Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum pewarisan Mendel adalah hukum mengenai pewarisan sifat
pada organisme yang dijabarkan oleh Gregor Johann Mendel dalam karyanya
'Percobaan mengenai Persilangan Tanaman'. Hukum ini terdiri dari dua
bagian:
Hukum pemisahan (segregation) dari Mendel, juga dikenal sebagai
Hukum Pertama Mendel, dan Hukum berpasangan secara bebas (independent
assortment) dari Mendel, juga dikenal sebagai Hukum Kedua Mendel.
Hukum pewarisan Mendel adalah hukum mengenai pewarisan sifat
pada organisme, yang kita kenal dengan hukum segregasi dan hukum asortasi
bebas, yang telah di jabarkan oleh Gregor Johann Mendel . Mendel
mengatakan bahwa pada pembentukan gamet (sel kelamin), kedua gen induk
(Parent) yang merupakan pasangan alel akan memisah sehingga tiap-tiap
gamet menerima satu gen dari induknya sebagaimana bunyi hukum mendel I,
dan bunyi hukum mendel II, menyatakan bahwa bila dua individu mempunyai
dua pasang atau lebih sifat, maka diturunkannya sepasang sifat secara bebas,
tidak bergantung pada pasangan sifat yang lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apa latar belakang teori mendel?
2. Apa bunyi hukum mendel I?
3. Apa bunyi hukum mendel II?
4. Apa teori pewarisan sifat?
5. Apa saja percobaan mendel?
C. Tujuan
a. Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini untuk melengkapi tugas
dari mata kuliah Biologi.
2

b. Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa mengetahui latar belakang teori mendel.
2. Agar mahasiswa mengetahui hukum mendel I.
3. Agar mahasiswa mengetahui hukum mendel II.
4. Agar mahasiswa mengetahui teori pewarisan sifat.
5. Agar mahasiswa mengetahui percobaan mendel.

























3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip Teori Mendel
Genetika adalah ilmu yang mempelajari pewarisan sifat dari induk
kepada keturunannya. Gregor Johann mendel (1822-1884), seorang
biarawan disebuah biara di Brunn, Austria menyilangkan kacang ercis (Pisum
sativum), kemudian hasil persilangan ditanam dan di amati, mendel
melakukannya selama 12 tahun.
Alasan Mendel memilih kacang ercis sebagai bahan percobaan
adalah :
a. Memiliki pasangan sifat beda yang mencolok
b. Melakukan penyerbukan sendiri
c. Mudah dilakukan penyerbukan silang
d. Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan keturunan cepat
e. Mempunyai keturunan banyak
Langkah awal sebelum dilakukan perhitungan terhadap
pengamatannya adalah menentukan galur murni jenis tanaman yang dijadikan
percobaan. Tanaman galur murni adalah tanaman yang apabila dilakukan
penyerbukan sendiri akan menghasilkan keturunan yang semuanya
mempunyai sifat yang sama dengan induknya. Dalam percobaannya Mendel
melakukan perkawinan silang dengan menyerbukkan sendiri antara dua
varietas ercis yang berbeda sebagai induk-induknya. Turunan hasil
perkawinan silang ini disebut hybrid, sedangkan prosesnya hibridisasi
Dari hasil percobaan yang diperolehnya, Mendel menyusun beberapa
hipotesis, yaitu :
a. Setiap sifat pada organisme dikendalikan oleh satu pasang factor
keturunan, satu dari induk jantan dan satu induk betina.
b. Setiap pasang factor keturunan menunjukkan bentuk alternative
sesamanya, misalnya tinggi atau rendah, bulat atau keriput, kuning atau
hijau. Kedua bentuk alternative ini disebut alel.
4

c. Bila pasangan factor itu terdapat bersama-sama dalam satu tanaman,
factor dominasi akan menutup factor resesif.
d. Pada waktu pembentukan gamet, pasangan factor atau masing-masing alel
akan memisah secara bebas.
e. Individu murni mempunyai alel sama, yaitu dominan saja atau resesif
saja.
B. Hukum Mendel
1. Hukum Mendel I
Hukum Mendel I dikenal juga dengan Hukum Segregasi
menyatakan: pada pembentukan gamet kedua gen yang merupakan
pasangan akan dipisahkan dalam dua sel anak. Hukum ini berlaku untuk
persilangan monohibrid (persilangan dengan satu sifat beda).
Secara garis besar, hukum ini mencakup tiga pokok:
a. Gen memiliki bentuk-bentuk alternatif yang mengatur variasi pada
karakter turunannya. Ini adalah konsep mengenai dua macam alel; alel
resisif (tidak selalu nampak dari luar, dinyatakan dengan huruf kecil,
misalnya w dalam gambar), dan alel dominan (nampak dari luar,
dinyatakan dengan huruf besar, misalnya R).
b. Setiap individu membawa sepasang gen, satu dari tetua jantan
(misalnya ww dalam gambar di samping) dan satu dari tetua betina
(misalnya RR dalam gambar di samping).
c. Jika sepasang gen ini merupakan dua alel yang berbeda, alel dominan
akan selalu terekspresikan (nampak secara visual dari luar). Alel
resesif yang tidak selalu terekspresikan, tetap akan diwariskan pada
gamet yang dibentuk pada turunannya.
2. Hukum Mendel II
Hukum Mendell II dikenal dengan Hukum Independent
Assortment, menyatakan: bila dua individu berbeda satu dengan yang
lain dalam dua pasang sifat atau lebih, maka diturunkannya sifat yang
sepasang itu tidak bergantung pada sifat pasangan lainnya. Hukum ini
berlaku untuk persilangan dihibrid (dua sifat beda) atau lebih.Seperti
nampak pada gambar 1, induk jantan (tingkat 1) mempunyai genotipe ww
5

