Anda di halaman 1dari 94

BEKAL DAI DALAM TAFSIR AL-MISBAH KARYA MUHAMMAD

QURAISH SHIHAB
(analisis Al-Quran surat al-muddatsir ayat 1-7)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk memenuhi Syarat-syarat Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh:
SITI MASITOH
NIM. 104051001847

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010

BEKAL DAI DALAM TAFSIR AL-MISBAH KARYA MUHAMMAD


QURAISH SHIHAB
(Analisis Al-Quran surat Al-Muddatsir ayat 1-7)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk memenuhi Syarat-syarat Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh:
SITI MASITOH
NIM. 104051001847

Di bawah bimbingan

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata S1 di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber yang telah gunakan dalam penulisan skripsi telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya saya merupakan jiplakan
dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universiatas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta.

Jakarta, 04 Desember 2010

Siti Masitoh

ABSTRAK
Bekal DaI dalam tafsir Al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab
(analisis Al-Quran surat al-muddatsir ayat 1 7)
Buku tafsir Al-Misbah adalah salah satu hal yang menarik bagi penulis,
karena ia merupakan buku yang dikarang oleh seorang mufassir terkenal yaitu: M.
Quraish Shihab. Dakwah yang dilakukannya sangat beragam mulia dari ceramah
mimbar yang monolog, diskusi interaktif dalam kajian dan seminar, hingga dalam
bentuk buku, sehingga beliau telah menerbikan puluhan judul buku dan salah
satunya yaitu buku Tafsir Al-Misbah, Pesan-kesan dan keserasian Al-Quran Juz
29. Penulis mengambil buku tafsir Al-Misbah ini karena menilai buku Tafsir ini
khususnya Tafsir al-Misbah Juz 29 yang menerangkan Surat Al-Muddatsir ayat 1
7 ini sangatlah membantu penulis dalam menulis skripsi ini sehingga menambah
pengetahuan dari berbagai persoalan yang telah menghimpit kita sekarang ini.
Bagaimanakah kualitas dan kapabilitas yang harus dimiliki dari dalam
Tafsir Al-Misbah ? Dan bagaimana relevansi bekal yang harus dimiliki Dai
terhadap keadaan zaman sekarnag ini ?.
Dalam Tafsir Al-Misbah ini kualitas dan kapabilitas memang harus
seimbang dimiliki oleh Dai dimana adanya bekal spiritual, moral, intelektual
serta hal-hal yang positif yang dapat membantu dalam membangun kepribadian
Dai itu sendiri. Sedang relevansi bekal dai dalam kehidupan sekarang ini
sangatlah relevan, karena Tafsir yang ditulis oleh M. Quraish Shihab ini
mencangkup dari segi keagamaan, pembaharuan dan ke Indonesian.
Penelitian ini menggunakan analisis Al-Quran khususnya surat AlMuddatsir ayat 1 7 dimana dengan pendekatan yaitu penafsiran yang
menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, berdasarkan aturanaturan ayat, hubungan ayat-ayatnya, hadits serta para pendapat para Mufassirin itu
sendiri. Hakekatnya study tafsir ini adalah menjelaskan maksud ayat-ayat AlQuran yang sebagian besar masalah dalam bentuk global. Adapun sarana
pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Quran dilengkapi dengan buku-buku yang
terikat dengan ayat yang akan ditafsirkannya.
Dengan penelitian ini dalam menganalisis Al-Quran surat Al-Muddatsir
ayat 1 7 ini dalam tafsir Al-Misbah, maka ini menjadi landasan penulisan teori
bekal dai apa saja yang harus dimiliki dai. Sebagai media penulisan dalam
membangun kepribadian dai sehingga sangatlah efektif dalam penyampaiannya
dan dapat diterapkan dalam kehidupan dai sehari-hari.
Bekal dai yang terdapat dalam surat Al-Muddatsir ayat 1 7
menerangkan bagaimana proses pembentukan kepribadian yang harus dimiliki
oleh dai dengan demikian ini semua akan memberikan kontribusi bagi dai dan
juga manfaat bagi kita semua, karena sebagai dai haruslah memberikan
suritauladan yang baik bagi diri sendiri dan juga madunya.

KATA PENGANTAR

Al-Hamdulillah Rabilaalamin, sembah sujud dan puji syukur penulis


panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan karunia-Nya yang
tak terhingga sehingga skripsi ini selesai.
Tak

lupa

Shalawat

serta

salam

kepada

Habibullah

Rasulullah

Muhammmad SAW serta para sahabatnya yang telah membawa kebaikan kepada
umatnya dari jalan kegelapan menuju jalan kebenaran.
Skripsi ini tidak akan selesai tanpa jasa dari berbagai pihak, maka penulis
ingin menganturkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Bpk. Dr. H. Arief Subhan, MA. Sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi.
2. Bpk. Drs. Jumroni, M.Si. Sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam.
3. Ibu Umi Musyarofah, MA. Sebagai Sekretaris Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam
4. Bpk. Dr. A. Ilyas Ismail, MA. Selaku Dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu selam proses
Skripsi ini.
5. Semua Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
memberikan Ilmu selama mengikut perkuliahan.

ii

6. Abi ( H. Muhasyar) dan Umi ( Hj. Mimi) yang selalu memberikan nasihat,
doa serta motivasi yang tiada henti dan mohon maaf apabila ananda
belum bisa memberikan yang terbaik buat Abi dan Umi, semoga Allah
SWT selalu melindungi kalian, Ananda sangat menyayangi kalian.
7. Kakak-Kakakku yang tersayang, Syarfunnajah, Syarif Muawan, Siti
Mutiah, Siti Novilah, Nurani, M. Yala, Nurul Hikmah, dan Siti
Fakhriyah. yang telah memberikan motivasi tiada henti agar ananda bisa
lulus kuliah dan bisa meraih cita-cita terimakasih atas dukungannya selam
ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan kalian.
8. Untuk sahabatku yang tercantik Emma Masrurah terimakasih atas
dukunganmu selama ini semoga persahabatan ini membawa kebaikan
untuk kita amin.
9. Dan untuk sehabatku di KPI C Pay, Edwin, Ray, Eriz, Ratih, Sukriah,
Ade, Lilis, Nia, Intan, dan Eti terimakasih atas dukungan kalian yang tiada
henti, semoga silaturahmi kita tetap terjalin.

Jakarta, 30 Agustus 2010

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................. 7
D. Metodologi Penelitian ............................................ 8
E. Tinjauan Kepustakaan ........................................... 10
F. Sistematika Penulisan ............................................ 11

BAB II

RUANG LINGKUP TENTANG DAI


A. Pengertian dai ...................................................... 13
B. Sifat-Sifat Asasi dai Rabbani ................................ 15
C. Perjuangan dai ...................................................... 24

BAB III

TINJAUAN ANALISIS TAFSIR AL-MISBAH


A. Riwayat Hidup Penulis ......................................... 31
B. Pembahasaan Mengenai Tafsir ........................... 34
C. Ciri-Ciri Tafsir AL-Misbah ................................... 38

iv

BAB IV

KONSEP TAFSIR AL-MISBAH TENTANG


BEKAL DAI DALAM SURAT AL-MUDATSIR AYAT 1-7
A. Teks Al-Quran Surat Al-Mudatsir ayat 1-7 ......... 39
B. Asbabul Nuzul Surat Al-Mudatsir ayat 1-7 ......... 39
C. Analisis Ayat dan Bekal Dai Dalam Surat
AL-Mudatsir ayat 1-7 .......................................... 41

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulam .......................................................... 80
B. Saran ...................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

LAMPIRAN

83

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang diwahyukan Allah SWT dengan jalan-Nya.
Untuk itu Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya dalam menyampaikan
ajaran Islam senantiasa berlandaskan pada norma-norma yang jelas. Diantara
norma-norma yang jelas itu, telah ditegaskan dalam Al-Quran pada surat
fushshilat :33 berikut:


Artinya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:
"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?"
(Q.S. Fushshilat : 33)1
Ayat di atas menunjukkan bahwa Islam adalah agama dakwah, yang
menegaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan ajaran Nya kepada
seluruh umat manusia. sehingga Al-Quran pun secara Imperatif menegaskan
bahwa Allah SWT menegaskan bahwa Allah SWT memerintahkan setiap
muslim untuk menyeru umat manusia ke jalan-Nya, dengan cara yang
bijaksana, dengan nasehat yang baik dan argumentasi yang rasional. Hal ini
telah ditegaskan dalam Al-Quran pada surat an-Nahl:125 berikut:

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, (Bandung :Jumnatul Ali, 2004),

h. 481


Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.( An-Nahl :
125 )2
Keberhasilan dakwah harus didukung oleh semua aspek, mulai dari
politik, ekonomi, hukum, agama dan budaya yang kesemuanya itu mendukung
proses berjalannya dakwah. Artinya dakwah itu harus bersifat muasyirah
ghoiru taqlidiyah (modern dan tidak kuno). Secara metode dakwah dilakukan
berdasarkan keasliannya yaitu Al-Quran dan hadits. Namun cara, sarana,
serta strategi yang digunakan harus seiring dengan perkembangan zaman,
artinya dakwah harus melihat situasi, kondisi, suasana, peristiwa, sikap,
keperluan yang kemudian dikaitkan dengan sasaran tetapi tetap dalam koridor
yang sesuai dengan ajaran agama.3
Sedangkan menurut Ahmad Mubarak, keberhasilan dakwah dimungkinkan
oleh beberapa hal:
1. Karena pesan dakwah yang disampaikan oleh seorang dai memang
relevan dengan kebutuhan masyarakat yang merupakan satu keniscayaan
yang tidak mungkin ditolak, sehingga mereka menerima pesan dakwah itu
dengan antusias.

Ibid, h. 282
Dr. Irwan Prayitno, Fiqhud Dakwah; Seri Pendidikan Islami, (Bekasi : Pustaka
Tarbiyatunna, 2002), Cet. Ke 1, h. 75
3

2. Karena faktor seorang dai yaitu dai tersebut memiliki daya tarik personal
yang menyebabkan masyarakat sudah dapat menerima pesan dakwahnya
meski kualitas dakwahnya boleh jadi sederhana saja.
3. Karena kondisi psikologi masyarakat yang sedang haus terhadap siraman
rohani dan mereka terlanjur memilki persepsi positif pada setiap dai
sehingga pesan dakwah sebenarnya kurang jelas ditafsirkan sendiri oleh
masyarakat dengan penafsiran yang jelas.
4.

Karena faktor kemasan yang menarik, masyarakat yang semula acuh tak
acuh terhadap agama juga dai, setelah melihat paket dakwah yang diberi
kemasan lain4, maka paket dakwah berhasil menjadi stimuli yang
menggelitik persepsi masyarakat dan akhirnya merekapun merespon
positif.
Mempelajari lingkungan dan tempat dakwah adalah perkara yang

sangat urgen, karena sesungguhnya dai dalam medan dakwahnya sangat


membutuhkan pengetahuan tentang keadaan dan kondisi sang madu baik
mengenai itikadnya (keyakinan), kejiwaannya, sosial kemasyarakatan,
ekonomi dan mengetahui pusat-pusat kesesatan, tempat-tempat penyimpangan
mereka. Demikian juga seorang dai butuh pengetahuan tentang bahasa
mereka, adat kebiasaannya, dan paham tentang problem mereka serta titik
penyimpangan akhlak mereka, tsaqofah (kebudayaan) mereka, tingkatan debat

113

Ahmad Mubarok, Pisikologi Dakwah, (Jakarta : Pustaka Pirdaus, 1999), Cet. Ke-1 h.

mereka, syubhat yang banyak menyebar dikalangan mereka serta madzhabmadzhab mereka.5
Untuk mensyiarkan ajaran Islam diperlukan para dai dan yang mampu
menjadi teladan bagi para madunya baik dalm kehidupan pribadi maupun
sosialnya. Di mana Mereka yang memiliki kecerdasan esensial dalam
kehidupan

bermasyarakat

yaitu

kecerdasan

emosional

dan

spritual.

Kecerdasan emosional disebutkan beberapa contoh sifat yaitu: lemah lembut,


tidak sombong dan pemaaf. Sedangkan kecerdasan spiritual digambarkan
dengan sifat-sifat pokok yaitu: selalu dekat dengan Allah SWT, berdoa di
siang dan malam hari, bertaubat dan mohon ampun kepada Allah SWT.
Di antara sifat kepribadian dai yang diteladani Imam para dai
Rasulullah SAW adalah sifat lemah-lembut, tidak sombong, pemaaf bahkan
siap mendoakan mereka yang melakukan kekhilafan, mengajak mereka untuk
bermusyawarah guna mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi. Dan
ini semua merupakan rahmat bagi mereka yang ingin menteladani dari sifat
Rasulullah SAW. Karena sebaliknya mereka yang bersikap kasar terhadap
Madu nya lama kelamaan akan ditinggalkan karena tak seorang pun
menyukai sikap kasar dan kekerasan.6
Ini semuanya kembali kepada Al-Quran dan Hadits, karena pada
hakikatnya Al-Quran menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman.
Di samping itu keberadaan Al-Quran ditambah dengan keinginan mereka
untuk memahami petunjuk dan mukzizat-mukjizatnya.di mana telah
5

Muzaldi Hazbulah, LC. 9 Pilar keberhasilan DaI di medan Dakwah, (Solo : Pustaka
Arafah, 2000) h. 106
6
Idris Somat, Diktat Mengenai Ayat- ayat dakwah

melahirkan sekian banyak disiplin Ilmu keislaman dan metode - metode


penelitian. sehingga dengan lahirnya berbagai metode penafsiran Al-Quran
(yang terakhir adalah maudhui atau tauhidiy).7
Tafsir merupakan suatu hasil pemahaman seorang mufassir terhadap
Al-Quran dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang
dilakukan mufassir, dan di maksudkan untuk memperjelas suatu makna teks
ayat-ayat

Al-Quran.

Sehingga ketika

Al-Quran

ditafsirkan dengan

menggunakan metode dan pendekatan tertentu, misalnya menggunakan


pendekatan filsafat, maka akan melahirkan produk penafsiran yang bercorak
filosofis. Jika Al-Quran ditafsirkan menggunakn pendekatan sufistik dan
sebagainya. Realita seperti ini merupakan suatu kewajaran.8
Munculnya beragam sudut pandang dalam menafsirkan Al-Quran,
sesungguhnya merupakan suatu keniscayaan sejarah, sebab setiap generasi
ingin selalu mengkonsumsi dan menjadikan Al-Quran sebagai pedoman
hidup, bahkan terkadang dijadikan sebagai legitimasi bagi tindakan
perilakunya. Menurut Ignaz Goldziher, setiap aliran pemikiran yang muncul
dalam sejarah ummat Islam selalu cenderung untuk mencari legitimasi dan
justifikasi dari kitab sucinya. (Al-Quran).9
Teks Al-Quran sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable)
dan masing-masing mufassir, ketika masing-masing menafsirkan Al-Quran
dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial-kultur di mana ia tinggal, bahkan situasi
politik yang melingkupinya juga sangat mempengaruhi, serta adanya
7

Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Mizan ; 2007) Cet. 1 hal. 237


Abdul Mustakin Madzahibut al-islami, (Beirut ; daar Iqra, 1983), h. 3
9
Ignaz Goldziher, Madzhab at Tafsir al-Islami, (Beirut ; Daar iqra, 1983), h. 3
8

kecenderungan dalam diri mufassir untuk memahami Al-Quran sesuai dengan


disiplin ilmu yang ia tekuni, sehingga meskipun kajiannya satu yaitu teks AlQuran , tetrapi hasil penafsiran Al-Quran tidaklah satu melainkan beraneka
ragam (plural).
Dalam sejarah perkembangan tafsir, dikenal beberapa metode tafsir,
antara lain tafsir tahlili, yaitu penafsiran secara kronologis, tafsir mendahului,
yaitu tafsir yang bersifat tematis dan sebagainya. Corak tafsir pun dikenal
beberapa macam, seperti corak bahasa, sastra, filsafat, sastra budaya
kemasyarakatan (adabi ijtimai ) dan lain-lain. Beragamnya metode dan corak
penafsiran Al-Quran menunjukkan adanya dinamika didalam diri Al-Quran.
Perspektif sastra budaya kemasyarakatan atau adabi ijtimai dimulai oleh
muhammad abduh yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjukpetunjuk ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan
masyarakat. Serta usaha-usaha mencari solusi atau menanggulangi masalahmasalah yang muncul kepada mereka, berdasarkan petunjuk tersebut dalam
bahasa yang mudah dipahami.
Dakwah ternyata tidak hanya bicara tentang upaya mengajak, tetapi
banyak kunci-kunci dakwah yang tersirat di dalamnya Muhammad Quraish
Shihab mengartikan dakwah tidak hanya suatu kewajiban ummat Islam, tetapi
sesungguhnya merupakan dimensi kehidupan manusia yang terkait dalam
corak sastra budaya, sosial, ekonomi, dan lain-lain semua terangkum di dalam
Al-Quran.

