Danida
Tanya Jawab
Mengenai KLHS
Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan
Boleh dikatakan sebagian besar aparatur pemerintah di pusat dan daerah otonom, kalangan
perusahaan, akademisi dan pegiat lingkungan telah akrab dengan istilah Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Begitu terkenalnya AMDAL sehingga ada yang menafsirkan pengelolaan
lingkungan hidup identik dengan AMDAL. Padahal spektrum pengelolaan lingkungan hidup yang
berkembang saat ini demikian luas dan beraneka. Ada yang bertujuan untuk merespon isu
lingkungan global seperti pemanasan bumi, penipisan ozon, dan keanekaragaman hayati yang
menuntut kerjasama global. Ada pula yang bertujuan untuk merespon banjir, pencemaran sungai,
pesisir dan laut yang kesemuanya menuntut kerjasama antar kabupaten dan propinsi.
Selain itu ada pula instrumen pengelolaan lingkungan yang khusus diaplikasikan pada tataran proyek
atau entitas organisasi (perusahaan atau badan pemerintah), seperti Audit Lingkungan, Sistem
Manajemen Lingkungan ISO 14001, Produksi Bersih, dan lain sebagainya (AMDAL termasuk dalam
kelompok ini). Dalam dekade terakhir bahkan, didorong oleh tuntutan keberlanjutan, di berbagai
negara telah berkembang instrumen baru yang dikenal sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS).
Buku Tanya Jawab Mengenai KLHS ini disusun untuk mereka yang belum dan ingin mengetahui
lebih jauh tentang KLHS. Di dalam buku ini selain dimuat tanya jawab tentang pengertian, tujuan dan
lingkup KLHS, juga dimuat tentang kelembagaan KLHS. Sehingga melalui buku ini para pembaca
diharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang sosok KLHS sekaligus perbedaannya dengan
AMDAL yang telah lama dikenal.
Buku ini dapat hadir di tengah-tengah kita berkat diselenggarakannya Environmental Support
Programme Phase (ESP) 1, suatu proyek kerjasama antara Danish International Development Agency
[DANIDA], Pemerintah Kerajaan Denmark, dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH).
Sehingga bukan suatu yang berlebihan terima kasih dan penghargaan mendalam disampaikan
kepada DANIDA yang telah memfasilitasi pengembangan konsep dan uji coba KLHS di Indonesia.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Tim Konsultan yang telah bekerja keras
memformulasikan KLHS untuk konteks Indonesia.
Akhir kata semoga buku ini dapat menjadi tempat semai yang baik bagi tumbuh dan menguatnya
kelembagaan KLHS di Indonesia di masa mendatang.
Kata Pengantar
1
Dalam beberapa tahun terakhir ini KLH berinisiatif mengembangkan aplikasi Kajian Lingkungan Hidup
Strategik (KLHS) di Indonesia. Setelah dilakukan beberapa kajian pendahuluan dan digelar berbagai
diskusi dan seminar, KLHS yang akan dikembangkan di Indonesia mulai menampakkan sosoknya.
Sehingga disamping kami belajar memahami apa dan bagaimana KLHS kami juga dituntut untuk
sekaligus mengembangkan KLHS di Indonesia.
Satu hal penting dan menarik kami peroleh dari proses tersebut adalah saling komplemen antara
KLHS dan AMDAL. Bila AMDAL tampil sebagai kelembagaan yang mekanistik dan prosedural, KLHS
tampil sebagai instrumen yang non-linier. AMDAL di aras proyek atau hilir dari proses perencanaan
pembangunan, KLHS di aras kebijakan, rencana, program atau hulu. AMDAL bersifat spesifik lokasi,
dalam dan rinci, sementara KLHS cenderung umum, lebar dan tidak terlampau rinci. AMDAL untuk
menilai kelayakan lingkungan proyek pembangunan, sementara KLHS untuk menghasilkan kebijakan,
rencana atau program pembangunan yang bermuatan lingkungan hidup.
Hal-hal yang kami paparkan diatas merupakan sebagian dari informasi yang dapat diperoleh dari
buku Tanya Jawab Mengenai KLHS. Melalui format tanya-jawab di dalam buku ini dapat diketahui
lebih jauh tentang apa, mengapa dan bagaimana KLHS. Sehingga definisi, tujuan, aplikasi KLHS
dalam Perencanaan Pembangunan Nasional dan penataan ruang, juga dipaparkan dalam buku ini.
Buku ini terbit berkat dukungan dari dan hasil kerjasama KLH dengan Pemerintah Kerajaan Denmark
melalui Danish International Development Agency [DANIDA], Environmental Support Programme
Phase 1. Untuk itu, kepada manajemen ESP 1 diucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya. Demikian pula kepada para pakar/konsultan yang terlibat dalam penyusunan buku
ini diucapkan terima kasih dan penghargaan.
2
Diterbitkan oleh
Gedung A, Lantai 4
e-mail: renling@menlh.go.id
Website: http:\\www.menlh.go.id
Pengarah
Hermien Roosita
Ketua Pelaksana
Bambang Setyabudi
Penyusun
Editor
Pendukung
3
Grafis
Fililo
Apresiasi
Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan dan
penerbitan buku ini, antara lain:
4
Glossary
Kebijakan Publik:
Suatu keputusan politik yang ditetapkan oleh pemerintah dan atau bersama dewan perwakilan rakyat
di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan mekanisme peraturan perundangan yang berlaku
untuk memenuhi kepentingan publik.
