Chotib
ABSTRAK
1. Pendahuluan
Penduduk dunia saat ini telah mencapai lebih dari 6 miliar, dimana di antara
jumlah tersebut, 80 persen tinggal di negara-negara berkembang. Proyeksi yang dibuat
oleh United Nations (UN) memperlihatkan bahwa penduduk dunia akan meningkat dari
6,1 miliar menjadi 7,8 miliar antara tahun tahun 2000 dan 2025. Pangsa peningkatan
tersebut 90 persen diantaranya disumbang oleh penduduk perkotaan di negara-negara
berkembang (Brockerhoff, 2000). Bahkan menjelang tahun 2020, mayoritas penduduk
negara-negara berkembang akan tinggal di wilayah yang dikatakan sebagai wilayah
perkotaan.
1
Sementara itu, UN (2001) memproyeksikan bahwa penduduk perkotaan di
negara-negara berkembang terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,4 persen
per tahun. Angka ini merupakan dua kali lipat angka pertumbuhan penduduk total
negara-negara berkembang pada umumnya, yakni sekitar 1,2 persen. Meski penduduk
perkotaan di negara-negara maju juga meningkat dengan angka pertumbuhan yang lebih
besar daripada angka pertumbuhan penduduk totalnya, dan juga angka urbanisasinya
jauh lebih besar daripada negara-negara berkembang, pertumbuhan perkotaan di negara-
negara berkembang tetap lebih cepat disertai dengan meningkatnya penduduk perkotaan
secara absolut.
Pada 30 tahun mendatang, penduduk perkotaan di negara-negara berkembang
diproyeksikan meningkat dua kali lipat, dari sekitar 2 miliar di tahun 2000 menjadi
sekitar 4 miliar menjelang tahun 2030. Sebaliknya penduduk perkotaan di negara-
negara maju diproyeksikan hanya bertambah dari 900 juta di tahun 2000 menjadi 1
miliar di tahun 2030. Sementara itu angka urbanisasi di negara-negara maju saat ini
sudah mencapai 75 persen.
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduknya, jumlah kota-kota besar di
negara-negara berkembang juga akan meningkat secara substansial. Di tahun 2000
terdapat 388 kota di dunia dengan 1 juta atau lebih penduduknya. Namun menjelang
tahun 2015 diperkirakan akan terdapat 554 kota, lebih dari dua per tiga di antaranya
(426 kota) akan terdapat di negara-negara berkembang.
United Nations juga memperkenalkan istilah “megacities” untuk menjelaskan
kota-kota dengan jumlah penduduk 8 juta orang atau lebih. Institusi ini juga
memperkenalkan ambang batas (treshold) untuk status megacity sebesar 10 juta
penduduk. Saat ini, ada sekitar 17 megacity yang terdaftar di UN, dengan 4 di
antaranya terletak di negara-negara berkembang. Menjelang 2015, menurut proyeksi
yang dibuat oleh UN tersebut, diperkirakan akan terdapat 21 kota-kota yang memiliki
paling sedikit 10 juta penduduk yang tinggal di kota-kota tersebut. (Lihat Tabel 1).
2
Tabel 1.
Jumlah Megacity di Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan
Kota-kota dengan 10 juta atau lebih penduduk: 1950, 1975, 2001, dan 2015
(Jumlah penduduk dalam jutaan)
3
Teknologi kedokteran seperti penemuan antibiotika dan imunisasi memberikan
implikasi pada menurunnya angka kematian bayi (sebagai indikator angka kematian).
Angka kematian bayi turun dari 145 per 1000 kelahiran pada tahun 1971 menjadi 71 per
1000 kelahiran pada tahun 1990. Angka ini juga terus menurun menjadi 51 per 1000
kelahiran pada tahun 1995. (BPS, 1997).
Indikator lain dari revolusi kematian adalah meningkatnya angka harapan hidup
penduduk. Pada tahun 1971 angka harapan hidup diketahui sebesar 45,7. Kemudian
meningkat menjadi 59,8 pada tahun 1990. Dan terus meningkat menjadi 64,4 pada
tahun 1995. (BPS, 1997).
Dua revolusi ini, revolusi fertilitas dan revolusi mortalitas, mengakibatkan
Indonesia akan telah menyelesaikan transisi vital (transisi fertilitas dan mortalitas) pada
tahun 2005. Setelah tahun 2005 Indonesia akan memasuki era pascatransisi vital yang
secara teknis disebut era NRR (net reproduction rate) lebih kecil daripada 1. Era ini
adalah era yang ditandai dengan kondisi kelahiran dan kematian yang mirip dengan
yang kini dialami oleh negara maju.