Kitab tafsir Al-Misbah yang ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab


di mana masuk dalam kategori Tafsir adabi ijtimai. Tafsir inilah yang
menjadi fokus dalam pembahasan karena penulis sangat tertarik untuk
mengkaji secara komprehensip terhadap masalah tersebut dalam sebuah
skripsi yang berjudul:
Bekal Dai Dalam Tafsir AL-Misbah Karya Muhammad Quraish Shihab
( analisis Al-Quran surat al-Mudatsir ayat 1-7 )

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Pembatasan Masalah
Pembahasan masalah bekal dai sangatlah luas dan kompleks tetapi
karena keterbatasan penulis, maka penelitian ini dibatasi pada harapan
bahwa seorang Dai mempunyai bekal yang terdapat dalam surat alMudatsir ayat 1-7
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang akan
diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimana kualitas dan kapabilitas yang harus dimiliki dai dalam tafsir
Al-Misbah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam pembahasan skripsi ini


adalah Untuk mengetahui bagimanakah bekal dai menurut tafsir alMisbah yang tertuang dalam surat al-Mudatsir ayat1-7 khususnya yang
berkenaan dengan dai di mana dalam konteks ini dai menjadi objek
dalam berdakwah
2. Manfaat Penelitian
a. Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu tafsir dan
perkembangan masyarakat dalam memahami sumber-sumber ajaran
Islam
b. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang tafsir, dan sumbangan pikiran, sehingga dapat dijadikan
referensi bagi peneliti selanjutnya
c. Sumbangan terhadap dinamika ilmu pengetahuan yang selalu
berkembang
D. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam pencarian sumber melalui Studi Tafsir
yang diperoleh dari:
1. Studi Tafsir, merupakan suatu hasil pemahaman seorang mufassir
terhadap Al-Quran dengan menggunakan metode atau pendekatan
tertentu yang dilakukan mufassir, dan di maksudkan untuk memperjelas
suatu makna teks ayat-ayat Al-Quran. Sehingga ketika Al-Quran
ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan filsafat, maka akan
melahirkan produk penafsiran yang bercorak filosofis dan lain

sebagainnya. Hakekatnya adalah menjelaskan maksud ayat-ayat AlQuran yang sebagian bisa masih dalam bentuk global, adapun sarana
pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Quran itu meliputu berbagai Ilmu
yang berhubungan dengan hal itu dan juga dilengkapi dengan buku-buku
yang terkait dengan ayat yang akan ditafsirkannya.
2. Skiripsi

ini termasuk kajian tafsir metode Tahlily (Analisis), dengan

pendekatan yaitu penafsiran yang menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran


dari berbagai seginya, berdasarkan aturan-aturan ayat atau surat dari
mushaf dengan menonjolkan kandungan lafaznya, hubungan ayatayatnya, hubungan surat-suratnya, sebab-sebab turunnya, haditsnya yang
berhubungan dengannya serta pendapat-pendapat para mufasirin itu
sendiri.
3. Adapun kitab-kitab tafsirnya sebagai berikut:
Tafsir Al-Misbah, karya Muhammad Quraish Shihab juz 29
Tafsir Al-Azhar, karya Prof Dr. Hamka juz 29
Tafsir Quran Karim, karya Prof. Dr. H. Muhammad Yunus.
Tafsir Fizhillah.
Pengantar Ilmu Tafsir, karya Drs. Rifat Syauqi Nawawi, Drs. M. Ali
Hasan.
Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, karya Dr. A. Ilyas Ismail, MA.

10

E. Tinjauan kepustakaan
Tinjauan kepustakaan (literatur) yang berkaitan dengan topik pembahasaan,
atau bahkan yang nemberikan inspirasi dan mendasari dilakukannya penulisan
skripsi ini salah satunya:
Skripsi atas nama syukriah, judul skripsi Analisis Isi pesan Dakwah M.
Quraish Shihab dalam buku menabur pesan ilahi. Fakultas Ilmu dakwah dan
Ilmu Komunikasi, jurusan Komunikasi Penyiaraan Islam, NIM:104051001847
tahun pembuatan 2008. Skripsi ini juga melakukan analisis buku dari Quraish
shihab dengna salah satu bukunya yang berjudul menabur pesan illahi.
Sebagai seorang penulis beliau sangatlah relevan baik dari segi keagamaan,
pembaharuan dan keIndonesiaan. dimana dalam buku beliau ditekankan pada
tiga poin pesan dakwah yang di ambil yaitu: dalam bidang ibadah, akidah dan
muamalah.
Ketiga poin pesan dakwah tersebut sangatlah penting dalam menjalankan
dakwah. Dimana berkaitan baik berhubungan dengan Allah SWT maupun
dengan manusia. Ini merupakan suatu gambaran bagi dai yang menjalankan
dakwah. Ketiga poin tersebut merupakan suatu pengetahuan yang lazimnya
mesti dipahami, dijalankan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga dakwah yang disampaikan bermanfaat untuk dirinya dan lingkungan.
Skripsi ini walaupun segi objek penelitiannya berbeda dimana ini
merupakan penelitian kualitatif tetapi penulis hanya mengambil dari segi
teorinya saja tentang analisi isi.

11

F. Sistematika Penulisan
BAB I.

Pendahuluan
Pada bab pertama ini penulis menyampaikan latar belakang
masalah penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan tinjauan
kepustakaan

BAB II. Kerangka Pemikiran Teoritis


Pada bab kedua ini penulis membahas teoritis tentang ruang
lingkup tentang dai, sifat-sifat asasi dai Rabbani serta perjuangan
dai.
BAB III.

Gambaran umum tentang tafsir AL-Misbah


Dalam bab ini penulis membahas tinjauan anlisis tafsir Al-Misbah,
melingkupi riwayat hidup penulis, metode, dan perspektif
penafsiran Tafsir Al-Misbah serta ciri-ciri khusus Tafsir AlMisbah.

BAB IV.

Analisis
Pada bab ini merupakan inti dari seluruh pembahasan, beberapa
uraian perspektif tafsir AL-Misbah tentang bekal dai dalam surat
al-Mudatsir ayat 1-7 terdiri dari : teks ayat dan terjemahanya,
asbabul nuzul serta analisis ayat yang mengutip tantang bekal dai
dalam tafsir AL-Misbah.

12

BAB V.

Kesimpulan dan Saran.


Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan tentang Dai dan
bekal Dai dari pada uraian menurut Muhammad Quraish Shihab.

BAB II
RUANG LINGKUP TENTANG DAI

A. Pengertian Dai
Di dalam Al-Quran kataUlama secara eksplisit dinyatakan di dalam
dua ayat, pertama dalam surat As-Syuara ayat 197, dan kedua di dalam surat
surat Fathir ayat 28. Ayat pertama meskipun berkaitan dengan Bani Israel,
menunjukkan bahwa seseorang itu dikatakan ulama apabila memiliki keluasan
dan kedalaman ilmu-ilmu agama, tempat orang bertanya dan meminta fatwa.
Ayat kedua menunjukkan bahwa seseorang dikatakan ulama, apabila memiliki
khasysyah takut dan cinta yang tinggi kepada Allah SWT, senantiasa
memelihara hubungan dengan-Nya. Fatwa dan Ilmu yang disampaikan kepada
masyarakat, mencerminkan takwanya kepada Allah SWT. Bahwasanya katakata ulama, kiayi, dai dan lain sebagainya itu semua hanya sebutan saja
bukan sebagai nama, dimana dai adalah orang yang melakukan atau
melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan dan perbuatan secara individu,
kelompok, organisasi atau lembaga. dai sering disebut juga mubaligh (orang
yang menyampaikan ajaran Islam). Pada dasarnya semua pribadi muslim itu
berperan secara otomatis, sebagai mubaligh atau dai

dalam bahasa

komunikasi disebut sebagai komunikator. Untuk itu dalam komunikasi


dakwah yang berperan sebagai dai atau mubaligh adalah:
a) Secara umum adalah setiap muslim atau muslimat yang mukallaf (dewasa)
di mana bagi mereka adalah kewajiban.

13

14

b) Secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian (mutakhasis)


dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama, kiayi
ataupun dai.
Profil dai yang dimaksud di sini adalah tentang karakteristik dai
yang harus memiliki seperti sikap, kepribadian, pengetahuan, dan lainnya
untuk melakukan dakwah.1karena dai merupakan salah satu unsur penting
dalam proses dakwah. Sebagai pelaku dan penggerak kegiatan dakwah, dai
menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan atau kegagalan dakwah. 2 Dai
pada dasarnya adalah penyeru kejalan Allah, pengibar panji-panji Islam, dan
pejuang (mujahid) yang mengupayakan terwujudnya sistem Islam dalam
realitas kehidupan umat manusia. Sebagai penyeru kejalan Allah, dai tidak
bisa tidak, harus memilki pemahaman yang luas mengenai Islam sehingga ia
dapat menjelaskan ajaran Islam kepada masyarakat dengan baik dan benar. Ia
juga harus memiliki semangat dan gairah keislaman yang tinggi yang
menyebabkan ia setiap saat dapat menyeru manusia kepada kebaikan dan
mencegah mereka dari kejahatan, meskipun untuk itu ia harus menghadapi
tantangan yang berat
Bahkan dai adalah identik dengan dakwah itu sendiri.3 Dikatakan
demikian, karena seorang dai harus menjadi teladan dan panutan yang baik di
tengah-tengah masyarakat. Menurut Abd al-Badi Saqar, tidak dapat
membedakan antara dai dan dakwah. Diantara keduanya, tidak boleh ada
kontradiksi. Bagi Saqar, dai adalah arsitek (muhandis), pembina dan
1

M. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, ( Jakarta : kencana 2002 ), cet. Ke-1, hal.79
Abd al-Badi Saqar, op.cit., h. 6-7
3
Abd al-Badi saqar, op. cit., h. 10-13
2

15

pengembang masyarakat (banna). dai bukan hanya aktor atau pemain


sandiwara yang hanya mencari tepuk tangan penonton, dan bukan juga
seniman yang hanya mencari penghargaan. Sebagai arsitek dan pengembang
sosial, dai harus melakukan rekayasa sosial dan melakukan perubahan,
khususnya perubahan mental manusia (taghyir al-nafs al-insaniyah) dengan
metode yang tepat. Dengan perubahan ini, diharapkan masyarakat, bahkan
umat manusia mencapai kesempurnaan dan kemajuan. Jika demikian sungguh
keliru menurut Saqar, orang yang berpendapat bahwa dia telah menyampaikan
pidato, ia merasa telah berdakwah. dai harus melakukan perubahan dan
gerakan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu dai harus memiliki sifat-sifat
yang terpuji atau akhlak yang mulia. Keluhuran budi pekerti ini menjadi salah
satu pendorong yang memungkinkan masyarakat (madu) dapat mengikuti
jalan kebenaran yang diserukan sang dai. Sifat-sifat yang mulia itu adalah
sifat yang harus dimiliki semua kaum muslim. Namun bagi seorang dai sifatsifat itu haruslah memiliki nilai lebih. Dengan perkataan lain sifat-sifat yang
mulia itu bagi seorang dai harus tampak lebih mantap, lebih sempurna, dan
lebih menonjol, sehingga ia dapat menjadi dakwah yang hidup dan menjadi
teladan yang bergerak.
B. Sifat Asasi dai Rabbani
Menurut

Abdurrahman

An-Nahlawi,

dalam

buku

konsep

Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, berkaitan dengan tanggung jawab


seorang juru dakwah (dai) dalam melaksanakan tugasnya. Beliau menyatakan
bahwa sifat dan persyaratan juru dakwah (dai) adalah sifat Robbany pada

16

tujuan, prilaku dan pola pikir, kemudian ikhlas, sabar dan jujur. Juga
membekali dengan ilmu serta menguasai dengan teknis berdakwah dan
mengenal madu, di samping itu juga harus menguasai materi dakwah.4
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dakwah yang bermutu
ditandai oleh sifat tanggung jawab yang tercermin pada prilaku yang robbany,
ikhlas sabar, dan jujur, dapat mengambil keputusan yang berwibawa serta
mandiri dan propesional, memiliki keahlian tekhnis mengelolah dakwah,
mampu mengajak madu serta menguasai konsep. Dan juga disebutkan bahwa
dakwah yang bermutu adalah dai yang membuat keputusan secara
profesional, bertanggung jawab dan memberi arahan pada masyarakat
(madu). Sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Quran pada surat al-Imran
146-148 sebagai berikut:




Artinya:

Berapa banyak Nabi yang berperang bersama Robbaniyyin yang


banyak, mereka tidak merasa lemah (di depan musuh) karena
musibah di jalan Allah, mereka tidak lemah dan tidak merasa
kalah (pesimis). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.
Bukanlah perkataan mereka kecuali (lantunan doa) Ya Robbana

Abdurrahman an-Nahlawi, Konsep Manajemen Mutu Dosen, ( Jakarta: logos wacana


Ilmu) cet. Ke-1, h.26.

17

ampunilah dosa-dosa kami, kelebih-lebih sikap kami, teguhkanlah


pendirian kami dan bantulah kami atas orang-orang kafir. Maka
Allah memberikan balasan (pahala) di dunia dan kebaikan balasan
akhirat, dan Allah menyukai orang-orang yang ihsan (QS. Ali
Imran: 146-148)
Sifat asasi bagi setiap dai tergambar dalam ayat-ayat ini

yang

menjelaskan tentang mereka yang mengikuti jejak langkah perjuangan dakwah


para Nabi , khususnya Nabi Muhammad SAW.
Ribbiyyun: artinya orang-orang yang Robbaniyyun yaitu memiliki
komitmen kuat kepada Allah Robb alam semesta; ada ulama yang
menafsirkan Ribbiyun dengan kelompok ulama para pewaris Nabi yang
berjuang membela dakwah Islam.
Katsir: banyak, maksudnya adalah para pengikut Nabi itu hendak
diperhatikan kuantitasnya, kalau kata Ribbiyyun menerangkan aspek kualitas
para pengikut Nabi yaitu Robbaniyyun, maka kata katsir menjelaskan aspek
kuantitas para pengikut Nabi.
Sifat-sifat asasi para dai di jalan Allah SWT, sebagaimana tersurat
dalam ayat-ayat ini adalah:
1. , tidak lemah mental saat ditimpah
musibah dijalan Allah, dalam perjuangan mereka hanya menginginkan
salah satu dari dua pilihan yang keduanya baik dalam pandangan mati
syahid atau kemenangan karena kemenangan bagi mereka adalah karunia
Allah dan sekaligus perintahnya untuk terus melanjutkan perjuangan yang
masih panjang menuju Ridho-Nya. mati syahid adalah pintu perjumpaan
yang sangat mulia untuk bertemu dengan kekasih Allah SWT.

18

2.
(tidak lemah) Dakwah tidak menempuh jarak sepuluh atau dua
puluh kilo meter, jalan dakwah tidak dihiasi bunga dan kenikmatan, tetapi
jalan dakwah sarat dengan duri merintang

dan hewan-hewan yang

senantiasa mengganggu mereka yang melewatinya. Karenanya dakwah


dalam mencapai tujuannya memerlukan orang-orang yang tangguh dan
kuat

dari segi fisik, dengan fisik yang sehat dan kuat para dai itu

diharapkan dapat melewati rintangan dan cobaan dalam dakwah dengan


penuh keikhlasan dan ketabahan.
3. (tidak tunduk kepada musuh). Diantara cobaan dalam
dakwah adalah rayuan dan iming-iming yang dilakukan musuh-musuh
dakwah untuk memperdayakan para dai, agar merek dengan leluasa
melakukan kehendak dan keinginan mereka dalam menyebarkan kebatilan
di muka bumi. Secara kontekstual ayat ini memberikan pengertian bahwa
hendaknya dai tidak boleh menjadi orang yang lemah operasional, dalam
beraktifitas setiap dai dituntut untuk dinamis, proaktif dan kreatif
inovatif, sehingga tidak mudah dirayu dan diperdayakan oleh orang-orang
yang tidak suka kepada dakwah Islam.
4. (perkataan mereka tidak lain
adalah permohonan ampunan Allah). Mengapa dai masih juga memohon
ampun kepada Allah SWT? bukankah ia sudah banyak berbuat untuk
banyak memperoleh pahala dari Allah? oh tiada demikian halnya dai
yang rabbani, ia tetap berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, ia

19

merasa amalnya kecil dan lemah dihadapan Allah yang maha kuasa dan
perkasa. Karenanya ia selalu tetap memohon ampunan kepadaNya, seperti
sang teladan para dai Rasulullah SAW tidak kurang dari 70 kali dalam
sehari beliau membaca istighfar, di samping senantiasa meningkatkan
amal-amal ibadahnya. Ketika beliau ditabya mengapa engkau masih
melakukan hal itu, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa sebelum
dan sesudahnya? Nabi SAW menjawab: kenapa aku tidak menjadi
hamba yang pandai bersyukur? Maksudnya : ampunan Allah SWT adalah
karunia dan anugrah dariNya, maka setiap anugrah itu harus disyukuri
dengan terus meningkatkan amal penghambaan kepadaNya.
Merealisasi hal-hal di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan,
sangat membutuhkan kerja keras dan keseriusan aktivitas juga memerlukan
kebersihan hati, niat dan motivasi. Beratnya realisasi itu bukan berarti tidak
ada upaya merealisasinya.5
Menurut pandangan Paradigma Dakwah Sayyid Quthub bahwasanya
kedudukan Akhlak dihadapan

Allah sangat jelas tingginya dan Akhlak

merupakan salah satu prinsip yang amat penting dalam agama Islam, terlebih
lagi seorang dai, lebih lanjut lagi Sayyid Quthub menegaskan sebagai berikut:
Barang siapa memperhatikan agama Islam dan sejarah kehidupan Nabi
Muhammad SAW, ia akan mengetahui bahwa akhlak merupakan salah satu
ajaran dasar Islam yang terang benderang yang di atasnya dibangun prinsipprinsip penetapan hukum dan pendidikan moral Islam. Dakwah dalam agama

M. Idris Shomad, Mengenal ayat-ayat Dakwah, Diktat mata kuliah Tafsir, Jakarta: 2005

20

ini, adalah seruan keras (besar) kepada kesucian moralitas, kebersihan,


amanah, kejujuran, keadilan, kasih sayang, kebajikan, tepat janji, integritas
(kesesuaian perkataan dengan tingkah laku perbuatan dan kesesuaian
keduanya dengan tingkah laku dan hati nurani), dan mencegah manusia dari
tindakan sewenang-wenang, zhalim, menipu, curang, makan harta manusia
dengan bathil, menodai kehormatan manusia, dan mencegah berkembangnya
perbuatan asusila dalam bentuk apapun.penetapan hukum dan undang-undang
Islam ini menurut Sayyid Quthub dimaksudkan untuk menjaga dan
melindungi prinsip-prinsip moralitas. ini juga dimaksudkan agar nilai-nilai
akhlak itu tetap terjaga dan terpelihara baik dalam rasa, jiwa, dan perilaku,
maupun dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat, baik dalam masalah
pribadi, sosial- kemasyarakatan. Maupun dalam masalah bangsa dan Negara.6
Adapun Akhlak dai dalam pandangan Sayyid Quthub sebagai berikut:
1. Kasih sayang
Menurut Sayyid Quthub, diantara sifat- sifat mulia yang amat penting dan
mutlak harus dimiliki seorang dai adalah sifat kasih sayang (rahmah),
seperti kasih sayang yang dimiliki dan diperlihatkan oleh pelaku dakwah
yang pertama, yaitu Rasulullah SAWdimana kasih sayang Nabi yang luas
dan lapang. Dikatakan bahwa Rasulullah SAW, tidak pernah marah karena
dirinya sendiri, tidak pula sempit dada karena kesalahan atau kelemahan
orang lain. Beliau tidak pernah berebut sesuatu yang bernilai duniawi
untuk kepentingan dirinya. Bahkan beliau memberikan semua yang

Sayyid Quthub, Fi Zhilal, op.cit., jilid V, h. 3657.