Musrenbang:
Musyawarah Rencana Pembangunan, merupakan satu forum untuk membahas dan menetapkan
usulan kegiatan pembangunan berikut anggarannya untuk tahun fiskal berjalan berikutnya, baik di
tingkat pusat (Musrenbangnas) maupun daerah (Musrenbangda).
Partisipasi Publik:
Suatu mekanisme keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik.
5
Daftar Isi
Glossary ........................................................................................................................... 5
2.1 Bagaimana Pelembagaan KLHS Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional? ....... 12
6
1. Mengenai Dasar-Dasar Pengembangan KLHS
Sudah banyak kebijakan publik, laporan resmi dari berbagai instansi pemerintah pusat maupun
daerah, hasil penelitian, kajian, dan observasi oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, maupun
konsultan serta lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional yang secara umum
menyampaikan semakin terpuruknya kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia,
setidak-tidaknya dalam dua dekade terakhir. Upaya riel juga telah banyak dilakukan, namun sifat dan
pelaksanaannya masih parsial. Kondisi ini menunjukkan urgensi dilakukannya pemikiran ulang dan
tindakan nyata yang lebih baik, lebih tepat, dan lebih berdampak positif luas, atau dengan kata lain,
lebih strategis demi keberlangsungan hidup dalam jangka waktu yang panjang. Terlebih lagi jika
ditilik kembali dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No. 25 tahun 2004), yang
menitikberatkan pembangunan nasional pada pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.
Pemikiran strategis ini diperlukan dan telah semakin mendesak untuk merumuskan kebijakan dan
kualitas pembangunan yang mampu menjaga keberlangsungan manfaat sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, demi perbaikan kehidupan bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah Indonesia telah mengenal satu konsep pemikiran yang dapat
memfasilitasi dan meningkatkan mutu proses perumusan kebijakan, rencana, dan program,
khususnya yang terkait dengan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, yaitu Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang juga dikenal sebagai Strategic Environmental
Assessment (SEA). Konsep ini telah diimplementasikan secara efektif di negara-negara Eropa,
sebagian negara-negara di benua Afrika, Asia, dan Amerika serta di Australia dan Selandia Baru.
Sebagian besar dari mereka bahkan menerapkannya sebagai directive ataupun mandatory policy.
Pembelajaran dari negara-negara maju maupun sedang berkembang tersebut tentu dapat menjadi
inspirasi dan terobosan bagi pemerintah Indonesia, untuk mendorong penerapan KLHS ini sebagai
kunci pokok keberhasilan pembangunan nasional dan daerah di Indonesia.
Definisi KLHS yang secara umum dirujuk oleh sebagian besar pengguna KLHS adalah
sebagai berikut:
Suatu proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan, pertimbangan
sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana, atau program
pembangunan.
7
Dalam perkembangannya, konsep KLHS telah mengalami beberapa kali penyesuaian berkaitan
dengan dinamika pembangunan berikut aktivitas rielnya pada tingkat operasional, sehingga
perkembangan terakhirnya adalah seperti yang digambarkan secara skematis sebagai berikut:
Operasionalisasi dari definisi tersebut dalam konteks pemanfaatannya bagi perumusan kebijakan
pembangunan adalah:
Apapun definisi KLHS yang akan dikonstruksikan, definisi tersebut tidak harus eksklusif, tidak
harus menjadi rujukan tunggal, dan tidak harus menegasikan definisi lain yang kemungkinan
akan timbul dan dikonstruksikan oleh para akademisi, praktisi, atau institusi tertentu.
1. Diselenggarakan pada tahap awal perumusan kebijakan, rencana, dan program (KRP);
Sejalan dengan sifat pembangunan wilayah, perlu dipahami bahwa pengambilan kebijakan
pembangunan merupakan sebuah proses yang bersifat siklis, yang selalu menyediakan peluang
untuk mengkaji kembali kebijakan yang telah berjalan, dan dimungkinkan untuk melakukan revisi
agar lebih realistis, terkait dengan tuntutan internal dan eksternal yang muncul. Selain itu, sebagai
8
kajian strategis maka KLHS adalah payung yang memberikan arah atau rujukan strategis bagi
pelaksanaan AMDAL pada tataran proyek dalam pelaksanaan pembangunan.
Membantu menangani permasalahan lintas batas dan lintas sektor, baik di tingkat kabupaten,
provinsi maupun antarnegara (jika diperlukan) dan kemudian menjadi acuan dasar bagi proses
penentuan kebijakan, perumusan strategi, dan rancangan program.
Memungkinkan antisipasi dini secara lebih efektif terhadap dampak negatif lingkungan di tingkat
proyek pembangunan, karena pertimbangan lingkungan telah dikaji sejak awal tahap formulasi
kebijakan, rencana, atau program pembangunan.
9
Melakukan langkah-langkah perlindungan yang tangguh (tingkat
keberlanjutan moderat).
Pada prinsipnya, yang dinamakan sebagai kepentingan lingkungan hidup dalam pembangunan adalah
ketergantungan (interdependency), keberlanjutan (sustainability), dan keadilan sosial-ekonomi
(socio-economic justice), sebagaimana dijabarkan lebih lanjut di bawah ini.
Prinsip I:
Prinsip II:
Prinsip III:
Keadilan sosial dan ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) (socio-economic justice).
Mencegah timbulnya penataan ruang yang berakibat pada marjinalisasi dan kemiskinan akibat
ketidakadilan dalam akses, pemanfaatan, penguasaan, dan pengendalian terhadap sumberdaya alam.
Pertimbangan ini juga termasuk jaminan keadilan atas akses terhadap infrastruktur dasar dan
informasi pemanfaatan SDA.