(secara fenotipe berwarna putih), dan induk betina mempunyai genotipe
RR (secara fenotipe berwarna merah). Keturunan pertama (tingkat 2 pada
gambar) merupakan persilangan dari genotipe induk jantan dan induk
betinanya, sehingga membentuk 4 individu baru (semuanya bergenotipe
wR).Selanjutnya, persilangan/perkawinan dari keturuan pertama ini akan
membentuk indidividu pada keturunan berikutnya (tingkat 3 pada
gambar) dengan gamet R dan w pada sisi kiri (induk jantan tingkat 2) dan
gamet R dan w pada baris atas (induk betina tingkat 2). Kombinasi gamet-
gamet ini akan membentuk 4 kemungkinan individu seperti nampak pada
papan catur pada tingkat 3 dengan genotipe: RR, Rw, Rw, dan ww. Jadi
pada tingkat 3 ini perbandingan genotipe RR , (berwarna merah) Rw (juga
berwarna merah) dan ww (berwarna putih) adalah 1:2:1. Secara fenotipe
perbandingan individu merah dan individu putih adalah 3:1.
Kalau contoh pada gambar 1 merupakan kombinasi dari induk
dengan satu sifat dominan (berupa warna), maka contoh ke-2
menggambarkan induk-induk dengan 2 macam sifat dominan: bentuk
buntut dan warna kulit. Persilangan dari induk dengan satu sifat dominan
disebut monohibrid, sedang persilangan dari induk-induk dengan dua sifat
dominan dikenal sebagai dihibrid, dan seterusnya.
Pada gambar 2, sifat dominannya adalah bentuk buntut (pendek
dengan genotipe SS dan panjang dengan genotipe ss) serta warna kulit
(putih dengan genotipe bb dan coklat dengan genotipe BB). Gamet induk
jantan yang terbentuk adalah Sb dan Sb, sementara gamet induk betinanya
adalah sB dan sB (nampak pada huruf di bawah kotak). Lihat ganbar 2
Kombinasi gamet ini akan membentuk 4 individu pada tingkat F1
dengan genotipe SsBb (semua sama). Jika keturunan F1 ini kemudian
dikawinkan lagi, maka akan membentuk individu keturunan F2. Gamet
F1nya nampak pada sisi kiri dan baris atas pada papan catur. Hasil
individu yang terbentuk pada tingkat F2 mempunyai 16 macam
kemungkinan dengan 2 bentuk buntut: pendek (jika genotipenya SS atau
Ss) dan panjang (jika genotipenya ss); dan 2 macam warna kulit: coklat
(jika genotipenya BB atau Bb) dan putih (jika genotipenya bb).
6

Perbandingan hasil warna coklat:putih adalah 12:4, sedang
perbandingan hasil bentuk buntut pendek:panjang adalah 12:4.
Perbandingan detail mengenai genotipe SSBB : SSBb : SsBB : SsBb :
SSbb : Ssbb : ssBB : ssBb : ssbb adalah 1:2:2:4:1:2:1:2:1
C. Teori Pewarisan Sifat
Pewarisan sifat atau yang dikenal dengan Hereditas merupakan suatu
pewarisan sifat dari induk kepada keturunannya. Ilmu yang mempelajari
tentang pewarisan sifat disebut dengan genetika.
Pewarisan sifat itu dapat ditentukan oleh kromosom dan gen. Teori-
teori tentang pewarisan sifat adalah sebagai berikut :
1. Teori Embryo
Teori ini dikemukanan oleh William Harvey, 1578-1657 yang
menyatakan, bahwa semua hewan berasal dari telur. Pernyataan ini
diperkuat oleh Reiner de Graaf (1641-1673) peneliti pertama yang
mengenal bersatunya sel sperma dengan sel telur yang akan membentuk
embrio. Reiner de Graaf menyatakan bahwa ovarium pada burung sama
dengan ovarium pada kelinci.
2. Teori Preformasi
Teori ini dikemukakan oleh Jan Swammerdan, 1637-1689 yang
menyatakan bahwa telur mengandung semua generasi yang akan dating
sebagai miniature yang telah terbentuk sebelumnnya.
3. Teori Epigenesis Embriologi
Teori ini dikemukakan oleh C.F. Wolf, 1738-1794, yang
menyatakan bahwa ada kekuatan vital dalam benih organiseme dengan
kekuatan ini menyebabkan pertumbuhan embrio menurut pola
perkembangan sebelumnya.
4. Teori Plasma Nutfah
Teori ini dikemukakan oleh J. B. Lamarck, 1744-1829 yang
menyatakan bahwa sifat yang terjadi karena rangsangan dari luar
(lingkungan) terhadap struktur fungsi organ yang diturunkan pada
generasi berikutnya.

7

5. Teori Pengenesis
Teori ini dikemukakan oleh C. R. Darwin, yang menyatakan
bahwa setiap bagian tubuh dewasa menghasilkan benih-benih kecil yang
disebut gemuia.
6. Teori Telegani
Teori ini dikemukakan oleh Ernest Haeckel, menyatakan bahwa
spermatozoa sebagian besar tersusun atas inti dan inti bertanggung jawab
sebagai penurunan sifat.
D. Percobaan Mendel
1. Persilangan Dua I ndividu dengan Satu Sifat Beda
a. Persilangan Monohibrid Dominan Penuh
Persilangan dua individu dengan satu sifat beda
menurun kan sifat dominan apabila sifat keturunannya sama
dengan salah satu sifat induknya.
Perhatikan contoh persilangan berikut. Contoh: Tanaman
kacang ercis berbatang tinggi disilangkan dengan kacang ercis
berbatang pendek. F1 semuanya berbatang tinggi. Kemudian F1
dibiarkan melakukan penyerbukan sendiri . Hasil yang diperoleh
yaitu F2 yang berbatang tinggi dan berbatang pendek dengan
perbandingan 3 : 1. Persilangan ini dapat dilihat dalam bagan
berikut :
Parental 1 (P1)
Kacang ercis
Batang Tinggi
><
Kacang ercis Batang
Pendek
Genotipe T T >< t t
Fenotipe Tinggi

Pendek
Gamet T dan T

t dan t
Filial (F1)

T t
Fenotipe : Batang
Tinggi
Parental 2 (P2)
Kacang ercis
Batang Tinggi
><
Kacang ercis Batang
Tinggi
Genotipe T t

T t
Gamet T dan t >< T dan t


8

Kemungkinan kombinasi pada F2 adalah sebagai berikut :
Gamet
Gamet
T t
T TT (Tinggi) .1 Tt (Tinggi) .2
T Tt (Tinggi) .3 Tt (pendek) .4
Pada persilangan ini , gen untuk faktor Tinggi (T) dominan
terhadap gen untuk faktor pendek (t). Maka Individu bergenotipe
Tt (no. 2 dan 3) akan memiliki fenotipe tinggi. Perbandingan
fenotipe F2 pada persilangan monohibrid dominan penuh adalah :
Tinggi : Pendek = 3 : 1 . Perbandingan Genotipe nya
adalah : TT : Tt : tt = 1 : 2 : 1
b. Persilangan Monohibrid Intermediet
Persilangan ini tidak seperti salah satu fenotip galur murni,
tetapi mempunyai fenotipe diantara kedua induknya.
Perhatikan contoh : Tanaman Antihinum majus galur
Murni merah (MM) disilangkan dengan galur murni putih (mm).
Dari persilangan itu diperoleh hasil F1 yang semuanya
berbunga merah muda . Jika F1 ini ditanam dan diadakan
penyerbukan dengan sesamanya, maka F2 menghasilkan tanaman
berbunga merah, merah muda, dan putih dengan perbandingan : 1
: 2 : 1. Persilangannya dapat dilihat sebagai berikut :
P1
Tanaman
berbunga merah
>< Tanaman berbunga putih
Genotipe MM >< Mm
Gamet M dan M

m dan m
F1

Mm
Fenotipe : berbunga merah
muda
P2
Mm (merah
muda)
>< Mm (merah muda)
Gamet M dan m >< M dan m