21

dimilikinya untuk orang lain dengan lapang dada dan penuh kesenangan.
Manusia dapat menikmati kesantunan beliau, kasih sayang, dan keluhuran
budi pekerti beliau. Setiap orang yang pernah berteman atau bergaul
dengan Nabi, ia pasti terkesan dan jatuh hati kepada beliau, ini tidak
terlepas dari keluhuran budi pekerti beliau dan kasih-sayangnya.7
Pentingnya kasih sayang ini, menurut pemikiran Sayyid Quthub,
dapat dilihat dari sudut kepentingan dai dan madu itu sendiri. Dari sudut
kepentingan dai dapat ditegaskan bahwa kasih sayang bukan hanya
diperlukan, tetapi merupakan kebutuhan bagi seorang dai. hal ini karena
dai pada dasarnya seorang pemimpin, pembimbing rohani, pengajar dan
pendidik (muallim wa murabbi). Dalam kedudukan dan kapasitasnya
sebagai semua itu, dai merupakan orang pertama yang harus memiiki sifat
kasih sayang dan mewujudkan kasih sayang itu dalam proses dakwah yang
harus dilakukan.
Dari sudut kepentingan madu, kasih sayang diperlakukan karena
watak dan jiwa manusia mengalami perkembangan. pada kenyataannya
jiwa manusia tidaklah sempurna. Namun, dalam waktu yang bersamaan,
jiwa itu menerima pertumbuhan dan perkembangan sehingga mencapi
tingkat kesempurnaan tertentu. Dalam suatu komunitas pastilah di situ
terdapat orang-orang yang memiliki kelemahan dan kekurangan. AlQuran sendiri sama sekali tidak menyangkal kenyataan ini.8
2. Integritas (Keutuhan Pribadi)
7
8

Sayyid Quthub,Ibid, Fi Zhilal, jilid 1, h. 500-501


Lihat Ibid, Fi Zhilal, jilid 1, h. 529.

22

Di samping kasih sayang, seorang dai harus pula memiliki integritas


atau keutuhan pribadi. Integritas mengandung beberapa makna, antara lain,
keterpaduan, kebulatan, keutuhan, jujur dan dapat dipercaya. Dalam
pengertian ini, orang yang memiliki integritas adalah orang yang pada
dirinya berpadu dan bersatu antara kata dan perbuatan. Dengan kata lain,
ia bersifat benar dan jujur, serta jauh dari sifat dusta.9
Menurut Sayyid Quthub, integritas menunjuk pada sikap konsistensi
dan persesuaian antara kata dan perbuatan dan antara keduanya dengan
hati nurani. Dalam Integritas itu mengandung makna kejujuran (al-shidq)
dan konsistensi ( al- Istiqomah) dalam memperjuangkan kebenaran. Kedua
sifat ini, menurut Sayyid Quthub, adalah orang yang dimensi batinnya
sama dengan dimensi lahirnya dan laku perbuatannya sama dengan
perkataanya.10
Oleh larena itu tanpa kejujuran dan integritas, kata-kata para dai dan
pemuka agama itu, meski amat indah dan dengan retorika tinggi, tidak
akan ada pengaruhnya apa-apa. Bahkan, tidak seorangpun dapat
mendengar dan mempercayai ucapan mereka, kecuali mereka mampuh
membuktikan diri menjadi terjemah hidup dari apa yang mereka katakan
dan mewujudkan dalam kehidupan nyata. ketika itu, masyarakat (madu)
dapat mendengar dan mempercayai perkataan mereka dan memegang
teguh janji dan seruan mereka.11

Depdikbud, Kamus Besar, op.cit., h. 335


Sayyid Quthub, Fi Zhilal, op.cit., jilid VI, h. 3553
11
Ibid
10

23

Seperti halnya Al-Quran Hadits (al-sunnah), menurut Sayyid


Quthub, juga memberikan perhatian besar terhadap pembentukan pribadi
muslim yang memiliki integritas tinggi. Perhatian itu menurutnya, dapat
dilihat dari keterangan Nabi tentang ciri-ciri orang munafik, yaitu dusta,
tidak tepat janji, dan khianat (tidak amanah). Sayyid Quthub juga
mengutip hadits riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari Abd Allah Ibn
Amir ibn Rabiah yang dianggapnya amat mengesankan dalam masalah
ini.12
3. Kerja Keras
Sifat lain yang harus dimiliki seorang dai ialah sikap sungguhsungguh dan kerja keras (al-jidd waamal). Sifat ini mengharuskan para
dai untuk menggunakan waktunya secara efisien bagi kepentingan
dakwah. Ia harus menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia dan tidak
berguna. Ini berarti kerja keras harus menjadi watak pribadi muslim,
terlebih lagi para dai.13
Menurut Sayyid Quthub, keharusan kerja keras ini, merupakan
tuntutan dari sistem Islam itu sendiri. yaitu sistem hidup yang realistik
yang tidak mungkin diwujudkan hanya angan-angan dan ilusi semata.
Islam adalah aqidah dan perbuatan atau kerja (amal) yang membuktikan
aqidah itu. Komitmen seorang terhadap aqidah Islam harus ditunjukkan

12
13

Ibid., Fi Zhilal, jilid VI, H. 3553.


Ahmad Faiz, op.cit., h.

24

melalui perbuatan yang dapat dilihat oleh Allah, Rasulullah SAW dan
kaum muslimin.14
Bagi seorang dai tuntutan kerja keras ini makin tinggi. Hal ini
karena seorang dai pada dasarnya tidak tidak bekerja dan tidak hidup
untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain, (umat). Oleh
karena itu, ia harus mampuh mengatur waktunya secara efisien bagi
kepentingan dakwah dan harus menghindarkan diri dari perbuatan yang
tidak bermakna dan sia-sia.

C. Perjuangan Dai
Dakwah sebagai usaha membangun sistem Islam pada dasarnya
merupakan suatu proses perjuangan yang amat panjang. Dalam proses ini dai
tidak saja memerlukan berbagai bekal seperti telah dijelaskan, tetapi juga
membutuhkan komitmen perjuangan yang amat tinggi. Hal ini karena dakwah
pada dasarnya identik dengan perjuangan itu sendiri. Dalam kaitan ini, cukup
beralasan bila Sayyid Quthub memposisikan dai sebagai pejuang (mujahid).
Sebagai mujahid, dai tentu harus bekerja keras dan berjuang tanpa kenal lelah
sepanjang hayatnya.
Dalam pemikiran Sayyid Quthub, perjuangan dai dapat dilihat, antara
lain, dari tiga bentuk, pertama, dari kesaksian (komitmen) yang ia tunjukkan
kepada Islam. Kedua, dari pengorbanan dan kesanggupan menghadapi
berbagai ujian dan cobaan. Ketiga, perjuangan itu pada akhirnya harus
14

Sayyid Quthub, Fi Zhillal, op.cit., jilid III, H. 1709.

25

mencapai kemenangan, tentu dengan izin pertolongan Allah SWT. Berikut


disajikan tiga bentuk perjuangan itu secara berurutan.
1. Kesaksian Dai
Kesaksian (syahadah) sebagai ungkapan keimanan kepada Allah dan
Rasul, ini merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Semua
bangunan Islam yang meliputi ibadah, syariah dan muamalah. Dalam
pengertian ini syahadat bukan kesaksian yang bersifat verbalistik semata,
melainkan sebuah komitmen dari setiap orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul untuk secara sungguh-sungguh dan konsisten mengembangkan
sistem hidup Islam.15
Kesaksian sebagai bagian tak terpisahkan dari proses dakwah itu
sendiri, memiliki tahapan-tahapanya sendiri. Kesaksian itu harus dimulai
dari diri sendiri, keluarga dan sanak famili atau kerabat. Semua ini harus
menunjukkan sistem Islam dan menjadi terjemah yang baik dari Islam.
Selanjutnya, dengan mengajak orang lain atau umat agar mewujudkan
Islam dari berbagi segi kehidupan baik menyangkut masalah pribadi,
kemasyarakatan, ekonomi maupun politik. Lalu tahapan terakhir,
kesaksian

itu

ditunjukkan

dengan

perjuangan

atau

jihad

untuk

menghilangkan berbagai hambatan yang memfitnah dan menyesatkan


manusia. Jika seseorang gugur di jalan ini, ia baru dinamai pahlawan (
syahid), artinya ia telah memenuhi kesaksian kepada agama Nya dan
menghadap Tuhan Nya.

15

Fi Zhilal, Jilid IV, h. 2446

26

2. Ujian dan Cobaan Dai


Sebagai pejuang yang berusaha mengkokohkan sistem Islam, tentu
dai akan menghadapi berbagai cobaan dan ujian. Ujian dan cobaan itu
beraneka ragam dari yang ringan dan yang paling berat. Ujian dan
cobaaan ini dapat dipandang sebagai konsekwensi logis dari iman.
Dikatakan demikian, karena iman sesungguhnya bukan hanya kata-kata,
tetapi kesanggupan seorang melaksanakan tugas-tugas agama yang timbul
dari iman, serta sabar menghadapi berbagai kesulitan dijalan iman itu.16
Ujian dan cobaan itu sendiri beraneka ragam baik jenis maupun
bentuknya. Menurut Sayyid Quthub, perangkat-perangkat ujian itu terus
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun secara umum
ada enam bentuk ujian yang biasa dihadapi para dai dan pejuang Islam.
Pertama, ancaman dan siksaan fisik, dalam menghadapi ancaman
ini biasanya dai berjuang sendiri, tidak ada orang lain yang
membantunya. Ia sendiri tidak dapat mencegahnya dan tidak ada kekuatan
yang dapat digunakan untuk melawan kesewenangan ini, dan ini
merupakan ujian yang umum yang dialami oleh para dai.17
Kedua, ujian dari keluarga dan orang-orang terdekat, pihak
keluarga bisa mendapat musibah atau kesulitan karena sang dai. Menurut
kelazimannya, pihak keluarga akan meminta sang dai melakukan berbagi

16
17

Fi Zhilal, jilid V, h. 2720


Fi Zhilal, jilid V, h. 2720.

27

kompromi dengan pihak yang memusuhi atau kalau perlu berhenti


berdakwah demi keselamatan dan keamanan keluarga.18
Ketiga, ujian kekayaan dan kemewahan duniawi, para pendukung
kejahatan, musuh-musuh dai justru merupakan orang-orang yang
memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah. Masyarakat memandang
mereka sebagai orang-orang yang berhasil dan sukses. Mereka mendapat
ujian, dihormati dari masyarakat, sebaliknya sang dai tidak memiliki apaapa dan sama sekali kurang diperhitungkan ia berjuang sendiri, tidak ada
orang lain yang membelanya. Juga tidak ada yang memberi apresiasi
terhadap nilai kebenaran yang ia bawa, kecuali segelintir orang dari
mereka seperjuangan, yaitu orang-orang yang tidak memiliki apa-apa
dalam urusan dunia.19
Keempat, ujian keterasingan, seorang dai pasti merasa terasing
ketika ia melihat lingkungan dan orang-orang disekitarnya tenggelam
dalam gelombang kesesatan yang amat dalam. Dia menjadi gelisah dan
bingung sendiri, menjadi orang asing di tengah-tengah lingkungannya
sendiri.20
Kelima, ujian modernisasi, ujian ini tampak jelas pada masa
sekarang ini. Di satu pihak, orang mukmin melihat umat dan bangsabangsa lain tenggelam dalam kehinaan. Namun di pihak lain, kehidupan
sosial mereka tampak maju dan berbudaya. Dalam kehidupan mereka ada
penghargaan dan perlindungan yang tinggi terhadap hak-hak asasi
18

Ibid., h. 2723.
Ibid., Fi Zhilal, jilid VI, h. 3288.
20
Ibid
19

28

manusia. Mereka juga kaya dan kuat. Namun mereka melawan dan
memerangi agama dan Tuhan.21
Keenam, ujian dan godaan nafsu, ini merupakan ujian yang paling
besar dan paling berat, melebihi ujian-ujian yang lain. Godaan nafsu dapat
berwujud konsumerisme, kecintaan yang berlebihan pada tahta dan harta,
serta pola hidup yang berorientasi pada kesenangan dan kenikmatan.
Godaan nafsu dapat pula berubah kesulitan membangun sikap hidup
istiqamah di jalan iman ditambah lagi dengan hambatan baik dari diri
sendiri, orang lain, lingkungan, masyarakat, maupun dalam pemikiran dan
gagasan. Ujian ini sungguh berat, tidak banyak orang yang dapat bertahan
dengan ujian ini, kecuali sedikit orang yang mendapat perlindungan dari
Allah SWT.22
Inilah berbagi macam dan bentuk ujian yang biasa dihadapi oleh
para dai mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat, serta
ringannya ujian sangat bergantung kepada dai tersebut bisa dilihat dari
kualitas iman seseorang, karena makin tinggi kualitas iman seseorang,
makin berat pula ujiannya.
Pengemban amanah ini tidak bisa tidak, memerlukan latihan dan
pembekalan, baik berupa kesulitan hidup, kemampuan mengendalikan
hawa nafs, maupun kesabaran atas duka dan derita. Mereka harus tetap
yakin terhadap pahala dan pertolongan Allah, meskipun ujian dan cobaan
itu tidak kunjung berakhir, malahan kadang-kadang dalam waktu yang
21
22

Ibid
Ibid. h. 2721

29

cukup lama. Pada waktunya, sesuai dengan kebijaksanaan Tuhan, para dai
yang berjuang dijalan Allah akan memetik kemenangan dengan izin dan
pertolongan-Nya.
3. Kemenangan dai
Dalam Al-Quran terdapat sekian banyak ayat yang menjanjikan
kemenangan bagi orang-orang yang menolong Allah SWT. Keterangan
mengenai hal ini dapat dibaca, antara lain, dalam surah Muhammad:7,
Ghafir:51 dan surah al-Hajj: 40-41. dalam ayat-ayat tersebut kemenangan
yang dijanjikan Tuhan dikaitkan dengan perjuangan menolong Allah SWT
sehingga timbul pertanyaan bagaiman cara manusia menolong Allah
SWT? Menurut Sayyid Quthub, menolong Allah SWT bermakna
menolong agama-Nya.
Menolong agama Allah berarti menerima kebenaran agama itu dan
mewujudkan dalam kehidupan yang nyata. Untuk keperluan ini, ada dua
jalan yang harus dilakukan. Pertama, menolong Allah dengan menolong
dirinya sendiri. Kedua, menolong Allah dengan menolong orang lain
(umat) dengan mewujudkan sistem atau syariatnya.23
Proses yang pertama (menolong diri sendiri) harus dilakukan dengan
memperkuat iman, yaitu iman yang benar-benar bersih dari unsur-unsur
kemusrikan baik kemusrikan yang nyata (jali) maupun yang samar
(khafi)24.

23
24

Ibid., Fi Zhilal jilid VI, h. 3288.


Ibid

30

Sedangkan proses yang kedua (menolong orang lain) harus


dilakukan dengan membangun dan mewujudkan sistem Islam dalam
realitas kehidupan baik dalam tataran individu, keluarga, masyarakat dan
umat. Kemashlahatan dan kebaikan yang akan timbul dari tegaknya sistem
dan syariat Islam, tentu tidak lagi bersifat personal, melainkan berwujud
kebaikan umum yang akan dirasakan oleh setiap orang.25
Dalam surah al-Hajj yang dikutip di atas, Allah memperlihatkan
contoh dari orang-orang yang telah menolong agama-Nya, yaitu orangorang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan melakukan amr
maruf dan nahi mungkar. Ketiganya merupakan prinsip-prinsip Islam
yang amat penting. Orang-orang yang dalam hidupnya telah berjuang
untuk dapat menegakkan ketiganya, mereka diidentifikasi sebagai
penolong agama Allah SWT.26
Para dai yang berjuang untuk mewujudkan sistem Islam, tentu
merupakan pertolongan agama Allah SWT. Mereka dengan sendirinya
berhak

mendapat

kemenangan

sebagaimana

dijanjikan.

Namun

kemenangan ini bukanlah hadiah gratis yang dapat dicapai begitu saja.
Untuk menggapainya diperlukan proses perjuangan yang agak panjang dan
melelahkan jalan kemenangan itu meliputi iman, jihad, ujian dan cobaan,
sabar dan tahan uji, serta orientasi menuju tuhan semata, lalu setelah itu
datang kemenangan dan kenikmatan.27

25

Ibid.
Ibid, Fi Zhillah, jilid IV, H. 2427.
27
Ibid., Fi Zhillah, jilid I, h. 219
26

BAB III
TINJAUAN ANALISIS TAFSIR AL-MISBAH

A. Riwayat Hidup Penulis


1. Kehidupan Awal Muhammad Quraish
Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rampang, Sulawesi Selatan,
pada tanggal 16 februari 1994, ia keturunan Arab.1 Ayahnya bernama
Abdurrahman Shihab, dalah seorang rektor IAIN Allaudin Ujung
Pandang dan menjadi guru besar dalam bidang dakwah di kampus itu.
Bukan itu saja, Abdurrahman Shihab juga seorang wiraswastawan
sekaligus mubaligh yang handal. Walaupun beliau Sangat sibuk dalam
berbagai hal, tetapi ia tidak lupa mendidik anak-anaknya, seperti Umar
Shihab, Alwi Shihab dan Quraish Shihab. Beliau sering mengajak anakanaknya, untuk menghadiri pengajian dan mendengarkan petuah agama.
Hal ini seperti kemukakan Quraish Shihab, yaitu:
Sering kali ayah mengajak anak-anaknya bersama . pada saat-saat
inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Dari petuahpetuah keagamaanya. Dari petuah-petuah tersebut saya banyak mengetahui
ayat-ayat Al-Quran atau petuah Nabi, sahabat, atau pakar-pakar AlQuran yang ingat detik ini saya masih ingat .dari sanalah benih cinta
tumbuh pada studi Al-Quran.