10
1.5 Apa Perbedaan Antara KLHS Dengan AMDAL?
KLHS merupakan bagian dari keseluruhan Kajian Lingkungan Hidup (Environmental Assessments),
yang dalam konteks proses pengambilan kebijakan pembangunan, dimanfaatkan mulai dari
perumusan kebijakan, perencanaan, dan program. Tipikal kajiannya dapat berupa kajian terhadap
aspek kebijakan, aspek regional, aspek programatik, maupun aspek sektoral. Sementara itu pada
tahap proyek, kajian lingkungan hidup dilaksanakan dengan menggunakan metode AMDAL. Cakupan
dari KLHS dalam tahapan pengambilan keputusan dapat dilihat dalam skema di bawah ini:
Dari gambaran di atas, jelas bahwa KLHS ini ada pada tataran konsep sampai dengan program.
Dengan kata lain, pelaksana KLHS adalah lembaga yang bertugas untuk menyusun kebijakan,
rencana, dan program. Demikian pula, sumberdaya yang dibutuhkan adalah yang memiliki kualifikasi
untuk dapat merumuskan konsep dan strategi yang bersifat makro, sistemik serta mencakup daerah
kajian yang lebih luas. Oleh karena itu, dibutuhkan satu lembaga berikut sumberdaya manusianya
yang mampu menangani suatu fenomena yang tingkat kerumitannya cukup tinggi, karena mencakup
interrelasi seluruh kegiatan dalam satu daerah kajian.
11
2. KLHS dan Rencana Pembangunan Nasional
Kebijakan pembangunan nasional Indonesia pada prinsipnya harus mengacu pada UU Nomor 25
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang memayungi segala
turunan operasional perencanaan pembangunan, baik yang bersifat sektoral (diatur dalam Peraturan
Presiden RI Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2004-2009), maupun pengaturan alokasi peruntukannya di satu lokasi (diatur dalam UU Nomor 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Kerangka penyelenggaraan pelaksanaan kegiatan
pembangunan pada prinsipnya diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan
UU tentang Perimbangan Keuangan Daerah.
Hal-hal pokok dalam UU SPPN yang terkait dengan penerapan konsep KLHS adalah sebagaimana
dijelaskan di bawah ini.
Definisi yang relevan dengan konsep KLHS, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 1: Ketentuan Umum,
pasal 1, adalah sebagai berikut:
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui
urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia.
Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam
rangka mencapai tujuan bernegara.
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang,
jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan
masyarakat di tingkat pusat dan daerah.
Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan.
Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan
visi.
Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan
misi.
Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh pemerintah pusat/daerah untuk mencapai
tujuan pembangunan.
Program adalah instrumen kebijakan yang berisikan satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi
anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
12
Lembaga adalah organisasi non-Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran
negara, yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Pada Bab 2 pasal 2 dalam UU SPPN disebutkan bahwa tujuan pembangunan nasional memiliki azas-
azas sebagai berikut:
2. Disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan.
4. Bertujuan untuk:
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antar daerah, antar ruang, antar
waktu, antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah;
Alur proses penyusunan perencanaan, dikaitkan dengan garis besar mekanisme anggaran
pembangunan secara kelembagaan, yang ditetapkan dalam UU SPPN dan diatur tata caranya dalam
Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2006, dapat dilihat pada skema sebagai berikut:
13
Alur Perencanaan dan Anggaran Pembangunan Nasional
pedoman pedoman
Visi, misi, program Renstra- Renja- RKA-KL Rincian
Pemerintah Pusat
Presiden KL KL APBN
dijabarkan
pedoman
acuan
dijabarkan
pedoman pedoman
RPJP RPJM RKP RAPBN APBN
Nasional Nasional
Pedoman dijabarkan
pedoman
RPJP Daerah RPJM RKP
Pemerintah Daerah
RAPBD APBD
Daerah Daerah
pedoman acuan
dijabarkan
pedoman
pedoman
Visi, Misi, Program Renstra Renja RKA- Rincian
Kepala Daerah SKPD SKPD SKPD APBD
UU SPPN
UU KN
Keterangan:
KL : Kementerian/Lembaga
Selanjutnya, kegiatan pembangunan yang telah ditetapkan melalui mekanisme yang digambarkan
dalam skema di atas direalisasikan dalam proses alokasi tempat kegiatan pembangunan, yang
pengaturannya mengacu pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kedudukan dan peran
14
KLHS dalam kedua sistem perencanaan yaitu sektoral dan ruang dan dalam konteks kelembagaan
dapat diilustrasikan seperti di bawah ini.
DPU KLH
Perencanaan Tata
KLHS SEKTOR
Ruang Nasional
DDN
BAPPEDA
Perenc. Sektor Kab/Kota BAPEDALDA
BKTRD
Perenc. Tata Ruang
DINAS
KLHS
Kabupaten/Kota
Seperti yang dijelaskan pada Bab 1 dan sub-Bab 2.1 di atas, maka KLHS seyogyanya dilakukan pada
setiap awal proses penyusunan perencanaan pembangunan. Dilihat dari mekanisme perencanaan
pembangunan nasional yang bersifat siklis dalam pengambilan keputusan, maka KLHS ini diterapkan
secara dini pada saat disusun RPJP Nasional, yang kemudian akan dijadikan acuan dalam menyusun
pedoman bagi penyusunan RPJM Nasional, dan selanjutnya dijadikan perhatian dalam penyusunan
RPJM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di sinilah letak perbedaan aplikasi KLHS dengan
AMDAL, yang lebih lengkapnya terlihat dalam tabel di bawah ini:
15
keputusan
Fokus Analisis Identifikasi, prakiraan & evaluasi Evaluasi implikasi lingkungan dan
dampak lingkungan pembangunan berkelanjutan
Kedalaman Sempit, dalam, dan rinci Luas dan tidak terinci sebagai
landasan untuk mengarahkan visi
dan kerangka umum
Fokus Pengendalian Dampak Menangani simptom kerusakan Fokus pada agenda pembangunan
lingkungan berkelanjutan, terutama ditujukan
untuk menelaah agenda
keberlanjutan
Dari penerapan KLHS ini akan diperoleh Kebijakan RPJP yang lebih bermutu, yang dimaksud dengan
bermutu di sini terutama didasarkan pada konteks untuk memenuhi prinsip pengarusutamaan
pembangunan berkelanjutan, dan arah pembangunan yang direfleksikan dalam azas-azas
pembangunan nasional, seperti yang ditetapkan dalam Bab II UU SPPN sendiri. Sebagai catatan
penting, perlu dipahami bahwa filosofi konsep aplikasi KLHS sendiri pada dasarnya adalah sejalan
dengan azas-azas SPPN yang dimaksud.
