QURAISH SHIHAB
(analisis Al-Quran surat al-muddatsir ayat 1-7)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk memenuhi Syarat-syarat Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh:
SITI MASITOH
NIM. 104051001847
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk memenuhi Syarat-syarat Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh:
SITI MASITOH
NIM. 104051001847
Di bawah bimbingan
LEMBAR PERNYATAAN
Siti Masitoh
ABSTRAK
Bekal DaI dalam tafsir Al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab
(analisis Al-Quran surat al-muddatsir ayat 1 7)
Buku tafsir Al-Misbah adalah salah satu hal yang menarik bagi penulis,
karena ia merupakan buku yang dikarang oleh seorang mufassir terkenal yaitu: M.
Quraish Shihab. Dakwah yang dilakukannya sangat beragam mulia dari ceramah
mimbar yang monolog, diskusi interaktif dalam kajian dan seminar, hingga dalam
bentuk buku, sehingga beliau telah menerbikan puluhan judul buku dan salah
satunya yaitu buku Tafsir Al-Misbah, Pesan-kesan dan keserasian Al-Quran Juz
29. Penulis mengambil buku tafsir Al-Misbah ini karena menilai buku Tafsir ini
khususnya Tafsir al-Misbah Juz 29 yang menerangkan Surat Al-Muddatsir ayat 1
7 ini sangatlah membantu penulis dalam menulis skripsi ini sehingga menambah
pengetahuan dari berbagai persoalan yang telah menghimpit kita sekarang ini.
Bagaimanakah kualitas dan kapabilitas yang harus dimiliki dari dalam
Tafsir Al-Misbah ? Dan bagaimana relevansi bekal yang harus dimiliki Dai
terhadap keadaan zaman sekarnag ini ?.
Dalam Tafsir Al-Misbah ini kualitas dan kapabilitas memang harus
seimbang dimiliki oleh Dai dimana adanya bekal spiritual, moral, intelektual
serta hal-hal yang positif yang dapat membantu dalam membangun kepribadian
Dai itu sendiri. Sedang relevansi bekal dai dalam kehidupan sekarang ini
sangatlah relevan, karena Tafsir yang ditulis oleh M. Quraish Shihab ini
mencangkup dari segi keagamaan, pembaharuan dan ke Indonesian.
Penelitian ini menggunakan analisis Al-Quran khususnya surat AlMuddatsir ayat 1 7 dimana dengan pendekatan yaitu penafsiran yang
menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, berdasarkan aturanaturan ayat, hubungan ayat-ayatnya, hadits serta para pendapat para Mufassirin itu
sendiri. Hakekatnya study tafsir ini adalah menjelaskan maksud ayat-ayat AlQuran yang sebagian besar masalah dalam bentuk global. Adapun sarana
pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Quran dilengkapi dengan buku-buku yang
terikat dengan ayat yang akan ditafsirkannya.
Dengan penelitian ini dalam menganalisis Al-Quran surat Al-Muddatsir
ayat 1 7 ini dalam tafsir Al-Misbah, maka ini menjadi landasan penulisan teori
bekal dai apa saja yang harus dimiliki dai. Sebagai media penulisan dalam
membangun kepribadian dai sehingga sangatlah efektif dalam penyampaiannya
dan dapat diterapkan dalam kehidupan dai sehari-hari.
Bekal dai yang terdapat dalam surat Al-Muddatsir ayat 1 7
menerangkan bagaimana proses pembentukan kepribadian yang harus dimiliki
oleh dai dengan demikian ini semua akan memberikan kontribusi bagi dai dan
juga manfaat bagi kita semua, karena sebagai dai haruslah memberikan
suritauladan yang baik bagi diri sendiri dan juga madunya.
KATA PENGANTAR
lupa
Shalawat
serta
salam
kepada
Habibullah
Rasulullah
Muhammmad SAW serta para sahabatnya yang telah membawa kebaikan kepada
umatnya dari jalan kegelapan menuju jalan kebenaran.
Skripsi ini tidak akan selesai tanpa jasa dari berbagai pihak, maka penulis
ingin menganturkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Bpk. Dr. H. Arief Subhan, MA. Sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi.
2. Bpk. Drs. Jumroni, M.Si. Sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam.
3. Ibu Umi Musyarofah, MA. Sebagai Sekretaris Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam
4. Bpk. Dr. A. Ilyas Ismail, MA. Selaku Dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu selam proses
Skripsi ini.
5. Semua Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
memberikan Ilmu selama mengikut perkuliahan.
ii
6. Abi ( H. Muhasyar) dan Umi ( Hj. Mimi) yang selalu memberikan nasihat,
doa serta motivasi yang tiada henti dan mohon maaf apabila ananda
belum bisa memberikan yang terbaik buat Abi dan Umi, semoga Allah
SWT selalu melindungi kalian, Ananda sangat menyayangi kalian.
7. Kakak-Kakakku yang tersayang, Syarfunnajah, Syarif Muawan, Siti
Mutiah, Siti Novilah, Nurani, M. Yala, Nurul Hikmah, dan Siti
Fakhriyah. yang telah memberikan motivasi tiada henti agar ananda bisa
lulus kuliah dan bisa meraih cita-cita terimakasih atas dukungannya selam
ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan kalian.
8. Untuk sahabatku yang tercantik Emma Masrurah terimakasih atas
dukunganmu selama ini semoga persahabatan ini membawa kebaikan
untuk kita amin.
9. Dan untuk sehabatku di KPI C Pay, Edwin, Ray, Eriz, Ratih, Sukriah,
Ade, Lilis, Nia, Intan, dan Eti terimakasih atas dukungan kalian yang tiada
henti, semoga silaturahmi kita tetap terjalin.
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................. 7
D. Metodologi Penelitian ............................................ 8
E. Tinjauan Kepustakaan ........................................... 10
F. Sistematika Penulisan ............................................ 11
BAB II
BAB III
iv
BAB IV
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulam .......................................................... 80
B. Saran ...................................................................... 82
LAMPIRAN
83
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang diwahyukan Allah SWT dengan jalan-Nya.
Untuk itu Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya dalam menyampaikan
ajaran Islam senantiasa berlandaskan pada norma-norma yang jelas. Diantara
norma-norma yang jelas itu, telah ditegaskan dalam Al-Quran pada surat
fushshilat :33 berikut:
Artinya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:
"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?"
(Q.S. Fushshilat : 33)1
Ayat di atas menunjukkan bahwa Islam adalah agama dakwah, yang
menegaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan ajaran Nya kepada
seluruh umat manusia. sehingga Al-Quran pun secara Imperatif menegaskan
bahwa Allah SWT menegaskan bahwa Allah SWT memerintahkan setiap
muslim untuk menyeru umat manusia ke jalan-Nya, dengan cara yang
bijaksana, dengan nasehat yang baik dan argumentasi yang rasional. Hal ini
telah ditegaskan dalam Al-Quran pada surat an-Nahl:125 berikut:
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, (Bandung :Jumnatul Ali, 2004),
h. 481
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.( An-Nahl :
125 )2
Keberhasilan dakwah harus didukung oleh semua aspek, mulai dari
politik, ekonomi, hukum, agama dan budaya yang kesemuanya itu mendukung
proses berjalannya dakwah. Artinya dakwah itu harus bersifat muasyirah
ghoiru taqlidiyah (modern dan tidak kuno). Secara metode dakwah dilakukan
berdasarkan keasliannya yaitu Al-Quran dan hadits. Namun cara, sarana,
serta strategi yang digunakan harus seiring dengan perkembangan zaman,
artinya dakwah harus melihat situasi, kondisi, suasana, peristiwa, sikap,
keperluan yang kemudian dikaitkan dengan sasaran tetapi tetap dalam koridor
yang sesuai dengan ajaran agama.3
Sedangkan menurut Ahmad Mubarak, keberhasilan dakwah dimungkinkan
oleh beberapa hal:
1. Karena pesan dakwah yang disampaikan oleh seorang dai memang
relevan dengan kebutuhan masyarakat yang merupakan satu keniscayaan
yang tidak mungkin ditolak, sehingga mereka menerima pesan dakwah itu
dengan antusias.