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhui Atas Berbagai Persoalan


Umat, ( Bandung: Mizan, 2003), cet.ke-XIV, h. XI.

31

32

2. Perjalanan Intelektual Muhammad Quraish Shihab


Ia pertama kali menyelesaikan pendidikannya di sekolah rakyat di
Ujung Pandang, kemudian melanjutkannya ke sekolah menengahnya di
padang, sambil nyantri di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah
pada tahun 1956-1958. kemudian atas saran ayahnya ia melanjutkan
sekolahnya di Kairo, Mesir pada tahun 1958. Di sana ia diterima di kelas II
Tsanawiyah al-Azhar. Karena kepiawaiannya, ia masuk Universitas AlAzhar, Fakultas Ushuludin jurusan Tafsir Hadits dan meraih gelar Lc (S-1)
pada tahun 1967. tidak puas dengan gelar yang diraihnya, ia kemudian
melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dengan mengambil
spesialisasi (jurusan) Tafsir Al-Quran. Pada tahun 1969 tepatnya berumur
25 tahun, ia meraih gelar MA, dengan tesis yang berjudul al-Ijaz alTasyriiy li Al-Quran al-Karim. setelah itu kembali ke kampung
halamannya, Ujung Pandang.2
Di ujung Pandang, ia mendapat kepercayan untuk menjabat sebagai
wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan di IAIN Allaudin,
Ujung Pandang, selain itu ia juga menjabat sebagai koordinator Perguruan
Tinggi Swasta (wilayah VII Indonesia Bagian Timur) dan pembantu
kepolisian Indonesia Bagian Timur bidang pembinaan mental, serta pernah
melakukan penelitian dengan tema Penerapan kerukunan Hidup
Beragama di Indonesia Bagian Timur (1975), dan Masalah Wakaf
Sulawesi Selatan (1978).

M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, ( Bandung: Mizan, 2004), h. XI

33

Setelah mengabdikan dirinya pada tanah kelahirannya, ia melakukan


studinya S-3 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir pada tahun 1980, karena
kesungguhan serta kejeniusannya, ia mampu menyelesaikan

S-3 nya

dalam waktu 2 tahun, tepatnya pada tahun 1982 dengan disertainya yang
berjudul Nazhm al- Durar li al-Biaaiy Tahqiq wa Dirasah ia berhasil
meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Quran dengan Yudisium Summa
Cum Laude disertai dengan peringkat I (Mumtaz maa Martabat al-Syaraf
al-ula ).3 Dengan prestasinya itu ia tercatat sebagai orang yang pertama
dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.
Pada tahun 1984, ia kembali ke Indonesia kemudian ia mendapat
tugas mengajar di Fakultas Ushuluddian dan Pasca Sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selain itu ia juga mendapat amanah sebagai Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat pada tahun 1984, Anggota Lajnah
Pentasih Al-Quran Departemen Agama pada tahun 1989 dan Ketua
Lembaga Pengembangan. Beliau juga terlibat dalam beberapa organisasi
professional, antara lain Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syariah,
Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan
kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cenekiawan Muslim
Indonesia (ICMI). Di dalam kesibukannya ia aktif dalam kegiatan ilmiah
di dalam maupun di luar negeri, dan aktif dalam tulis menulis di berbagai
surat kabar seperti Pelita, majalah Ulumul Quran, dan Mimbar Ulama.

Ibid.

34

B. Pembahasan mengenai tafsir dan perkembangannya


Al-Quran sebagai sumber asasi Islam memuat banyak makna. Hal itu
misalnya sepeerti dikutip Quraish Shihab dari Abdullah Diras, ayat-ayat AlQuran bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda
dengan apa yan terpancar dari sudut lainnya. Dan tidak mustahil jika kita
mempersilahkan orang lain memandangnya dari sudut lainnya, maka dia akan
melihat banyak dibanding apa yang kita lihat. Kekayaan makna itu pula yang
mendorong nabi memerintahkan Muadz bin Jabal menggunakan ijtihad dalam
memutus sesuatu yang tidak dapat secara harfiah di dalam Al-Quran. Tidak
hanya sebatas itu, tindakan berijtihadnya saja diberi imbalan pahala, lebihlebih jika ijtihadnya benar, sejalan dengan anjuran Nabi, Ali bin Abi Thalib
menyatakan Al-Quran baina daftay al-mushaf la yantiq, innama yantiqu
(yatakallamu) bihi ar-rijal. Artinya manusialah yang bertugas mengungkap
pesan Al-Quran agar ia berfungsi memberi petunjuk. Karena itu, maknamakna itu tidak akan membuahkan hasil apa-apa jika tidak digali.
Dalam mengungkap makna pesan Tuhan di dalam Al-Quran dikenal
dua pendekatan, tafsir dan tawil. Dilihat dari segi bahasa, tafsir bermakna
menyingkap, menjelaskan dan menampakan. Dan dilihat dari segi istilah,
tafsir berarti suatu ilmu yang dapat mengungkap pesan kitab Allah yang
diturunkan kepada Muhammad sehingga dapat menjelaskan makna-makna dan
hukum-hukumnya.

Sedang

tawil

dari

segi

bahasa

bermakna

mengembalikkan, menuju titik akhir dan menjelaskan implikasinya, dan dari


segi istilah berarti mengembalikan sesuatu kepada tujuannya semula, baik

35

secara ilmiah maupun praksis. Atau memalingkan makna haqiqi pada makna
majazi sebagaimana diteorisasi oleh Ibnu Rusyd.
Dilihat dari sumber penafsirannya, para peneliti tafsir acap kali
membedakan dua model tafsir: tafsir bi al-masur yang juga dikenal dengan
tafsir riwayah atau manqul, apabila sumber penafsirannya adalah riwayatriwayat. Dan tafsir bi ar- ray yang juga dikenal dengan tafsir maqul atau
tafsir dirayah, jika sumber yang diambil adalah ijtihad. Sebagai turunan dari
kedua model tafsir itu, Hay Farmawi meringkas berbagai metode tafsir
menjadi empat macam: tafsir tahlili, tafsir ijmali, tafsir muqarin, dan tafsir
tematik (maudhui).
Dikatakan tafsir tahlili apabila ayat-ayat ditafsirkan satu persatu menurut
urutannya sebagai mushaf. Atau, menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan
cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap deluruh maksudnya, dimulai
dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan
antarpemisah sampai keterkaitan riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi,
Sahabat, tabiin dan prosedurnya dengan cara mengikuti urutan mushaf.
Menurut Farmawi, para mufassir berbeda-beda dalam mengoperasionalkan
metode ini. Karena itu, lahirlah metode tafsir bi al-masur, tafsir bi ar-rayi,
tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir falsafi, tafsir ilmi dan tafsir adabi ijtimai. Tafsir
ijmali adalah tafsir yang memaknai ayat-yat Al-Quran hanya secara global,
seperti tafsir jalalain. Tafsir muqarin adalah tafsir yang mencoba
membandingkan antara satu tafsir dengan tafsir yang lain, baik dari segi objek
bahasannya maupun dari segi metodenya. Sedang tafsir tematik (maudhui)

36

adalah tafsir yang membahas persoalan-persoalan tertentu dengan cara


mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang senada yang membahas persoalan
tertentu.
Sementara itu, dilihat dari tren atau kecenderungan studi Al-Quran
mulai klasik hingga kontemporer, Ignaz Goldzhiher mencatat adanya lima
kecenderungan, yakni studi Al-Quran tradisional, studi Al-Quran dogmatis,
studi Al-Quran mistik, studi Al-Quran sektarian dan studi Al-Quran
modern. Kecenderungan sudi Al-Quran modern, oleh Gholdziher dikaitkan
dengan gerakan pemikiran yang berkembang di India dan Mesir, kendati
dengan titik tolak yang berbeda. Gerakan Islam di India dengan figurnya
Ahmad Khan bertolak pada pembaruan pemikiran keislaman dengan figur
utamanya Muhammad Abduh. Muhammad Abduh tercatat sebagai pelopor
studi Al-Quran modern.
Yang dimaksud studi Al-Quran modern dalam hal ini adalah sebuah
usaha mengontekskan Al-Quran dengan tuntutan zaman. Tujuan seperti itu
sebenarnya telah dirintis sejak Zaman Nabi Muhammad. Menurut Muhammad
Abduh, Al-Quran merupakan sumber asasi Islam sebagai agama universal,
yang acap kali sesuai dengan kepentingan setiap masyarakat, Zaman dan
berbagai peradaban, di mana pun dan kapan pun, sehingga ia tetap memberi
petunjuk pada mereka dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Tafsir
modern Muhammad Abduh ini kemudian dikenal sebagai tafsir adabi ijtimai.
Tafsir adabi ijtimai ini mempunyai empat unsur pokok yaitu:
a. menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qauran.

37

b. Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Quran dengan


susunan kalimat yang indah.
c. Aksentuasi pada tujuan utama di uraikannya.
d. Penafsiran yang dikaitkan dengan sunatullah dalam masyarakat.
Kecenderungan tafsir modern dibagi lagi menjadi tiga model, yakni tafsir
ilmi, tafsir realis (waqii) dan tafsir sastra (adabi). Secara singkat, ketiga tafsir
modern itu dapat di pahami demikian.
Tafsir ilmi berprinsip bahwa Al-Quran mendahului ilmu pengetahuan
modern sehingga mustahil Al-Quran bertentangan dengan sains modern.
Tafsir waqii berprinsip Al-Quran berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia
dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sehingga ia harus ditafsiri
dengan pendekatan tertentuyang membuatnya mampuh menjawab berbagai
tantangan yang dihadapi manusia . dan tafsir adabi berprinsip bahwa AlQuran merupakan kitab sastra terbesar dan bacaan mulia yang mampu
mempengaruhi jiwa terdalam manusia secara estetik. Berbeda dengan dua
model lainnya, model tafsir sastra tidak berpotensi untul menjawab berbagai
tantangan yang dihadapi umat manusia sebagaimana pendekatan lainnya,
melainkan hendak mengembalikan Al-Quran kepada pesan awalnya yang
ditunjukan kepada jiwa pendengar awalnya.
Sejalan dengan itu, jika menilik pada sejarah perkembangan tafsir,
menurut Ignaz Goldziher, perkembangan tafsir selalu mengalami pergeseran
paradigma dan epistemologi. Pada era klasik, epistemologi tafsir pada
umumnya bertumpuh pada ranah verbal-tekstual yang penjelasannya sangat

38

mengandalkan

nalar

bayani

dan

memiliki

kecenderungan

ideologis.

Sedangkan tafsir di era modern tidak lagi bertumpuh pada verbal- tekstual,
tetapi telah memanfaatkan metode-metode kontemporer. Kebenaran tafsir era
ini diukur melalui apakah sebuah produk tafsir sesuai dengan teori
pengetahuan atau tidak. Dan apakah produk tafsir mampuh menjawab
persoalan-persoalan sosial keagamaan yang melanda kehidupan masyarakat
atau tidak.

C. Ciri-ciri tafsir Al-Misbah


a.

Menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran dari berbagai segi berdasarkan


aturan urutan ayat atau surat dalam mushaf.

b.

Menerangkan lebih rinci kandungan lafadznya.

c.

Adanya muhasabah dengan ayat dan antar surat.

d.

Adanya muhasabah dengan hadits-hadits dan pendapat-pendapat para


mufasir.
Dari uraian ciri-ciri diatas, maka dapat disimpulkan bahwasanya tafsir

Al-Misbah ini termasuk dalam kategori tafsir modern.

BAB IV
KONSEP TAFSIR AL-MISBAH TENTANG DAI

A. Teks Al-Quran Surat Al-Muddatsir ayat 1-7 Serta Terjemahnya

1. Teks Ayat dan Terjemahnya


Artinya: Wahai orang yang berselubung (1) Bangunlah, lalu peringatkanlah!
(2) Dan Tuhan engkau hendaklah engkau agungkan (3) Dan pakaian
engkau, hendaklah bersihkan (4) Dan perbuatan dosa hendaklah
engkau jauhi (5) Dan janganlah engkau memberi karena ingin
balasan lebih banyak(6) Dan hanya kepada Tuhanmu saja maka
bersabarlah (7).

2. Asbab Al-Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda: ketika aku seledai uzlah, selama sebulan di gua Hira aku turun
kelembah. Setelah sampai ketengah lembah ada yang memanggilku, tetapi
aku tidak melihat seorangpun disana. Aku mengadahkan kepalaku kelangit,
dan tiba-tiba aku melihat malaikat yang pernah mendatangiku digua hira, aku
cepat-cepat pulang dan berkata (kepada orang rumah) selimutilahselimutilah aku maka turunlah ayat ini surat Al-Mudatsir sebagai perintah
untuk menyingsingkan selimutnya dan berdakwah.

39

40

Diriwayatkan oleh Asyaikhani yang bersumber dari jabir.


Surah ini disepakati oleh ulama turun sebelum Nabi berhijrah,
bahkan sekian ayatnya ( ayat 1-7) di nilai oleh banyak ulama sebagai bagian
dari wahyu-wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW.
Bahkan ada yang berpendapat awal surah ini turun setelah turunnya lima ayat
pertama Surah Iqra.
Ditemukan riwayat dalam sahih Bukhari dan sahih Muslim, yang
menyatakan bahwa surah al-Muddatsir merupakan wahyu kedua yang
diterima Nabi SAW. Memang ada pendapat yang menjadikan surah alMuzammil sebagai wahyu kedua antara lain didasarkan pada riwayat Ibn
Ishaq. Hanya saja walaupun kiah yang diutarakannya mirip dengan kisah
turunnya awal surah aal-Muddatsir namun pada akhir redaksi riwayat tersebut
ditemukan semacam keraguan dari perawinya, apakah ia al-Muddatsir atau alMuzammil.
Hadits yang ditemukan oleh Bukhari dan Muslim menyangkut sejarah
turunnya surah ini, justru menjelaskan bahwa surah al-Muddatsir turun
sebelum turunnya Iqra, namun ulama-ulama hadits tidak berpendapat
demikian, karena mereka menemukan dalam redaksi hadits tersebut suatu
petunjuk yang dapat dijadikan dasar bagi pendapat yang menyatakan Iqra
adalah wahyu pertama yang turun, apalagi jika dilihat banyaknya riwayat lain
yang mendukung kedudukaan surah Iqra sebagai wahyu pertama.
Sejarah turunnya Al-Quran menceritakan bahwa pernah terjadi
selang waktu yang relatif lama setelah turunnya Iqra, dimana ketika itu Nabi

41

SAW tidak meneriam wahyu, sehingga kalau surah l-Muddatsir ini akan
dinamakan juga surah yang pertama yang turun, maka yang dimaksud surah
pertama setelah selang waktu tersebut, bukan yang pertama scara
keseluruhan.
Antara al-Muddatsir dan al-Muzammil tidak dapat dipastikan yang
mana yang terdahulu dan yang mana yang kemudian. Kisah turunnya sangat
mirip, yakni seperti yang diceritakan Jabir di atas. Ayat-ayat awalnya pun
berbicara menyangkut hal yang sama. Yaitu pembinaan terhadap diri
Rasulullah SAW, dalam rangka menghadapi tugas-tugas penyebaran agama.1

3. Ayat Tentang Bekal Dai dan penjelasannya


(1 )

Artinya : Hai yang berselimut.


) al-Muddatsir terambil dari kata ( ) iddatsara. Kata ini
Kata (
apapun bentuknya, tidak ditemukkan dalam Al-Quran kecuali sekali, yaitu pada
ayat pertama surah ini.Iddatsara berarti mengenakan ( ) ditsar, yaitu sejenis kain
yang diletakkan di atas baju yang dipakai dengan tujuan menghangatkan atau
dipakai sewaktu berbaring tidur (selimut). Disepakati oleh ulama tafsir bahwa
yang dimaksud dengan yang berselimut adalah Nabi Muhammad SAW.
Sabab nuzul yang dikemukakan di atas mengundang kita untuk
memahami kata berselimut dalam arti yang hakiki, bukan dalam arti kiasan
seperti berselubung dengan pakaian keNabian

atau dengan

akhlak yang

mulia bila kalimat orang yang berselimut dikaitkan lebih jauh dengan sebab

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta :
Lentra Hati , 2002)

42

turunnya ayat, maka arti yang ditunjuk oleh peristiwa tersebut adalah orang yang
diselimuti. Pengertian ini didukung oleh suatu bacaan yang dinisbahkan kepada
Ikrimah, yaitu: (

) menyelimuti adalah istri beliau, khadijah ra.