Istilah “transisi vital” sampai sekarang masih relatif jarang dipergunakan dalam
berbagai kepustakaan demografi. Pada mulanya, tahun 1920-an oleh Thompson dan
tahun 1940-an oleh Notostein, muncul ide mengenai “transisi demografi”, yang
menggambarkan proses perubahan fertilitas dan mortalitas. Pada tahun 1970-an
Zelinsky mengritik penggunaan istilah “transisi demografi” ini.
Pertumbuhan jumlah penduduk tidak hanya disebabkan oleh perubahan dalam
fertilitas dan mortalitas, tetapi juga perubahan dalam migrasi. Karena dalam
kepustakaan demografi sudah dikenal istilah statistik vital, yang mengacu pada
kelahiran, kematian, dan perkawinan, maka Zelinsky mengatakan bahwa diskusi yang
telah terjadi selama itu lebih tepat disebut dengan “transisi vital”. Diskusi “transisi
demografi” baru akan lengkap bila diskusi transisi vital disertai dengan diskusi transisi
mobilitas.
Teori transisi demografi pada hakekatnya ingin memperlihatkan dampak
kemajuan dalam pembangunan ekonomi pada penurunan fertilitas dan mortalitas. Teori
ini mencoba menerangkan mengapa suatu masyarakat mengalami perubahan dari angka
fertilitas dan mortalitas yang tinggi ke angka fertilitas dan mortalitas yang rendah.
Teori ini berupaya memperlihatkan bahwa kemajuan dalam pembangunan ekonomi
mempunyai sumbangan penting dalam transisi fertilitas dan mortalitas.
Jumlah anak yang makin kecil, pendidikan yang makin meningkat, pendapatan
yang meningkat, dan globalisasi informasi mendorong terjadinya peningkatan aspek
ketiga dalam demografi: mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk ini tidak saja dalam
lingkup internal (mobilitas dalam negeri), tetapi juga mobilitas internasional.
Menurut Ananta dan Chotib (2002), berdasarkan pengalaman negara-negara
maju, pembangunan ekonomi biasanya memperlihatkan tahapan yang berbeda, yang
memiliki karakteristik demografis berbeda pula. Pada tahap awal pembangunan
misalnya, angka kelahiran dan kematian terlihat lebih tinggi. Mereka biasanya
4
menghadapi surplus tenaga kerja muda dan tak terdidik. Modal perekonomian dan
tenaga kerja terdidik masih amat langka. Untuk mengatasi persoalan ini, dilakukanlah
pengiriman tenaga kerja yang ada (tak terdidik) ke luar negeri. Pada saat yang
bersamaan, mereka juga menerima modal dan tenaga kerja terdidik dari luar negeri.
Sejalan dengan kemajuan pembangunan ekonomi, jumlah tenaga kerja tak
terdidik makin menurun dan jumlah tenaga kerja terdidik terlihat makin meningkat.
Ekspor barang-barang yang semula diproduksi dengan orientasi pada padat karya kini
digantikan oleh ekspor barang-barang yang diproduksi dengan orientasi padat modal
dan tenaga kerja terdidik. Bahkan, negara ini mampu menanamkan modalnya ke luar
negeri. Negara ini akan mencapai tahap titik balik manakala pengiriman tenaga kerja
tak terdidiknya dihentikan dan mulai mengirimkan modalnya ke luar negeri.
Setelah melewati tahap titik balik, pengiriman modal dan tenaga kerja terdidik
sudah makin intensif. Ekspor barang-barang yang berorientasi pada padat modal juga
makin dominan. Pada tahap ini, angka kelahiran dan kematian biasanya sudah amat
rendah. Mereka sudah menyelesaikan tahap transisi vitalnya (transisi kelahiran dan
kematian) dalam proses tahapan transisi demografi. Penduduk juga terlihat makin
menua sementara jumlah tenaga kerja muda terlihat makin berkurang. Terlebih lagi
jumlah tenaga kerja tak terdidik yang biasanya mau melakukan pekerjaan 3 B (Bau,
Berbahaya, dan Berat) juga makin langka.
Zelinsky (1971) mencoba melihat kaitan tahapan dalam pembangunan ekonomi
dengan besaran dan tipe mobilitas penduduk. Ia membuat lima tahap transisi mobilitas:
masyarakat tradisional pra modern (premodern traditional society), masyarakat transisi
awal (early transitional society), masyarakat transisi akhir (late transitional society),
masyarakat maju (advanced society), dan masyarakat supermaju masa depan (future
superadvanced society).
