Anda di halaman 1dari 10

Makalah Fitofarmasi Pemicu 2

KONTROL KUALITAS EKSTRAK


MENURUT FARMAKOPE HERBAL
INDONESIA

Oleh:
Aprillia Hardiyani Tanto
051311133066/kelas A

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA


SURABAYA
2016

I.

II.

PENDAHULUAN
1.1.

Latar belakang kontrol kualitas bahan baku obat herbal

1.2.

Acuan yang digunakan

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi ekstrak

2.2.

Kontrol kualitas ekstrak menurut Farmakope Herbal Indonesia

III.

DISKUSI/PEMBAHASAN

IV.

KESIMPULAN & SARAN

V.

DAFTAR PUSTAKA

I.

PENDAHULUAN
1.1.

Latar belakang
Pengendalian mutu untuk efikasi dan dan keamanan dari obat herbal adalah

hal yang sangat penting. Kualitas dapat didefinisikan sebagai status obat yang
ditentukan oleh identitas, kemurnian, konten, dan sifat fisika, kimia serta biologi atau
dari proses manufakturnya. Kontrol kualitas adalah istilah yang mengacu kepada
proses yang terjadi dalam mempertahankan kualitas dan validitas dari sebuah produk
yang diproduksi.
Istilah obat herbal menunjukkan tanaman atau bagian tanaman yang telah
diubah menjadi sediaan fitofarmasetika dengan proses sederhana yang melibatkan
proses panen, pengeringan, dan penyimpanan (EMEA, 1998).
Secara umum, kontrol kualitas didasarkan pada tiga definisi penting menurut
farmakope, yaitu:
1. Identitas harus terdiri dari satu tumbuhan.
2. Kemurnian tidak boleh ada kontaminan lain selain tumbuhan itu sendiri.
3. Konten atau pengujian Konstituen aktif harus berada dalam batas-batas yang
ditentukan.
Hal ini jelas bahwa konten merupakan salah satu hal yang paling sulit untuk
diuji, karena dalam obat herbal konstituen aktifnya tidak diketahui. Terkadang
senyawa marker dapat digunakan, yang mana berarti, secara kimiawi konstituennya
dapat ditentukan untuk tujuan pengendalian, terlepas apakah senyawa itu memiliki
aktivitas terapetik atau tidak (WHO, 1992).
Identitas dapat diketahui melalu pengamatan makro dan mikroskopis. Wabah
penyakit tanaman dapat mengakibatkan perubahan fisik tanaman dan menyebabkan
identifikasi yang salah (WHO, 1988; Smet, 1992). Pada suatu waktu, pelabelan
terhadap kualitas botani yang salah dapat menjadi masalah.
Kemurnian, erat hubungannya dengan penggunaan obat-obatan secara aman
dan beberapa faktor lain seperti kadar abu, kontaminan (misalnya benda asing dalam
bentuk tumbuhan lain), dan logam berat. Namun, sehubungan dengan berkembangnya
aplikasi dari metode analisis modern, evaluasi kemurnian juga termasuk mengenai
kontaminan mikroba, aflatoxin, radioaktivitas, dan residu pestisida. Metode analisis
seperti analisis fotometri, kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi cair kinerja

tinggi (KCKT), kromatografi lapis tipis kinerja tinggi (HPTLC), dan kromatografi gas
dapat digunakan dalam rangka menghasilkan komposisi yang konstan dari preparasi
obat herbal.
Kandungan atau penetapan adalah adalah hal yang paling sulit dilakukan
dalam lingkup kontrol kualitas, karena pada obat herbal konstituen aktifnya tidak
diketahui. Dalam kasus lain, di mana tidak terdapat konstituen aktif atau senyawa
penanda yang dapat ditentukan untuk obat herbal, persentasi dari senyawa yang dapat
diekstraksi dengan sebuah pelarut mungkin digunakan sebagai bentuk pengujian,
pendekatan ini dapat dilihat di farmakope (WHO, 1996; WHO, 1998).
Bentuk khusus dari pengujian adalah penetapan kadar minyak esensial dengan
distilasi uap. Di mana konstituen aktif (misalnya sennosida pada senna) atau senyawa
marker (misalnya alkilamida pada Echinacea) diketahui, penetapan kadar dengan
metode analisis kimia modern seperti spektrofotometri UV/VIS, TLC, HPLC,
HPTLC, GC, spektroskopi massa, atau kombinasi GC/MS dapat digunakan (Watson,
1999).
Beberapa masalah yang tidak terjadi pada obat sintetis sering memengaruhi
kualitas obat herbal. Contohnya:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Obat herbal biasanya merupakan campuran dari banyak konstituen.