Menyelimuti diri atau diselimuti, tujuannya adalah untuk menghilangkan


rasa takut yang menyelimuti jiwa Nabi Muhammad SAW, beberapa saat sebelum
turunnya ayat-ayat ini. biasanya bila seseorang takut, ia akan menutupi dirinya
atau ia akan menggigil, dan saat itu selimut akan sangat bermanfaat. Inilah yang
tejadi pada diri Nabi Muhammad SAW. Khususnya pada masa awal kedatangan
malaikat jibril kepada beliau. Hal ini terbukti setelah mengamati pula surah AlMuzzammil yang turun berselang dengan surah ini dan yang artinya sama, yaitu
orang yang berselimut.
Perasaan takut yang meliputi diri Nabi Muhammad SAW. Pada awal
kedatangan wahyu agaknya disebabkan karena pengalaman pertama beliau alami
ketika menerima wahyu Iqra. Beliau dirangkul oleh malaikat sedemikian kuatnya
sehingga, seperti yang beliau akui sendiri dalam hadits yang diriwayatkan
Bukhariy, Telah kurasakan (puncak) kepayahan atau, dengan kata lain, pada
riwayat Ath-Thabariy, Aku mengira bahwa itulah kematian mungkin juga
perasaan takut tersebut akibat pandangannya kepada malaikat yang diberi sifat
oleh Al-Quran sebagai yang mempunyai kekuatan disisi Allah, Pemilik Arsy
(QS 81:20); atau karena beratnya wahyu yang beliau terima itu (QS 73:5). Adapun
penyebab rasa takut beliau yang dipahami dari sebab nuzul ayat serta dari celahcelah kata Al-Muddatsir, namun ia sama sekali tidak mengurangi keagungan
Rasul SAW. Perasaan serupa pernah dialami oleh Nabi Musa ketika beliau

43

melihat tongkatnya berubah menjadi ular (QS. 27:10). Hal-hal semacam ini untuk
menggambarkan bahwa para Nabi, walaupun mempunyai keistimewaankeistimewaan dari segi spiritual, namun mereka tidak luput dari naluri
kemanusian, seperti rasa takut tersebut. Dan memang tidak mungkin bagi seorang
manusia untuk tidak merasa gentar atau takut ketika menghadap untuk pertama
kalinya hal-hal semacam itu.2

)2 (
Bangkitlah, lau berilah peringatan
Kata ( )qum terambil dari kata ( )qawama yang mempunyai banyak
bentuk. Secara umum, kata-kata yang dibentuk dari akar kata tersebut diartikan
sebagai melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya. Karena
itu, perintah di atas menuntut kebangkitan yang sempurna , penuh semangat dan
percaya diri, sehingga yang diseru dalam hal ini Nabi Muhammad SAWharus
membukabselimut, menyingsingkan lengan baju untuk berjuang menghadapi
kaum musrikin.
Kata ( )andzir berasal dari kata ( )nadzara yang mempunyai
banyak arti, antara lain, sedikit, awal sesuatu dan janji untuk melaksanakan
sesuatu bila tepenuhi syaratnya. Pada ayat di atas, kata ini biasa ditejemahkan
dengan peringatkanlah. Peringatan didefinisan sebagai penyampaian yang
mengandung unsur menakut-nakuti.
Bila diperhatikan arti asal kosa kata tersebut, maka peringatan yang
disampaikan itu merupakan sebagian kecil serta pendahuluan dari satu hal yang
besar dan berkepanjangan dan apa yang diperingatkan itu pasti akan terjadi selama
syaratnya telah terpenuhi. Syarat tersebut adalah pengabaian kandungan
peringatan tersebut.
Disini timbul pertanyaan, siapakah yang diperingatkan dan apa
kandungan peringatan tersebut? Pertanyaan ini tidak tersurat jawabannya dalam
2

M. Quraish Shihab, Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu
(Bandung: Pustaka Hidayah Cet. ke 3 1999) h. 219

44

redaksi ayat, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama tafsir.


Satu pihak beranggapan bahwa mereka yang diperingatkan sengaja tidak
dikemukakan. Hal ini, dissamping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat ini
dengan bunyi akhir ayat yang lain dan ayat-ayat kemudian, masing-masing
berakhir dengan huruf ra ( ) juga untuk memberikan cakupan yang umum bagi
perintah tersebut. Dalam Surah Yunus ayat 2 dijelaskan, Patutkah menjadi
keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang lelaki
diantara mereka bahwa, Berikanlah peringatan kepada manusia3
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa pada dasarnya perintah di sini
belum ditujukan secara khusus kepada siapapun. Yang penting adalah melakukan
peringatan, kepada siapa saja, terserah kepada Rasulullah SAW. Hal ini sama
dengan perintah makan dan minum, baik yang ditemukkan dalam Al-Quran
maupun ucapan seseorang yang mempersilahkan tamunya untuk makan dan
minum.
Penulis cenderung untuk mendukung pendapat kedua ini, karena sejarah
memberitakan bahwa realisasi perintah itu dilaksanakan oleh rasul SAW. Dalam
bentuk rahasia yang ditunjukan kepada orang-orang yang tertentu, baik
keluarganya maupun teman-teman yang beliau anggap dapat menerima ajaran
Islam, atau minimal tidak menimbulkan reaksi yang dapat menghalangi lajunya
dakwah. Realisasi perintah ini secara terbuka dimulai setelah berlau tiga tahun
dari turunnya wahyu pertama, yakni dengan turunnya QS. Asy-Syuara : 26: 214

Ibid h.221

45



Artinya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.
Dan ayat 94 Surah Al-Hijr



Artinya: Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang
musyrik.
Adapun kandungan peringatan, maka berdasarkan petunjuk ayat-ayat
yang menggunakan redaksi yang sama dengan redaksi ayat ini, dapat kita
katakana bahwa peringatan tersebut menyangkut siksa di hari kemudian dalam
Surah Ghafir Ayat 18 dinyatakan:



Artinya: Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu)
ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan
kesedihan.
Demikian pula dengan surah ibrahim ayat 44:


Artinya: Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada
waktu itu) datang azab kepada mereka.
Apa yang dikemukakan di atas tentang kandungan peringatan ini lebih di
perkuat lagi dengan hadits yang menceritakan kandungan perintah Nabi SAW.

46

Ketika turunya firman Allah SWT yang memerintahkan beliau untuk memberi
peringatan kepada kerabat-kerabatnya yang dekat.
Dalam redaksi ayat itu juga tidak disebutkan kandungan peringatan,
namun didalam hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabriy diinformasikan bahwa
ketika itu beliau menyampaikan, Seandainya kuberikan kepada kalian bahwa
dibelakang bukit (Shafa) ini telah terkumpul barisan berkuda untuk menyerang
kalian, apakah kalian mempercayaiku ? mereka menjawab, kami tidak pernah
mengenal kebohongan dari engkau Rasul bersabda: ketahuilah bahwa
sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian tentang siksa yang
akan datang dan amat pedih.
Meyakini bahwa kandungan peringatan tersebut adalah siksa tuhan
menurut hemat penulis, lebih tepat dari pada menjadikan kandungan ayat ketiga
(Dan tuhanmu, Agungkanlah !) sebagai peringatan yang ditugaskan kepada
Nabi untuk menyampaikannya. Sebab, kaidah kebahasaan tidak mendukungnya,
walaupun terdapat suatu ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan kepada NabiNabi untuk memberi keringatan tentang keesaan tuhan (QS. 15:2).

(3)
Dan Tuhanmu, maka agungkanlah
Karena memberi peringatan dapat mengakibatkan kebencian dan
gangguan dari yang diperingati, maka ayat di atas melanjutkan bahwa dan
bersamaan itu hanya tuhan pemelihara dan pendidikmu saja, apapun yang terjadi
maka agungkanlah!

47

Ayat ketiga surah ini sampai dengan ayat ketujuh yang turun sebagai
suatu rangkaian dengan ayat pertama dan kedua, merupakan petunjuk Allah SWT
dalam rangka pembinaan diri Nabi SAW. Demi suksesnya tugas-tugasvkeNabian.
Petunjuk yang pertama adalah dan Tuhanmu, maka agungkanlah!
Kata ( )Tuhanmu pada ayat di atas disebutkan mendahului kata

( )agungkan. Itu disamping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat, bahkan yang
lebih penting untuk menggambarkan bahwa perintah takbir (mengagungkan)
hendaknya hanya diperuntukkan baginya semata-mata, tidak terhadap sesuatu pun
selain-Nya. Mengagungkan tuhan dapat berbentuk ucapan, perbuatan, atau sikap
bathin. Takbir dengan ucapan adalah mengucapkan Allahu akbar. Takbir dengan
sikap bathin adalah menyakini bahwa dia maha besar, kepada-Nya tunduk segala
makhluk dan kepada-Nya kembali keputusan segala sesuatu. Apapun dihadapanNya adalah kecil dan tidak berarti, sehingga bila terjadi benturan dengan
kehendak atau ketetapan-Nya, maka dia pasti yang menentukan. Sedang takbir
dengan perbuatan adalah pengejawantahan makna-makna yang dikandungtakbir
dengan sikap bathin tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Perintah bertakbir disini mencakup ketiga hal di atas, bahkan diamati
bahwa dalam Al-Quran tidak ditemukan perintah untuk mengucapkan takbir,
berbeda hanya dengan Hamdallah (ucapan al-hamdullah). Perintah bertakbir
hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran. Yaitu pada surah Al-Muddatsir ini
pada Surah Al-Isra ayat 111:



Artinya: Dan Katakanlah: Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak
dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan dia bukan pula
hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah dia dengan
pengagungan yang sebesar-besarnya.
Ketika seseorang mengucapkan takbir, maka pada hakikatnya ada dua hal
yang seharusnya ia capai, pertama, pernyataan keluar sikap bathinnya tersebut.

48

Kedua, mengatur sikap lahirnya sehingga setiap langkahnya berada dalam


kerangka makna kalimat tersebut.
Dampak dari kedua hal ini adalah terhujamnya kedalam jiwa, rasa
memiliki serta kesediaan mempertahankan hakikat yang diucapkannya itu.
Disamping tertanamnya kesadaran akan kecil dan remehnya segala sesuatu
selainnya. Betapapun ia dinamai besar atau agung dan pada saat yang sama
pengucapannya merasa kuat dan mampu menghadapi segala tantangan karena ia
telah mengaggungkan jiwa raganya kepada yang maha agung itu, dan dengan
demikian ia tidak akan meminta perlindungan kceuali kepadanya. Ia tidak akan
mengharapkan sesuatu yang lebih besar kecuali darinya. Ia akan selalu
melaksanakan perintahnya, ini terjadi akibat rasa takut kepadanya, butuh
kepadanya, atau bahkan akibat rasa kagum.
Inilah petunjuk pertama yang merupakan titik tolak bagi segala aktivitas.
Karena itu, adalah sangat wajar apabila hakikat ini merupakan pelajaran pertama
yang diberikan kepada Muhammad SAW. dalam rangka menghadapi tugasnya
yang berat.

)4(
Dan Pakaianmu, maka bersihkanlah
Inilah petunjuk kedua yang diterima oleh Rasulullah SAW. Dalam
rangka melaksanakan tugas tabligh, setelah pada petunjuk pertama dalam ayat
ditekankan keharusan mengkhususkan pengagungan (takbir) hanya kepada Allah
SWT ayat di atas menyatakan Dan pakaianmu bagaimanapun keadaanmu maka
bersihkanlah.

49

Kata ( ) tsiyab adalah bentuk jamak dari kata ( )tsaub/ pakaian.


Disamping makna tersebut ia gunakan juga sebagai majaz dengan makna-makna
antara lain: hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri.
Kata ( )thahir adalah bentuk perintah, dari kata ( )thahara yang
berarti membersihkan dari kotoran.
Kata ini dapat juga dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri
dari dosa atau pelanggaran. Gabungan kedua kata tersebut dengan kedua
kemungkinan makna hakiki atau majaz itu mengakibatkan beragamnya pendpat
ulama yang dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok:
1.

Memahami kedua kosa kata tesebut

dalam arti majaz, yakni perintah

untuk menyucikan hati, jiwa, usaha, budi pekerti dan segala macam
pelanggaran, serta mendidik keluarga agar tidak terjerumus di dalam dosa
atau tidak memilih untuk dijadikan istri kecuali wanita-wanita yang terhormat
serta bertakwa.
2.

Memahami keduanya dalam arti hakiki, yakni membersihkan pakaian dan


segala macam kotoran, dan tidak mengenakannya kecuali apabila ia bersih
sehingga nyaman dipakai dan dipandang.

3.

Memahami tsiyab/ pakaian dalam arti majaz dan thahir dalam arti hakiki,
sehingga ia bermakna: Bersihkanlah jiwa (hati) mu dari kotoran-kotoran.

4.

Memahami Tsiyab/ pakaian dalam arti hakiki dan thahir dalam arti majaz,
yakni perintah untuk menyucikan pakaian dalam arti memakainya secara
halal sesuai ketentuan-ketentuan agama (antara lain menutup aurat) setelah
memperolehnya dengan cara-cara yang halal pula. Atau dalam arti pakailah
pakaian pendek sehingga tidak menyentuh tanah yang mengakibatkan
kotornya pakaian tersebut. Adat kebiasaan orang arab ketika itu adalah

50

memakai pakaian-pakaian yang panjang untuk memamerkannya, yang


memberikan kesan keangkuhan pemakainya walaupun mengakibatkan
pakaian tersebut kotor karena menyentuh tanah, akibat panjangnya.
Penulis cenderung memilih pendapat yang menjadikan kedua kata
tersebut dalam arti hakiki. Bukan saja karena kaidah tafsir yang menyatakan
bahwa satu kata tidak dialihkan kepada pengertian kiasan (majazi) kecuali bila
arti hakiki tidak dapat dan atau terdapat petunjuk yang kuat untuk mengalihkan
kepada makna majaz, tetapi juga karena memperhatikan konteks yang merupakan
sabab nuzul ayat ini yang menjelaskan bahwa ketika turunnya, Nabi Muhammad
SAW.yang ketakutan melihat jibril, bertekuk lutut dan tejatuh ketanah ( sehingga
tentu mengakibatkan kotornya pakaian beliau).
Dan perlu kita ketahui bahwa semua pemeluk agama apapun agamanya
lebih-lebih lagi Islam menyadari bahwa agama pada dasarnya menganjurkan
menganjurkan kebersihan bathin seseorang. Membersihkan pakaian tidak akan
banyak artinya jika badan seseorang kotor, selanjutnya membersihkan pakaian
dan badan belum berarti jika jiwa masih ternodai oleh dosa. Ada orang yang ingin
menempuh jalan pintas, dengan berkata, yang penting adalah hati atau jiwa,
biarlah badan atau pakaian yang kotor, karena tuhan tidak memandang kepada
bentuk-bentuk lahir. Sikap tersebut jelas tidak dibenarkan oleh ayat ini, jika kita
memahaminya dalam arti hakiki. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pengertian
hakiki tersebut mengantar kepada keharusan memperhatikan kebersihan badan
dan jiwa, karena jangankan jiwa atau badan , pakian pun diperintahkan untuk
dibersihkan. sebagai contoh, jika terdapat perintah untuk menghormati kakak,

51

maka tentu lebih diperintahkan lagi untuk menghormati ayah, walaupun tidak
tersurat dalam redaksi perintah. Disisi lain, dipahami dari petunjuk ayat ini, bahwa
seseorang yang bertugas melayani masyarakat dan membimbingnya harus
memiliki penampilan yang menyenangkan, antara lain kebersihan pakaiannya.
Kalau dalam petunjuk pertama pada ayat ketiga ditekankan pembinaan
jiwa dan sikap mentaal, maka dalam ayat keempat ini yang ditekankan adalah
penampilan lahiriah demi menarik simpati mereka yang diberi peringatan dan
bimbingan.
Dalam ayat di atas, Rasullah SAW diperintahkan untuk membersihkan
pakaian-pakaian beliau. Telah diuraikan bahwa perintah ini berkaitan dnegan
konteks ayat, sehingga kita tidak perlu menduga bahwa sebelum ini Rasullah
SAW. Kurang memperhatikan kebersihannya karena sejarah membuktikan
kekeliruan dugaan tersebut. Di sisi lain, dapat pula dipahami perintah di atas sama
dengan perintah kepada orang-orang beriman. Dalam surah An-Nisa ayat 136,
Allah memerintahkan: Wahai orang-orang yang beriman: berimanlah kepada
Allah dan Rasulnya. Perintah tersebut tentu bukan berarti bahwa mereka
sebelumnya belum beriman, tetapi ia merupakan perintah untuk mempertahankan.
Memantapkan dan meningkatkan iman tersebut, perintah kepada Rasullah SAW
untuk membersihkan pakaian-pakaian beliau daapt dipahami demikian pula,
dalam arti, pertahankanlah, mantapkan dan tingkatkanlah kebiasaanmu selama
ini dalam kebersihan pakainmu.
Sejarah menjelaskan bahwa pakain yang paling disukai Rasullah SAW
dan yang paling sering dipakainya adalah pakain-pakain yang berwarna putih. Hal

52

ini tentunya bukan saja disebabkan karena warna tersebut menangkal panas yang
merupakan iklim umum daerah Mekkah dan sekitarnya, tetapi juga mencerminkan
kesenangan pemakainya terhadap kebersihan, karena sedikit saja noda pada
pakain yang putih itu akan segera tampak. Sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau
juga telah dikenal sebagai seorang yang sangat mendambakan kebersihan. Tidak
semua jenis makanan di makannya. Bawang misalnya, karena memiliki aroma
yang tidak menyenangkan dihindarinya. Bahkan dianjurkan kepada para
sahabatnya untuk tidak mengunjungi masjid bila baru saja memakan bawang.
Noda dan kotoran yang mengotori dinding (masjid) dibersihkannya guna mmeberi
contoh kepada umatnya. Pakain-pakainnya, walaupun tidak mewah bahkan sobek
dan dijahitnya sendiri, namun selalu rapih dan bersih ini merupakan sifat bawaan
sejak kecilnya, kemudian dikukuhkan oleh pendidikan Al-Quran demi suksesnya
tugas-tugas pembinaan masyarakat. Karena, seseorang yang bertugas memimpin
dan membimng harus mendapat simpati masyarakatnya sekaligus memberi contoh
kepada mereka. Dan hal inilah yang dimintakan perhatian oleh Al-Quran kepada
Rasullah SAW. Bahkan kepada setiap orang, khususnya yang mengemban tugastugas kemasyarakatan.
)5(
Dan dosa maka tinggalkanlah
Petunjuk yang ketiga adalah, dan dosa yakni menyembah berhala
betapapun hebat atau banyaknya
tinggalkanlah.

