Analisis Sistem Tenaga PDF
Analisis Sistem Tenaga PDF
Sudaryatno Sudirham
Analisis
Sistem Tenaga
Analisis
Sistem Tenaga
oleh
Sudaryatno Sudirham
ii
Pengantar
Buku ini berisi bahasan analisis sistem tenaga, yang merupakan
suatu analisis pada tingkat transmisi (tidak termasuk sistem
distribusi); pembahasan disajikan dalam lima bab. Bab pertama
berisi tinjauan umum pada sistem tenaga, mencakup ketersediaan
sumber energi sampai dengan sistem polifasa, pada pembebanan
seimbang dan tak seimbang; di sini diberikan penjelasan mengenai
perhitungan dalam per-unit serta komponen simetris yang akan
dimanfaatkan pada pembahasan di bab-bab selanjutnya. Tiga bab
berikutnya berisi bahasan mengenai piranti utama sistem tenaga,
mencakup saluran transmisi, transformator, dan mesin sinkron; di
tiga bab ini dibahas rangkaian ekivalen serta kondisi pembebanan
yang mungkin terjadi. Bab terakhir berisi bahasan mengenai
permasalahan aliran daya, dengan salah satu metoda silusi yaitu
metoda Newton-Raphson. Pada dasarnya kondisi operasional sistem
yang dibahas adalah kondisi mantap; hanya sedikit disinggung
situasi transien pada saluran transmisi dan mesin sinkron. Stabilitas
transien dan analisis keadaan hubung singkat belum dibahas dalam
buku ini.
Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan
usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya,
sangat penulis harapkan.
iii
Darpublic
Kanayakan D-30, Bandung, 40135
iv
Daftar Isi
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
47
113
157
225
Biodata Penulis
226
Indeks
227
vi
BAB 1
Tenaga
1.1 Energi Yang Tersedia dan Energi Listrik
Energi tersedia di alam dalam berbagai bentuk, dan manusia
mengubahnya ke dalam bentuk energi listrik untuk memenuhi
kebutuhannya. Pengubahan atau konversi ini memberikan
keuntungan namun konversi tersebut juga memerlukan biaya yang
tidak kecil.
Berbagai bentuk energi yang mungkin dikonversikan ke dalam
energi listrik:
Energi radiasi (sinar matahari).
Energi panas bumi.
Energi kimia (batubara, minyak bumi).
Energi kinetik gelombang laut.
Energi kinetic arus laut.
Energi potensial air terjun.
Energi nuklir.
Bentuk energi listrik memberikan beberapa keuntungan:
seperti
diperlihatkan
pada Gb.1.2.
Gb.1.2. Penyaluran daya antara dua jaringan.
Hubungan
antara A dan B digambarkan hanya dengan dua garis. Namun
penyaluran daya dari A ke B biasanya dilakukan dengan sejumlah
konduktor (2, 3, 4 konduktor) dengan susunan tertentu, yang kita
sebut konfigurasi saluran.
Daya (laju aliran energi) dari A ke B adalah
(1.1)
p = vi
p = daya, v = tegangan, i = arus (yang ditulis dengan huruf kecil
untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan fungsi waktu).
6
I max = J max A
(1.2)
3.
4.
Konfigurasi (a): Sistem AS, 2 kawat, salah satu kawat adalah kawat
netral yang merupakan saluran balik.
0,5A
V0
0,5A
(1.3)
0,5A
+V0
n
V0
Pb = 2 (0.5 A) J 0V0 = P0
(1.4)
0,5A
0,707V0
Misalkan gelombang tegangan sefasa dengan arusnya,
v = Vm cos t
i = I m cos t
(1.5)
Vm I m
(1 + cos 2t )
(1.6)
2
Daya ini berfluktuasi dengan frekuensi 2. Nilai rata-rata bagian
yang berada dalam tanda kurung adalah 1, sehingga daya rata-rata
(atau daya nyata) adalah
pc = vi = Vm I m cos 2 t =
P=
Vm I m Vm I m
=
= VI
2
2 2
(1.7)
I = 0.5 AJ 0
(1.8)
V=
V0
2
= 0,707V0
(1.9)
Pc = IV = 0.5 AJ 0
V0
2
(1.10)
0,5A
0,707V0
0,707V0
Pd = 2 Pc = 0,707 P0
(1.11)
10
x
0,293A
0,414A
0,707V0
0,293A
0,707V0
vx = Vm cos t
ix = I m cos t
(1.12.a)
i y = I m sin t
(1.12.b)
v y = Vm sin t
maka daya sesaat menjadi
(1.13)
Pe = pe = Vm I m
(l5.14)
Vm = V0
(1.15.a)
o
I m = J 0 (0.293 A) 2
(1.15.b)
V I
V J (0,293 A) 2
Pe = m m = 0 0
= 0.414 P0
2
2
(1.16)
11
0,333A
0,707V0
0,707V0
0,333A
0,707V0
Tegangan dan arus fasa berbeda 120o. Dengan urutan fasa positif,
tegangan dan arus tersebut adalah:
(1.17)
p f = va ia + vbib + vcic
) (1.18)
cos 2 =
1 + cos 2
2
(1.19)
V I
p f = m m 3 + cos 2t + cos(2t 240o ) + cos(2t + 240o )
2
(1.20)
3Vm I m
=
2
Sekali lagi kita lihat di sini bahwa daya sesaat sama dengan daya
rata-rata, yaitu
Pf = p f =
12
3Vm I m
= 3VI
2
(1.21)
V=
V0
2
dan I = 0.333 AJ 0
(1.22)
sehingga
Pf =
3V0
2
0.333 AJ 0 = 0.707 P0
(1.23)
1,141P0
1,000P0
Konfig.(b)
0,707P0
0,500P0
Konfig. (a)
0,354P0
Konfig. (e)
Konfig. (c)
t
Modus operasi
AS
Daya maksimum
0.500P0
b) Tiga kawat
AS
1,000P0
c) Dua kawat
ABB, 1 fasa
0,354P0
d) Tiga kawat
ABB, 1fasa
0,707P0
e) Tiga kawat
ABB, 2fasa
0,414P0
f) Empat kawat
ABB, 3 fasa
0,707P0
14
Data: Pusat Informasi & Statistik Batubara dan Mineral, Ditjen GSM, DESDM. / RUKN.
16
17
18
19
20
Beban
Beban
Beban
P = P0 +
P
P
Q
Q
V +
f ; Q = P0 +
V +
f
V
f
V
f
(1.24)
23
P P Q Q
,
,
,
dapat diturunkan melalui
V f V f
rangkaian dengan model beban. Mereka juga dapat diturunkan dari
data-data yang dikumpulkan dari pengukuran praktis yang
kemudian dihitung menggunakan computer.
Diferensial parsial
P / V , P / f , Q / V , dan P / V .
Solusi untuk rangkaian seri:
S seri
2
V0 o
V2
= V
= VI = V0
=
( R + jL)
R + j L
R jL R 2 + 2 L2
Pseri =
Q seri =
24
RV 2
R 2 + 2 L2
RV 2
R + L
2
2 2
LV 2
R 2 + 2 L2
+j
LV 2
R 2 + 2 L2
Pseri
2 RV 2 L2
=
;
( R 2 + 2 L2 ) 2
Pseri
2 RV
=
2
V
R + 2 L2
Q seri ( R 2 + 2 L2 ) LV 2 2 2 L3V 2
=
;
( R 2 + 2 L2 ) 2
Q seri
2LV
=
2
V
R + 2 L2
V
V
V2
V2
=
S paralel = VI = V +
+j
R
L
R jL
2
Pparalel
Pparalel 2V
V
Pparalel =
=0 ;
=
R
V
R
2
2
Q paralel V L
Q paralel 2V
V
Q paralel =
=
=
;
2
L
V
L
(L)
25
Jaringan
A
Ia
Ib
.
.
.
Iz
Van
Vbn
Jaringan
B
Vzn
....
n
In
I a = I a a = arus fasa a.
I b = I b b = arus fasa b.
I z = I z z = arus fasa z.
I a + I b + I c + ....... + I z + I n = 0
(1.25)
S Nf = Va I a + Vb I b + ...... + V z I z =
Si
(1.26.a)
i =a
dengan
S i = Vi I i
i = a, b, c,....... z
(1.26.b)
PNf =
Pi ,
Pi = Vi I i cos i
(1.27.a)
i =a
z
Q Nf =
Qi ,
Qi = Vi I i sin i
(1.28.b)
i =a
Va = Vb = ...... = V z = V f
(1.29.a)
a = 0; b = ; c = 2; ..... n = n
dan =
(1.29.b)
360o
N
(1.30.a)
Vij = Vi V j
i, j = a, b, c....... z
= Vi i V j j
(1.31)
Vi = V j = V f
= tegangan fasa-netral
(1.32)
dan
27
(1.33)
Vzn
360
N
Ia
Van
Vaz
Vbn
p Nf =
i =a
v i ii =
(V
2 )( I 2 ) cos(t i ) cos(t i )
i =a
(1.34)
= NV f I f cos
Persamaan (1.26) menunjukkan bahwa sistem ABB multifasa
memberikan transfer daya yang konstan seperti pada sistem AS.
Itulah sebabnya sistem tenaga dibangun sebagai sistem multifasa
yang beroperasi seimbang. Jika kita lanjutkan perhitungan kita
akan memperoleh relasi
28
S Nf = NV f I f
PNf = NV f I f cos
Q Nf = NV f I f sin
(1.35)
7
0,868
1,564
1,950
1,950
1,564
0,868
2
2,000
8
0,765
1,414
1,848
2,000
1,848
1,414
0,765
3
1,732
1,732
9
0,684
1,286
1,732
1,970
1,970
1,732
0,286
0,684
4
1,414
2,000
1,414
10
0,618
1,176
1,618
1,902
2,000
1,902
1,618
1,176
0,618
5
1,176
1,902
1,902
1,176
11
0,563
1,081
1,511
1,819
1,980
1,980
1,819
1,511
1,081
0,563
6
1,000
1,732
2,000
1,732
1,000
12
0,518
1,000
1,414
1,732
1,932
2,000
1,932
1,732
1,414
1,000
0,518
29
IaY
ZY
ZY
ZY
.
.
.
ZY
Ia
Z
b
Z
c
Z
Bintang
Mesh
I aY =
o
Van V f 0
=
ZY
ZY
(1.36)
Rangkaian mesh:
I a =
=
Vab Vaz
1
(Van Vbn + Van Vzn )
+
=
Z
Z
Z
Vf
Z
(1 0 o 1 + 10 o 1) =
2V f
Z
(1.37)
(1 cos )
I a = I aY Z = 2(1 cos ) Z Y
(1.38)
30
Va = 10000o V = 10o kV
(a) I fasa =
S 6 / 6
V fasa
900 / 6
= 150 A
1
ZY =
V fasa
I fasa
1000
= 6.67 ; = cos 1 (0.8) = 36.9 o
150
ZY = 6.67 + 36.9o
Z = 2(1 cos 60o ) ZY = 2(1 / 2) ZY = ZY = 6.67 + 36.9o
1.7. Sistem Tiga-fasa Seimbang
Sistem tiga-fasa adalah sistem multifasa yang paling sederhana.
Lihat Gb.1.8. Dengan urutan positif abc, tegangan-tegangan fasa
adalah
Van = Va = V f 0 o
Vbn = Vb = V f 120 o
(1.39)
Vab = Va Va = V f
330 o
Vbc = Vb Vc = V f
3 90 o
Vca = Vc Va = V f
3 + 150 o
(1.40)
31
Jaringan
A
Ia
Ib
Jaringan
B
Ic
Vb Vc
Va
In
Z
b
ZY
ZY
ZY
Z
c
Ia =
Va V f
=
(0 o ) = I f
ZY
ZY
I b = I f (120 o )
I c = I f (240 )
o
In = 0
32
(1.41)
Vca
Vc
Vb
Ic
Vab
Va
Ia
Ib
Va
Vc
Vb
Vbc
(1.42)
Iab =
Vab
V
V
; Ibc = bc ; Ica = ca
Z
Z
Z
(1.43)
Hubungan arus fasa I a pada Gb.1.8, yang juga disebut arus saluran
(line current) I L , dengan arus pada cabang adalah
Ia = Iab Ica;
Ib = Ibc Iab;
Ic = Ica Ibc
(1.44)
Va = V a a ;
Vb = Vb b ;
Vc = Vc c
34
(1.45)
Vc1
V a1
Va 0 , Vb 0 , Vc 0
Urutan nol
Vb 2
Va 2
negatif
VcUrutan
2
Gb.1.11. Komponen seimbang dari fasor tegangantiga-fasa
tak-seimbang.
1.8.2. Operator a
Penulisan komponen urutan dilakukan dengan memanfaatkan
operator a, yang sesungguhnya adalah fasor satuan yang
berbentuk
a = 1
120o
(1.46)
Suatu fasor, apabila kita kalikan dengan a akan menjadi fasor lain
yang terputar ke arah positif sebesar 120o; dan jika kita kalikan
dengan a2 akan terputar ke arah posistif 240o (operator semacam
ini telah pernah kita kenal yaitu operator j = 190o ). Kita
manfaatkan operator a ini untuk menuliskan komponen urutan
positif dan negatif. Dengan operator a ini, indeks a,b,c dapat kita
hilangkan karena arah fasor sudah dinyatakan oleh operator a,
sehingga kita dapat menuliskan
Va 0 = Vb 0 = Vc 0 = V0
Va1 = V1 ; Vb1 = aV1 ; Vc1 = a 2 Va 0
Va 2 = V2 ; Vb 2 = a 2 V2 ; Vc 2 = aV2
sehingga
Va = V0 + V1 + V2
Vb = V0 + a 2 V1 + aV2
(1.47)
Vc = V0 + aV1 + a V2
2
a V2 = Vb 2
V1 = Va1
V2 = V a 2
a 2 V 2 = Vc 2
a 2 V1 = Vb1
Urutan nol
Urutan positif
Urutan negatif
Gb.1.12. Penulisan komponen urutan dengan
menggunakan operator a.
Persamaan (1.47) dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks
menjadi
Va 1 1
2
Vb = 1 a
Vc 1 a
1 V0
a V1
a 2 V2
(1.48)
Va = V0 + V1 + V2
Vb = V0 + a 2 V1 + aV2
Vc = V0 + aV1 + a 2 V2
Va + Vb + Vc = 3V0 + (1 + a 2 + a) V1 + (1 + a + a 2 ) V2 = 3V0
V0 =
1
Va + Vb + Vc
3
(1.49.a)
Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga
kita kalikan dengan a2, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
36
Va = V0 + V1 + V2
aVb = aV0 + a 3 V1 + a 2 V2
a 2 Vc = a 2 V0 + a 3 V1 + a 4 V2
Va + aVb + a 2 Vc = (1 + a + a 2 )V0 + 3V1 + (1 + a 2 + a) V2 = 3V1
V1 =
1
Va + aVb + a 2 Vc
3
(1.49.b)
Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a2 dan baris ke-tiga
kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
Va = V0 + V1 + V2
a 2 Vb = a 2 V0 + a 4 V1 + a 3 V2
aVc = aV0 + a 2 V1 + a 3 V2
Va + aVb + a 2 Vc = (1 + a 2 + a )V0 + (1 + a + a 2 ) V1 + 3V2 = 3V2
V1 =
1
Va + a 2 Vb + aVc
3
(1.49.c)
1 VA
a 2 VB
a VC
(1.50)
1 1
[T] = 1 a 2
1 a
1
a
a 2
dan
[T]
1 1
1
= 1 a
3
1 a 2
1
a 2
a
(1.51.b)
Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh relasi untuk arus
37
~
~
I abc = [T] I 012
~
~
I 012 = [T] 1 I abc
(1.51.c)
) (
1
1
I a + aIb + a 2 I c = 160o + 160o + 0
3
3
1
= ((0,5 + j 0,866) + (0,5 + j 0,866) + 0 )
3
1
1
= (1 + j1,732) = 260o
3
3
I1 =
) (
1
1
I a + a 2 Ib + aI c = 160o + 1180o + 0
3
3
1
= ((0,5 + j 0,866) 1 + 0)
3
1
= ( 0,5 + j 0,866) = 0,333120o
3
I2 =
38
) (
1
1
I a + Ib + I c = 160o + 160o + 0
3
3
1
= ((0,5 + j 0,866) + (0,5 j 0,866) + 0)
3
1
= (1 + j 0) = 0,3330o
3
I0 =
2
2
I c1 = aI1 = 1120o 60o = (120o + 60o ) = 0,667180o
3
3
I c 2 = a 2 I 2 = 1240o 0,333120o = 0,333360o
I c 0 = I 0 = 0,3330o
sedangkan diketahui I c = 0
Kita yakinkan:
Vbb' = [ Z ABC ] I b
Vcc'
I c
atau lebih kompak
~
~
V( abc)' = [ Z ABC ] I abc
(1.52)
~
~
V( abc)' adalah tegangan antar terminal impedansi dan I abc
Va
Xm
Xm
Xm
Vb
.
.
masing memiliki
reaktansi bersama
impedansi urutan.
dan Xm adalah
Xs
Ib
Xs
Ic
Va
Vb
I a + Ib + Ic
Vc
Vc
Solusi:
Va Va '
Vb Vb ' =
Vc Vc '
Xs
j X m
X m
Xm
Xs
Xm
X m I a
X m I b
X s I c
~
~
~
= [T] 1 [ Z ABC ] [T] I 012
V012 V012
40
1 1 X s X m X m 1 1
a a 2 j X m X s X m 1 a 2
3
1 a 2 a X m X m X s 1 a
Xs + 2Xm
Xs + 2Xm
Xs + 2Xm
1
j
= X s X m aX s + (1 + a 2 ) X m a 2 X s + (1 + a) X m 1
3
X s X m a 2 X s + (1 + a) X m aX s + (1 + a 2 ) X m 1
0
0
X s + 2X m
= j
0
Xs Xm
0
0
0
X s X m
1
a
a 2
1
a2
a
1
a
a 2
0
0
X s + 2X m
~
~
~
= j
V012 V012
0
Xs Xm
0
I 012 =
0
0
X s X m
0
Z 0 0
~
~
Z0
V0
Urutan nol
V 0
Z1
V1
V1
Urutan positif
Z2
V2
V 2
Urutan negatif
41
~
~
~
~
Catatan: Vabc = [T] V012 VabcT = V012T [T]T
~
~
~
~
I abc = [T] I012 I abc
= [T] I 012
Pada (1.54) terdapat faktor [T ]T [T ] yang dapat kita hitung
[T]T [T ]
1 1
= 1 a 2
1 a
1 1 1
a 1 a
a 2 1 a 2
1 3 0 0
1 0 0
2
a = 0 3 0 = 30 1 0
0 0 1
a 0 0 3
~
~
S 3 f = 3V012T I 012
atau
S 3 f = 3 V0 I 0 + V1 I1 + V2 I 2
(1.55)
10
j10
j10
V ABCT = [10 10 0] dan I ABC = 10
10
Kita akan menghitung daya tiga-fasa langsung dengan
mengalikan kedua matriks kolom ini
j10
S 3 f = [10 10 0] 10 = j100 + 100 + 0 = (100 j100) kVA
10
Hasil ini kita peroleh dengan mengaplikasikan langsung
formulasi daya dengan mengambil nilai-nilai tegangan dan arus
yang tidak simetris. Berikut ini kita akan menyelesaikan soal ini
melalui komponen simetris.
Solusi (2):
Tegangan urutan adalah:
1 1
~
~
1
V012 = [T ]1 V ABC = 1 a
3
1 a 2
~
Dari sini kita hitung V012T
1 10
0
1
a 2 10 = 10 a10 + 0
3
10 a 2 10 + 0
a 0
1
~
V012T = 0 10 a10 10 a 2 10
3
Arus urutan adalah:
1 1
~
1
1 ~
I 012 = [T ] I ABC = 1 a
3
1 a 2
=
1 j10
a 2 10
a 10
0
1
2 1
j
10
a
10
a
10
=
3 j10 + 10
3
j10 a 2 10 a10
j10 + 10
~
1
I012
= j10 + 10
3
j10 + 10
43
S3 f = 3V012T I012
0
1 1
2
= 3 0 10 - a10 10 a 10 j10 + 10
3 3
j10 + 10
1
= 0 + (10 a10)( j10 + 10) + (10 a 210)( j10 + 10)
3
1
= (300 j 300) = (100 j100) kVA
3
(catatan: a + a 2 = 1 )
Komentar: Hasil perhitungan dengan perkalian langsung
tegangan dan arus tak-seimbang sama dengan hasil
perkalian melalui komponen simetris. Jika hasilnya sama,
mengapa kita harus bersusah payah mencari komponen
simetris terlebih dulu? Persoalan pada pembebanan takseimbang tidak hanya menghitung daya, tetapi juga arus
dan tegangan; misalnya menghitung arus hubung singkat
yang tidak simetris, yang tetap memerlukan perhitungan
komponen simetris.
1.9. Pernyataan Sistem Tenaga
Sistem tenaga merupakan rangkaian listrik yang rumit. Disamping
banyaknya macam piranti yang ada di dalamnya, sistem ini juga
sistem multifasa (umumnya tiga-fasa), dan ia beroperasi pada
banyak tingkat tegangan. Agar analisis dapat dilakukan, maka
sistem tenaga harus dapat dinyatakan secara mudah.
1.9.1. Diagram Satu Garis
Langkah pertama dalam analisis adalah memindahkan rangkaian
sistem tenaga ke atas kertas dalam bentuk diagram rangkaian.
Diagram rangkaian untuk sistem tenaga berupa diagram satu garis
(single line diagram). Diagram ini sederhana namun menunjukkan
secara lengkap interkoneksi berbagai piranti. Walaupun hanya satu
garis, ia menggambarkan sistem multifasa. Berikut ini contoh dari
diagram satu garis.
44
Generator
Y G
Saluran
transmisi
Z
beban
Y-ditanahkan
melalui
impedansi
3 Y
Nomer bus
Circuit
Breaker
Trafo
2 belitan
beban
Trafo
3 belitan
Transformator
Generator
beban
Circuit
breaker
Rangkaian
ekivalen
saluran
transmisi
Transformator
beban
45
nilai sesungguhnya
nilai basis
S = V I = VI( )
(1.56)
S pu =
S( )
= S pu ( )
Sbasis
(1.57)
(1.58)
Nilai Sbasis dipilih secara bebas dan biasanya dipilih angka yang
memberi kemudahan seperti puluhan, ratusan dan ribuan. Jika
Sbasis sudah ditentukan kita harus memilih salah satu Vbasis atau
Ibasis untuk ditentukan secara bebas, tetapi tidak kedua-duanya bisa
dipilih bebas.
