Anda di halaman 1dari 38

MATERI I : KONSEP GEN

Pengantar
Tugas utama genetika adalah mempelajari cetak-biru (blueprint) atau peta arsitek
penyusunan organisme hidup. Cetak biru itu berhubungan dengan persoalan-
persoalan apa informasi genetika itu, bagaimana ia disimpan, dihantar, dan
diekspresikan.
Pembahasan akan dimulai dengan pembahasan mengenai perkembangan konsep
gen yang dimulai dari suatu konsep yang masih abstrak, penuh dengan rekaan, ke
dalam konsepnya yang muktahir, yaitu gen sebagai perintah-perintah seluler urutan
basa deoksiribonukleat (DNA).

Gen menurut Mendel

Anda tentu sering mendengar komentar yang mengatakan bahwa si Kastro (anak)
memiliki sifat/ciri seperti si Yono (bapaknya); atau anda mungkin pernah memiliki
pengalaman memilih-milih buah yang besar, manis, dan kemudian bijinya dicoba
ditanam kembali. Anda mungkin pernah mendengar perbincangan umum yang
mengomentari sifat-sifat orang dari berbagai suku: Orang Jawa ciri-cirinya A, B, dan
C; orang Cina ciri-cirinya A, B, C; dan orang Irian ciri-cirinya A, B, C. Orang
Eropa kulitnya putih, berbadan tinggi, dan berhidung mancung. Itulah kiranya
rekaan yang sering didengar.
Contoh-contoh di atas menyiratkan pengakuan adanya faktor-faktor turunan
yang berasal dari tetua, atau ciri-ciri tetap yang melekat pada sekelompok
organisme tertentu yang telah ada turun-temurun. Pengakuan demikian tentunya
telah ada jauh sebelum genetika sebagai ilmu dibangun. Sejarah pertanian
mencatat bahwa jauh sebelum Gregor Mendel menemukan faktor tetap yang
diturunkan (yang kemudian dinamai gen) pada tanaman kapri (Pisum sativum ),
manusia telah terlibat dalam proses seleksi sifat-sifat yang baik dari tumbuhan
berdasarkan kriteria ukuran buah besar, rasa manis, lezat, tidak beracun, dan
berdaya hasil tinggi.
Sejarah juga mencatat bahwa pengakuan adanya hubungan kekerabatan,
atau paling tidak hubungan relasional antara sekelompok makluk hidup secara
morfologis, telah dibangun sekitar abad 17 oleh C. Linaeus dan menjadi dasar-dasar
logika klasifikasi dan penamaan organisme dengan metode binomial nomenclature.
Namun demikian, pemahaman tentang makluk hidup sebagai suatu unit yang diskrit
dan tetap, masih dianut. Baru setelah Charles Darwin mengajukan teori
evolusinya yang menekankan pada hubungan terus-tak putus- diantara organisme,
maka pemahaman ini berubah secara radikal.
Walaupun teori evolusi telah didengungkan sebelum proposal Darwin,
melalui dia pemahaman tentang proses-proses evolusi berubah secara radikal.
Proposalnya mengenai bukti-bukti evolusi dan teori seleksi alamiahnya begitu
menyeluruh dan didukung oleh data yang ia kumpulkan serta hasil-hasil sintesis data
dinamika geologi dan palaentologi.
Gregor Mendel seorang pendeta yang tinggal di biara di Brnn, Moravia
(saat ini dikenal dengan nama kota Brno Czechoslovakia) adalah orang yang
pertama-tama mengidentifikasi adanya sifat-sifat kekal yang diturunkan dari orang
tua kepada keturunannya. Berdasarkan percobaan-percobaan kawin silangnya pada
kacang kapri ia berhasil mengidentifikasi bahwa karakter-katakter yang sedang
diamatinya menurun dan bersifat tetap dari satu generasi ke generasi lain sepanjang
yang dapat ia amati.
Ia mengawinkan galur murni kapri berbunga putih dan kapri berbunga
merah dengan hasil bunga berwarna merah pada turunan pertamanya (prinsip
dominansi). Karakter yang tampak pada turunan pertama ini disebut karakter
dominan, yaitu warna bunga merah. Sewaktu dilakukan kawin sendiri antara gamet
jantan dan gamet betina (selfing), diperoleh bunga-bunga warna merah dan putih
dengan perbandingan 3:1.
Berbeda dengan sangkaan umum saat itu, Mendel menyimpulkan melalui
percobaan tersebut bahwa karakter-karakter itu tidak melebur, tetapi melakukan
segregasi menurut keasliannya pada turunan kedua. Dengan demikian karakter-
karakter itu bebas satu dari yang lain dan masing-masing diwariskan dari induk
kepada turunannya (offspring) sebagai satuan-satuan terpisah.
Kesimpulan tersebut mengimplikan bahwa warna bunga merah (fenotipe A)
sesungguhnya mengandung dua unsur genotipe (Aa). Keduanya bersegregasi dan
muncul pada turunan berikutnya. Bentuk genotipe A dan a disebut juga bentuk-
bentuk alternatif, dan disebut allela (alleles =gen-gen pasangan). Allela kuat
(dominant) selalu akan menutupi allela lemah (recessive) dalam ekspresi
fenotipiknya. Dan karakter bersifat lemah akan muncul bilamana pasangan
genotipenya juga lemah (misalnya a berpasangan dengan a = putih). Namun
demikian, dominansi sempurna tidak selalu berlaku. Allela terkadang menunjukkan
dominansi parsial atau bahkan tidak menunjukan dominansi, atau codominance.
Gregor Mendel melanjutkan percobaan kawin silangnya untuk dua karakter
berbeda yaitu antara kapri berbiji merah dan bulat dengan kapri berbiji putih dan
kisut. Pada turunan pertamanya diperoleh biji berwarna merah dan bulat. Hasil ini
persis sama dengan prinsip dominansi yang telah dibuktikan pada percobaan
terdahulunya yaitu bahwa biji bulat berwarna merah merupakan karakter dominan.
Sewaktu kawin sendiri, hasil bijinya memiliki komposisi fenotipe 9 berbiji bulat
merah, 3 berbiji kisut merah, 3 berbiji bulat putih, dan 1 berbiji kisut putih.
Hasil percobaan lanjutannya ini tetap konsisten dengan prinsip segregasi
hasil percobaan pertama yaitu bahwa karakter-karakter asli muncul kembali pada
turunan keduanya. Hal yang lebih menarik pada percobaan kedua ini adalah bahwa
selain muncul dua tipe parental: biji merah bulat, dan biji putih kisut; juga muncul
tipe-tipe antara yang mungkin (reciprocal) yaitu: biji merah kisut dan biji putih
bulat. Tipe-tipe baru ini disebut tipe-tipe rekombinan (recombinant types).
Karena tersembunyinya genotipe resesif oleh efek allela dominan pada F1,
kawin-silang balik (backcross) antara gamet yang genotipenya tidak diketahui
(misalnya biji dengan fenotipe merah bulat) dengan gamet yang berasal dari biji
homosigot resesif (dalam hal ini biji kisut putih), maka segregasi bebas gamet-
gamet dari biji dengan genotipe yang tidak diketahui akan muncul dalam setiap
kombinasi dengan gamet-gamet resesif. Sehingga, kombinasi setiap susunan genetis
mungkin yang fenotipenya tidak diketahui, akan muncul dalam biji hasil kawin silang
balik.
Inferensi lanjut dari temuan ini ialah bahwa pada turunan F2,
pembentukan gamet melibatkan asosiasi acak dari setiap kombinasi yang mungkin
antara satu dari allela-allela karakter warna biji dengan satu dari allela-allela bentuk
biji (prinsip berpasangan bebas; Mendels principle of independent assortment).
Dengan demikian, ada empat tipe gamet yang mungkin dibentuk dalam
proporsi yang sama. Andaikan warna biji merah dominan disebut A, warna biji putih
resesif disebut a, biji bulat dominan disebut B, dan biji kisut disebut b, maka
keempat kombinasi gamet yang mungkin adalah: AB, Ab, aB, dan ab; dan mereka
akan melakukan asosiasi secara acak membentuk zigot pada generasi berikutnya.
Pada waktu Mendel mengidentifikasi faktor yang diturunkan -yang
kemudian disebut gen, faktor tersebut tidak dipahami sebagai sesuatu yang
material. Kromosom dan banyak aspek lain dari biologi reproduksi belum di kenal.
Gen lebih dipahami sebagai sifat tertentu yang diturunkan dari induk kepada
turunannya.
Dalam suratnya kepada Carl K. von Ngeli seorang ahli ilmu botani
terpandang saat itu, Mendel berkata: sebagai pekerja empiris, saya harus
mendefinisikan konstansi tipe (constancy of type) sebagai retensi (=retention,
kebertahanan; hak tetap memiliki) suatu karakter selama periode observasi.
Namun demikian, Mendel, walaupun seorang empiris, membuka
pemahamannya tentang gen kepada formalisasi matematis. Katanya: penelitian-
penelitian saya dengan karakter-karakter tunggal semuanya menuju pada
kesimpulan yang sama bahwa dari benih-benih hasil kawin silang, -pada turunan
pertama setelah kawin sendiri- setengahnya berkarakter hibrid (Aa) dan sisa yang
lain memperoleh karakter-karakter induk A atau b dengan jumlah yang sama. Jadi,
jika dari empat tanaman, dua di antaranya memiliki karakter hibrid Aa, satu
berkarakter induk A, dan yang lain berkarakter induk a maka 2Aa + A + a atau A +
2Aa + a adalah seri-seri perkembangan empiris sederhana dari dua karakter yang
berdiferensiasi. Demikian pula bahwa jika dua atau tiga karakter yang berdiferensiasi
dikombinasikan dalam suatu hibrid maka seri perkembangannya adalah suatu
kombinasi dari dua atau tiga seri-seri sederhana. Sampai pada titik ini, saya tidak
percaya bahwa saya dapat didakwa (be accused) telah meninggalkan kenyataan
eksperimentasi (the realm of experimentation). Jika selanjutnya saya memperluas
kombinasi seri-seri sederhana ini pada bilangan berapapun dari perbedaan-
perbedaan antara dua tumbuhan induk, maka saya telah memasuki wilayah rasional
(G. Mendel, 18 April 1867).
Dalam kalimat yang terakhir inilah, yaitu memasuki wilayah
rasional tersirat pemikiran Mendel bahwa temuannya mengenai segregasi 2Aa + A
+ a berlaku umum pada jumlah karakter bilangan berapapun, sehingga membuka
ilmu genetika ke wilayah formalisasi matematis dan deduktif. Artinya bahwa individu
terdiri dari sejumlah besar (ribuan) karakter bawaan, dan anakan (=offspring)
merupakan fungsi dari berbagai kombinasi yang mungkin dari sejumlah karakter-
karakter bawaan itu.