orang yang menyembah nya maka

53

Kata ( )ar-rujz (dengan dhammah pada ra) atau ( )ar-rijz,


dengan kasrah pada ra) keduanya merupakan cara yang benar untuk membaca
ayat ini, dan sebagian Ulama tidak membedakan arti yang dikandungnya. Ulama
yang tidak membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya dengan dosa,
sedangkan ulama yang membedakannya menyatakan bahwa ar-rujz berarti
berhala. pendapat ini dipelopori oleh Abu Ubaidah. lebih jauh, sebagian ahli
bahasa berkata bahwa huruf ( )zay pada kata ini dapat dibaca dengan ( )sin
dengan demikian kata ar-rijz sama pengertiannya dengan ( )ar-rijs/ dosa.
Dengan demikian kata yang digunakan ayat ini dapat berarti berhala, atau siksa
atau dosa.
Kata ( )fa-hjur, terambil dari kata ( )hajara yang digunakan
untuk menggambarkan sikap meninggalkan sesuatu karena kebencian
kepadanya. Dari akar kata ini dibentuk kata-kata hijrah, karena Nabi dan sahabatsahabatnya meninggalkan mekkah atas dasar ketidaksenangan beliau terhadap
pelakuan penduduknya. kata ( ) hajirah berarti tengah hari karena pada
saat itu pemakai bahasa ini meninggalkan pekerjaannya akibat terik panas
matahari yang tidak mereka senangi.
Dalam hadits dinyatakan bahwa: Tidak dibenarkan meninggalkan untuk
tidak bercakap-cakap dengan saudara lebih dari tiga hari. yang dimaksud
meninggalkan adalah apabila hal tersebut dilakukan karena dorongan kebencian
atau kemarahan, karena hadits tersebut menggunakan kata Yahjuru (). Ayat
ini, dengan demikian berarti: Tinggalkanlah, atas dorongan kebencian dan
ketidaksenangan, dosa, siksa atau berhala.
Penulis cenderung untuk memilih arti Berhala bukan saja dengan
alasan yang dipelopori oleh Abu Ubaidah, tetapi juga dengan memperhatikan
pendapat yang mempersamakan antara ar-rijz dan ar-rijs serta gaya dan bentuk
redaksi ayat ini. Yang dimaksud dengan gaya dan bentuknya adalah bahwa ayat
ini secara tegas mencegah Nabi untuk melakukan sesuatu, bahkan dapat dikatakan
bahwa ayat ini merupakan larangan petama yang diterima Nabi Muhammad
SAW.
Kalau kita menelusuri ayat-ayat yang berbicara tentang ar-rijz dan ar-rijs,
maka akan kita temukan bahwa ayat-ayat tersebut disusun dalam bentu berita
(perhatikan, misalnya. QS. 7:113-114, atau QS. 10:100 dan lain-lain). Tetapi
ditemukan satu ayat yang menggunakan redaksi mencegah sekaligus menjelaskan

54

apa yang dimaksud dengan ar-rijs dan tentunya juga arti ar-rijs (karena keduanya
dinilai dalam arti yang sama. Sebagaimana dikemukakan di atas). Ayat tersebut
adalah:


Artinya: Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta. (QS. 22:30)
Kalau demikian, ayat yang berbentuk larangan di atas dan yang
menjelaskan arti kotoran, yakni berhala-berhala dapat diangkat untuk
menjelaskan ar-rijz pada ayat 5 Al-Muddatsir yang juga menggunakan bentuk
larangan sehingga ayat tersebut seharusnya diartikan sebagai petunjuk kepada
Rasullah SAW. Untuk menjauhi berhala-berhala atas dorongan kebencian
kepadanya. Mengartikan ar-rijz dengan berhala lebih diperkuat lagi setelah
menganalisis arti uhjur yaitu meninggalkan sesuatu atas dorongan kebencian.
Sebab, dosa apalagi siksa tidak perlu diperintahkan untuk dihindari dengan
dorongan kebencian. Siapa yang tidak membenci sika ? ia pasti ditinggalkan !
petunjuk ini, sebagaimana petunjuk yang lain, bukanlah berarti bahwa Rasullah
SAW. Pada suatu ketika pernah mendekati berhala-berhala. Riwayat-riwayat
bahkan menunjukkan sebaliknya, jangankan berhala, mengunjungi tempat-tempat
yang tidak wajarpun tidak pernah dilakukannya.
Dengan demikian, apa arti petunjuk tersebut untuk Nabi Muhammad
SAW menyangkut kebijaksanaan yang harus beliau tempuh dalam melaksanakan
dakwahnya ? penggarisan tersebut adalah: apa pun yang terjadi dan dengan dalih
apa pun tidak diperkenankan bagimu, Muhammad, untu menerima dan merestui

55

penyembahan berhala. prinsip akidah yang tidak dapat di tawar-tawar adalah


keesaan tuhan yang murni serta penyembahan kepadanya semata. Dosa-dosa
yang lain mungkin masih bisa ditolerir untuk sementara. Hal ini perlu mendapat
penegasan sejak dini, karena perjalanan sejarah dakwah menunjukkan bahwa
kaum musrikin menawarkan kompromi kepada Nabi. Tawaran yang ditolak secara
tegas tersebut merupakan sebab nuzul dari surah Al-Kafirun. Bahkan Al-Quran
telah mengisyaratkan secara dini pula pada wahyu Al-Qalam (QS. 68:9) bahwa
mereka menginginkan supaya kamu bersikap lemah sehingga merekapun bersikap
lemah kepadamu. Tetapi, tentunya berdasarkan petunjuk yang merupakan
penggarisan dalam Al-Muddatsir ini, semua ajaran dan tawaran tersebut ditolak
secara tegas oleh Rasullah SAW.
Di atas telah dikemukan bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yang
diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan redaksi larangan dan telah
dikemukakan pula bahwa menungkin ada dosa-dosa yang dapat ditoleransi untuk
sementara. Hal ini secara jelas dapat dibuktikan melalui perintah-perintah dan
larangan Al-Quran.
Detemukan bahwa Al-Quran memang menggunakan metode bertahap
dalam petunjuk petunjuknya yang berkaitan dengan bidang hukum, namun tidak
demikian jika berkenaan masalah akidah dan etika. Dalma bidang hukum,
ditemukan pentahapan, baik petunjuk hukum yang berkenaan dengan kewajiban
maupun larangan. Perintah shalat, misalnya, didahului dengan petunjuk serta
penjelasan tentang kebesaran tuhan, kemudian disusul dengan ayat-ayat yang
menghidupkan

rasa

keagamaan

sehingga

mendorong

manusia

untuk

56

mengadakan hubungan dengannya, baru kemudian disusul dengan perintah shalat


(dua kali sehari) disertai dengan kebolehan bercakap-bercakap sambil
melaksanakan shalat. Kemudian disusl dengan perintah khusyu dan larangan
bercakap dan diakhiri dengan petunjuk untuk melaksanakannya lima kali sehari
semalam.
Hal yang dikemukakan di atas jelas berbeda dengan bidang-bidang
akidah yang tidak menamai istilah pentahapan. Kandungan ayat Al-Muddatsir di
atas merupakan salah satu contoh yang membuktikan hal tersebut dan inilah yang
menjadi pegangan Nabi Muhammad SAW. Serta umatnya kemudian. Tidak ada
kompromi atau pengorbanan dalam bidang akidah.
Penulis cenderung memahaminya dalam arti berhala. Karena kalau kita
menelusuri ayat-ayat yang berbicara tentang ar-rijz dan ar-rijs, maka akan kita
temukan bahwa ayat-ayat tersebut disusun dalam bentuk berita. Tetapi ditemukan
satu ayat yang menggunakan redaksi mencegah sekaligus menjelaskan apa yang
dimaksud dengan ar-rijs dan tentunya juga ar-rijz, karena keduanya dinilai dalam
arti yang sama sebagaimana telah dikemukakan di atas. Ayat tersebut adalah
firman-Nya dalam QS. al-hajj [22] : 30 maka hindarilah behala-berhala yang najis.
Kalau demikian, ayat yang berbentuk larangan di atas dan yang menjelaskan arti
kekotoran, yakni berhala-berhala, dapat diangkat untuk menjelaskan arti ar-rijz
pada ayat 5 surat Al-Mudatsir ini yang menggunakan bentuk larangan sehingga
ayat tersebut seharusnya diartikan sebagai petunjuk kepada Rasulullah SAW.
untuk menjauhi berhala-berhala atas dorongan kebencian kepadanya. mengartikan

57

ar-rujz atau ar-rijz, dengan berhala lebih diperkuat lagi setelah menganalisis arti
uhjur, yaitu meninggalkan sesuatu atas dorongan kebencian.
Petunjuk ayat di atas sebagaimana petunjuk yang lalu , bukanlah berarti
bahwa Rasulullah SAW pada suatu ketika pernah mendekati berhala-berhala.
Riwayat-riwayat bahkan menunjukkan sbaliknya, jangankan behala, mengunjungi
tempat-tempat yang tidak wajar pun tidak pernah dilakukannya.

)6(
Dan janganlah memberi (untuk) memperoleh yang lebih banyak
Ayat di atas merupakan petunjuk keempat dalam rangkaian petunjuk
petunjuk Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Demi suksesya tugas-tugas
dakwah. sebagian ulama bependapat bahwa ayat keenam bukan lagi meupakan
suatu kerangkaian dari segi masa turunnya dengan ayat-ayat terdahulu, karena
adanya suatu riwayat yang menyatakan bahwa ayat yang kelima merupakan akhir
ayat dalam rangkaian wahyu ini. lebih jauh mereka berpendapat bahwa ayat
kenam ini turun setelah Rasulullah SAW melaksanakan perintah berdakwah.
penulis tidak cenderung mendukung pendapat tersebut, walaupun harus diakui
kesahihan sanad riwayat yang menegaskan bahwa rangkaian pertama wahyu almudatsir hanya sampai dengan ayat kelima.yang telah diriwayatkan oleh AlBukhari .dengan demikian penulis cenderung menjadikan ayat kenam dan ketujuh
ini merupakan suatu rangkaian dari segi masa turunnya dengan ayat-ayat
sebelumnya.

58

Kata ( )tamnun terambil dari kata manana yang dari segi asal
pengertiannya berarti memutus atau memotong. Sesuatu yang rapuh, tali yang
rapuh dinamai ( ) habl manin karena kerapuhannya menjadikan ia mudah
putus . pemberian yang banyak dinamai ( )minnah, karena ia mengandung arti
banyak sehingga seakan-akan ia tidak putus-putus. Makanan yang diturunkan
kepada bani Israil dinamai ( )al-mann karena ia turun dalam bentuk kepingan
terpotong-potong. sedangkan menyebut-nyebut pemberian dinamai ( )mann
karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima oleh pemberinya.
Beraneka ragam pendapat ulama tentang maksud ayat di atas. alQurthubi mengemukakan sebelas pendapat, yang setelah diteliti sebagian darinya
dapat dikelompokkan dengan sebagian yang lain, sehingga dapat disimpulkan
bahwa paling tidak ada empat pendapat ulama tafsir tentang ayat keenam ini
yaitu:
1.

Jangan merasa lemah (pesimis) untuk memperoleh kebaikan yang banyak.


pendapat ini berdasarkan suatu qiraat (bacaan) yng dinisbahkan oleh sahabat
Nabi, abdullah ibnu masud, yang membaca ayat di atas dengan

)(
Pengertian tersebut dapat dibenarkan oleh penggunaan bahasa, karena
( )tamnun yang darinya dibentuk kata ( )manin yang berarti lemah
walaupun penulis tidak menemukan ayat yang menggunakan kata tersebut
dalam arti lemah. Namun perlu dicatat bahwa kata ( ) fi al-khair pada
bacaan tersebut bukanlah bagian ayat ini, tetapi dia dinamai mudraj yakni
sisipan dari sahabat mulia itu dalam konteks menjelaskan maksudnya.
2.

Jangan memberikan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan yang lebih


banyak darinya.pendapat ini berdasarkan pengertian kata ( )manna yang

59

biasa diterjemahkan dngan meemberi .dalam Al-Quran ditemukaan sekian


ayat yang mengandung arti tersebut seperti, misalnya dalam QS.Shad [38]:39.
3.

Janganlah membrikan sesuatu dan menganggaap bahwa apa yang engkau


berikan itu banyak. Maksud dai larangan di atas mengarah kepada pengikisan
sifat kikir dengan menggunakan suatu redaksi yang halus . pemahaman ini
berdasarkan kenyataan bahwa seseorang yang menganggap pemberiannya
merupakan sesuatu yang banyak, pada hakikatnya ingin menguranginya, dan
hal tersebut menunjukan bahwa ia memiliki sifat kikir. Pendapat ketiga ini
sama dari segi pengertian kata tamnun dengan pendapat pertama, namun
pengertian yang dikemukakan disini berbeda dngan pengertian pertama akibat
perbedaan pendapat tentang arti huruf ( )sin pada kata ( )tastaksir.
pendapa pertama mengartikannya dengan menganggap.

4.

Jangan menganggap usahamu (berdakwah) sebagai anugrah kepada manusia,


tetapi berupa ganjaran dari Allah. Konsekuensi dari larangan ini adalah
bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dibenarkan menuntut upah dari usahausaha beliau dalam berdakwah.
Konsekuensi dari larangan ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
dibenarkan menuntut upah dari usaha-usaha beliau dalam berdakwah kalau
kita kembali kepada Al-Quran, maka hanya sekali kita menembukan kata
tammun ( )yakni pada ayat enam tersebut di atas, tetapi bila kita
menelusuri semua kata yang berakar pada kata manana ( )yang darinya
kata tanmmun juga terambil, maka ditemukan keseluruhannya berjumlah 27
kali, dengan pengertian yang berbeda-beda, yakni:

60

1. Anugerah atau pemberian, seperti dalam Surah Al-Imran ayat 164:


Artinya: Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang
yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang
Rasul dari golongan mereka sendiri.
2. Putus, seperti dalam Surah Fushshilat ayat 8:


Artinya: bagi mereka ganjaran yang tiada putus-putusnya"
3. Menggap pemberian sebagai anugerah sehingga menyebut-nyebutnya,
seperti dalam Surah Al_Imran ayat 164 di atas.
4. Sejenis makanan manis seperti madu (yang diturunkan Allah SWT kepada
Bani Israil) yang disampaikan oleh Al-Quran dalam Surah Al-Baqarah
ayat 57.


Artinya: Dan kami turunkan kepadamu manna dan salwa.
Kata manana ( )dari segi asal pengertiannya adalah memutus atau
memotong sesuatu yang rapuh, misalnya tali yang rapuh, dinamai Nabi mani
)) , sebab karena rapunya ia mudah putus. Pemberian yang banyak
(anugerah) dinamai minnah (), karena ia mengandung arti banyak sehingga
seakan-akan ia tidak putus-putus makanan yang diturunkan kepada Bani Israil
dinamai Al-Mann ( )karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima
oleh pemberinya.
Berdasarkan arti di atas, yang kesemuanya ditemukan dalam Al-Quran,
kemudian kita membandingkannya dengan keempat pendapat tentang arti ayat
keenam ini, maka terlihat bahwa arti lemah yang menjadi dasr pengertian

61

pendapat pertama tidak digunakan oleh Al-Quran, walaupun dikenal oleh bahasa
Arab. Atas dasar ini, kita tidak cenderung menyetujui pendapat pertama tersebut.
Pendapat kedua, yakni: jangan memberikan sesuatu dengan tujuan
mendapatkan yang lebih banyak darinya, menurut hemat penulis, walaupun dari
segi ide larangan tersebut benar secara etis, namun keberatan untuk menerimanya
muncul dan tidak ditemukan pada ayat tersebut. Indikator untuk adanya sisipan
dalam arti bahwa kata-kata dengan tujuan yang disisipkan oleh penganutpenganut tersebut.
Walaupun penyisipan kata dalam suatu redaksi dibenarkan dari segi tata
bahasa, namun mayoritas Ulama Tafsir tidak melakukannya kecuali bila sisipan
tersebut memang dibutukan dmei ksempurnaan makna suatu redaksi. Dalam ayat
yang ditafsirkan ini, agaknya sisipan tersebut tidak dibutuhkan, karena kita masih
daapt memahaminya secara baik dan sempurna tanpa memberikan sisipan.
Adapun pendapat ketiga, ia tidak didukung oleh konteks pembicaraan
ayat yang merupakan bimbingan bagi Nabi Muhammad SAW. Dalam
menghadapi umat.
Penulis cenderung memilih pendapat keempat, yakni bahwa ayat ini
meletakkan beban tanggung jawab di atas pundak Nabi guna menyampaikan
dakwahnya tanpa pamrih atau tidak menuntut suatu imbalan duniawi. Hal ini
sejalan dengan perintah tuhan kepada beliau untuk selalu menegaskan:


Katakanlah: "Aku tidak meminta atas hal ini (dakwah) sedikit imbalan
pun. (QS. Al-Furqon: 57)

62

Berdakwah bukan untuk memperoleh imbalan duniawi, apaun bentuknya


imblaan tersebtu. Karena itu, pernyataan yang senada dengan pernyataan tersebut
ditemukan tidak kurang dari 12 kali dalam Al-Quran dan yang diucapkan oleh
berbagai Nabi dan Rasul, seperti Nabi Nuh dalam Surah yunus ayat 72, Nabi
Shalih dalam Surah Hud ayat 51, Nabi Hud, Nabi Luth, dan Nabi Syuaib masingmasing dalam surah Asy-Syuara 127, 164 dan 186.
Telah

menjadi

kodrat

Nabi

atau

dengan

kata

lain

hukum

kemasyarakatan bahwa setiap Nabi (serta pewaris-pewaris mereka) yang


bermaksud merombak keyakinan masyarakatnya yang telah mapan, serta
membawa paham-paham pembaharuan, selalu mendapat tantangan (baca QS.
25:31). Dan sering kali tantangan tersebut datang bersamaan dengan tuduhantuduhan menyangkut itikad baik mereka dengan menyatakan bahwa mereka
memiliki tujuan-tujuan duniawi, ambisi pribadi tersebut. Tentunya tuduhantuduhan tersebut harus dibuktikan kekeliruannya dan salah satu caranya adalah
penegasan serta pembuktian bahwa sedikit imbalan duniawipun tidak mereka
harapkan dalam penyampaian dakwah tersebut.
Disini kita melihat ciri khas dari semua dakwah keagamaan ia bersumber
dari langit sehingga para penyampaiannya harus mampu melepaskan kaitan
antara dakwahnya dan tujuan-tujuan pribadinya yang bersumber dari bumi
(keduniaan). Agama harus dibebaskan dari hal tersebut, karena bila tidak
terbebaskan ajarannya akan menyimpang dari ciri khas isinya, bahkan ia pun akan
dianut bila ada yang menganutnya untuk tujuan-tujuan keduniaan. Dan apabila
yang demikian itu terjadi, terbukalah pintu selebar-lebarnya untuk mecemoohkan