Skeldon (1990) kemudian menyempurnakan pemikiran Zelinsky di atas dengan
menganalisis pola migrasi penduduk di negara-negara sedang berkembang. Olehnya,
transisi mobilitas dikembangkan menjadi tujuh tahap, yaitu (1) masyarakat pratransisi
(pre-transitional society), (2) masyarakat transisi awal (early transitional society), (3)
masyarakat transisi menengah (intermediate transitional society), (4) masyarakat
transisi akhir (late transitional society), (5) masyarakat mulai maju, (6) masyarakat
maju lanjut, dan (7) masyarakat maju super.
Bersandar pada konsep yang disampaikan oleh Zelinsky dan Skeldon di atas,
maka sebagai bagian dari fenomena demografi, proses urbanisasi pada hakekatnya juga
mengikuti tahap-tahapan perkembangan transisi demografi. Pada sisi lain, urbanisasi
juga merupakan salah satu indikator dari tingkat kemajuan ekonomi suatu negara atau
wilayah. Chotib (2002), memperlihatkan korelasi yang positif antara tingkat urbanisasi
dan tingkat pembangunan ekonomi di berbagai negara di dunia.
5
Secara nasional, Indonesia sudah memasuki tahap keempat transisi mobilitas1.
Namun ada beberapa propinsi yang kini telah masuk tahap kelima, yaitu dikenal sebagai
“masyarakat mulai maju”. Ciri utamanya adalah angka urbanisasi yang telah mencapai
50 persen, dan penurunan mobilitas dari perdesaan ke perkotaan. Pada tahap ini mulai
terjadi “suburbanisasi” dan “dekonsentrasi” penduduk perkotaan, atau terjadinya
peningkatan mobilitas penduduk dari kota besar ke daerah pinggiran dan penyebaran
penduduk perkotaan yang semakin luas2.
Seperti terlihat pada Tabel 2, angka urbanisasi yang telah mencapai 50 persen
atau lebih di tahun 2000 ini antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Banten,
dan Kalimantan Timur. Jika dilihat dari angka urbanisasinya, propinsi-propinsi ini
cenderung masuk tahap kelima transisi mobilitas. Namun, patut disadari bahwa proses
urbanisasi yang terjadi di negara-negara maju amat berlainan dengan urbanisasi di
negara-negara berkembang.
Tabel 2.
Angka Urbanisasi Menurut Propinsi di Indonesia: 1980, 1990, 1995 dan 2000
1
Penetapan tahapan ini berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan oleh Skeldon (1990). Ciri utama dari
tahap ini adalah adanya megacity (diperlihatkan oleh Firman, 1996) dan peningkatan arus migrasi
internasional. Penetapan tahapan ini juga masih dapat diperdebatkan mengingat ciri-ciri ini tidak
selalu sama di tiap daerah di Indonesia.
2
Kepustakaan lain bahkan menjelaskan fenomena ini dengan istilah “desentralisasi”.
6
Kal. Selatan 12,4 10.30 17.56 22.47 28.14
Kal. Tengah 26,7 21.35 27.06 29.96 36.22
Kal. Timur 39,2 39.84 48.78 50.22 57.75
Kalimantan 18,65 20,35
7
Tabel 3.
Angka Pertumbuhan Penduduk Per Tahun
Menurut Propinsi di Indonesia: 1961-1971; 1971-1980; 1980-1990; dan 1990-2000
8
Tabel 4.
Angka Pertumbuhan Penduduk Per Tahun Daerah Perkotaan
Menurut Propinsi di Indonesia: 1980-1990 dan 1990-1995
9
pertumbuhan penduduk perkotaan mengalami kenaikan hingga tahun sembilan puluhan,
kemudian turun kembali pada periode-periode selanjutnya.
Menurunnya angka pertumbuhan di perkotaan lebih disebabkan oleh
menurunnya angka kelahiran di daerah tersebut dan hal ini serentak terjadi pula di
daerah perdesaan. Hal ini terlihat juga bahwa angka pertumbuhan di daerah perdesaan
terlihat semakin negatif (Lihat Tabel 5).
Tabel 5.
