Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah dengan judul Sejarah Perkembangan Kota ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Geografi Perkotaan. Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah kami menyampaikan rasa hormat
dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan
dan dorongan kepada kami dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, terutama kepada:
1. Dra. Dwi Sukanti Lestariningsih, M.Si., selaku Dosen Mata Kuliah Geografi Perkotaan,
Program Studi Pendidikan Geografi Universitas Negeri Jakarta.
2. Teman-teman Mahasiswa yang telah memberikan bantuan dan saran dalam penyusunan
laporan ini.
3. Pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, atas semua bantuannya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik bentuk, isi,
maupun penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai
pihak, kami terima dengan tangan terbuka. Semoga kehadiran makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 3
iii
e) Perkembangan Kota Jayapura 25
3.1 Kesimpulan 28
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 30
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
a) Bagaimana sejarah terbentuknya kota?
b) Apa faktor-faktor pembentuk kota?
c) Bagaimana pertumbuhan kota di zaman kuno, pertengahan, dan zaman modern?
d) Seperti apa perkembangan kota di Indonesia sebelum tahun 1400-an hingga kini?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
heterogen. Di kawasan kota kuno ini juga dapat ditemui prasarana dan sarana umum serta
beberapa pusat pemerintahan yang hidup dengan nilai-nilai tertentu. Pada kota kuno ini,
kotanya mulai terbentuk pada tahap pastoral/tahap menetap. Tahap-tahap perkembangan
manusia sendiri dimulai dari hunting and fishing, pastoral, agricultural, handicraft, dan
industrial.
1. Kota Praindustri
Kota Praindustri merupakan kota yang lebih berkembang dari kota kuno dimana kota ini
telah memiliki ciri seperti tahap agricultural yang menonjol sehingga penduduk mulai
mengenal teknik bertanam yang baik. Perpindahan penduduk juga mulai terlihat,
kebutuhan dikota semakin beragam dengan berdatangannya kelompok masyarakat ke kota
maka pemukiman dikota semakin menonjol serta pembangunan fisik dan prasarana kota
pada kota ini menjadi lebih teratur dan meluas. Pola perkotaan di kota pra-industri memiliki
gejala yang biasa ditemui 4 pusat kegiatan seperti pusat pemerintahan, ruang publik
(tempat masyarakat berinteraksi), tempat beribadah, pasar tradisional (tempat distribusi
barang dari desa ke kota atau sebaliknya), dan tempat pemenuhan barang-barang
kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat desa dan kota. Keempat pusat kegiatan ini letaknya
relatif berdekatan dan itu merupakan kegiatan pokok dari suatu kota praindustri. Pada masa
ini status seseorang didasarkan pada keturunan/ascribed status, seseorang yang dilahirkan
dari kelompok bangsawan, serta merta ia memiliki status sebagai bangsawan. Dikarenakan
status dan strata sangat kuat dipertahankan oleh masing-masing kelompok strata maka pola
pemukiman masyarakat kota pra-industri ini cenderung berkelompok-kelompok
(pengelompokan berdasarkan status, etnis/suku bangsa, dan ragam pekerjaan).
2. Kota Industri
Kota Industri merupakan kota yang lebih berkembang dari kota pra-industri. Kelahiran
dunia industri di kota ini memerlukan banyak tenaga kerja baik tenaga terampil tingkat
atas, menengah, maupun kasar. Teknologi mulai berkembang dan pusat-pusat industri yang
bertebaran di kota, sehingga lebih menunjukkan adanya surplus kapital pada masyakarat
dan mereka memiliki kemampuan dalam pengumpulan modal untuk mendirikan suatu
industri. Kota industri lahir karena masyarakat kota memiliki surplus tertentu dimana
surplus ini tidak hanya surplus kapital tetapi juga teknologi, sumber daya manusia, dan
manusia. Pola pemukiman di kota industri ini tidak memiliki keteraturan sehingga
4
menyebabkan penataan kota berjalan lambat. Pada kota ini kegiatan industri sangat
menonjol, sistem kemasyarakatan agraris berubah menjadi industris. Sistem ekonomi
natural berganti menjadi kapital dan pada masa perubahan yang drastis ini menyebabkan
kota mengalami kekacauan fisik dan manajemen.