63

dan megabaikan ajarannya. Ajakan keagamaan harus dibebaskan dari kepentingan


duniawi pengajakannya, karena kalau tidak demikian, ia akan diputar balikan atau
dalam istilah Al-Quran, ia akan ditakwilkan (QS. 3:71) demi kepentingan
pribadi guna mencipatkan kesempatan berkuasa, mempertahankan kedudukan,
memperoleh popularitas dan atau menimbun materi.
Inilah agaknya yang merupakan sebagian alasan mengapa sejak dini,
yakni bersamaan dengan saat diperintahkan untuk meyampaikan dakwah, Allah
SWT telah menekankan kepada manusia yang di tugaskan itu bahwa: janganlah
menganggap demikian, karena anggapan ini mengantar kepada perasaan adanya
jasa kepada mereka yang kemudian melahirkan usaha untuk menuntut imbalan
duniawi dari mereka. Bila petunjuk ini dilaksanakan, mereka pasti akan percaya
sehingga akan semakin banyak orang yang mengikutimu.
Sebelum beralih kepada ayat ke tujuh yang merupakan petunjuk ke lima
dalam rangkaian wahyu ini, kita perlu menggaris bawahi satu masalah yang
berkaitan erat dengan kehidupan para dai dewasa ini. Pada hakikatnya. Menerima
sesuatu yang berbentuk materi atau duniawi, baik oleh para Nabi maupun para
penerus-penerus mereka, tidaklah terlarang menurut ayat ini, bahkan tidak pula
menurut keseluruhan ajaran agama.
Nabi

Muhammad SAW sendiri sering kali menerima pemberian-

pemberian atau hadiah-hadiah dari berbagai pihak, baik sahabatnya maupun


penguasa-penguasa pada masanya. Dari Alexandria di Mesir, penguasa Mesir
ketika itu mengirimkan kepada beliau pakaian-pakaian, seekor binatang kendaraan
Baghal (hasil perkawinan kuda dan keledai) serta dua orang gadis yang

64

kemudian salah satunya di nikahi oleh Nabi dan yang darinya lahir putera beliau
yang diberi nama Ibrahim. Tetapi pemberian tersebut bukan sebagai imbalan
dakwanya, atau diperolehnya melalui permintaan halus atau tegas.
Adalah sangat keliru anggapan sementara orang yang meminta
keikhlasan melalui penerimaan materi, karena daapt saja seseorang melakukan
satu pekerjaan dengan penuh keikhlasan dan pada saat yang sama ia menerima
materi. Demikian pula sebaliknya dapat saja seseorang menolak penerimaan
materi tetapi justru penolakannya mengandung unsur pamrih (riya).
Ayat di atas melarang mengaitkan dakwah dengan tujuan memperoleh
imbalan duniawi yang salah satu contoh perwujudannya adalah memilih atau
memilah objek dakwah atas dasar basah dan keringnya objek tersebut. Apabila
hal ini terjadi, maka kepercayaan terhadap para pengajar akan sirna dan pada saat
itu dakwah yang disampaikan tidak berbekas lagi. Harus diakui bahwa larangan
memperoleh imbalan tersebut akan mengakibatkan kesulitan bagi penganjurpenganjur ajaran agama dan karenannya, petunjuk selanjutnya masih sangat
dibutuhkan. Petunjuk yang dimaksud adalah ayat ketujuh dan terakhir dalam
rangkaian wahyu pertama Al-Muddatsir ini.
)7(
Dan hanya kepada Tuhanmu saja maka bersabarlah
Sebagaimana ditegaskan oleh ayat-ayat yang lalu, harus diakui bahwa
larangan memperoleh imbalan tentu dapat mengakibatkan kesulitan bagi
penganjur-penganjur ajaran agama, dan karenanya ayat di atas memberi

65

petunjuk terakhir dalam konteks surat Al-Mudatsir ini yaitu Dan hanya
kepada Tuhanmu saja apapun yang kau hadapi maka bersabarlah.
Dalam kamus bahasa-bahasa kata ( )shabr (sabar) diartikan sebagai
menahan, baik secara fisik material, seperti menahan diri atau jiwa dalam
menghadapi sesuatu yang diinginkannya .dari akar kata shabr diperoleh
sekian bentuk kata dengan arti yang beraneka ragam.
Sabar bukanlah kelemahan atau menerima apa adanya tetapi ia adalah
perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu
mengalahkan keinginan nafsunya.Di dalam Al-Quran, ditemukan perintah
bersabar berkaitan dengan sekian banyak konteks, antara lain:
1. Menanti ketetapan Allah, seperti dalam QS.Yunus [10]:109.
2. Menanti datangnya janji Allah atau hari kemenangan, seperti dalam QS.
Ar-rum [30]:60.
3. Menghadapi ejekan dan gangguan orang-orang yang tidak percaya, seperti
dalam Qs. Thaha [20]:130.
4. Menghadapi dorongan nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak
setimpal, seperti QS. An-Nahl [16]:127.
5. Melaksanakan ibadah, seperti dalam QS. Maryam [19]:65.
6. Menghadapi malapetaka, seperti dalam QS. Luqman [31]:17.
7. Memperoleh apa-apa yang diinginkan, seperti dalam QS. Al-Baqarah
[2]:53.
Ar-Raghib Al-Asfahany, seorang ahli dalam bidang tafsir dan bahasa
Al-Quran, menjadikan ayat 177 surah Al-Baqarah sebagai kesimpulan dari
segala macam bentuk kesabaran atau ketabahan yang dituntut Al-Quran.
Ayat tersebut berbicara tentang al-birr (kebaikan) dan orang-orang yang

66

melakukannyan adalah mereka yan gdigambarkan sebagai Orang-orang yang


bersabar dalam al-basa, adh-dharra, dan hina al-bas.
Menurut Ar-Raghib, Sabar (tabah) dalam menghadapi kebutuhan yang
mengakibatkan kesulitan tergambar dlam kata al-basa, sabar dalam
menghadapi kesulitan (malapetaka) yang telah menimpa, dicakup oleh kata
adh-dharra, sedangkan sabar dalam peperangan atau menghadapi musuh
tergambar dalam hina al-bas. Dengan demikian, kesabaran yang dituntut AlQuran adalah pertama, dalam usaha mencapai apa yang dibutuhkan
kesabaran ini menuntut usaha yang tidak mengenal lelah, serta tidak
memperdulikan rintangan apapun, sampai tercapainya apa yang dibutuhkan
itu. Kedua, sabar dalam menghadapi malapetaka sehingga menerimanya
dengan jiwa yang besar dan lapang dada guna memperoleh imbalan dan
hikmahnya dan yang terakhir yang secara khusus digaris bawahi adalah
dalam peperangan dan perjuangan. Walaupun hal yang terahir sudah dapat
tercakup oleh kedua hal sebelumnya.
Penulis cenderung memahami perintah bersabar disini dalam
pengertiannya yang luas mencangkup semua yang diuaikan di ataswalaupun
kita dapat berkata bahwa ayat ini menekankan kesabaran secara khusus, yakni
dalam menghadapi gangguan-gangguan mereka yang tidak mempercayai
ajaran agama yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Penekanan khusus ini
dipahami dari lanjutan ayat tersebut yang menggunakan kata penghubung
( )fa yang diartikan oleh karena atau disebabkan, dan dengan demikian ayat
ini telah memberikan isyarat yang cukup jelas kepada Nabi SAW.bahwa

67

dalam melaksanakan tugas Dakwah, beliau pasti akan menghadapi tantangan,


rintangan serta gangguan-gangguan dari berbagai pihak.
Kini setelah pengertian dan kandungan yang dicangkup oleh perintah
bersabar (fashbir), maka kita kembali mempertanyakan apa yang dimaksud
dengan kalimat ( )wa li rabbika yang diterjemahkan dengan karena
Tuhanmu saja. Kalimat ini menuntun agar kesabaran dilaksanakan oleh Nabi
semata-mata karena Allah SWT. Bukan karena sesuatu yang lain. Misalnya,
karena diiming-imingi oleh pencapain target, dalam hal ini target keislaman
umat manusia. Ayat ini melalui kalimat wa li rabbika ingin menegaskan
bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan perintah Allah SWT dengan penuh
ketabahan da kesabaran, apapun hasil yang dapat dicapai akibat ketabahan
dan kesabaran tersebut.
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Quran:
fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat bahwasanya ada
empat tugas yang harus dijalankan oleh dai sesuai dengan tugas keNabian
dalam mengembangkan kitab suci:
1. Menyampaikan (tabligh) ajaran-ajarannya, sesuai dengan perintah, wahai
rasul sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu (QS.
5:67).
2. Menjelaskan ajaran-ajaranya berdasarkan ayat, dan kami turunkan alKitab kepadamu untukkamu jelaskan kepada manusia (QS. 16:44)
3. Memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat berdasarkan
ayat, dan Allah turunkan bersama mereka Al-Kitab dengan benar, agar
dapat memutukan perkara (QS. 2:213)
4. Memberikan contoh pngalaman, sesuai dengan hadits Aisyah yang
diriwayatkan oleh bukhari, yang menyatakan bahwa prilaku Nabi adalah
praktek dari Al-Quran.
Sungguh tidak ringan tugas yang dipikul oleh seorang dai, ia harus
selalu menyampaikan segala yang tersurat dan tersirat dalam Al-Quran
sebagai suatu kewajiban. Disamping harus dapat memberikan penjelasan dan

68

pemecahan mengenai problem yang dihadapi masyarakat, berdasarkan AlQuran meskipun al-Qiran tidak memberikan konsep prinsip-prinsip dasar
dan nilai-nilai yang digariskannya. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial
maupun budaya.
Dalam hal ini, seorang dai tidak dapat berpegang hanya pada satu
penafsiran ayat Al-Quran saja. Tetapi ia harus dapat mengembangkan
prinsip-prinsip yang ada dalam menjawab tantangan yang selalu berubah. Hal
ini bukan berarti bahwa Al-Quran mengakui begitu saja dengan perkembangan
masyarakat. Dai harus dapat memberikan petunjuk dan bimbingan yang
mengarahkan perkembangan budaya modern atau tekhnologi yang canggih
sekalipun4
Adapun bekal yang harus dimiliki oleh dai yang tertulis dalam surah
al-Muddaatsir ayat 1-7 menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbahnya
mencangkup empat hal sebagai berikut:
1. Ibadah kepada Allah SWT.
Perintah pertama yang harus dimiliki oleh dai adalah mengagungkan
Allah SWT, dalam artian beribadah kepada Allah SWT. Ibadah itu beraneka
ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu ragamnya yang paling jelas, adalah
amalan tertentu yang ditetapkan cara atau kadarnya langsung dari Allah SWT
maupun Rasulnya. Dan yang secara populer dikenal dengan istilah ibadah
madhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum, mencangkup
segala macam aktivitasyang dilakukan demi karena Allah SWT.
4

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran : Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat, (PT Mizan Pustaka, 2007)

69

Sebagaimana telah dikemukakan, untuk dapat melaksanakan amanat


dan kewajiban berdakwah, para dai membutuhkan persiapan-persiapan dan
bekal perjalanan yang cukup, terutama persiapan dan bekal spritual (rohani)
yang mantap. Untuk itu, sebelum melaksanakan tugas yang berat itu, para
dai mempersiapkan diri, memperkuat jiwa dan mental mereka dengan Iman
dan takwa kepada Allah SWT. iman, tak pelak lagi, merupakan bekal utama
bagi para dai.
sumber kekuatan dai berasal dari Allah SWT. ia tidak mungkin
mengembangkan kekuatannya, kecuali dari kekuatan Allah. Penguasa atau
orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi tidak mungkin membantu
perjuangan dai tanpa dukungan dan pertolongan Allah SWT.
Bekal dai

ini dapat diupayakan melalui pemberdayaan ibadah.

Keharusaan tentang pemberdayaan ibadah ini dengan jelas dapat dibaca


dalam ayat-ayat pertama surah al-Muzammil. memperlihatkan lembaran
sejarah dakwah Nabi, dimulai dengan seruan agung untuk melaksanakan
tugas dakwah dan memberi gambaran tentang persiapan-persiapan rohani
yang harus dilakukan oleh Nabi. Persiapan-persiapan itu antara lain, berupa
keharusan bagi Nabi agar melakukan shalat malam (qiyam al-lail), membaca
Al-Quran, dzikir dan berserah diri kepada Allah SWT.
Dalam surah al-Isra ayat 79, terdapat pula perintah agar Nabi
melaksanakan shlat tahajud. Shalat tahajud adalah shalat malam yang
dilakukan setelah bangun tidur. Shalat ini merupakan jalan yang mengantar
Nabi menggapai kedudukan yang terpuji (maqamam mahmuda). Apabila

70

untuk menggapai kedudukan terpuji itu Nabi SAW diperintahkan agar


melakukan shalat tahajud. perintah itu tentu lebih penting lagi bagi yang lain
untuk memperoleh kedudukan yang terhormat yang diijinkan dan disediakan
Tuhan untuk mereka. Inilah jalan Tuhan dan bekal perjalanan menuju Tuhan.
Ibadah malam hari seperti telah dikemukakan di atas tampak begitu
penting. hal ini, karena ibadah malam hari dinilai amat kondusif bagi
pembinaan rohani manusia. Malam hari yang hening dan sunyi, terbebas dari
hiruk pikuk kehidupan dunia, merupakan waktu yang tepat untuk ibadah dan
munajah kepada tuhan. Pada malam yang sepi dimana manusia kebanyakan
sedang tertidur pulas, seorang muslim, terutama para dai dapat dengan
leluasa berdialog dan bermunajah secara langsung dengan Allah SWT, baik
melalui shalat maupun membaca Al-Qur,an. Dengan cara ini, mereka
diharapkan dapat menagkap pancaran cahaya dan sinar petunjuk-Nya
sehingga mereka memperoleh kekuatan dan bekal baru yang diperlukan
dalam melaksanakan amanat dan perjuangan dakwah.
Ibadah lain yang perlu dilakukan sebagai bekal bagi dai ialah dzikir
dan doa. Termasuk dalam pengertian dzikir dan doa ialah tasbih, tahmid dan
takbir. memahami dzikir dan tasbih sebagai usaha manusia untuk
menghubungkan diri dengan Allah SWT. Usaha ini, dapat membuahkan
ketenangan jiwa dan kepuasan rohani. Dengan kepuasan ini seorang tidak
akan merasa lelah dan kepayahan meskipun tugas dan perjuangan begitu
berat. Oleh karena itu, bekal ini juga penting bagi para dai dan para aktifis
pergerakan Islam.

71

Keterangan mengenai dzikir dan tasbih sebagai bekal dai dapat


dibaca, antara lain, dalam surah al-Insan: 23-26, ayat tersebut memuat empat
pokok kebenaran yang merupakan tuntutan Tuhan kepada Nabi Muhammad
SAW dan para dai sesudahnya. Empat hal tersebut pada dasarnya adalah
bekal energi yang diperlukan oleh Nabi SAW dan para dai sepanjang waktu.
Keempat pokok kebenaran tersebut dijelaskan sebagi berikut:
Pertama, bahwa Nabi Muhammad SAW perlu menyadari bahwa Allah
SWT yang kepadanya menurunkan Al-Quran dan memberikan tugas dan
kewajiban berdakwah, tidak akan membiarkan dirinya tanpa dukungan dan
pertolongan. Untuk itu, beliau harus optimis dan tidak boleh sedikitpun ragu
dan putus asa dalam soal ini.
Kedua, bahwa dalam melaksanakan tugas, Nabi menghadapi
tantangan yang sungguh amat berat baik berupa ejekan, hujatan, maupun
fitnah. Untuk semua itu, Nabi diminta sabar dan menahan diri dengan tetap
memegang teguh kebenaran Al-Quran yang diwahyukan kepadanya.
Ketiga, bahwa Nabi sama sekali tidak dibenarkan tunduk dan patuh
kepada kemauan orang-orang kafir dan orang-orang yang banyak berbuat
dosa. Mereka selalu berusaha membujuk hati Nabi agar bersedia berdamai
dengan mereka. Misalnya, mereka menawarkan kompromi dengan meminta
agar Nabi tidak menyerang kepercayaan-kepercayaan mereka dan kalau perlu
harus mengakui kebenaran agama mereka. Mereka pun akan mengakui
kebenaran ajaran Nabi.

72

Keempat, bahwa Nabi harus memperbanyak ibadah dan mendekatkan


diri kepada Allah SWT, dengan banyak melakukan dzikir, tasbih dan sujud
kepada Allah SWT. Ini adalah bekal, dan merupakan suatu proses untuk
memperbanyak bekal itu sendiri. Semua ibadah ini, dzikir, tasbih dan doa
harus dilakukan dalam waktu lama, terutama di malam hari. Hal ini
disebabkan karena perjalanan dakwah adalah perjalanan yang panjang dan
tugas dakwah tugas yang amat berat. Perjalanan dan tugas demikian, tentu
memerlukan bekal yang banyak dan energi yang besar pula.

2.

Menjaga penampilan dan kebersihan


Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu

libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas diremukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab
ditemukannya sebanyak delapan kali dan sarabil ditemukannya sebanyak tiga
kali dalam dua ayat.
Libas pada mulanya berarti penutup apapun yang ditutup, fungsi
pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi perlu dicatat bahwa ini tidak harus
menutup aurat, karena cincin yang menutupi sebagian jari juga disebut libas.
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir
maupun batin.
Sedangkan tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir, kata
ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu
pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
pertamanya.