Perkiraan Angka Pertumbuhan Penduduk
Perkotaan dan Perdesaan Di Indonesia: 1950-2025
10
Tabel 6. Pertumbuhan Penduduk di Beberapa Kota di Indonesia:
11
Dalam kaitan ini peran regulasi ketransmigrasian di Indonesia, harus mampu
menunjukkan revitalisasi yang positif. Utamanya dalam rekruitmen calon tarnsmigran
harus “melihat” kepentingan pengembangan daerah tujuan. Apa dan bagaimana tujuan
(kebijakan) pengembangan daerah dengan dukungan penempatan penduduk hendaknya
disesuaikan dengan SDM yang ada. Sisi positif dari peran penempatan transmigrasi
dalam mendukung pembentukan suatu wilayah kota (urban), antara lain mampu
mengurangi kekumuhan perkotaan itu sendiri, yaitu dengan penataan permukiman
penduduk yang relatif proporsional sesuai dengan embrio daerah penyangga kota di
tingkat daerah setara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi regional.
Tetapi apapun alasannya proses urbanisasi dan perkembangan daerah perkotaan
di Indonesia pada hakekatnya mencerminkan kondisi serta perkembangan ekonomi
wilayah (regional) maupun nasional. Terlepas dari implikasi negatif yang selalu
menyertai dalam proses pembangunan seperti polusi, kepadatan lalu lintas, masalah
perumahan, kriminalitas, kekumuhan dan sebagainya, kecenderungan urbanisasi
merupakan gejala yang wajar dan alamiah yang tidak dapat dihindari.
Kecenderungan ini sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat
baik pada tingkat regional, nasional maupun global. Persoalan yang lebih mendasar di
masa depan adalah bagaimana kita menyikapi perkembangan dan dinamika masyarakat
dengan arif dan bijaksana tanpa harus mengorbankan pihak yang selama ini sudah
menjadi korban.
12
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, Aris dan Chotib. 2002. “Dampak Mobilitas Tenaga Kerja Internasional
terhadap Sendi Sosial, Ekonomi, dan Politik di Asia Tenggara: Sebuah Gagasan
untuk Kajian Lebih Lanjut”. Dalam Tukiran, et. al. Mobilitas Penduduk
Indonesia: Tinjauan Lintas Displin. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Ananta, Aris and Evi Nurvidya Anwar, 1995. Projection of Indonesian Population and
Labor Force: 1995-2025. Population Projection Series no. 5. Jakarta:
Demographic Institute Faculty of Economics University of Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 1988. Klasifikasi Urban-Rural Berdasarkan PODES-SE 1986.
Jakarta.
------. 1997. Perpindahan Penduduk dan Urbanisasi di Indonesia: Hasil Survei
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995. Jakarta.
------. 2000. Kriteria Desa Perkotaan 2000: Penjelasan Ringkas. (Draft Sangat
Sementara). Jakarta.
------. 2001. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2000. Seri L2.2 Jakarta.
------. 2003. Estimasi Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi. Hasil Sensus Penduduk 2000.
Jakarta.
Brockerhoff, Martin P. 2000. “An Urbanizing World”. Population Bulletin. Vol. 55,
no. 3. Washington DC: Population Reference Bureau.
Chotib. 2002. “Urbanisasi Tidak Selalu Berkonotasi Negatif”. Warta Demografi, no.
4/32: 55-63.
Firman, Tommy. 1996. “Pola Urbanisasi di Indonesia: Kajian Data Sensus Penduduk
1980 dan 1990”. Dalam Aris Ananta dan Chotib. Mobilitas Penduduk di
Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi FEUI dan Kantor Menteri Negara
Kependudukan/BKKBN.
McGee, Terry G. 1981. “Southeast Asian Urbanization: Three Decades of Change”.
Prisma, 51: 3-16.
Population Reports. 2003. Meeting the Urban Challenge. Series M, No. 16.
Skeldon, Ronald. 1990. Population Mobility in Developing Countries. London:
Belhaven Press.
Takahashi, Muneo. 2003. “Urbanization and Population Distribution Changes in the
Age of Decentralization: A Comparative Study between Indonesia and Japan”.
In TA Legowo and Muneo Takahashi. Regional Autonomy and Socio-Economic
Development in Indonesia – A Multidimensional Analysis. Chiba: Institute of
Developing Economies Japan External Trade Organization.
United Nations (UN). 1995. World Population Prospects: The 1994 revision. New
York.
------. 2001. World Urbanization Prospects: The 2001 revision. New York.
13
Zelinsky. 1971. “The Hypothesis of the Mobility Transition”. Geographical Review, 61:
165-89.
14