan RSUD Meuraxa, dan pengawasan
eksternal, yang dilakukan oleh Komite dan Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Rumah Sakit, sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.
III. PENUTUP
Demikianlah kebijakan ini dibuat untuk dilaksanakan semestinya.

Ditetapkan di
: Banda Aceh
Pada tanggal
:
-------------------------------------------------Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa
Kota Banda Aceh
Direktur,

Dr. dr. Syahrul, Sp. S-K


Pembina Utama Muda
NIP. 19620202 198903 1 001

Anda mungkin juga menyukai