3. Kota Modern
Terbentuk setelah adanya masa industrialisasi pada abad 17. Adanya pengaruh ini
menyebabkan munculnya semangat revolusi industri dan menumbangkan kekuasaan raja
yang absolut. Kemenangan rakyat/penduduk atas raja ini menandai perhatian teknologi dan
ilmu pengetahuan untuk kepentingan rakyat banyak. Sistem pemerintahan pada masa ini
berubah dari sistem kekuasaan absolut ke bentuk baru yang lebih berpihak pada rakyat
seperti sistem demokrasi, sistem pemerintahan republik, atau federal. Pada kota ini, sisi
negatif pada masa kota industri diatasi dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan etika. Kota
Post-Modern modernisasinya lebih berkembang lebih lanjut dimana teknologi dan ilmu
pengetahuan diartikan kembali. Masyarakat lebih menghargai nilai pluraritas, munculnya
ide-ide baru, teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang lebih canggih, beragam, dan
digunakan untuk kegiatan seolah diluar pikiran masyarakat awam sebelumnya. Kota post-
modern memiliki tingkat globalisasi yang tinggi, interaksi dan kerja sama yang saling
menguntungkan dapat terjadi dengan kota yang lain dan kota post-modern ini diisi dengan
era informasi, jasa, dan pelayanan. Kebutuhan hidup dipenuhi secara teknologis dan
komputerisasi yang canggih.
4. Kota Global
Kota Global bisa dikatakan merupakan suatu kota dimana masyarakatnya memiliki
kebiasaan untuk melakukan relasi dengan kota lain antarnegara. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pesat di dunia berakibat semakin pesatnya perkembangan
teknologi dan penemuan-penemuan dalam berbagai bidang dan skala yang diperkenalkan
pada dunia. Kota global memiliki kekuatan politik, menduduki posisi nasional dan
internasional, perdagangan dunia, dan organisasi perusahaan tingkat dunia. Aktivitas
tertentu mewarnai kota di bidang sosial dan ekonomi yang menunjukkan status sebagai
pusat-pusat aktivitas yang profesional dan potensi kota yang satu sering berdampak pada
kota yang lain diantara dua negara atau lebih. Ciri kota global yaitu sebagian
masyarakatnya dalam pemenuhan kebutuhan tidak selalu berorientasi pada kotanya sendiri.
5
Masyarakat ini juga harus siap menerima kedatangan orang asing dengan segala potensi
yang dimiliki kota itu, jadi interaksi yang bersifat timbal balik dibutuhkan untuk mencapai
status sebagai kota global.
5. Kota Kosmopolitan
Kota Kosmopolitan merupakan kota yang masyakaratnya memiliki pandangan alam secara
utuh menyeluruh. Kota kosmopolitan terbentuk dengan prasyarat tertentu, yaitu
penduduknya mampu menghargai dan menghormati keanekaragaman alam beserta isinya.
Masyarakat kosmopolitan akan menjaga secara seimbang antara keperntingan dirinya
dengan kepentingan msyarakat. Ada kecenderungan masyarakat kosmopolitan merupakan
kelompok bangsawan baru, dimana kelompok ini memiliki tujuan hidup yang mapan serta
menjaga citra. Gejala kosmopolitan tampak pada dominasi individu-individu penduduk
kota yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi dan pemilikan industri berskala
besar. Teknologi di era ini berkembang lebih jauh dan kota ini adalah kota dengan
kebutuhan desain yang bersifat neo-universal (modernisme yang disentuh dengan seni
modern). Budaya dan seni lokal yang bersifat agraris-religius di masa ini akan ditinggalkan
apabila tidak disertai inovasi atau dijaga keasliannya. Kosmopolitan sendiri merupakan
akomodasi peradaban dari post-modernisme yang tumbuh secara linier, liar, dan tak
terkendali. Kota ini merupakan kota masa depan yang masih merupakan impian, dimana
kota berusaha ditata secara sempurna. Namun, pada awalnya kota ini masih dihantui
dengan masalah kesenjangan sosial ekonomi antar negara satu dengan yang lain, antara
kota satu dengan yang lain.
Kota juga mampu dikatakan sebagai suatu tempat pertemuan yang berorientasi keluar.
Sebelum kota menjadi tempat pemukiman yang tetap, awalnya sebagai suatu tempat orang
pulang-balik untuk berjumpa secara teratur sehingga memiliki kemudian menimbulkan daya
tarik para penghuni yang ada diluar kota untuk mengadakan kontrak, memberi dorongan untuk
kegiatan rohaniah dan perdagangan, serta kegiatan lain yang memiliki dinamika yang berbeda
dengan keadaan di desa. Kota juga sebagai pusat pemerintahan pada umumnya banyak
dijumpai pada zaman sebelum revolusi industri. Kebanyakan kota ini merupakan kota lama
bekas kerajaan yang mampu bertahan sebagai ibukota sampai pada zaman modern, kemudian
pada zaman modern, kota menjadi pusat industri, produksi, dan jasa. Pada dasarnya kota
terbentuk karena diikuti dengan kepadatan penduduknya. Penyebab kepadatan penduduk
6
terjadi karena ada aktivitas tertentu yang menyebabkan orang-orang berdatangan. Kota dapat
dipandang sebagai suatu gaya hidup, kota juga memungkinkan penduduknya berkontak
dengan orang asing, mengalami aneka perubahan yang pesat, dan perubahan mobilitas sosial.