9

Kemungkinan terjadinya kombinasi pada F2 adalah :
Gamet
Gamet
M M
M
MM
(Merah) 1
Mm (merah
muda) 2
m
Mm (merah
muda) 3
Mm
(putih) 4
Perbandingan Fenotipe F2 pada persilangan monohibrid
intermediet adalah :
merah : merah muda : putih = 1 : 2 : 1. Perbandingan
Genotipenya : MM : Mm : mm = 1 : 2 : 1
2. Persilangan Dua I ndividu dengan Dua Sifat Beda (Dihibrid)
Persilangan dua individu dengan dua sifat beda atau lebih
menghasilkan keturunan dengan perbandingan fenotipe dan genotipe
tertentu. Mendel dalam percobaannya menggunakan kacang ercis galur
murni yang mempunyai biji bulat warna kuning dengan galur murni
yang mempunyai biji keriput warna hijau. Karena bulat dan kuning
dominan terhadap keriput dan hijau, maka F1 seluruhnya berupa kacang
ercis berbiji bulat dan warna biji kuning. Biji-biji F1 ini kemudian
ditanam kembali dan dilakukan penyerbukan sesamanya untuk
memperoleh F2. Keturunan kedua F2 yang diperoleh adalah sebagai
berikut. Persilangan tersebut adalah persilangan dua individu dengan
dua sifat beda yaitu bentuk biji dan warna biji.
B=bulat, dominan terhadap keriput b=keriput,
K=kuning, dominan terhadap hijau k= hijau
Perhatikan bagan persilangan dua individu dengan dua sifat
beda (dihibrid) di bawah
P1
Kacang ercis berbiji
bulat warna kuning
><
Kacang ercis berbiji
keriput warna hijau
Genotipe BBKK >< Bbkk
Gamet BK dan BK >< bk dan bk
F1

BbKk
Fenotipe : berbiji bulat
warna kuning
P2 BbKk >< BbKk
Gamet BK,B k,bK,bk >< BK,Bk,bK,bk
10

Kemungkinan terjadinya kombinasi pada F2 adalah Sbb :
F2
:
Gamet
Gamet
BK Bk bK Bk
BK BBKK 1 BBKk 2 BbKK 3 BbKk 4
Bk BBKk 5 BBkk 6 BbKk 7 Bbkk 8
bK BbKK 9 BbKk 10 bbKK 11 bbKk 12
Bk BbKk 13 Bbkk 14 bbKk 15 Bbkk 16
Individu yang mengandung B memiliki biji bulat dan individu
yang mengandungK memiliki biji warna kuning, Fenotipe pada F2
adalah :
a. bulat kuning = nomor : 1 , 2, 3, 4, 5, 7, 9, 10, 13
b. bulat hijau = nomor : 6, 18, 14
c. keripit kuing = nomor : 11, 12, 15
d. keriput hijau = nomor : 16
Perbandingan Fenotipe F2 adalah :
bulat kuning : bulat hijau : keriput kuning : keriput hijau
= 9 : 3 : 3 : 1
Kemungkinan macam genotipe dan fenotipe pada dihibrid F2 :
Kemungkinan
ke-
Kotak
nomor
Genotipe Fenotipe
1 1 BBKK Bulat kuning
2 2, 5 BBKk Bulat kuning
3 3, 9 BbKK Bulat kuning
4 4,7, 10, 13 BbKk Bulat kuning
5 6 BBkk Bulat hijau
6 8, 14 Bbkk Bulat hijau
7 11 bbKK Keriput kuning
8 12, 15 bbKk Keriput kuning
9 16 bbkk Keriput hijau
Perbandingan Genotipe nya :
BBKK : BBKk : BbKK : BbKk : BBkk : Bbkk : bbKK : bbKk :
bbkk
1 : 2 : 2 : 4 : 1 : 2 : 1 : 2 :1


11

3. Persilangan dua Individu dengan Tiga Sifat Beda (Trihibrid)
Misalnya persilangan kacang ercis dengan tiga sifat beda yaitu
:Batang tinggi, biji bulat dan biji warna kuning, dengan batang pendek,
biji keriput, warna biji hijau. Keturunan F1 yang dihasilkan adalah
: Bagan persilangan Trihibrid
P1 TTKKBB >< Ttkkbb
Fenotipe
Tinggi,kuning,bulat ><
Pendek,keriput,hij
au
Genotipe TKB >< Tkb
F1

TtKkBb


Fenotipe :
Tinggi,kuning,
bulat

P2 TtKkBb >< TtKkBb
Gamet

TKB,TKb,TkB
,Tkb,tKB,tKb,
tkB,tkb

Hubungan sifat beda dan jumlah kemungkinan fenotipe dan
genotipe pada F2
Jumlah
Sifat
Beda
Jumlah
Macam
Gamet
Jumlah
Macam
Genotipe
F2
Jumlah
Macam
Fenotipe
F2
Perbandingan
Fenotipe F2
Jumlah
Individu F2
1 2
1
= 2 3 2 3 : 1 4
2 2
2
= 4 9 4 9 : 3 : 3 : 1 16
3 2
3
= 8 27 8 27:9:9:9:3:3:3:1 64
N 2
n
3
n
2
n


4
n


E. Hereditas Mamire
1. DNA
DNA ( Deoksiribose Nuclei Acid ), wujud sebagai untaian yang
halus, pembawa sifat keturunan, disusun oleh asam nukleat.
Polinukleotida adalah polimer dari nukleotida.
Nukleotida terdiri dari :
- Gula pentose
- Basa Nitrogen ( Adenin, guanin, timin, dan sitosin )
- Fosfat
12