Jika kita hitung Spu dari (1.56) dan (1.57) kita peroleh
S pu =
S basis
VI
= V pu I pu
Vbasis I basis
(1.59)
Z basis
2
Vbasis Vbasis
=
=
I basis S basis
(1.60)
V
I
akan memberikan
Z
Z basis
V/I
Vbasis / I basis
Z pu =
atau
V pu
I pu
(1.61)
Karena Z = R + jX maka
Z
Z basis
R + jX
R
X
=
+ j
atau
Z basis
Z basis
Z basis
Z pu = R pu + jX pu
(1.62)
P + jQ
S
=
S basis
S basis
S pu = Ppu + jQ pu
atau
(1.63)
47
Solusi:
Vbasis = 200 V
I basis =
S basis 1000
=
=5 A
Vbasis
200
Z basis =
Vbasis 200
=
= 40
I basis
5
Maka: V pu =
2000 o
= 10 o pu
200
4
= 0,1 pu
40
4
X Cpu =
= 0,1 pu
40
8
= 0,2 pu
X Lpu =
40
R pu =
I pu =
V pu
Z pu
10 o
0,1 245 o
= 5 2 45 o pu
S pu = V pu I pu = 10 o 5 245 o = 5 245 o pu
10 o pu
48
0,1 pu j 0,1 pu
j 0,2 pu
V ff
basis
= Vbasis 3
Z Ybasis = Z basis
Z basis = 3Z basis
If
asis
(1.64)
= I basis
I Ybasis = I basis
I basis = I basis / 3
Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita
lihat pada contoh berikut ini.
Contoh-1.5: Sebuah sumber tiga-fasa dengan tegangan fasa-fasa 6
kV mencatu dua beban seimbang yang tersambung parallel: bebanA: 600 kVA, faktor daya 0,8 lagging, beban-B: 300 kVA, faktor
daya 0,6 leading. Tentukan nilai basis untuk sistem ini, hitung arus
saluran dalam per-unit dan dalam ampere, dan impedansi beban A.
Solusi:
Penentuan nilai basis adalah sembarang. Kita pilih S3f basis = 600
kVA dan Vff basis = 6 kV, sehingga
600
= 200kVA
3
6
Vbasis =
= 3464 V
3
S
200
I basis = basis =
= 57,74 A
Vbasis 6 / 3
Sbasis =
V
3464
Z basis = basis =
= 60
I basis 57,74
Sumber ini terbebani seimbang sehingga hanya ada urutan positif.
Besaran per fasa adalah:
49
S A = 20036,9o kVA
S Apu =
V Apu =
SA
Sbasis
6/ 3
200 + 36,9o
= 136,9o
200
= 10 o ;
6/ 3
S
136,9 o
Apu
I Apu =
=
= 136,9 o I Apu = 1 36,9 = 0,8 j 0,6
o
V Apu
10
Beban-B:
300
SB =
= 100 kVA; B = cos(0,6) = 53,1o (f.d. lead )
3
SB
Sbasis
100 53,1o
= 0.5 53,1o
200
I Bpu
=
S Bpu
VBpu
0,5 53,1o
10
= 0,5 53,1o
50
Saluran Transmisi
BAB 2
Saluran Transmisi
= 0 r 0 = 4 10 7 H/m
Permitivitas: permitivitas listrik udara dianggap sama dengan
permitivitas ruang hampa:
= r 0 0 =
10 9
F/m
36
51
Saluran Transmisi
2.1. Impedansi dan Admitansi
2.1.1. Resistansi
Material yang biasa digunakan sebagai konduktor adalah tembaga
dan aluminum. Untuk saluran transmisi banyak digunakan
aluminum dan kita mengenal jenis-jenis konduktor aluminum,
seperti:
Aluminum: AAL (all aluminum coductor)
Aloy aluminum: AAAL (all aluminum alloy conductor)
Aluminum dengan penguatan kawat baja: ACSR
(aluminum conductor steel reinforced)
Data mengenai ukuran, konstruksi, resistansi [ per km], radius
[cm], GMR [cm] (Geometric Mean Radius), serta kemampuan
mengalirkan arus [A], dapat kita peroleh dari standar / spesifikasi;
untuk sementara kita tidak membahasnya.
Relasi resistansi untuk arus searah adalah
l
R AS =
(2.1)
A
dengan l panjang konduktor [m], A luas penampang konduktor
[m2], dan adalah resistivitas bahan.
T + T0
T 2 = T 1 2
T1 + T0
(2.2)
52
Saluran Transmisi
Selain daripada itu, kondukor saluran transmisi merupakan pilinan
konduktor sehingga panjang konduktor sesungguhnya lebih dari
panjang lateral yang kita ukur.
2.1.2. Induktansi
Arus di suatu konduktor menimbulkan medan magnit di
sekelilingnya dan juga di dalam konduktor itu sendiri walaupun
yang di dalam konduktor tidak merata di seluruh penampang.
Menurut hukum Ampere, jika arus yang mengalir pada konduktor
adalah i maka medan magnet H di sekitar konduktor diperoleh
dengan relasi
Hx =
i
2x
(2.3)
Dx
Hldx =
Dx
il
il D x
dx =
ln
2x
2
r
(2.4)
il D x
ln
2
r
(2.5)
GMR adalah suatu radius fiktif yang lebih kecil dari radius fisik
konduktor. Radius fiktif (GMR) ini kita anggap sebagai radius
konduktor manakala kita berbicara tentang fluksi magnet sekitar
konduktor. Dengan r yang lebih kecil dari r ini, kita telah
memperhitungkan adanya fluksi magnet di dalam konduktor.
53
Saluran Transmisi
2.1.2.1. Sistem Dua Konduktor
iA
D AN : jarak A ke N
v A r A : GMR konduktor A
rN : GMR konduktor N
vA
N
N
iA
Gb.2.1. Saluran kirim A dan saluran balik N.
Kita perhatikan suatu saluran daya listrik yang terdiri dari dua
konduktor, satu adalah saluran kirim dan satu lagi saluran balik.
Saluran kirim dialiri arus i sedangkan saluran balik juga dialiri
arus i tetapi dengan arah yang berlawanan; hal ini digambarkan
pada Gb.2.1. Kita pandang sistem dua konduktor ini sebagai satu
segmen dari loop yang sangat panjang. Pada ujung-ujung
segmen loop ini terdapat tegangan di antara kedua konduktor,
yaitu v A dan v A .
Jika panjang segmen ini adalah l maka arus iA di saluran A
memberikan fluksi lingkup menembus bidang segmen loop ini
sebesar
AN1 =
i A l D AN
ln
2
r A
(2.6.a)
AN 2 =
D AN
i A l D AN
ln
2
rN
(2.6.b)
N
Fluksi saling
menguatkan
54
AN = A1 + A2 =
2
i A l D AN
(2.6.c)
ln
2
r A rN
Saluran Transmisi
merupakan fluksi sendiri yang akan memberikan induktansi
sendiri LAA.
2.1.2.2. Sistem Tiga Konduktor
Kita lihat sekarang sistem tiga konduktor, saluran kirim A dan B
serta saluran balik N, seperti terlihat pada Gb.2.2. Arus iA dan iB
masing-masing mengalir di A dan B sedang di N mengalir arus
balik (i A + i B ) . Kita akan menghitung fluksi lingkup segmen
loop yang menjadi perhatian kita yaitu fluksi lingkup pada
segmen loop yang dibentuk oleh saluran A dan saluran balik N.
iA
A
A
iB
B
B
i A + iB
N
N
Gb.2.2. Saluran kirim A dan B, dan
saluran balik N
Dalam situasi ini arus iA di konduktor A dan arus balik (iA+iB) di
N memberikan fluksi lingkup sebesar
ANB1 =
i A l D AN (i A + i B )l D AN
ln
+
ln
2
r A
2
rN
(2.7.a)
ANB 2 =
i B l D AB i B l D BN
ln
+
ln
2
rB
2
rB
(2.7.b)
iBl
+
2
DAN
D
D
ln
ln AB + ln BN
rN
rB
rB
55
Saluran Transmisi
atau
ANB =
2
i Al D AN
i l D D
ln
+ B ln AN BN
2
rA rN
2
rN D AB
(2.7.c)
BNA1 =
i B l D BN (i B + i A )l D BN
ln
+
ln
2
rB
2
rN
(2.8.a)
BNA2 =
i A l D AN
D i l D
ln
ln AB = A ln AN
2
r A
r A 2
D AB
(2.8.b)
2
i B l D BN
i l D D
ln
+ A ln BN AN
2
rB rN
2
D AB rN
(2.8.c)
56
Saluran Transmisi
A
B
v BN
v AN
iB
v AN
v BN
iC
v CN
i A + i B + iC
v CN
A
B
C
N
l
D
D
i A ln AN + (i A + iB + iC ) ln AN
2
rA
rN
+
D
D
iC ln CN iC ln AC
2
rC
rC
DBN
DAB
+
2 iB ln r iB ln r
B
B
D2
D D
D D
l
i A ln AN + iB ln AN BN + iC ln AN CN
2
rA rN
rN DAB
rN DAC
(2.9.a)
D
D
l
i B ln BN + (i A + i B + i C ) ln BN
2
rB
rN
BN =
+
=
D
D
iC ln CN i C ln BC
2
rC
rC
D AN
D AB
+
2 i A ln r i A ln r
A
A
D D
D2
D D
l
i A ln BN AN + i B ln BN + +iC ln BN CN
2
rN D AB
rB rN
rN D BC
(2.9.b)
CN =
D
D
l
iC ln CN + (i A + i B + iC ) ln CN
2
r A
rN
+
D
D
i B ln BN i B ln BC
rB
rB
2
D AN
D AC
+
2 i A ln r i A ln r
A
A
D D
D D
D2
l
i A ln CN AN + i B ln CN BN + iC ln CN
2
rN D AC
rN D BC
rC rN
(2.9.c)
57
Saluran Transmisi
Penurunan relasi (2.9) sudah barang tentu tidak terbatas hanya untuk
empat konduktor. Akan tetapi dalam pembahasan ini kita
mengaitkannya dengan keperluan kita untuk meninjau sistem tigafasa. Oleh karena itu kita batasi tinjauan pada sistem empat
konduktor. Dalam bentuk matriks, (2.9) dapat kita tuliskan sebagai
D2
ln AN
2 rA rN
AN
= l ln DBN D AN
BN
rN D AB
2
CN
D D
ln CN AN
rN DAC
2
D AN DBN
ln
2
rN D AB
D2
ln BN
2 rB rN
D D
ln CN BN
2
rN DBC
D AN DCN
ln
2
rN DAC
DBN DCN
ln
2
rN DBC
D2
ln CN
2 rC rN
i
A
iB
iC
(2.10)
Turunan terhadap waktu dari fluksi lingkup memberikan tegangan
imbas
D2
ln AN
2 r A rN
v AA
D D
1
v BB = ln BN AN
l
rN D AB
2
v CC
D
ln CN D AN
2
rN D AC
D D
ln AN BN
2
rN D AB
D2
ln BN
2 rB rN
D D
ln CN BN
2
rN D BC
D D
ln AN CN
2
rN D AC
D
D
ln BN CN
2
rN D BC
D2
ln CN
2 rC rN
di A
dt
di
B
dt
diC
dt
(2.11)
Jika tegangan dan arus adalah sinusoidal, persamaan matriks di atas
dapat kita tuliskan dalam fasor
D2
ln AN
2 r A rN
V AA
D D
1
V BB = j ln BN AN
l
2
rN D AB
VCC
ln DCN D AN
2
rN D AC
D D
ln AN BN
2
rN D AB
D2
ln BN
2 rB rN
D D
ln CN BN
2
rN D BC
D D
ln AN CN
2
rN D AC
D D
ln BN CN
2
rN D BC
D2
ln CN
2 rC rN
I A
I B
I C
(2.12)
Persamaan ini menunjukkan tegangan imbas pada setiap konduktor,
sepanjang segmen l (jika faktor l pindah ke ruas kanan).
58
Saluran Transmisi
2.1.3. Impedansi
Resistansi dan tegangan imbas (baik oleh fluksinya sendiri
maupun oleh fluksi yang timbul karena arus di konduktor lain)
pada setiap konduktor membentuk impedansi di setiap konduktor.
Dalam memperhitungkan resistansi, kita amati hal berikut:
Semua arus fasa melalui masing-masing konduktor fasa,
sedangkan arus balik melalui konduktor netral secara bersamasama. Oleh karena itu impedansi sendiri suatu fasa akan
mengandung resistansi konduktor fasa dan resistansi konduktor
netral, sedangkan impedansi bersama akan mengandung resistansi
konduktor netral saja. Persamaan (2.12) dapat kita tuliskan
menjadi:
VAA Z AA
1
VBB = Z BA
l
VCC Z CA
Z AB
Z BB
Z CB
Z AC I A
Z BC I B
Z CC I C
(2.13.a)
Z BB = R B + R N + j
Z CC = RC + R N + j
2
D AN
ln
;
2 rA rN
2
D BN
ln
;
2 rB rN
2
DCN
ln
;
2 rC rN
Z AB = R N + j
D AN D BN
ln
2
rN D AB
Z AC = R N + j
D AN DCN
ln
rN D AC
2
Z BA = R N + j
D BN D AN
ln
2
rN D AB
Z BC = R N + j
D BN DCN
ln
2
rN D BC
Z CA = R N + j
DCN D AN
ln
2
rN D AC
Z CB = R N + j
DCN D BN
ln
2
rN D AC
(2.13.b)
59
Saluran Transmisi
Walaupun matriks impedansi pada (2.13.a) terlihat simetris namun
tidak diagonal. Matrik impedansi urutan akan berbentuk diagonal
jika konfigurasi konduktor memiliki kesimetrisan seperti pada
konfigurasi atau dibuat simetris melalui transposisi, seperti yang
akan kita lihat berikut ini.
2.1.3.1. Konfigurasi (Segitiga Sama-Sisi)
Konfigurasi ini adalah konfigurasi segitiga sama-sisi di mana
konduktor fasa berposisi di puncak-puncak segitiga.
D AB = DBC = D AC = D
Konduktor netral berposisi di titik berat segitiga, sehingga
D AN = DBN = DCN = D / 3
Gb.2.4. memperlihatkan konfigurasi ini.
D
D/ 3
D
Gb.2.4 Konfigurasi (equilateral).
Jika kita anggap resistansi konduktor fasa sama besar yaitu R
dan GMR-nya pun sama yaitu r , maka jika kita masukkan
besaran-besaran ini ke (2.13.b) kita peroleh persamaan (2.14) di
bawah ini. Perhatikan impedansi sendiri ZXX yang akan kita sebut
Zs dan impedansi bersama ZXY yang akan kita sebut Zm dalam
persamaan yang diperoleh ini.
60
Saluran Transmisi
Z AA = R + RN + j
D2
ln
;
2 3r rN
Z AB = RN + j
D
ln
2 3rN
Z AC = RN + j
Z BB = R + RN + j
2
DBN
ln
;
2 3r rN
Z BA = RN + j
Z BC
Z CC = R + RN + j
2
DCN
ln
;
2 3r rN
D
ln
2 3rN
D
ln
2 3rN
(2.14)
D
= RN + j
ln
2 3rN
Z CA = RN + j
D
ln
2 3rN
Z CB = R N + j
D
ln
2 3rN
Z AB = Z BC = Z CA = Z m dan Z AA = Z BB = Z CC = Z s
sehingga (2.13.a) dapat dituliskan:
V AA Z s
1
VBB = Z m
l
VCC Z m
Z m I A
Z m I B
Z s I C
(2.15.a)
D2
ln
/m
2 3r rN
(2.15.b)
Zm
Zs
Zm
dengan
Z s = R + RN + j
Z s = RN + j
D
ln
/m
2 3rN
61
Saluran Transmisi
=
0
Zs Zm
0
0
0
Z s Z m
1
a
a 2
(2.16.a)
Dengan memasukkan (2.15.b) ke (2.16.a) kita peroleh
D4
ln
/km
2 27r (rN )3
(2.16.b)
D
= R+ j
ln
/km
2 r
Z 0 = Z s + 2 Z m = R + 3R N + j
Z1 = Z 2 = Z s Z m
62
Saluran Transmisi
Z AAl
0,00031 + 0,00031
7
2
=
20000
100 4 10
1
ln
+ j
2
3 0,006 0,006
100 4 10 7
12
20000
Z ABl = 0,00031 + j
ln
0
,
006
Z1 = Z s Z m = Z AAl Z ABl
= 12,04 + j12,85 6,02 j 5,05
= 6,02 + j 7,8 = 9,8652,35
CONTOH-2.2: Beban 5000 kW dengan faktor daya 0,8 dicatu
melalui penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50 Hz,
sepanjang 20 km dengan konfigurasi seperti yang diberikan pada
Contoh-2.1. Dengan mengabaikan kapasitansi antar konduktor,
hitunglah tegangan di ujung kirim apabila tegangan di ujung terima
(beban) ditetapkan 20 kV dengan cara: a) menggunakan besaranbesaran fasa; b) menggunakan besaran urutan.
Solusi:
a)
Saluran Transmisi
Dengan menggunakan tegangan fasa-netral ujung terima fasa A
sebagai referensi, maka tegangan fasa-netral ujung terima fasa A,
B, dan C adalah
VrA =
20
3
0 o = 11,550 o kV
IA =
5000 / 3
= 180,4 A I A = 180,4 36,87 o A
11,55 0,8
I B = 180,4 156,87 o A
IC = 180,4 276,87 o A
Saluran Transmisi
D AN = D1
D AN = D 2
D AN = D3
D BN = D 2
D BN = D3
D BN = D1
DCN = D3
DCN = D1
DCN = D2
Gb.2.5. Transposisi.
Kita misalkan ketiga konduktor fasa pada Gb.2.5 memiliki
resistansi per satuan panjang sama besar dan demikian juga jarijari serta GMR-nya;
R A = R B = RC = R , rA = rB = rC = r , dan r A = rB = rC = r .
65
Saluran Transmisi
Kita dapat mencari formulasi impedansi fasa dan impedansi
urutan dengan melihat seksi per seksi. Jika panjang keseluruhan
saluran adalah d, maka untuk konduktor A:
seksi pertama:
Z AA =
D2
d
R + RN + j
ln 1
3
2 r rN
Z AB =
D D
D D
d
1
RN + j
ln 1 2 ; Z AC = R N + j
ln 1 3
3
2 D AB rN
3
2 D AC rN
(2.17.a)
seksi ke-dua:
d
1
DD
D2 D3
; Z AC = RN + j
ln
ln 2 1
= RN + j
3
2 DAB rN
3
2 DAC rN
Z AA =
Z AB
d
D22
R + RN + j
ln
3
2 rrN
(2.17.b)
seksi ke-tiga
Z AA =
d
D2
R + RN + j
ln 3
3
2 rA rN
Z AB =
DD
RN + j
ln 3 1
3
2 DAB rN
DD
; Z AC = RN + j
ln 3 2
3
2 DAC rN
(2.17.c)
Impedansi per satuan panjang konduktor A menjadi:
D12
ln
2 r rN
Z AB = R N + j
D1 D 2
ln
2 D AB rN
Z AC = R N + j
D1 D3
ln
2 D AC rN
Z AA = R + R N + j
66
1/ 3
1/ 3
D 22
r rN
1/ 3
D 2 D3
D r
AB N
1/ 3
D 2 D1
D r
AC N
D32
r rN
1/ 3
1/ 3
D3 D1
D r
AB N
1/ 3
D3 D 2
D r
AC N
1/ 3
1/ 3
(2.18)
Saluran Transmisi
Jika didefinisikan:
Dh = 3 D1 D2 D3
dan D f = 3 D AB D BC D AC
(2.19)
Z AA = R + RN + j
Dh2
ln
2 r rN
Dh2
Z AB = RN + j
ln
2 D f rN
; Z AC = RN + j ln Dh
2 D f rN
(2.20)
V AA Z s
1
VBB = Z m
l
VCC Z m
dengan
Z s = R + RN + j
Zm
Zs
Zm
Z m I A
Z m I B
Z s I C
Dh2
ln
2 r rN
2
Dh
Z m = RN + j
ln
2 D f rN
Impedansi urutan
/m
/m
(2.21.a)
(2.21.b)
Z 0 = Z s + 2 Z m = R + 3R N + j
Z1 = Z 2 = Z s Z m
D h6
ln
2 D 2 r (rN ) 3
f
(2.22)
D f
= R+ j
ln
2
r
67
Saluran Transmisi
CONTOH-2.3: Hitunglah impedansi urutan positif pada frekuensi
50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang
mempunyai konfigurasi sebagai berikut:
8, 4 m
R A = RB = RC = 0.088 / km
4,2 m
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA = rB = rC = r = 1,073 cm
4,2 m
Jadi:
2 50 4 10 7 1000
5,29
ln
2
0,01073
= 0,088 + j 0,3896 /km
Z1 = 0,088 + j
2.1.4. Admitansi
Kita pandang satu konduktor lurus dengan panjang tak hingga
dan mengandung muatan dengan kerapatan per satuan panjang.
Pada konfigurasi sederhana ini, penerapan hukum Gauss untuk
menghitung displacement D menjadi sederhana.
Dds = l
S
Ex = =
=
2x l 2x
1
Untuk udara, = 0 =
10 9 F/m
36
68
Saluran Transmisi
Kuat medan listrik ini menyebabkan terjadinya perbedaan
potensial antara dua titik di luar konduktor, seperti digambarkan
pada Gb.2.6.
A
B
xA
xB
Gb.2.6. Dua titik di luar konduktor.
v AB =
xB
Edx =
xB
dx =
ln B
2x
2 x A
(2.23)
k , rk , k
Dik
D jk
vij
= vkj vki = k ln ik ln
k
k
k
2 rk
rk
(2.24)
D
= k ln ik
2 Dij
69
Saluran Transmisi
2.1.4.2. Beda Potensial Tiga Konduktor Bermuatan
Tiga konduktor bermuatan A, B, C diperlihatkan pada Gb.2.8.
Setiap muatan di setiap konduktor akan menyebabkan beda
potensial di dua konduktor yang lain.
D AC
D AB
D BC
A, r A , A
B, rB , B
C, rC , C
Gb.2.8. Tiga konduktor bermuatan.
v BC = v BC
v BC
Jadi
+ v BC
+ v BC
= A ln AC ; v BC
2 D AB
v BC =
c
D
B
ln BC ;
rB
2
r
C
ln C
2 DBC
v BC =
D
D
r
1
A ln AC + B ln BC + C ln C
2
D AB
rB
D BC
(2.25)
A , rA , A
B, rB , B
C, rC , C
N , rN , N
Gb. 2.9. Sistem empat konduktor.