Kota sendiri baru akan muncul ketika terdapat suatu kelebihan yang berada di daerah
pedalaman, tetapi terbentuknya menjadi sebuah kota yang “baru” haruslah mengalami
perkembangan teknologi untuk menghasilkan sarana transportasi. Setelah kota baru itu berdiri,
barulah kota itu mampu memberikan jasanya kepada wilayah yang lain.
7
3. Jaringan (Network)
Salah satu cara paling mendasar untuk menggambarkan struktur permukiman adalah
berhubungan dengan jaringan dan terutama sistem sirkulasi – jalur transportasi dan titik-
titik pertemuan (nodal point).
4. Alam (Nature)
Keadaan permukiman perkotaan berbeda dengan permukiman pedesaan. Lansekap yang
ada biasanya lebih luas dan berlokasi di daerah dataran, dekat dengan danau, sungai atau
laut dan dekat dengan rute transportasi.
Unsur pembentuk struktur tata ruang kota dapat pula dipahami secara persepsional.
Menurut Lynch dalam Pontoh (2009) melihat adanya lima unsur pembentuk citra kota, yaitu
path (jalanan), edge (perbatasan), district (kawasan), node (simpangan), dan landmark
(tengeran).
8
environment for people. Tidak berbeda dengan dua peradaban sebelumnya, estetika
bangunan juga dipelihara meskipun tidak semegah arsitektur Yunani Kuno dan Romawi
Kuno. Pada zaman ini mulai muncul seni sehingga kota lebih artistik, tokoh perancang
yang terkenal antara lain Leonardo da Vinci dan Michelangelo. Zaman ini juga mulai
dikenal beberapa konsep pembiayaan pembangunan yang adil dengan menarik pajak
kepada masyarakat dan mendistribusikannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk
pembangunan, penyediaan public service dan public goods. Perancangan kota tidak hanya
berkembang secara fisik tetapi juga non-fisik, terutama dalam bidang government dan
finance.
Zaman abad pertengahan berakhir yang ditandai dengan perkembangan Islam di
Eropa (jatuhnya Kota Kontatinopel) dan penemuan bubuk mesiu dari China, dimulailah
zaman Eropa baru yang dikenal dengan zaman Renaissance. Awal periode ini dimulai di
kota-kota Italia, seperti Venesia, Genoa, dan Florence sejak runtuhnya ajaran feodalism
pada abad ke-14 Masehi dan menyebabkan semakin kecil jumlah anggota dewan gereja,
kastil, dan penguasa sistem pertanian yang otonom. Kekuatan penguasa kota tergeser oleh
komunitas para bangsawan dan para pedagang, hal ini mengakibatkan sistem perdagangan
antar kota berkembang begitu pesat. Selain itu berkembang pula kota-kota dengan pusat-
pusat tertentu, seperti pusat militer, pertambangan, dan judi.
Pembangunan kota zaman Renaissance dikembangkan dengan perencanaan
sismatis yang ideal, dengan perhitungan matematika rasional, sehingga menimbulkan
gerak yang statis. Manusia menjadi patokan dan ukuran proporsi bangunan. Pada periode
ini ditemukan pertama kali metode gambar dengan menggunakan perspektif. Selain itu
dikembangkan konstruksi segi lima sisi atau pontagram yang dibatasi oleh titik-titik
potong, menunjukkan proporsi Polongan Kencana, dikonstruksikan sebagai bintang.
Denah Kota Palmolova yang dirancang oleh arsitek Scamozzi (1552-1616) yang
dibuat dengan skema berbentuk bintang segi sembilan yang betul-betul simetris
mempunyai banyak kelebihan. Skema sama sekali tidak berubah walaupun telah
mengalami perkembangan selama ratusan tahun, hal ini disebabkan karena skema dasar
yang ideal, sehingga dalam perkembangannya skema ini tetap aktual.