73

Sarabil, kamus-kamus bahasa mengartikan kata ini sebagai pakaian.


Apapun jenis bahannya hanya dua ayat yang menggunakan kata tersebut. Satu
diantaranya diartikan sebagai pakaian yang berfungsi menankal sengatan
panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan. (QS. An-Nahl:16:81) satu lagi
dalam surah (QS.Ibrahim:14:50) tentang siksa yang dialami oleh oang yang
berdosa kelak dihari kemudian dalam artian tidak menutup auratnya.
Bahwasanya sama-sama kita ketahui bahwa kebersihan itu sebagian
dari pada iman, 0leh karena itu kita dianjurkan untuk selalu menjaga
kebersihan baik lahiriah dari segi cara berpakaian, karna pada dasarnya Islam
tidak menganjurkan berpakaian

mahal ataupun bermerek. Akan tetapi

pakaian yang bersih dan menutup auratnya. Adapun dari segi bathiniah yaitu
menyucikan hati, jiwa, dan budi pekerti.
Bagi

seorang

pemimpin

sangat

dianjurkan

untuk

menjaga

penampilannya, karena ini juga merupakan suatu cara untuk memberikan


contoh yang patut diteladani karena ini merupakan penilaian dari segi
penampilan seorang dai. di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis
bagi pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian
meliternya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kemal Ataturk di
turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis tutup kepala bagi pria), dan
memerintahkan untuk menggntinya dengan topi ala barat, karena tabusy
dianggapnya mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan lambang
keterbelakangan.

74

3. Akhlak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai
budi pekerti atau kelakuan. kata akhlak walaupun teambil dari kata bahasa
Arab (yang biasa diartikan tabiat, perangai kebiasaan bahkan agama), namun
kata seperti itu tidak dapat ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan
hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam
surah al-Qalam ayat 4.
Bertitik tolak dari pengetian bahasa di atas, yakni akhlak sebagai
kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak adalah kelakuan
manusia sangat beragam, keragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai
sudut, antara lain kelakuan yaang berkaitan dengan baik dan buruk, serta
objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditunjukkan.
Adapun yang tertulis dalam surah al-Muddatsir ayat keenam ini Nabi
Muhammad dinjurkan untuk selalu rendah hati, tidak sombong dalam
menjalankan dakwahnya, tidak mengharap imbalan dalam berbuat kebaikan
dan jangan menganggap usahamu (dakwah) sebagai suatu anugrah yang
dimiliki oleh manusia melainkan berupa gaanjaran dari Allah SWT untuk
dipertanggung jawabkan dalam menjalankan dakwahnya. Akhlak dalam ajaran
agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi oleh sopansantun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku
lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya, misalnya yang berkaitan dengan sikap
bathin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencangkup berbagai aspek,
dimulai dari akhlak terhadap Allah SWT, hingga kepada sesama makhluk

75

(manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda yang tak bernyawa


sekalipun). Berikut pemaparan sekilas beberapa akhlak islamiyah:
a. Akhlak terhadap Allah SWT.
Titik tolak akhlak tehadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran
bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT, Dia memiliki sifat-sifat terpuji
demikian agung sifat itu jangankan manusia malaikat pun tidak bisa
menjangkau hakikat-Nya.
b. Akhlak terhadap sesama manusia.
Banyaak sekali rincian yang di kemukakan Al-Quran bekaitan denan
perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk dalam hal ini bukan hanya
dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh,
menyakiti badan atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan
juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib
seseorang dibelakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun
sambil memberi materi kepada yang disakitinya itu.
c. Akhlak terhadap lingkungan
Yang dimaksud lingkunan disini adalah segala sesuatu yang berada
disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda yang
tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap
lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan
menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia
terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan,
serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

76

Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan


mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar,
karena hal ini bearti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk
mencaapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk
mampuh menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap
semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia
bertagung jawab, sehinga ia tidak melakukan pengrusakan, bahkan dengan
kata lain, setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai
perusakan pada diri manusia sendiri
Membentuk bekal spritualnya dalam artian keimanannya, karena
kuat atau lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari prilaku
akhlaknya. Dengan iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan
mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan akhlak yang jahat dan buruk,
mudah terkilir pada perbuatan keji yang merugikan dirinya sendiri dan
orang lain.

4. Sabar
Adapun bekal yang terakhir yang harus dimiliki oleh dai yaitu sabar
dalam menjalankan syiar agama Islam. Sudah pasti kesabaran ini harus
dimiliki oleh dai karena mengemban tugas menjadi dai bukanlah tugas
yang ringan melainkan amanah yang harus dapat dipertanggung jawabkan
baik untuk dirinya sendiri dan pertanggung jawaban kepada Allah SWT.
Pengertian sabar disini bukanlah arti dari segi kelemahan atau
menerima apa adanya, akan tetapi adalah perjuangan yang menggambarkan

77

kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan keinginan


nafsunya. Kesabaran disini harus disertai niat karena Allah SWT, karena
Nabi pun menjalankan kesabaran ini benar-benar semata-mata karena Allah
bukan karena diiming-imingi oleh pencapaian target.
Dengan demikian jika hati sudah mantap dengan langkah yang
diambil untuk menjalankan syiar agama Islam sudah barang tentu ujian dan
cobaan akan datang silih berganti akan tetapi mereka- mereka ini akn
memperoleh

kemenangan

apabila

disertai

dengan

sabar,

karena

sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.5


Kelima bekal ini hanyalah sebagian kecil yang terulis dalam surah alMuddatsir 1-7, masih banyak lagi ayat- ayat yang menerangkan tentang dai
dalam menjalankan dakwahnya.
Seiring berjalannya waktu perubahan sosial budaya dalam masyarakat
kita kian terasa, semakin nyata pula gejala yang menuntut agar peran agama
lebih ditingkatkan dan menuntut kehadiran dai yang dapat diandalkan. Ini
terjadi bukan saja karena kepergian satu persatu dai besar sementara
penggantinya belum muncul. Tetapi juga dari kualifikasi dai yang
diperlukan tidak sederhana yang sudah dihasilkan. Inilah agaknya yang
memperhatikan banyak orang, dengan timbulnya apa yang di sebut dengan
krisis ulama atau dai. Hemat saya, persoalannya lebih banyak menyangkut
kualitas, intensitas dan efektivitas lembaga-lembaga pendidikan yang kita
miliki.
5

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran:Tafsir MauduI atas berbagai persolan umat


,(Penerbit Mizan, 1996)

78

Dai yang diperlukan pada masa kini dan masa yang akan datang tentu
tidak sama dengan dai yang sudah dilahirkan pada masa lalu, baik
kualifikasi maupun kapabilitasnya. Karena itu, dengan tidak bermaksud
mengingkari prestasi pesantren yang telah berhasil mencetak kiayi dan dai
pada masa lalu, tentu saja untuk saat ini tidak dapat bertahan terus dengan
sistem pendidikan dan pengajarannyaseperti puluhan tahun yang lalu. Ini
dimaksudkan jika pesantren tersebut tidak bermaksud mencetak kiayi atau
dai yang terlambat lahir atau dengan kata lain, jika pesantren tetap ingin
mempertahankan dedikasi kiayi dan pengaruhnya yang mengakar.
Seorang dai dituntut untuk dapat memahami perkembangan
masyarakatnya. Dalam dunia modern sekarang ini, seorang dai tidak dapat
hanya sekedar mendalami ilmu-ilmu fiqih, tafsir, atau hadits saja. Apalagi
jika pengetahuannya itu hanya bersifat hafalan yang statis. Untuk menjawab
tantangan dan problem masa kini dan masa yang akan datang, diperlukan
penguasaan ilmu-ilmu tentang Islam yang lengkap dan dinamis. Di samping
perangkat ilmu dan wawasan yang dapat dipakai untuk memahami
perkembangan masyarakat. Dengan demikian dai selalu dapat memberikan
bimbingan dan pengarahan yang apat diterima, tidak tertimggal atau terjerat
karena pemahaman agama yang statis dan wawasan yang sempit.
Bahan-bahan literatur lama berupa kitab-kitab karya para ulama
terdahulu tetap mempunyai karya ilmiah yang tinggi. Sebagai calon dai
yang bersangkutan harus mempelajarinya dengan sikap kritis agar dapat
mengetahui bagaimana dan mengapa pengarang tersebut berpendapat

79

demikian. Sebagai calon dai tidak wajar jika terpaku pada satu Imam atau
madzhab saja. Ia harus mempunyai wawasan yang menyelami khazanah
intelektual yang diwarisi oleh para dai terdahuluditambah dengan
pemikiran dan pengetahuan yang tidak kalah penting.
Akhirnya untuk tidak melambung dalam utopia, perlu disadari bahwa
bagaimanapun profil dai yang kita idealakan ia tetap manusia biasa dan
tidak mungkin dapat sempurna, ulama hanya pewaris Nabi yang tidak dapat
memerankan kenabian dalam seluruh aspek yang ditemukan di atas secara
sempurna.

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Dai
Menurut pandangan Muhammad Qurish Shihab, bahwasanya sebagai
dai dalam mensyairkan ajaran agama islam haruslah dibentengi dengan
kepribadian dai itu sendiri, dengan demikian sebagai seorang pemimpin
harus mencontoh para nabi-nabi terdahulu dalam menjalankan dakwahnya.
Karena sesungguhnya dalam menjalankan dakwah bukanlah hal yang
mudah, akan tetapi banyak

rintangan dan halangan yang datang silih

berganti, ini semua semata-mata untuk menegakkan ajaran agama islam.


Sebagai dai yang dianggap sebagai panutan umatnya, haruslah dapat
menjaga tingkah laku, ucapan, serta perbuatan karena ini semua akan
menjadi sorotan umatnya, walau dari juga manusia biasa yang dapat
melakukan kesalahan akan tetapi ini semua dapat diatasi bila dai tersebut
selalu menjaga pola kehidupannya baik pribadinya maupun dalam
masyarakat.
2. Bekal Dai
Sebagai pewaris nabi dalam menjalankan dakwah dan mensyiarkan
ajaran agama islam, haruslah mempunyai bekal yang harus dimiliki agar
dai tersebut dapat menjalankan dakwahnya. Dengan berbagai bekal yang
dimilikinya baik dalam segi spiritual, moral dan intelektual.

80

81

Dari segi spiritual inilah tujuannya hablumminallah dimana


terjadinya suatu hubungan yang erat antara keduanya dalam artian
beribadah kepada Allah, ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat,
karena pada dasarnya sumber kekuatan dai adalah berasal dari Allah
SWT, sehingga sebagai dai hendaknya mempersiapkan jiwa dan mental
mereka dengan iman dan takwa kepada Allah SWT karena ini merupakan
bekal utama bagi para dai.
Dari segi moral, seseorang dai dituntut untuk menerapkan akhlak
yang baik, baik dari segi perkataan, perbuatan maupun tingkah lakunya
sehingga dengan demikian dapat menjalankan visi misi Rasulullah SAW
untuk menyempurnakan Akhlakul Karimah dan ini semua berkaitan karena
kuat lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari perilaku
akhlaknya. Akhlak islamiyah dapat terbagi menjadi 3 yaitu akhlak
terhadap Allah SWT, Akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak
terhadap lingkungan.
Dan yang terakhir dari segi intelektual, sebagai dai haruslah
membekali dirinya baik dari ilmu pengetahuan agama maupun ilmu
pengetahuan umum, karena dengan membekali dirinya dengan ilmu yang
dimilikinya maka hidup ini akan semakin terarah. Kehidupan dari zaman
ke zaman mengalami perubahan dari segi ilmu pengetahuan, oleh karena
itu hendaknya sebagai dai dapat mengikuti perkembangan yang terjadi
khususnya dalam ilmu pengetahun.

82

B. SARAN-SARAN.
Dengan berakhirnya penulisan skripsi ini, maka penulis menyarankan kepada:
1. Lembaga-lembaga dakwah maupun penerbit-penerbit Islam untuk
memberikan perhatian yang lebih, agar buku-buku yang disajikanadalah
buku-buku yang sangat bermanfaat dan diperlikan oleh pembacadalam
mensyiarkan ajaran Islam.
2. Para praktisi khususnya dai, hendaknya pandai memilih topik sesuai yang
dibutuhkan para madu (pembaca).
3. Masyarakat dan pembaca buku Islami, khususnya para intelektual mudahmudahan tidak hanya membaca tapi mengamalkan apa yang telah dibaca.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Moh. Ali. Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2004.


Anshari, Hafi. M. Pengawasan dan pengamatan Dakwah, surabaya: Al-Ikhlas,
2001
Arnold, W Thomas. Sejarah Dakwah Islam, Terjemah Ahli bahasa Nawawi
rambe, jakarta: Widjaja
Departemen Agama RI, AL-Quran dan Terjemahnya, Bandung: 2004
Mubarak, Ahmad. Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
Hazbullah, Muzaidi. 9 Pilar Keberhasilan Dai di medan Dakwah, Solo: Pustaka
Arafah, 2001
Goldziher, Ignaz. Madzahib Al-Tafsir AL-Islami, beirut, daar Iqra 1983
Hafidhudin, Didin. Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani press, 1998.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Singapura Pustaka nasional: 1990
Haryono, R. Yudhi M, Bahasa politik Al-Quran; Mencurigai Makana
Tersembunyi di Balik teks, jakarta: gugus press, 2002
Hayy Al-Farmawi, abdul. Metode Tafsir Maudhui dan cara penerapannya,
terjemah ahli bahasa drs. Rashihan Anwar M. Ag, Bandung pustaka
Setia.
Ilyas Ismail, Ahmad. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,Jakarta:Penamadani,
2006
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Quran
Periode Klasik Hingga Kontemporer, Nun pustaka , Yogyakarta: 2003
Prayitno Irwan. Fiqhud Dakwah, Seri pendidikan Islami, Bekasi: Pustaka
Tarbiyatuna, 2002
Shihab, Quraish, membumikan Al-Quran, Mizan: 1992 cet. Ke-2
_____________, Mukzijat Al-Quran, Bandung: Mizan, 2007 cet ke-2

83

84

____________, Wawasan AL-Quran Tafsir MaudhuI Atas Berbagai Persoalan


Umat, Bandumg: Mizan 2001 cet ke-7
Rahardjo, Dawam M. Intelektual Intelengensia dan prilaku politik bangsa Risalah
Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan ,1999
Ramli, M, Medan dan bahan Dakwah, Jakarta: Multi Yasa & Co,1998
Rosyad Shaleh, Abdul, 1993, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan bintang,
1993
Shomad, Idris, Mengenal Ayat-ayat Dakwah, Diktat mata kuliah Tafsir, Jakarta:
2005
Syubasyi, Ahmad, Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran ALKarim
Yunus, Muhammad. Tafsir Quran Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004
Zahra, Abduh, Dakwah Islamiyah, Terjemah Ahli bahasaAhmad Subandi dan
Ahmad Supeno, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
Zufren, Rahman, Terjemah Ahli bahasa, Jakarta: kalam mulia, 1999

Nomor
Lampiran
Perihal

: Istimewa
: 1 ( satu ) Berkas
: Permohonan Pengajuan Judul Skripsi

Kepada Yth
Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta
Di Tempat

Assalamualaikum Wr. Wb
Salam sejahtera teriring doa semoga bapak senantiasa dalam
lindungan serta magfirah Allah SWT. Amin.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Siti Masyitoh
Nim
: 104051001847
Fakultas
: Dakwah dan Komunikasi
Jurusan
: Komunikasi Penyiaran Islam
Bermaksud mengajukan proposal skripsi dengan judul :
BEKAL DAI DALAM TAFSIR AL-MISBAH KARYA
MUHAMMAD QURAISH SHIHAB DALAM SURAT ALMUDATSIR AYAT 1-7
Sebagai bahan pertimbangan, berikut ini saya lampirkan:
1. Outline Skripsi
2. Proposal Skripsi
3. Daftar Pustaka Sementara
Demikian Kiranya Permohonan ini saya sampaikan. Atas segala
perhatian Bapak saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Penasehat Akademik

Drs. Suhaimi, M.Si


(NIP: 150270810 )

Pemohon

Siti Masyitoh
(NIM: 104051001847)

Jakarta, 10 Oktober 2008


Nomor : Istimewa
Lampiran : 1 (Satu berkas)
Perihal : Perubahan Judul Skripsi
Kepada Yth:
Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Di
Tempat
Assalamuaalaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera sampaikan semoga Bapak/ Ibu senantiasa dalam
lindungan Allah SWT serta senantiasa suses menjalankan segala
aktifitas sehari-hari. Bahwa saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Siti Masitoh
NIM
: 104051001847
Fakultas : Dakwah dan Komunikasi
Jurusan : Komunikasi dan Penyiaran Islam
Bermaksud merubah judul skripsi dengan judul sebelumnya
KONSEP DAKWAH ISLAM DALAM SURAT AL-MUDDATSIR
AYAT 17 TAFSIR AL-MISBAH KARYA MUHAMMAD
QURAISH SHIHAB dirubah dengan judul BEKAL DAI DALAM
TAFSIR AL-MISBAH KARYA MUHAMMAD QURAISH
SHIHAB (ANALISIS AL-QURAN SURAT AL-MUDDATSIR 1
7).
Guna mendapatkan gelar sarjana (S1), dengan salah satu syarat
adalah menyelesaikan tugas akhir yaitu penulisan skripsi. sebagai
bahan pertimbangan, saya lampirkan :
1. Outline Skripsi
2. Proposal Skripsi
3. Daftar Pustaka Sementara
Demikian kiranya permohonan ini saya sampaikan atas segala
perhatian Bapak/ ibu saya ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Penasehat Akademis

Pemohon

Drs. Suhaimi, M.Si


NIP : 150270890

Siti Masitoh
104051001847

Anda mungkin juga menyukai