A + A + A + A = 0
70
(2.26)
Saluran Transmisi
v AN =
D
D
D
r
1
A ln AN + B ln BN + C ln CN + N ln N
2
rA
D AB
D AC
D AN
v BN =
D
D
D
r
1
A ln AN + B ln BN + C ln CN + N ln N
2
D AB
rB
D BC
D BN
vCN =
D
D
D
r
1
A ln AN + B ln BN + C ln CN + N ln N
2
D AC
D BC
rC
DCN
v NN =
D
D
D
D
1
A ln AN + B ln BN + C ln CN + N ln NN
2
D AN
D BN
DCN
D NN
=0
(2.27)
a + b + c + n = 0 atau n = ( a + b + c )
maka N akan ter-eliminasi dari persamaan (2.27).
v AN =
1
D2
D D
D D
A ln AN + B ln AN BN + C ln AN CN
2
rArN
D AB rN
DAC rN
2
D
D D
+ B ln BN + C ln BN CN (2.28.a)
rB rN
DBC rN
D D
D2
+ B ln CN BN + C ln CN
DBC rN
rC rN
vBN =
1
D D
A ln AN BN
2
DAB rN
vCN =
1
D D
A ln CN AN
2
DAC rN
1
D2
ln AN
2
ra rn
v A
1
D
v =
BN D AN
B 2 ln D r
AB n
vC
1
DCN DAN
ln
DAC rn
2
1
D D
ln AN BN
2
DAB rn
1
D2
ln BN
2
rb rn
1
D D
ln CN BN
2
DBCB rn
1
D D
ln AN CN
DAC rn
2
A
1
DBN DCN (2.28.b)
ln
B
2
DBC rn
C
1
D2
ln CN
2
rc rn
71
Saluran Transmisi
v A f AA
v = f
B AB
vC f CA
f AB
f BB
f CB
f AC A
f BC A
f CC C
(2.28.c)
~
~v
ABC = [F ABC ] ABC
dengan
f ij =
(2.28.d)
Din D jn
1
ln
; i, j = A, B, C
2
Dij rn
(2.28.e)
f AB
A f AA
= f
B BA
C f CA
f AB
f BB
f CB
f AC A
f BC B
f CC C
(2.29.a)
atau
f BB
f CB
f AC
f BC
f CC
V A
VB
VC
(2.29.b)
Atau
~
-1 ~
~
(2.29.c)
F/m
(2.30)
(2.31)
72
Saluran Transmisi
Namun kita tidak menghitung [YABC] dengan menggunakan
(2.31) melainkan dari (2.30) dengan menghitung [F ABC ] dan
sini menghitung [F012 ] sehingga diperoleh [C 012 ] dan [Y012 ] .
f AA
[F ABC ] = f BA
f CA
f AC
f BC
f CC
f AB
f BB
f CB
(2.32)
(2.33)
[C 012 ] = [F012 ]1
sehingga
(2.35)
2.1.4.4. Konfigurasi
Pada konfigurasi ,
D AB = D BC = D AC = D
1
D2
ln
2 3rrn
[F ABC ] = 1 ln D
2 3rn
1
D
ln
2 3rn
fs
fm
f m
fs
fm
[F012 ] = [T]1 f m
1
D
ln
2 3rn
1
D2
ln
2 3rrn
1
D
ln
2 3rn
D AN = D BN = DCN = D / 3
1
D
ln
2 3rn
fs
1
D
ln
= fm
2 3rn
fm
1
D2
ln
2 3rrn
fm
fs + 2 fm
f m [T ] =
0
f s
0
F0 = f s + 2 f m =
0
fs fm
0
fm
fs
fm
fm
f m
f s
(2.35)
0
f s f m
0
(2.36)
1
D4
ln
2 27r (rn ) 3
F1 = F2 = f s f m =
1
D
ln
2 r
(2.37)
73
Saluran Transmisi
Kapasitansi
C0 =
1
2
=
4
F0 ln[ D / 27r (rN )3 ]
C1 =
1
2
= C2 =
F1
ln( D / r )
(2.38)
Admitansi
Y0 = jC 0 = j
2
ln[ D / 27r (rN ) 3 ]
Y1 = jC1 = Y2 = j
2
ln( D / r )
(2.39)
2.1.4.5. Transposisi
Kita telah melihat bahwa jika transposisi dilakukan, maka
impedansi urutan dapat berbentuk matriks diagonal. Hal yang
sama akan terjadi pada admitansi. Dengan transposisi matriks
[FABC] berbentuk
fs
[F ABC ] = f m
f m
fm
fs
fm
fm
f m
f s
(2.40)
74
Saluran Transmisi
demikian maka admitansi dapat kita peroleh dengan mengambil
nilai rata-rata dari admitansi per seksi.
1
f ij seksi-1 + f ij seksi-2 + f ij seksi-3
3
dengan f ij = f s jika i = j
f ij =
f if = f m jika i j
)
(2.41)
Kita memperoleh
fs =
D2D2D2
1
ln 1 2 3
6
r 3 rN3
fm =
DD D D D D
1
ln 1 2 2 3 3 1
6 D AB D BC D AC rN3
(2.42)
Dengan definisi:
Dh = 3 D1 D2 D3
D f = 3 D AB DBC D AC
kita peroleh
fs =
D2
1
ln h
2 rrN
fm =
Dh2
1
ln
2 D f rN
(2.43)
sehingga
F0 = f s + 2 f m =
D h6
1
ln
2 D 2 r (rn ) 3
f
F1 = F2 = f s f m =
Kapasitansi adalah
Df
1
ln
2
r
C0 =
1
2
=
F/m
6
F0 ln[ Dh / D 2f r (rN )3 ]
C1 =
1
2
= C2 =
F/m
ln( D f / r )
F1
(2.44)
(2.45)
75
Saluran Transmisi
Admitansi adalah
Y0 = jC 0 = j
Y1 = Y2 = j
2
ln( Dh6
/ D 2f rrN3 )
S/m
2
S/m
ln( D f / r )
(2.46)
4,2 m
R A = RB = RC = 0.088 / km
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA = rB = rC = r = 1,073 cm
4,2 m
Solusi:
Dengan menggunakan relasi (2.46), di mana Df sudah dihitung
pada Contoh-2.3. Dengan
= (1 / 36) 10 9 F/m
maka:
Y1 = j
2 50 2 (1 / 36) 10 9
2
= j
ln( D f / r )
ln(5,29 / 0,01350)
Saluran Transmisi
Rangkaian ekivalen ini diperlukan karena saluran transmisi
terhubung dengan peralatan lain, transformator misalnya.
2.2.1. Persamaan Saluran Transmisi
Impedansi dan admitansi suatu saluran transmisi terdistribusi
sepanjang saluran yang ratusan kilometer panjangnya. Karena
impedansi dan admitansi terdistribusi sepanjang saluran maka dalam
penyaluran daya akan terjadi perbedaan tegangan dan arus antara
setiap posisi yang berbeda. Kita lihat model satu fasa saluran
transmisi seperti pada Gb.2.10.
x
I s + x
Vs
V s + x
Zx I x
Y x V x
Ix
Vx
Ir
Vr
x
Gb.2.10 Model satu-fasa saluran transmisi.
Saluran Transmisi
V x + x V x
= ZI x
x
I
Ix
atau x + x
= YV x
x
V x + x V x = ZxI x atau
I x + x I x = YxVx
Jika x mendekati nol, maka
dV x
= ZI x
dx
dI x
= YV x
dx
dan
(2.47)
d 2 Vx
dx
=Z
dI x
dx
d 2I x
dan
dx
=Y
dV x
dx
(2.48)
d 2 Vx
dx 2
= ZYVx
dan
d 2I x
dx 2
= ZYI x
(2.49)
2 = ZY
atau =
ZY
(2.50)
(2.51)
78
Saluran Transmisi
2.2.3. Impedansi Karakteristik
Dengan menggunakan pengertian konstanta propagasi maka
persamaan tegangan dan arus, (2.49) dapat dituliskan menjadi
d 2 Vx
dx
= 2 Vx
dan
d 2I x
dx
= 2I x
(2.52.a)
atau
d 2 Vx
dx
2 Vx = 0
dan
d 2I x
dx
2I x = 0
(2.52.b)
(2.52.c)
V x = k v1e x + k v1e x
(2.53.a)
(2.53.b)
dV x
= ZI x
dx
sehingga (2.53.b) dan (2.47) memberikan
k v1 e x k v 2 e x = Z I x
(2.53.c)
= ZY
Kita masukkan ke (2.53c) dan kita peroleh
ZY k v1e x k v 2 e x = ZI x
atau
79
Saluran Transmisi
k v1e x k v 2 e x =
Z
ZY
Ix =
Z
Ix
Y
(2.53.d)
Z
di
Y
ruas paling kanan (2.53.c) haruslah berdimensi impedansi;
impedansi ini disebut impedansi karakteristik, Zc.
paling kanan juga berdimensi tegangan. Oleh karena itu
Zc =
Z
Y
(2.54)
Perhatikan bahwa kita sedang meninjau satu segmen kecil dari suatu
saluran transmisi yaitu sepanjang x; dan kita memperoleh suatu
besaran impedansi yaitu impedansi karakteristik, Zc. Kita dapat
menduga bahwa impedansi ini terasakan/terdapat di setiap segmen
saluran transmisi dan oleh karena itu dia menjadi karakteristik suatu
saluran transmisi.
Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (2.53.d) kita
tulis menjadi
k v1e x k v 2 e x = Z c I x
(2.55)
V x = k v1e x + k v1e x
Dengan memberikan x = 0 pada (2.53.c) ini kita dapatkan tegangan
di ujung terima
k v1 + k v 2 = Vr
(2.56.a)
k v1 k v 2 = Z c I r
Dari (2.56.a) dan (2.56.b) kita peroleh
80
(2.56.b)
Saluran Transmisi
k v1 =
Z c I r + Vr
2
kv2 =
Vr Z c I r
2
(2.56.c)
V x = k v1e x + k v 2 e x
=
Z c I r + Vr x Vr Z c I r x
e +
e
2
2
e x + e x
e x e x
= Vr
+ ZcIr
2
2
= Vr cosh( x) + Z c I r sinh(x)
(2.57)
I + Vr / Z c
k i1 = r
2
I Vr / Z c
ki2 = r
2
(2.58.b)
I + Vr / Z c x I r Vr / Z c x
Ix = r
e +
e
2
2
=
Vr e x e x
e x + e x
+ Ir
Zc
2
2
Vr
sinh( x) + I r cosh( x)
Zc
(2.58.c)
81
Saluran Transmisi
Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan
Vx = Vr cosh( x ) + Z c I r sinh( x)
V
I x = r sinh( x) + I r cosh( x)
Zc
(2.59)
Vs = Vr cosh( d ) + Z c I r sinh( d )
V
I s = r sinh( d ) + I r cosh( d )
Zc
(2.60)
Ir
Zt
Vs
Yt
2
Yt
2
82
Vr
Saluran Transmisi
Pada rangkaian ekivalen ini, impedansi dan admitansi yang
terdistribusi sepanjang saluran dimodelkan sebagai impedansi dan
admitansi tergumpal. Aplikasi hukum Kirchhoff pada rangkaian
ini memberikan:
Z Y
Vs = Vr + Z t I r + t Vr = 1 + t t
2
2
Y
Y
I s = Ir + t Vr + t Vs
2
2
Y
Y Z Y
= Ir + t Vr + t 1 + t t Vr + Zt Ir
2
2
2
ZY
= 2 + t t
2
Vr + Z t I r
(2.61.a)
(2.61.b)
Yt
ZY
Vr + 1 + t t Ir
2
2
ZY
Vs = 1 + t t Vr + Z t I r
2
Z Y Y
ZY
I s = 2 + t t t Vr + 1 + t t I r
2 2
2
(2.62)
Vs = Vr cosh( d ) + Z c I r sinh( d )
Is =
Vr
sinh( d ) + I r cosh( d )
Zc
kita dapatkan
Z t Yt
= cosh( d )
2
Z t = Z c sinh( d )
1+
(2.63)
Z Y Y
1
2 + t t t =
sinh( d )
2
2
Z
Saluran Transmisi
Yt
sinh( d )
(e d e d ) / 2
=
=
2 Z c (cosh( d ) + 1) Z c (e d + e d + 2) / 2
=
=
(e d / 2 e d / 2 ) (e d / 2 + e d / 2 )
Z c (e d / 2 + e d / 2 ) 2
(e d / 2 e d / 2 )
Z c (e
d / 2
+e
d / 2
1
d
tanh
Zc
2
Z t = Z c sinh( d )
dan
Yt
1
d
=
tanh
2 Zc
2
(2.64)
0 = Z 0Y0 ;
1 = Z1Y1 ;
2 = Z 2Y2
(2.65)
Z c 0 = Z 0 / Y0
Z c1 = Z1 / Y1
Z c 2 = Z 2 / Y2
Impedansi urutan:
84
(2.66)
Saluran Transmisi
Z 0 = Z c 0 sinh 0 d
Z1 = Z c1 sinh 1d
(2.67)
Z 2 = Z c 2 sinh 2 d
Admitansi urutan:
Y0
d
1
=
tanh 0
2 Z c0
2
d
Y1
1
=
tanh 1
2 Z c1
2
(2.68)
Y2
1
d
=
tanh 2
2 Z c2
2
I s0
I r0
Zt0
Vs 0
Yt 0
2
Yt 0
Vr 0
2
I r1
Z t1
V s1
Yt1
2
Yt1
2
Vr1
Ir2
Zt 2
Vs 2
Yt 2
2
Yt 2
2
Vr 2
Saluran Transmisi
CONTOH-2.5: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi
yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, tentukan
(a) impedansi karakteristik;
(b) konstanta propagasi;
(c) rangkaian ekivalen .
8, 4 m
4,2 m
R A = RB = RC = 0.088 / km
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA = rB = rC = r = 1,073 cm
4,2 m
Solusi:
Impedansi dan admitansi per satuan panjang saluran ini telah
dihitung pada dua contoh sebelumnya.
Y1 = j 2,923 S/km
Zc =
Z
=
Y
= 103
0,088 + j 0,3896
j 2,923 10 6
0,088 + j 0,3896
= 369,67 - 6,4o
j 2,923
b) Konstanta propagasi
Z t = Z c sinh( d )
= (369,67 6,4 o ) sinh[(0,1198 + j1,074) 10 1 ]
= 8,77 + j 38,89 = 39.8777.3o
86
Saluran Transmisi
Yt
1
d
=
tanh
2 Zc
2
=
tanh
2
369,67 6,4 o
Is
V s j 0,1463
8.77 + j38,89
j 0,1463
Ir
Vr
Z t = Z c sinh d Z c ( d ) =
Yt
1
d
1 d
=
tanh
=
2 Zc
2 Zc 2
Z
Y
ZY d = Zd
(2.69)
ZY
Yd
d=
2
2
Z /Y
Rangkaian ekivalen yang dibuat dengan menggunakan nilai-nilai
pendekatan ini disebut juga rangkaian ekivalen nominal.
CONTOH-2.6: Tentukan rangkaian ekivan pendekatan untuk
saluran pada Contoh-2.5.
Solusi:
Dengan menggunakan relasi (2.69) elemen rangkaian ekivalen
pendekatan adalah:
Saluran Transmisi
2.2.6. Saluran Pendek
Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (2.60)
yaitu
Vs = Vr cosh( d ) + Z c I r sinh( d )
V
I s = r sinh( d ) + I r cosh( d )
Zc
Pada saluran yang pendek, d << 1 . Dalam situasi ini kita dapat
membuat pendekatan sinh( d ) d dan cosh( d ) 1 . Dengan
pendekatan ini persamaan kinerja saluran transmisi pendek dapat
ditulis dengan lebih sederhana:
Vs = Vr + ( Z c d ) I r
d
Is =
Vr + I r
Zc
(2.70.a)
Sementara itu
Zc =
Z
ZY = Z
Y
=
Zc
dan
ZY
Z /Y
=Y
(2.70.b)
Vs = Vr + ( Zd ) I r
(2.70.c)
I s = (Yd ) Vr + I r
Persamaan (2.24.c)
ini memberikan
diagram rangkaian
ekivalen seperti
terlihat pada
Gb.2.13. di samping
ini, yang kita sebut
rangkaian ekivalen
pendekatan untuk
saluran pendek.
88
Is
Ir
Zd
Vs
Yd
Vr
Saluran Transmisi
Rangkaian ekivalen pendekatan hanya kita pakai apabila kita
perlukan. Dalam analisis selanjutnya kita akan menggunakan
rangkaian ekivalen yang sebenarnya.
2.2.7. Konstanta ABCD
Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (2.60)
yaitu
Vs = Vr cosh( d ) + Z c I r sinh( d )
V
I s = r sinh( d ) + I r cosh( d )
Zc
Persamaan ini dapat ditulis dengan dengan menggunakan
konstanta A, B, C, D seperti berikut:
Vs = AVr + B I r
(2.71.a)
I s = C Vr + D I r
dengan
A = cosh d ; B = Z c sinh d
C=
sinh d
1
=
B ; D = cosh d = A
Zc
Z c2
(2.71.b)
Vs = 1 + t t Vr + Z t I
2
Z Y Y
ZY
I s = 2 + t t t Vr + 1 + t t I r
2 2
2
Z Y
A = 1 + t t
2
Z Y Y
C = 2 + t t t
2 2
B = Zt
Z Y
D = 1 + t t = A
2
(2.71.c)
89
Saluran Transmisi
Konstanta-konstanta A, B, C, D, adalah bilangan-bilangan
kompleks karena Zt maupun Yt adalah bilangan kompleks yang
nilainya ditentukan oleh ukuran, konfigurasi, dan panjang
saluran. Kita lihat lagi saluran pada Contoh-7.1. untuk memberi
gambaran tentang nilai konstanta-konstanta ini.
CONTOH-2.7: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi
yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, sedangkan
panjang saluran 100 km, tentukan konstanta A, B, C, D saluran
transmisi ini.
8, 4 m
4,2 m
R A = RB = RC = 0.088 / km
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA = rB = rC = r = 1,073 cm
4,2 m
Solusi:
dan Zc telah dihitung pada Contoh-2.5:
Z c = 369,67 - 6,4 o
= (0,1198 + j1,074) 10 3 per km
Menggunakan formulasi (2.71.b), nilai konstanta A, B, C,
D, adalah
A = cosh d = 0,99430,07 o
B = Z c sinh d = 39,8777,30 o
C=
sinh d
1
=
B = 0,000390,02 o
Zc
Z c2
D = cosh d = A = 0,99430,07 o
Dengan menggunakan konstanta A,B,C,D, ini, kita akan
mecermati kinerja saluran.
CONTOH-2.8: Jika saluran transmisi pada Contoh-2.7 mencatu
beban sebesar 250 MVA dengan faktor daya 0.9 lagging pada
tegangan 270 kV. Hitunglah tegangan di ujung kirim, arus di ujung
kirim, tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim, faktor daya di
ujung kirim, dan susut daya di saluran.
90
Saluran Transmisi
Solusi:
Dengan model satu-fasa, tegangan beban 270 kV digunakan
sebagai referensi. Tegangan fasa-netral adalah
Vr =
270
3
= 155,88 0 o kV
Ir =
250
270 0,9 3
= 0.53 - 25,8 o kA
Vs = 0,99430,07 o Vr + 39,8777,30 o I r
= 155 + j 0.2 + 13.3 + j16.7 = 169.15.7 o kV
Arus di ujung kirim:
V = Vs Vr = 169,15,7 o 155,880 o
= 12,4 + j16,9 = 2153,7 o kV
atau
21
100 12% dari tegangan di ujung kirim.
169,1
P Pr
Psaluran = s
100% = 3.1% .
Ps
91
Saluran Transmisi
2.3. Perubahan Pembebanan
Dalam Contoh-2.8 di atas, pembebanan 250 MVA dengan faktor
daya 0,9 menyebabkan tegangan jatuh 12% dan susut daya 3,1%
sementara faktor daya di ujung kirim 0,89. Berikut ini kita akan
melihat situasi jika terjadi perubahan pembebanan
CONTOH-2.9: Dengan panjang tetap 100 km, saluran transmisi
pada Contoh-2.8 dibebani 200, 250, 300 MVA dengan faktor daya
tetap 0.9 lagging. Hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung
kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran.
Solusi:
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada
Contoh-2.8. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.
Beban [MVA]
200
Panjang
92
250
100 km
300
100 km
o
155,880
100 km
155,880o
Vr [kV]
155,880
I r [kA]
0.43-25.8o
0.53-25.8o
0.64-25.8o
Vs [kV]
166.24.7o
169.15.7o
172.16.7o
I s [kA]
0.40-20o
0.51-21.2o
0.62-22o
V [kV]
16.754.3o
2153.7o
25.253.3o
V [%]
10
12
15
Ss [MVA]
203
260
320
f.d.
0.9
0.89
0.88
Susut [%]
2.5
3.1
3.75
Saluran Transmisi
2.4. Perubahan Panjang Saluran
Perubahan panjang saluran akan mengubah konstanta saluran. Kita
lihat contoh berikut.
CONTOH-2.10: Dengan beban tetap 250 MVA dan faktor daya 0,9
lagging, hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim,
faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran untuk panjang
saluran 100, 150, 200 km
Solusi:
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada
Contoh-2.8. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.
Panjang Saluran
100
Beban
150
250 MVA
200
250 MVA
o
250 MVA
o
0.97730.3o
0.99430.07
B []
39.86777.3o
59.658 77.3o
79.2877.4o
C [mS]
0.291790.02o
0.4366 90.06o
0.580290.1o
0.99430.07o
0.98720.17o
0.97730.3o
Vr [kV]
155.880o
155.880o
155.880o
I r [kA]
0.53-25.8o
0.53-25.8o
0.53-25.8o
Vs [kV]
169.15.7o
175.68.3o
181.910.8o
I s [kA]
0.51-21.2o
0.50-18.7o
0.49-16o
V [kV]
2153.7o
3154.9o
4156.1o
V [%]
12
18
22
Ss [MVA]
260
264
267
f.d.
0.89
0.89
0.89
Susut [%]
3.1
4.5
5.8
0.98720,17
93
Saluran Transmisi
2.5. Lossless Line
Konstanta ABCD saluran transmisi diberikan oleh (2.71.b) yaitu
A = cosh d ; B = Z c sinh d
C=
sinh d
1
=
B ; D = cosh d = A
Zc
Z c2
2 = ZY
atau =
ZY
(2.72)
A = D = cosh d =
e j + e j
= cos
2
(2.73)
Konstanta B menjadi
B = Z c sinh d = Z c
e j e j
= Z c j sin
2
(2.74)
94
Saluran Transmisi
2.6. Analisis Pembebanan Saluran Transmisi
Kenaikan tegangan jatuh serta kenaikan susut daya seiring dengan
peningkatan pembebanan sudah dapat kita duga. Pada pembebanan
yang kita hitung pada Contoh-2.8 sebesar 250 MVA, tegangan jatuh
sudah mencapai 12% dan susut daya sudah 3,1%. Padahal jika kita
mengingat kapasitas arus konduktor yang 900 A dan seandainya
saluran kita bebani sesuai dengan kemampuan arus konduktornya,
daya yang bisa diterima di ujung kirim adalah
95
Saluran Transmisi
2.6.2. Tegangan dan Arus di Ujung Kirim
Kita misalkan:
konstanta saluran: A = A dan B = B ,
tegangan ujung terima Vr = Vr 0 o (sebagai referensi)
arus beban lagging I r = I r o ,
maka tegangan di ujung kirim adalah
Vs = AVr + B I r = AVr ( + 0) + BI r ( )
(2.75.a)
BI r
AVr
Re
Vr
Ir
Ir
Gb.2.14. Perubahan I r menjadi I r menyebabkan perubahan
Vs menjadi Vs .