Zaman abad pertengahan, pembuatan bangunan suci dan bangunan umum betul-
betul dipisahkan. Pada zaman Renaissance pembangunan bangunan umum sama
9
pentingnya dengan pembangunan istana. Kekayaan milik keluarga dijadikan barang
pameran untuk mendapatkan popularitas. Gaya Renaissance yang menekankan
kesederhanaan yang seimbang adalah gaya arsitektur yang dibuat menurut teori bahwa
badan bangunan harus berbentuk kubus melebar. Menempatkan halaman/taman di bagian
tengah bangunan, bentuk luar bangunan dibuat dengan aturan yang sesuai dengan tuntutan
keseluruhan. Zaman Renaissance, manusia dianggap mampu mengelola alam semesta dan
manusia dapat menguasainya hanya dengan ilmu pengetahuan. Semakin banyak orang
yang menguasai bidang keilmuan mendorong timbul terjadinya revolusi industri.
10
Secara konseptual, ide Garden City ini didasarkan pada kenyataan yang perlu
diperbaiki, yaitu suatu kehidupan yang sudah dianggap tidak manusiawi di kota besar yang
mengutamakan kegiatan kerjanya di bidang industri. Keadaan permukiman pekerja pabrik-
pabrik khususnya, dilukiskan sebagai suatu lingkungan yang telah mengalami degradasi
drastis di segala bidang kehidupan dan penghidupan, yaitu degradasi kemasyarakatan dan
moral, degradasi lingkungan fisik dan degradasi kehidupan ekonomi. Keadaan inilah yang
kemudian dilihat oleh Ebenezer Howard sebagai suatu hal yang makin memperbesar
degradasi tersebut. Konsepsi Garden City bertitik tolak dari reaksi terhadap kemerosotan
kualitas dan kondisi kehidupan di kota besar akibat revolusi industri, maka untuk
mengembalikan lingkungan kehidupan baru yang dapat mengurangi kemerosotan
kehidupan di kota dan meyerap kegiatan usaha kota besar tersebut ke lingkungan baru di
sekitar kota besar. Dari pengertian kota yang dimasud dengan kota modern, maka kota
modern adalah kota yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Kota modern tempat hidup yang nyaman.
Hidup dikota modern menjadi impian semua orang, kota modern mampu menyuguhkan
daya tarik yang luar biasa. Sehingga banyak sekali orang tertarik untuk tinggal dan
hidup dikota modern. Kota modern sendiri memiliki standart kenyamanan yang tinggi,
dengan definisi nyaman yang berbeda – beda antara setiap orang. Tetapi kenyamanan
dapat dirasakan bersama apabila dalam segi layanannya sudah maksimal dan
menyeluruh. Dibawah ini beberapa persepsi nyaman yang mampu didefinisikan.
• Fasilitas yang baik dan lengkap.
Manusia modern memilih kota sebagai tempat tinggal, tempat hidup dan tempat
bekerja salah satunya dengan melihat fasilitas yang ada didalam kota tersebut,
infrastruktur yang melimpah dan mencukupi semua kebutuhan masyarakat
merupakan kenyamanan tersendiri bagi masyarakat tertentu. Fasilitas umum yang
memang dirancang dan dibentuk oleh pemerintah secara seragam dan menyebar
merupakan kebutuhan masyarakat yang mampu dipenuhi oleh pemerintah. Bentuk
kebutuhan – kebutuhan bersama ini dapat mendorong kelengkapan fasilitas suatu
kota. Kota modern mengunggulkan fasilitas lengkap dan perawatan yang baik
menjadi daya tarik tersendiri untuk orang bertempat tinggal dan hidup dikota itu.
Fasilitas yang lengkap tidak hanya pengaruh dari pemerintah, tetapi swasta dan
11
para ekonomian berperan dalam memenuhi fasilitas yang dibutuhkan karena
kepentingan yang berbeda – beda.
• Pekerjaan yang bergengsi.
Pada daerah perkotaan yang modern saat ini, memiliki area pekerjaan yang dekat
menjadi konsen tersendiri. Pekerjaan yang dekat dapat menimbulkan rasa aman
dan rasa tertarik terhadap kawasan tersebut, karena selain dapat mengefesienkan
waktu pekerjaan yang dekat juga dapat menimbulkan rasa semangat dan dapat
membawa keluarga untuk tinggal ditempat tersebut. Kota modern memberikan
gradasi pekerjaan yang berbeda – beda, sehingga terkadang kota memberikan
pekerjaan yang dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi dibanding desa atau
daerah semi kota. Perbedaan berdasarkan gengsi inilah yang menarik penduduk
untuk bekerja dikota, apalagi perbedaan gengsi ini mempengaruhi perbedaan
pendapatan yang signifikan. Sehingga orang – orang desa melakukan urbanisasi
yang malah akan membebani kota dalam kouta kota. Sebaiknya kota memang
harus menyediakan pekerjaan yang mempunyai gengsi tinggi, tetapi kota juga
harus mampu mengontrol urbanisasi.