Gen dan Kromosom

Pada saat Mendel mempublikasikan hasil penelitiannya, konsep sel sebagai unit
dasar hidup telah berumur kurang-lebih 30 tahun. Namun saat itu, elemen-elemen
struktural sel baru dalam proses penelitian intensif sejalan dengan dikembangkannya
mikroskop dan sistem pewarna sel. Rekaan pertama hasil studi ini adalah bahwa sel
terdiri dari dua domain yang terpisah dengan jelas: bagian inti (nukleus) dan bagian
pinggiran (sitoplasma). Keduanya dipisahkan oleh selaput inti.
Ditemukan selanjutnya bahwa pada bagian inti ada dua bagian yang secara
morfologi dapat dibedakan, yaitu daerah butiran (kromatin) yang berwarna lebih
kuat jika di warnai dengan pewarna tertentu, dan bagian inti nukleus (nucleolus)
yang warnanya tidak serupa dengan kromatin. Sitoplasma sendiri terdiri dari
beberapa organela seperti sentriola dan vakuola.
Studi-studi embriologi menunjukan bahwa sel-sel penyusun tubuh
organisme tingkat tinggi berasal dari suatu seri pembelahan sel yang diawali oleh sel
telur yang dibuahi (diktum Rudolf Virchow, tahun 1850-an). Dari studi-studi sitologi
sel kelamin jantan dan sel kelamin betina, ditemukan bahwa walaupun ukuran sel
telur sangat besar, namun baik sel kelamin jantan dan sel kelamin betina memiliki
inti sel dengan ukuran yang sama, dan kedua-duanya memberi sumbangan
hereditas yang sama.
Dikarenakan kesamaan sumbangan sel kelamin jantan dan sel kelamin
betina kepada pewarisan sifat, dan ketidakseimbangan kontribusi daerah sitoplasma,
maka diduga inti sel dan bukan sitoplasma sebagai tempat bersemayannya
pewarisan sifat seluler.
Pada saat Mendel meninggal tahun 1884, telah diketahui bahwa kromatin
inti sel terdiri dari partikel-partikel yang membentuk benang-benang dengan jumlah
tertentu, atau kromosom, dan yang sangat penting adalah bahwa inti sel jantan dan
inti sel betina menyumbangkan kromosom dalam jumlah yang sama kepada telur
yang dibuahi. Setelah pembelahan sel telur, setiap anggota dari satuan ganda
kromosom ini nampak terbelah secara longitudinal dan dipilah ke dalam dua sel
turunan (daughter cells) melalui suatu proses yang dinamakan mitosis. Melalui
proses ini, setiap sel memperoleh kedua set ganda kromosom dari sel telur yang
dibuahi.
Analisis mikroskopik sel-sel ovarium dan testis binatang dewasa yang aktif
membela tersingkap bahwa ada proses lain dari pemilahan kromosom. Pada sel-sel
ini, jumlah kromosom per tubuh sel menjadi setengah, sehingga inti sel dari sel telur
dan sel sperma mengandung satu set tunggal kromosom yang dimiliki oleh telur dan
sperma dari bapak dan ibu. Proses-proses tersebut disebut meiosis.
Wilhelm Roux (1880-an) berpendapat bahwa sangat sulit membayangkan
jika mitosis dan meiosis hadir tanpa maksud yang baik. Proses meiosis dan mitosis
ada karena kromosom adalah penyusun bahan hereditas, demikian argumentasinya.
Tanpa sadar atas penemuan Mendel, ia mengajukan postulat bahwa unit-unit
hereditas diatur secara linier dalam benang-benang kromosom.
Pemikiran Rouxs langsung di sambar oleh August Weismann dan
mengembangkannya ke dalam teori yang lebih sempurna mengenai hereditas dan
perkembangan. Ia mengemukakan bahwa pada organisme multiseluler yang berbiak
secara seksual, jumlah satuan-satuan hereditas diparuh pada saat pembentukan sel
telur betina dan sperma atau tepungsari (sel-sel germ). Jumlah awal satuan-satuan
hereditas kemudian dipulihkan saat penggabungan inti sel telur betina dan jantan
dalam proses pembuahan yang menghasilkan individu baru. Bahan hereditas individu
baru ini setengahnya berasal dari sang ibu dan setengahnya lagi dari sang ayah.
Sayangnya Weissmann gegabah dengan mengatakan bahwa setiap
kromosom dalam inti sel membawa semua informasi untuk memproduksi satu
individu tunggal. Hal ini tidak sesuai kenyataan bahwa tanaman kapri memiliki 14
kromosom, dan tidak cocok dengan inferensi Mendel (yang saat itu belum diketahui)
bahwa tanaman kapri memiliki dua, dan bukan empat belas, kopy dari setiap satuan
hereditasnya. Teori Weissman menjadi sangat dikenal saat itu, dan mendorong
studi-studi pemuliaan kuantitatif seperti yang telah dibuat Mendel 35 tahun
sebelumnya.
Salah satu pendukung utama Teori Weissman adalah Hugo de Vries.
Walaupun de Vries menolak beberapa pandangan teori ini, ia melengkapinya dengan
mengatakan bahwa setiap satuan-satuan hereditas yang dipostulatkan
mengendalikan karakter tunggal, dan unit-unit ini dapat di kombinasikan dengan
berbagai cara pada turunannya. Untuk menguji dugaan ini, dia melakukan percobaan
seperti yang dilakukan oleh Mendel, dengan kesimpulan yang sama seperti yang
diperoleh Mendel. Percobaan dan kesimpulan yang sama pada waktu yang hampir
bersamaan (dua bulan dilaporkan lebih awal) juga dilakukan oleh Carl Correns
(Januari 1900) Ditemukannya kembali tulisan-tulisan
Mendel melahirkan kegemparan yang luar biasa di kalangan ilmuan karena hukum-
hukum yang dideduksi dari percobaan-percobaannya kemudian dapat dipahami
dalam pengertian perilaku kromosom dalam mitosis dan meiosis, yaitu bahwa setiap
kromosom membawa hanya sebagian dari semua satuan hereditas yang penting
untuk memproduksi individu sempurna, sehingga keseluruhan unit kromosom yang
ada dalam sel germ mencakup hanya satu jiplakan (copy) dari setiap unit. Sel yang
membawa unit kromosom tunggal ini disebut dalam keadaan haploid. Sehingga,
individu yang berasal dari telur yang dibuahi mengandung sepasang satuan
hereditas homologi, yaitu yang berasal dari bapak dan ibu. Sel yang membawa
satuan kromosom ganda dikatakan dalam keadaan diploid.
Di saat terjadi reduksi dalam meiosis dari dua kromosom dalam sel-sel
diploid menjadi masing-masing unit tunggal, maka individu memberikan satu
jiplakan tunggal dari setiap satuan hereditas ke sel-sel germ haploid yang
dengannya ia memperanakan turunannya.
Terjelaskannya faktor Mendel dalam perilaku mitosis dan meiosis
melahirkan dorongan yang luar biasa untuk melakukan studi-studi genetika. Istilah-
istilah baru kemudian muncul. Yang muncul pertama kali adalah disiplin itu sendiri
diberi nama genetika (genetics), dan unit bawaan dasar Mendel disebut gen (gene).
Dua gen homologi mewakili dua bentuk alternatif disebut allelomorf (allelomorphs)
yang kemudian disingkat allela (alleles). Individu yang berkembang dari telur yang
dibuahi disebut zigot (zygote), individu homozigot (homozygote) yaitu individu yang
membawa sepasang allela identik, dan sebaliknya heterozigot (heterozygote) bagi
individu yang membawa sepasang allela yang berbeda dari gen tertentu. Jumlah
keseluruhan gen yang ada dalam satu individu, dengan kata lain seluruh kromosom
disebut genom (genome).
Di tahun 1901 de Vries mengajukan proposal bahwa alella-allela berbeda
dari gen yang sama muncul melalui perubahan tidak kontinu dan sekonyong-
konyong, suatu proses yang dinamainya mutasi (mutation). Dengan ide mutasi,
berkembang selanjutnya mutasi gen sebagai sumber keragaman genetis. Konsep-
konsep yang diturunkan dari hukum Mendel kemudian diperluas pada berbagai
organisme yang lain.
Impetus baru penelitian genetika diperoleh pada tahun 1910 sewaktu
Thomas H. Morgan dan kelompoknya di Universitas Columbia melakukan penelitian
genetika pada lalat buah anggur (vinegar fly; Drosophila) untuk menjawab satu dari
persoalan genetis dan filosofis saat itu yaitu apa yang menentukan sel telur yang
telah dibuahi menjadi jantan atau betina?
Melalui studi morfologi kromosom, Morgan dan kawan-kawan membuktikan
bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata dalam perangkat kromosom jantan
dan betina. Pada sel diploid betina terdapat 4 pasang kromosom homologi; pada sel
diploid jantan hanya terdapat tiga pasang, dua kromosom sisanya nampaknya tidak
sepadan, yang satu berukuran besar dan yang lain berukuran kecil. Kedua
kromosom berbeda itu disebut X dan Y.
Membandingkan dengan pasangan-pasangan yang ada pada betina,
disimpulkan bahwa sang betina membawa dua kromosom X dan tidak memiliki
kromosom Y. Dengan demikian, jika individu membawa sepasang kromosom XX
maka individunya adalah betina, dan individu dengan kromosom XY adalah jantan.
Baik kromosom X dan Y kemudian dinamai Kromosom Seks. Hal ini kemudian
menjadi jelas bahwa seks diturunkan sesuai dengan gen-gen Mendelian yang
sederhana dimana X/X homosigot adalah betina, dan X/Y heterosigot adalah jantan.
Dengan demikian, semua telur haploid dari betina yang di hasilkan oleh
meiosis membawa satu kromosom X, sebaliknya sperma haploid yang dihasilkan
meiosis dalam testis jantan, setengahnya membawa kromosom X dan setengahnya
lagi membawa kromosom Y. Dengan demikian, pembuahan sel telur oleh sperma
pembawa kromosom X akan menghasilkan zigot betina, dan sebaliknya pembuahan
sel telur oleh sperma pembawa kromosom Y akan menghasilkan zigot jantan.
Impetus kedua berasal dari T.H Morgan dan kelompoknya. Mereka
menemukan 85 bentuk mutan yang menyimpang dari tipe normal (wild type),
seperti bentuk sayap, warna tubuh, warna mata, bentuk bristel, dan ukuran mata.
Mutan-mutan tersebut disebabkan oleh mutasi spontan tunggal yang jarang.
Tersedianya mutan-mutan tersebut di laboratorium memungkinkan
percobaan kawin silang dirancang guna mendalami mekanisme pewarisan sifat.
Hasil persilangan antara lalat bermutan dua gen (yang letaknya di dua kromosom
yang berbeda) dengan lalat pembawa allela normal, meneguhkan temuan Mendel
bahwa karakter resesif menghilang pada generasi pertama dan muncul kembali
dalam rekombinasi acak di antara turunan kedua setelah kawin sendiri.
Apabilah kawin silang dilakukan untuk dua karakter yang berada pada
kromosom yang sama, maka kedua allela tersebut cenderung muncul di antara
rekombinasi turunan kedua dalam kombinasi yang sama. Temuan ini melahirkan
pemahaman bahwa gen-gen yang berpaut demikian (linked genes) membentuk satu
kesatuan struktur genetis, sehingga mereka harus bergerak bersama-sama dalam
segregasi kromosom diploid selama meiosis.
Namun demikian, walaupun kedua karakter itu terpaut dalam satu
kromosom, beberapa rekombinasi juga berlangsung antara gen dalam kromosom
yang sama. Dalam hal ini, pada turunan kedua terdapat lalat yang membawa pada
kromosom yang sama satu gen yang allela-nya disuplai oleh induk yang satu dan
gen yang lain allelanya disuplai oleh induk yang lain. Morgan menafsirkan hasil ini
dalam pengertian terjadinya pindah silang (crossing over) kromosom-kromosom
homologi.
Basis sitogetika pindah silang sebelumnya telah ditunjukkan oleh F.A.
Janssens dalam pembelahan sel meiosis. Pada tahapan tertentu dalam meiosis,
setiap pasang kromosom homologi dari sel diploid membentuk penjajaran titik-
demi-titik (point-by-point alignment) atau disebut juga sinapsis (synapsis). Dalam
sinapsis terjadi pelukaan ditempat-tempat persentuhan antar dua kromosom
homologi yang berpasangan, yang dilanjutkan dengan pertukaran potongan dari
masing-masing kromosom yang berpasangan. Jadilah dua kromosom rekombinan.
Dikarenakan probabilitas membuat suatu pelukaan dan penggabungan
kembali bersifat tetap untuk setiap satuan panjang kromosom yang bersinapsis
maka semakin dekat jarak antara dua gen pada kromosom yang sama semakin kecil
kemungkinan kejadian pindah-silang antara keduanya, sehingga semakin kecil
rekombinasi antara alela-alelanya. Hal ini memungkinkan dilakukannya pembuatan
peta posisi gen mutan pada kromosom lalat buah.
Dengan melakukan perhitungan frekuensi segregasi gen-gen yang berpaut
di antara turunannya (offspring) dari sejumlah besar mutan, Morgan dan kawan-
kawan dapat membangun peta genetika gen-gen mutan pada ke empat kromosom
Drosophila.
Penemuan-penemuan T. H Morgan dan para ahli genetika lain
memantapkan pemahaman gen sebagi suatu faktor yang berlokasi dalam tempat
tertentu dalam kromosom, yang kemudian menjadi dasar-dasar penting dari apa
yang disebut dengan genetika klasik. Namun demikian, dalam genetika klasik, gen
masih dipahami sebagai suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat dipecah-pecah
menjadi serpihan-serpihan material. Pemahaman gen sebagai sesuatu yang
bersarang dalam struktur-struktur materi dikenal kemudian setelah penelitian
mengenai perilaku kromosom dan penelitian mutasi dikembangkan.
Mengomentari pemahaman saat itu tentang teori genetika H. J.
Muller, seorang ahli genetika terkenal dan penerima hadial Nobel, dalam pesta
mengenang 50 tahun ditemukannya kembali hasil kerja Mendel mengatakan: Inti
riil teori genetika masih nampak berada pada ketidaktahuan yang dalam. Yaitu
bahwa kita masih belum memiliki pengetahuan yang aktual dari mekanisme dibalik
sifat-sifat unik yang membuat suatu gen adalah gen yaitu kemampuannya
menyebabkan sintesis struktur yang lain seperti dirinya sendiri, dimana bentuk
mutasinyapun ikut di-copy.

Gen dan para Fisikawan

Pada pada tahun 1940-an muncul era baru penelitian genetika yang datang dari
sudut yang berbeda. Era ini ditandai oleh keterlibatan para peneliti yang berlatar-
belakang bidang fisika dengan sedikit pengetahuan mengenai genetika klasik.
Penelitian mereka terutama terpusat pada pertanyaan, Apa dasar-dasar fisika
informasi genetik? Mereka terobsesi untuk menemukan teori baru dalam fisika dan
kimia guna menerangkan prinsip self-replikasi dan pengaturan fungsi sel.
Nama yang paling terkenal saat itu adalah Max Delbrck, murid fisikawan
Denmark Niels Bohrn yang mempublikasikan sebuah paper yang sedikit spekulatif
berjudul "sifat mutasi gen dan struktur gen". Ia berkata: "Kalau dalam fisika semua
pengukuran harus ditelusuri secara prinsip pada pengukuran-pengukuran ruang dan
waktu, maka konsep-konsep dasar dalam genetika dan perbedaan karakter sulit
dijelaskan secara bermakna dalam satuan-satuan mutlak".
Pandangan tersebut kemudian dipopulerkan oleh seorang fisikawan yang saat itu
sudah sangat terpandang, ialah Erwin Schrdinger. Erwin dalam buku saku-nya
berjudul What is life mengatakan bahwa gen adalah pembawa informasi, dan satu-
satunya cara gen bekerja adalah bahwa ia membawa sejumlah kecil urutan unsur-
unsur berulang yang berbeda, atau simbol-simbol dimana pola yang sesungguhnya
dari urutan tersebut merepresentasikan sandi genetik. Ia menggambarkan sistem
penyandian genetik itu seperti dua simbol dalam kode morse: titik dan garis putus-
putus.

Asam Nukleat dan Transformasi pada Pneumococci

Bukti bahwa gen terbuat dari DNA ditunjukkan oleh penelitian pada bakteri penyebab
penyakit Pneumonia. Bakteri Pneumococcus biasanya diselaputi kapsul polisakarida
yang mengkilat dan berlendir. Kapsul polisakarida tersebut berperan dalam
patogenitasnya menimbulkan penyakit Pneumonia pada hewan, termasuk manusia.
Mutan yang tidak memiliki kapsul polisakarida tidak patogenik. Bakteri normal
disebut bentuk S, karena membentuk koloni yang lembut (smooth) dalam piringan
kultur. Sebalik, sang mutan disebut R karena membentuk koloni yang kasar (rough).
Bentuknya yang kasar (R) tersebut akibat dari adanya kekurangan enzim yang
mensintesis polisakarida kapsuler.
Fred Griffith (1928) mendemonstrasikan bahwa mutan non-patogenik (R)
dapat ditransformasi menjadi bentuk patogenik (S). Ia menyuntik tikus dengan
campuran bakteri bentuk R hidup dengan bakteri bentuk S yang telah dibunuh
dengan pemanasan. Hal yang luar biasa terjadi adalah bahwa akibat suntikan
tersebut tikusnya mati. Suntikan Pneumococci R hidup atau Pneumococci S mati
tidak mengakibatkan kematian tikus. Dengan demikian, Pneumonococci S mati telah
mentransformasi Pneumococci R hidup (non patogenik) menjadi Pneumococci S yang
patogenik dan mengakibatkan kematian tikus.
Dari percobaan selanjutnya ditemukan bahwa transformasi bakteri R ke S
dapat berlangsung secara in vitro. Yaitu bahwa bakteri bentuk R jika ditambahkan
ekstrak sel (cell-free extract) Pneumococci yang telah dibunuh, beberapa
diantaranya mengalami transformasi menjadi bentuk S. Hasil penelitian ini
kemudian meletakkan dasar-dasar pencarian agen yang mengakibatkan transformasi
tersebut.
Tiga peneliti (Avery O, Macleod C, McCarty M) di tahun 1944
melaporkan bahwa asam nukleat bertanggung-jawab mentransformasi Pneumococci
R menjadi Pneumococci S. Mereka membuktikan bahwa substansi yang diisolasi dan
mengakibatkan transformasi dari tipe R ke tipe S memiliki ciri-ciri kimia sesuai
dengan ciri-ciri DNA. Ditunjukkan bahwa baik sifat optis, endapan pusingan
(Centrifugal properties), sifat difusi, dan sifat elektroforetik menunjukan bahwa
substansi penyebab transformasi Pneumococci R ke S adalah seperti yang dimiliki
DNA. Ekstrak murnian sel Pneumococci tipe S, setelah protein dan lemak dipisahkan,
tidak mengakibatkan hilangnya kemampuan transformasi. Selanjutnya, perlakukan
tripsin dan kemotripsin tidak mempengaruhi aktifitas transformasi yang berarti
bahwa agen transforman bukanlah protein. Dalam penelitian pengaruh Ribonuclease,
yaitu enzim yang diketahui memotong-motong asam ribonukleat (RNA), diperoleh
bahwa ia tidak mempengaruhi kemampuan transformasi; (6) Sebaliknya,
kemampuan mentransformasi ekstrak yang dimurnikan dari Pneumococci hilang
segera setelah perlakuan deoxyribonuclease (yaitu enzim yang berkemampuan
mencernak DNA). Hasil penelitian ini menjungkirbalikan asumsi pada waktu itu yang
menghargai protein dan bukan DNA sebagai bahan pembawa informasi genetika.

Percobaan pada Bacteriophage

Penemuan Avery dan kawan-kawan memperoleh dukungan yang kuat dari hasil
penelitian infeksi bakteri Escherichia coli oleh T2 bacteriophage. T2 bacteriophage
adalah partikel virus yang terdiri dari inti DNA diselaputi protein dan bersifat
patogenik pada bakteri. Herriot (1951) mengusulkan bahwa virus T2 menyuntik
ujung mulutnya ke dalam bakteri tanpa tubuhnya ikut masuk ke dalam sel bakteri
dan memuntahkan isi perutnya yang penuh dengan substansi penyebab
transformasi, yaitu DNA ke dalam bakteri.
Ide bahwa DNA-lah yang bertanggungjawab dalam infeksi virus T2 pada E.
coli kemudian mengalami penguatan oleh Alfred Hershey dan Martha Chase pada
tahun 1952 melalui pecobaan berikut. DNA phage ditandai dengan radioisotop 32P
dan Protein phage ditandai dengan isotop 35S. Kedua penanda ini sangat spesifik
karena DNA tidak mengandung sulfur dan sebaliknya protein pembungkus partikel
virus tidak mengandung senyawa fosfor. Sampel E. coli diinfeksi dengan partikel
virus tertanda lalu diinkubasikan sekitar 10 - 15 menit. Dalam waktu ini, partikel
virus telah menempel di permukaan bakteri. Suspensi dipusingkan beberapa menit
pada 10.000 rpm (rpm = rotation per minute) dengan Blender Waring. Akibatnya,
sel yang terinfeksi virus mengalami adukan yang luar biasa dan memperburuk
keterhubungan antara bakteri dari virus. Suspensinya kemudian dipusingkan dengan
kecepatan yang cukup membuat bakteri E. coli terendap kebagian bawah tabung
pemusing (centrifuge tube). Jadi endapannya mengandung bakteri yang terinfeksi
sedangkan supernatannya mengandung partikel-partikel kecil. Fraksi-fraksi ini
kemudian dianalisis untuk menentukan lokasi DNA phage dan selaput protein.
Hasilnya sebagai berikut: (1) Sebagian besar DNA phage ditemukan dalam bakteri,
(2) Sebagian besar protein phage ditemukan dalam supernatan, (3) Perlakukan
blender hampir tidak memiliki pengaruh pada kompetensi bakteri terinfeksi untuk
menghasilkan partikel-partikel virus turunan. Penelitian ini mendukung penelitian
Avery dan kawan-kawan, walaupun mereka melakukannya pada sistem yang
berbeda.