Jika kita misalkan Z c = Z c , maka persamaan ke-dua
(2.71.a) menjadi:
B
Is =
Vr + A I r
Z c2
(2.75.b)
BVr
=
(0 2) + AI r ( )
2
Zc
Impedansi karakteristik Zc juga merupakan besaran konstan untuk
satu saluran transmisi tertentu. Jika faktor daya beban
dipertahankan konstan, beda susut fasa antara arus di ujung terima
dan di ujung kirim hanya ditentukan oleh parameter saluran.
96
Saluran Transmisi
2.6.3. Tegangan Jatuh Pada Saluran
Peningkatan arus Ir berarti peningkatan pembebanan. Selain batas
thermal sebagaimana telah dikemukakan di atas, ada pembatasan
lain yang akan kita lihat berikut ini.
Jika adalah sudut antara Vs dan Vr maka dari relasi tegangan
Vs AVr
B
B
Vs
AVr
=
( )
( )
B
B
Ir =
(2.76)
S r 1fasa = Vr I r
=
Vr V s
AVr2
( )
( )
B
B
(2.77)
Im
Vs
AVr
BI r
Re
Vr
Ir
Gb.2.15. Perubahan sudut .
97
Saluran Transmisi
2.6.4. Diagram Lingkaran
Daya tiga-fasa di ujung terima diperoleh dari (2.77) yaitu
S r 3fasa =
3Vr Vs
3 AVr2
( )
( )
B
B
(2.78)
M
O
Re
Saluran Transmisi
Penjelasan dari Gb.2.16 adalah sebagai berikut:
1. Pada
bidang
kompleks
kita
gambarkan
3 AVr2
B
2.
( )
yaitu
OM
kemudian
kita
fasor
gambar
3 AVr2
( ) yaitu OM .
B
3V r V s
( )
B
3.
4.
5.
6.
7.
S r 1fasa =
V2
AV 2
( )
( )
3B
3B
(2.79.a)
V2
AV 2
( )
( )
(2.79.b)
B
B
Pada nilai = 0, kita tetap mendapatkan daya kompleks, bukan
daya nyata. Daya nyata kita peroleh dengan mengambil bagian
nyata dari relasi daya ini, dan daya reaktif adalah bagian
imajinernya.
S r 3fasa =
99
Saluran Transmisi
Pr 3fasa = Re S r 3fasa
V 2
AV 2
= Re
( )
( )
B
B
(2.80.a)
V2
AV 2
cos( )
cos( )
B
B
Qr 3fasa = Im S r 3fasa
V 2
AV 2
= Im
( )
( )
B
B
(2.80.b)
V2
AV 2
sin( )
sin( )
B
B
Daya nyata pada relasi (2.80.a) akan mencapai nilai maksimum
pada waktu ( ) = 0 atau = . Daya nyata maksimum ini
merupakan daya maksimum yang bisa dicapai dalam tinjauan
keadaan mantap (steady state); besarnya adalah
=
V2
[1 A cos( )]
(2.81)
B
Pada waktu = , yaitu pada waktu daya nyata mencapai nilai
maksimum mantap, daya reaktif adalah
Pr 3fasa
maks mantap
AV 2
sin( )
(2.82)
B
Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap adalah
Q r 3fasa maks mantap =
S3 fasa maks
mantap
= P2 + Q2
(2.83)
V2
2
=
1 + A 2 A cos( )
B
Ini merupakan daya kompleks tiga-fasa maksimum yang bisa
dibebankan pada suatu saluran transmisi. Jika konduktor yang
digunakan dalam saluran ini mempunyai kapasitas arus sebesar
Ic, maka berdasarkan kapasitas arus ini daya yang bisa
dibebankan pada saluran transmisi adalah
100
Saluran Transmisi
S 3 fasa saluran = VI c 3
(2.84)
4,2 m
R A = RB = RC = 0.088 / km
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA = rB = rC = r = 1,073 cm
4,2 m
V2
1 + A 2 2 A cos( )
B
275
1 + 0,9943 2 0,09943 (cos( 77 ,30 0,07 )
39,87
= 417 MVA
=
Saluran Transmisi
2.6.6. Surge Impedance Loading (SIL)
SIL kita tinjau untuk suatu lossless line. Dalam kondisi ini
cosh d = cos
dan
sinh d = j sin
Vs = Vr cosh( d ) + Z c I r sinh( d )
= Vr cos(d ) + jZ c
Vr
sin(d )
Zc
(2.86)
= Vr (cos( d ) + j sin(d ) )
= Vr (d )
Vs = Vr x
V ( x)
(2.87)
Tegangan sepanjang V
r
saluran
Saluran Transmisi
SIL = 3
Vr2
V2
==
Zc
Zc
(2.88)
Zc = Z / Y
dengan Z dan Y adalah besaran per satuan panjang; dan Z tetap
mengandung resistansi, Z = R + jX .
Pembebanan sesungguhnya bisa lebih besar atau lebih kecil dari
SIL. Jika tegangan di ujung terima, Vr, dipertahankan pada suatu
nilai tertentu, pembebanan yang lebih besar dari SIL
mengharuskan tegangan di ujung kirim lebih besar dari tegangan
ujung terima, Vs > Vr . Jika pembebanan lebih kecil dari SIL,
tegangan di ujung kirim lebih kecil dari tegangan di unjung terima
maka Vs > Vr
> SIL
V (x)
SIL
Vr
< SIL
d
x
Gb.2.18. Pembebanan >SIL atau < SIL.
CONTOH-2.12: Dari saluran transmisi 50 Hz, 275kV, dengan
panjang saluran 100 km seperti pada Contoh-2.8, tentukan SIL.
Bandingkanlah dengan contoh-2.8 dimana saluran dibebani 250
MVA.
8, 4 m
4,2 m
R A = RB = RC = 0.088 / km
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA = rB = rC = r = 1,073 cm
4,2 m
103
Saluran Transmisi
Solusi:
Zc telah dihitung pada sebelumnya, yaitu
Z c = 369,67 - 6,4 o
SIL =
V2
2752
=
= 205 MVA
Z c 369,67
Vs = 169,1 3 = 293 kV
lebih besar dari tegangan penunjuk 275 kV.
2.7. Transien Pada Saluran Transmisi
2.7.1. Isolasi Saluran Transmisi
Udara adalah isolasi utama pada saluran udara. Namun konduktor
saluran transmisi harus ditopang oleh menara untuk mencapai
ketinggian tertentu terhadap permukaan tanah. Untuk mendukung
konduktor ini, diperlukan isolator yang memisahkan konduktor
dari menara.
Untuk memilih isolator, ada tiga hal utama yang perlu
dipertimbangkan, yaitu:
Tegangan kerja sistem itu sendiri.
Tegangan surja yang mungkin timbul oleh sambaran petir.
Tegangan surja yang timbul pada waktu penutupan/pembukaan
circuit breaker.
Tegangan yang paling menentukan adalah tegangan surja karena
kalau isolator mampu menahan tegangan uji surja tertentu,
biasanya ia juga mampu menahan tegangan kerja sistem. Untuk uji
surja, bentuk gelombang tegangan uji didefinisikan. Bentuk
104
Saluran Transmisi
gelombang surja dinyatakan sebagai T1 T2 dimana keduanya
dinyatakan dalam mikrodetik (s). Jika tegangan puncaknya
adalah V0 maka T1 adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai
puncak sedangkan T2 adalah waktu untuk turun mencapai 0,5V0.
Bentuk gelombang surja, secara matematis dinyatakan
menggunakan fungsi eksponensial ganda
v(t ) = V1 e t / 2 e t / 1
(2.89.a)
dengan
2 =
T2
= 1,443T 2 ;
ln( 2)
V1 = V 0 e
T
1 = 1 = 0, 2T1
5
(2.89.b)
(T1 / 1, 443T2 )
Saluran Transmisi
terhadap sambaran petir. Berdasar pengalaman, kawat-kawat fasa
yang berada dalam sektor 60o di bawah kawat tanah ini aman
terhadap sambaran petir langsung. Walaupun kawat fasa
terlindungi, sambaran petir langsung ke kawat tanah dapat terjadi.
Pada sambaran ini akan mengalir arus sangat tinggi ke tanah
melalui badan menara. Aliran arus yang sangat tinggi ini dapat
mengakibatkan kenaikan tegangan (beberapa saat) yang melebihi
tegangan flshover isolator. Terjadilah apa yang disebut backflash
yaitu tembus udara antara kawat tanah dengan konduktor fasa.
Sekali hal ini terjadi, flashover ini akan dipertahamkan oleh
tegangan sistem; ia akan dapat dihilangkan dengan cara
mematikan sistem. Hal yang sama juga bisa terjadi jika kawat fasa
terkena sambaran langsung. Tegangan dan arus tinggi pada saluran
transmisi juga bisa terjadi jika ada sambaran petir tidak jauh dari
saluran; peristiwa ini disebut sambaran tak langsung.
Salah satu upaya yang paling sederhana untuk menghindari
kerusakan akibat sambaran petir adalah pemasangan rod gap. Rod
gap berupa suatu sela udara yang dibangun antara kawat fasa dan
menara dengan perantaraan dua batang logam. Sela udara dibuat
sedemikian rupa sehingga ia akan tembus bila terjadi kenaikan
tegangan yang tidak diinginkan. Kelemahan alat sederhana ini
adalah bahwa tembus yang terjadi tidak dapat hilang dengan
sendirinya; di samping itu terjadi pula kerusakan pada batang
logam.
Gangguan petir terhadap saluran transmisi bisa berupa sambaran
langsung seperti disinggung di atas, ataupun sambaran tidak
langsung. Sambaran tidak langsung akan menimbulkan tegangan
imbas pada saluran transmisi. Lonjakan tegangan di saluran
transmisi, baik oleh sambaran langsung maupun sambaran tak
langsung, yang berlangsung hanya beberapa saat, akan merambat
sepanjang saluran transmisi. Lonjakan tegangan ini merupakan
peristiwa transien.
2.7.3. Transien Pada Saluran Transmisi
Dalam pelajaran analisis rangkaian listrik kita telah mempelajari
gejala transien. Penutupan saklar S pada rangkaian RLC Gb.2.19.
memberikan persamaan orde dua pada t 0 + sebagai berikut
106
Saluran Transmisi
Ri + L
di
+ v = vin
dt
v in = v in (t )u (t )
Di posisi lain di saluran transmisi, misalkan pada posisi x dari
ujung kirim, tegangan ini belum muncul; ia akan muncul beberapa
waktu kemudian, misalnya baru terasa pada t = Tx. Jadi terdapat
pergeseran waktu kemunculan tegangan ini di posisi x. Tegangan
107
Saluran Transmisi
di posisi x ini ditunjukkan pada Gb.2.21 dengan persamaan yang
dapat kita tuliskan sebagai
v x = v x (t )u (t T x )
(2.90)
Sesungguhnya bentuk gelombang tegangan di posisi x tidak sama
dengan bentuk tegangan di ujung kirim (x = 0) karena ada faktor
redaman di saluran transmisi. Namun untuk analisis gejala transien
ini, kita menganggap
saluran transmisi sebagai
v
vx = v(t )u(t Tx ) lossless line). Dengan
anggapan ini maka kita
boleh menganggap pula
bentuk gelombang tidak
berubah
sepanjang
t
0
Tx
saluran.
Gb.2.21. Tegangan di posisi x.
Dengan demikian kita
mengerti bahwa bentuk
gelombang yang merambat di saluran transmisi, yang disebut
gelombang berjalan (travelling wave), tidak hanya merupakan
fungsi t tetapi juga merupakan fungsi x. Bentuk gelombang ini
dapat kita tuliskan sebagai
v( x, t ) = v(t )u (t t x )
(2.91)
i ( x, t )
xL
v ( x, t )
xC
v ( x, t ) v ( x, t )
Saluran Transmisi
membicarakan gelombang yang merambat dari ujung kirim, atau
lebih tepatnya dari ujung sumber masuknya gelombang tegangan.
Pada segmen kecil terdapat induktansi seri xL dan kapasitansi
xC dengan L dan C adalah induktansi dan kapasitansi per satuan
panjang, sedangkan resistansi diabaikan karena kita menganggap
saluran transmisi adalah lossless. Pada segmen kecil inilah kita
dapat menerapkan hukum Kirchhoff.
i
v
v( x, t ) = xL
dan i ( x, t ) = xC
(2.92)
t
t
Jika x cukup kecil maka kita dapatkan formulasi diferensial
v( x, t )
i
=L
x
t
(2.93)
i ( x, t )
v
=C
x
t
Persamaan (2.93) kita tuliskan sebagai
v ( x, t ) = L i ( x, t )
x
t
(2.94)
i ( x , t ) = C v ( x , t )
x
t
Perhatikan persamaan pertama (2.94). Ruas kiri adalah turunan
parsial terhadap x dari v( x, t ) , ruas kanan adalah turunan parsial
terhadap t dari i ( x, t ) . Transformasi Laplace ruas kiri
memberikan
V ( x, s ) sedangkan transformasi Laplace ruas
x
kanan adalah L{sI ( x, s ) i ( x,0)} dengan i ( x,0) adalah nilai awal
dari i; jika tidak ada simpanan energi awal pada saluran transmisi
maka nilai awal i adalah nol sehingga transformasi Laplace ruas
kanan menjadi sLI ( x, s ) . Argumen yang sama berlaku untuk
persamaan kedua dari (2.94). Dengan demikian maka transformasi
Laplace dari (2.94) adalah
V ( x, s ) = sLI ( x, s )
x
(2.95)
I ( x, s ) = sCV ( x, s )
x
Saluran Transmisi
2
x 2
V ( x, s ) = sL
I ( x, s )
x
(2.96)
I ( x, s ) = sC V ( x, s )
x
x 2
Ruas kanan persamaan (2.96) ini memiliki nilai seperti
ditunjukkan oleh (2.95); jika kita substitusikan, akan kita peroleh
2
x 2
2
V ( x, s ) = s 2 LCV ( x, s )
(2.97)
I ( x, s ) = s LCI ( x, s )
x 2
Pada persamaan (2.97) ini turunan kedua suatu fungsi sama
bentuknya dengan fungsi itu sendiri. Fungsi yang demikian adalah
fungsi eksponensial. Kita duga bentuk fungsi itu adalah
2
p 2V ( s )e px s 2 LCV ( s )e px = 0
q 2 I ( s )e qx s 2 LCI ( s )e qx = 0
(2.98)
p 2 s 2 LC = 0 p = s LC
q 2 s 2 LC = 0 q = s LC
(2.99)
V ( x, s ) = V ( s )e s LC x
I ( x, s ) = I ( s )e s LC x
(2.100)
L [ f (t a)]u (t a) = e as F (s)
Kita terapkan sifat ini pada (2.100), dan kita peroleh
110
(2.101)
Saluran Transmisi
v( x, t ) = v(t LC x)u (t LC x)
(2.102.a)
i( x, t ) = i (t LC x )u (t LC x )
(2.102.b)
(2.102.c)
(2.103)
LC x haruslah
V ( x, s ) = V + ( s )e s
I ( x, s ) = I + ( s )e s
LC x
LC x
+ V ( s )e + s
+ I ( s )e + s
LC x
(2.104)
LC x
111
Saluran Transmisi
2.7.4. Pernyataan I(x,s) dalam Tegangan
Pemahaman gejala transien akan lebih mudah difahami jika kita
melakukan analisis pada gelombang tegangan. Oleh karena itu kita
akan menyatakan arus pada persamaan (2.104) dalam tegangan.
Hal ini dapat kita lakukan melalui persamaan
V ( x, s ) = sLI ( x, s )
x
I ( x, s ) = sCV ( x, s )
x
Apabila V ( x, s ) dari persamaan pertama ini dimasukkan ke
persamaan pertama (2.104) kita dapatkan
+
s
V ( x, s ) =
V ( s )e
x
x
+
= s LCV ( s)e
+ V ( s )e + s
LC x
s LC x
LC x
+ s LCV ( s)e
(2.105.a)
+ s LC x
V ( x, s ) = sLI ( x, s )
x
+
= s LCV ( s )e
(2.105.b)
s LC x
+ s LCV ( s )e
+ s LC x
s LC +
V ( s )e s
sL
C +
V ( s )e s
L
LC x
LC x
s LC
V ( s )e + s
sL
V ( s )e + s
L
LC x
(2.105.c)
LC x
112
Saluran Transmisi
Pada lossless line impedansi seri adalah Z = jX L karena R = 0.
Impedansi ini adalah besaran kompleks dan bukan merupakan
fungsi waktu sehingga tidak dapat melakukan transformasi
Laplace. Namun kita mengetahui bahwa peubah s dalam analisis
di kawasan s adalah peubah kompleks. Kita dapat mendefinisikan
pernyataan impedansi di kawasan s yaitu Z = sL dengan s adalah
operator Laplace. Dengan argument yang sama, pernyatan
admitansi Y = jX C di kawasan s adalah Y = sC . Dengan
pengertian impedansi karakteristik yang sudah kita kenal,
impedansi karekteristik di kawasan s adalah
Zc =
Z
=
Y
sL
L
=
sC
C
(2.106)
I ( x, s ) =
V + ( s )e s
Zc
LC x
V ( s )e + s
Zc
LC x
(2.107)
V ( x, s ) = V + ( s )e s LC x + V ( s )e + s LC x
I ( x, s ) =
V + ( s )e s LC x V ( s )e + s LC x
Zc
Zc
(2.108)
V (d , s ) = V + ( s )e s LC d + V ( s )e + s LC d
I (d , s ) =
V + ( s )e s LC d V ( s )e + s LC d
Zc
Zc
(2.109)
113
Saluran Transmisi
Zr =
V (d , s ) V + ( s )e s LC d + V ( s )e + s LC d
=
I (d , s ) V + ( s )e s LC d V ( s )e + s LC d
Zc
Zc
= Zc
(2.110.a)
V + ( s )e s LC d + V ( s )e + s LC d
V + ( s )e s LC d V ( s )e + s LC d
atau
Z r V + ( s)e s LC x V ( s )e + s LC x
= Z c V + ( s )e s LC x + V ( s )e + s
(2.110.b)
LC x
atau
( Z r Z c )V + ( s )e s
LC x
= ( Z c + Z r )V ( s)e + s
LC x
(2.110.c)
sehingga
V ( s )e + s
LC x
(Zr Zc ) +
V ( s )e s
(Zc + Zr )
LC x
(2.110.d)
114
(Z r Zc )
(Zc + Z r )
(2.110.e)
Saluran Transmisi
2.7.6. Superposisi Gelombang Maju Dan Gelombang Pantulan
Dalam perjalanannya menuju ujung kirim, gelombang pantulan
akan ter-superposisi dengan gelombang maju yang masih akan
datang dari ujung kirim. Jadi persamaan pertama (2.18) yang
memberikan persamaan tegangan sebagai fungsi x di kawasan s
menjadi
V ( x, s ) = V + ( s )e s
LC x
+ V ( s )e + s
= V + ( s )e s
LC x
LC x
(Zr Zc ) +
V ( s )e s
( Zc + Z r )
LC x
(2.111)
(Z r Z c )
(Zc + Z r )
Saluran Transmisi
kirim. Di saluran akan terjadi superposisi gelombang gelombang
pantul ini. Koefisien pantulan di ujung kirim adalah
ks =
(Z s Zc )
(Zc + Z s )
116
(2.112)
Transformator
BAB 3
Transformator
117
Transformator
3.1.1. Teori Operasi Transformator
3.1.1.1. Transformator Dua Belitan Tak Berbeban.
Diagram transformator
dua belitan tak
berbeban diperlihatkan
pada Gb.3.1. Belitan
pertama kita sebut
belitan primer dan yang
ke-dua kita sebut
belitan sekunder.
If
Vs
+
E1
N1
N2
+
E2
e1 = N1
d
= N1 maks cos t
dt
(3.1)
E1 = E10 o =
N1 maks
2
0 o ;
E1 = nilai efektif
(3.2)
Karena = 2 f maka:
E1 =
2 f N 1
2
E 2 = 4.44 f N 2 maks
(3.4)
E1 N1
=
a = rasio transformasi
E2 N 2
118
(3.5)
Transformator
Perhatikan bahwa E1
Ic
E1 = E 2
I f R1
If
V1
Ic
I
V1
l E1 = E 2
I f R1
If
jI f X l
transformator
dibangkitkan oleh
E2
arus yang mengalir
l1
Vs
di belitan primer.
Dalam kenyataan,
tidak semua fluksi
magnit yang
Gb.3.3. Transformator tak berbeban.
dibangkitkan
Fluksi bocor belitan primer.
tersebut akan
melingkupi baik belitan primer maupun sekunder. Selisih antara
fluksi yang dibangkitkan oleh belitan primer dengan fluksi
bersama (yaitu fluksi yang melingkupi kedua belitan) disebut
fluksi bocor. Fluksi bocor ini hanya melingkupi belitan primer saja
119
Transformator
dan tidak seluruhnya berada dalam inti transformator tetapi juga
melalui udara. (Lihat Gb.3.3). Oleh karena itu reluktansi yang
dihadapi oleh fluksi bocor ini praktis adalah reluktansi udara.
Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala histerisis
sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini
ditunjukkan dalam diagram fasor Gb.16.2.b.
Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan
induksi di belitan primer (seperti halnya menginduksikan E1 ).
Tegangan induksi ini 90o mendahului l1 (seperti halnya E1 90o
mendahului ) dan dapat dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh
ekivalen, E l1 , di rangkaian primer dan dinyatakan sebagai
E l1 = jI f X 1
(3.6)
V1 = E1 + I1 R1 + El1 = E1 + I1 R1 + j I1 X 1
(3.7)
I2
transformator
berbeban resistif,
RB, diperlihatkan
V 2 RB
l1 l2
Vs
oleh Gb.3.4.
Tegangan induksi
E 2 (yang telah
Gb.3.4. Transformator berbeban.
timbul dalam
keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di
rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2
ini membangkitkan fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi
bersama dan sebagian akan bocor (kita sebut fluksi bocor
sekunder).
120
Transformator
Fluksi bocor ini, l2 , sefasa dengan I 2 dan menginduksikan
tegangan E l 2 di belitan sekunder yang 90o mendahului l2.
Seperti halnya untuk belitan primer, tegangan E l 2 ini diganti
dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada
reaktansi bocor sekunder X2 di rangkaian sekunder. Jika resistansi
belitan sekunder adalah R2 , maka untuk rangkaian sekunder kita
peroleh hubungan
E 2 = V2 + I 2 R 2 + E l 2 = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2
(3.8)
( )
N 1 I1 I f N 2 I 2 = 0
(3.9)
I f = I1
( )
N2
I
I 2 = I1 2
N1
a
(3.10)
121
Transformator
3.1.2. Diagram Fasor Transformator
Dengan persamaan (3.7) dan (3.8) kita dapat menggambarkan
secara lengkap diagram fasor dari suatu transformator.