Ibid, h. 282
Dr. Irwan Prayitno, Fiqhud Dakwah; Seri Pendidikan Islami, (Bekasi : Pustaka
Tarbiyatunna, 2002), Cet. Ke 1, h. 75
3
2. Karena faktor seorang dai yaitu dai tersebut memiliki daya tarik personal
yang menyebabkan masyarakat sudah dapat menerima pesan dakwahnya
meski kualitas dakwahnya boleh jadi sederhana saja.
3. Karena kondisi psikologi masyarakat yang sedang haus terhadap siraman
rohani dan mereka terlanjur memilki persepsi positif pada setiap dai
sehingga pesan dakwah sebenarnya kurang jelas ditafsirkan sendiri oleh
masyarakat dengan penafsiran yang jelas.
4.
Karena faktor kemasan yang menarik, masyarakat yang semula acuh tak
acuh terhadap agama juga dai, setelah melihat paket dakwah yang diberi
kemasan lain4, maka paket dakwah berhasil menjadi stimuli yang
menggelitik persepsi masyarakat dan akhirnya merekapun merespon
positif.
Mempelajari lingkungan dan tempat dakwah adalah perkara yang
113
Ahmad Mubarok, Pisikologi Dakwah, (Jakarta : Pustaka Pirdaus, 1999), Cet. Ke-1 h.
mereka, syubhat yang banyak menyebar dikalangan mereka serta madzhabmadzhab mereka.5
Untuk mensyiarkan ajaran Islam diperlukan para dai dan yang mampu
menjadi teladan bagi para madunya baik dalm kehidupan pribadi maupun
sosialnya. Di mana Mereka yang memiliki kecerdasan esensial dalam
kehidupan
bermasyarakat
yaitu
kecerdasan
emosional
dan
spritual.
Muzaldi Hazbulah, LC. 9 Pilar keberhasilan DaI di medan Dakwah, (Solo : Pustaka
Arafah, 2000) h. 106
6
Idris Somat, Diktat Mengenai Ayat- ayat dakwah
Al-Quran.
Sehingga ketika
Al-Quran
ditafsirkan dengan
sebagainnya. Hakekatnya adalah menjelaskan maksud ayat-ayat AlQuran yang sebagian bisa masih dalam bentuk global, adapun sarana
pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Quran itu meliputu berbagai Ilmu
yang berhubungan dengan hal itu dan juga dilengkapi dengan buku-buku
yang terkait dengan ayat yang akan ditafsirkannya.
2. Skiripsi
10
E. Tinjauan kepustakaan
Tinjauan kepustakaan (literatur) yang berkaitan dengan topik pembahasaan,
atau bahkan yang nemberikan inspirasi dan mendasari dilakukannya penulisan
skripsi ini salah satunya:
Skripsi atas nama syukriah, judul skripsi Analisis Isi pesan Dakwah M.
Quraish Shihab dalam buku menabur pesan ilahi. Fakultas Ilmu dakwah dan
Ilmu Komunikasi, jurusan Komunikasi Penyiaraan Islam, NIM:104051001847
tahun pembuatan 2008. Skripsi ini juga melakukan analisis buku dari Quraish
shihab dengna salah satu bukunya yang berjudul menabur pesan illahi.
Sebagai seorang penulis beliau sangatlah relevan baik dari segi keagamaan,
pembaharuan dan keIndonesiaan. dimana dalam buku beliau ditekankan pada
tiga poin pesan dakwah yang di ambil yaitu: dalam bidang ibadah, akidah dan
muamalah.
Ketiga poin pesan dakwah tersebut sangatlah penting dalam menjalankan
dakwah. Dimana berkaitan baik berhubungan dengan Allah SWT maupun
dengan manusia. Ini merupakan suatu gambaran bagi dai yang menjalankan
dakwah. Ketiga poin tersebut merupakan suatu pengetahuan yang lazimnya
mesti dipahami, dijalankan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga dakwah yang disampaikan bermanfaat untuk dirinya dan lingkungan.
Skripsi ini walaupun segi objek penelitiannya berbeda dimana ini
merupakan penelitian kualitatif tetapi penulis hanya mengambil dari segi
teorinya saja tentang analisi isi.
11
F. Sistematika Penulisan
BAB I.
Pendahuluan
Pada bab pertama ini penulis menyampaikan latar belakang
masalah penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan tinjauan
kepustakaan
BAB IV.
Analisis
Pada bab ini merupakan inti dari seluruh pembahasan, beberapa
uraian perspektif tafsir AL-Misbah tentang bekal dai dalam surat
al-Mudatsir ayat 1-7 terdiri dari : teks ayat dan terjemahanya,
asbabul nuzul serta analisis ayat yang mengutip tantang bekal dai
dalam tafsir AL-Misbah.
12
BAB V.
BAB II
RUANG LINGKUP TENTANG DAI
A. Pengertian Dai
Di dalam Al-Quran kataUlama secara eksplisit dinyatakan di dalam
dua ayat, pertama dalam surat As-Syuara ayat 197, dan kedua di dalam surat
surat Fathir ayat 28. Ayat pertama meskipun berkaitan dengan Bani Israel,
menunjukkan bahwa seseorang itu dikatakan ulama apabila memiliki keluasan
dan kedalaman ilmu-ilmu agama, tempat orang bertanya dan meminta fatwa.
Ayat kedua menunjukkan bahwa seseorang dikatakan ulama, apabila memiliki
khasysyah takut dan cinta yang tinggi kepada Allah SWT, senantiasa
memelihara hubungan dengan-Nya. Fatwa dan Ilmu yang disampaikan kepada
masyarakat, mencerminkan takwanya kepada Allah SWT. Bahwasanya katakata ulama, kiayi, dai dan lain sebagainya itu semua hanya sebutan saja
bukan sebagai nama, dimana dai adalah orang yang melakukan atau
melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan dan perbuatan secara individu,
kelompok, organisasi atau lembaga. dai sering disebut juga mubaligh (orang
yang menyampaikan ajaran Islam). Pada dasarnya semua pribadi muslim itu
berperan secara otomatis, sebagai mubaligh atau dai
dalam bahasa
13
14
M. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, ( Jakarta : kencana 2002 ), cet. Ke-1, hal.79
Abd al-Badi Saqar, op.cit., h. 6-7
3
Abd al-Badi saqar, op. cit., h. 10-13
2
15
Abdurrahman
An-Nahlawi,
dalam
buku
konsep
16
tujuan, prilaku dan pola pikir, kemudian ikhlas, sabar dan jujur. Juga
membekali dengan ilmu serta menguasai dengan teknis berdakwah dan
mengenal madu, di samping itu juga harus menguasai materi dakwah.4
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dakwah yang bermutu
ditandai oleh sifat tanggung jawab yang tercermin pada prilaku yang robbany,
ikhlas sabar, dan jujur, dapat mengambil keputusan yang berwibawa serta
mandiri dan propesional, memiliki keahlian tekhnis mengelolah dakwah,
mampu mengajak madu serta menguasai konsep. Dan juga disebutkan bahwa
dakwah yang bermutu adalah dai yang membuat keputusan secara
profesional, bertanggung jawab dan memberi arahan pada masyarakat
(madu). Sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Quran pada surat al-Imran
146-148 sebagai berikut:
Artinya:
17
yang
18
2.