Basa Nitrogen :
- Basa Nitrogen terdiri dari kelompok senyawa Purin dan Pirimidin.
- Basa Nitrogen penyusun DNA dari kelompok purin adalah Adenin
(A) dan Guanin ( G )
- Basa Nitrogen penyusun DNA dari kelompok Pirimiidin adalah Timin
( T ) ddan Sitosin (S).
- Maka DNA terdiri dari A, T, C, G.
Struktur DNA :
Terdapat di dalam kromosom, berarti di dalam inti sel. Proses
berlipat gandanya DNa dinamakan replikasi. Berbentuk Doublle Heliks (
dua rantai berpilin ) sehingga saling berpasangan ( komplimen ) : A=T
dan C=G.
Replikasi DNA
Berdasarkan pengamatan beberapa ahli dikenal beberapa hipotesa
mengenai replikasi DNA yaitu:
1. Semikonservatif
dou
2. RNA
RNA ( Ribonucleic acid ), berantai tunggal, disusun oleh asam
nukleat ( polinukleotida ). Gula ribose, Basa nitrogen : A, C, G dan urasil
( pada DNA adalah Timin ), fosfat.
Macam macam RNA :
- mRNA ( messangger ) terdapat dalam nucleus. mRNA dicetak oleh
salah satu pita DNA yang berlangsung dalam nucleus. Fungsi
mRNA adalah membawa kode genetika dari DNA atau
menyampaikan informasi dari DNA ke ribosom.
- tRNA ( transfer ) terdapat dalam sitoplasma. Fungsi tRNA ialah
mengikat asam amino.
- rRNA ( ribosom ) terdapat dalam ribosom yang dibentuk oleh DNA.



13

Fungsi RNA :
- mRNA bertugas menerima informasi / keterangan genetic dari DNA.
Proses ini dinamakan transkripsi dan berlanggsung dalam nucleus.
Berfungsi sebagaii perantara antara kromosom dan asam amino
sitoplasma. Berperan penting dalam pembuatan protein.
- tRNA bertugas mengikat asam amino yang terdapat dalam
sitoplasma. Sebelum dapat diikat oleh tRNA, asam amino bereaksi
terlebih dahulu dengan ATP supaya berenergi dan aktif. tRNA
membawa asam amino yang diikat itu keribosom.Disinilah
berlangsung perubahan informasi genetic yang dinyatakan oleh
urutan basa dari mRNA ke urutan asam amino dalam protein yang
dibentuk. Proses perubahan ini disebut translasi.
- rRNA bertugas mensintesa protein dengan menggunakan asam
amino. Proses ini berlangsung dalam ribosom dan hasil akhirnya
adalah polipeptida.

No

Perbedaan DNA RNA
1 Tempat Inti sel (kromosom),
mitokondria, plastid, sentriol
Sitoplasma
(terutama di
ribosom) dan inti
sel
2 Struktur Rantai panjang dan ganda Rantai pendek dan
tunggal
3 Jenis gula Deoksiribosa Ribosa
4 Basa
Nitrogen
Purin: adenine dan guamin
Pirimidin : sitosin dan timin
Purin : adenine dan
guanine
Pirimidin : sitosin
dan urasil
5 Kadar Dipengaruhi sintesis protein Tidak dipengaruhi
sintesis protein
6 Fungsi Mengontrol sifat yang menurun Sintesis protein

3. Sintesis Protein
Tahap-tahapan sintesis protein. Sintesis protein merupakan dasar
untuk mempelajari bagaimana informasi genetik di dalam DNA
diekspresikan dalam makhluk hidup. Dalam istilah genetik sering dikenal
14

dengan yang namanya sentral dogma. Sentral dogma merupakan
serangkaian alur informasi dari DNA yang diterjemahkan melalui RNA
kemudian menjadi protein di dalam tubuh makhluk hidup.
Sintesis protein memiliki sumber informasi di DNA dalam bentuk
gen. Gen tersebut berupa rangkaian kode-kode basa nitrogen. Informasi
dalam gen akan diterjemahkan dalam bentuk mRNA. mRNA kemudian
akan digunakan untuk merangkai asam amino yang didapatkan dari luar
dan dalam tubuh.
Sintesis protein terjadi pada organel yang dinamakan dengan
ribosom. Sintesis protein sangat memerlukan keberadaan RNA, yaitu
suatu rantai tunggal basa nitrogen dengan backbone yang sama dengan
DNA. Adapun pembagian jenis-jenis RNA secara lengkap adalah sebagai
berikut.
a. mRNA (messenger RNA / RNA duta)
RNA duta merupakan RNA yang dibuat oleh proses yang
dinamakan dengan transkripsi pada inti sel. Peranan mRNA adalah
membawa informasi genetik yang ada pada DNA menuju ribosom.
Informasi yang terdapat pada mRNA berupa kodon yang tersusun
secara triplet, misalkan UCA, UCU, atau AAG. Kodon tersebut
dibuat triplet atau tiga-tiga karena 4 pangkat 3 hasilnya 64, yang
kombinasi hurufnya diatas 20.
b. tRNA (transport RNA / RNA transfer)
RNA transfer merupakan RNA yang berperan untuk
membawa asam amino dari sitoplasma menuju ribosom saat terjadi
sintesis protein. tRNA disintesis di salah satu bagian inti sel secara
langsung. Dalam proses pentransferan asam amino, tRNA
memerlukan energi yang berasal dari pemecahan molekul ATP
menjadi ADP + Pi.
c. rRNA (ribosomal RNA / RNA ribosom)
Ribosomal RNA inilah yang sering kita namakan sebagai
ribosom. rRNA merupakan organel yang tersusun atas subunit besar
dan subunit kecil. Ribosom terdapat di sitoplasma sebagai ribosom
15

bebas atau terikat pada Retikulum endoplasma. Pada saat sintesis
protein berlangsung, ribosom biasanya membentuk polisom atau
poliribosom. Polisom bukanlah gabungan beberapa ribosom,
melainkan hanya beberapa ribosom yang membaca satu rantai
mRNA secara bersamaan sehingga tampak seperti berkelompok-
kelompok. Poliribosom biasanya ada 4 atau 5 ribosom yang
membaca pada satu rantai mRNA yang sama.
Selain RNA, sintesis memerlukan beberapa enzim yang
penting dalam setiap tahapan reaksi. Salah satu yang penting adalah
enzim RNA polimerase, yaitu suatu enzim yang melaksanakan
proses penerjemahan DNA menjadi mRNA (proses transkripsi).
Enzim amino asil transferase berperan penting dalam memindahkan
rantai yang terbentuk saat proses perangkaian asam amino.
Tahap-Tahap Sintesis Protein :
Sintesis protein dibagi menjadi dua tahapan utama, yaitu
transkripsi dan translasi. Transkripsi secara garis besar merupakan
proses pembuatan mRNA dari DNA dalam inti sel. mRNA tersebut
lalu bergerak menuju ribosom. Setelah itu, proses translasi, yang
meliputi penerjemahan dan perangkaian asam amino, berlangsung
di ribosom.
1. Transkripsi Pemindahan informasi dari DNA ke mRNA
Transkripsi sebagaimana sudah disinggung sedikit di
atas merupakan serangkaian tahapan pembentukan mRNA dari
DNA. Proses ini sebenarnya merupakan awal mula informasi
pada DNA dipindahkan menuju protein pada makhluk hidup.
Transkripsi diawali dari pemutusan ikatan H pada DNA
oleh protein-protein pengurai DNA. Proses tersebut
mengakibatkan terbukanya rantai DNA pada berbagai tempat.
Terbukanya rantai DNA memicu RNA polimerase melekat ke
daerah yang dinamakan dengan promotor. RNA polimerase
selanjutnya melakukan sintesis molekul mRNA dari arah 3
DNA, sedangkan pada mRNA dimulai dari ujung 5 menuju 3.
16