Senyawa aktifnya, pada banyak kasus tidak diketahui.
Metode analisis yang selektif atau senyawa referens mungkin tidak tersedia
secara komersial.
Bahan tanaman secara kimiawi dan alami bervariasi.
Adanya chemo-varieties dan chemo-cultivars.
Sumber dan kualitas dari bahan mentah bervariasi.
Metode pemanenan, pengeringan, penyimpanan, transportasi, dan pemrosesan

(sebagai contoh bentuk ekstraksi dan polaritas dari pelarut ekstraksi, ketidakstabilan
konstituen, dll.) juga memengaruhi kualitas obat herbal (Wani, 2007).
1.2.

Acuan yang digunakan


Dalam makalah ini akan dibahas secara khusus mengenai kontrol kualitas

secara umum terhadap bahan baku obat herbal, yakni simplisia. Makalah ini secara
khusus meninjau kontrol kualitas menurut buku compendial standart yang digunakan
di Indonesia dan diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI yaitu Farmakope
Herbal Indonesia. Oleh karena itu kita perlu meninjau terlebih dahulu mengenai
simplisia itu sendiri.

II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa

aktif dari simplisia nabati atau hewani dengan pelarut yang sesuai, kemudian semua
atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak
dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat
biasanya dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan
sesedikit mungkin terkena panas (Ditjen POM, 2000).
Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang
sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan awal
dianalogkan sebagai komoditi bahan baku obat dengan teknologi fitofarmasi diproses
menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti masih menjadi bahan yang
dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai
campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak sebagai produk jadi berarti ekstrak yang
berada dalam sediaan obat jadi siap digunakan oleh penderita (Ditjen POM, 2000).
2.2.

Kontrol Kualitas Ekstrak menurut FHI


Menurut Farmakope Herbal Indonesia (FHI), kontrol kualitas ekstrak bahan

baku obat herbal pada umumnya mencakup hal-hal berikut:

Rendemen ekstrak
Identitas ekstrak yang merupakan pemerian dari ekstrak itu sendiri,

meliputi: konsistensi (kekentalan), warna, bau, dan rasa.


Senyawa identitas yang merupakan kandungan kimia ekstrak/simplisia

yang dapat digunakan untuk identifikasi.


Abu total
Abu tidak larut asam
Kadar air
Kandungan kimia ekstrak yang meliputi kadar minyak atsiri dan kadar
senyawa identitas dalam ektrak

Parameter-parameter tersebut tidak terdapat pada semua monografi ekstrak


dalam Farmakope Herbal Indonesia.

III.

DISKUSI/PEMBAHASAN
Secara umum kontrol kualitas bahan baku obat herbal dibutuhkan
dalam rangka penjaminan mutu dari obat herbal tersebut. Mutu suatu ekstrak
atau bahan baku obat herbal dikontrol dengan menggunakan standardisasi.
Standardisasi adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran
yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian,
mutu dalam artian memenuhi standar (kimia, biologi, dan farmasi), termasuk
jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Proses
menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai
nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan (dirancang dalam
formula) terlebih dahulu. Tujuan dari standardisasi adalah agar diperoleh
bentuk bahan baku atau produk kefarmasian yang bermutu, aman serta
bermanfaat (Binfar, 2014).
Dalam bahasan kontrol kualitas ini saya mengambil salah satu bagian
dari bahan baku yang harus distandardisasi, yakni ekstrak. Di sini dipilih
Farmakope Herbal Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI
(2008) sebagai acuan. Secara umum kontrol kualitas didasarkan pada tiga
definisi penting menurut farmakope, yaitu identitas, kemurnian dan uji
kandungan. Standarisasi dalam Farmakope Herbal Indonesia, belumlah
mencukupi proses standardisasi untuk mengontrol mutu dari suatu ekstrak
tanaman, terutama apabila ekstrak tersebut akan menjadi bahan baku dari
suatu sediaan obat herbal terstandar (OHT) ataupun fitofarmaka.
Dalam rangka penjaminan tersebut, parameter yang dicantumkan
dalam FHI dirasa belum cukup untuk memenuhi 3 aspek kontrol kualitas
bahan baku obat herbal, yaitu, identitas, kemurnian, dan uji kandungan. Di sini
saya mengambil acuan dari WHO, AOAC dan Pemilihan senyawa marker
menurut Bensoussan et al sebagai pembanding untuk melakukan kontrol
kualitas.
Aspek pertama, yaitu identitas, dalam FHI disebutkan identitas hanya
meliputi 2 hal, yakni pemerian ekstrak meliputi konsistensi, bau, warna, dan