16
Relung Aplikasi Kajian Analisis Lingkungan
Kebijakan Rencana Program Proyek
Dari perspektif KLHS seperti yang dijelaskan secara skematis di atas, kajian dapat dilakukan untuk
kepentingan perumusan kebijakan pembangunan, rancangan perencanaan, penetapan program
pembangunan sektoral, dan peruntukannya di lokasi tertentu sesuai dengan konsep penataan ruang
yang telah ditetapkan sebelumnya. Terintegrasinya KLHS dalam proses penyusunan strategi dan
program pelaksanaannya dapat memberikan peluang kualitas kebijakan publik yang lebih bermutu,
sehingga layak dan rasional untuk dijalankan dalam masa pembangunan yang akan datang.
Menyadari bahwa RPJP telah menjadi UU yang harus ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia, maka
KLHS pun harus dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber
daya manusianya guna memenuhi amanat UU RPJP ini. Dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP
disebutkan bahwa masa pembangunan RPJP ini adalah dari tahun 2005 sampai dengan 2025 atau
selama kurun waktu 20 tahun. Periode ini dibagi menjadi empat tahapan yang masing-masing
tahapan disebut sebagai RPJM dengan periode 5 tahunan bagi masing-masing tahapan. Berikut ini
adalah tabel yang menjelaskan prioritas utama dan hal-hal yang berkaitan dengan urusan
pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup pada masing-masing periode RPJM.
Periode Prioritas
RPJM Prioritas Utama: menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang untuk
menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang
2005 - 2009
tingkat kesejahteraan rakyat yang meningkat.
17
Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan:
RPJM Prioritas Utama: memantapkan penataan kembali Indonesia dengan penekanan pada
upaya peningkatan kualitas SDM termasuk pengembangan kemampuan IPTEK serta
2010 2014
penguatan daya saing perekonomian.
RPJM Prioritas Utama: untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai
bidang dengan penekanan pada pencapaian daya saing kompetitif perekonomian
2015 - 2019
berlandaskan keunggulan SDA dan SDM.
RPJM Prioritas Utama: masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui
percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya
2020 - 2024
struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai
wilayah yang didukung oleh SDM yang berkualitas dan berdaya saing.
Memahami situasi saat ini (tahun 2007/2008) yang masih dalam periode pelaksanaan RPJM 2004
2009, maka untuk berikutnya KLHS dapat diterapkan dalam evaluasi RPJP dan penyusunan RPJM
18
periode berikutnya, tahun 2009 2014. Demikian pula untuk periode-periode selanjutnya. Proses
evaluasi RPJP dan penyusunan RPJM 2009 2014 dilaksanakan dalam forum Musyawarah Rencana
Pembangunan (Musrenbang).
Dalam perkembangannya, metode aplikasi KLHS yang digunakan dapat dilakukan dengan
menggabungkan berbagai teknik kajian secara terbuka (disebut sebagai family of tools ataupun one
concept multiple forms) dan disesuaikan dengan variasi problematika riel kondisi di masing-masing
wilayah pembangunan, baik dari sisi substansi pembangunan maupun kapasitas kelembagaan
penyelenggara pembangunan yang tersedia. Dalam rangka mempertahankan mutu, maka kebijakan,
perencanaan, dan program pembangunan yang dihasilkan hendaknya memenuhi standar prinsip
KLHS dan kriteria KLHS, seperti yang telah dijelaskan dalam dokumen Kebijakan KLHS (lihat buku
seri publikasi KLH untuk KLHS, Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan: Naskah Kebijakan
KLHS). Dari beberapa pengalaman dan kajian terhadap perumusan RKP, khususnya untuk
pengembangan wilayah seperti RTRWN ataupun RTRWD, secara kualitatif dapat dikatakan masih ada
sejumlah butir prinsip KLHS yang harus diperhatikan, untuk secara seksama dilaksanakan sesuai
dengan nilai-nilai dasar pembangunan berkelanjutan (keterkaitan, keberlanjutan, dan keadilan sosial-
ekonomi). Adapun catatan kualitatif yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Prinsip Catatan
Belum secara definitif ditetapkan siapa yang akan dilayani dan isu
Sesuai kebutuhan
atau kebutuhan apa yang dianggap penting.