(tidak lemah) Dakwah tidak menempuh jarak sepuluh atau dua
puluh kilo meter, jalan dakwah tidak dihiasi bunga dan kenikmatan, tetapi
jalan dakwah sarat dengan duri merintang
dari segi fisik, dengan fisik yang sehat dan kuat para dai itu
19
merasa amalnya kecil dan lemah dihadapan Allah yang maha kuasa dan
perkasa. Karenanya ia selalu tetap memohon ampunan kepadaNya, seperti
sang teladan para dai Rasulullah SAW tidak kurang dari 70 kali dalam
sehari beliau membaca istighfar, di samping senantiasa meningkatkan
amal-amal ibadahnya. Ketika beliau ditabya mengapa engkau masih
melakukan hal itu, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa sebelum
dan sesudahnya? Nabi SAW menjawab: kenapa aku tidak menjadi
hamba yang pandai bersyukur? Maksudnya : ampunan Allah SWT adalah
karunia dan anugrah dariNya, maka setiap anugrah itu harus disyukuri
dengan terus meningkatkan amal penghambaan kepadaNya.
Merealisasi hal-hal di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan,
sangat membutuhkan kerja keras dan keseriusan aktivitas juga memerlukan
kebersihan hati, niat dan motivasi. Beratnya realisasi itu bukan berarti tidak
ada upaya merealisasinya.5
Menurut pandangan Paradigma Dakwah Sayyid Quthub bahwasanya
kedudukan Akhlak dihadapan
merupakan salah satu prinsip yang amat penting dalam agama Islam, terlebih
lagi seorang dai, lebih lanjut lagi Sayyid Quthub menegaskan sebagai berikut:
Barang siapa memperhatikan agama Islam dan sejarah kehidupan Nabi
Muhammad SAW, ia akan mengetahui bahwa akhlak merupakan salah satu
ajaran dasar Islam yang terang benderang yang di atasnya dibangun prinsipprinsip penetapan hukum dan pendidikan moral Islam. Dakwah dalam agama
M. Idris Shomad, Mengenal ayat-ayat Dakwah, Diktat mata kuliah Tafsir, Jakarta: 2005
20
21
dimilikinya untuk orang lain dengan lapang dada dan penuh kesenangan.
Manusia dapat menikmati kesantunan beliau, kasih sayang, dan keluhuran
budi pekerti beliau. Setiap orang yang pernah berteman atau bergaul
dengan Nabi, ia pasti terkesan dan jatuh hati kepada beliau, ini tidak
terlepas dari keluhuran budi pekerti beliau dan kasih-sayangnya.7
Pentingnya kasih sayang ini, menurut pemikiran Sayyid Quthub,
dapat dilihat dari sudut kepentingan dai dan madu itu sendiri. Dari sudut
kepentingan dai dapat ditegaskan bahwa kasih sayang bukan hanya
diperlukan, tetapi merupakan kebutuhan bagi seorang dai. hal ini karena
dai pada dasarnya seorang pemimpin, pembimbing rohani, pengajar dan
pendidik (muallim wa murabbi). Dalam kedudukan dan kapasitasnya
sebagai semua itu, dai merupakan orang pertama yang harus memiiki sifat
kasih sayang dan mewujudkan kasih sayang itu dalam proses dakwah yang
harus dilakukan.
Dari sudut kepentingan madu, kasih sayang diperlakukan karena
watak dan jiwa manusia mengalami perkembangan. pada kenyataannya
jiwa manusia tidaklah sempurna. Namun, dalam waktu yang bersamaan,
jiwa itu menerima pertumbuhan dan perkembangan sehingga mencapi
tingkat kesempurnaan tertentu. Dalam suatu komunitas pastilah di situ
terdapat orang-orang yang memiliki kelemahan dan kekurangan. AlQuran sendiri sama sekali tidak menyangkal kenyataan ini.8
2. Integritas (Keutuhan Pribadi)
7
8
22
23
12
13
24
melalui perbuatan yang dapat dilihat oleh Allah, Rasulullah SAW dan
kaum muslimin.14
Bagi seorang dai tuntutan kerja keras ini makin tinggi. Hal ini
karena seorang dai pada dasarnya tidak tidak bekerja dan tidak hidup
untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain, (umat). Oleh
karena itu, ia harus mampuh mengatur waktunya secara efisien bagi
kepentingan dakwah dan harus menghindarkan diri dari perbuatan yang
tidak bermakna dan sia-sia.
C. Perjuangan Dai
Dakwah sebagai usaha membangun sistem Islam pada dasarnya
merupakan suatu proses perjuangan yang amat panjang. Dalam proses ini dai
tidak saja memerlukan berbagai bekal seperti telah dijelaskan, tetapi juga
membutuhkan komitmen perjuangan yang amat tinggi. Hal ini karena dakwah
pada dasarnya identik dengan perjuangan itu sendiri. Dalam kaitan ini, cukup
beralasan bila Sayyid Quthub memposisikan dai sebagai pejuang (mujahid).
Sebagai mujahid, dai tentu harus bekerja keras dan berjuang tanpa kenal lelah
sepanjang hayatnya.
Dalam pemikiran Sayyid Quthub, perjuangan dai dapat dilihat, antara
lain, dari tiga bentuk, pertama, dari kesaksian (komitmen) yang ia tunjukkan
kepada Islam. Kedua, dari pengorbanan dan kesanggupan menghadapi
berbagai ujian dan cobaan. Ketiga, perjuangan itu pada akhirnya harus
14
25
itu
ditunjukkan
dengan
perjuangan
atau
jihad
untuk
15
26
16
17
27
Ibid., h. 2723.
Ibid., Fi Zhilal, jilid VI, h. 3288.
20
Ibid
19
28
manusia. Mereka juga kaya dan kuat. Namun mereka melawan dan
memerangi agama dan Tuhan.21
Keenam, ujian dan godaan nafsu, ini merupakan ujian yang paling
besar dan paling berat, melebihi ujian-ujian yang lain. Godaan nafsu dapat
berwujud konsumerisme, kecintaan yang berlebihan pada tahta dan harta,
serta pola hidup yang berorientasi pada kesenangan dan kenikmatan.
Godaan nafsu dapat pula berubah kesulitan membangun sikap hidup
istiqamah di jalan iman ditambah lagi dengan hambatan baik dari diri
sendiri, orang lain, lingkungan, masyarakat, maupun dalam pemikiran dan
gagasan. Ujian ini sungguh berat, tidak banyak orang yang dapat bertahan
dengan ujian ini, kecuali sedikit orang yang mendapat perlindungan dari
Allah SWT.22
Inilah berbagi macam dan bentuk ujian yang biasa dihadapi oleh
para dai mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat, serta
ringannya ujian sangat bergantung kepada dai tersebut bisa dilihat dari
kualitas iman seseorang, karena makin tinggi kualitas iman seseorang,
makin berat pula ujiannya.
Pengemban amanah ini tidak bisa tidak, memerlukan latihan dan
pembekalan, baik berupa kesulitan hidup, kemampuan mengendalikan
hawa nafs, maupun kesabaran atas duka dan derita. Mereka harus tetap
yakin terhadap pahala dan pertolongan Allah, meskipun ujian dan cobaan
itu tidak kunjung berakhir, malahan kadang-kadang dalam waktu yang
21
22
Ibid
Ibid. h. 2721
29
cukup lama. Pada waktunya, sesuai dengan kebijaksanaan Tuhan, para dai
yang berjuang dijalan Allah akan memetik kemenangan dengan izin dan
pertolongan-Nya.
3. Kemenangan dai
Dalam Al-Quran terdapat sekian banyak ayat yang menjanjikan
kemenangan bagi orang-orang yang menolong Allah SWT. Keterangan
mengenai hal ini dapat dibaca, antara lain, dalam surah Muhammad:7,
Ghafir:51 dan surah al-Hajj: 40-41. dalam ayat-ayat tersebut kemenangan
yang dijanjikan Tuhan dikaitkan dengan perjuangan menolong Allah SWT
sehingga timbul pertanyaan bagaiman cara manusia menolong Allah
SWT? Menurut Sayyid Quthub, menolong Allah SWT bermakna
menolong agama-Nya.