juga senyawa identitas. 2 hal ini tidak cukup jika harus menunjukkan identitas
ekstrak, karena beberapa tanaman yang berasal dari genus yang sama bisa saja
memiliki senyawa identitas yang sama. Senyawa marker merupakan parameter
yang lebih spesifik dalam menentukan identitas suatu ekstrak/bahan baku. The
European Medicines Agency (EMEA) mendefinisikan senyawa marker
sebagai konstituen atau kelompok konstituen yang ditentukan secara kimiawi
dari produk tanaman obat yang diidentifikasi untuk tujuan kontrol kualitas
terlepas dari apakah senyawa itu memiliki aktivitas terapetik atau tidak.
Senyawa marker yang ideal dalam rangka penjaminan mutu harus
menggambarkan profil identitas senyawa dan atau mencerminkan profil
farmakologi dan atau toksikologi dari obat herbal. Dalam penentuan senyawa
marker dapat digunakan sistem MaRS (Marker Ranking System). Sistem ini
merupakan alat yang sangat berguna dan dapat dijadikan panduan untuk
industri obat tradisional, peneliti, dan regulator dalam memilih senyawa
marker yang paling sesuai untuk monitoring kualitas, keamanan, dan efikasi
dari pembuatan obat herbal dengan dengan klaim efek terapetik yang tinggi.
Dari segi metode penentuan senyawa identitas ekstrak, dalam WHO (2011)
metode yang dapat digunakan adalah kromatografi lapis tipis.
Aspek kedua, yaitu uji kemurnian. Kemurnian secara singkat
menyatakan, apakah ada kontaminan dalam bahan baku obat herbal, misalnya
dalam bentuk bahan asing atau bahan tumbuhan yang lain. Selalu timbul
kekhawatiran tentang komposisi obat herbal yang

tidak konsisten dan

beberapa kasus keracunan oleh karena adulterants dan atau komponen


beracun dalam tanaman obat.

Dalam FHI kemurnian hanya ditunjukkan

dengan kadar air dan kadar abu total. Menurut WHO (2011), uji kemurnian
dapat diukur dengan pengukuran kadar arsen dan logam beracun, penentuan
mikroba dan racun aflatoksin, kontaminan radioaktif, dan residu pestisida.
Pengukuran dan penentuan tersebut dibutuhkan dalam uji kemurnian untuk
menjaga keamanan dan kualitas ekstrak sebagai bahan baku obat herbal agar
tidak terjadi pemalsuan dalam bahan baku obat herbal dan keracunan pada
pasien oleh karena bahan beracun.
Aspek ketiga, yaitu uji kandungan. Dalam FHI kandungan dari ekstrak
yang perlu ditetapkan hanya sebatas kadar minyak atsiri dan kadar senyawa
identitas dalam ekstrak. Menurut WHO (2011) banyak parameter lain yang

harus ditetapkan dari kandungan dan untuk mengontrol kualitas dari suatu
ekstrak, antara lain penetapan kadar sari, minyak atsiri dan tannin. Kualitas
dari kandungan senyawa ekstrak dapat ditunjukkan dengan parameterparameter seperti penetapan nilai kegetiran, aktivitas hemolitik, indeks buih
dan indeks pengembangan. Sebagai contoh, indeks buih menyatakan
kandungan saponin dalam bahan baku/ekstrak dan kebanyakan bahan alam
yang memiliki efek terapi memiliki rasa yang pahit, rasa pahit ini dinyatakan
dalam nilai kegetiran. Rasa pahit ini dapat merangsang sekresi cairan
lambung, oleh karena itu perlu dilakukan penetapan nilai kegetiran. Uji
kandungan sangat penting karena dapat menentukan khasiat farmakologis dari
obat herbal.
Setelah meninjau dan membandingkan, dari ketiga aspek kontrol
kualitas bahan baku obat herbal, dapat dilihat bahwa parameter-parameter
yang tercantum dalam monografi ekstrak tanaman di FHI belum cukup untuk
dijadikan acuan dalam melakukan kontrol kualitas obat herbal. Selain itu,
dalam FHI dan WHO hanya disediakan mengenai metode atau cara dalam
menentukan parameter standar ekstrak, sedangkan kualitas bahan baku obat
herbal juga ditentukan oleh senyawa marker dan fitoekivalensi.
Senyawa marker memainkan peran penting dalam evaluasi kualitas
obat herbal. Idealnya, senyawa marker merupakan komponen unik yang
menyumbang efek terapetik dari obat herbal. Karena hanya sedikit senyawa
kimia yang memiliki efek farmakologi yang jelas, komponen senyawa lain
juga dapat digunakan sebagai marker. Jumlah dari senyawa marker dapat
digunakan sebagai indikator dari kualitas obat herbal. Metode yang dapat
digunakan dalam menentukan senyawa marker adalah Marker Ranking System
yang dikembangkan oleh Bensoussan et al (2015).
Beberapa kalangan sering menganggap bahwa ekstrak herbal dari
berbagai sumber dapat digunakan/ditukar/memiliki sifat yang sama apabila
ekstrak tersebut dipreparasi dari spesies yang sama dengan menggunakan
pelarut pengekstraksi dan prosedur yang sama dan mengakibatkan rasio
ekstraksi yang sebanding. Akhir-akhir ini semakin banyak bukti yang
menunjukkan bahwa parameter tersebut belum cukup untuk memastikan
bahwa ekstrak tersebut ekivalen secara fitokimiawi maupun farmakologis.
Gagasan bahwa ekstrak dari sumber yang berbeda dianggap ekivalen hanya