• Terdepan dalam segala hal.
Kota selalu up to date terhadap teknologi terbaru, tetapi kota juga menerima info
terdepan baik positif ataupun negatif, hal ini yang membuat kota ditempatkan
sebagai tujuan nomor satu bagi barang – barang negatif ataupun nomer satu dalam
menerima infomasi. Kota memang seharusnya mutakhir terhadap apapun, tetapi
pada hakikat nya haruslah ada filter yang mampu membatasi kemutakhiran kota
ini. Kota ideal ataupun kota modern memiliki semua ini merupakan daya tarik dan
kekuatan yang dapat menjadi hal yang positif dan negatif. Dalam
perkembangannya kota menjadi wadah untuk semua kegiatan yang modern, baik
itu yang privat dan non privat. Secara khusus kota modern haruslah memiliki
teknologi yang mutakhir, fasilitas yang terbaru dan telengkap, visual yang artistic
dan memiliki daya jual, serta memiliki kerangka ilmu ekonomi terbaik dalam
penerapanya.
12
b) Paradigma kota modern sebagai kota nyaman.
Kota yang nyaman memiliki banyak pandangan terhadapnya, termasuk juga kota
modern, banyak sekali yang beranggapan kota modern adalah kota yang nyaman. Tapi
hl ini harus melalui pembuktian terlebih dahulu, sedangkan kota yang nyaman adalah
kota modern itu juga harus melalui pembuktian yang akurat terlebih dahulu juga.
• Kota dengan sejarah rupawan.
Sejarah kota merupakan investasi tersendiri dalam menentukan bentukan kota
maupun menentukan budaya kota itu. Sejarah yang baik dapat mencerminkan
tatanan kota yang baik berdasrkan hirarki maupun berdasarkan kehidupan kota
tersebut. Sejarah yang kurang menguntungan akan memberi akibat terhadap
kurang harmonisnya susunan bentukan kota serta kurang hidupnya suasana kota
secara menyeluruh.
• Gaya hidup sebagai tri sula kota
Mengandalkan gaya hidup sebagai ujung tombak untuk menghadapi tantangan
globalisasi merupakan paradigma yang dibuat untuk kota modern. Karena gaya
hidup mampu menyumbangkan bentukan – bentukan kota yang membentuk suatu
kesatuan baru sebagai hasil pengembangan budaya. Yang pada hakikatnya dapat
di manfaatkan untuk kota modern menghadapi era globalisasi baik dari segi
ekonomi maupun sosial hingga fisik yang menjadi hal penting dalam susunan kota
modern.
• Kota modern sebagai kota ideal.
Kota modern dipandang sebagai kota yang maju dan mampu memenuhi kebutuhan
hidup orang banyak, terutama kualitas kehidupan yang mumpuni menjadi hal
wajib pada kota modern. Kota ideal adalah kota yang mampu menyelaraskan
sosial, fisik, dan ekonomi berbalut dengan budaya dan sejarah yang dimiliki oleh
kota tersebut.
• Masyarakat Sejahtera dalam finansial
Kota modern harus didukung oleh masyarakat yang sejahtera dalam financial,
walaupun tidak semua masyarakat golongan keatas, tetapi setidaknya kota modern
mampu mengangkat masyarakat nya menjadi masyarakat kelas elit walaupun tidak
13
mapan. Artinya walaupun masyarakat nya kelas bawah, tetapi kota tersebut tetap
menyediakan fasilitas kelas satu untuk masyarakat.
• Kota terdepan dalam pelayanan
Kota modern harus menyediakan pelayanan dan selalu mengedepankan layanan
nya guna menarik para human urban untuk tinggal dan menetap pada kota modern
itu. Pelayanan- pelayanan yang dikedepan kan adalah pelayanan – pelayanan
umum yang mampu memenuhi kebutuhan para pengguna kota atau masyarakat
umum.
• Visual kota mengundang pesona
Kota yang ideal dan modern dapat dilihat dari fisiknya, secara visual kota terlihat
tertata. Secara kenyamanan dapat dirasakan langsung dan tidak perlu melihat
dengan cara - cara yang lain lagi. Karena visual dan pesona telah merubah rasa
ketidaknyamanan menjadi sesuatu yang lebih menarik dan mengundang.