19
Prinsip Catatan
Sebagai catatan, prioritas pembangunan bagi pengentasan kemiskinan ini selaras dengan program
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Millenium Development Goals (MDGs), yang disepakati
sebagai komitmen untuk dicapai pada tahun 2015. Dalam MDGs disebutkan bahwa pengentasan
kemiskinan merupakan urutan pertama dari delapan tujuan pembangunan dunia, dimana Indonesia
telah menyatakan komitmennya untuk melaksanakan program ini. Agar program ini dapat
diimplementasikan secara efektif, Sekretaris Jenderal PBB membuat suatu pernyataan:
"We will have time to reach the Millennium Development Goals worldwide and in most, or even all,
individual countries but only if we break with business as usual . We cannot win overnight. Success
will require sustained action across the entire decade between now and the deadline. It takes time to
train the teachers, nurses and engineers; to build the roads, schools and hospitals; to grow the small
and large businesses able to create the jobs and income needed. So we must start now. And we must
20
more than double global development assistance over the next few years. Nothing less will help to
achieve the Goals."
Dari pernyataan Sekretaris Jenderal PBB di atas, dapat diinterpretasikan bahwa dibutuhkan waktu
untuk melaksanakan proses pencapai tujuan pembangunan ini sampai tahun 2015. Masih ada waktu
atau kesempatan untuk melaksanakannya, tetapi harus ada upaya melakukan suatu terobosan
pelaksanaan, yang berbeda dari yang dijalankan selama ini. Untuk itu diperlukan upaya terus
menerus mulai dari saat ini sampai dengan tahun 2015 sebagai batas waktu, dan melibatkan
berbagai pihak pemangku jabatan (stakeholders). Pada kondisi ini penerapan konsep KLHS menjadi
relevan untuk dapat memberikan jaminan lebih bagi tercapainya perumusan Kebijakan, Perencanaan,
dan Program pembangunan yang lebih bermutu serta lebih dapat mengawal pencapaian tujuan dan
target pembangunan.
Sebagai satu negara yang memiliki keunikan (secara geografis, kependudukan, dan manajemen
kepemerintahan ataupun politik), maka Indonesia memerlukan satu rumusan kebijakan yang
spesifik. Sesama negara berkembang, misalnya Ghana yang juga menetapkan pengentasan
kemiskinan sebagai prioritas utama, pembangunannya memiliki lima tema strategis pengentasan
kemiskinan seperti yang dirumuskan dalam Buku Pegangan bagi penerapan KLHSnya. Sementara itu,
Indonesia merumuskan sebelas tema atau fokus, dimana satu tema merupakan target yang ingin
dicapai dan sepuluh lainnya merupakan sasaran utama strategi. Sebagai prioritas utama program
pembangunan, tentu dapat dikatakan bahwa pengentasan kemiskinan menjadi setara dengan
kebijakan yang bersifat mandatory, khususnya bagi semua instansi pemerintah berikut komponennya
yang terkait langsung dengan urusan kemiskinan ini.
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II bahwa KLHS diterapkan melalui pendekatan sustainable
appraisal, dan mengingat saat ini sudah berada dalam proses peralihan untuk memasuki tahapan
pembangunan kedua, maka langkah-langkah yang dilakukan secara berurutan adalah sebagai
berikut:
a. Penilaian awal yang harus dilakukan terhadap kebijakan, RKP, dan pelaksanaannya lebih
merupakan proses monitoring dan evaluasi;
c. Penilaian akhir yang mengkaji keterikatan, relevansi, dan konsistensi terhadap visi, misi,
tujuan, sasaran pokok dan rencana strategis pembangunan dilihat dari perspektif
21
kepentingan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, dimana proses penilaian
akhir ini menghasilkan satu rekomendasi bagi kebijakan, perencanaan dan program
pembangunan berikutnya.
Untuk menjaga konsistensi mutu dari penilaian di atas maka prinsip, kriteria perfoma, dan nilai dasar
dari aplikasi konsep KLHS harus tetap diterapkan sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.
Prinsip Catatan
Sesuai kebutuhan Sudah tepat dan sesuai dengan harapan sebagian besar
masyarakat Indonesia.
Berorientasi pada tujuan Tujuan perlu dirumuskan secara lebih realistis dan konstruktif
sehingga operasionalisasinya lebih terarah dan konsisten serta
tetap mengacu pada tujuan dan kebijakan pembangunan
nasional.
Lingkup yang komprehensif Sudah komprehensif hanya belum dijelaskan hubungan dinamika
sistemiknya.
Relevan dengan kebijakan Secara prinsip sudah relevan dan konsisten dengan arah
kebijakan dalam SPPN dan/atau RPJP.
22
Prinsip Catatan
Adapun perbedaan dengan penerapan bagi pembangunan nasional keseluruhan, cakupan kriteria
pada pembangunan sektoral ini lebih rinci dan beragam. Namun demikian, harmonisasi di antara
kriteria tetap dijaga agar tetap dihasilkan satu kesatuan penilaian dalam konteks pembangunan
nasional. Penerapan KLHS bagi pembangunan sektoral harus lebih rinci dan beragam karena tataran
penilaian yang lebih spesifik dan lebih pada tingkat operasional. Secara teknis kriteria ini dapat
dibangun pada saat dilakukan penapisan dan pelingkupan dalam proses tahapan penilaian awal tadi.
Mengikuti proses penyusunan RKP dan penyusunan anggaran negara, maka waktu yang tersedia bagi
KLHS ini diperkirakan paling lama adalah tiga bulan dan sebaiknya lebih cepat, mengingat masih
diperlukan proses integrasi dengan sektor lain untuk kemudian diintegrasikan lebih lanjut dalam satu
kesatuan konsep perencanaan pembangunan nasional.