25 April 1953 dan Struktur Molekul DNA

Kemampuan sel tunggal atau DNA phage memperbanyak dirinya dalam sel induk
dalam waktu yang singkat melahirkan pertanyaan tentang apa dan bagaimana
struktur tiga dimensi molekul DNA. Pertanyaan ini dijawab dengan gemilang oleh
beberapa peneliti utama yang semuanya sedang dalam proses persaingan dramatis
dan menegangkan, paling tidak oleh empat kelompok bebuyutan: Linus Pauling, dan
Delbrck di California Institute of Technology Pasadena Amerika Serikat; James
Dewey Watson dan Francis Crick di Laboratorium Cavendis, Cambridge University,
Cambridge Inggris; serta, Maurice Wilkins dan Rosalind E. Franklin di laboratorium
fisika Wheatstone King's College London. Walaupun kompetisi ini dimenangkan oleh
kelompok Cavendis, namun tanpa bukti foto sinar X kristal DNA serta interpretasi
gemilang oleh si cantik Rosalind E. Franklin bahwa gugus fosfatnya berada pada
bagian terluar dari struktur tiga dimensi DNA, proposal Crick dan Watson masih
harus mengalami pengujian berat.
Laporan Crick dan Watson termuat dalam majalah terkemu Nature 25 April 1953,
sebagiannya dikutip sebagai berikut: "Kami ingin mengemukakan struktur yang
sangat berbeda dari garam DNA. Struktur ini memiliki dua rantai heliks masing-
masing memilin pada poros yang sama. Kami telah membuat beberapa asumsi kimia
biasa yaitu bahwa setiap rantai terdiri dari gugus fosfat diester yang menyambung
residu-residu -D-deoksiribofuranosa dengan ikatan-ikatan 3',5'. Kedua rantai itu
(namun bukan basa-basanya) dikaitkan dengan suatu pasangan tegak lurus
(perpendicular) terhadap poros serat. Kedua rantai mengikuti pilinan tangan-kanan,
namun karena berpasangan, urutan atom-atom pada kedua rantai itu berada pada
arah yang berlawanan. Setiap rantai secara kasar mengikuti model I dari Furberg
(Furberg, 1952); yaitu bahwa basa-basanya berada di dalam pilinan, dan gugus
fosfat berada di bagian luar. Terdapat satu residu (basa nitrogen) pada setiap rantai
tiap 3.4 Angstrong dengan arah Z. Kami mengasumsikan sudut dengan besaran 36o
antara tiap residu pada rantai yang sama, sehingga struktur pilinan berulang setelah
10 residu disetiap rantainya, yaitu setelah 34 Angstrong. Jarak atom fosfor dari
poros serat adalah 10 Angstrong. Karena gugus fosfat berada pada bagian luar,
kation-kation menggapainya dengan mudah.Kenampakan yang baru dari struktur
DNA yang kami ajukan ialah bahwa kedua rantai dipasangkan bersama-sama oleh
basa-basa purin dan pirimidin. Ruang dari basa-basa ini tegak-lurus terhadap poros
serat. Mereka disambung bersama dalam pasangan, basa yang satu dari satu rantai
terikat dengan basa yang lain pada rantai lain oleh ikatan-ikatan hidrogen, sehingga
keduanya berdampingan dengan kordinat-kordinat-Z. Satu dari pasangan basa
haruslah purin dan yang lain adalah pirimidin agar terjadi ikatan. Ikatan hidrogen
tersusun sebagai berikut: posisi purin 1 dengan posisi pirimidin 1; posisi purin 6
dengan posisi pirimidin 6. Jika di asumsikan bahwa basa-basa ini berada dalam
struktur dengan bentuk tautomerik yang paling masuk akal (yaitu dengan
konfigurasi keto ketimbang konfigurasi enol) maka diperoleh bahwa hanya
pasangan-pasangan khusus basa-basa yang dapat membentuk ikatan. Pasangan-
pasangan ini adalah Adenin (purin) berpasangan dengan Timin (pirimidin), dan
Guanin (purin) berpasangan dengan Citosin (pirimidin). Dengan kata lain, jika
adenin adalah anggota dari sepasang basa pada rantai pertama, maka pada rantai
yang lain pasangannya haruslah timin; hal yang sama untuk guanin dan citosin.
Telah dibuktikan bahwa perbandingan jumlah adenin terhadap timin dan guanin
terhadap citosin selalu sangat dekat dengan kesatuan asam nukleat deoksiribosa
(lihat Tabel 1.1: Aturan Chargaff). Hubungan pasangan khusus basa-basa ini secara
langsung memberi rekaan kepada mekanisme penjiplakan bahan-bahan genetis".
DNA dalam analogi tangga dan anak tangga seperti nampak pada foto 1.1. Dua tiang
penyangga tangga merupakan rangka molekul berpilin ganda yang terdiri dari urutan
sili-berganti deoxiribosa fosafat. Kedua tiang penyangga utama tersebut memiliki
arah yang berlawanan (lihat arah anak panah). Anak tangga tersusun dari pasangan-
pasangan asam nukleat, yang berpasangan menurut aturan Chargaff: C
berpasangan dengan G dan T berpasangan dengan A. Pasangan-pasangan asam
nukleat tersebut tertarik satu sama lain melalui ikatan hidrogen yang dibentuk
antara dua pasangan yang bercocokkan.

Gambar 1.1. DNA dalam Analogi Tangga dan Anak Tangga

(Clik gambar untuk perbesar tampilan)

Tabel 1.1. Aturan Chargaff


Jumlah basa Adenin (A) hampir mendekati basa Timin (T) dan jumlah basa Guanin
(G) hampir mendekati Citosin (C).

Perbandinga basa nitrogen


DNA asal A/G T/C A/T G/C Purin/Pirimidin
Ox 1.29 1.43 1.04 1.00 1.1
Manusia 1.56 1.75 1.00 1.00 1.0
Ayam 1.45 1.29 1.06 0.91 0.99
Salmon 1.43 1.43 1.02 1.02 1.02
Gandum 1.22 1.18 1.00 0.97 0.99
Yeast 1.67 1.92 1.03 1.20 1.0
H. influenzae 1.74 1.54 1.07 0.91 1.0
E coli K2 1.05 0.95 1.09 0.99 1.0
Bacillus pada 0.40 0.40 1.09 1.08 1.1
tubercle burung
Serratia 0.70 0.70 0.95 0.86 0.9
marcescens
Bacillus schatz 0.70 0.60 1.12 0.89 1.0

E. Chargaff et al., (1949). J. Biol. Chem. 177.


Temuan Watson dan Crick memastikan bahwa DNA adalah polimer yang terdiri dari
satuan-satuan deoksiribonukleotida. Satu nukleotida terdiri dari masing-masing satu
basa nitrogen, gula dan satu atau lebih gugus fosfat. Gula yang dibawah oleh
deoksiribonukleotida dalam DNA adalah deoksiribosa. Awalan deoksi- menunjukan
bahwa jenis gula ini tidak memiliki atom oksigen yang ada pada senyawa induknya
(ribosa). Basa nitrogen adalah turunan dari purin dan pirimidin. Purin dalam DNA
adalah adenin (A) dan guanin (G) sedangkan pirimidin adalah thimin (T) dan Citosin
(C). Jadi, mengikuti aturan Cargaff, A berpasangan dengan T dan C berpasangan
dengan G dalam rantai yang berlawanan dan antiparalel. Hanya melalui ikatan
hidrogen dari pasangan basa nitrogen ini maka jarak tetap dari pilinan ganda
dipertahankan.

(Clik gambar untuk perbesar tampilan)

STRUKTUR DNA

DNA tidak selamanya gen!

DNA adalah molekul pembawa informasi genetika. Informasi itu tersimpan di dalam
urutan spesifik basa nukleatnya. Pertanyaannya ialah, apakah semua DNA yang
berada di dalam suatu sel membawa informasi genetika? Jawabnya, tidak. Tidak
semua DNA mengandung informasi genetika. Tidak semua urutan DNA di dalam
suatu sel mengandung informasi yang dapat diterjemahkan menjadi gen.
Walaupun pada prokarion, sebagian besar DNA dapat diterjemahkan ke dalam gen;
pada eukariotik, tidak lebih dari 10% genomnya mengandung gen. Dengan kata lain,
pada sembarang organisme (kecuali beberapa virus) gen adalah DNA namun tidak
semua DNA adalah gen. Pertanyaannya ialah, apa kiranya sebagian besar DNA yang
terkandung di dalam genom organisme eukariotik?

Beberapa Sifat Fisika DNA Yang Penting

Dalam perkembangan lanjut, implikasi dari model DNA menurut Watson dan Crick
adalah sifat fisika DNA yang mudah membentuk dua rantai tunggal DNA apabila
ikatan hidrogen purin-pirimidin "melele". Melalui pemanasan, misalnya, ikatan ini
melele dan kekentalan (viscocity) larutan menurun. Dalam keadaan rantai tunggal,
gugus amino dari purin dan pirimidin tersingkap dan siap bereaksi dengan
formaldehida membentuk turunan hidroksimetil, yang dalam keadaan rantai ganda
DNA gugus ini tidak reaktif. Akibat lanjut dari terbentuknya rantai tunggal DNA
adalah serapan radiasi ultraviolet pada riak-gelombang 260 mm oleh DNA dalam
larutan meningkat 40% (DNA memiliki serapan radiasi tertinggi pada riak-gelombang
260 mm). Dengan pemanasan, serapan radiasi ultraviolet oleh DNA meningkat
secara drastis disaat suhu pemanasan melewati titik leleh (melting point).

(Clik gambar untuk perbesar tampilan)

Titik leleh dari setiap potongan DNA bersifat spesifik. Misalnya, titik leleh
untuk DNA dari Diplococcus pneumoniae, E. coli, Serratia marcescens, dan
Mycobacterium phlei masing-masing berturut-turut: 86, 90, 94 dan 97 oC. Naiknya
titik leleh ini berhubungan langsung dengan naiknya kadar [G] + [C] pada suatu
spesies. Setiap spesies bakteri dan vertebrata memiliki kadar G/C yang berbeda-
beda (Tabel 2.1). Marmur (1959) melakukan percobaan denaturasi DNA yang
mengandung berbagai kadar AT (termasuk DNA sintetik kaya AT. Hasilnya
menunjukan bahwa suhu titik denaturasi menurun dengan naiknya kadar A/T.
Percobaan transformasi pneumococci resipien dengan DNA yang di panasi dari D.
pneumoniae donor, menyebabkan aktifitas transformasi terhenti disaat pemanasan
mencapai suhu 86oC, yaitu suhu dimana denaturasi DNA Pneumococci di capai. Hal
ini disebabkan oleh ketidakmampuan bakteri ditransformasi oleh rantai tunggal
polinukletida.

Tabel 1.2.
Jumlah Fraksi [G] + [C] pada beberapa bakteri dan vertebrata

Fraksi Mol [G] +


[C]
Bakteri Vertebrata
(%)
26 Welchia perfringens
30 Micrococcus pyogenes
34 Bacillus cereus
36 Proteus vulgaris
38 Streptococcus pneumoniae
40 Hemophilus influenzae Manusia
42 Bacillus subtilis Salmon, Katak
44 Vibrio cholerae Tikus, ayam
48 Corynebacterium acnes
50 Salmonella typhimurium
52 Escherichia coli
54 Shigella dysentriae
56 Aerobacteriu aerogenes
58 Serratia marcescens
60 Pseudomonas fragii
64 Pseudomonas fluorescences
66 Mycobacterium phlei
68 Mycobacterium tuberculosis
72 Micrococcus lysodeikticus
74 Streptococcus griseus
Sumber: Gunther S. Stent (1971): Molecular Genetics, an introductory narrative.

Hal yang menarik adalah bahwa ternyata dua rantai tunggal DNA yang
telah dipanasi dapat berpasangan kembali di dalam larutan. Marmur di tahun 1960
memanaskan larutan DNA pneumococci pada suhu 100oC. Larutannya kemudian
didinginkan. Sepanjang pemanasan dan pendinginan, dilakukan uji kemampuan DNA
mentrasnformasi bakteri resipien. Pewarisan kemampuan bakteri menerima DNA
berlangsung sejalan dengan naiknya suhu pemanasan DNA. Sewaktu pendinginan,
dan suhu mencapai 86oC, transformasi mulai mengalami restorasi dan mencapai
maksimumnya pada suhu sekitar 60oC, dan tetap konstan sampai suhu pendinginan
mencapai 30oC. Denaturasi dan renaturasi DNA dapat juga diikuti dengan mengukur
absorbansi sinar ultraviolet sepanjang naik dan turunnya suhu larutan.
Nampaknya bukanlah suatu keharusan bahwa dua DNA harus benar-benar identik
agar mampu berpasang kembali. Dua rantai tunggal DNA yang memiliki tingkat
homologi basa nitrogen tertentu dapat berpasangan. Sifat hibrida silang demikian
menjadi dasar-dasar penting dalam banyak prosedur aplikasi genetika molekuler
seperti analisis hubungan keeratan dua organisme, studi sistematika organisme,
pengembangan teknik hibridisasi in situ fluorpendar (FISH), sintesis DNA in vitro
dengan reaksi berantrai polimerase (PCR), dan prosedur hibridisasi Southern.
Terdapat beberapa protein/enzim penting yang berinteraksi dengan DNA
dan mempengaruhi sifat-sifat fisik DNA yaitu: (1) Deoksiribonuklease (DNase), (2)
Enzim-enzim spesifik penggunting DNA (Restriction enzyme endonucleases), (3)
DNA ligase, (4) Topoisomerase, (5) DNA Polimerase, (6) DNA girase, (7) Primase,
(8) Helikase, dan (9) DNA binding protein.

Visualisasi DNA

Sebelum membahas mengenai seluk beluk DNA sebagai molekul pembawa informasi
biologi, ada baiknya kita mengenal tampakan visual molekul DNA yang biasanya
dipakai untuk mengenalnya di laboratorium.
Bayangkan seandainya DNA berada dalam jumlah yang besar (katakanlah 1-2
mg dalam 1 ml air), ia akan nampak putih berkaca dan pekat. DNA sebanyak itu
biasanya diisolasi dari sekitar 2 - 5 g bahan hidup setelah dipekatkan dengan cara
mengambangkannya pada lapisan tertentu dalam tabung pemusing-ultra
(ultracentrifuge) menurut masa spesifiknya. DNA dapat divisualisasi karena Ethidium
bromida (EtBr) dapat terperangkap (intercalated) di antara pasangan-pasangan basa
DNA, yang kalau disinari dengan radiasi ultraungu akan memendarkan cahaya. Hal
ini dapat dikerjakan dalam proses pengambangan dengan dalam pemusing ultra atau
melalui elektroforesis DNA dengan gel agarosa. Cara tradisional lain yang biasanya
dipakai untuk mengenal DNA adalah dengan pembuatan foto autoradiograf dari DNA
yang di tandai dengan radioisotop 32P. Namun demikian, berbagai cara yang lebih
menarik, seperti penggunaan zat kimia berpendar, atau dihubungkan dengan deteksi
antibodi antigen telah dikembangkan.
Isolasi DNA

Ada sejumlah tujuan dari isolasi DNA, antara lain:


Visualisasi DNA dengan elektroforesis gel.
Peninjauan pola fragmen DNA hasil pemotongan secara enzimatik melalui
teknik Hibridisasi Southern
Isolasi DNA genomik dalam rangka pembuatan pustaka genomik.
Isolasi plasmid atau DNA fage dalam prosedur rutin peminakan DNA,
Isolasi DNA yang diperlukan sebagai cetakan (template) dalam prosedur
perbanyakan DNA secara in vitro melalui teknik PCR.
Setiap maksud penggunaan DNA yang beragam membutuhkan persyarakan
kualitas DNA yang berbeda. Kualitas DNA tersebut ditentukan oleh hal-hal berikut:
Kemurnian
Panjang DNA
Kemampuan untuk dipotong oleh sembarang enzim
Tidak mengalami modifikasi kimiawi selama proses isolasi berlangsung
Oleh sebab itu, terdapat sejumlah teknik isolasi DNA, yang disesuaikan untuk
berbagai maksud penggunaan dan kualitas minimum yang ingin dicapai

Elektroforesis Gel Agarosa

Pada awal perkembagan penelitian tentang DNA, DNA dipantau menggunakan


perbedaan kecepatan pengendapan pada suatu kolom gradien sukrosa. Metode ini
jauh lebih rumit dan membutuhkan waktu yang banyak. Metode tersebut kemudian
diganti oleh metode elektroforesis gel, yang tidak hanya dipakai dalam metode
analitik tetapi juga secara rutin digunakan dalam pemurnian potongan spesifik suatu
fragmen DNA. Teknik elektroforesis gel merupakan prosedur sederhana. Potongan-
potongan DNA dialirkan dari ujung puding agarosa (0.8 1.4%) yang bermuatan
elektrik negatif (anoda) ke arah ujung puding yang bermuatan positif (ujung
katoda). DNA akan bergerak, dan kecepatanya ditentukan oleh ukuran berat
molekul.
Microarray

Proteomik

Proteomik berusaha memahami bagaimana kerja molekuler suatu sel, melalui studi
protein-protein skala besar. Proteomik berusaha menemukan fungsi dari produk-
produk gen di dalam sel atau organisme, dan berusaha memahami bagaimana
protein-protein tersebut bekerja pada aras-aras seluler dan organismal. Analisis
proteomik mencakup sejumlah teknik penelitian yang dirancang untuk
mengidentifikasi protein-protein, mendeteksi interaksi-interaksi antar protein,
mengkarakterisasi modifikasi pasca-translasi, dan mendeterminasi fungsi protein.
Berbagai teknik ini membutuhkan metode yang rutin dan baik dalam hal ekstraksi,
pemurnian dan analisis protein.