Dari kedua rantai DNA, hanya salah satu rantai yang
akan diterjemahkan menjadi mRNA. Rantai DNA yang
diterjemahkan menjadi protein dinamakan dengan rantai sense
atau DNA template atau DNA cetakan, sedangkan rantai
pasangannya dinamakan DNA antisense. Dari DNA template
inilah mRNA akan membentuk rantai berpasangan dengan basa-
basa yang ada pada DNA sense.
Komponen untuk pembuatan mRNA terdapat dalam
bentuk nukleotida triposfat, seperti ATP, GTP, UTP, dan CTP.
Fungsi dari RNA polimerase adalah mengkatalis reaksi
penempelan nukleotida triposfat sehingga terbentuk rantai.
Energi yang digunakan untuk menjalankan reaksi tersebut
berasal dari masing-masing nukleotida triposfat yang kaya akan
energi.
Pada saat sintesis mRNA berakhir, terdapat sebuah
penanda terminasi yang bertugas untuk menghentikan sintesis
mRNA. mRNA yang terbentuk selanjutnya akan dipindahkan
dari inti menuju ribosom, kemudian diterjemahkan menjadi
protein di ribosom.
Pada eukariotik, hasil dari transkripsi di DNA adalah
pre-mRNA, artinya mRNA yang belum siap untuk ditranslasi.
Hal tersebut disebabkan karena pre-mRNA masih banyak
mengandung intron, yaitu rangkaian kodon yang tidak bisa
diterjemahkan menjadi protein. Intron ini sangat banyak pada
DNA eukariotik. Bagian yang akan menjadi mRNA matang
dinamakan dengan ekson. Ekson mengandung informasi yang
akan diterjemahkan menjadi protein.
Oleh karena itu, organisme eukariotik memiliki tahapan
splicing mRNA. Proses splicing berguna untuk membuang
bagian intron yang secara genetik tidak mengandung informasi
terkait asam amino. Splicing terjadi sebelum mRNA dikeluarkan
dari inti sel.
17

2. Translasi Penerjemahan mRNA Menjadi Protein
Setelah mRNA matang (fungsional) terbentuk, proses
yang harus dilakukan adalah keluarnya mRNA dari inti sel
menuju ribosom, baik itu di RE ataupun di sitoplasma. Proses
translasi sebenarnya dibagi menjadi tiga tahapan utama, yaitu:
a. Inisiasi
Setelah sampai diribosom, mRNA akan menempel
pada subunit kecil ribosom (30 S) lewat ujung 5. Pada saat
yang bersamaan, tRNA menempel pada subunit besar
ribosom (50 S). Proses tersebut akan menyebabkan asam
amino Metionin dengan kodon AUG menjadi asam amino
pertama yang menempel pada ribosom. Hal penting yag
perlu diingat adalah bahwa asam amino metionin
merupakan asam amino yang selalu pertama kali menempel
pada ribosom saat sintesis protein. Hal tersebut berkaitan
dengan adanya kondon start, yaitu AUG (Metioinin), yang
merupakan kode untuk proses perangkaian asam amino
(sintesis protein sebenarnya) dimulai.
b. Elongasi (Pemanjangan rantai protein/polipeptida)
Setelah proses inisiasi selesai, proses selanjutnya
adalah penerjemahan kodon triplet dan penempelan asam
amino sehingga membentuk rantai. Penerjemahan kode ini
akan diikuti pengikatan asam amino sesuai kodon oleh
tRNA yang kemudian dibawa ke kompleks ribosom dan
digabungkan dengan asam amino yang sudah ada
sebelumnya. Proses tersebut akan berlangsung sampai
munculnya kodon terminasi.
c. Terminasi (Sintesis berhenti)
Proses elongasi akan diakhiri saat terbacanya
rangkaian kodon UAA, UAG, atau UGA. Kodon-kodon
tersebut bukan pengkode asam amino, merupakan kodon
yang memerintahkan untuk penghentian sintesis protein.
18

Faktor pelepas akan menempel pada ribosom setelah
pembacaan kodon stop. Faktor pelepas tersebut
menyebabkan terlepasnya mRNA dari ribosom, selanjutnya
diikuti dengan pemisahan subunit besar dan kecil ribosom.
Hasil dari proses sintesis protein adalah rantai
primer protein (rantai polipeptida) yang masih belum
fungsional. Untuk menjadi fungsional, protein harus
dimodifikasi di badan golgi sesuai kebutuhan sel.
F. Rangkai Kelamin
Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin dinamakan gen
rangkai kelamin (sexlinked genes) sementara fenomena yang melibatkan
pewarisan gen-gen ini disebut peristiwa rangkai kelamin (linkage). Adapun
gen berangkai yang dibicarakan pada Bab V adalah gen-gen yang terletak
pada kromosom selain kromosom kelamin, yaitu kromosom yang pada
individu jantan dan betina sama strukturnya sehingga tidak dapat digunakan
untuk membedakan jenis kelamin. Kromosom semacam ini dinamakan
autosom.
Seperti halnya gen berangkai (autosomal), gen-gen rangkai kelamin
tidak mengalami segregasi dan penggabungan secara acak di dalam gamet-
gamet yang terbentuk. Akibatnya, individu-individu yang dihasilkan melalui
kombinasi gamet tersebut memperlihatkan nisbah fenotipe dan genotipe yang
menyimpang dari hukum Mendel. Selain itu, jika pada percobaan Mendel
perkawinan resiprok (genotipe tetua jantan dan betina dipertukarkan)
menghasilkan keturunan yang sama, tidak demikian halnya untuk sifat-sifat
yang diatur oleh gen rangkai kelamin.
Gen rangkai kelamin dapat dikelompok-kelompokkan berdasarkan
atas macam kromosom kelamin tempatnya berada. Oleh karena kromosom
kelamin pada umumnya dapat dibedakan menjadi kromosom X dan Y, maka
gen rangkai kelamin dapat menjadi gen rangkai X (X-linked genes) dan gen
rangkai Y (Y-linked genes). Di samping itu, ada pula beberapa gen yang
terletak pada kromosom X tetapi memiliki pasangan pada kromosom Y. Gen
semacam ini dinamakan gen rangkai kelamin tak sempurna (incompletely sex-
19