Penggambaran kita mulai dari belitan sekunder dengan langkahlangkah:
Gambarkan V2 dan I 2 . Untuk beban resistif, I 2 sefasa dengan
V2 . Selain itu kita dapat gambarkan I 2 = I 2 / a yaitu besarnya
arus sekunder jika dilihat dari sisi primer.
Dari V2 dan I 2 kita dapat menggambarkan E 2 sesuai dengan
persamaan (3.8) yaitu
E 2 = V2 + I 2 R 2 + E l 2 = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2
Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian
sekunder.
Untuk rangkaian primer, karena E1 sefasa dengan E 2 maka
E1 dapat kita gambarkan yang besarnya E1 = a E 2 .
Untuk menggambarkan arus magnetisasi I f kita gambarkan
lebih dulu yang tertinggal 90o dari E1 . Kemudian kita
gambarkan I f yang mendahului dengan sudut histerisis .
Selanjutnya arus belitan primer adalah I 1 = I f + I 2' .
Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi
sesuai dengan persamaan (3.7), yaitu
V1 = E1 + I1 R1 + El1 = E1 + I1 R1 + j I1 X
Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator
berbeban. Gb.3.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud,
yang dibuat dengan mengambil rasio transformasi N1/N2 = a > 1
122
Transformator
V1
E 2 jI 2 X 2
If
I 2'
E1
jI1 X 1
I1 R1
I 2 V2 I 2 R 2
I1
E1 2 V1 2 220 2
=
=
N 1
N 1
160
Penurunan fluksi m
V1 2 110 2
=
N 1
160
aksimum adalah 50 %, m = m / 2.
V1 2
55 2 110 2
=
=
(1 / 2) N 1 80
160
123
Transformator
Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, m = m / 2.
c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka
=
m
V1 2
110 2 220 2
=
=
(1 / 2) N 1
80
160
V1 =
N1 m
2
= 500 m =
500 2
= 0.00563 weber
400 2 50
0.00563
= 0.94 weber/m 2
0.006
1000
500 = 1250 V
400
Transformator
Solusi :
Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan
mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,
V1 =
N1 m
= 6000 N1 =
2
250
N2 =
450 = 18.75
6000
6000 2
= 450
2 50 0.06
N1 =
6000
20 = 480 lilitan
250
(3.11)
dengan I 2' =
N2
I
I2 = 2
N1
a
Dengan hubungan E1 = aE2 dan I2 = I2/a maka persamaan kedua dari (3.11) dapat ditulis sebagai
E1
= V2 + a I2 R 2 + ja I2 X 2
a
E1 = aV2 + I2 (a 2 R 2 ) + j I2 (a 2 X 2 ) = V2 + I 2 R 2 + j I2 X 2 (3.12)
dengan
V 2 = aV 2 ; R 2 = a 2 R 2 ; X 2 = a 2 X 2
125
Transformator
Dengan (3.12) maka (3.11) menjadi
V1 = E1 + I1 R1 + jI1 X 1 ;
E1 = aV2 + I2 R 2 + j I2 X 2 ;
(3.13)
I1 = I f + I2
I 2' , R2 , dan X2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder
yang dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (3.13) dibangunlah
rangkaian ekivalen transformator seperti Gb.3.6. di bawah ini.
I 2'
I1
R1 jX1
E1
V1
If
R2
jX2
B
V 2' = a V2
I 2'
I1
R1 jX1
V1
E1
If
Rc
Ic
R2
I
jXc
jX2
B
V 2 = a V2
Transformator
dengan permeabilitas magnetik yang tinggi. Oleh karena itu, jika If
diabaikan terhadap I1 kesalahan yang terjadi dapat dianggap cukup
kecil. Pengabaian ini akan membuat rangkaian ekivalen menjadi
lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.3.8.
I1 = I 2'
Re = R1+R2 jXe =j(X1+ X2)
B V 2
V1
V1
j I 2' X e
V 2
I 2'
Gb.3.8. Rangkaian ekivalen transformator
disederhanakan dan diagram fasornya.
3.1.4. Impedansi Masukan Transformator
Resistansi beban B adalah RB = V2/I2. Dilihat dari sisi primer
resistansi tersebut menjadi
R B =
V 2
aV 2
V
=
= a 2 2 = a 2 RB
I 2
I2 / a
I2
Z in =
V1
I1
= Re + a 2 R B + jX e
yang
(3.14)
disederhanakan
(3.15)
Transformator
3.1.5.1. Uji Tak Berbeban ( Uji Beban Nol )
Uji beban nol ini biasanya dilakukan pada sisi tegangan rendah
karena catu tegangan rendah maupun alat-alat ukur tegangan
rendah lebih mudah diperoleh. Sisi tegangan rendah menjadi sisi
masukan yang dihubungkan ke sumber tegangan sedangkan sisi
tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan rendah dilakukan
pengukuran tegangan masukan Vr, arus masukan Ir, dan daya
(aktif) masukan Pr. Karena sisi primer terbuka, Ir adalah arus
magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan
tegangan jatuh di reaktansi bocor sehingga Vr sama dengan
tegangan induksi Er. Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan
kehilangan daya di resistansi belitan sehingga Pr menunjukkan
kehilangan daya pada Rcr (Rc dilihat dari sisi tegangan rendah)
saja.
Pr
P
= r
S r Vr I r
sin =
Sr
Pr 2
Sr
(3.16)
I cr = I r cos ; I r = I r sin
V
Vr
V
Vr
Rcr = r =
; X r = r =
I cr I r cos
I r I r sin
Transformator
tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen yang dilihat
dari sisi tegangan tinggi Ret.
Pt = I t2 Ret Ret =
Vt = I t Z et Z et
Pt
I t2
V
= t X e = Z et2 Ret2
It
(3.17)
cos =
Rcr
129
Transformator
Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :
2
2400
Rct = a 2 Rcr =
500 = 50 k
240
X t = a 2 X r = 15.8 k
Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji
hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi
tegangan tinggi ini memberikan
Ret =
Pt
It
Z et =
360
(10.4) 2
= 3.33 ;
Vt
55
=
= 5.29
I t 10.4
I1 =
S
V1
25000
= 10.4 A Pcu = I 1 2 Ret = (10.4) 2 3.33 = 360 W
2400
Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat
sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah
penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.
3.1.6. Efisiensi dan Regulasi Tegangan
Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai
(3.18)
Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugirugi daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai
130
Transformator
=1
(3.19)
V1 / a V2
V2
V2 beban penuh
=
V1 aV2
aV2
V V2
= 1
V2
(3.25)
V2 + I 2 ( Re + jX e ) V2
V2
(3.26)
Efisiensi : = 1
0.474
= 0.976 atau 97.6 %
20
131
Transformator
3.1.7. Konstruksi Transformator
Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator
dengan satu inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah
satu kaki inti dan belitan sekunder digulung pada kaki inti yang
lain. Dalam kenyataan tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi
bocor, belitan primer dan sekunder masing-masing dibagi menjadi
dua bagian dan digulung di setiap kaki inti. Belitan primer dan
sekunder digulung secara konsentris dengan belitan sekunder
berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini fluksi bocor dapat
ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi bersama.
Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk
lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang
tentu lebih tinggi.
NR / 2
NR / 2
NT / 2
NT / 2
NR / 4
NT / 2
NR / 2
NT / 2
NR / 4
a). tipe sel.
132
Transformator
3.2. Transformator Pada Sistem Tiga-fasa
Pada sistem tiga-fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu :
(a) menggunakan tiga unit transformator satu-fasa,
(b) menggunakan satu unit transformator tiga-fasa.
Transformator tiga-fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap
kaki mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran
daya yang sama, penggunaan satu unit transformator tiga-fasa akan
lebih ringan, lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga
unit transformator satu-fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit
transformator satu-fasa juga mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan satu unit transformator tiga-fasa. Misalnya
beaya awal yang lebih rendah, jika untuk sementara beban dapat
dilayani dengan dua unit saja dan unit ketiga ditambahkan jika
penambahan beban telah terjadi. Terjadinya kerusakan pada salah
satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh penyaluran daya.
Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari berbagai
pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah
sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder
transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga-fasa melalui
tiga unit transformator satu-fasa.
3.2.1. Hubungan
Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu-fasa untuk
melayani sistem tiga-fasa, hubungan sekunder harus diperhatikan
agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini diperlihatkan
pada Gb.3.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W sedangkan
fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer kita
sebut VUO , VVO , VWO dengan nilai VFP , dan tegangan fasa
sekunder kita sebut VXO , VYO , VZO dengan nilai VFS. Nilai
tegangan saluran (tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita
sebut VLP dan VLS . Nilai arus saluran primer dan sekunder masingmasing kita sebut ILP dan ILS sedang nilai arus fasanya IFP dan IFS .
Rasio tegangan fasa primer terhadap sekunder VFP / VFS = a .
Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk hubungan - kita peroleh :
133
Transformator
V LP V FP
I
I
3 1
=
= a ; LP = FP
=
V LS V FP
I LS I FS 3 a
U
(3.27)
X
VUO
VXO
Y
VVO
VYO
VWO
VZO
VUV = VUO
VXY = VXO
Gb.3.10. Hubungan -.
3.2.2. Hubungan -Y
Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.11. Tegangan
pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan
fasa-fasa sekunder sama dengan 3 kali tegangan fasa
dengan perbedaan sudut fasa 30o. Dengan mengabaikan
kita peroleh
fasa-fasa
tegangan
sekunder
rugi-rugi
VLP
V
a
= FP =
VLS VFS 3
3
I LP I FP 3
3
=
=
I LS
I FS
a
Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30o.
134
(3.28)
Transformator
U
V
X
VUO
VXO
Y
VVO
VYO
VWO
VZO
VUV = VUO
VXY
VZO
VXO
VYO
Gb.3.11. Hubungan -Y
VLP VFP 3
=
=a
VLS VFS 3
(3.29)
I LP I FP 1
=
=
I LS I FS a
Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat
perbedaan sudut fasa.
135
Transformator
U
X
VUO
VXO
Y
VVO
VYO
VWO
VZO
VWO
VUV
VZO
VXY
VXO
VUO
VYO
VVO
VLP VFP 3
=
=a 3
VLS
VFS
I LP
I
1
= FP =
I LS VFS 3 a 3
Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30o.
136
(3.30)
Transformator
U
X
VUO
VXO
Y
V
VVO
VYO
VWO
VZO
VWO
VUV
VXY = VXO
VZO
VUO
VYO
VVO
Gb.3.13. Hubungan Y-
CONTOH-3.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,
tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan
mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah
tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran
untuk hubungan-hubungan berikut : (a) - ; (b) Y-Y ; (c) -Y ;
(d) Y- .
Solusi :
a). Untuk hubungan - :
V
V
6600
V LS = V FS = FP = LP =
= 550 V ;
a
a
12
I
I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a LP 3 = 12 10 = 120 A.
3
b). Untuk hubungan Y-Y :
V
V
3 6600
V LS = V FS 3 = FP 3 = LP
=
= 550 V ;
a
12
3 a
I LS == I FS = aI FP = aI LP = 12 10 = 120 A.
137
Transformator
c). Untuk hubungan -Y :
V
V
6600
3 = 953 V ;
V LS = V FS 3 = FP 3 = LP 3 =
a
a
12
I
10
I LS = I FS = aI FP = a LP = 12
= 69,3 A.
3
3
d) Untuk hubungan Y- :
V
1 V LP
1 6600
V LS = V FS = FP =
=
= 318 V ;
a
a 3 12 3
I LS = I FS 3 = aI FP 3 = aI LP 3 = 12 10 3 = 208 A .
Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan
daya masukan.
V1 N1
I3
+
N 3 V3
V1 , V2 , V3 : tegangan.
I1 , I 2 , I3 : arus, digambarkan masuk pada ujung belitan
yang bertanda titik.
N1 , N 2 , N 3 : jumlah lilitan.
138
Transformator
Untuk keperluan analisis ini kita menganggap resistansi belitan
transformator nol, sehingga hubungan tegangan, arus dan jumlah
lilitan adalah:
V1 N1
=
;
V2 N 2
V2 N 2
=
;
V3 N 3
V1 N1
=
V3 N 3
(3.31)
N 1 I1 + N 2 I 2 + N 3 I 3 = 0
(3.32)
V2 =
N2
500
V1 =
10000o = 5000o V
N1
1000
V3 =
N3
2000
V1 =
10000o = 20000o V
N1
1000
I2 =
V2 5000o
=
= 250o = 25 + j 0 A
Z2
200o
I3 =
V3 20000o
=
= 20 90o = 0 j 20 A
Z 3 10090o
139
Transformator
N1I1 + N 2 I 2 + N 3I 3 = 0
I1 =
S 2 = V2 ( I 2 ) = 5000o 25 = 12500 VA
S3 = V3 ( I3 ) = 20000o 20 + 90o = j 40000 VA
S 2 + S3 = 12500 + j 40000 = 41900 VA = 41,9 kVA
Ternyata benar S 2 + S3 = S1
3.3.2. Transformator Nyata Tiga Belitan
Dalam kenyataan belitan-belitan transformator mengandung
impedansi; impedansi belitan primer, sekunder, tertier, dapat kita
nyatakan sebagai Z1 = R1 + jX 1 , Z 2 = R2 + jX 2 , dan
140
Transformator
2
I1
10 o
R1
R2
X2
R3
X3
X1
I2
3
I3
4
j1,25
R1 = R2 = R3 = 0,01 pu
X 1 = X 2 = X 3 = 0,03 pu
R = X =
Solusi:
Dengan R = X = , jika kita melihat ke belitan primer, kita
dapatkan
Z1 pu = R1 + jX 1 +
( R2 + jX 2 + 4) ( R3 + jX 3 + j1,25)
( R2 + jX 2 + 4) + ( R3 + jX 3 + j1,25)
= 0,01 + j 0,03 +
V
10o
Maka I1 pu = 1 =
= 0,803 71,92o pu
Z1 1,24571,92o
Perbedaan segera dapat kita lihat dengan hasil perhitungan
traformator ideal yang memberikan I1 = 0,838 72,6o pu .
Perbedaan ini adalah sekitar 4%. Perbedaan arus 4% ini, jika kita
tinjau dari sisi daya dimana S = V I berarti pula ada perbedaan
daya sekitar 4%. Ditinjau dari kacamata bisnis, hal ini cukup
besar.
141
Transformator
3.4 Transformator Tiga-fasa Dibangun dari Tiga
Transformator Satu-fasa
Untuk memperoleh transformator tiga-fasa tiga belitan kita dapat
menggunakan tiga buah transformator satu-fasa tiga belitan.
Masing-masing transformator satu-fasa tersebut sudah barang tentu
memiliki tiga belitan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Jadi
dengan tiga buah transformator satu-fasa kita mempunyai 3 belitan
primer, 3 sekunder, dan 3 tersier. Masing-masing kelompok belitan
tersebut secara sendiri-sendiri dapat dihubungkan Y atau . Pada
diagram satu garis Gb.1.11. di bab-14, transformator tiga-fasa tiga
belitan yang terhubung ke generator, mempunyai sisi primer
terhubung , sisi sekunder yang terhubung Y menuju CB kemudian
ke saluran transmisi, dan sisi tertier yang terhubung mencatu
beban. Gb.3.16. memperlihatkan penggalan diagram satu garis
tersebut.
Generator
G
beban
1
3
Saluran transmisi
CB
142
Transformator
I1
1
+ R1
X1
V1
Z f 1 = Z 1 + Z = R1 + jX 1 + Z
(3.33)
dengan
Z =
R jX
(3.34)
R + jX
Z f1
b
Vb1
Z f1
Z f1
Vc1
Z n1
n
Gb.3.18. Hubungan Y sisi primer transformator tiga-fasa
tiga belitan.
Relasi tegangan-arus pada hubungan Y ini adalah
143
Transformator
I a1
Va1 ( Z f 1 + Z n1 )
Z n1
Z n1
Z n1
( Z f 1 + Z n1 )
Z n1
I b1 (3.35)
Vb1 =
Vc1
Z n1
Z n1
( Z f 1 + Z n1 ) I c1
Matriks impedansi kita transformasikan ke impedansi urutan,
[Z 012 ] primer
( Z f 1 + 3Z n1 )
0
=
0
Z f1
0
0
0
Z f 1 )
(3.36.a)
Zf2
Va2
Zf2
Vb2
Vcs
Z n2
n
Sekunder
Va3
Zf3
Zf2
Zf3
Vb3
Zf3
Vc3
Z n3
Tersier
Transformator
Dengan cara yang sama seperti mencari impedansi urutan pada
sisi primer, kita peroleh impedansi urutan di sisi sekunder dan
tertier yaitu
Z f 2 + 3Z n 2
Zf2
[Z012 ]sekunder =
0
Z f 2
(3.36.b)
0
Z f 3
(3.36.c)
dan
[Z012 ]tersier
Z f 3 + 3Z n3
=
0
0
Zf3
0
Z 01 = Z f 1 + 3Z n1 ; Z 02 = Z f 2 + 3Z n 2 ; Z 03 = Z f 3 + 3Z n3 (3.37.a)
Z 11 = Z f 1 ;
Z 12 = Z f 2 ;
Z 13 = Z f 3
(3.37.b)
Z 21 = Z f 1 ;
Z 22 = Z f 2 ;
Z 23 = Z f 3
(3.37.c)
Z f 3 = Z3 + Z
(3.37.d)
Z f 1 = Z1 + Z ;
Z f 2 = Z2 + Z;
3Z n1
Z2
3Z n 2
Z3
3Z n3
Z1
Z
Transformator
Z2
Z3
Z1
Z2
Z3
Z1
146
Transformator
3.4.5. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan
dengan Ketiga Sisi Terhubung
Hubungan dapat kita cari ekivalennya dalam hubungan Y. Jika
ini kita lakukan maka kita mendapatkan transformator terhubung
Y dengan netral tidak ditanahkan. Rangkaian urutan nol menjadi
terbuka. Jadi belitan yang terhubung memiliki rangkaian urutan
nol yang terbuka (kita menganggap impedansi di ketiga belitan
identik).
3.4.6. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan
dengan Sisi Primer, Sekunder, dan Tersier Memiliki Hubungan
Berbeda.
Contoh dari situasi ini adalah situasi yang diperlihatkan pada
diagram satu garis Gb.15.9. Dalam gambar ini sisi pimer
terhubung , sisi sekunder terhubung Y dengan netral ditanahkan
langsung, dan sisi tersier terhubung . Rangkaian urutan nol sisi
primer dan tersier terbuka, sedangkan rangkaian urutan nol
sekunder tidak mengandung 3Z n 2
Demikianlah kita dapat membangun rangkaian urutan dari
transformator tiga-fasa tiga belitan, dengan belitan terhubung Y
maupun . Namun ada sedikit catatan untuk belitan yang
terhubung : hubungan ini adalah hubungan yang membentuk
loop tertutup; jika ketiga belitan yang membentuk ini tidak
benar-benar idektik, ada kemungkinan terjadi arus sirkulasi di
belitan ini.
Contoh-3.10: [1] Tiga transformator 1 fasa identik pada contoh-3.9
dipakai untuk membangun transformator 3 fasa dengan hubunganhubungan belitan sebagai berikut:
Belitan-1: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan melalui
impedansi Z n = j 0,04
Belitan-2: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan langsung.
Belitan-3: dihubungkan
Gambarkanlah rangkaian urutan.
Solusi:
Resistansi dan reaktansi dalam per-unit belitan trafo adalah:
147
Transformator
R1 = R2 = R3 = 0,01 pu
X 1 = X 2 = X 3 = 0,03 pu
R = X =
Rangkaian urutan nol adalah (Gb.3.20)
1
3Z n1
Z2
3Z n2
Z3
3Z n3
Z1
Z
j 0,12
0,01 + j 0,03
0,01 + j 0,03
0,01 + j 0,03
Z2
Z3
Z1
0,01 + j 0,03
0,01 + j 0,03
0,01 + j 0,03
148
Transformator
3.4. Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y- , Transformator
Tiga-fasa Dua Belitan
Pada hubungan sisi primer-sekunder Y-Y ataupun -, diagram
fasor tegangan fasa-netral di kedua sisi transformator tidak berbeda
fasa. Akan tetapi pada hubungan Y- atau -Y terjadi pergeseran
fasa. Untuk melihat pergeseran fasa ini, kita tinjau transformator
tiga-fasa dua belitan seperti terlihat pada Gb.3.23. Pada gambar ini
terlihat Va1 sefasa Vab 2 , Vb1 sefasa Vbc 2 , Vc1 sefasa Vca 2 .
Tegangan fasa-netral di sisi primer yang terhubung Y sefasa dengan
tegangan fasa-fasa di sisi sekunder yang terhubung . Kalau kita
buat rangkaian ekivalen Y dari , hal tersebtu berarti tegangan fasnetral di sisi sekunder berbeda fasa 30o dengan tegangan fasa-netral
di sisi primer.
a
a
Vab2
Va1
Vb1
Vc1
Vbc2
Vca2
n
Gb.3.23. Hubungan Y- transformator tiga-fasa.
Berkaitan dengan terjadinya pergeseran fasa pada hubungan Y-
ataupun -Y, penamaan fasa pada suatu transformator diberi
ketentuan sebagai berikut:
Penamaan fasa baik pada hubugan Y- ataupun -Y haruslah
sedemikian rupa sehngga urutasn positif di sisi tegangan
tinggnya mendahului 30o dari pasangan di tegangan rendahnya.
Ketentuan ini untuk urutan negatif berarti kebalikannya, yaitu
bahwa tegangan urutan negatif tegangan di sisi tegangan tinggi
tertinggal 30o dari tegangan di sisi tegangan rendahnya.
Pergeseran fasa ini tidak berpengaruh pada urutan nol.
149
Transformator
3.5. Sistem Per-Unit Pada Saluran Dengan Transformator
Adanya transformator dalam sistem tenaga membuat sistem tenaga
terbagi-bagi dalam banyak segmen yang masing-masing segmen
memiliki tegangan kerja sendiri-sendiri. Dengan memanfaatkan
sistem per-unit, maka representasi suatu sistem tenaga menjadi lebih
sederhana dan perhitungan-perhitungan menjadi lebih mudah
dilakukan. Dalam uraian berikut ini kita memusatkan perhatian pada
sistem tiga-fasa.
Penetuan besaran basis untuk penggunaan sistem per-unit adalah
sebagai berikut:
a)
V fn basis = V ff
c)
150
basis
/ 3.
Transformator
d) Arus basis di setiap bagian sistem adalah daya basis di bagian
tersebut dibagi dengan tegangan basisnya.