Pendekatan penerapan KLHS yang diperlukan setidaknya adalah kajian terpadu (sustainability
appraisal) dimana expert dan public judgement menjadi bagian yang tidak terpisahkan, apalagi RKP
adalah satu kebijakan publik. Kajian terpadu ini dapat terwujud melalui forum Musrenbang dan debat
atau diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah). Di sinilah kapasitas kelembagaan dan
sumberdaya manusia sangat menentukan tingkat kelayakan proses dan mutu hasil rumusan
kebijakan, rencana sampai dengan pelaksanaan program pembangunan yang integratif antar
kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas kepentingan stakeholders (konstituen). Aplikasi
KLHS sebagai instrumen dapat memfasilitasi bahkan mengawal pengembangan proses integrasi ini.
Instrumen ini harus dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi dan sumberdaya yang tersedia,
atau dengan kata lain harus dikembangkan instrumen atau tools KLHS yang tailor-made. Syarat
pokok dari tailor-made ini adalah terwujudnya harmonisasi kriteria dan metode kajian yang
diterapkan, dimana keterlibatan expert dan publik menjadi syarat pokok sebelum dijadikan dasar
pengambilan keputusan oleh para birokrat dan politisi. Harmonisasi yang dimaksud memiliki struktur
hirarkis sejalan dengan tingkat kebijakan yang akan dirumuskan. Ilustrasi dari tingkat harmonisasi
kriteria adalah sebagai berikut:
23
Rencana Nasional
Rencana Sektoral
Semakin
sederhana
Rencana Daerah
dan pokok
Proyek
Cakupan Kriteria
Mengacu pada RPJP, yang selanjutnya diterjemahkan dalam RPJM, maka pada tahun 2005 2009
kriteria pada tingkat nasional harus mengandung aspek-aspek yang terkait dengan prioritas
pembangunan berkelanjutan berbasis kepentingan lingkungan hidup, yang terdiri dari:
Meningkatkan kemampuan mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi. Kriteria
kunci: kemampuan mitigasi.
Perlu peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, terutama menyadari keadaan Indonesia
yang rawan bencana. Kriteria kunci: peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM.
Rencana Tata Ruang merupakan payung kebijakan spasial tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten untuk segala sektor guna mencegah kerusakan lingkungan hidup atau
meminimalisasi dampak bencana. Kriteria kunci: payung kebijakan spasial.
Pada dasarnya, kriteria ini harus dimaknai sebagai faktor kritis, yaitu faktor yang jika tidak dipenuhi
akan memberikan dampak negatif terhadap proses maupun hasil pelaksanaan pembangunannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam membangun kriteria yang operasional diperlukan syarat
sebagai berikut:
a. Tersedianya data, informasi dan pengetahuan yang memadai untuk dikaji, terutama untuk
kepentingan kajian keberlanjutan.
b. Adanya partisipasi publik (stakeholders atau konstituen); dapat diperoleh melalui mekanisme
debat yang terstruktur antara publik dan pemerintah.
24
c. Aspek atau komponen kriteria yang ditetapkan merupakan hasil kajian atau kesepakatan
dalam debat tadi.
Proses penerapan KLHS ini dirumuskan dalam satu dokumen pedoman (guideline) yang memuat
penjelasan di bawah ini:
Kontekstualitas isu bagi kepentingan tujuan, strategi, dan prioritas pembangunan (nasional).
Membangun metode kajian dan indikator, serta memprediksi kemungkinan hasil penerapan
program pembangunan.
Merumuskan lingkup mitigasi yang realistis sesuai dengan kondisi lingkungan hidup dan
ketersediaan sumberdaya alam, serta sumberdaya manusia.
25
3. KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang
Proses penyusunan panduan implementasi KLHS dalam penataan ruang wilayah dilakukan dengan
menyiapkan makalah kerja (working paper) berjudul: Integrasi Kepentingan Lingkungan dalam
Perencanaan Tata Ruang: Implementasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Makalah kerja ini
disusun berdasarkan hasil studi tentang Penerapan KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang yang
merupakan kerjasama antara Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran pada tahun 2006. Sebagai tindak lanjut studi ini, Kementerian Negara
Lingkungan Hidup bekerjasama dengan DANIDA melalui proyek ESP-1 SEA, pada tahun 2007
menyiapkan panduan implementasi KLHS dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi.
Alasan pemilihan implementasi KLHS pada tingkat provinsi dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa
permasalahan lingkungan hidup umumnya bersifat lintas wilayah (dalam hal ini antar wilayah
kabupaten/kota), dan oleh pertimbangan menguatnya kepentingan parsial masing-masing
kabupaten/kota dalam penataan ruang, sehingga diperlukan intervensi pemerintah provinsi dengan
mengacu pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Laporan ini menunjukkan proses
penyempurnaan substansi panduan implementasi KLHS dalam penyusunan rencana tata ruang
wilayah provinsi (RTRWP).
Menyadari bahwa integrasi kepentingan Lingkungan Hidup (LH) dan/atau isu-isu pembangunan
berkelanjutan dalam penataan ruang memerlukan kejelasan tentang makna kepentingan LH, maka
proses penyempurnaan substansi panduan tersebut juga mendiskusikan dan merumuskan apa makna
kepentingan LH yang harus dipertimbangkan dalam penataan ruang. Proses penyempurnaan
substansi panduan implementasi KLHS dalam penataan ruang (RTRWP) dilakukan dengan
menyelenggarakan lokakarya di lima Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional selama periode
Juli September 2007. Lokakarya tersebut didahului dengan pengenalan instrumen pengelolaan LH,
yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), kemudian dilanjutkan dengan diskusi
penyempurnaan panduan.