14
menurut negara asal 3 pedagang tersebut seperti Kampung Arab, Kampung Melayu, Kampung
Pecinan, dan lain–lain.
15
kepercayaan setempat.Ada kota tradisional yang dibangun berdasar garis imajiner
kepercayaan tradisional, ada yang berdasar mata angin, atau atas dasar yang lain. Pola sosio
kultural terlihat jelas dalam penataan pemukimannya, misalnya di sekitar istana atau kraton
dapat dibangun rumah para bangsawan, pejabat kerajaan, dan juga abdi dalem, tempat
ibadah, dan pasar. Kadang-kadang kraton juga merupakan benteng dengan tembok yang
melingkar, lengkap dengan lapangan dan tempat ibadah. Bahkan kota-kota di Jawa Tengah,
Yogyakarta, maupun Surakarta menunjukkan pola yang sama di masa lampau.
Kota tradisional ditandai dengan pembagian spatial yang jelas berdasarkan status
sosial dan dekatnya kedudukan pemukim dengan istana. Pembagian pemukiman sudah
sangat jelas nampak dalam kota-kota tradisional, demikian juga pemolaan secara kultural,
misalnya tampak dalam pembagian dua pemukiman Hindu dan Budha di zaman Majapahit.
Dalam kota tradisional terdapat simbol-simbol dari kekuasaan raja, diwujudkan dalam
bangunan fisik, upacara-upacara, dan hak-hak istimewa lainnya. Kraton atau istana juga
merupakan perwujudan dari birokrasi tradisional yang mengatur kekuasaan ekonomi dan
sosial, tempat surplus produksi dibagikan kepada pembantu-pembantu raja. Jika datangnya
era pengaruh bangsa Barat sebagai batas akhir kota-kota tradisional, sesungguhnya
sebelumnya juga merupakan periode yang memperkenalkan kemajuan pada kota-kota
tradisional itu, yakni di masa sejak adanya pengaruh Islam. Periode pengaruh Islam secara
luas ini sesungguhnya merupakan masa transisi dari dunia tradisional ke situasi baru yang
bisa disebut dunia baru dan selanjutnya juga disebut dengan era kolonial dan seterusnya
era modern.
Di satu sisi, citra kota tradisional sesungguhnya tidak berbatas waktu, misalkan saja
di Surakarta meskipun di abad ke-19, kekuasaan Hindia Belanda telah berlaku disini,
namun aktivitas dan kekhasan kota tradisional Surakarta tetap berlangsung dengan segala
macam ritual dan kebiasaannya. Kraton Surakarta sebagai perwujudan kota tetap
menampakkan aura tradisionalnya tanpa banyak terpengaruh dengan keriuhan aktivitas
kolonial. Seperti diperlihatkan oleh Darsiti Soeratman dalam tulisannya tentang kehidupan
dunia keraton Surakarta tahun 1830-1939. Diterangkannya bahwa simbolisasi kehidupan
kraton tetap berjalan dengan caranya sendiri, baik itu upacara, etiket dan kekuasaan dalam
berbagai kegiatan keraton. Begitupun gambaran tentang gaya hidup raja-raja, yang tetap
melanggengkan kebiasaan lama baik dalam sistem perkawinan, permainan serta hiburan
16
dan lainnya. Jelas dalam konteks ini, kraton dilihat dalam citra tradisionalnya yang tetap
kuat dengan simbolisasi perkotaan secara umum. Penggambaran dan penulisan kotakota
tradisional di Indonesia memperlihatkan kemiripan satu dan yang lainnya. Kota selalu
digambarkan dengan istana atau keratonnya, yang kemudian terdiri dari infrastruktur
lainnya seperti adanya alun-alun atau lapangan besar (kalau di Jawa ada alun-alun utara
dan selatan), ketersediaan tempat ibadah, adanya pasar atau bandar dagang, pemukiman
penduduk, dan sistem pertahanan. Beberapa elemen-elemen ini lah yang seolah menjadi
wajib dijelaskan atau diikuti oleh para penulis-penulis tentang sejarah kota tradisional.
17
yang dikelilingi benteng ini mirip dengan kota-kota Eropa abad pertengahan. Pada kota
Surakarta (1745) dan Yogyakarta (1756) kota benteng ditujukan untuk kepentingan
keraton.