I basis =
e)
Sf
basis
V fn basis
Z basis =
V fn basis
If
basis
Z basis =
V fn basis
If
basis
V fn basis
Sf
(V ff basis / 3 )
Sf
/ V fn basis
basis
basis
V ff2
3S f
basis
basis
2
V fn
basis
Sf
basis
V ff2
basis
S3 f
basis
Z basis =
f)
V ff2
basis
S3 f
basis
Contoh-3.11: [1] Gambarkan rangkaian model satu-fasa dalam perunit dari sistem tiga-fasa yang diagram satu garisnya diberikan
berikut ini. Gunakan daya basis tiga-fasa di bus-2
S3 f
basis
= 100 MVA
V ff
basis
= 345 kV
151
Transformator
1 Y 2
3 Y
Z = 12,8 + j64
Y/2 = j280 mS
Transformator T1
Transformator T2
1 trafo 3 fasa, 120 MVA
3 trafo 1 fasa, 30 MVA
35 kV , 350 kV Y
200 kV / 20 kV
Z=(1+j8%) pada ratingnya
Z=(1+j7%) pada ratingnya
Solusi:
a)
S3 f
basis
= 100 MVA
Dengan penetapan daya basis 3 fasa ini maka daya basis per fasa
adalah
S fn basis =
100
= 33,3 MVA
3
V fn basis =
V ff
nominal
345
3
= 199 kV
152
Transformator
2
ZT 1
3
Y
2
Zs
4
ZT 2
Y
2
1, 2, 3, 4: nomer bus
Z T 1 : impedansi trafo T1; Z T 2 : impedansi trafo T2
Zs ; impedansi seri saluran transmisi;
Y
: admitansi saluran transmisi
2
Sf
basis
V fn basis
V fn basis
If
basis
33,3
= 0,167 kA
199
199
= 1190
0,167
Bus-3. Daya basis di bus ini juga S fbasis = 33,3 MVA Bus ini
terhubung ke bus-2 tanpa melalui transformator. Oleh karena itu
tegangan basis bus ini sama dengan tegangan basis bus-2, yaitu
V fn basis.bus.3 = 199 kV
Arus basis bus-3: I f basis.bus.3 =
Sf
basis
V fn basis
33,3
= 0,167 kA
199
V fn basis
If
basis
199
= 1190
0,167
Bus-1. Daya basis di bus ini sama dengan daya basis yang telah
ditetapkan yaitu S fn basis = 33,3 MVA . Bus ini terhubung pada
transformator Y- dengan perbadingan tegangan fasa-fasa 350 kV
153
Transformator
: 35 kV atau tegangan fasa-netral 350 / 3 kV : 35 / 3 kV .
Tegangan basis di bus-1 dapat kita hitung yaitu
V fn basis.bus.1 =
V fn bus.1
V fn bus.2
V fn basis.bus.2 =
Sf
350 / 3
basis
V fn basis
V fn basis
If
35 / 3
basis
199 = 19,9 kV
33,3
= 1,674 kA
19,9
19,9
= 11,9
1,674
Bus-4. Basis daya di bus ini sama dengan basis daya yang telah
ditetapkan yaitu S fbasis = 33,3 MVA . Bus ini bertegangan fasafasa 20 kV yaitu tegangan sisi sekunder trafo yang terhubung .
Ini berarti tegangan fasanetral adalah 20 / 3 kV , walaupun tak
terlihat titik netral. Sisi primer transformator terhubung Y dengan
tegangan fasa-fasa 350 kV atau tegangan fasa-netral
350 / 3 = 200 kV . Tegangan basis di bus-4 ini adalah
V fn basis.bus.4 =
V fn bus.4
V fn bus.3
V fn basis.bus.3 =
Sf
basis
V fn basis
Vf
basis
If
basis
20 / 3
199 = 11,5 kV
200
=
33,3
= 2,889 kA
11,5
11,5
= 3,97
2,889
154
Transformator
Sbasis
MVA
Vbasis
kV
Ibasis
kA
Zbasis
33,3
19,9
1,674
11,9
33,3
199
0,167
1190
33,3
199
0,167
1190
33,3
11,5
2,889
3,97
Bus
Z sal pu =
Z sal
12,8 + j 64
=
= 0,0108 + j 0,0538 pu
Z basis
1190
Ysal basis pu
2
c)
j 0,0280 10 3
= j 0,333 pu
1 / 1190
Impedansi transformator.
Nilai dalam per-unit
diberikan adalah:
impedansi
transformator
yang
Z basis rating =
V ff2
rating
S3 f
rating
155
Transformator
Dengan basis inilah impedansi per-unit yang telah diberikan, yaitu
Z T 1 = 0,01 + j 0,08 pu . Impedansi ini harus kita ubah
menggunakan basis sistem yaitu S 3 f basis = 100 MVA dan
tegangan nominal
345 kV dan Zbasis di bus-2 (tempat
dihubungkannya T1) yang telah dihitung sebesar 1190 .
Perubahan nilai impedansi dari basis rating ke basis sistem kita
lakukan sebagai berikut:
Z T 1 basis sistem =
= (0,01 + j 0,08)
(V
2
ff rating
(345
/ S3 f
1190
2
/ 120
1190
= (0,0083 + j 0,0667) pu
= (0,01 + j 0,08)
rating
Z T 2 basis sistem =
156
Transformator
0,0108 + j 0,0538
0,0083 + j 0,0667
j 0,333
0,0112 + j 0,0784
j 0,333
157
Transformator
a
(a)
Besaran-besaran basis:
Bus tegangan tinggi
S f basis =
100
= 33,3 MVA
3
V fn basis = 13,2 kV
I f basis =
Z basis =
S f basis
33,3
=
= 2,52 A
V fn basis 13,2
V fn basis
If
basis
13,2
= 5,23
2,52
100
= 16,7 MVA
6
Jika sisi tegangan Van=13,2 kV:
Sf
basis
138
V AN = 13,2
= 132 kV
13,8
V fn basis = 132 kV
If
basis
Z basis =
158
Sf
basis
V fn basis
V fn basis
I f basis
16,7
= 0,126 A
132
132
= 1045
0,126
Transformator
(b)
Dengan sumber 13,2 kV:
Bus tegangan rendah
Tegangan fasa-netral:
V DN = V FN = 132 kV
Dalam per-unit:
V AN =
132
= 1,0 pu
132
Tegangan urutan:
V0 = V 2 = 0
1
(3 V an ) = 13,2 kV
3
Dalam per-unit:
13,2
V1 =
= 1,0 pu
13,2
V1 =
V0 = V 2 = V3 = V 4 = V5 = 0
1
(6 V AN ) = 132 kV
6
Dalam per-unit:
132
V1 =
= 1,0 pu
132
V1 =
Z basis rating =
2
V rating
S rating
13,8 2
15
159
Transformator
Dalam membangun sisi tegangan rendah, dua belitan primer trafo
satu-fasa diparalelkan menjadi salah satu-fasa hubungan Y,
sehingga reaktansi menjadi setengahnya, yaitu
X =
1
1
13,8 2
0,07 Z basis rating = 0,07
= 0,444
2
2
15
0,0850 pu
Dari sisi tegangan tinggi:
X = 0,07
Dalam per-unit: X =
138 2
= 88,8
15
88,8
= 0,0850 pu . Rangkaian urutan positif
1045
menjadi :
0,0850 pu
160
Mesin Sinkron
BAB 4
Mesin Sinkron
Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari
sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator
tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka
mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda
besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti
konversi energi dari energi listrik ke energi listrik.
Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder
transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan
fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi
primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu
dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis;
cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari
energi mekanis ke energi listrik atau disebut konversi energi
elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari
mekanis ke listrik tetapi juga dari listrik ke mekanis, dan dilandasi
oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum Faraday dan
hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini dinyatakan
dalam dua persamaan berikut
e=
d
d
= N
dt
dt
dan
F = K B B i f ()
Mesin Sinkron
kita memperoleh energi disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor
yang dialiri arus eksitasi untuk menimbullkan medan magnit disebut
belitan eksitasi. Pada gambar ini ada empat kutub magnit. Satu
siklus kutub S-U pada rotor memiliki kisar sudut (yang kita sebut
sudut magnetis atau sudut listrik) 360o. Kisar sudut 360o ini
melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang bergeser 120o
antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a1a11 dan belitan b1b11
berbeda posisi 120o, belitan b1b11 dan c1c11 berbeda posisi 120o, dan
mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga belitan
yang lain, yaitu a2a22, b2b22, dan c2c22 berada dibawah satu kisaran
kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120o.
b1
c11
a1
a11
a2
c22
S
c2
b11
b22
c1
b2
a22
a)
konstruksi kutub menonjol
a1
a11
b)
belitan
c)
fluksi magnetik
magnetik [derajat ] =
p
mekanik [derajat ]
2
162
(4.1)
Mesin Sinkron
Kecepatan sudut mekanik adalah
mekanik =
d mekanik
= 2 f mekanik
dt
(4.2)
magnetik =
d magnetik
dt
= 2 f magnetik
(4.3)
magnetik =
p
p
p
pn
n
mekanik = 2 f mekanik = 2
= 2
2
2
2
60
120
yang berarti
f magnetik =
pn
siklus per detik
120
(4.4)
Mesin Sinkron
Untuk mesin putaran tinggi digunakan rotor dengan konstruksi
silindris.
Dengan pergeseran posisi belitan 120o magnetik untuk setiap pasang
kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga-fasa untuk
setiap pasang kutub, yaitu ea1 pada belitan a1a11 , eb1 pada b1b11 , dan
ec1 pada c1c11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan ea2 , eb2
dan ec2 pada belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi
setiap pasang kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga-fasa
pada belitan-belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan
yang sefasa, misalnya ea1 dan ea2 , dapat dijumlahkan untuk
memperoleh tegangan yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk
memperoleh arus yang lebih besar.
Tegangan yang
180o mekanis = 360o magnetik
terbangkit di belitan
pada umumnya
a11
diinginkan berbentuk
gelombang sinus
v = A cos t , dengan
pergeseran 120o untuk
s
Mesin Sinkron
Karena magnetik = 2 f magnetik = 2
pn
, maka
120
d s
pn
(4.7)
=
dt
60
Dari (4.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu
d s
pn
(4.8)
v = N
= N
dt
60
Jika bernilai konstan, tidaklah berarti (4.8) memberikan suatu
tegangan konstan karena bernilai konstan positif untuk setengah
perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda
berikutnya. Maka (4.8) memberikan tegangan bolak-balik yang
tidak sinus. Untuk memperoleh tegangan berbentuk sinus, harus
berbentuk sinus juga. Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi
sinus terhadap waktu, akan tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu
terhadap maknetik . Jadi jika
= m cos maknetik
(4.9)
maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah
dmagnetik
ds d d
=
=
m cos magnetik = m sin magnetik
dt
dt dt
dt
pn
(4.10)
(4.11)
= 4,44 f N m Volt
Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan
perhitungan fluksi yang merupakan penyederhanaan dari konstruksi
mesin a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:
165
Mesin Sinkron
1.
2.
(4.14)
f =
166
p n 4 1500
=
= 50 Hz
120
120
Mesin Sinkron
12
= 3 yang berarti setiap pasang
4
kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tigafasa. Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.
Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah
Jumlah alur per kutub adalah
24
= 6 yang berarti setiap pasang
4
kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem tegangan tigafasa. Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub terdiri dari 2 belitan
yang masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar
untuk setiap belitan adalah
Jumlah alur per kutub adalah
360 o
= 15 o mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau 2
24
pasang kutub, maka 1o mekanik setara dengan 2o listrik. Jadi
selisih sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30o
listrik sehingga tegangan rms per fasa per pasang kutub adalah
jumlah fasor tegangan di dua belitan yang berselisih fasa 30o
tersebut.
E ak = 66,6 + 66,6(cos 30 o + j sin 30 o ) = 124,8 + j 33,3
Karena ada 2 pasang kutub maka
E a = 2 (124,8) 2 + (33,3) 2 = 258 V
167
Mesin Sinkron
Tegangan fasa-fasa adalah 258 3 = 447 V
CONTOH-4.3: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur
pada stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat 16 (8
pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375 rpm.
Ketentuan yang lain tetap.
Solusi :
16 375
Frekuensi tegangan jangkar : f =
= 50 Hz
120
144
Jumlah alur per kutub
= 9 yang berarti terdapat 9 belitan
16
per pasang kutub yang membangun sistem tiga-fasa. Jadi tiap
fasa terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah
E a1 = 4,44 50 10 0,03 = 66,6 V ; sama dengan tegangan per
belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan,
dan fluksi maksimum tidak berubah.
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan adalah
360 o
= 2,5 o mekanik. Karena mesin memiliki 16 kutub (8
144
pasang) maka 1o mekanik ekivalen dengan 8o listrik, sehingga
beda
fasa
tegangan
pada
belitan-belitan
adalah
168
Mesin Sinkron
4.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris
Sebagaimana telah
disinggung di atas,
a
mesin kutub menonjol
sesuai untuk perputaran
U
b1
c1
rendah. Untuk
perputaran tinggi
digunakan mesin rotor
silindris yang skemanya
c
b
S
diperlihatkan ada
Gb.4.3. Rotor mesin ini
a1
berbentuk silinder
dengan alur-alur untuk
menempatkan belitan
Gb.4.3. Mesin sinkron rotor silindris.
eksitasi. Dengan
konstruksi ini, reluktansi magnetik jauh lebih merata dibandingkan
dengan mesin kutub menonjol. Di samping itu kendala mekanis
untuk perputaran tinggi lebih mudah diatasi dibanding dengan mesin
kutub menonjol. Belitan eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah
sehingga rotor membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti
terlihat pada gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat
aa1 , bb1 dan cc1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar
tidak terlalu rumit, walaupun dalam kenyataan pada umumnya
dijumpai belitan-belitan terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari
kisaran penuh.
Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi
rotor (pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi
mirip dengan tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada
transformator kita mempunyai fluksi mantap, sedangkan pada mesin
sinkron fluksi tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva
magnetisasi dari mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol.
Pada uji beban nol, mesin diputar pada perputaran sinkron (3000
rpm) dan belitan jangkar terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran
pada belitan jangkar sebagai fungsi arus eksitasi (disebut juga arus
medan) pada belitan eksitasi di rotor. Kurva tegangan keluaran
sebagai fungsi arus eksitasi seperti terlihat pada Gb.17.4 disebut
karakteristik beban nol. Bagian yang berbentuk garis lurus pada
kurva itu disebut karakteristik celah udara dan kurva inilah (dengan
169
Mesin Sinkron
ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk melakukan analisis
mesin sinkron.
Karakterik
12000
lain yang
beban-nol
11000
penting adalah
celah udara
V=V(If )|I =0
V=kIf
10000
karakteritik
hubung singkat
9000
yang dapat kita
8000
peroleh dari uji
7000
hubung
singkat. Dalam
6000
hubung singkat
uji hubung
5000
I = I (If ) |V=0
singkat ini
4000
mesin diputar
pada kecepatan
3000
perputaran
2000
sinkron dan
1000
terminal
00
belitan jangkar
0 50 100 150
200 medan
250 300
350 400 450 500
dihubung
Arus
[A]
Gb.4.4. Karakteristik beban-nol dan hubung singkat.
singkat (belitan
Karakteristik celah udara (linier).
jangkar
terhubung Y).
Kita mengukur arus fasa sebagai fungsi dari arus eksitasi. Kurva
yang akan kita peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.4. Kurva ini
berbentuk garis lurus karena untuk mendapatkan arus beban penuh
pada percobaan ini, arus eksitasi yang diperlukan tidak besar
sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari keadaan jenuh. Fluksi
magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang diperlukan untuk
membangkitkan tegangan untuk mengatasi tegangan jatuh di
impedansi belitan jangkar.
Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat
memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus
medan. Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf
(lilitan ampere) untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang
mengimbaskan tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan
karakteristik ini kita dapat menyatakan pembangkit fluksi tidak
dengan mmf akan tetapi dengan arus medan ekivalennya dan hal
170
Mesin Sinkron
inilah yang akan kita lakukan dalam menggambarkan diagram fasor
yang akan kita pelajari beikut ini.
4.2.1. Diagram Fasor dan Reaktansi Sinkron
Kita ingat bahwa pada transformator besaran-besaran tegangan,
arus, dan fluksi, semuanya merupakan besaran-besaran yang
berubah secara sinusoidal terhadap waktu dengan frekuensi yang
sama sehingga tidak terjadi kesulitan menyatakannya sebagai
fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan dan arus yang
merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor, walaupun ia
merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu tetapi terhadap
posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya. Menurut
konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke dalam
fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan
berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang
dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini
mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai
dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar.
Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia
dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar
melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru
karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai
dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi
tegangan imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi
yang dilihat oleh belitan jangkar.
Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga
arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.
a
a
U
U
sumbu
emaks
S
(a)
a1
sumbu magnet
sumbu
imaks
(b)
a1
sumbu magnet
171
Mesin Sinkron
Gb.4.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di
aa1 maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu
kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a1 adalah
maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik
yang dilingkupi oleh belitan aa1 adalah minimum. Sementara itu
arus di belitan aa1 belum maksimum karena beban induktif. Pada
saat arus mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah
seperti terlihat pada Gb.4.5.b.
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut
magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama
dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu . Arus jangkar memberikan
mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang
akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini
maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan
keluaran mesin dipertahankan.
Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami
reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf
rotor. Hal ini berbeda dengan mesin kutub menonjol yang akan
membuat analisis mesin kutub menonjol memerlukan cara
khusus sehingga kita menunda pembahasannya.
Diagram fasor (Gb.4.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut
1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.
2. Tegangan terminal Va dan arus jangkar I a adalah
nominal.
3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi
tegangan imbas tertinggal 90o dari fluksi yang
membangkitkannya.
4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor Xl dan resistansi
Ra.
5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.
Dengan mengambil tegangan terminal jangkar Va sebagai
referensi, arus jangkar Ia tertinggal dengan sudut dari Va (beban
induktif). Tegangan imbas pada jangkar adalah
E a = Va + I a (R a + jX l )
172
(4.15)
Mesin Sinkron
Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara
yang dinyatakan dengan arus ekivalen I fa yang 90o mendahului
E a . Arus jangkar I a memberikan fluksi lawan dari jangkar yang
I fa = I f + I a
atau
I f = I fa I a
(4.16)
I f = I fa I a
I fa
I a
I a
Va
Ia
Ea
jI a X l
I a Ra
E a = k v I fa dan I a = k i I a atau
173
Mesin Sinkron
I fa = E a / k v dan I a = I a / k i
(4.17)
kv
ki
Dari (4.18) kita peroleh E f yaitu
I
E aa = jk v I f = jk v j a a
ki
kv
kv
kv
= E a + j
I a = Ea + j
Ia
ki
ki
Suku kedua (4.19) dapat kita tulis sebagai jX a I a dengan
k
X a = v
ki
(4.19)
(4.20)
yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat
adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (4.19) dapat ditulis
E f = E a + jX a I a = Va + I a (R a + jX l ) + jX a I a
= Va + I a (R a + jX a )
(4.21)
174
Mesin Sinkron
E aa
I f = I fa I a
j I a X a
I fa
I a
I a
Ea
jI a X l
Va
Ia
jI a X a
I a Ra
dapat
175
Mesin Sinkron
E a = ( R a + jX a ) I a + Z n (I a + I b + I c ) + jX m (I b + I c ) + Van
= ( R a + jX a + Z n ) I a + ( Z n + jX m )I b + ( Z n + jX m )I c + Van
(4.20.a)
E b = ( R a + jX a + Z n ) I b + ( Z n + jX m ) I a + ( Z n + jX m ) I c + Vbn
(4.20.b)
E c = ( R a + jX a + Z n ) I c + ( Z n + jX m ) I a + ( Z n + jX m ) I b + Vcn
(4.20.c)
Ra
Eb
Ic
Ec
jX a
Ra
jX a
jX m
Ea
Vcn
Ia
jX m a
Ra
Zn
jX a
jX m
Ib
Van
I a + Ib + I c
Vbn
Z s = R a + jX a + Z n
Z m = Z n + jX m
(4.21)
E a = Z s I a + Z m I b + Z m I c + Van
E b = Z s I b + Z m I a + Z m I c + Vbn
(4.22)
E c = Z s I c + Z m I a + Z m I b + Vcn
Dalam bentuk matriks, persamaan (4.22) adalah
E a Z s
Eb = Z m
Ec Z m
176
Zm
Zs
Zm
Z m I a Van
Z m I b + Van
Z s I c Van
(4.23.a)
Mesin Sinkron
atau secara lebih ringkas
~
~
~
E abc = [Z abc ]I abc + Vabc
(4.23.b)
(4.24.a)
[T]
1 ~
E abc
1 1
1
= 1 a
3
1 a 2
1 Ef
a 2 a 2 E f
a a E f
0 0
1
= 3E f = E f
3
0 0
( 4.24.b)
Z s + 2Z m
[Z abc ][T] = 0
0
Zs Zm
0
(4.24.c)
0
Z s Z m
0
Z 00 = Z s + 2Z m = R a + jX a + Z n + 2 Z n + j 2 X m
= R a + j ( X a + 2 X m ) + 3Z n
Z 11 = Z s Z m = R a + jX a + Z n Z n jX m
= Ra + j( X a X m )
Z 22 = Z s Z m = R a + jX a + Z n Z n jX m
= Ra + j( X a X m )
(4.25.a)
4.25.b)
(4.25.c)
Mesin Sinkron
Z 00
[Z 012 ] = 0
0
0
Z 11
0
0
0
Z 22
(4.25.d)
0 Z 00
E = 0
0 0
0
Z 11
0
0 I 0 V0
0 I1 + V1
Z 22 I 2 V2
(4.26.a)
E
V1
178
Mesin Sinkron
Penurunan rangkaian urutan di atas cukup sederhana dengan hasil
yang sederhana pula dan kita akan menggunakannya dalam
analisis. Namun sesungguhnya beberapa hal tidak kita
pertimbangkan dalam penurunan tersebut. Misalnya keberadaan
damper winding tidak kita singgung; dan demikian juga tegangan
terbangkit di kumparan jangkar kita anggap ditimbulkan oleh arus
eksitasi yang konstan padahal dalam kenyataannya tidak
demikian; rangkaian magnetic mesin juga kita anggap memiliki
karakteristik linier walaupun kenyataannya nonlinier. Hal-hal yang
kita abaikan ini diperhitungkan oleh pembuat mesin.