Menolong agama Allah berarti menerima kebenaran agama itu dan
mewujudkan dalam kehidupan yang nyata. Untuk keperluan ini, ada dua
jalan yang harus dilakukan. Pertama, menolong Allah dengan menolong
dirinya sendiri. Kedua, menolong Allah dengan menolong orang lain
(umat) dengan mewujudkan sistem atau syariatnya.23
Proses yang pertama (menolong diri sendiri) harus dilakukan dengan
memperkuat iman, yaitu iman yang benar-benar bersih dari unsur-unsur
kemusrikan baik kemusrikan yang nyata (jali) maupun yang samar
(khafi)24.
23
24
30
mendapat
kemenangan
sebagaimana
dijanjikan.
Namun
kemenangan ini bukanlah hadiah gratis yang dapat dicapai begitu saja.
Untuk menggapainya diperlukan proses perjuangan yang agak panjang dan
melelahkan jalan kemenangan itu meliputi iman, jihad, ujian dan cobaan,
sabar dan tahan uji, serta orientasi menuju tuhan semata, lalu setelah itu
datang kemenangan dan kenikmatan.27
25
Ibid.
Ibid, Fi Zhillah, jilid IV, H. 2427.
27
Ibid., Fi Zhillah, jilid I, h. 219
26
BAB III
TINJAUAN ANALISIS TAFSIR AL-MISBAH
31
32
33
S-3 nya
dalam waktu 2 tahun, tepatnya pada tahun 1982 dengan disertainya yang
berjudul Nazhm al- Durar li al-Biaaiy Tahqiq wa Dirasah ia berhasil
meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Quran dengan Yudisium Summa
Cum Laude disertai dengan peringkat I (Mumtaz maa Martabat al-Syaraf
al-ula ).3 Dengan prestasinya itu ia tercatat sebagai orang yang pertama
dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.
Pada tahun 1984, ia kembali ke Indonesia kemudian ia mendapat
tugas mengajar di Fakultas Ushuluddian dan Pasca Sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selain itu ia juga mendapat amanah sebagai Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat pada tahun 1984, Anggota Lajnah
Pentasih Al-Quran Departemen Agama pada tahun 1989 dan Ketua
Lembaga Pengembangan. Beliau juga terlibat dalam beberapa organisasi
professional, antara lain Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syariah,
Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan
kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cenekiawan Muslim
Indonesia (ICMI). Di dalam kesibukannya ia aktif dalam kegiatan ilmiah
di dalam maupun di luar negeri, dan aktif dalam tulis menulis di berbagai
surat kabar seperti Pelita, majalah Ulumul Quran, dan Mimbar Ulama.
Ibid.
34
Sedang
tawil
dari
segi
bahasa
bermakna
35
secara ilmiah maupun praksis. Atau memalingkan makna haqiqi pada makna
majazi sebagaimana diteorisasi oleh Ibnu Rusyd.
Dilihat dari sumber penafsirannya, para peneliti tafsir acap kali
membedakan dua model tafsir: tafsir bi al-masur yang juga dikenal dengan
tafsir riwayah atau manqul, apabila sumber penafsirannya adalah riwayatriwayat. Dan tafsir bi ar- ray yang juga dikenal dengan tafsir maqul atau
tafsir dirayah, jika sumber yang diambil adalah ijtihad. Sebagai turunan dari
kedua model tafsir itu, Hay Farmawi meringkas berbagai metode tafsir
menjadi empat macam: tafsir tahlili, tafsir ijmali, tafsir muqarin, dan tafsir
tematik (maudhui).
Dikatakan tafsir tahlili apabila ayat-ayat ditafsirkan satu persatu menurut
urutannya sebagai mushaf. Atau, menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan
cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap deluruh maksudnya, dimulai
dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan
antarpemisah sampai keterkaitan riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi,
Sahabat, tabiin dan prosedurnya dengan cara mengikuti urutan mushaf.
Menurut Farmawi, para mufassir berbeda-beda dalam mengoperasionalkan
metode ini. Karena itu, lahirlah metode tafsir bi al-masur, tafsir bi ar-rayi,
tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir falsafi, tafsir ilmi dan tafsir adabi ijtimai. Tafsir
ijmali adalah tafsir yang memaknai ayat-yat Al-Quran hanya secara global,
seperti tafsir jalalain. Tafsir muqarin adalah tafsir yang mencoba
membandingkan antara satu tafsir dengan tafsir yang lain, baik dari segi objek
bahasannya maupun dari segi metodenya. Sedang tafsir tematik (maudhui)
36
37
38
mengandalkan
nalar
bayani
dan
memiliki
kecenderungan
ideologis.
Sedangkan tafsir di era modern tidak lagi bertumpuh pada verbal- tekstual,
tetapi telah memanfaatkan metode-metode kontemporer. Kebenaran tafsir era
ini diukur melalui apakah sebuah produk tafsir sesuai dengan teori
pengetahuan atau tidak. Dan apakah produk tafsir mampuh menjawab
persoalan-persoalan sosial keagamaan yang melanda kehidupan masyarakat
atau tidak.
b.
c.
d.
BAB IV
KONSEP TAFSIR AL-MISBAH TENTANG DAI
Artinya: Wahai orang yang berselubung (1) Bangunlah, lalu peringatkanlah!
(2) Dan Tuhan engkau hendaklah engkau agungkan (3) Dan pakaian
engkau, hendaklah bersihkan (4) Dan perbuatan dosa hendaklah
engkau jauhi (5) Dan janganlah engkau memberi karena ingin
balasan lebih banyak(6) Dan hanya kepada Tuhanmu saja maka
bersabarlah (7).
2. Asbab Al-Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda: ketika aku seledai uzlah, selama sebulan di gua Hira aku turun
kelembah. Setelah sampai ketengah lembah ada yang memanggilku, tetapi
aku tidak melihat seorangpun disana. Aku mengadahkan kepalaku kelangit,
dan tiba-tiba aku melihat malaikat yang pernah mendatangiku digua hira, aku
cepat-cepat pulang dan berkata (kepada orang rumah) selimutilahselimutilah aku maka turunlah ayat ini surat Al-Mudatsir sebagai perintah
untuk menyingsingkan selimutnya dan berdakwah.
39
40
41
SAW tidak meneriam wahyu, sehingga kalau surah l-Muddatsir ini akan
dinamakan juga surah yang pertama yang turun, maka yang dimaksud surah
pertama setelah selang waktu tersebut, bukan yang pertama scara
keseluruhan.
Antara al-Muddatsir dan al-Muzammil tidak dapat dipastikan yang
mana yang terdahulu dan yang mana yang kemudian. Kisah turunnya sangat
mirip, yakni seperti yang diceritakan Jabir di atas. Ayat-ayat awalnya pun
berbicara menyangkut hal yang sama. Yaitu pembinaan terhadap diri
Rasulullah SAW, dalam rangka menghadapi tugas-tugas penyebaran agama.1
atau dengan
akhlak yang
mulia bila kalimat orang yang berselimut dikaitkan lebih jauh dengan sebab
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta :
Lentra Hati , 2002)
42
turunnya ayat, maka arti yang ditunjuk oleh peristiwa tersebut adalah orang yang
diselimuti. Pengertian ini didukung oleh suatu bacaan yang dinisbahkan kepada
Ikrimah, yaitu: (
43
melihat tongkatnya berubah menjadi ular (QS. 27:10). Hal-hal semacam ini untuk
menggambarkan bahwa para Nabi, walaupun mempunyai keistimewaankeistimewaan dari segi spiritual, namun mereka tidak luput dari naluri
kemanusian, seperti rasa takut tersebut. Dan memang tidak mungkin bagi seorang
manusia untuk tidak merasa gentar atau takut ketika menghadap untuk pertama
kalinya hal-hal semacam itu.2
)2 (
Bangkitlah, lau berilah peringatan
Kata ( )qum terambil dari kata ( )qawama yang mempunyai banyak
bentuk. Secara umum, kata-kata yang dibentuk dari akar kata tersebut diartikan
sebagai melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya. Karena
itu, perintah di atas menuntut kebangkitan yang sempurna , penuh semangat dan
percaya diri, sehingga yang diseru dalam hal ini Nabi Muhammad SAWharus
membukabselimut, menyingsingkan lengan baju untuk berjuang menghadapi
kaum musrikin.