Diawal abad 19, dapat dikatakan merupakan abad perubahan, banyak peristiwa
besar yang akan berdampak pada perubahan struktur perkotaan :
1. Jalan Raya Pos dibangun menghubungkan kota-kota di utara Jawa, dari
Banten, Semarang, Surabaya hingga ujung timur Jawa.
2. Perubahan sistem administrasi politik-ekonomi.
3. Culture Steelsel.
4. Agrarische Wet & Zuiker Wet.
Pusat administrasi koloni yang semula berpusat di benteng kota digantikan dengan
elemen kantor dan rumah administratur kota. Perkembangan kota dapat dikatakan matang
pada akhir abad 19, dimana terjadi perubahan yang membuat konsentrasi ekonomi di
perkotaan sedemikian menonjol. Liberalisasi ekonomi di Eropa telah mendorong kebijakan
ekonomi kolonial berubah, penghapusan Cultur Steelsel dan penetapan Agrarische Wet &
Zuiker Wet menarik banyak pengusaha swasta Eropa menanamkan modalnya di perkotaan
khususnya di Pulau Jawa. Pengembangan usaha yang paling menonjol adalah perkebunan
dengan komoditas utama gula, kopi dan teh. Kota-kota pedalaman seperti Bandung,
Yogyakarta, Malang tumbuh pesat menjadi kota pengumpul hasil produksi dari
hinterlandnya. Sementara kota-kota pesisir dengan pelabuhan besar berkembang menjadi
kota perdagangan. Jaringan infrastruktur baru berupa jalan kereta api muncul sebagai
penghubung antara kota pengumpul di pedalaman dengan kota dagang di pesisir. Elemen-
elemen fungsi perkotaan yang sangat berkembang pada masa ini adalah kantor dagang,
bank, stasiun, kantor pos dan telegraf. Pada periode ini terdapat tiga karakter kota yang
spesifik secara bentuk dan strukturnya : kota pusat ganda, kota pusat tunggal, dan kota
kawasan militer.
18
kurangnya lahan untuk permukiman, pemeliharaan dan perbaikan sarana prasarana
perkotaan dan kesehatan perkotaan. Sementara itu secara umum sistem Residensi yang
sentralistis tidak memungkinkan untuk melakukan intervensi terhadap masalah perkotaan
yang mendasar semacam itu – selain itu juga karena tidak adanya sumber daya manusia
dan keuangan yang memadai. Karena banyaknya tekanan, Pemerintah Hindia Belanda
memutuskan untuk mendesentralisasi administrasi untuk menghadapi perubahan sosial-
ekonomi dan demografi yang terjadi, selain itu juga menyesuaiakan skala permasalahan di
tingkat lokal. Penetapan Peraturan Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada tahun 1903
dan disusul pembentukan Dewan Peraturan Daerah (Lokaal Radenordonnantie) pada tahun
1905 memberikan kerangka hukum yang diperlukan. Tugas dan tanggungjawab
Departemen Pekerjaan Umum (Burgerlijke Openbare Werken) dan Departemen Dalam
Negeri (Binnenlands Bestuur) pada periode ini diserahkan kepada pejabat setempat.
Bentuk dan struktur pusat kota yang sudah muncul sebelumnya tidak berubah pada periode
ini, secara umum pusat kota awal tetap menjadi titik sentral perkembangan kawasan-
kawasan baru. Paling mencolok dalam periode ini adalah pembukaan kawasan baru di
pinggiran kota, baik untuk kepentingan area permukiman atau perkantoran.
Akhirnya kota-kota di Indonesia mengalami babak baru pada periode keempat
(abad 19 – 20) yang ditandai oleh pengaruh Eropa. Apalagi setelah adanya perjanjian Wina
dan dengan dibukan Terusan Suez. Eksistensi dan perkembangan kota pada periode ini atas
dasar inisiatif, pengaruh, dan campur tangan orang-orang asing kolonial seperti misalnya
Batavia. Sejak tahun 1817 atau akhir zaman Napoleon dan zaman intermid Inggris, kota-
kota di Jawa mulai berkembang dan bertambah besar. Pertumbuhan ini ditandai dengan
timbulnya lingkungan rumah-rumah mewah dihuni oleh orang-orang Eropa atau pedagang
Cina kaya. Di sekitarnya tumbuh kampung-kampung komersial dengan toko-toko, tempat
kerja yang sekaligus menjadi tempat tinggal pedagang-pedagan Cina atau pedagang asing
lainnya. Di dalam struktur kota pada periode ini, terjadilah percampuran budaya Eropa,
Cina, dan pribumi termasuk di dalamnya percampuran arsitektur wajah kota.