Setiap proses pembangunan diawali oleh perencanaan. Tahap berikutnya adalah mengalokasikan
pembangunan tersebut di suatu wilayah, sehingga pada kondisi inilah diperlukan suatu mekanisme
pengaturan penataan ruang. Memahami bahwa segala fenomena pembangunan yang memerlukan
alokasi ruang ini mempunyai dampak sistemik, maka urusan ruang dapat dikatakan identik dengan
urusan lingkungan hidup. Oleh karena itu, secara substansial penerapan konsep KLHS memiliki
relevansi yang tinggi dengan pembangunan wilayah atau daerah, yang diatur dalam UU No. 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang. Kondisi lintas sektor atau departemen di atas pada dasarnya telah
26
diakomodir dalam Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional dan Daerah sebagaimana terlihat pada
skema di bawah ini.
TIM TEKNIS
BKTRN
(8
Keppres 62/2000 Menteri/LPND) POKJA
PRESIDEN
(3 Pokja)
Laporan setiap 3 (tiga) bulan
Fungsional (Melalui Mendagri)
Sekretaris
GUBERNUR Kep. Gubernur (Sekretariat
BKPRD ) POKJA
PROVINSI
(2 Pokja)
BKPRD
BUPATI/ KABUPATEN/KO POKJA
WALIKOTA TA
Kep. Bupati/Walikota (2 Pokja)
Sekretaris
(Sekretariat
)
27
Dalam perencanaan tata ruang harus mempertimbangkan keterkaitan/ketergantungan
Prinsip I:
(interdependency).
Apakah data dasar dan potensi SDA daerah telah Data dasar dan potensi SDA terdeskripsi dengan
diidentifikasi secara menyeluruh? jelas dan dimanfaatkan dalam analisis
perencanaan tata ruang
Apakah seluruh aspek yang akan dianalisis telah Analisis integratif, misalnya menggunakan
dideskripsikan dan dianalisis secara terintegrasi? analisis SWOT
Apakah telah diidentifikasi batas-batas ekosistem (DAS, Pemetaan batas ekosistem (DAS, pulau kecil,
pulau kecil, lainnya) dalam penataan ruang? atau ekosistem tertentu/khas) selain batas
administrasi
Apakah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA Pola pengelolaan SDA bersama masyarakat
yang dikuasai pemerintah telah dianalisis?
Pola pengelolaan SDA lain yang bersifat
melibatkan masyarakat secara aktif
Apakah penyusunan RTRW Provinsi telah Uraian dalam RTRWP yang menunjukkan
mempertimbangkan dan disesuaikan dengan RTRW diacunya RTRWN
Nasional?
Tidak ada substansi yang bertentangan antara
RTRWP dan RTRWN
Apakah mekanisme pemantauan dan evaluasi telah Dokumen pemantauan dan evaluasi (monev)
menentukan dengan jelas tanggung jawab dan wewenang implementasi RTRWP termasuk menunjukkan
masing-masing pemangku kepentingan lintas sektor dan siapa, melakukan apa, kapan, dan di mana
lintas wilayah?
Mekanisme pelaksanaan monev termasuk
28
tindaklanjut hasil monev
Sejauhmana faktor-faktor penunjang keberlanjutan, antara lain daya dukung dan daya
tampung LH serta faktor kemampuan sumberdaya alam untuk pulih kembali, menjadi
Kriteria pertimbangan perencanaan tata ruang. Penekanan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam
alokasi dan pemanfaatan ruang melalui pertimbangan implikasi dampaknya terhadap
ekosistem.
Apakah telah dilakukan analisis struktur dan fungsi lanskap Hasil analisis struktur dan fungsi tata ruang
(tata ruang) skala lokal dan regional? wilayah provinsi
Apakah telah dilakukan identifikasi penyimpangan Informasi bentuk dan lokasi penyimpangan
(ketidaksesuaian) pemanfaatan ruang? Bagaimana pemanfaatan ruang
tindaklanjut terhadap penyimpangan pemanfaatan ruang?
Peta yang menunjukkan terjadinya
penyimpangan
Apakah daerah rawan bencana telah dipetakan dan Pemetaan wilayah rawan bencana
dipertimbangkan dalam penataan ruang?
Perlakuan terhadap wilayah rawan bencana
Apakah wetland, cagar budaya/agama, dan keunikan lokal Pemetaan wilayah-wilayah khusus yang perlu
lainnya telah diidentifikasi dan dipertimbangkan dalam perlindungan
penataan ruang?
Apakah dalam pemanfaatan ruang, misalnya penetapan Hasil analisis daya dukung (air, lahan, lainnya)
pola kawasan budidaya (industri, pertanian, permukiman)
Hasil analisis daya tampung (limbah)
telah dilakukan analisis daya dukung dan daya tampung
lingkungan? Analisis kesesuaian dan kemampuan lahan
Apakah dalam penentuan sektor unggulan/andalan telah Hasil valuasi ekonomi lingkungan terhadap
dilakukan valuasi ekonomi lingkungan? penetapan sektor unggulan PDRB Hijau
Apakah dalam pemanfaatan ruang telah memprakirakan Informasi prakiraan dampak negatif penting
dampak positif dan negatif penting? Apa dampaknya?
Strategi mitigasi dampak negatif
Bagaimana mitigasi dampak negatif dilakukan?
Strategi peningkatan dampak positif, khususnya
yang bermanfaat bagi masyarakat
29
Apakah telah dilakukan konsultasi publik dalam Hasil konsultasi publik
perencanaan tata ruang? Dalam bentuk apa konsultasi
Bentuk/cara konsultasi publik
publik dilakukan?