4.2. Kopling Turbin-Generator
Generatos sinkron diputar oleh turbin. Turbin memberikan daya
mekanis. Jika generator tidak bebeban, torka mekanis yang
dikeluarkan oleh turbin hanya digunakan untuk mengatasi gesekan
dengan udara dari bagian-bagian yang berputar dan gesekan poros
dengan bantalan. Gesekan ini memberikan torka yang melawan
torka dari turbin; torka lawan akibat gesekan ini biasanya kecil
dibandingkan dengan torka lawan dari generator, dan biasanya
diabaikan. Torka lawan dari generator terjadi jika generator diberi
beban. Arus yang mengalir di kumparan jangkar sebagai akibat
pembebanan, menimbulkan medan magnet yang berinteraksi dengan
medan magnet dari rotor. Interaksi ini menimbulkan torka lawan
terhadap torka turbin. Jika torka turbin kita sebut Tm (torka mekanis)
dan torka lawan dari generator kita sebut Te (torka listrik) maka kita
mendapat persamaan
d rm
(4.27)
dt
dengan J adalah inersia seluruh massa yang berputar, dan rm
adalah kecepatan perputaran rotor (kecepatan putar mekanis).
Persamaan (4.27) ini sudah barang tentu merupakan persamaan
umum yaitu jika memang rm berubah terhadap waktu; hal
demikian terjadi pada peristiwa transien. Untuk sementara kita tidak
melihat kondisi transien, tetapi hanya kondisi mantap. Oleh karena
itu d rm / dt = 0 sehingga (4.27) menjadi
T m Te = J
Tm Te = 0 atau
T m = Te
(4.28)
179
Mesin Sinkron
Dalam kondisi mantap, kecepatan perputaran mekanis rotor, rm,
sama dengan kecepatan perputar sinkron, rm = s . Jika
persamaan (4.28) kita kalikan dengan rm maka kita peroleh
Tm rm = Te rm = Te s
atau
(4.29)
Pm = Pe
Persamaan (4.29) menunjukkan bahwa dengan mengabaikan rugirugi gesekan dengan udara dan bantalan poros, seluruh daya
mekanik diubah menjadi daya listrik.
4.4. Daya Mesin Sinkron
Dalam model satu-fasa, tegangan terbangkit di kumparan jangkar
per fasa adalah E f , tegangan di terminal generator adalah V .
Adanya impedansi belitan jangkar membuat E f dan V berbeda fasa.
Jika kita ambil tegangan terminal generator sebagai referensi dan
beda sudut fasa antara tegangan terminal dan tegangan terbangkit
adalah , maka
V = V0 o
dan
E f = E f
(4.30)
Z = Ra + jX a
(4.31.a)
Z jX a = jX d
(4.31.b)
180
Mesin Sinkron
Kita menganggap generator sinkron terbebani seimbang. Oleh
karena itu rangkaian ekivalen yang kita perlukan hanyalah rangkaian
urutan positif. Jika beban generator sinkron kita modelkan sebagai
sumber tegangan, kita memperoleh rangkaian ekivalen generator
sinkron dengan bebannya seperti terlihat pada Gb.4.10.
jX d
Ef
Sf
Ef V
= V I = V
jX d
(4.32.a)
= VE f (90o ) V 90o
Xd
Xd
(4.32.b)
2
VE f
VE f
V
=
sin + j
cos
= Pf + jQ f
Xd
Xd
X d
E f V0
S f = V0o
X 90o
d
dengan
Pf =
VE f
Xd
VE f
V2
cos
sin dan Q f =
Xd
Xd
(4.33)
Mesin Sinkron
ini berarti bahwa jika kita menambah daya turbin dengan menambah
uap pada turbin uap atau menambah debit air pada turbin air, daya
yang bertambah adalah daya nyata, P. Jika E f , V, X d tidak
berubah maka peningkatan P berarti bertambahnya sudut daya .
Pertambahan daya nyata ini ada batasnya, yaitu pada saat sin = 1 ,
dan inilah daya nyata maksimum yang bisa diberikan oleh generator,
yang disebut batas stabilitas keadaan mantap. Apabila kita teruskan
menambah daya turbin dengan menambah uap lagi, mesin akan
keluar dari perputaran sinkron. Oleh karena itu generator sinkron
dioperasikan pada nilai yang cukup rendah dari daya maksimumnya,
sekitar 20%.
Kelebihan pasokan daya nyata mekanis tidak hanya terjadi jika kita
menambah daya turbin. Kelebihan tersebut juga terjadi jika dalam
operasi normal tiba-tiba beban hilang sebagian (beban keluar dari
jaringan). Dalam hal demikian sudut meningkat untuk sementara,
perputaran bertambah, sampai governor secara otomatis mengatur
masukan uap untuk mengembalikan perputaran turbin ke perputaran
semula, dan kondisi operasi kembali normal.
Jika kita perhatikan persamaan untuk Qf pada (4.33), peningkatan
yang meningkatkan Pf, justru menurunkan Qf. Daya reaktif Qf bisa
meningkat jika Ef meningkat yaitu dengan menambah arus eksitasi.
Dengan kata lain penambahan Qf dilakukan dengan menambah
arus eksitasi. Sebagaimana telah kita pelajari, daya ini mengalir dari
sumber ke beban dalam setengah perioda dan mengalir dari beban
ke sumber dalam setengah perioda berikutnya. Nilai rata-ratanya
adalah nol; daya reaktif tidak memberikan transfer energi. Kita lihat
contoh persoalan berikut.
CONTOH-4.4: [1] Beban seimbang generator sinkron memiliki
faktor daya 0,8 lagging. Reaktansi X d = 0,7 pu (pada ratingnya) .
+
Ef
jX d = 0,7 pu
I
+
a). Hitung , Pf, Qf, Ef, dan , dan gambarkan fasor diagramnya.
182
Mesin Sinkron
b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan
menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, Ef , dan , pada keadaan
ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor
keadaan sebelumnya (soal a).
c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang naikkan
arus eksitasi sehingga Ef meningkat sebesar 20%. Hitung P, Q, Ef,
dan , pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram fasornya
bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).
Solusi:
a). Kita tetapkan referensi V = 10 o
E f = 1,53
= 21,5 o
VE f
1 1,53
Pf =
sin =
sin( 21,5 o ) = 0,8
Xd
0,7
V12 1 1,53
12
=
cos(21,5 o )
= 0,6
Xd
Xd
0,7
0,7
Diagram fasornya terlihat pada gambar berikut.
Qf =
VE f
cos
Ef
jX d I
V
I
b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan
menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, Ef , dan , pada
keadaan ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan
diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).
Tetap gunakan referensi V = 10 o
183
Mesin Sinkron
P = 1,2 P = 1,2 0,8 = 0,96 (meningkat 20% dari P pada soal a).
E f = E f = 1,53 (tidak berubah, eksitasi tidak ditambah).
P X d
= sin 1 0,96 0,7 = 26,1o (meningkat 21%).
= sin 1
1,53 1
E f V
E f V
V 2 1,53 1
12
Q =
=
cos
cos(26,1o )
Xd
Xd
0,7
0,7
= 0,535
(menurun 11%)
jX d I
E f
I1
I1
Ef
jX d I
Q =
E f V
Xd
= 1,07
184
cos
(menurun 17%)
V 2 1,84 1
12
=
cos(17,8 o )
Xd
0,7
0,7
(meningkat 44%)
Mesin Sinkron
Diagram fasor terlihat di bawah ini.
E f
Ef
jX d I
I1
Sf
E fmaks
VE fmaks
Xd
VE fmaks
V2
sin + j
cos
Xd
Xd
(4.34)
yaitu batas daya yang terkait dengan pembatasan Ef. Jika daya ini
kita plot pada bidang P-Q, maka kurva S f
E fmaks
akan berbentuk
VE f
maks
Xd
dan pusat di
V2
O = 0,
Xd
185
Mesin Sinkron
Q
q
Sf
E fmaks
V2
Xd
Gb.4.11. Kurva S f
O'
rE
E fmaks
Sf
E fmaks
stabilitas
mantap
yang
terjadi
pada
nilai
186
Mesin Sinkron
ditetapkan yang tak boleh dilampaui. Batas atas yang ditetapkan
untuk arus itu disebut rated current, I rated .
Selain ditetapkan batas atas nilai arus jangkar, ditetapkan juga batas
atas nilai tegangan yang juga tak boleh dilampaui, yang disebut
rated voltage, Vff rated. Batas arus dan batas tegangan memberikan
batas nilai daya tiga-fasa |S3f rated|.
S3 f
Daya
= V ff
rated
keluaran
S3 f S3 f
rated
rated
If
mesin
rated
pada
waktu
(4.35.a)
operasi
haruslah
Sf
S3 f
rated
(4.35.b)
Sf
rated
= Vrated I rated =
2
Vrated
rated
Xd
(4.36)
Sf
E fmaks
187
Mesin Sinkron
Q
c
Sf
rated
rated
a
b
V2
Xd
Sf
E fmaks
O'
Gb.4.12. Kurva S f
dan S f rated .
E fmaks
Titik potong antara kurva S f rated dan kurva S f
, yaitu titik a
E fmaks
pada Gb.4.12, harus berarti bahwa titik tersebut menunjukkan batas
daya yang terkait dengan Vrated , I rated , mupun terkait dengan Ef
maks; dan garis Oa membuat sudut faktor daya rated dengan sumbu P.
Apabila kita turunkan sampai bernilai nol, maka kurva S f rated
mencapai titik b, dan cos = 1 ; daya reaktif nol. Titik b inilah
menunjukkan nilai maksimum daya nyata yang dapat diberikan oleh
mesin dan bukan p karena daya nyata di b lebih rendah dari daya
nyata di p.
Apabila kita naikkan sampai 90o maka kurva S f rated mencapai
titik c, dan cos = 0 ; daya nyata nol. Akan tetapi titik c tidak
menjadi batas nilai daya reaktif maksimum, karena ada pembatasan
lain yang lebih redah yang ditunjukkan oleh titik q yaitu batas daya
reakti oleh adanya pembatasan Efmaks.
Berikut ini kita lihat contoh mencari nilai Ef maks pada kedua kondisi
limit tersebut.
188
Mesin Sinkron
CONTOH-4.5. [1] Sebuah generator memiliki Xd = 1,2 pu. Hitung
Ef yang diperlukan, agar faktor daya menjadi (a) maksimum, f.d.=1,
(b) minimum, f.d. = 0 (lagging),
Solusi: Kita ambil
referensi
fasor
V = 10 o
pada
rangkaian ekivalen
di samping ini.
Ef
jX d
I = 10 o = 1 + j 0
E f = jX d I + V = j1,2 1 + 1 = 1,5650,2 o
E f = 1,56
b) Agar faktor daya = 0:
I = 1 90 o = 0 j1
E f = jX d I + V = j1,2 ( j1) + 1 = 2,200 o
E f = 2,20
Contoh-4.5 menunjukkan bahwa pada faktor daya lagging mulai
dari 1 sampai 0, Ef yang diperlukan cukup tinggi. Tingginya Ef
berarti tingginya arus eksitasi. Sedangkan makin tinggi arus eksitasi
berarti kenaikan temperature belitan eksitasi.yang makin tinggi pula.
Kenaikan temperatur ini harus dibatasi agar tidak merusak belitan
eksitasi dengan menetapkan nilai maksimum arus eksitasi, If maks.
Arus maksimum ini akan memberikan tegangan terbangkit
maksimum, Ef maks. Batas yang ditentukan ini tidaklah perlu sampai
mencapai kondisi dimana faktor daya nol (Ef =2,20 pada contoh di
atas) karena tak ada manfaatnya membuat generator yang
dioperasikan untuk tidak memberikan daya nyata.
Tugas generator adalah mencatu daya ke beban. Beban memiliki
impedansi dan faktor dayanya sendiri. Jika generator harus menuruti
permintaan beban, maka jika faktor daya beban terlalu rendah,
189
Mesin Sinkron
generator akan menderita karena harus beroperasi pada faktor daya
yang terlalu rendah tersebut. Oleh karena itu harus ada persyaratan
faktor daya di beban; persyaratan itu misalnya faktor daya beban
paling rendah 0,85 lagging.
Kita amati sekarang bagian kurva S f rated yang berada di bawah
sumbu P. Bagian kurva ini adalah tempat kedudukan S f rated
dengan faktor daya leading, Q negatif. Makin negatif daya reaktif,
makin kecil arus eksitasi karena batas Emaks kecil, namun makin
besar sudut daya makin besar. Contoh berikut ini akan
memberikan gambaran lebih jelas.
CONTOH-4.6: [1] Pada rangkaian ekivalen contoh-4.5, tentukan Ef
agar faktor daya menjadi 0,553.
Solusi:
Pada faktor daya 0,553, = cos 1 (0,553) = 56,4 o
I = 156,4 o
= 90 o
maks = sin 1 0,9 = 64,2 o . Pada suatu maks yang ditetapkan, nilai
P dan Q diberikan melalui relasi (4.14) yaitu
190
Mesin Sinkron
P=
VE f
Xd
VE f
V2
cos maks
sin maks dan Q =
Xd
Xd
(4.37)
P
V2
=
tan maks X d
(4.38)
VE f
Xd
P
sin maks
P
V2
Q=
cos maks
sin maks
Xd
V2
dan memotong sumbu P di
Xd
V 2 tan maks
. Gb.4.13. menunjukkan posisi garis lurus tersebut,
Xd
bersama dengan kurva S frated dan S f
; garis lurus itu
Emaks
berpotongan dengan kurva S frated di titk d.
Q
c
q
Sf
rated
rated
a
b
d
V2
Xd
P
V 2 tan maks
Xd
O'
Sf
E fmaks
Mesin Sinkron
Dengan demikian maka batas-batas operasi generator sinkron, baik
karena pembatasan arus eksitasi maupun pembatasan arus jangkar
dan tegangan terminal, adalah kurva qabdO pada Gb.4.13. Bagian
kurva qa adalah batas operasi karena pembatasan arus eksitasi pada
pembebanan induktif, kurva ab adalah batas operasi karena
pembatasan arus dan tegangan jangkar pada pembebanan induktif,
kurva bd adalah batas operasi karena pembatasan oleh arus jangkar
dan tegangan jangkar pada pembebanan kapasitif., garis dO adalah
batas operasi karena pembatasan maks. Di dalam batas-batas kurva
inilah generator sinkron boleh beroperasi. Bagian kurva di sebelah
kiri sumbu Q tidak diperlukan dan dihapus.
Sesungguhnya batas operasi generator tidak hanya oleh pembatasan
di rangkaian eksitasi dan rangkaian jangkar saja, tetapi juga
pembatasan di rangkaian magnetik stator. Medan magnet bolakbalik di inti stator menimbulkan rugi-rugi inti seperti halnya pada
transformator. Pengaruh ini tidak tergambarkan pada Gb.4.13. Perlu
kita sadari pula bahwa kerapatan fluksi magnetik tidaklah merata.
Pada gigi-gigi alur jangkar terdapat kerapatan medan magnetik
yang tinggi dan di sini bisa terjadi kenaikan temperatur yang tinggi
yang sudah pasti akan mempengaruhi kenaikan temperatur di
kumparan jangkar. Di ujung-ujung stator arah fluksi magnet tegak
lurus dengan laminasi jangkar dan kenaikan temperatur di daerah ini
juga tinggi. Pembatasan di rangkaian magnetic sudah barang tentu
akan memodifikasi bentuk kurva yang telah tergambarkan di
Gb.4.13. Untuk sementara perihal rangkaian magnetik ini tidak kita
bahas.
4.6. Transien Pada Mesin Sinkron
Peristiwa transien terjadi jika ada pembebanan tiba-tiba pada mesin
sinkron. Salah satu contoh yang akan kita uraikan di sini adalah
terjadinya hubung singkat tiga-fasa pada terminal generator; hubung
singkat tiga-fasa merupakan pembebanan seimbang. Oleh karena itu
kita dapat
I hs
menyatakan
R a + jX d
+
rangkaian ekivalen
Ef
model satu-fasa
untuk situasi ini,
seperti terlihat pada
Gb.4.14. Rangkaian ekivalen model satuGb.4.14.
fasa, gangguan hubung singkat tiga-fasa.
192
Mesin Sinkron
Peristiwa transien di sini adalah peristiwa transien pada rangkaian
orde-2, seperti yang kita pelajari pada Analisis Rangkaian Listrik.
Sinyal masukan adalah sinyal sinus. Hasil analisis di kawasan waktu
akan memberikan arus hubung singkat yang berbentuk
(4.39.a)
ihs
i hs
ihs
Mesin Sinkron
Untuk keperluan analisis sistem tenaga, dianggap nol dan
persamaan arus transien yang diperhitungkan berbentuk
(4.39.b)
I hs (t ) =
ihs (t )
2
pendekatan
I
I
0
t1
t2
(4.40)
Xd
R a + jX d
Perubahan Ihs terhadap waktu, di kawasan fasor dapat dinyatakan
dengan memilih salah satu apakah tegangan sumber Ef konstan dan
194
Mesin Sinkron
Xd yang berubah terhadap waktu, atau Xd konstan dan Ef yang
berubah terhadap waktu. Kita memilih Ef tetap dan Xd berubah
terhadap waktu. Dengan demikian maka dalam selang
0 t t1 : X d =
Ef
t1 t t 2 : X d =
Ef
t t2 : X d =
I
I
Ef
I
Z 1 = R a + jX d ;
Z 1 = R a + jX d ;
Z1 = R a + jX d
Nilai-nilai X d dan X d diberikan oleh pembuat generator.
Mana yang akan kita gunakan tergantung dari persoalan yang kita
hadapi. Untuk menghitung arus hubung singkat misalnya, kita akan
memilih menggunakan reaktansi subtransien, X d .
4.7. Mesin Sinkron Kutub Menonjol
Rangkaian ekivalen satu-fasa mesin sinkron rotor silindris kita
gambarkan sekali
lagi pada Gb.4.18.
I
Xd adalah direct
jX d
+
+
axis reactance yang
V
Ef
memberikan beda
tegangan sebesar
IXd antara tegangan
Gb.4.18. Rangkaian ekivalen model satuterbangkit dan
fasa generator sinkron rotor silindris.
tegangan terminal
generator; arus I adalah arus jangkar yang menimbulkan medan
magnet berputar yang melawan medan magnet rotor. Medan magnet
lawan dari stator ini berbeda fasa secara mekanis dengan magnet
rotor. Hal demikian tidak menjadi masalah pada mesin sinkron rotor
silindris karena lebar celah udara antara rotor dan stator sama di
195
Mesin Sinkron
seluruh keliling rotor. Tidak demikian halnya dengan mesin kutub
menonjol; celah udara di depan sepatu kutub lebih sempit
disbanding dengan celah udara yang terletak di antara dua sepatu
kutub. Lihat Gb.4.19.
d
sumbu fluksi
lawan jangkar
sumbu fluksi
lawan jangkar
S
a1
sumbu fluksi
rotor
a1
sumbu fluksi
rotor
Rotor silindris
Kutub menonjol
Gb.4.19. Mesin rotor silindris dan kutub menonjol.
Sumbu fluksi magnet rotor adalah sumbu d (direct axis); sumbu
yang tegak lurus pada d dan tertinggal 90o adalah sumbu q
(quadrature axis). Fluksi lawan jangkar dapat dianggap terdiri dari
dua komponen yaitu komponen sejajar sumbu d dan komponen
sejajar sumbu q. Masing-masing komponen ini dinyatakan dengan
tegangan jatuh ekivalen pada jangkar sebesar I d X d dan I q X q ,
dengan Id dan Iq adalah direct axis current dan quadrature axis
current, sedangkan Xd dan Xq adalah direct axis reactance dan
quadrature axis reactance. Jika tegangan terbangkit di kumparan
fasa adalah E f dan tegangan di terminal generator adalah V maka
dengan mengabaikan resistansi belitan jangkar,
E f = jI d X d + j I q X q + V
(4.41)
196
Mesin Sinkron
V = V0 o , I = I , E f = E f , I d = I d 90o , I q = I q
Iq
Id
Iq X q
jI d X d
Id (X d X q )
S f = VI = V ( I q + I d ( 90 o )
= V I q + I d 90 o
(
(
(
= V I q + jI d
= V I q (cos j sin ) + jI d (cos j sin )
= V I q (cos j sin ) + I d ( j cos + sin )
(4.42)
197
Mesin Sinkron
Dari Gb.4.20 kita peroleh
E f Id X d
E f V cos
Id =
V
Xd
Iq X q
V sin
Iq =
sin =
V
Xq
cos =
(4.43)
P f = V ( I q cos + I d sin )
V sin
E f V cos
=V
cos +
sin
Xq
Xd
2
2
VE f
V
V
=
sin cos +
sin
sin cos
Xq
Xd
Xd
(4.44)
V 2 V 2
sin cos
sin +
Xq Xd
Xd
2
VE f
V
=
sin +
X d X q sin 2
Xd
2X d X q
VE f
VE f
Xd
sin
198
Mesin Sinkron
E f V cos
V sin
Q f = V ( I d cos I q sin ) = V
cos
sin
Xd
Xq
2
2
2
2
VE f
V cos V sin
=
cos
Xd
Xd
Xq
=
=
VE f
Xd
VE f
Xd
VE f
Xd
cos
cos +
2
V 2 cos 2
V cos 2
+ sin 2 +
cos 2
Xd 2
Xq 2
V 2 cos 2 1
1 V 2 sin 2 V 2 cos 2
Xd Xq
2
Xd
Xq
2
V 2 (X d X q )
cos 2 V ( X d + X q )
cos +
Xd Xq
2X d X q
(4.45)
Jika kita bandingkan relasi ini dengan relasi daya reaktif untuk
mesin sinkron rotor silindris yang diberikan oleh persamaan (4.33)
yaitu:
VE f
V2
Qf =
cos
Xd
Xd
199
Mesin Sinkron
200
BAB 5
201
(5.1)
Dari bus ke-i ini mengalir daya ke dua jurusan; yang pertama
adalah aliran daya langsung ke beban yang terhubung ke bus
ini dan yang kedua adalah aliran daya menuju saluran
transmisi. Daya yang langsung menuju beban adalah
S Bi = PBi + jQBi
(5.2)
Si = Pi + jQi = SGi S Bi
ii)
(5.3)
S j = S Bj
(5.4)
iii) Jika kita hanya memperhatikan daya sumber dan daya beban,
teorema Tellegen tidak akan terpenuhi karena masih ada daya
keluar dari rangkaian yang tidak diketahui yaitu daya yang
diserap oleh saluran dan transformator. Oleh karena itu, untuk
keperluan analisis, jika tegangan semua bus-beban diketahui,
baik melalui dugaan maupun ditetapkan, tegangan busgenerator juga harus dapat ditetapkan kecuali satu di antaranya
yang dibiarkan mengambang; bus mengambang ini disebut
slack bus. Slack bus seolah berfungsi sebagai simpul sumber
tegangan bebas dalam analisis rangkaian listrik yang biasa kita
kenal. Dengan cara ini maka teorema Tellegen akan bisa
dipenuhi.
202
SG1
V1 I1
bus - 1
saluran transmisi
I B1
SG 2
I 2 V2
I B2
bus - 2
diagram rangkaian
bus - 1
bus - 2
zs
I1
S G1
S B1
yp
I2
yp
S B2
SG2
rangkaian ekivalen
Gb.5.1. Model satu-fasa. Diagram dan rangkaian ekivalen.