Kata ( )andzir berasal dari kata ( )nadzara yang mempunyai
banyak arti, antara lain, sedikit, awal sesuatu dan janji untuk melaksanakan
sesuatu bila tepenuhi syaratnya. Pada ayat di atas, kata ini biasa ditejemahkan
dengan peringatkanlah. Peringatan didefinisan sebagai penyampaian yang
mengandung unsur menakut-nakuti.
Bila diperhatikan arti asal kosa kata tersebut, maka peringatan yang
disampaikan itu merupakan sebagian kecil serta pendahuluan dari satu hal yang
besar dan berkepanjangan dan apa yang diperingatkan itu pasti akan terjadi selama
syaratnya telah terpenuhi. Syarat tersebut adalah pengabaian kandungan
peringatan tersebut.
Disini timbul pertanyaan, siapakah yang diperingatkan dan apa
kandungan peringatan tersebut? Pertanyaan ini tidak tersurat jawabannya dalam
2
M. Quraish Shihab, Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu
(Bandung: Pustaka Hidayah Cet. ke 3 1999) h. 219
44
Ibid h.221
45
Artinya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.
Dan ayat 94 Surah Al-Hijr
Artinya: Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang
musyrik.
Adapun kandungan peringatan, maka berdasarkan petunjuk ayat-ayat
yang menggunakan redaksi yang sama dengan redaksi ayat ini, dapat kita
katakana bahwa peringatan tersebut menyangkut siksa di hari kemudian dalam
Surah Ghafir Ayat 18 dinyatakan:
Artinya: Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu)
ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan
kesedihan.
Demikian pula dengan surah ibrahim ayat 44:
Artinya: Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada
waktu itu) datang azab kepada mereka.
Apa yang dikemukakan di atas tentang kandungan peringatan ini lebih di
perkuat lagi dengan hadits yang menceritakan kandungan perintah Nabi SAW.
46
Ketika turunya firman Allah SWT yang memerintahkan beliau untuk memberi
peringatan kepada kerabat-kerabatnya yang dekat.
Dalam redaksi ayat itu juga tidak disebutkan kandungan peringatan,
namun didalam hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabriy diinformasikan bahwa
ketika itu beliau menyampaikan, Seandainya kuberikan kepada kalian bahwa
dibelakang bukit (Shafa) ini telah terkumpul barisan berkuda untuk menyerang
kalian, apakah kalian mempercayaiku ? mereka menjawab, kami tidak pernah
mengenal kebohongan dari engkau Rasul bersabda: ketahuilah bahwa
sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian tentang siksa yang
akan datang dan amat pedih.
Meyakini bahwa kandungan peringatan tersebut adalah siksa tuhan
menurut hemat penulis, lebih tepat dari pada menjadikan kandungan ayat ketiga
(Dan tuhanmu, Agungkanlah !) sebagai peringatan yang ditugaskan kepada
Nabi untuk menyampaikannya. Sebab, kaidah kebahasaan tidak mendukungnya,
walaupun terdapat suatu ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan kepada NabiNabi untuk memberi keringatan tentang keesaan tuhan (QS. 15:2).
(3)
Dan Tuhanmu, maka agungkanlah
Karena memberi peringatan dapat mengakibatkan kebencian dan
gangguan dari yang diperingati, maka ayat di atas melanjutkan bahwa dan
bersamaan itu hanya tuhan pemelihara dan pendidikmu saja, apapun yang terjadi
maka agungkanlah!
47
Ayat ketiga surah ini sampai dengan ayat ketujuh yang turun sebagai
suatu rangkaian dengan ayat pertama dan kedua, merupakan petunjuk Allah SWT
dalam rangka pembinaan diri Nabi SAW. Demi suksesnya tugas-tugasvkeNabian.
Petunjuk yang pertama adalah dan Tuhanmu, maka agungkanlah!
Kata ( )Tuhanmu pada ayat di atas disebutkan mendahului kata
( )agungkan. Itu disamping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat, bahkan yang
lebih penting untuk menggambarkan bahwa perintah takbir (mengagungkan)
hendaknya hanya diperuntukkan baginya semata-mata, tidak terhadap sesuatu pun
selain-Nya. Mengagungkan tuhan dapat berbentuk ucapan, perbuatan, atau sikap
bathin. Takbir dengan ucapan adalah mengucapkan Allahu akbar. Takbir dengan
sikap bathin adalah menyakini bahwa dia maha besar, kepada-Nya tunduk segala
makhluk dan kepada-Nya kembali keputusan segala sesuatu. Apapun dihadapanNya adalah kecil dan tidak berarti, sehingga bila terjadi benturan dengan
kehendak atau ketetapan-Nya, maka dia pasti yang menentukan. Sedang takbir
dengan perbuatan adalah pengejawantahan makna-makna yang dikandungtakbir
dengan sikap bathin tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Perintah bertakbir disini mencakup ketiga hal di atas, bahkan diamati
bahwa dalam Al-Quran tidak ditemukan perintah untuk mengucapkan takbir,
berbeda hanya dengan Hamdallah (ucapan al-hamdullah). Perintah bertakbir
hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran. Yaitu pada surah Al-Muddatsir ini
pada Surah Al-Isra ayat 111:
Artinya: Dan Katakanlah: Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak
dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan dia bukan pula
hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah dia dengan
pengagungan yang sebesar-besarnya.
Ketika seseorang mengucapkan takbir, maka pada hakikatnya ada dua hal
yang seharusnya ia capai, pertama, pernyataan keluar sikap bathinnya tersebut.
48
)4(
Dan Pakaianmu, maka bersihkanlah
Inilah petunjuk kedua yang diterima oleh Rasulullah SAW. Dalam
rangka melaksanakan tugas tabligh, setelah pada petunjuk pertama dalam ayat
ditekankan keharusan mengkhususkan pengagungan (takbir) hanya kepada Allah
SWT ayat di atas menyatakan Dan pakaianmu bagaimanapun keadaanmu maka
bersihkanlah.
49
untuk menyucikan hati, jiwa, usaha, budi pekerti dan segala macam
pelanggaran, serta mendidik keluarga agar tidak terjerumus di dalam dosa
atau tidak memilih untuk dijadikan istri kecuali wanita-wanita yang terhormat
serta bertakwa.
2.
3.
Memahami tsiyab/ pakaian dalam arti majaz dan thahir dalam arti hakiki,
sehingga ia bermakna: Bersihkanlah jiwa (hati) mu dari kotoran-kotoran.
4.
Memahami Tsiyab/ pakaian dalam arti hakiki dan thahir dalam arti majaz,
yakni perintah untuk menyucikan pakaian dalam arti memakainya secara
halal sesuai ketentuan-ketentuan agama (antara lain menutup aurat) setelah
memperolehnya dengan cara-cara yang halal pula. Atau dalam arti pakailah
pakaian pendek sehingga tidak menyentuh tanah yang mengakibatkan
kotornya pakaian tersebut. Adat kebiasaan orang arab ketika itu adalah
50
51
maka tentu lebih diperintahkan lagi untuk menghormati ayah, walaupun tidak
tersurat dalam redaksi perintah. Disisi lain, dipahami dari petunjuk ayat ini, bahwa
seseorang yang bertugas melayani masyarakat dan membimbingnya harus
memiliki penampilan yang menyenangkan, antara lain kebersihan pakaiannya.
Kalau dalam petunjuk pertama pada ayat ketiga ditekankan pembinaan
jiwa dan sikap mentaal, maka dalam ayat keempat ini yang ditekankan adalah
penampilan lahiriah demi menarik simpati mereka yang diberi peringatan dan
bimbingan.