MATERI III : REPLIKASI DNA DAN PEWARISAN SIFAT


Konservasi Informasi Genetika
Untuk mempertahankan hidupnya organisme berkembang-biak dengan cara kawin
ataupun dengan cara tidak kawin. Kawin merupakan cara pembiakan utama pada
organisme tingkat tinggi. Pada organisme tingkat rendah, cara tidak kawin
merupakan strategi utamanya. Nampaknya, arah perubahan evolutif bergerak dari
strategi tidak kawin menjadi strategi kawin [mengapa?]. Baik cara kawin atau tidak
kawin, prinsipnya adalah menghasilkan turunan berikutnya yang sama atau sedikit
sama. Jadi, setiap organisme yang berbiak harus memiliki sifat dan kemampuan
meng-kopy dirinya sendiri menjadi copy lainnya yang serupa.
Sel adalah unit dasar hidup. Semua organisme hidup tersusun dari unit sel
tunggal atau sel banyak. Untuk mempertahankan hidupnya, sel memperbanyak
dirinya dari satu generasi ke generasi lain dengan cara meng-copy dirinya dari satu
menjadi dua, dari dua menjadi empat, dan seterusnya. Bukan saja soal jumlah sel
yang berlipat-ganda, volume sel pun meningkat linier searah dengan peningkatan
jumlah sel.
Karena komposisi dan jumlah zat-zat penyusun sel tunggal dari satu generasi ke
generasi selanjutnya relatif tetap, maka terjadi peningkatan biomasa secara linier
sesuai dengan jumlah sel. Artinya bahwa seiring dengan peningkatan jumlah sel,
berlangsung biosintesis senyawa-senyawa penyusun tubuh sel terutama karbohidrat,
protein, asam-asam nukleat dan lemak. Mereka adalah bahan baku penyusun tubuh
sel seperti dinding sel, membrane, cairan sel, dan organela; atau menjadi mesin-
mesin fungsional bekerjanya aspek-aspek fisiologis sel seperti enzim, penghantaran
dan alih-ragam signal (signal transduction), sistem kekebalan tubuh, atau cadangan
energi kimia.
Keempat golongan senyawa penyusun utama tubuh sel itu disintesis dari senyawa-
senyawa antara seperti asam amino, nukleotida, gula dan asam lemak. Senyawa-
senyawa antara ini disintesis dari unsur-unsur yang jauh lebih sederhana lagi seperti
glukosa, amonia, dan garam-garam anorganik. Dalam hal ini, glukosa disintesis
langsung oleh organisme berklorofil, melalui proses fotokimia dan biokimia fiksasi
CO2 dan konversi energi radiasi matahari ke dalam ikatan-ikatan kimia karbon
glukosa. Organisme yang tidak berklorofil bergantung penyediaan energi dan
senyawa karbon dari organisme berklorofil.
Pertanyaannya ialah, apa kiranya yang menyebabkan sel dan organisme mampu
memperbanyak dirinya sendiri dan mewariskan semua informasi genetis yang
terkandung kepada sel turunannya? Teori kromosom tentang pewarisan informasi
menerangkan bahwa selama proses mitosis satu sel membela menjadi dua sel.
Namun sebelum pembelahan sel berlangsung, jumlah kromosomnya berlipat-ganda.
Pada sel manusia dari 46 menjadi 92 sebelum kemudian dipilah menjadi masing-
masing 46 untuk sel-sel turunannya. Dalam pembelahan meiosis, satu sel diploid
menggandakan bahan genetiknya sekali namun diikuti oleh pembelahan sel dua
kali. Sehingga, satu sel diploid menghasilkan empat sel haploid. Setiap sel memiliki
jumlah kromosom separuh dari jumlah kromosom sel induknya.
Dengan membandingkan jumlah DNA pada sel-sel diploid dan sel-sel
haploid diperoleh data bahwa jumlah DNA pada sel-sel diploid memiliki jumlah DNA
dua kali-lipat. Seandainya satu sel diploid memiliki 9 pg (pico gram; 10-12 g) DNA
maka sel haploid memiliki 4.5 pg DNA. Dalam hal ini, jumlah kelipatan DNA selaras
dengan jumlah kelipatan kromosom. Dengan demikian, setiap sekali pembelahan sel
mitosis jumlah DNA-nya pun bertambah dua dua kali.
Visualisasi replikasi DNA berselaras dengan replikasi kromosom selama proses
pembelahan sel mitosis didemonstrasikan oleh Herber Taylor (1958). Ia memberi
makan tanaman keluarga lili dengan thimin radioaktif, setelah sel-selnya membelah.
Tanaman-tanaman tersebut kemudian dipindahkan ke dalam media tanpa
radioisotop. Preparat kromosom yang berasal baik sebelum, selama dan setelah
perlakuan isotop disiapkan dipermukaan slide kaca, dan disingkap kepermukaan film
fotograf.
Hasilnya bahwa sebelum kromosom itu diperlakukan dengan isotop thimin,
kromosomnya tidak menghasilkan "pengenal" dalam kromosom berupa warna "hitam
hangus" di permukaan film. Kromosom yang langsung dipersiapkan dari perlakuan
thimin menghasilkan "pengenal" pada kedua pasang kromosom dipermukaan film.
Menariknya, kromosom yang dipersiapkan dari tanaman yang telah dipindahkan ke
media tanpa thimin isotop yang sebelumnya diperlakukan dengan radioisotop,
terdapat kromosom yang satu dari pasangannya tidak ditemui pengenal (kecuali di
daerah pindah-silang). Eksperimen ini membuktikan bahwa Sintesis DNA berselaras
dengan replikasi DNA dan bersifat linear terhadap struktur kromosom, dan terjadi
sekali untuk setiap kali pembelahan sel.
Sifat memperbanyak diri secara vegetatif demikian tidak hanya dimiliki
oleh bahan genetik dalam kromosom. DNA sirkuler yang disebut plasmid atau DNA
batangan pada virus berkemampuan memperbanyak diri dengan cara mengkopi
molekul DNA tunggal menjadi sepasang ikatan DNA ganda. Proses mengkopi diri
sendiri dari polimer DNA menjadi jiplakan-jiplakan DNA identik disebut replikasi DNA.

Replikasi DNA
Selang beberapa saat setelah publikasi Crick dan Watson mengenai struktur rantai
ganda DNA, mereka kemudian mengemukakan implikasi struktur rantai ganda ini
kepada mekanisme cetak-kopi informasi. Baik penelitian E. Chargaff dan Herbert
Taylor membuktikan bahwa DNA bereplikasi semikoservatif. Artinya bahwa dalam
sintesis DNA, dengan bahan awal DNA yang mampu memperbanyak diri, replicon,
seperti plasmids dan kromosom, setiap rantai tunggal DNA berfungsi sebagai
cetakan bagi sintesis rantai DNA baru pasangannya.
Pertanyaannya ialah, bagaimana mekanisme biosintesis DNA sesungguhnya terjadi
di dalam sel? Arthur Kornberg menjawab pertanyaan ini dengan mendekatinya
melalui pendekatan ensimatik. Ia berpendapat: "replikasi rantai nukleotida pasti
dikatalisis oleh suatu enzim". Atas dasar pandangan tersebut, ia berusaha
mengisolasi enzim yang bertanggungjawab pada biosintesis DNA dan mempelajari
mekanisme aksi ensimnya.
Ia membuat ekstrak protein dari bakteri E. coli dan menambahkannya ke dalam
suatu campuran reaksi dengan sejumlah komponen berikut: deoksinukleosida
trifosfat dimana atom P dan C-nya menggunakan 32P atau 14C dan
deoksinukleosidanya mengandung keempat basa nitrogen A, T, G, C; Mg++, serta
DNA sebagai cetakan. Dengan campuran ini dalam tabung reaksi, diharapkan akan
terbentuk polinukleotida dengan berat molekul yang lebih tinggi.
Usahanya berhasil, dan bukti-bukti menunjukkan bahwa bahwa polimerisasi
dimaksud menunjuk kepada biosintesis DNA. Ia mendemonstrasikan bahwa
polimerisasi DNA hanya dapat berhasil jika keempat deoksinukleosida trifosfat dan
cetakan ada dalam komponen reaksi. Selanjutnya, dengan adanya alat uji (bioassay)
aktifitas enzim yang mensintesis DNA, memungkinkan diisolasinya enzim yang
bertanggung-jawab pada reaksi tersebut. Kornberg menamai enzim tersebut DNA
polimerase.
Reaksi kimia yang dipercepat oleh DNA polimerase adalah mensintesis polinukleotida
sambil melepaskan satu molekul pirofosfat (P-P) untuk setiap penambahan satu
nukleosida trifosfat ke dalam rantai baru. Bukti yang paling kuat mendukung bahwa
reaksi in vitro dipercepat oleh DNA polimerase bukan sekedar polimerisasi acak
nukleotida, tetapi terlibat dalam replikasi DNA, adalah bahwa DNA cetakan yang
ditambahkan ke dalam campuran reaksi tidak hanya diperlukan agar polimerisasi
berlangsung, tetapi juga sebenarnya menentukan ciri dari polinukleotida yang di
bentuk.
Melalui analisis komposisi basa nukleotida yang terbentuk setelah reaksi enzimatis
dari berbagai macam DNA cetakan, Arthur Kornberg berhasil menunjukan bahwa
DNA yang disintesis mengikuti ciri komposisi basa cetakan DNA-nya. Penelitian lanjut
membuktikan bahwa DNA cetakan mengarahkan tidak hanya komposisi keseluruhan
basa yang terbentuk, tetapi frekuensi relatif dari basa-basa yang terbentuk.
Berdasarkan studi sintesis DNA secara in vitro, dapat dikatakan bahwa DNA
bertindak langsung sebagai cetakan dalam proses kopolimerisasi teratur replika-
replika yang terbentuk tanpa membutuhkan sintesis senyawa antara bukan DNA.
Dalam perkembangan studi biokimia, kemudian dapat dirancang bangunan yang
lebih detil replikasi DNA, serta berbagai enzim yang terlibat.
Mekanisme pembelahan sel
Pertanyaan lanjut ialah, bagaimana sesungguhnya sel menggandakan DNA nya
sendiri dan kemudian mendistribusikannya secara meraka kepada sel turunannya
secara sama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sel berhadapan dengan
persoalan koordinasi antar bagian dan proses, yaitu bahwa karena replikasi DNA
hanya berlangsung sekali untuk setiap sekali pembelahan sel, replikasi DNA harus
terpadu dengan pembelahan sel. Replikasi DNA harus mendahului pembelahan sel
agar sebelum pembelahan sel berlangsung, telah tersedia bahan genetik untuk
diagihkan kepada masing-masing sel turunan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka replikasi DNA merupakan
bagian keseluruhan dari pembelahan sel, dan merupakan proses awal bagi sel
berkomitmen meneruskan proses pembelahan sel. Sekali pembelahan sel diawali ia
tidak bisa kembali lagi ketahap semula, dan harus menyelesaikan proses sintesis
DNA sebelum pembelahan sel berlangsung. Pembelahan sel tidak boleh terjadi jika
replikasi DNA belum selesai. Di dalam kenyataannya, selesainya proses replikasi
merupakan pemicu bagi terjadinya pembelahan sel. Jika aturan ini dilanggar, maka
transmisi informasi akan mengalami kegalauan.
Pada prokarion, replikasi DNA berawal di suatu tempat yang amung yang
disebut daerah pengawalan (origin). Sebaliknya pada eukarion, replikasi DNA
dimulai di awal fase S, yaitu fase yang memiliki periode yang panjang dalam
pembelahan sel, yang dalam periode tersebut sintesis DNA berlangsung, bahkan
berlangsung di banyak titik-titik pengawalan di dalam genom.

Ekspresi Gen
Ekspresi Informasi Genetika

Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah: "bagaimanakah informasi genetis


yang terkandung dalam suatu potongan DNA diekspresikan?" Atau dengan kata lain,
bagaimanakah informasi yang terkandung dalam bentuk urutan tertentu basa
nitrogen DNA menjadi perintah-perintah seluler untuk membangun keseluruhan
tubuh sel yang sempurna?
Gen tersusun dari urutan tertentu basa nitrogen DNA, dan urutan-urutan basa
nitrogen tertentu itu adalah sandi-sandi dengan makna tertentu. Urutan tertentu
basa nigtrogen suatu potongan DNA merupakan kalimat panjang dengan makna
tertentu. Kalau daerah sandi (coding region) terdiri dari 1500 potongan basa DNA,
maka kalimatnya disusun oleh ke 1500 potongan basa DNA itu. Penelitian mutasi
genetik pada virus yang patogenik terhadap bakteri (bacteriophage) membuktikan
bahwa kalimat yang sungguh panjang itu disusun oleh kata-kata, yang terdiri dari
kombinasi tiga pasangan basa DNA. Satuan-satuan tiga serangkai basa nitrogen
yang membentuk kata-kata ini disebut kodon, misalnya: AGT, AGC, AGA, AGG.
Dengan demikian, gen yang tersusun dari 1500 pasangan basa membentuk 500
kata atau kodon (1500 : 3 = 500).

Alir informasi genetika

Sandi genetika dalam urutan basa DNA disalin ke dalam asam nukleat
tunggal, yang disebut RNA. RNA selanjutnya diterjemahkan ke dalam protein.
Sehingga, urutan basa nitrogen dari suatu gen memiliki hubungan paralel dengan
urutan asam amino dari protein yang dikode. Arah mengalirnya informasi genetik ini
juga disebut ajaran utama (central dogma) ekspresi genetik, yang secara formal
dirumuskan begini: "sekali informasi (dalam gen) telah diterjemahkan ke dalam
struktur protein, ia tidak dapat berpindah lagi. Pemindahan informasi dari asam
nukleat ke dalam asam nukleat lain, atau dari asam nukleat ke dalam protein adalah
mungkin, tetapi pemindahan informasi dari protein ke protein, atau dari protein ke
asam nukleat tidak dimungkinkan".
Informasi dalam hal ini artinya determinasi yang teliti dari urutan basa dalam asam
nukleat atau residu asam amino dalam protein" (Crick, 1958). Proses perpindahan
informasi dari DNA ke DNA lain melalui biosintesis DNA disebut replikasi
(Replication). Apabilah informasi itu dipindahkan dari rantai ganda DNA ke dalam
rantai tunggal asam nukleat, atau RNA (Ribose Nucleic Acid), prosesnya disebut
transkripsi (transcription). Proses penterjemahan sandi genetis dari urutan basa
nitrogen dari mRNA ke dalam urutan asam amino dalam protein disebut translasi
(translation).
mRNA: Francois Jacob dan Jacques Monod, 1961