linked genes). Pada bab ini akan dijelaskan cara pewarisan macam-macam
gen rangkai kelamin tersebut serta beberapa sistem penentuan jenis kelamin
pada berbagai spesies organisme.
Pewarisan Rangkai X
Percobaan yang pertama kali mengungkapkan adanya peristiwa
rangkai kelamin dilakukan oleh T.H Morgan pada tahun 1910. Dia
menyilangkan lalat D. melanogaster jantan bermata putih dengan betina
bermata merah. Lalat bermata merah lazim dianggap sebagai lalat normal
atau tipe alami (wild type), sedang gen pengatur tipe alami, misalnya
pengatur warna mata merah ini, dapat dilambangkan dengan tanda +.
Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami bersifat dominan terhadap
alel mutannya.
Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi F
1
,
ternyata berbeda jika tetua jantan yang digunakan adalah tipe alami
(bermata merah) dan tetua betinanya bermata putih. Dengan perkataan
lain, perkawinan resiprok menghasilkan keturunan yang berbeda.
Persilangan resiprok dengan hasil yang berbeda ini memberikan petunjuk
bahwa pewarisan warna mata pada Drosophila ada hubungannya dengan
jenis kelamin, dan ternyata kemudian memang diketahui bahwa gen yang
mengatur warna mata pada Drosophila terletak pada kromosom kelamin,
dalam hal ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna mata ini
dikatakan sebagai gen rangkai X.
Jika kita perhatikan Gambar 6.1.b, akan nampak bahwa lalat
F
1
betina mempunyai mata seperti tetua jantannya, yaitu normal/merah.
Sebaliknya, lalat F
1
jantan warna matanya seperti tetua betinanya, yaitu
putih. Pewarisan sifat semacam ini disebut sebagai criss cross
inheritance.
Pada Drosophila, dan juga beberapa spesies organisme lainnya,
individu betina membawa dua buah kromosom X, yang dengan sendirinya
homolog, sehingga gamet-gamet yang dihasilkannya akan mempunyai
susunan gen yang sama. Oleh karena itu, individu betina ini dikatakan
bersifat homogametik. Sebaliknya, individu jantan yang hanya membawa
20

sebuah kromosom X akan menghasilkan dua macam gamet yang berbeda,
yaitu gamet yang membawa kromosom X dan gamet yang membawa
kromosom Y. Individu jantan ini dikatakan bersifat heterogametik.
Rangkai X pada kucing
Warna bulu pada kucing ditentukan oleh suatu gen rangkai X.
Dalam keadaan heterozigot gen ini menyebabkan warna bulu yang
dikenal dengan istilah tortoise shell. Oleh karena genotipe heterozigot
untuk gen rangkai X hanya dapat dijumpai pada individu betina, maka
kucing berbulu tortoise shell hanya terdapat pada jenis kelamin betina.
Sementara itu, individu homozigot dominan (betina) dan hemizigot
dominan (jantan) mempunyai bulu berwarna hitam. Individu
homozigot resesif (betina) dan hemizigot resesif (jantan) akan berbulu
kuning.
Istilah hemizigot digunakan untuk menyebutkan genotipe
individu dengan sebuah kromosom X. Individu dengan gen dominan
yang terdapat pada satu-satunya kromosom X dikatakan hemizigot
dominan. Sebaliknya, jika gen tersebut resesif, individu yang
memilikinya disebut hemizigot resesif.
Rangkai X pada manusia
Salah satu contoh gen rangkai X pada manusia adalah gen
resesif yang menyebabkan penyakit hemofilia, yaitu gangguan dalam
proses pembekuan darah. Sebenarnya, kasus hemofilia telah dijumpai
sejak lama di negara-negara Arab ketika beberapa anak laki-laki
meninggal akibat perdarahan hebat setelah dikhitan. Namun, waktu itu
kematian akibat perdarahan ini hanya dianggap sebagai takdir semata.
Hemofilia baru menjadi terkenal dan dipelajari pola
pewarisannya setelah beberapa anggota keluarga Kerajaan Inggris
mengalaminya. Awalnya, salah seorang di antara putra Ratu Victoria
menderita hemofilia sementara dua di antara putrinya karier atau
heterozigot. Dari kedua putri yang heterozigot ini lahir tiga cucu laki-
laki yang menderita hemofilia dan empat cucu wanita yang
heterozigot. Melalui dua dari keempat cucu yang heterozigot inilah
21

penyakit hemofilia tersebar di kalangan keluarga Kerajaan Rusia dan
Spanyol. Sementara itu, anggota keluarga Kerajaan Inggris saat ini
yang merupakan keturunan putra/putri normal Ratu Victoria bebas dari
penyakit hemofilia.
Rangkai Z pada ayam
Pada dasarnya pola pewarisan sifat rangkai Z sama dengan
pewarisan sifat rangkai X. Hanya saja, kalau pada rangkai X individu
homogametik berjenis kelamin pria/jantan sementara individu
heterogametik berjenis kelamin wanita/betina, pada rangkai Z justru
terjadi sebaliknya. Individu homogametik (ZZ) adalah jantan, sedang
individu heterogametik (ZW) adalah betina.
Contoh gen rangkai Z yang lazim dikemukakan adalah gen
resesif br yang menyebabkan pemerataan pigmentasi bulu secara
normal pada ayam. Alelnya, Br, menyebabkan bulu ayam menjadi
burik. Jadi, pada kasus ini alel resesif justru dianggap sebagai tipe
alami atau normal (dilambangkan dengan +), sedang alel dominannya
merupakan alel mutan.
Pewarisan Rangkai Y
Pada umumnya kromosom Y hanya sedikit sekali mengandung
gen yang aktif. Jumlah yang sangat sedikit ini mungkin disebabkan oleh
sulitnya menemukan alel mutan bagi gen rangkai Y yang dapat
menghasilkan fenotipe abnormal. Biasanya suatu gen/alel dapat dideteksi
keberadaannya apabila fenotipe yang dihasilkannya adalah abnormal.
Oleh karena fenotipe abnormal yang disebabkan oleh gen rangkai Y
jumlahnya sangat sedikit, maka gen rangkai Y diduga merupakan gen
yang sangat stabil.
Gen rangkai Y jelas tidak mungkin diekspresikan pada individu
betina/wanita sehingga gen ini disebut juga gen holandrik. Contoh gen
holandrik pada manusia adalah Hg dengan alelnya hg yang menyebabkan
bulu kasar dan panjang, Ht dengan alelnya ht yang menyebabkan
pertumbuhan bulu panjang di sekitar telinga, dan Wt dengan alelnya wt
yang menyebabkan abnormalitas kulit pada jari.
22