Dalam ayat di atas, Rasullah SAW diperintahkan untuk membersihkan
pakaian-pakaian beliau. Telah diuraikan bahwa perintah ini berkaitan dnegan
konteks ayat, sehingga kita tidak perlu menduga bahwa sebelum ini Rasullah
SAW. Kurang memperhatikan kebersihannya karena sejarah membuktikan
kekeliruan dugaan tersebut. Di sisi lain, dapat pula dipahami perintah di atas sama
dengan perintah kepada orang-orang beriman. Dalam surah An-Nisa ayat 136,
Allah memerintahkan: Wahai orang-orang yang beriman: berimanlah kepada
Allah dan Rasulnya. Perintah tersebut tentu bukan berarti bahwa mereka
sebelumnya belum beriman, tetapi ia merupakan perintah untuk mempertahankan.
Memantapkan dan meningkatkan iman tersebut, perintah kepada Rasullah SAW
untuk membersihkan pakaian-pakaian beliau daapt dipahami demikian pula,
dalam arti, pertahankanlah, mantapkan dan tingkatkanlah kebiasaanmu selama
ini dalam kebersihan pakainmu.
Sejarah menjelaskan bahwa pakain yang paling disukai Rasullah SAW
dan yang paling sering dipakainya adalah pakain-pakain yang berwarna putih. Hal
52
ini tentunya bukan saja disebabkan karena warna tersebut menangkal panas yang
merupakan iklim umum daerah Mekkah dan sekitarnya, tetapi juga mencerminkan
kesenangan pemakainya terhadap kebersihan, karena sedikit saja noda pada
pakain yang putih itu akan segera tampak. Sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau
juga telah dikenal sebagai seorang yang sangat mendambakan kebersihan. Tidak
semua jenis makanan di makannya. Bawang misalnya, karena memiliki aroma
yang tidak menyenangkan dihindarinya. Bahkan dianjurkan kepada para
sahabatnya untuk tidak mengunjungi masjid bila baru saja memakan bawang.
Noda dan kotoran yang mengotori dinding (masjid) dibersihkannya guna mmeberi
contoh kepada umatnya. Pakain-pakainnya, walaupun tidak mewah bahkan sobek
dan dijahitnya sendiri, namun selalu rapih dan bersih ini merupakan sifat bawaan
sejak kecilnya, kemudian dikukuhkan oleh pendidikan Al-Quran demi suksesnya
tugas-tugas pembinaan masyarakat. Karena, seseorang yang bertugas memimpin
dan membimng harus mendapat simpati masyarakatnya sekaligus memberi contoh
kepada mereka. Dan hal inilah yang dimintakan perhatian oleh Al-Quran kepada
Rasullah SAW. Bahkan kepada setiap orang, khususnya yang mengemban tugastugas kemasyarakatan.
)5(
Dan dosa maka tinggalkanlah
Petunjuk yang ketiga adalah, dan dosa yakni menyembah berhala
betapapun hebat atau banyaknya
tinggalkanlah.
53
54
apa yang dimaksud dengan ar-rijs dan tentunya juga arti ar-rijs (karena keduanya
dinilai dalam arti yang sama. Sebagaimana dikemukakan di atas). Ayat tersebut
adalah:
Artinya: Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta. (QS. 22:30)
Kalau demikian, ayat yang berbentuk larangan di atas dan yang
menjelaskan arti kotoran, yakni berhala-berhala dapat diangkat untuk
menjelaskan ar-rijz pada ayat 5 Al-Muddatsir yang juga menggunakan bentuk
larangan sehingga ayat tersebut seharusnya diartikan sebagai petunjuk kepada
Rasullah SAW. Untuk menjauhi berhala-berhala atas dorongan kebencian
kepadanya. Mengartikan ar-rijz dengan berhala lebih diperkuat lagi setelah
menganalisis arti uhjur yaitu meninggalkan sesuatu atas dorongan kebencian.
Sebab, dosa apalagi siksa tidak perlu diperintahkan untuk dihindari dengan
dorongan kebencian. Siapa yang tidak membenci sika ? ia pasti ditinggalkan !
petunjuk ini, sebagaimana petunjuk yang lain, bukanlah berarti bahwa Rasullah
SAW. Pada suatu ketika pernah mendekati berhala-berhala. Riwayat-riwayat
bahkan menunjukkan sebaliknya, jangankan berhala, mengunjungi tempat-tempat
yang tidak wajarpun tidak pernah dilakukannya.
Dengan demikian, apa arti petunjuk tersebut untuk Nabi Muhammad
SAW menyangkut kebijaksanaan yang harus beliau tempuh dalam melaksanakan
dakwahnya ? penggarisan tersebut adalah: apa pun yang terjadi dan dengan dalih
apa pun tidak diperkenankan bagimu, Muhammad, untu menerima dan merestui
55
rasa
keagamaan
sehingga
mendorong
manusia
untuk
56
57
ar-rujz atau ar-rijz, dengan berhala lebih diperkuat lagi setelah menganalisis arti
uhjur, yaitu meninggalkan sesuatu atas dorongan kebencian.
Petunjuk ayat di atas sebagaimana petunjuk yang lalu , bukanlah berarti
bahwa Rasulullah SAW pada suatu ketika pernah mendekati berhala-berhala.
Riwayat-riwayat bahkan menunjukkan sbaliknya, jangankan behala, mengunjungi
tempat-tempat yang tidak wajar pun tidak pernah dilakukannya.
)6(
Dan janganlah memberi (untuk) memperoleh yang lebih banyak
Ayat di atas merupakan petunjuk keempat dalam rangkaian petunjuk
petunjuk Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Demi suksesya tugas-tugas
dakwah. sebagian ulama bependapat bahwa ayat keenam bukan lagi meupakan
suatu kerangkaian dari segi masa turunnya dengan ayat-ayat terdahulu, karena
adanya suatu riwayat yang menyatakan bahwa ayat yang kelima merupakan akhir
ayat dalam rangkaian wahyu ini. lebih jauh mereka berpendapat bahwa ayat
kenam ini turun setelah Rasulullah SAW melaksanakan perintah berdakwah.
penulis tidak cenderung mendukung pendapat tersebut, walaupun harus diakui
kesahihan sanad riwayat yang menegaskan bahwa rangkaian pertama wahyu almudatsir hanya sampai dengan ayat kelima.yang telah diriwayatkan oleh AlBukhari .dengan demikian penulis cenderung menjadikan ayat kenam dan ketujuh
ini merupakan suatu rangkaian dari segi masa turunnya dengan ayat-ayat
sebelumnya.
58
Kata ( )tamnun terambil dari kata manana yang dari segi asal
pengertiannya berarti memutus atau memotong. Sesuatu yang rapuh, tali yang
rapuh dinamai ( ) habl manin karena kerapuhannya menjadikan ia mudah
putus . pemberian yang banyak dinamai ( )minnah, karena ia mengandung arti
banyak sehingga seakan-akan ia tidak putus-putus. Makanan yang diturunkan
kepada bani Israil dinamai ( )al-mann karena ia turun dalam bentuk kepingan
terpotong-potong. sedangkan menyebut-nyebut pemberian dinamai ( )mann
karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima oleh pemberinya.
Beraneka ragam pendapat ulama tentang maksud ayat di atas. alQurthubi mengemukakan sebelas pendapat, yang setelah diteliti sebagian darinya
dapat dikelompokkan dengan sebagian yang lain, sehingga dapat disimpulkan
bahwa paling tidak ada empat pendapat ulama tafsir tentang ayat keenam ini
yaitu:
1.
)(
Pengertian tersebut dapat dibenarkan oleh penggunaan bahasa, karena
( )tamnun yang darinya dibentuk kata ( )manin yang berarti lemah
walaupun penulis tidak menemukan ayat yang menggunakan kata tersebut
dalam arti lemah. Namun perlu dicatat bahwa kata ( ) fi al-khair pada
bacaan tersebut bukanlah bagian ayat ini, tetapi dia dinamai mudraj yakni
sisipan dari sahabat mulia itu dalam konteks menjelaskan maksudnya.
2.
59
4.
60
Artinya: Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang
yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang
Rasul dari golongan mereka sendiri.