Di tahun 1961, Jacob dan Monod mengembangkan model molekul duta dengan
kriteria-kriteria berikut:
Komposisi basanya harus merefleksikan komposisi DNA yang menspesifikasi
molekul duta itu.
Harus bersifat heterogenous dalam hal ukuran, karena dalam hal inilah gen-
gen itu berbeda.
Molekul duta semestinya berasosiasi sementara dengan ribosom, tempat
dimana sin tesis protein berlangsung.
Molekul duta semestisnya disintesis dan didegradasi sangat cepat.
Berdasarkan kriteria ini, maka tRNA dan rRNA, yang telah diketahui sebelum
tahun 1961, tidak memenuhi kriteria Yacob dan Monod. Menurut mereka rRNA
bukanlah struktur khas yang dapat memfasilitasi informasi DNA dalam biosintesis
protein.
Bukti-bukti keterlibatan RNA duta sebagai pembawa informasi gen,
ditampilkan oleh Brenner, Jacob dan Meselson melalui percobaan berikut. Bakteri
ditumbuhkan dalam medium mengandung isotop berat (15N dan 13C) dan diinfeksi
dengan partikel virus. Kemudian dipindahkan segera ke dalam medium yang
mengandung isotop ringan (14N dan 12C). Ribosom yang disintesis sebelum dan
setelah infeksi kemudian dideteksi dengan density-gradient centrifugation. RNA baru
yang terbentuk ditandai dengan radioisotop 32P atau 14C-urasil. Sedangkan protein
yang baru terbentuk ditandai dengan 35S. Hasil percobaan menunjukkan bahwa: (1)
Tidak terdapat sintesis ribosom setelah infeksi. (2) RNA disintesis setelah infeksi
phage, dan kebanyakan RNA yang baru disintesis berasosiasi dengan ribosom yang
telah ada. Penelitian terpisah menunjukkan bahwa RNA dimaksud menghilang
dengan cepat selama pertumbuhan phage. (3) Radioisotop 35S terdeteksi sementara
dalam ribosom berat, menunjukkan bahwa protein baru telah disintesis dalam
ribosom yang telah ada sebelumnya.
Dari percobaan di atas disimpulkan bahwa ribosom terlibat dalam biosintesis
protein namun tidak sebagai struktur khusus yang bertanggungjawab tetapi dalam
sintesis protein. RNA yang baru terbentuk itulah yang meng-imlah (dictate)
informasi ke dalam sintesis protein.
Percobaan Sol Spiegelman (1961) kemudian membuktikan melalui
percobaan hibridisasi DNA dan RNA bahwa keduanya dapat berpasangan jika
pasangan basanya komplementer. Setelah bakteri E coli diinfeksi dengan T2 phage,
mRNA diisolasi dan ditandai dengan 32P, sedangkan DNA phage T2 ditandai dengan
3
H. Baik mRNA dan DNA dipersiapkan secara terpisah. Suatu campuran mRNA dan
DNA kemudian dipanasi sampai 100oC, yang 'meleleh'kan ikatan ganda DNA.
Larutannya kemudian didinginkan secara perlahan. Larutanya kemudian dianalisis
dengan density-gradient centrifugation. Ditemukan tiga pita setelah sentrifugasi: (1)
pita terpadat adalah rantai tunggal RNA, (2) pita kedua adalah rantai ganda DNA, (3)
pita ketiga adalah molekul hibrid DNA-RNA yang ada sangat dekat dengan pita DNA.
Dengan demikian, mRNA dari T2 phage yang terbentuk berhibridisasi dengan
T2 DNA. Menariknya, mRNA phage T2 tidak berhibridisasi dengan DNA yang berasal
dari berbagai bakteri yang digunakan atau DNA dari virus-virus yang tidak
sekeluarga. Eksperimen ini yang kemudian diperkukuh selanjutnya adalah bahwa
urutan basa mRNA adalah komplementer dengan DNA cetakannya. Dengan ini pula
dikembangkan suatu alat untuk merunut aliran informasi genetik dalam sel-sel dan
untuk menentukan apakah dua molekul asam nukleat adalah sama (teknik Northern
dan hibridisasi in situ RNA; simulasi komputer).
Percobaan menggunakan prinsip hibridisasi RNA/DNA juga dilakukan pada
rRNA dan tRNA. Kedua molekulel ini masing-masing dihibridisasikan dengan genom
dari E. coli, kemudian dideteksi dengan radioisotop 32P. Hasilnya bahwa terdapat
hibridisasi kedua molekul tersebut dengan molekul DNA; dan ini menunjukkan
kehadiran urutan DNA komplementer.

Transkripsi

Dalam biosintesis RNA, pemanjangan rantai nukleotida berlangsung arah 5' 3' RNA,
dikatalisis oleh suatu enzim, yang diberi nama RNA polimerase. Sewaktu RNA
polimerase berinteraksi dengan promotor di daerah pengawalan dari suatu gen,
maka sintesis RNA dimulai pada titik berangkat (startpoint), bergerak sepanjang
DNA cetakan, dan menyalin salah satu rantai DNA cetakan (coding sequence) ke
dalam rantai RNA sampai mencapai urutan DNA yang disebut terminator. Hasilnya
adalah suatu molekul tunggal RNA yang disebut terjemahan utama (primary
transcript).
Dari titik pengawalan sampai ke terminator didefinisikan sebagai satuan
transkripsi, dan dapat mencakup lebih dari satu gen. Urutan DNA sebelum titik
pengawalan transkripsi disebut hulu (upstream) dan urutan DNA setelah terminator
disebut hilir (downstream). Terkadang, urutan DNA ditulis hanya menunjukan daerah
yang mengandung sandi, yang sama dengan urutan RNA. Posisi basa dalam DNA itu
dinotasi mulai dari titik pengawalan sebagai +1 membesar ke arah hilir. Notasi
sebelum titik pengawalan adalah -1 kemudian bilangan negatif meningkat ke arah
hulu.
mRNA sebagai terjemahan utama bersifat tidak stabil. Dalam prokarion,
mRNA mudah dihancurkan atau diproses membentuk hasil akhir yang matang.
Dalam eukarion, mRNA dimodifikasi pada ujung-ujungnya, dan semua jenis RNA
diproses ke arah pematangan dengan membuang sub-sub perintah yang
memungkinkan setiap RNA berfungsi secara seluler.
Transkripsi yang dipercepat reaksinya oleh RNA polimerase, berlangsung
dalam apa yang disebut gelembung transkripsi (trancription bubble), yaitu daerah
dimana ikatan hidrogen dalam DNA dilelehkan sementara. Gelembung transkripsi,
yang berukuran ~18 pb itu, bergerak sejalan dengan bergeraknya RNA polimerase
meneliti dengan cermat dan membaca salah satu rantai DNA yang mengandung
sandi (coding region) serta menyalinnya ke dalam rantai tunggal RNA. Sewaktu RNA
disintesis, terbentuklah hibrida RNA-DNA yang diprediksi (berdasarkan struktur RNA
dalam kompleks RNA-RNA polymerase) berukuran lebih pendek dari gelembung
transkripsi, sekitar ~12 pb.
Eksperimen pemotongan RNA dalam kompleks RNA-RNA polimerase oleh
ribonuklease bahkan menunjukan bahwa RNA dapat dipotong sampai sedekat 3 basa
dari titik pertumbuhan RNA, yang menunjukan bahwa asosiasi RNA pada DNA hanya
sekitar 2-3 basa saja. Lebih pendek dari itu, RNA melakukan pengikatan sangat kuat
dengan RNA polimerase.
Jadi, kompleks sementara RNA-DNA berlangsung dalam waktu yang sangat
singkat dan dalam ukuran yang sangat pendek, yang hanya cukup untuk
memberikan keadaan mantap kepada hibrida RNA-DNA yang menentukan
spesifisitas penambahan nukleotida. Sewaktu RNA polimerase bergerak maju, ikatan
hidrogen yang ada pada bagian belakang gelebung transkrip berpasang-kembali.
RNA yang terbentuk bergerak bebas kecuali sekitar 25 nukleotida masih tetap
berasosiasi dengan kompleks enzim, dan mungkin berada pada saluran yang
berukuran ~ 25 di dalam RNA polimerase.
Semua asam-asam nukleat disintesis dari senyawa prekursor, nukleosida 5'
trifosfat, melalui reaksi kondensasi antara gugus 5' trifosfat dari nukleotida yang
datang mendekat pada kompleks DNA-RNA polimerase dengan gugus 3'-OH dari
nukleotida terakhir yang ditambahkan ke dalam rantai RNA yang baru dibentuk.
Akibat serangan nukleofilik ini, nukleotida yang datang kehilangan 2 gugus
fosfat terminal (g dan b). Gugus fosfat pada posisi a digunakan dalam pembentukan
ikatan fosfodiester dengan rantai RNA yang sedang disintesis. Dengan demikian,
rantai RNA disintesis dari ujung 5' kearah ujung 3', dengan kecepatan reaksi ~40
nukleotida/detik pada suhu 37oC pada RNA polimerase bakteri. Reaksi ini jauh lebih
lambat ketimbang replikasi DNA, yang berlangsung dengan kecepatan 800 pb/detik.
Sambutan (acceptability) nukleotida yang datang ke dalam kompleks
transkripsi didasarkan pada kecocokannya dengan -salah satunya adalah tiga
pasangan basa (kodon) yang ada dalam rantai DNA. Nukleotida yang datang itu
mungkin mengalami supervisi dari RNA polimerase, untuk dilihat apakah nukleotida
yang datang sesuai atau tidak. Ikatan fosfodiester diiakan terjadi hanya apbilah
terdapat kecocokan dengan komplek RNA polimerase-DNA. Jika syarat kecukupan
tidak dipenuhi maka nukleotidanya dilempar keluar kompleks transkripsi. Dengan
demikian, diskriminasi berlangsung dan videlitas dijaga, namun tidak hanya
didasarkan pada berpasangannya basa nukleotida, karena beberapa senyawa analog
dapat disambut dengan baik dan menjadi bagian dari RNA.
Proses transkripsi dapat dibagi ke dalam beberapa tahapan: (1) Tahapan
pengakuan cetakan (template recognition), (2) Tahapan pengawalan (initiation), (3)
Tahapan pemanjangan (elongation), dan (4) Tahapan pengakhiran (termination).
Dalam tahapan pengakuan cetakan, RNA polimerase membentuk kompleks
dengan rantai ganda DNA, ikatan hidrogen dilelehkan, dan menciptakan gelembung
transkripsi. Daerah yang dibutuhkan oleh RNA polimerase membentuk kompleks
dengan rantai ganda DNA disebut promotor.
Tahapan pengawalan mendeskripsikan pembentukan ikatan nukleotida
pertama dalam RNA. Enzim RNA polimerase tetap berada di daerah promotor sambil
mensintesis ~9 nukleotida pertama. Namun demikian, pembentukan nukleotida
pendek ini terkadang mengalami keguguran (abortion), yaitu: enzim mensintesis
transkrip kurang dari 9 basa, melepaskannya kembali, dan memulai kembali
mensintesis RNA baru. Tahapan pengawalan berakhir apabila ensim mampu
mensintesis rantai RNA baru melewati batas panjang ini.
Tahapan pemanjangan adalah selang selama enzim bergerak sepanjang
DNA cetakan dan memperpanjang rantai RNA. Sambil ia bergerak, ia membuka
rantai ganda DNA dan menyingkapkan sandi rantai tunggal DNA dengan nukleotida-
nukleotida yang datang menyerang ujung 3' dari rantai RNA yang sedang
mengalami pemanjangan, membentuk molekul hibrida RNA-DNA di daerah yang
dibuka gulungannya. Persis dibelakang gulungan DNA yang terbuka ini, rantai
tunggal DNA berpasangan kembali membentuk rantai ganda dengan pasangan
aslinya. RNA kemudian muncul sebagai rantai tunggal yang bebas, yang ujung
pemanjangannya masih terkait dengan kompleks DNA-RNA-enzim.
Tahapan pengakhiran melibatkan pengakuan titik dimana tidak ada lagi basa yang
ditambahkan ke dalam rantai. Untuk mengakhiri transkripsi, pembentukan ikatan
fosfodiester harus dihentikan, dan kompleks transkripsi harus dibubarkan. Sewaktu
nukleotida terakhir ditambahkan akan diikuti oleh runtuhnya gelembung transkripsi,
dan dilepaskannya hibrida RNA-DNA. DNA kembali ke keadaan rantai ganda, RNA
dan enzim dibebaskan. Urutan basa nukleotida dalam DNA yang digunakan agar
terjadinya pengakhiran transkripsi disebut terminator.

Translasi

Tahap kedua mekanisme ekspresi gen adalah translasi, yaitu penerjemahan rantai
tunggal RNA duta ke dalam struktur primer protein. Dalam translasi, sandi genetik
berbentuk urutan tertentu rantai RNA duta diterjemahkan ke dalam urutan tertentu
asam amino dalam protein. Istilah RNA duta (messenger) merujuk kepada
kemampuannya berpindah dari intisel (dalam eukarion) dari tempat ia disintesis ke
sitoplasma, dimana ia berfungsi.
Untuk menerjemahkan sandi genetika dari urutan nukleotida ke dalam
protein, digunakanlah kamus istilah RNA-protein, yaitu suatu kamus yang
mengandung arti bahwa asam amino tertentu dikode oleh kombinasi tiga-tiga
(triplet) keempat nukleotida yang ada (A, U, G, C). Jadi translasi adalah
penerjemahan setiap triplet ke dalam asam amino tunggal menurut urutan tertentu
cetakan RNA duta.
Dengan demikian, terdapat 43 (atau 64) kemungkinan kombinasi basa
nukleotida dapat diterjemahkan ke dalam asam-asam amino. Karena protein-protein
tersusun oleh hanya 20 macam asam amino, maka terdapat rata-rata 3 kombinasi
kodon mengandung arti asam amino sama. Misalnya: GGU, GGC, dan GGA
semuanya mengkode asam amino glisin. Kodon-kodon yang mengkode asam amino
yang sama ini disebut kodon sinonim.

KODE GENETIKA

POSISI POSISI
PERTAMA KETIGA
POSISI KETIGA
(Ujung 5) (Ujung 3)
U C A G
Phe Ser Tyr Cys U
U Phe Ser Tyr Cys C

Leu Ser STOP STOP A


G
Leu Ser STOP Trp
Leu Pro His Arg U
Leu Pro His Arg C
C Leu Pro Gln Arg A

Leu Pro Gln Arg G

Ile Thr Asn Ser U


Ile Thr Asn Ser C
A Ile Thr Lys Arg A

Met Thr Lys Arg G

Val Ala Asp Gly U


Val Ala Asp Gly C
Val Ala Glu Gly
Val Ala Glu Gly A
G
G

Basa Nukleat
A Adenin G Guanin
C Citosin U Urasil

Asam Amino
A Ala Alanin N Asn Asparagin
B Asx Asparagin atau As Aspartat P Pro Prolin
C Cys Cistein Q Gln Glutamin
E Glu Asam Glutamat R Arg Arginin
F Phe Fenilalanin S Ser Serin
G Gly Glisin T Thr Treonin
H His Histidin V Val Valin
I Ile Isoleusin W Trp Triptofan
K Lys Lisin Y Tyr Tirosin
L Leu Leusin Z Glx Glutamin atau asam glutamat
M Met Metionin