Pewarisan Rangkai Kelamin Tak Sempurna
Meskipun dari uraian di atas secara tersirat dapat ditafsirkan
bahwa kromosom X tidak homolog dengan kromosom Y, ternyata ada
bagian atau segmen tertentu pada kedua kromosom tersebut yang
homolog satu sama lain. Dengan perkataan lain, ada beberapa gen pada
kromosom X yang mempunyai alel pada kromosom Y. Pewarisan sifat
yang diatur oleh gen semacam ini dapat dikatakan tidak dipengaruhi
oleh jenis kelamin, dan berlangsung seperti halnya pewarisan gen
autosomal. Oleh karena itu, gen-gen pada segmen kromosom X dan Y
yang homolog ini disebut juga gen rangkai kelamin tak sempurna.
Pada D. melanogaster terdapat gen rangkai kelamin tak
sempurna yang menyebabkan pertumbuhan bulu pendek.
Sistem Penentuan Jenis Kelamin
Telah disebutkan di atas bahwa pada manusia dan mamalia,
dalam hal ini kucing, individu pria/jantan adalah heterogametik (XY)
sementara wanita/betina adalah homogametik (XX). Sebaliknya, pada
ayam individu jantan justru homogametik (ZZ) sementara individu
betinanya heterogametik (ZW). Penentuan jenis kelamin pada
manusia/mamalia dikatakan mengikuti sistem XY, sedang pada ayam,
dan unggas lainnya serta ikan tertentu, mengikuti sistem ZW.
Selain kedua sistem tersebut, masih banyak sistem penentuan
jenis kelamin lainnya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa di
antaranya.
Sistem XO
Sistem XO dijumpai pada beberapa jenis serangga, misalnya
belalang. Di dalam sel somatisnya, individu betina memiliki dua buah
kromosom X sementara individu jantan hanya mempunyai sebuah
kromosom X. Jadi, hal ini mirip dengan sistem XY. Bedanya, pada
sistem XO individu jantan tidak mempunyai kromosom Y. Dengan
demikian, jumlah kromosom sel somatis individu betina lebih banyak
daripada jumlah pada individu jantan. Sebagai contoh, E.B. Wilson
menemukan bahwa sel somatis serangga Protenor betina mempunyai
23

14 kromosom, sedang pada individu jantannya hanya ada 13
kromosom.
Sistem nisbah X/A
C.B. Bridge melakukan serangkaian penelitian mengenai jenis
kelamin pada lalat Drosophila. Dia berhasil menyimpulkan bahwa
sistem penentuan jenis kelamin pada organisme tersebut berkaitan
dengan nisbah banyaknya kromosom X terhadap banyaknya autosom,
dan tidak ada hubungannya dengan kromosom Y. Dalam hal ini
kromosom Y hanya berperan mengatur fertilitas jantan. Secara ringkas
penentuan jenis kelamin dengan sistem X/A pada lalat Drosophila
Partenogenesis
Pada beberapa spesies Hymenoptera seperti semut, lebah, dan
tawon, individu jantan berkembang dengan cara partenogenesis, yaitu
melalui telur yang tidak dibuahi. Oleh karena itu, individu jantan ini
hanya memiliki sebuah genom atau perangkat kromosomnya haploid.
Sementara itu, individu betina dan golongan pekerja,
khususnya pada lebah, berkembang dari telur yang dibuahi sehingga
perangkat kromosomnya adalah diploid. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa partenogenesis merupakan sistem penentuan jenis
kelamin yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan
kromosom kelamin tetapi hanya bergantung kepada jumlah genom
(perangkat kromosom).
Sistem gen Sk-Ts
Di atas disebutkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada
lebah tidak berhubungan dengan kromosom kelamin. Meskipun
demikian, sistem tersebut masih ada kaitannya dengan jumlah
perangkat kromosom.
Pada jagung dikenal sistem penentuan jenis kelamin yang tidak
bergantung, baik kepada kromosom kelamin maupun jumlah genom,
tetapi didasarkan atas keberadaan gen tertentu. Jagung normal
monosius (berumah satu) mempunyai gen Sk, yang mengatur
24

pembentukan bunga betina, dan gen Ts, yang mengatur pembentukan
bunga jantan. Jagung monosius ini mempunyai fenotipe Sk_Ts_.
Sementara itu, alel-alel resesif sk dan ts masing-masing
menghalangi pembentukan bunga betina dan mensterilkan bunga
jantan. Oleh karena itu, jagung dengan fenotipe Sk_tsts adalah betina
diosius (berumah dua), sedang jagung skskTs_ adalah jantan diosius.
Jagung sksktsts berjenis kelamin betina karena ts dapat mengatasi
pengaruh sk, atau dengan perkataan lain, bunga betina tetap terbentuk
seakan-akan tidak ada alel sk.
Pengaruh lingkungan
Sistem penentuan jenis kelamin bahkan ada pula yang bersifat
nongenetik. Hal ini misalnya dijumpai pada cacing lautBonellia, yang
jenis kelaminnya semata-mata ditentukan oleh faktor lingkungan.. F.
Baltzer menemukan bahwa cacing Bonellia yang berasal dari sebuah
telur yang diisolasi akan berkembang menjadi individu betina.
Sebaliknya, cacing yang hidup di lingkungan betina dewasa akan
mendekati dan memasuki saluran reproduksi cacing betina dewasa
tersebut untuk kemudian berkembang menjadi individu jantan yang
parasitik.
Kromatin Kelamin
Seorang ahli genetika dari Kanada, M.L. Barr, pada tahun 1949
menemukan adanya struktur tertentu yang dapat memperlihatkan
reaksi pewarnaan di dalam nukleus sel syaraf kucing betina. Struktur
semacam ini ternyata tidak dijumpai pada sel-sel kucing jantan. Pada
manusia dilaporkan pula bahwa sel-sel somatis pria, misalnya sel epitel
selaput lendir mulut, dapat dibedakan dengan sel somatis wanita atas
dasar ada tidaknya struktur tertentu yang kemudian dikenal dengan
namakromatin kelamin atau badan Barr.
Pada sel somatis wanita terdapat sebuah kromatin kelamin
sementara sel somatis pria tidak memilikinya. Selanjutnya diketahui
bahwa banyaknya kromatin kelamin ternyata sama dengan banyaknya
kromosom X dikurangi satu. Jadi, wanita normal mempunyai sebuah
25