2. Putus, seperti dalam Surah Fushshilat ayat 8:
Artinya: bagi mereka ganjaran yang tiada putus-putusnya"
3. Menggap pemberian sebagai anugerah sehingga menyebut-nyebutnya,
seperti dalam Surah Al_Imran ayat 164 di atas.
4. Sejenis makanan manis seperti madu (yang diturunkan Allah SWT kepada
Bani Israil) yang disampaikan oleh Al-Quran dalam Surah Al-Baqarah
ayat 57.
Artinya: Dan kami turunkan kepadamu manna dan salwa.
Kata manana ( )dari segi asal pengertiannya adalah memutus atau
memotong sesuatu yang rapuh, misalnya tali yang rapuh, dinamai Nabi mani
)) , sebab karena rapunya ia mudah putus. Pemberian yang banyak
(anugerah) dinamai minnah (), karena ia mengandung arti banyak sehingga
seakan-akan ia tidak putus-putus makanan yang diturunkan kepada Bani Israil
dinamai Al-Mann ( )karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima
oleh pemberinya.
Berdasarkan arti di atas, yang kesemuanya ditemukan dalam Al-Quran,
kemudian kita membandingkannya dengan keempat pendapat tentang arti ayat
keenam ini, maka terlihat bahwa arti lemah yang menjadi dasr pengertian
61
pendapat pertama tidak digunakan oleh Al-Quran, walaupun dikenal oleh bahasa
Arab. Atas dasar ini, kita tidak cenderung menyetujui pendapat pertama tersebut.
Pendapat kedua, yakni: jangan memberikan sesuatu dengan tujuan
mendapatkan yang lebih banyak darinya, menurut hemat penulis, walaupun dari
segi ide larangan tersebut benar secara etis, namun keberatan untuk menerimanya
muncul dan tidak ditemukan pada ayat tersebut. Indikator untuk adanya sisipan
dalam arti bahwa kata-kata dengan tujuan yang disisipkan oleh penganutpenganut tersebut.
Walaupun penyisipan kata dalam suatu redaksi dibenarkan dari segi tata
bahasa, namun mayoritas Ulama Tafsir tidak melakukannya kecuali bila sisipan
tersebut memang dibutukan dmei ksempurnaan makna suatu redaksi. Dalam ayat
yang ditafsirkan ini, agaknya sisipan tersebut tidak dibutuhkan, karena kita masih
daapt memahaminya secara baik dan sempurna tanpa memberikan sisipan.
Adapun pendapat ketiga, ia tidak didukung oleh konteks pembicaraan
ayat yang merupakan bimbingan bagi Nabi Muhammad SAW. Dalam
menghadapi umat.
Penulis cenderung memilih pendapat keempat, yakni bahwa ayat ini
meletakkan beban tanggung jawab di atas pundak Nabi guna menyampaikan
dakwahnya tanpa pamrih atau tidak menuntut suatu imbalan duniawi. Hal ini
sejalan dengan perintah tuhan kepada beliau untuk selalu menegaskan:
Katakanlah: "Aku tidak meminta atas hal ini (dakwah) sedikit imbalan
pun. (QS. Al-Furqon: 57)
62
menjadi
kodrat
Nabi
atau
dengan
kata
lain
hukum
63
64
kemudian salah satunya di nikahi oleh Nabi dan yang darinya lahir putera beliau
yang diberi nama Ibrahim. Tetapi pemberian tersebut bukan sebagai imbalan
dakwanya, atau diperolehnya melalui permintaan halus atau tegas.
Adalah sangat keliru anggapan sementara orang yang meminta
keikhlasan melalui penerimaan materi, karena daapt saja seseorang melakukan
satu pekerjaan dengan penuh keikhlasan dan pada saat yang sama ia menerima
materi. Demikian pula sebaliknya dapat saja seseorang menolak penerimaan
materi tetapi justru penolakannya mengandung unsur pamrih (riya).
Ayat di atas melarang mengaitkan dakwah dengan tujuan memperoleh
imbalan duniawi yang salah satu contoh perwujudannya adalah memilih atau
memilah objek dakwah atas dasar basah dan keringnya objek tersebut. Apabila
hal ini terjadi, maka kepercayaan terhadap para pengajar akan sirna dan pada saat
itu dakwah yang disampaikan tidak berbekas lagi. Harus diakui bahwa larangan
memperoleh imbalan tersebut akan mengakibatkan kesulitan bagi penganjurpenganjur ajaran agama dan karenannya, petunjuk selanjutnya masih sangat
dibutuhkan. Petunjuk yang dimaksud adalah ayat ketujuh dan terakhir dalam
rangkaian wahyu pertama Al-Muddatsir ini.
)7(
Dan hanya kepada Tuhanmu saja maka bersabarlah
Sebagaimana ditegaskan oleh ayat-ayat yang lalu, harus diakui bahwa
larangan memperoleh imbalan tentu dapat mengakibatkan kesulitan bagi
penganjur-penganjur ajaran agama, dan karenanya ayat di atas memberi
65
petunjuk terakhir dalam konteks surat Al-Mudatsir ini yaitu Dan hanya
kepada Tuhanmu saja apapun yang kau hadapi maka bersabarlah.
Dalam kamus bahasa-bahasa kata ( )shabr (sabar) diartikan sebagai
menahan, baik secara fisik material, seperti menahan diri atau jiwa dalam
menghadapi sesuatu yang diinginkannya .dari akar kata shabr diperoleh
sekian bentuk kata dengan arti yang beraneka ragam.
Sabar bukanlah kelemahan atau menerima apa adanya tetapi ia adalah
perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu
mengalahkan keinginan nafsunya.Di dalam Al-Quran, ditemukan perintah
bersabar berkaitan dengan sekian banyak konteks, antara lain:
1. Menanti ketetapan Allah, seperti dalam QS.Yunus [10]:109.
2. Menanti datangnya janji Allah atau hari kemenangan, seperti dalam QS.
Ar-rum [30]:60.
3. Menghadapi ejekan dan gangguan orang-orang yang tidak percaya, seperti
dalam Qs. Thaha [20]:130.
4. Menghadapi dorongan nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak
setimpal, seperti QS. An-Nahl [16]:127.
5. Melaksanakan ibadah, seperti dalam QS. Maryam [19]:65.
6. Menghadapi malapetaka, seperti dalam QS. Luqman [31]:17.
7. Memperoleh apa-apa yang diinginkan, seperti dalam QS. Al-Baqarah
[2]:53.
Ar-Raghib Al-Asfahany, seorang ahli dalam bidang tafsir dan bahasa
Al-Quran, menjadikan ayat 177 surah Al-Baqarah sebagai kesimpulan dari
segala macam bentuk kesabaran atau ketabahan yang dituntut Al-Quran.
Ayat tersebut berbicara tentang al-birr (kebaikan) dan orang-orang yang
66
67
68
pemecahan mengenai problem yang dihadapi masyarakat, berdasarkan AlQuran meskipun al-Qiran tidak memberikan konsep prinsip-prinsip dasar
dan nilai-nilai yang digariskannya. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial
maupun budaya.
Dalam hal ini, seorang dai tidak dapat berpegang hanya pada satu
penafsiran ayat Al-Quran saja. Tetapi ia harus dapat mengembangkan
prinsip-prinsip yang ada dalam menjawab tantangan yang selalu berubah. Hal
ini bukan berarti bahwa Al-Quran mengakui begitu saja dengan perkembangan
masyarakat. Dai harus dapat memberikan petunjuk dan bimbingan yang
mengarahkan perkembangan budaya modern atau tekhnologi yang canggih
sekalipun4
Adapun bekal yang harus dimiliki oleh dai yang tertulis dalam surah
al-Muddaatsir ayat 1-7 menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbahnya
mencangkup empat hal sebagai berikut:
1. Ibadah kepada Allah SWT.
Perintah pertama yang harus dimiliki oleh dai adalah mengagungkan
Allah SWT, dalam artian beribadah kepada Allah SWT. Ibadah itu beraneka
ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu ragamnya yang paling jelas, adalah
amalan tertentu yang ditetapkan cara atau kadarnya langsung dari Allah SWT
maupun Rasulnya. Dan yang secara populer dikenal dengan istilah ibadah
madhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum, mencangkup
segala macam aktivitasyang dilakukan demi karena Allah SWT.