Karena tidak sebangunnya struktur asam amino dan trinukleotida, maka


muncul masalah bagaimana trinukleotida tepat berpasangan dengan asam amino
tertentu.
F. Crick adalah orang yang pertama-tama menduga keterlibatan molekul
adaptor dalam transfer kode genetik dari mRNA ke dalam urutan asam amino dalam
protein. Molekul adaptor ini kemudian diidentifikasi sebagai RNA transfer (tRNA),
suatu molekul relatif kecil berukuran 75 - 85 basa. tRNA memiliki dua sifat utama:
(1) Masing-masing molekul mewakili satu asam amino, terikat secara kovalen; (2)
tRNA mengandung urutan trinukleotida, yang disebut antikodon, yang
komplementer dengan kodon yang mewakili asam aminonya. Antikodon pada tRNA
memampukan pengenalan kodon melalui perpasangan komplementer. Dengan
demikian maka terdapat sekitar 64 antikodon di dalam sitoplasma yang masing-
masing membawa asam amino tertentu yang jenis asam aminonya ditentukan oleh
antikodon dan bukan sebaliknya!
Setelah ditemukan sifat triplet sandi genetik (melalui percobaan mutasi),
kemudian dipelajari secara sistematik hubungan kebahasan antara codon dan asam
amino menggunakan sistem in vitro biosintesis protein. Sistem in vitro
berkemampuan mensintesis suatu polinukleotida sintetik. Sintesis protein dari poli-U
diperoleh hasil polifenilalanin, yang berarti bahwa UUU adalah kodon yang
bertanggung-jawab pada penyandian fenilalanin. Dengan cara ini Khorana mampu
memecahkan separuh dari persoalan kamus sandi genetik. Teknik lanjut, yaitu
ribosome-binding essay memungkinkan dipecahkannya keenampuluh empat
kombinasi kodon ke dalam asam-asam amino dan atau kodon stop (Lihat gambar
7.9 Lewins Genes IV).
Dalam teknik ini, digunakan trinukleotida menirukan peran suatu kodon dan
menyebabkan aminoasil-tRNA yang berkoresponsi dengannya terikat dengan
ribosom (Nirenberg and Leder, 1964). Kompleks trinukleotida-tRNA-ribosom lalu
diisolasi dengan cara diserapkan pada permukaan membran nitroselulosa. Karena
Aminoasil-tRNA tunggal tidak bisa melakukan pengikatan dengan membran
nitoselulosa, maka kehadiran tRNA lalu dideteksi dengan radioaktif tertanda pada
asam amino yang terikat. Makna trinukleotida lalu dapat ditentukan dengan menguji
asam amino yang mana dari keduapuluh asam amino-asil tRNA tertanda yang tetap
terikat dengan nitroselulosa. Dengan dikembangkannya teknik perurutan asam
nukleat (DNA sequencing) dan poplipeptida maka keduanya dapat
disejajarkan/diperbandingkan.
Dalam pembandingan tersebut, urutan rantai DNA dibaca dari arah 5' ke 3'
terdiri dari triplet yang berkorespondensi dengan urutan asam amino dari protein,
dibaca dari ujung-N ke ujung-C. Tidak semua ke-64 kodon mengkode asam amino.
UAA, UAG, dan UGA memiliki "berhenti". Artinya bahwa biosintesis polipeptida akan
berhenti pada lokasi kodon-kodon ini.
tRNA memiliki struktur sekunder yang khas, yang membentuk hubungan
basa-basa komplementer dari rantai tunggal RNA dan membentuk struktur batang
dan loop. Struktur batang-loop ini membentuk tangan-tangan RNA. tRNA memuat
asam amino yang berkorespondensi dengan antikodonnya disebut aminoasil-tRNA.
Asam amino tersebut berikatan dengan tRNA melalui ikatan ester dari gugus
karboksilnya (lihat Gambar 7.3 Lewins Genes IV). Proses pemuatan tRNA asam
amino dengan tRNA tertentu dipercepat oleh enzim aminoasil-tRNA sintetase.
Sehingga paling tidak terdapat 20 jenis aminoasik-tRNA sintetase yanng masing-
masing mengakui asam amino yang berbeda. Percobaan dengan mengubah struktur
rantai samping asam amino dari aminoasil-tRNA tidak mempengaruhi spesifitas
hubungan antara kodon pada mRNA dan antikodon pada tRNA. Artinya bahwa
antikodonlah yang menentukan jenis asam amino dan bukan sebaliknya.
Dalam sintesis protein, protein dirakit dari ujung N ke ujung karboksilat oleh
suatu partikel kompak ribonukleoprotein yang disebut ribosom. Ribosom terdiri dari
dua sub-unit. Masing-masing subunit terdiri dari beberapa protein yang berasosiasi
dengan satu molekul RNA, yang dinamai rRNA. Berdasarkan kecepatan
sedimentasinya (S, Svedbergs), kedua unit tersebut pada bakteri bersedimentasi
pada 50S dan 30S, namun setelah membentuk satu kompleks, yaitu pada
konsentrasi Mg2+ tinggi, maka sedimentasi kompleks itu berlangsung pada 70S. Pada
eukarion, keduanya terdiri dari 60S dan 40S, dengan kompleks membentuk 80S.
Kedua subunit ribosom bekerjasama dengan fungsinya masing-masing.
Keduanya bertugas mensintesis berbagai protein dengan cara berasosiasi dengan
berbagai mRNA sehingga memberikan cetakan bagi sintesis protein. Ribosom
memberi lingkungan yang sesuai bagi beriteraksinya kodon pada mRNA dan
antikodon pada tRNA. Ia bergerak sepanjang mRNA dengan jarak satu kodon setiap
maju selangka, dari arah ujung 5' kearah ujung 3' mRNA dan menterjemahkan
kodon ke dalam asam amino. Sambil ribosom bergerak maju, aminoasil-tRNA
tertentu yang berasosiasi dengan kompleks ribosom menyumbangkan asam
aminonya ke rantai polipeptida. Setiap saat kompleks ribosom dapat
mengakomodasi dua aminoasil-tRNA, memungkinkan pembentukan ikatan peptida
baru.
Dengan demikian, setiap satu gerak maju kedepan dari ribosom, rantai
polipeptida memanjang satu asam amino. Menariknya bahwa satu mRNA dapat
ditempati oleh lebih dari satu kompleks ribosom (poliribosom) yang mensintesis
protein serentak secara independen. Protein globin misalnya, disintesis oleh suatu
set yang terdiri dari lima ribosom, masing-masingnya berada pada posisi yang
berbeda-beda sepanjang mRNA. Ada yang baru mengawali sintesis polipeptida, ada
yang sudah akan menyelesaikan tugas sintesis protein. Pada eukarion, terdapat rata-
rata 8 ribosom pada satu mRNA pada setiap proses biosintesis protein. Dengan
demikian, jumlahnya ditentukan oleh ukuran mRNA dan efisiensi biosintesis.
Ribosom, yang terdiri dari beberapa puluh protein dan rRNA, adalah pabrik
penerjemah RNA duta ke dalam urutan spesifik asam amino dalam suatu protein.
Dalam pabrik ini, RNA duta sebagai skrip bahasa asal dan protein sebagai bahasa
akhir. Dalam proses penerjemahan ini, molekul tRNA bertindak sebagai
penterjemah.
Berdasarkan studi in vitro, komponen-komponen proses yang penting serta
tahapan biosintesis protein telah dapat dibangun. Biosintesis protein dipilah ke dalam
tiga tahapan: tahap pengawalan, tahap pemanjangan, dan tahap pengakhiran, yang
berlangsung sekitar 15 asam amino/detik pada bakteri pada suhu 37oC. Pada
eukarion proses ini jauh lebih lambat, ~2 asam amino/detik. Tahap pengawalan
berlangsung sebelum pembentukan ikatan peptida pertamakali. Tahapan ini
melibatkan pengikatan ribosom pada RNA duta, dan pembentukan kompleks
pengawalan yang mengandung aminoasil-tRNA pertama. Tahap pengawalan
berlangsung lambat dan biasanya menentukan laju translasi. Tahap pemanjangan
mencakup semua reaksi dari sintesis ikatan peptida pertama sampai pada ikatan
peptida terakhir. Asam amino ditambahkan satu-per-satu namun prosesnya
berlangsung sangat lambat. Energi yang digunakan untuk menggerakan ribosome
adalah GTP. Tahap pengakhiran mencakup langkah-langkah yang diperlukan untuk
melepaskan rantai polipeptida yang telah disintesis dan meluruhkan hubungan mRNA
dengan ribosom.
Dalam biosintesis protein, ~30 nukleotida RNA duta berasosiasi dengan
subunit kecil ribosom, tetapi hanya dua tRNA yang terlibat dalam biosintesis ikatan
peptida. Jadi ada 8 kodon lain y

Aktivitas Asam Amino

Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, translasi berlangsung dalam tiga


tahapan: pengawalan, pemanjangan, dan pengakhiran. Namun sebelum tahap
pengawalan, diperlukan persiapan energetik, oleh karena pembentukan ikatan
peptida antara gugus amino dari suatu asam amino dengan gugus karboksil dari
asam amino lain terhalangi oleh rintangan termodinamika.
Rintangan energetik ini harus dipecahkan dengan cara mengatifkan gugus
karboksil dari asam amino prekursor. Dalam proses ini, gugus karboksil asam amino
dipautkan ke gugus 3'- atau 2'-hidroksil dari unit ribosa yang berada di ujung 3'
tRNA. Senyawa antara teraktivasi ini disebut aminoasil-tRNA.
Selain alasan rintangan energi, pembentukan aminoasil-tRNA diperlukan
karena asam amino itu sendiri tidak dapat mengenal kodon dalam mRNA. tRNA
kemudian menjadi molekul adaptor. Aktivasi asam amino dan pengikatan ke tRNA
dipercepat oleh aminoasil-tRNA sintetase, atau disebut juga enzim pengaktif. Paling
tidak terdapat satu enzim pengatif tertentu untuk setiap asam amino. Mereka
berbeda dalam hal ukuran dan struktur subunit.
Langka pertama reaksi pengatifan adalah pembentukan aminoasil-adenilat
dari asam amino dan ATP. Hasil dari reaksi ini adalah terikatnya gugus karboksil
asam amino dengan gugus fosfat AMP, sehingga dikenal juga dengan nama
aminoasil-AMP.
Langka selanjutnya adalah pemindahan gugus aminoasil dari aminoasil-AMP
ke suatu molekul tRNA membentuk aminoasil-tRNA, suatu senyawa antara
teraktivasi dalam biosintesis protein. Terkadang asam amino yang terikat pada tRNA
berada pada ujung 2', terkadang pada ujung 3' gula ribosa tRNA tetapi asam amino
teraktivasi dapat berpindah dengan cepat diantara kedua posisi ini.
Pembentukan aminoasil tRNA mengkonsumsi energi yang disediakan oleh
pemutusan dua ikatan fosfat berenergi tinggi dari molekul tunggal ATP ke AMP
ditambah 2 Pi. Yang satu dikonsumsi dalam pembentukan ikatan ester aminoasil-
tRNA, yang lain dipakai untuk menyetir reaksi selanjutnya. Energisasi aminoasil-
tRNA melalui hidrolisis pirofosfat membuat reaksinya bersifat tidak dapat balik
(Irreversible).

Tahap Pengawalan

Penterjemahan mRNA ke dalam rantai polipeptida tidak dimulai dari ujung '5 mRNA.
Pada bakteri, translasi hampir selalu dimulai dari 25 nt kearah hilir ujung 5' mRNA.
Dalam setiap mRNA dapat disintesis lebih dari unit rantai polipeptida. mRNA yang
mengkode dua atau lebih polipeptida ini disebut polisistron (polycistron).
Menariknya bahwa setiap protein yang dikode baik itu oleh monosistron dan
polisistron memiliki isyarat "mulai" dan "berhenti" pada mRNA. Isyarat-isyarat ini
mendefinisikan pengawalan dan pengakhiran setiap rantai polipeptida yang dikode.
Hampir semua ujung amino protein yang ditranslasi mRNA E. coli adalah
metionin, dan biasanya termodifikasi. Metionin termodifikasi ini disebut
formilmetionin (fMet). Dalam kenyataannya, sintesis protein pada bakteri dimulai
dengan fMet, yang dibawah oleh tRNA inisiator disingkat tRNAf yang berbeda dengan
tRNA yang membawa metionin normal (disingkat tRNAm). Pembentukan tRNAf dan
tRNAm dipercepat oleh aminoasil-tRNA sintetase yang sama, tetapi enzim khusus
memformilat gugus amina metionin yang diikat oleh tRNAf dari N10
-formiltetrahidrofolat.
Suatu studi terhadap urutan nukleotida daerah yang terproteksi aksi
ribonuklease kompleks mRNA ribosom pada saat inisiasi ditemukan kodon AUG (atau
GUG) yang sangat terkosenservasi (Gambar 30-28, L. Stryer) serta daerah kaya
purin ~10 nt ke arah hulu AUG. Daerah kaya purin ini (disebut urutan Shine-
Dagarno) ternyata sebagai tempat berpasangan antara daerah kaya purin di daerah
inisiator suatu mRNA dengan ujung 3' 16S rRNA. Daerah pembentukan pasangan
kaya purin dan ujung 3' 16S rRNA ini berkisar 3 - 9 nt (nukleotida). Dengan
demikian ada dua interaksi yang menentukan dimana sintesis protein dimulai:
perpasangan basa-basa mRNA dengan ujung 3' 16S rRNA, dan perpasangan kodon
inisiator (AUG, atau GUG) di mRNA dengan antikodon tRNAf. Namun demikian,
konsentrasi Mg2+ yang tinggi dalam campuran reaksi in vitro dapat mengakibatkan
inisiasi tidak spesifik. Dalam hal demikian, kebutuhan isyarat kodon "mulai" sering
tidak dipenuhi.
Pembentukan kompleks inisiasi diawali dengan penggabungan mRNA dan
formilmetionin-tRNAf dalam ribosom. Dalam penggabungan ini terlibat tiga faktor
inisiasi (IF1, IF2 dan IF3). Subunit 30S ribosom pertama membentuk kompleks
dengan ketiga faktor ini. Pengikatan GTP ke IF2 memampukan mRNA dan tRNA
inisiator bergabung sambil melepaskan IF3. FMet-tRNAf dikenal oleh IF2 dan
pelepasan IF3 membolehkan subunit 50S bergabung dalam kompleks. Hidrolisis GTP
yang terikat pada IF2 pada saat bergabungnya subunit 50S kedalam kompleks
berakibat pelepasan IF1 dan IF2. Hasilnya adalah kompleks inisiasi 70S (Gambar 30-
30 L. Stryer). Jadi faktor-faktor inisiasi hanya berhubungan dengan pembentukan
kompleks inisiasi. Mereka tidak menjadi bagian dari ribosom 70S dan mereka tidak
mengambil bagian dalam tahap pemanjangan.
Selain faktor-faktor inisasi, protein-protein yang disebut L7 dan L12 subunit
50S berpartisipasi dalam hidrolisis GTP dan menghasilkan kompleks inisiasi
produktif. Kedua protein ini identik kecuali ujung terminus L7 terasetilasi. Tetramer
L7/L12 berasosiasi dengan 50S seperti tancapan jari tangan. Kedua protein ini juga
berpartisipasi dalam hidrolisis GTP selama tahapan elongasi sintesis protein.

Tahap Pemanjangan

Tahap pemanjangan sintesis protein dimulai dengan masuknya suatu aminoasil-


tRNA ke dalam lokasi A ribosom. Jenis aminoasil-tRNA yang masuk bergantung
kepada kodon di mRNA yang berposisi di lokasi A. Aminoasil-tRNA yang
komplementer dikirim ke lokasi A oleh protein-protein yang disebut faktor-faktor
pemanjangan (elongation factors), atau EF-Tu. EF-Tu, seperti juga IF2, mengandung
nukleotida guanil terikat dan suatu siklis antara bentuk-bentuk GTP dan GDP.
Setelah EF-Tu menempatkan aminoasil-tRNA di lokasi A, GTP dihidrolisis. Bentuk
GDP EF-TU lalu melepaskan diri dari kompleks ribosom. Faktor elongasi kedua, yang
disebut EF-Ts bergabung dengan kompleks EF-Tu dan menginduksi pelepasan GDP.
Akhirnya, GTP mengikat EF-Tu, dan secara bersamaan EF-Ts dilepas. Bentuk GTP EF-
Tu ini lalu siap mengambil kembali aminoasil-tRNA yang lain, dan mengirimkannya
ke lokasi A ribosom. Perlu dicatat bahwa EF-Tu tidak mengikat fMet-tRNAf. Sehingga,
tRNA inisiator ini tidak dikirim ke lokasi A ribosom. Sebaliknya, Met-tRNAm, seperti
juga dengan aminoasil-tRNA yang lain, dapat berikatan dengan EF-Tu. Penemuan ini
sejalan dengan fakta bahwa kodon AUG tidak dibaca oleh tRNA inisiator. Sebaliknya,
IF2 mengenal fMet-tRNAf dan bukan tRNA yang lain.
Kepatuhan informasi genetik yang diterjemahkan kemudian bergantung
kepada kebenaran aminoasil-tRNA yang dikirim ke lokasi A disaat ikatan peptida
dibentuk. Untuk itu harus terjadi pencarian cermat (scrutinization) aminoasil-tRNA
yang datang ke lokasi A untuk memastikan bahwa antikodonnya bercocokan dengan
kodon mRNA di lokasi A. Proses ini dapat berlangsung dengan hasil coba-gagal (trial
and error). Pencarian cermat ini difasilitasi oleh konformasi struktur tiga dimensi EF-
TU yang bertanggung-jawab pada interaksi kodon-antikodon. Ikatan peptida tidak
akan terbentuk sampai EF-Tu dilepas dari aminoasil-tRNA. Pelepasan ini
membutuhkan GTP yang terikat dengan EF-Tu dihidrolisis membentuk GDP. Terdapat
selang yang sangat singkat antara hidrolisis GTP ke GDP dengan pelepasan EF-Tu-
GDP dari kompleks ribosom. Aminoasil-tRNA yang tidak tepat biasanya
meninggalkan ribosom selama interval singkat ini. Sewaktu GTP di EF-TU dihidrolisis,
maka terjadi perubahan konformasi EF-Tu, dan mengubah konteks interaksi kodon-
antikodon.
Aminoasil-tRNA yang benar terikat kuat dengan mRNA baik sebelum atau
setelah hidrolisis GTP EF-Tu. Aminoasil-tRNA yang tidak sesuai tidak terikat kuat
pada dua keadaan ini, sehingga pencarian cermat berlangsung dua kali dalam dua
cara yang berbeda untuk mencapai derajat akurasi yang lebih tinggi. Walaupun
demikian, masih juga mengalami kesalahan penerjemahan sekitar 10-4 untuk tiap
asam amino.
Pembentukan ikatan peptida dipercepat oleh suatu enzim bagian dari subunit
50S, peptidil transferase. Reaksi tersebut akan berlangsung apabilah EF-Tu keluar
dari kompleks dan telah terbentuknya kompleks aminoasil-tRNA yang menempati
lokasi A ribosom, fMet-tRNA di lokasi P. Peptidil transferase memindahkan
formilmetionin teraktivasi dari fMet-tRNAf di lokasi P ke gugus amino aminoasil-tRNA
di lokasi A, dan membentuk dipeptidil-tRNA. Akibat aktivasi oleh ATP dalam
pembentukan aminoasil-tRNA, maka serangan gugus amino pada ikatan ester
membentuk ikatan peptida adalah reaksi yang secara termodinamik dapat
berlangsung.
Pembentukan ikatan peptida lalu diikuti oleh translokasi. tRNA yang tidak lagi
bermuatan asam amino meninggalkan lokasi P, peptidil-tRNA bergerak dari lokasi A
ke lokasi P, dan mRNA bergerak dengan jarak 3 nukleotida. Hasilnya, kodon yang
baru berada di posisi A dan siap dibaca oleh aminoasil-tRNA yang berkunjung ke
tempat itu.
Translokasi membutuhkan faktor pemanjangan ketiga yaitu EF-G atau disebut
juga translokase. EF-G, seperti juga IF2 dan EF-Tu, berdaur diantara bentuk GTP dan
GDP. Bentuk GTP menyetir translokasi. Hidrolisis GTP melepaskan EF-G dari ribosom.
Lokasi A menjadi kosong, siap mengikat aminoasil-tRNA yang berkunjung, dan
memulai daur pemanjangan berikutnya.