pada saat ekstrak yang berbeda sumber tersebut keduanya menunjukkan


komposisi kimia dan aktivitas farmakologis maupun toksikologis yang sama.
Konsep ini dituangkan dalam istilah Fitoekivalensi.
Seluruh metode yang digunakan juga harus divalidasi. Validasi adalah
sebuah pendekatan terapan untuk memverifikasi bahwa sebuah metode sesuai
dan cukup tegar untuk dapat dijadikan alat dalam kontrol kualitas. AOAC
mendefinisikan metode yang telah divalidasi sebagai sebuah metode yang
cocok untuk tujuan dari tujuan metode itu dibuat. Tujuannya antara lain adalah
kuantifikasi dari analit yang spesifik dalam sebuah produk, konfirmasi apakah
sebuah produk memenuhi spesifikasi dan regulasi, identifikasi keberadaan
nutrisi atau kontaminan dalam sebuah produk, atau identifikasi komposisi
produk. Metode dapat divalidasi dalam satu laboratorium atau melalui studi
kolaboratif dalam beberapa laboratorium.
IV.

KESIMPULAN
Setelah meninjau dan membandingkan, dari ketiga aspek kontrol kualitas
bahan baku obat herbal, dapat dilihat bahwa parameter-parameter yang tercantum
dalam monografi ekstrak tanaman di FHI belum cukup untuk dijadikan acuan dalam
melakukan kontrol kualitas terhadap bahan baku obat herbal karena masih banyak
parameter lain yang harus ditetapkan untuk menjamin identitas, kemurnian, dan
kandungan dari bahan baku obat herbal agar bahan baku tersebut layak dikembangkan
menjadi sediaan OHT atau fitofarmaka.
SARAN
Sebaiknya ada beberapa parameter yang ditambahkan dalam FHI untuk
menjamin bahan baku obat herbal, ekstrak pada khususnya antara lain seperti
pengujian senyawa marker, fitoekivalensi, penetapan kandungan residu pestisida,
bahan asing, mikroba pathogen, dan aflatoksin serta validasi metode yang digunakan
dalam penetapan parameter standar ekstrak.

V.

DAFTAR PUSTAKA
A Bensoussan, S. L. (2015). Choosing Chemical Markers for Quality Assurance of
Complex Herbal Medicines: Development and Application of the Herb MaRS
Criteria. CLINICAL PHARMACOLOGY & THERAPEUTICS.

Ansel, Howard. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta: UI Press
AOAC International. (2013). AOAC Guidelines for Single-Laboratory Validation of
Chemical Methods for Dietary Supplements and Botanicals. AOAC
International.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Farmakope Herbal Indonesia,
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
De Smet PAGM, Keller K, Hansel R, Chandler RF (1992). Aristolochia species In:
Effects of Herbal Drugs, Springer-Verlag, Heidelberg. 1.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
EMEA. Quality of herbal medicinal products. Guidelines. European Agency for the
Evaluation of Medicinal products (EMEA), London, 1998.
Lister, P. N. (2014). Current initiatives for the validation of analytical methods for
botanicals. Science Direct.
Songlin Li, Q. H. (2008). Chemical markers for the quality control of herbal
medicines: an overview. BioMed Central.
Wani MS (2007). Herbal medicine and its standardization. Pharma. info., 1: 6.
Watson DG. Pharmaceutical Analysis. Churchill Livingstone, Edinburgh, 1999.
WHO. 1992. Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials. World Health
Organisation, Geneva.
WHO (1998a). Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials, World Health
Organization, Geneva.
WHO. 2001. Quality Control Methods for Herbal Material. World Health
Organisation, Geneva.

Anda mungkin juga menyukai