S G1 , S G 2 : daya per fasa generator
V1 , V1 : tegangan fasa - netral
I1 , I 2 : arus ke saluran transmisi dari bus - 1 dan bus - 2
I B1 , I B 2 : arus beban (langsung) dari bus - 1 dan bus - 2.
z12 : impedansi seri antar bus dalam rangkaian ekivalen
y p : admitansi paralel saluran transmisi pada rangkaian ekivalen
(5.5.a)
dengan y12 = 1 / z12 adalah admitansi transfer antara bus-1 dan bus-2.
203
Y11 = y p + y12
(5.5.c)
I1 = Y11V1 y12 V2
(5.6.a)
I 2 = Y22 V2 y12 V1
(5.6.b)
I1 = Y11V1 y12 V2
I 2 = Y12 V1 + y22 V1
(5.7)
Sistem Dengan Tiga Bus. Untuk sistem dengan tiga bus, relasi (5.7)
dikembangkan menjadi
(5.8.a)
(5.8.b)
(5.9)
204
. Y1n V1
. Y2 n V2
. Y3n V3
. . .
. Ynn Vn
(5.10.a)
(5.10.b)
Ii =
Yij V j
(5.11)
j =1
(Yij V j )
j =1
( Yij ij V j j )= Pi + jQi
(5.12)
= Vi i
j =1
Pi = Vi
Yij V j cos( i ij j ) dan
j =1
Qi = Vi
Yij V j sin( i ij j )
j =1
(5.13)
205
(5.14)
n
(5.15)
206
(5.16)
7.
8.
Berdasarkan data teknis dari jaringan, tentukan elemenelemen dari matriks [Ybus].
Pada bus-beban tentukan PB dan QB.
Pada bus-generator tentukan nilai tegangan bus V dan PG.
Buat slack-bus (bus nomer-1) bertegangan V1 = 10o .
Asumsikan profil tegangan dan sudut fasanya, V dan , bus
yang lain.
Masukkan data [Ybus] dan profil tegangan yang diasumsikan
ke persamaan (5.14) untuk mencari Pi dan Qi. Setiap kali
iterasi dilakukan, bandingkan hasil perhitungannya dengan
besaran yang ditetapkan sesuai langkah-2 dan langkah-3 atau
hasil perhitungan sebelumnya.
Selisih yang diperoleh pada langkah-6, digunakan sebagai
dasar untuk melakukan koreksi pada langkah iterasi
berikutnya sedemikian rupa sehingga selisih tersebut menjadi
semakin kecil.
Ulangi langkah-langkah iterasi sampai selisih yang didapat
mencapai nilai kecil yang dapat diterima. Profil tegangan pada
situasi terakhir ini menjadi solusi yang dicari.
207
p( x) = 0
(5.17)
dan kita akan mencari solusinya dengan cara iterasi. Ruas kiri
persamaan ini dapat kita pandang sebagai sebuah fungsi, dan kita
misalkan fungsi ini adalah kontinyu dalam domain yang ditinjau.
Kita dapat menggambarkan kurva fungsi ini di bidang px; nilai x
sebagai solusi adalah titik potong kurva dengan sumbu-x, yaitu
p (x )
0
p( x )
p ( x1 )
dp
dx
x sol p ( x 2 )
x0
x 2 x1
0
1
x
x
p( x 0 )
(dp / dx)
x1 = x 0 + x 0 = x 0 +
p( x 0 )
(dy / dx)
p( x n ) 0 .
Secara umum formulasi dari proses iterasi ini dapat kita turunkan
sebagai berikut:
Jika xk adalah nilai x untuk iterasi ke-k maka
x k = x k 1 +
p( x k 1 )
(dp / dx)
k 1
(5.18)
209
p( x) = P
(5.19)
dengan P adalah tetapan. Ruas kiri (5.19) kita pandang sebagai
fungsi x dengan kurva seperti pada Gb.5.2; akan tetapi solusi xsol
yang dicari adalah nilai x pada titik potong antara p(x) dengan
garis P sejajar sumbu-x . Situasi ini digambarkan pada Gb.5.3.
p
p(x)
0
p( x )
dp / dx
p( x 0 ) p( x1 )
p ( x1 )
P
x sol
x 2 x1
1
x0
x 0 =
P + p x0
(dp / dx)
Kita
p 0x
coba
untuk
(5.20)
memahami
persamaan
terakhir
ini.
p k = (dp / dx) x k
(5.21)
p ( x, y ) = P
q ( x, y ) = Q
(5.22)
p 0 = P p( x 0 , y 0 ) = (p / x) x 0 + (p / y ) y 0
q 0 = P q( x 0 , y 0 ) = (q / x) x 0 + (q / y ) y 0
(5.23)
p
p / x p / y x
0 x
q = p / x p / y y = J y
(5.24)
( )
x
1 0 p
y = J
q
(5.25)
x x + x
y = y + y
(5.26)
Pada langkah ke-k kita mempunyai identitas dan persamaanpersamaan sebagai berikut:
k
p
P p( x)
1).
;
q
P p( y )
k
p / x
3). J k =
;
p / y
p
x
2). = J k ;
q
y
k
( )
k p
x
4). = J 1
y
q
(5.27)
k
212
p3 P3 p3 (V2 k ,......., nk )
M
M
~ k = p P p (V ,......., )
1). u
n 2k
nk
n n
q Q q (V ,......., )
2 2k
nk
2 2
M
M
q Q q (V ,......., )
n 2k
nk
n n
(5.28.a)
~ k = J k x k
2). u
p 2
V
2
p3
V2
M
p
k
3). J = n
V2
q
2
V2
M
q
n
V2
(5.28.b)
p2
V3
p3
V3
p n
V3
q2
V3
q n
V3
p2
Vn
p3
L
Vn
p 2
2
p3
2
p n
Vn
q2
L
Vn
pn
2
q 2
2
q n
Vn
qn
2
L
L
L
L
p2
n
p3
n
p n
n
q2
q2
(5.28.c)
V 2
V
3
M
k ~k
k
~
4). x Vn = J 1 u
2
M
n
( )
(5.28.d)
~
x k adalah vektor yang berisi koreksi peubah di setiap bus,
yaitu tegangan dan sudut fasanya, yang diperoleh pada iterasi
ke-k untuk melakukan iterasi selanjutnya. Pada waktu
x 0 untuk
menetapkan dugaan awal misalnya, diperoleh ~
melakukan koreksi pada iterasi ke-1; pada itersai ke-1
diperoleh ~
x1 untuk melakukan koreksi pada iterasi ke-2; dan
seterusnya.
Matriks jacobian adalah matriks yang berisi laju perubahan
daya, baik daya nyata maupun reaktif, terhadap perubahan
tegangan maupun sudut fasa di setiap bus. Perhatikan bahwa
daya merupakan fungsi semua peubah di setiap bus. Oleh
karena itu perbedaan nilai daya di setiap bus dengan daya yang
ditetapkan pada bus yang bersangkutan pada iterasi ke-k,
merupakan hasil kali matriks jacobian pada iterasi ke-k dengan
vektor koreksi tegangan maupun sudut fasa pada iterasi ke-k.
Jika matriks jacobian tidak bernilai nol, yang berarti bahwa
dalam peninjauan secara grafis (pada persamaan dengan
peubah tunggal misalnya), garis singgung pada kurva tidak
sejajar dengan sumbu-x, besaran koreksi dapat dihitung dengan
k ~k
relasi (5.28.d), ~x k = J 1 u
. Inversi matriks jacobian
( )
214
P1 , Q1 bus - 1
bus - 2
z12 = 20 + j80
S B2 =
1 + j1 pu
V1 = 10o pu
y p = 0,27 10 3 S
yp
V2 = V2 2 pu
[Ybus ] =
6,4151104,04 o (5.29)
6,2766 75,64 o
pi = Vi 2
YijV j cos(ij j )
j =1
n
qi = Vi 2
YijV j sin(ij j )
j =1
(5.30)
p2 / V2
q2 / V2
dengan elemen-elemen:
216
(5.31.a)
(5.31.b)
q 2
= V2Y21V1 cos( 2 21 1 )
2
q 2
= Y21V1 sin( 2 21 1 ) + 2Y22V2 sin( 22 )]
V2
Dugaan Awal dan Iterasi. Kita buat dugaan awal yaitu nilai awal
daya di bus-2. Seberapa dekat nilai dugaan yang kita buat ini ke
nilai yang ditetapkan, akan menentukan seberapa cepat kita
sampai ke iterasi terakhir. Kita coba dugaan awal
0 0
~
x 0 02 =
(5.32)
V2 1
Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya (5.30)
untuk mendapatkan nilai p20 dan q 20 . Darisini kita peroleh
corrective force:
0
0
~ 0 = p2 == 1 p2
(5.33)
u
q
0
2
1 q2
Corrective force menentukan besar koreksi
0
0 ~0
0 1 p 0
2
(5.34)
~
x 0 20 = J 1 u
= J 1
0
V2
1 q2
Formulasi (5.29) sampai dengan (5.34) kita gunakan dalam
perhitungan menggunakan excel. Semua besaran akan berubah
setiap kali iterasi, kecuali besaran yang sudah ditetapkan, P2, Q2,
dan elemen matriks Ybus.
( )
( )
[Ybus ] =
Y11
Y21
6,4151104,04 o
6,2766 75,64 o
217
~
u
P2
Q2
2
V2
p2
q2
p2
q2
Jk
(J1)k
~
x
~
u
2
v2
P2
Q2
2
V2
p2
q2
p2
q2
Jk
(J1)k
~
x
218
2
v2
-1
-1
0
1
5.29E-06
-0.14283
-1.0000
-0.8572
6.2235
-1.5559
0.1508
0.0395
-0.1169
-0.1750
-1
-1
-0.1506
0.7625
-0.9803
-0.9784
-0.0197
-0.0216
4.5137
-1.8849
0.2243
0.1261
-0.0046
-0.0090
(tetapan)
(dugaan
awal)
(substitusi ke
persamaan)
~0
u
1.5559
5.9379
-0.0395
0.1581
~
x0
-0.1169
0.8250
-0.8149
-0.8109
-0.1851
-0.1891
4.9496
-1.8739
0.1966
0.0913
-0.0337
-0.0625
(iterasi
ke-1)
(substitusi ke
persamaan)
~1
u
0.2959
4.0337
-0.0144
0.2412
~
x1
(tetapan)
(iterasi
ke-2)
(substitusi ke
persamaan)
~2
u
-0.0993
3.3532
0.0066
0.3020
~
x2
-0.1552
(iterasi
0.7535
ke-3)
-0.9996 (substitusi ke
-0.9996 persamaan)
-0.0004
~3
u
-0.0004
4.4518
-0.1543
-1.8830
3.2551
0.2292
0.0109
0.1326
0.3135
-0.0001
~
x3
-0.0002
P2
Q2
2
V2
p2
q2
p2
q2
~
u
Jk
(J1)k
~
x
2
v2
P1
Q1
-1
-1
-0.1553
0.7533
-0.99999983
-0.99999981
-2.0000
-2.0000
4.4505
-1.8829
0.2293
0.1327
-0.4806
-0.8930
1.1229
1.2677
(tetapan)
(iterasi
ke-4)
(substitusi ke
persamaan)
~4
u
dianggap sama
dengan P2 dan Q2
yang ditetapkan
-0.1554
3.2531
0.0110
0.3137
~
x4
Sampai iterasi ke-3, nilai p23 1 dan q23 1 . Pada iterasi ke-4
nilai tersebut sudah dapat dikatakan sama dengan nilai P2 dan Q2
yang ditetapkan. Oleh karena itu iterasi ke-5 tidak perlu dilakukan
lagi.
Profil Tegangan Sistem dan Daya Pada Bus-Generator. Pada
Iterasi terakhir kita perloeh profil tegangan sistem dua bus ini
sebagai berikut
V1 = 1 pu;
1 = 0 o
V1
P2 = 1 pu ; Q2 = 1 pu (bus - beban)
Dalam contoh ini tegangan jatuh di saluran cukup besar, dan susut
daya di saluran, yang diperlihatkan oleh selisih P1 dan P2 cukup
besar pula yaitu Psal = 1,12 1 = 0,12 pu 12%. (P1 dan Q1 pada
iterasi ke-4 dicantumkan dalam tabel pada dua baris terakhir).
219
S B1 S = 2 pu
B1
bus - 2
y12 = j10 pu
y13 = j15 pu
y 23 = j12 pu
V3 = 1.1
P3 = 2.0
G3
2,5 pu
j 2 pu
bus - 3
SG 3 S
B2
j1,2 pu
G1 = 300 MVA, 15 kV
G3 = 250 MVA, 15 kV
Saluran transmisi dianggap sebagai lossless line.
Admitansi saluran per fasa sudah dihitung dalam per unit:
Y11 = y12 + y13 = 25 90o ; Y12 = y12 = 1090o ; Y13 = y13 = 1590o
Y22 = y12 + y 23 = 22 90o ; Y21 = y 21 = 1090o ; Y23 = y 23 = 1290o
Y33 = y31 + y32 = 27 90o ; Y31 = y31 = 1590o ; Y32 = y32 = 1290 o
o
Ybus = Y21 Y22 Y23 = 1090
Y31 Y32 Y33 1590o
220
1090o
22 90o
1290o
1590o
1290o (5.35)
27 90o
pi = Vi
Yij V j cos(i ij j )
j =1
qi = Vi
Yij V j sin(i ij j )
j =1
Karena bus-1 adalah slack bus maka kita akan bekerja pada bus-2
dan bus-3. Di bus-2, daya yang harus dicapai pada akhir iterasi
adalah P2 = 2,5 dan Q2 = 0,8 . Sedangkan di bus-3 daya nyata
yang harus dicapai adalah P2 = 2,0 . Jadi dalam ystem ini
diberikan tiga tetapan daya, dengan tiga peubah. Oleh karena itu
persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan yaitu untuk p2,
p3, dan q2.
221
(5.36)
p 2 / 2 p2 / 3
J = p3 / 2 p3 / 3
q 2 / 2 q2 / 3
Elemen-elemen matriks ini adalah
p 2 / V2
p3 / V2
q 2 / V2
(5.37.a)
p 2
= V2Y21V1 sin( 2 21 1 ) V2Y23V3 sin( 2 23 3 )
2
p 2
= +V2Y23V3 sin( 2 23 3 )
3
p 2
= Y21V1 cos( 2 21 1 ) + Y23V3 cos( 2 23 3 )
V2
+ 2Y22V2 cos( 22 )]
p3
= +V3Y32V2 sin( 3 32 2 )
2
p3
= V3Y31V1 sin( 3 31 1 ) V3Y32V2 sin( 3 32 2 )
3
p3
= +V3Y32 cos( 3 32 2 )
V2
q 2
= V2Y21V1 cos( 2 21 1 ) + V2Y23V3 cos( 2 23 3 )
2
q 2
= V2Y23V3 cos( 2 23 3 )
3
q 2
= Y21V1 sin( 2 21 1 ) + Y23V3 sin( 2 23 3 )
V2
+ 2Y22V2 sin( 22 )
222
(5.37.b)
V20 1
~
x 0 02 = 0
0 0
3
(5.38)
0
0
u p3 = P3 p3 = 2 p3
q2 Q2 q20 0,8 q20
~0
(5.39)
Besar koreksi
( ) u~ = (J )
~
x0 = J
1 0
2,5 p20
0
2 p3
0,8 q 0
2
1 0
(5.40)
o
Ybus = Y21 Y22 Y23 = 1090
Y31 Y32 Y33 1590o
1090o
22 90o
1290o
1590o
1290o
27 90o
223
P2
p,q
~
u
p 2 / 2
J = p3 / 2
p2 / 3
p3 / 3
p 2 / V2
p3 / V2
q 2 / 2
q2 / 3
q 2 / V2
-2.5
P3
Q2
0.8
(tetapan)
V1
V2
0.0260
V3
1.1
(tetapan)
p2
0.0000
p3
3E-15
q2
-1.2000
p2
-2.5
p3
q2
-0.0929
(dugaan awal)
(substitusi ke
persamaan aliran
daya)
(J-1)k
~
x
224
-2.7349
2.2399
1.1530
(iterasi ke-1)
(substitusi ke
persamaan aliran
daya)
0.2349
~0
u
-0.2399
2.0000
~1
u
-0.3530
23.2000 -13.2000
k
1.0962
-13.2000
29.7000
0.0000
0.0000
0.0000
25.2812 -14.3669
0.0000 -14.3669
20.8000
-2.7349
-2.4950
30.8614
1.5668
1.7175
25.1673
0.0577
0.0256
0.0000
0.0542
0.0250
0.0038
0.0256
0.0451
0.0000
0.0250
0.0441
-0.0003
0.0000
0.0000
0.0481
0.0042
-0.0003
0.0402
-0.0929
0.0260
V2
0.0962
0.0054
~
x0
-0.0046
~
x1
-0.0131
P2
P3
Q2
1
V1
2
V2
3
V3
p2
p3
q2
p2
p3
q2
p,q
~
u
Jk
(J-1)k
~
x
2
3
V2
P1
Q1
Q3
P12
Q12
P13
Q13
P31
Q31
P32
Q32
P21
Q21
P23
Q23
-2.5
2
0.8
0
1
-0.0876
1.0830
0.0214
(tetapan)
(iterasi ke-2)
-2.5023
(substitusi ke
persamaan aliran
1.9963
daya)
0.8049
0.0023
~2
u
0.0037
-0.0049
24.9999 -14.2111 -2.3105
-14.2111 30.7073
1.4359
-2.5023
1.5551 24.5698
0.0546
0.0251
0.0037
0.0251
0.0442 -0.0002
0.0040 -0.0002
0.0411
0.0002
~
x2
0.0002
-0.0002
-0.0874
1.0828
0.0217
(tetapan)
-2.5000
1.9998
0.8000
0.0000
0.0002
0.0000
(iterasi ke-3)
(substitusi ke
persamaan aliran
daya)
~3
u
0.5876
-2.2832
1.9653
-0.9448
0.7870
0.3573
1.4961
-0.3573
-1.6539
-1.5552
-0.3115
-0.9448
0.9382
-1.5552
-0.1382
225
V1 = 1 pu;
1 = 0 o
V1
Aliran Daya Antar Bus. Kita akan melihat bagaimana aliran daya
antar bus di saluran transmisi. Aliran daya ini kita hitung
menggunakan relasi
S ij = Vi I ij = Vi Yij ( Vi V j )
) = Vi Yij Vi Vi Yij V j
S1 = 0,588 + j 2,283 pu
Bus-3:
S 31 = 0,357 j1,654 pu
S 32 = 1,555 j 0.311 pu
S 3 = j1,912 j1,965 pu
226
S 21 = 0,945 + j 0.938 pu
S 23 = 1,555 j 0,138 pu
S 2 = 2,500 + j 0,800 pu
Antara bus-1 dan bus-3 aliran daya hanya terjadi dari bus-3 ke
bus-1; daya di bus-3 S 31 = 0,357 j1,654 sedangkan daya di
bus-1 S13 = 0,357 + j1,496 . Daya nyata yang dikirim oleh bus-3
tepat sama dengan daya nyata yang diterima bus-1; hal ini terjadi
karena saluran transmisi merupakan lossless line. Perbedaan antara
daya reaktif yang dikirim bus-3 dan yang diterima bus-1 adalah
daya reaktif yang terserap di saluran yaitu sebesar j 0,158 pu .
Aliran
daya
di
bus-2
dari
S 21 = 0,945 + j 0.938
sedang
S 23 = 1,555 j 0,138
dengan
arah
dari
jumlah
yang
bus-1
arah
sesuai
adalah
bus-3
yang
QGi Q Bi = Vi
V j Yij sin( i j ij )
j =1
227
PGi PBi = Pi
dan QGi Q Bi = Qi
S G1 = 2684 MVA
dan
S G 3 = 2742 MVA
V1 = 1 pu;
1 = 0 o
S 2 = 2.5000 + j 0.8000 pu
S 3 = 1.5022 j1.9491 pu
daya generator:
228
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
System
229
Biodata Penulis
Nama: Sudaryatno Sudirham
Lahir: 26 Juli 1943, di Blora.
Istri: Ning Utari
Anak: Arga Aridarma, Aria Ajidarma.
Pendidikan & Pekerjaan:
1971 : Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung.
1982 : DEA, lENSEIHT, INPT, Perancis.
1985 : Doktor, lENSEIHT, INPT, Perancis.
19722008 : Dosen Teknik Elektro, ITB.
Training & Pengalaman lain:
1974 : TERC, UNSW, Australia; 1975 1978 : Berca Indonesia PT,
Jakarta; 1979 : Electricit de France, Perancis; 1981 : Cour dEte,
Grenoble, Perancis; 1991 : Tokyo Intitute of Technology, Tokyo,
Jepang; 2005 : Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand;
2005 2009 : Tenaga Ahli, Dewan Komisaris PT PLN (Persero);
2006 2011 : Komisaris PT EU ITB.
230
Indeks
a
ABCD, konstanta 85
admitansi 48, 64
air, tenaga 17
aliran daya 199, 203, 210,
214
angin 17
arus laut 17
b
batas operasi 183
batubara 14
beban 5, 17, 18
beban, model 18
bintang, hubungan 25
biomassa 17
bus beban 200, 205
bus-generator 200, 205, 225
d
daya 6, 37, 199
daya mesin sinkron 178
diagram lingkaran 94
diagram satu garis 40
distribusi 5
e
efisiensi 128
energi 1, 6
energi primer 14
f
fluksi bocor 117
g
gas alam 15
gelombang laut 17
i
impedansi 48, 55
impedansi karakteristik 75
impedansi urutan 34
induktansi 49
iterasi 206, 215, 220
j
jacobian 209, 214, 220
k
komponen simetris 29, 31
konfigurai saluran 7
konfigurasi 56, 69
kutub menonjol 159, 193
l
lossless line 90
m
mesh, hubungan 25
mesin sinkron 159
minyak bumi 15
n
Newton-Raphson 206
nuklir 17
o
operator a 30
p
panas bumi 16
pembangkitan 3
pergeseran fasa 147
permeabilitas 47
permitivitas 47
per-unit 41, 44, 148
polifasa 21
propagasi, konstanta 74
r
rangkaian ekivalen 72, 123
rangkaian ekivalen 78
reaktansi sinkron 169
regulasi tegangan 128
resistansi 48
rotor silindris 167, 173
231
s
sampah 17
slack bus 200, 205
stabilitas, mantap 95
struktur 3
subtransmisi 4
surge impedance loading 98
surja 101
surya, tenaga 17
t
tiga-fasa 26, 29
transformator 115, 116, 118,
120, 123, 125, 130, 131
transformator polifasa 155
transformator tiga belitan
136, 138, 140, 144
transien 100, 102, 190
transmisi 4, 47, 73
transposisi 61, 70
turbin 177
232
u
uji beban nol 126
uji hubung singkat 126
urutan negatif 29
urutan nol 29
urutan positif 29
y
Ybus 203, 205, 214