Tahap Pengakhiran

Sel normal biasanya tidak memiliki tRNA dengan antikodon yang bercocokan dengan
kodon-kodon berikut: UAA, UGA, UAG. Dengan demikian, sewaktu proses translokasi
bertemu dengan salah satu dari ketiga kodon ini maka lokasi A tidak akan ditempati
oleh tRNA, tetapi oleh protein-protein yang disebut faktor-faktor pelepasan (release
factors). Salah satu faktor pelepasan ini, RF1, mengenal UAA atau UAG. Faktor
kedua, RF2, mengakui UAA atau UGA. Pengikatan faktor pelepasan ke kodon
terminasi di lokasi A ribosom mengaktifkan peptidil transferase memutuskan ikatan
antara polipeptida dan tRNA di lokasi P. Spesifitas peptidil transferase diubah oleh
faktor pelepasan sehingga molekul air dan bukan gugus amino adalah aseptor dari
moiety peptidil teraktivasi. Rantai polipeptida meninggalkan ribosom, diikuti tRNA
dan mRNA. Akhirnya ribosom berpisah menjadi 30S dan 50S, untuk selanjutnya
digunakan dalam sintesis protein berikutnya. Pengikatan IF3 ke 30S mencegah 30S
bergabung dengan 50S membentuk kompleks 70S mati tanpa mRNA.

MATERI V : PEMATANGAN DAN NASIB PROTEIN

Tanpa tugas yang jelas dan spesifik, setiap protein sel akan melakukan pekerjaan-
pekerjaan yang mungkin bertabrakan dan tidak efisien. Oleh sebab itu, protein yang
disintesis oleh kompleks ribosom di sitosol harus mengalami pemrosesaan menuju
spesifitas fungsi dan lokasi.
Spesifitas fungsi berlangsung melalui pematangan protein seperti pelipatan
struktur benar tiga dimensi, dan modifikasi kovalen. Spesifitas lokasi dicapai melalui
mekanisme penyasaran ke tempat dimana ia harus melakukan kerja. Baik spesifitas
fungsi dan penyasaran berlangsung dalam koridor perintah genetik yang dikandung
oleh setiap protein. Kebutuhan penyasaran dan pematangan protein sangatlah nyata
pada sel-sel eukariotik, sehingga harus terintegrasi dengan diferensiasi sel itu
sendiri. Bagian ini akan membahas penyasaran protein. Pada bagian selanjutnya
akan dibahas mekanisme-mekanisme pematangan protein.
Lokasi akhir penyasaran protein dapat berupa sitosol, intisel, plastid,
mitokondrion, tubuh-tubuh sitoplasmik-bermembran, atau di luar sel. Protein
disintesis di daerah sitosol. Oleh sebab itu, protein-protein yang diperlukan dalam
metabolisme sitosolik langsung dilepas ke dalam sitosol. Protein-protein yang dikirim
ke tubuh-tubuh sitoplasmik bermembran (retikulum endoplasma, alat-alat golgi,
endosom, lisosom -vakuola) disisipkan ke dalam membran retikulum endoplasma
sewaktu biosintesisnya baru saja dimulai, dan kemudian disasarkan ke lokasi
tertentu oleh sistem transport alat-alat golgi.
Protein-protein yang terlibat dalam berbagai aktifitas intisel harus disasarkan
ke sana. Protein-protein ini adalah protein pengendali transkripsi; protein histon;
protein pengangkut intisel; protein lamina, matriks, dan membran inti. Plastida dan
mitokondrion walaupun mampu mensintesis protein, masih harus mengimpor 80 -
90% proteinnya dari sitosol.
Protein-protein yang disasarkan ke plastida dan mitokondria harus melewati
membran hidrofobik. Beberapa protein disintesis dalam suatu sel namun bekerja di
lokasi lain di luar sel itu. Protein-protein demikian dapat saja bekerja pada sel yang
lain atau dalam medium tumbuh, terlibat dalam mekanisme pertahanan sel atau
mekanisme patogenik, serta sistem pemantau lingkungan. Protein-protein demikian
disintesis sama seperti protein tubuh-tubuh sitoplasmik bermembran tetapi
kemudian berlalu keluar sel tanpa berhenti di tempat tertentu di dalam sel dimana ia
disintesis.
Dengan demikian terdapat semacam lalulintas protein (protein trafficking),
dan oleh sebab itu, harus terdapat isyarat-isyarat dalam protein yang dapat dikenal
oleh komponen-komponen seluler, dan mentargetkannya ke lokasi yang sesuai.
Protein-protein yang melewati sistem-sistem membran sel menuju suatu organela
harus mengandung isyarat yang dapat dikenali oleh reseptor membran tertentu.
Proses penyasaran ke organela ini disebut translokasi protein (protein translocation).
Titik berangkat penyasaran protein adalah ribosom tempat ia disintesis.
Ribosom-ribosom tersebut dapat dipilah ke dalam dua kelompok, pertama: ribosom
bebas dan ribosom terikat membran. Ribosom bebas bertanggungjawab mensintesis
protein-protein yang dilepas langsung ke sitosol. Lokasi penyasaran protein-protein
ini bergantung kepada apakah ia mengandung isyarat khusus atau tidak. Jika tidak,
ia akan tinggal di dalam sitosol dalam bentuk terlarut. Jika ya, isyarat itu biasanya
terdiri dari beberapa polipeptida dengan motif isyarat pendek, disingkat MIP. MIP
berfungsi setelah sintesis protein berlangsung, dan oleh sebab itu, penyasarannya
disebut translokasi protein pasca-translasi.

Tabel 1. Motif isyarat pendek protein-protein yang di targetkan ke berbagai organel.

Organela Lokasi Jenis Panjang


Isyarat Isyarat
Mitokondrion Ujung-N Bermuatan 12 - 30
Kloroplast Ujung-N Bermuatan ~25
Intisel Internal Basa 7-9
Peroksisom Ujung-C SKL 3

Protein-protein yang disasarkan ke mitokondrion dan kloroplast memiliki MIP


yang biasanya berada di ujung-N dengan panjang 25 aa (aa =asam amino). Isyarat
ini diakui oleh membran terluar mitokondrion dan kloropast, yang biasanya dipotong
selama translokasi. MIP protein-protein yang disasarkan ke intisel atau isyarat-
isyarat sasaran intisel (ISI atau NLS =NuclearLocalization Signals) bersifat basa,
dengan panjang 7 - 9 aa. Isyarat ini dikenal oleh sistem pengangkut protein ke
intisel. MIP protein yang disasarkan ke peroksisom terdiri dari tiga peptida
terkonservasi di ujung-C protein bersangkutan.
Protein-protein yang disintesis oleh ribosom terikat nampaknya memiliki
penyasaran yang berbeda. Sambil disintesis, protein memasuki retikulum
endoplasma. Dan oleh sebab itu prosesnya disebut translokasi-sambil-translasi (co-
translational translocation). Lokasi isyarat, dapat berupa MIP atau jenis lain, berada
terutama di ujung-N tapi terkadang pada bagian tengah (internal) protein. Tujuan
akhir bergantung kepada bagaimana protein-protein ini diarahkan kesasaran yang
tepat dari retikulum endoplasma dan alat-alat golgi. Penyasaran yang kelihatannya
gagal ("default pathway") membawa protein melalui retikulum endoplasma ke alat-
alat golgi dan membran plasma. Protein-protein yang tinggal di retikulum
endoplasma memiliki MIP tetrapeptida KDEL terkonservasi di ujung-C. Isyarat ini
mengarahkan kembali protein di alat-alat golgi ke retikulum endoplasma. Isyarat
yang meneruskan protein ke lisosom berupa residu gula, yang ditambahkan pasca-
translasi.
Terdapat kesamaan sistem translokasi membran protein-protein yang
menggunakan MIP di ujung-N. Kesamaan ini tanpa kecuali, untuk protein yang
disasarkan ke mitokondrion, kloroplast dan retikulum endoplasma. Isyarat di ujung-
N ini disebut isyarat pembimbing yang tidak menjadi bagian dari protein yang
matang. Peranan pembimbing adalah mengawali masuknya protein melalui rintangan
dua-lapis lipida. Isyarat ujung-N ini dipotong dari protein selama translokasi
berlangsung.
Bentuk protein yang belum matang, artinya yang masih mengandung bagian
lain se[perti peptida pembiombing, disebut preprotein. Akan tetapi, sering suatu
protein memiliki isyarat lain yang lebih mantap dan disebut proprotein atau memiliki
kedua-duanya. Dengan demikian, protein menggunakan isyarat hierarkis untuk
mencapai sasaran akhir.
Suatu contoh struktur penyasaran protein-protein lumen tilakoid (thylakoid
lumen proteins), memiliki dua peptida pembimbing (Robinson, 1996). Isyarat
pertama membimbing protein kedalam kloroplast. Isyarat kedua adalah isyarat
transfer tilakoid (thylakoid transfer signal). Isyarat ini diaktifkan setelah pepetida
pembimbing pertama dihidrolisis oleh suatu peptidase yang disebut SPP (=stromal
processing peptidase). Isyarat transfer tilakoid kemudian membimbing translokasi
protein melewati membran tilakoid. Selesai menunaikan tugas, isyarat transfer
tilakoid dilepas dari protein induk oleh suatu peptidase yang disebut TPP (=thylakoid
processing peptidase).
Karena kesamaan-kesamaan sistem penyasaran protein-protein kloroplast
dan mitokondrion, maka harus terdapat mekanisme untuk menspesifikasi
penyasaran ke kedua organel ini. Beberapa spesifikasi mekanisme telah mulai
tersingkap. Misalnya, translokasi ensim transferase amino aspartat pada tumbuhan
A. thaliana, memiliki isyarat peptida di ujung-N berfungsi menghambat proses
dimerisasi sampai protein ini benar-benar telah dipindahkan dan melewati membran
kloroplast (Wilkie, 1996).
Isyarat penyasaran protein dapat juga dirancang pada saat inisiasi biosintesis
protein. Gen ALATS yang mengkode Alanyl-tRNA synthetase (AlaRS) untuk sitosol
dan mitokondrion memiliki dua kodon inisiasi potensial (AUG). Organel mana yang
akan dituju oleh protein yang dikode tergantung pada kodon mana yang digunakan
dalam pengawalan translasi (Mireau et al., 1996).
Terdapat berbagai macam protein yang disasarkan dan menjadi bagian dari
membran sel atau organel. Protein-protein ini harus disisipkan ke dalam lapisan lipid
dalam membran, seperti juga protein yang dikirim kedalam kloroplast dan
mitokondrion, tetapi dengan adanya isyarat "berhenti" tersusun dari asam-amino-
asam amino hidrofobik yang berfungsi sebagai jangkar (anchor) dalam membran
lipid dua-lapis, maka bagian jangkarnya atau sebagian besar protein akan tetap
menjadi bagian dari membran. Kombinasi isyarat-jangkar memungkinkan
pengaturan apakah ujung-N atau ujung-C yang tersingkap keluar membran sel atau
sebaliknya tersingkap di dalam sitoplasma.
Suatu studi yang cukup detil mengenai protein-protein yang disasarkan
keluar sel pada bakteri E. coli telah dilakukan. Penyasaran dengan mekanisme co-
translasi bersifat umum; namun beberapa protein diarahkan keluar sel setelah
translasi berlangsung. Protein-protein yang dieksport pada bakteri memiliki isyarat
ujung-N yang hidrofilik, namun disampinya terdapat intik hidrofobik. Mutasi di
daerah pembimbing hidrofilik membatalkan diarahkannya protein keluar sel.
Transport protein tertentu juga mengalami kegagalan akibat mutasi pada beberapa
gen, sehingga dipandang sebagai bagian dari komponen-komponen sekresi protein
pada bakteri. Seperti juga pada sel tingkat tinggi, diperlukan juga isyarat-isyarat
sekunder yang mengarahkan protein pada lokasi yang tepat setelah protein telah
masuk ke dalam membran lipid.
E. coli b-lactamase misalnya, hadir dalam bentuk yang sensitif terhadap
tripsin sebelum dan selama pengangkutannya melalui membran dalam sel. Sewaktu
dilepaskan ke permukaan luar sel (periplasm), terjadi konformasi struktur tiga
dimensi yang mengubah protein menjadi tahan terhadap aktivitas tripsin.
Pada bakteri, protein disasarkan dengan cara berikut. Pertama, protein yang
disebut kaperonin mengikat dan membawa protein yang baru disintesis serta
mengendalikan pelipatanya. Protein kemudian berasosiasi dengan alat-alat
pengangkut; dan diangkut melalui membran sel. Pada tahap akhir, peptida
pembimbing pada ujung-N dipotong oleh suatu peptidase.
Efisiensi transport protein tergantung beberapa komponen yang terlibat
dalam mekanisme transport protein, termasuk di dalamnya komponen yang
mencega terjadinya pelipatan protein premature. Baik pada prokarion maupun
eukarion, proses bergabungnya protein ke membran sel melibatkan suatu komponen
membran yang dapat tercuci dengan larutan garam. Komponen ini disebut partikel
pengakuan isyarat (SRP =signal recognition particle), yang merupakan kompleks
ribonukleoprotein. Partikel ini berkemampuan mengikat peptida isyarat dari protein
yang sedang disintesis untuk dikirim keluar sel; dan ia dapat mengikat protein
reseptor yang terdapat didalam membran.
Mekanisme lain penyasaran protein ialah melalui proses endositosis, tepatnya
receptor-mediated endocytosis, dimana protein yang akan disasarkan diimpor ke
dalam sel oleh suatu gelembung pembawa.
Maksud dari bekerjanya mekanisme tersebut adalah (1) untuk menghantar
metabolit-metabolit esensial dalam sel, (2) memodulasi tanggapan sel terhadap
banyak hormon-hormon protein dan faktor-faktor tumbuh (3) menyasarkan protein
yang diarahkan ke lisosom (vakuola) untuk dihancurkan, seperti keterlibatanya
dalam mekanisme penghancuran kompleks antigen-antibodi, (4) mekanisme
endositosis juga dimanfaatkan oleh banyak virus dan racun-racun agar dapat masuk
ke dalam sel. Gangguan dari bekerjanya mekanisme-mekanisme tersebut berakibat
penyakit seperti hiperkolesterolemia.
Studi terhadap nasib protein pengendali ekspresi gen (regulatory proteins)
telah memberi banyak pemahaman mengenai nasih-nasib mereka. Protein-protein
ini memiliki tingkat variasi yang luarbiasa dalam hal daya hidup pasca-sintesis.
Beberapa protein bertahan hidup di dalam sel hanya beberapa menit saja. Yang lain
hidup berpuluh-puluh jam. Perbedaan tersebut merupakan salah satu mekanisme
utama pengendalian aktivitas gen. Protein yang terlibat dalam mekanisme-
mekanisme inisiasi perkembangan, diperlukan hanya beberapa waktu yang singkat
saja, dan biasanya langsung dihancurkan. Protein-protein yang mempertahankan
sifat tertentu setelah inisiasi harus fungsional dalam waktu yang lebih lama, dan oleh
sebab itu, sifatnya harus dipertahankan. bertahan lama dalam bentuk.
Sekelompok protein yang disebut ubiquitin memainkan peranan penting
dalam mekanisme destruksi protein, selain mekanisme proteolitik langsung.
Ubiquitin berfungsi sebagai tanda "hancurkan!". Protein-protein yang terikat dengan
ubiquitin, berati siap dihancurkan. Jadi ubiquitin berfungsi sebagai penanda, yang
kemudian dikenal oleh suatu kompleks penghancur protein yang disebut proteasom
(proteasome).
Di dalam sel, sering terbentuk protein-protein tidak normal atau belum
matang. Mereka terbentuk akibat cekaman suhu, oksigen radikal, dan mutasi-
mutasi. Protein-protein tersebut dengan segera akan dihancurkan oleh jalur
ubiquitin-proteasom. Beberapa penyakit kemunduran sistem saraf
(neurodegenerative diseases) telah dilaporkan berkaitan dengan terbentuknya
protein-protein abnormal antara lain: Alzheimer, Parkinson, Huntington, dan Ataxia.
Protein-protein tersebut tidak akan terhidari dari mekanisme penghancuran.
Robinson C (1996). Translocation of protein across chloroplast membranes. In
Smalwood, et al., : Membranes: specialized functions in plants. Bios Sci. Publ.
Oxford.
Mireau, H., Lancelin, D., and Small, I. D., (1996). The same Arabidopsis gene
encodes both cytosolic and mitochondrial Alanyl-tRNA Synthetase. The Plant Cell,
Vol. 8: 1027-1039.