Siapa yang terlibat dalam konsultasi publik
Apakah terjadi kesenjangan pendapatan yang lebar antara Indeks Gini atau indikator lainnya yang
penduduk perkotaan dan perdesaan di suatu wilayah? Bila menunjukkan sebaran jumlah penduduk di suatu
Ya, telusuri apakah penyebabnya terkait dengan penataan wilayah menurut kelompok/kategori pendapatan
ruang yang tidak adil? (income)
Apakah ada hak penguasaan sumberdaya alam (misalnya Struktur akses, pemanfaatan dan kontrol
hak ulayat) yang telah ada dan menjadi bagian kehidupan masyarakat atas sumberdaya alam tertentu
suatu kelompok masyarakat (masyarakat hukum adat)? (hutan, sungai, danau, dsb), yang merefleksikan
hak de-facto penguasaan sumberdaya alam
yang hidup di tengah-tengah masyarakat
Bila ada, bagaimana struktur akses, pemanfaatan, dan Pemetaan partisipatif atas pola spasial akses dan
kontrol masyarakat tersebut terhadap sumberdaya alam? kontrol masyarakat atas sumberdaya alam
Apakah hak de-facto penguasaan sumberdaya alam Struktur penguasaan sumberdaya alam oleh
tersebut tumpang-tindih dengan de-jure penguasaan negara (hutan produksi, hutan lindung, hutan
sumberdaya alam oleh negara (hutan lindung, hutan konservasi, tanah negara) di suatu wilayah
produksi, hutan konservasi)?
Apakah hak de-facto penguasaan sumberdaya alam Pola persebaran spasial akses dan kontrol negara
tersebut diakui atau memperoleh legitimasi dari atas sumberdaya alam
30
pemerintah?
Apakah penetapan suatu ruang untuk peruntukan tertentu Pemetaan persebaran spasial akses dan kontrol
(a.l, kawasan wisata pantai) berpotensi menimbulkan masyarakat atas sumberdaya alam terhadap
marjinalisasi pada sekelompok masyarakat karena akses rencana pengembangan ekonomi wilayah
menjadi tertutup?
Apakah lokasi-lokasi tertentu yang dipandang mempunyai Pemetaan partisipatif atas ruang hidup
nilai ekologi penting di mata masyarakat dan/atau masyarakat yang dipandang penting untuk
mempunyai nilai-nilai sakral di mata masyarakat setempat, dilindungi dan dicegah dari gangguan perubahan
telah dipertimbangkan atau dilindungi dari perubahan (lokasi mata air, hutan larangan, makam sakral,
peruntukan ruang? cagar budaya)
31
4. Kapasitas Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia Untuk
Pengembangan KLHS
Berdasarkan hasil-hasil sejumlah pertemuan dengan stakeholder pembangunan nasional dan daerah,
yang dilaksanakan oleh KLH pada bulan Maret sampai Desember 2007 di sembilan kota besar yang
merepresentasikan kawasan Indonesia Barat, Tengah, dan Timur, dapat disimpulkan bahwa
kebutuhan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) telah sampai pada taraf penting dan mendesak.
Salah satu isu pokok yang urgen dalam konteks penerapan KLHS adalah perlunya segera dibangun
kapasitas kelembagaan dan sumberdaya penggeraknya, khususnya sumberdaya manusia dalam
merumuskan konsep sampai dengan operasionalisasinya. Sebagai sebuah pemikiran yang relatif baru
dan bahkan secara praktikal belum resmi digunakan dalam proses pembangunan, sementara ini
dapat diasumsikan bahwa kapasitas yang tersedia untuk melaksanakan KLHS masih sangat terbatas
dibandingkan kebutuhannya, atau bahkan dapat dikatakan mulai dari posisi awal.
Asumsi yang digunakan dalam konteks pelaksanaan penerapan konsep KLHS adalah posisi
Kementerian Negara Lingkungan Hidup sebagai leading agency. Selain alasan relevansi, posisi
Kementerian Negara Lingkungan Hidup juga dapat dipandang sebagai lembaga yang berfungsi untuk
dapat berperan mengakomodir berbagai kepentingan dalam merealisasi perencanaan pembangunan
di suatu wilayah atau daerah.
Ada lima dimensi yang perlu menjadi perhatian atau dikaji dalam menyusun upaya peningkatan
yaitu:
a. Kondisi lingkungan kegiatan; terkait dengan dampak ekonomi, sosial, dan politik terhadap
kegiatan dan performa lembaga bersangkutan yang tercakup dalam dinamika tersebut.
b. Konteks lembaga sektor publik; menunjukkan kapasitas perhatian dan kepedulian publik yang
dapat memfasilitasi ataupun menghambat lembaga yang bersangkutan untuk mencapai
performa yang baik.
Kedua butir di atas merupakan dimensi utama dalam pengembangan kapasitas kelembagaan untuk
mencapai optimalisasi hasil pelaksanaan kebijakannya. Dimensi lainnya yang juga perlu mendapat
perhatian dalam rangka peningkatan kapasitas adalah:
32
d. Organisasi; fokus pada struktur organisasi, proses pengambilan keputusan internal,
sumberdaya yang dimiliki, dan gaya manajemen yang mempengaruhi bagaimana bakat dan
ketrampilan individual dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas. Dalam konteks
tugas dan wewenang Kementerian Negara Lingkungan Hidup, perlu ada penetapan unit pada
tingkat lini kedua (dalam hal ini adalah Deputi Menteri) yang ditugasi menerapkan konsep
KLHS.
Agar dapat lebih rinci merumuskan kapasitas yang dibutuhkan, maka diperlukan kajian yang lebih
teknis dan rinci terhadap kondisi saat ini dan kebutuhan yang akan datang.
33