kromatin kelamin karena kromosom X-nya ada dua. Demikian pula,
pria normal tidak mempunyai kromatin kelamin karena kromosom X-
nya hanya satu.
Dewasa ini keberadaan kromatin kelamin sering kali digunakan
untuk menentukan jenis kelamin serta mendiagnosis berbagai kelainan
kromosom kelamin pada janin melalui pengambilan cairan amnion
embrio (amniosentesis). Pria dengan kelainan kromosom kelamin,
misalnya penderita sindrom Klinefelter (XXY), mempunyai sebuah
kromatin kelamin yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang pria
normal. Sebaliknya, wanita penderita sindrom Turner (XO) tidak
mempunyai kromatin kelamin yang seharusnya ada pada wanita
normal.
Mary F. Lyon, seorang ahli genetika dari Inggris mengajukan
hipotesis bahwa kromatin kelamin merupakan kromosom X yang
mengalami kondensasi atau heterokromatinisasi sehingga secara
genetik menjadi inaktif. Hipotesis ini dilandasi hasil pengamatannya
atas ekspresi gen rangkai X yang mengatur warna bulu pada mencit.
Individu betina heterozigot memperlihatkan fenotipe mozaik yang jelas
berbeda dengan ekspresi gen semidominan (warna antara yang
seragam). Hal ini menunjukkan bahwa hanya ada satu kromosom X
yang aktif di antara kedua kromosom X pada individu betina.
Kromosom X yang aktif pada suatu sel mungkin membawa gen
dominan sementara pada sel yang lain mungkin justru membawa gen
resesif.
Hipotesis Lyon juga menjelaskan adanya
mekanisme kompensasi dosis pada mamalia. Mekanisme kompensasi
dosis diusulkan karena adanya fenomena bahwa suatu gen rangkai X
akan mempunyai dosis efektif yang sama pada kedua jenis kelamin.
Dengan perkataan lain, gen rangkai X pada individu homozigot akan
diekspesikan sama kuat dengan gen rangkai X pada individu
hemizigot.

26

Hormon dan Diferensiasi Kelamin
Dari penjelasan mengenai berbagai sistem penentuan jenis
kelamin organisme diketahui bahwa faktor genetis memegang peranan
utama dalam ekspresi sifat kelamin primer. Selanjutnya, sistem
hormon akan mengatur kondisi fisiologi dalam tubuh individu
sehingga mempengaruhi perkembangan sifat kelamin sekunder.
Pada hewan tingkat tinggi dan manusia hormon kelamin
disintesis oleh ovarium, testes, dan kelenjar adrenalin. Ovarium dan
testes masing-masing mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai
penghasil sel kelamin (gamet) dan sebagai penghasil hormon kelamin.
Sementara itu, kelenjar adrenalin menghasilkan steroid yang secara
kimia berhubungan erat dengan gonad.
Gen terpengaruh kelamin
Gen terpengaruh kelamin (sex influenced genes) ialah gen yang
memperlihatkan perbedaan ekspresi antara individu jantan dan betina
akibat pengaruh hormon kelamin. Sebagai contoh, gen autosomal H
yang mengatur pembentukan tanduk pada domba akan bersifat
dominan pada individu jantan tetapi resesif pada individu betina.
Sebaliknya, alelnya h, bersifat dominan pada domba betina tetapi
resesif pada domba jantan. Oleh karena itu, untuk dapat bertanduk
domba betina harus mempunyai dua gen H (homozigot) sementara
domba jantan cukup dengan satu gen H (heterozigot).
Tabel 6.2. Ekspresi gen terpengaruh kelamin pada domba
Genotipe Domba jantan Domba betina
HH bertanduk bertanduk
Hh bertanduk tidak bertanduk
hh tidak bertanduk tidak bertanduk
Contoh lain gen terpengaruh kelamin adalah gen autosomal B
yang mengatur kebotakan pada manusia. Gen B dominan pada pria
tetapi resesif pada wanita. Sebaliknya, gen b dominan pada wanita
tetapi resesif pada pria. Akibatnya, pria heterozigot akan mengalami
27

kebotakan, sedang wanita heterozigot akan normal. Untuk dapat
mengalami kebotakan seorang wanita harus mempunyai gen B dalam
keadaan homozigot.
Gen terbatasi kelamin
Selain mempengaruhi perbedaan ekspresi gen di antara jenis
kelamin, hormon kelamin juga dapat membatasi ekspresi gen pada
salah satu jenis kelamin. Gen yang hanya dapat diekspresikan pada
salah satu jenis kelamin dinamakan gen terbatasi kelamin (sex limited
genes). Contoh gen semacam ini adalah gen yang mengatur produksi
susu pada sapi perah, yang dengan sendirinya hanya dapat
diekspresikan pada individu betina. Namun, individu jantan dengan
genotipe tertentu sebenarnya juga mempunyai potensi untuk
menghasilkan keturunan dengan produksi susu yang tinggi sehingga
keberadaannya sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan ternak
tersebut.

















28

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum pewarisan Mendel adalah hukum mengenai pewarisan sifat
pada organisme yang dijabarkan oleh Gregor Johann Mendel dalam karyanya
'Percobaan mengenai Persilangan Tanaman'. Hukum ini terdiri dari dua
bagian:
Hukum pemisahan (segregation) dari Mendel, juga dikenal sebagai
Hukum Pertama Mendel, dan Hukum berpasangan secara bebas (independent
assortment) dari Mendel, juga dikenal sebagai Hukum Kedua Mendel.
B. Saran
1. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.
2. Penyusun makalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun
bagi kelancaran dan kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya

















29

DAFTAR PUSTAKA

http://biologimediacentre.com/genetika-hukum-mendel/#sthash.C7PN7wAX.dpuf
http://www.scribd.com/doc/84672312/Pewarisan-Sifat-Sifat-Keturunan
http://endick.wordpress.com/2008/01/30/percobaan-mendel-2/
http://smointi.blogspot.com/2010/12/makalah-hukum-mendel.html


























30

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Prinsip Teori Mendel .............................................................................................. 3
B. Hukum Mendel ....................................................................................................... 4
1. Hukum Mendel I ............................................................................................ 4
2. Hukum Mendel II ........................................................................................... 4
C. Teori Pewarisan Sifat .............................................................................................. 6
D. Percobaan Mendel ................................................................................................... 7
E. Hereditas Mamire .................................................................................................. 11
F. Rangkai Kelamin .................................................................................................. 18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 28
B. Saran ..................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA


ii

Anda mungkin juga menyukai