4
69
70
71
72
2.
libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas diremukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab
ditemukannya sebanyak delapan kali dan sarabil ditemukannya sebanyak tiga
kali dalam dua ayat.
Libas pada mulanya berarti penutup apapun yang ditutup, fungsi
pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi perlu dicatat bahwa ini tidak harus
menutup aurat, karena cincin yang menutupi sebagian jari juga disebut libas.
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir
maupun batin.
Sedangkan tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir, kata
ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu
pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
pertamanya.
73
pakaian yang bersih dan menutup auratnya. Adapun dari segi bathiniah yaitu
menyucikan hati, jiwa, dan budi pekerti.
Bagi
seorang
pemimpin
sangat
dianjurkan
untuk
menjaga
74
3. Akhlak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai
budi pekerti atau kelakuan. kata akhlak walaupun teambil dari kata bahasa
Arab (yang biasa diartikan tabiat, perangai kebiasaan bahkan agama), namun
kata seperti itu tidak dapat ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan
hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam
surah al-Qalam ayat 4.
Bertitik tolak dari pengetian bahasa di atas, yakni akhlak sebagai
kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak adalah kelakuan
manusia sangat beragam, keragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai
sudut, antara lain kelakuan yaang berkaitan dengan baik dan buruk, serta
objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditunjukkan.
Adapun yang tertulis dalam surah al-Muddatsir ayat keenam ini Nabi
Muhammad dinjurkan untuk selalu rendah hati, tidak sombong dalam
menjalankan dakwahnya, tidak mengharap imbalan dalam berbuat kebaikan
dan jangan menganggap usahamu (dakwah) sebagai suatu anugrah yang
dimiliki oleh manusia melainkan berupa gaanjaran dari Allah SWT untuk
dipertanggung jawabkan dalam menjalankan dakwahnya. Akhlak dalam ajaran
agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi oleh sopansantun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku
lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya, misalnya yang berkaitan dengan sikap
bathin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencangkup berbagai aspek,
dimulai dari akhlak terhadap Allah SWT, hingga kepada sesama makhluk
75
76
4. Sabar
Adapun bekal yang terakhir yang harus dimiliki oleh dai yaitu sabar
dalam menjalankan syiar agama Islam. Sudah pasti kesabaran ini harus
dimiliki oleh dai karena mengemban tugas menjadi dai bukanlah tugas
yang ringan melainkan amanah yang harus dapat dipertanggung jawabkan
baik untuk dirinya sendiri dan pertanggung jawaban kepada Allah SWT.
Pengertian sabar disini bukanlah arti dari segi kelemahan atau
menerima apa adanya, akan tetapi adalah perjuangan yang menggambarkan
77
kemenangan
apabila
disertai
dengan
sabar,
karena
78
Dai yang diperlukan pada masa kini dan masa yang akan datang tentu
tidak sama dengan dai yang sudah dilahirkan pada masa lalu, baik
kualifikasi maupun kapabilitasnya. Karena itu, dengan tidak bermaksud
mengingkari prestasi pesantren yang telah berhasil mencetak kiayi dan dai
pada masa lalu, tentu saja untuk saat ini tidak dapat bertahan terus dengan
sistem pendidikan dan pengajarannyaseperti puluhan tahun yang lalu. Ini
dimaksudkan jika pesantren tersebut tidak bermaksud mencetak kiayi atau
dai yang terlambat lahir atau dengan kata lain, jika pesantren tetap ingin
mempertahankan dedikasi kiayi dan pengaruhnya yang mengakar.
Seorang dai dituntut untuk dapat memahami perkembangan
masyarakatnya. Dalam dunia modern sekarang ini, seorang dai tidak dapat
hanya sekedar mendalami ilmu-ilmu fiqih, tafsir, atau hadits saja. Apalagi
jika pengetahuannya itu hanya bersifat hafalan yang statis. Untuk menjawab
tantangan dan problem masa kini dan masa yang akan datang, diperlukan
penguasaan ilmu-ilmu tentang Islam yang lengkap dan dinamis. Di samping
perangkat ilmu dan wawasan yang dapat dipakai untuk memahami
perkembangan masyarakat. Dengan demikian dai selalu dapat memberikan
bimbingan dan pengarahan yang apat diterima, tidak tertimggal atau terjerat
karena pemahaman agama yang statis dan wawasan yang sempit.
Bahan-bahan literatur lama berupa kitab-kitab karya para ulama
terdahulu tetap mempunyai karya ilmiah yang tinggi. Sebagai calon dai
yang bersangkutan harus mempelajarinya dengan sikap kritis agar dapat
mengetahui bagaimana dan mengapa pengarang tersebut berpendapat
79
demikian. Sebagai calon dai tidak wajar jika terpaku pada satu Imam atau
madzhab saja. Ia harus mempunyai wawasan yang menyelami khazanah
intelektual yang diwarisi oleh para dai terdahuluditambah dengan
pemikiran dan pengetahuan yang tidak kalah penting.
Akhirnya untuk tidak melambung dalam utopia, perlu disadari bahwa
bagaimanapun profil dai yang kita idealakan ia tetap manusia biasa dan
tidak mungkin dapat sempurna, ulama hanya pewaris Nabi yang tidak dapat
memerankan kenabian dalam seluruh aspek yang ditemukan di atas secara
sempurna.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Dai
Menurut pandangan Muhammad Qurish Shihab, bahwasanya sebagai
dai dalam mensyairkan ajaran agama islam haruslah dibentengi dengan
kepribadian dai itu sendiri, dengan demikian sebagai seorang pemimpin
harus mencontoh para nabi-nabi terdahulu dalam menjalankan dakwahnya.
Karena sesungguhnya dalam menjalankan dakwah bukanlah hal yang
mudah, akan tetapi banyak
80
81
82
B. SARAN-SARAN.
Dengan berakhirnya penulisan skripsi ini, maka penulis menyarankan kepada:
1. Lembaga-lembaga dakwah maupun penerbit-penerbit Islam untuk
memberikan perhatian yang lebih, agar buku-buku yang disajikanadalah
buku-buku yang sangat bermanfaat dan diperlikan oleh pembacadalam
mensyiarkan ajaran Islam.
2. Para praktisi khususnya dai, hendaknya pandai memilih topik sesuai yang
dibutuhkan para madu (pembaca).
3. Masyarakat dan pembaca buku Islami, khususnya para intelektual mudahmudahan tidak hanya membaca tapi mengamalkan apa yang telah dibaca.
DAFTAR PUSTAKA
83
84
Nomor
Lampiran
Perihal
: Istimewa
: 1 ( satu ) Berkas
: Permohonan Pengajuan Judul Skripsi
Kepada Yth
Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta
Di Tempat
Assalamualaikum Wr. Wb
Salam sejahtera teriring doa semoga bapak senantiasa dalam
lindungan serta magfirah Allah SWT. Amin.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Siti Masyitoh
Nim
: 104051001847
Fakultas
: Dakwah dan Komunikasi
Jurusan
: Komunikasi Penyiaran Islam
Bermaksud mengajukan proposal skripsi dengan judul :
BEKAL DAI DALAM TAFSIR AL-MISBAH KARYA
MUHAMMAD QURAISH SHIHAB DALAM SURAT ALMUDATSIR AYAT 1-7
Sebagai bahan pertimbangan, berikut ini saya lampirkan:
1. Outline Skripsi
2. Proposal Skripsi
3. Daftar Pustaka Sementara
Demikian Kiranya Permohonan ini saya sampaikan. Atas segala
perhatian Bapak saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Penasehat Akademik
Pemohon
Siti Masyitoh
(NIM: 104051001847)
Pemohon
Siti Masitoh
104051001847