MATERI VI : PROTEOLISIS DAN PROTEASOME

Mekanisme penterjemahan informasi genetika dari tempatnya yang tersimpan,


sebagai urutan spesifik basa DNA ke dalam urutan spesifik asam amino memastikan
bahwa informasi genetika bertindak terutama pada aras protein. Oleh sebab itu,
kegelimangan (abundance) suatu protein merupakan indikator penting pengendalian
aktifitas suatu gen secara seluler. Kegelimangan suatu protein di dalam sel
ditentukan terutama oleh (1) banyaknya protein yang disintesis dan (2) banyaknya
protein yang dihancurkan.
Transkripsi, translasi, dan pengendaliannya memastikan suatu protein
disintesis. Pertannyaannya ialah: proses mana yang bertanggungjawab secara
seluler proses penghancuran protein?
Telah lama diketahui silih-ganti (turnover) dinamik protein-protein seluler
serta fungsi penting degradasi protein selektif dalam mengendalikan aras protein-
protein khusus di dalam sel, namun mekanismenya menjadi sebuah rahasia untuk
jangka waktu lama. Ceriteranya dimulai sejak tahun 1953, ketika Simpson 1953
(diikuti oleh Hershko bersama Tomkins 20 tahun kemudian, tahun 1971) menduga
bahwa penghancuran protein intrasel dikerjakan oleh mesin proteolitik yang
membutuhkan energi seluler.
Realitas yang lebih jelas mulai terkuak ketika Etlinger dan Goldberg (1977)
menggunakan pendekatan cell-free system dilanjutkan dengan fraksionasi-
rekonstitusi biokemis oleh Hershko dan Ciechanover (1977 - 1978); serta
menunjukkan adanya sistem proteolisis bergantung ATP (ATP-dependent proteolitic
activity) pada reticulocyte lysates.
Dalam pembuktian di atas, reticulocyte lysates difraksionasi pada DEAE-
cellulose menjadi dua fraksi kasar: fraksi 1 yang tidak dijerap (adsorbed) dan fraksi
2 yang mengandung semua protein dijerap pada resin dan terelusi dengan kadar
garam tinggi. Tujuan awal fraksionasi adalah untuk menghilangkan hemoglobin yang
ada pada fraksi 1. Namun ternyata, setelah fraksionasi, fraksi 2 kehilangan aktivitas
proteolitik bergantung ATP dibanding dengan lysates kasar. Penelitian kemudian
dilanjutkan dengan menambahkan fraksi 1 ke fraksi 2, yang ternyata memulihkan
aktivitas proteolitik bergantung ATP. Komponen aktif yang terkadung di dalam fraksi
1 tersebut berhasil diisolasi (Ciechanover, et al., 1978), dan ternyata merupakan
protein berukuran kecil, tahan panas. Protein tersebut dinamai APF-1 atau ATP-
dependent proteolysis factor 1.
Dua tahun kemudian diketahui bahwa APF-1 adalah ubiquitin, yaitu protein yang
diisolasi pertamakali tahun 1975 oleh Goldstein. Oleh Goldstein, dikira sebagai
hormon thimus yang hanya terdapat pada jaringan tersebut, tetapi ternyata hadir
disemua jaringan dan organisme. Sewaktu ditemukan, ubiquitin merupakan bagian
dari suatu protein bercabang yang jarang ada, yang karbon ujungnya (C-terminus)
bersambungan dengan gugus -amino dari residu lisin protein histon 2A, serta fungsinya yang
belum diketahui.
Simpson, M.V., 1953. The release of Labeled amino acids from the protein of rat liver
slices, J. Biol. Chem. 201;143-154.
Hershko, A., and Tomkins, G. M., 1971. Studies on the degradation of tyrosine
aminotransferase in hepatoma cells in culture: Influence of the composition of the
medium and adenosine triphosphate dependence. J. Biol. Chem. 246:710-714.
Dalam pendekatan cell-free system, komponen-komponen enzim diisolasi dan
dikarakterisasi dengan metode biokimia langsung.

MATERI VII : PENGENDALIAN GEN TRANSKRIPSIONAL

Seorang petani, yang menanam jagung diladang akan sangat kaget kalau tanaman
yang ditanamnya bersamaan, menghasilkan tanaman-tanaman yang waktu
berbunganya berbeda-beda. Ia tentunya tidak dapat memanen tanamannya secara
bersamaan. Mengapa demikian?
Jika ternyata sang petani memang menanam benihnya dari campuan
berbagai varietas, maka hal ini dapat dengan mudah dipahami sumber
permasalahannya. Namun andaikan bahwa petani menanam varietas yang sama
pada lingkungan tumbuh yang homogen. Berapa besar kemungkinan bunga-bunga
itu akan bermunculan pada waktu yang berbeda-beda?
Dalam kenyataannya, sang petani begitu yakin bahwa tanamannya akan
berbunga, bertongkol dan panen pada umur-umur tertentu dan bersifat serempak.
Peluang untuk menyimpang dari umur yang telah ditentukan sangatlah kecil, atau
secara praktis tidak ada.
Kepercayaan petani tersebut dari sudut pandang pengendalian aktifitas gen
sangatlah beralasan bahwa munculnya kuncup bunga tanaman jagung merupakan
proses yang sangat terkendali. Informasi genetika yang menentukan waktu
berbunganya jagung diaktifkan setelah jagung mencapai umur tertentu.
Cerita tentang pembungaan jagung di atas hanyalah sebuah contoh dari
keteraturan-keteraturan umum yang ada dalam sistem-sistem biologi. Keteraturan
yang ada itu diperoleh oleh sistem-sistem biologi dalam kurun waktu evolusi yang
sangat panjang, yang memberikan kepada organisme tertentu suatu keuntungan
relatif agar bisa bertahan hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Secara prinsipil, berbagai pola pengendalian aktifitas gen pada sistem-sistem biologi
ditujukan untuk mengontrol empat hal berikut: (1) Kapan, (2) Dimana, (3) Berapa
banyak, dan 4) Bagaimana pola koordinasi pengendalian antar gen. Namun
sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa ekspresi gen
berlangsung melalui tahapan-tahapan transkripsi dan translasi, maka pengendalian
aktifitas gen yang ditujukan/atau berpengaruh pada keempat hal tersebut di atas
dapat berlangsung pada tahapan-tahapan transkripsi, pasca transkripsi, translasi,
dan pascatranslasi.
Pada organisme prokariotik, aktifitas gen terutama dikendalikan pada tahapan
transkripsi, dengan beragam pola pengendaliannya, yaitu: (1) Pengendalian
Aktifitas Gen pada Tahapan Inisiasi Transkripsi: interaksi promotor-RNA polymerase;
(2) Operon; (3) Pengendalian Aktifitas Gen melalui Struktur RNA: Terminasi dan
Antiterminasi; (4) Pengendalian fase litik dan lisogenik pada infeksi bakteriofage.
Pada organisme eukariotik, karena DNAnya dipackage bersama-sama oleh protein
histon sebagai nukleosom, posisi DNA terhadap nukleosom merupakan target
penting pengendalian ekspresi gen.

Pengendalian Aktifitas Gen pada Tahapan Transkripsi


Dalam proses transkripsi, salah satu pilin dari pilin ganda DNA yang mengandung
satuan transkripsi disalin kedalam urutan spesifik RNA. Disalin disini berati bahwa
gen yang berada dalam urutan asam nukleat DNA disalin ke dalam urutan basa
nukleat RNA. Pilinan DNA yang menjadi sumber penyalinan dinamakan cetakan
(template) sedangkan pilinan komplementernya, yang karena merupakan
representasi urutan RNA yang dihasilkan dari proses menyalin, disebut rantai
pengkode (coding strand) (Lihat Ilustrasi).
Sintesis RNA dipercepat reaksinya oleh enzim RNA polymerase. Transkripsi
dimulai ketika enzim tersebut berinteraksi dengan suatu daerah khusus berlokasi di
pangkal suatu gen. Daerah khusus ini disebut promotor. Promotor melingkupi
(surrounds) pasangan basa pertama yang akan disalin ke dalam urutan RNA, dan
oleh karenanya disebut titik pengawalan (startingpoint). Dari titik ini, enzim RNA
polymerase bergerak sepanjang rantai cetakan, mensintesis RNA, sampai mencapai
suatu urutan pengakhiran (terminator). Mulai dari titik pengawalan transkripsi
sampai pada pengakhiran adalah satuan transkripsi. Dari sekali proses penyalinan
informasi dari titik pengawalan ke titik pengakhiran dihasilkan satu molekul tunggal
RNA, yang dapat mengandung satu atau lebih gen.
Urutan DNA sebelum satuan transkripsi disebut daerah hulu (upstream),
sedangkan daerah setelah titik pengawalan disebut daerah hilir (downstream). Arah
transkripsi bergerak dari daerah hulu ke daerah hilir searah dengan biosintesis RNA
dari ujung 5 ke ujung 3. Pasangan basa pengawalan transkrispi ke arah hilir
biasanya ditandai dengan bilangan + dan diawali dengan +1 dari titik pengawalan.
Sebaliknya pasasangan basa sebelum titik berangkat ditandai dengan bilangan
negatif dan dimulai dengan -1 dan menjadi semakin negatif kearah hulu.
Hasil pertama dari proses penyalinan satuan transkripsi adalah transkrip
primer. Transkrip ini memiliki ujung 5 dan ujung 3 dan bersifat sangat tidak
mantap, sehingga sulit dikarakterisasi secara in vivo. Pada prokariotik, molekul ini
dengan cepat dihancurkan (mRNA) atau dipotong menjadi molekul yang matang
(rRNA dan tRNA). Pada eukariotik, transkrip primer dimodifikasi di kedua ujungnya
(mRNA) dan/atau dipotong menghasilkan molekul yang matang untuk semua tipe
RNA (mRNA, rRNA, dan tRNA).
Transkripsi secara ekslusif dikerjakan oleh RNA polimerase, namun demikian
gen ditranskripsi bukan tanpa diskriminasi oleh enzim tersebut. Protein-protein lain,
yang disebut faktor transkripsi, bertindak mengatur transkripsi. Mereka
menentukan apakah suatu gen siap ditranskripsi atau tidak.
Transkripsi merupakan tahapan utama suatu gen dikendalikan. Tahap
pengawalan merupakan titik kritis bahkan untuk beberapa gen merupakan satu-
satunya titik pengendalian apakah suatu gen akan ditranskripsi atau tidak. Namun
karena tahapan transkripsi itu sendiri terdiri dari beberapa tahapan, sejumlah
tahapan itu dapat menjadi titik-titik pengendalian transkripsi.
Ada dua hal penting yang patut diperhatikan sehubungan dengan
pengendalian transkripsi: (1) Bagaimana RNA polimerase menemukan daerah
promotor dan protein-protein lain melakukan pengikatan spesifik dengan urutan
tertentu basa nukleotida di daerah promotor; (2) Bagaimana protein-protein
regulator berinteraksi dengan RNA polimerase dan dengan protein pengatur yang
lain mengaktifkan atau merepresi tahapan-tahapan spesifik dalam pengawalan,
pemanjangan, dan pengakhiran dari tahapan-tahapan transkripsi?

Interaksi promotor-RNA polymerase pada prokariotik


Transkripsi berlangsung pada gelembung transkripsi, di daerah mana DNA untuk
sementara membentuk dua rantai tunggal. Salah satu rantai, oleh RNA polimerase
digunakan sebagai cetakan. Sambil RNA polimerase bergerak sepanjang DNA
menyalin/mengimlah urutan spesifik DNA ke dalam urutan spesifik molekul baru RNA
(sintesis RNA), gelembung tersebut juga bergerak bersama. RNA yang baru
dibentukpun semakin panjang.
Bergeraknya gelembung transkripsi bersamaan dengan gerakan maju RNA
polimerase karena sambil RNA polimerase bergerak sepanjang DNA cetakan, iapun
turut mendenaturasi pilin ganda DNA dibagian depan gelembung dan merenaturasi
kembali dibagian belakang gelembung. Panjang gelembung transkripsi kurang lebih
18 pb, tetapi panjang daerah hibrida RNA-DNA di dalam gelembung itu lebih pendek.
Pandangan klasik, melalui pembuktian tidak langsung, adalah sekitar 12 pb,
walaupun belum pernah diukur secara langsung. Bukti yang lebih baru menunjukkan
bahwa basa pada RNA sedekat 3 pb dari titik pemanjangan dapat dipotong oleh
ribonuklease yang mengenal RNA rantai tunggal. Dengan demikian, RNA masih
berasosiasi dengan DNA hanya sepanjang 2-3 basa dari titik pertumbuhan rantai,
setelahnya RNA berikatan sangat kuat dengan RNA polimerase. Jadi hibrida RNA-
DNA sangat pendek, bersifat sementara, dan hanya cukup untuk memberikan
stabilitas bagi reaksi reaksi perpasangan basa yang menentukan spesifitas
penambahan nukleotida diujung pemanjangan RNA.
RNA polimerase bakteri memiliki ukuran ~90 x 95 x 160. Pada Yeast ukurannya
lebih besar (~140 x 136 x 110). Analisis struktural menunjukkan bahwa keduanya
memiliki kesamaan, yaitu bahwa terdapat suatu saluran atau alur dipermukaan
protein dengan lebar 25 dan kedalaman 5 10, yang dapat saja sebagai alur
lintasan DNA. Panjang alur dapat menampung 16 pb pada enzim bakteri, dan 25 pb
pada enzim yeast, namun panjang demikian hanya merepresentasi sebagian dari
seluruh DNA yang terikat selama transkripsi berlangsung. Dibagian yang melintang
alur tersebut terdapat alur lain yang lebih sempit berukuran lebar 12 - 15 dengan
kedalaman ~20 , yang dapat menampung molekul RNA.
Enzim RNA polimerase pertamakali dikenal dari kemampuannya
memasukkan nukleotida-nukleotida ke dalam RNA dibawah arahan DNA cetakan.
Sekarang, RNA polimerase dilihat sebagai bagian dari suatu alat yang lebih kompleks
yang terlibat dalam transkripsi. Kemampuan mengkatalisis sintesis RNA
mendefinisikan komponen minimum yang dapat diderskripsikan sebagai RNA
polimerase.

Operon
Pengendalian aktifitas gen melalui struktur RNA: Terminasi dan Antiterminasi
Pengendalian fase litik dan lisogenik pada infeksi bakteriofage.

Struktur kristal partikel inti nukleosom pada resolusi 28


(Luger et al., 1997)

Modifikasi protein histon yang mempengaruhi ekspresi gen


Histon adalah protein yang terdapat pada inti sel, sebagai bagian struktural
kromosom sel-sel prokariotik. Protein histon terdiri atas H2A, H2B, H3, dan H4,
mengepak DNA sedemikian rupa sehingga terjadi mampatan dengan faktor kurang
lebih 10000 kali. Dalam pengepakan DNA, protein histon membentuk bak kelereng
yang dililiti oleh benang-benang DNA. Modifikasi protein histon yang mempengaruhi
ekspresi gen
Asetilasi/deasetilasi
Fosforilasi
Metilasi (Methylation)
Ubiquitilasi (Ubiquitylatyion)
Sumoilasi (Sumoylation)

Anda mungkin juga menyukai