Sebelum perang, kota-kota di Indonesia khususnya kota-kota yang dikategorikan
sebagai kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar
telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat. Namun, sejak awal dekade 1950-
an perkembangan penduduk memperlihatkan kadar yang lebih tajam. Berdasarkan tinjauan
19
statistik, Indonesia pernah melampaui angka taksiran penduduk di daerah perkotaan yang
diproyeksikan akan mencapai 9,1% pada tahun 1960. Kenyataannya berdasarkan sensus
penduduk 1961, dengan memakai kriteria sama justru menunjukkan angkat 15,6%.
Pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu sepuluh tahun rata-rata besarnya 3% per tahun.
Hingga awal tahun 1969 pun masih ditandai oleh masalah perkembangan penduduk
perkotaan. Masalah utama kota adalah menyangkut tidak seimbangnya perkembangan
penduduk kota dengan tersedianya perumahan, prasarana utilitas umum dan fasilitas
pelayanan. Kekurangan lahan pun menjadi masalah pokok pada perkembangan kota hingga
kini. Perkembangan wilayah terbangun secara sporadis di pinggiran dalam atau luar kota
merupakan fenomena yang terjadi pada kebanyakan kota-kota besar. Lingkungan
perumahan pada di bagian tengah kota atau kampung merupakan masalah perumahan yang
juga mendapat perhatian khusus.
Kini, hampir semua kota di Indonesia telah menemukan kedewasaannya.
Pemerintahan kolonial meletakkan infrastruktur dan struktur yang relatif lengkap, elemen-
elemen kota telah sepenuhnya berfungsi. Kota-kota dengan infrastruktur lengkap dan
kondisi geografis mendukung sepenuhnya berkembang menjadi kota-kota besar Jawa
(Jakarta, Semarang, Surabaya), sedangkan kota-kota dengan fungsi khusus sebagai kota
pendidikan, militer dan administrasi berkembang menjadi kota-kota menengah (Bandung,
Jogja, Solo, Malang).
20
• Jayakarta
Kerajaan Demak (Islam) mempunyai misi ingin menguasai Sunda Kelapa
di bawah pimpinan Fatahillah/Fadilah Khan/Faletehan, panglima perang asal
Gujarat (India). Pada tanggal 22 Juni 1527 Sunda Kelapa Jatuh ke tangan Kerajaan
Demak. Tanggal 22 Juni dijadikan sebagai kelahiran kota Jakarta. Nama Sunda
Kelapa diganti menjadi Jayakarta oleh Fatahillah yang artinya kemenangan
berjaya. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten,
Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten.
• Batavia
Pada tahun 1619, Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen (J. P.
Coen) menyerbu Jakarta sehingga orang Banten serta etnis Arab dan Tionghoa
mengundurkan diri ke daerah Kesultanan Banten. Setelah berhasil dikuasai
Belanda, nama Jayakarta diganti menjadi Batavia oleh Gubernur Jendral J. P.
Coen. Setelah kepemimpinan J. P. Coen, Batavia selanjutnya dipimpin oleh
Jacques Speex, Daendels, Raffles,dan Van den Bosch, yang membangun Jakarta
dengan beberapa bangunan yang masih berdiri sampai sekarang seperti Lapangan
Monas, Stasiun Kota, dsb.
• Jakarta
Pada bulan September 1945 Pemerintah Kota Jakarta diberi nama
Pemerintahan Nasional Kota Jakarta dengan dipimpin oleh seorang walikota.
Setelah itu, wilayah Jakarta mengalami penambahan yaitu Kepulauan Seribu,
Cengkareng, Kebayoran (Kebon Jeruk, Kebayoran Ilir, dan Kebayoran Udik), dan
sebagian Bekasi (Pulogadung dan Cilincing). UU No. 10 Tahun 1964 Daerah
Khusus Ibukota Raya dinyatakan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia
dengan nama Jakarta.
21
yang disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzorg. Di kawasan tersebut, dibangun
juga sebuah Istana Gubernur Jenderal, dan dalam perkembangannya nama Buitenzorg
dipakai untuk menunjuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung,
Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede.
Buitenzorg berarti “tanpa kecemasan” atau “aman tenteram”.
Pada saat Hindia Belanda bangkrut, pada abad ke-19, wilayah Nusantara termasuk
Bogor dikuasai oleh Inggris yang kemudian merenovasi Istana Bogor, serta
membangun tanah di sekitarnya menjadi Kebun Raya (Botanical Garden). Di bawah
komando Inggris, Bogor ditata menjadi tempat peristirahatan yang dikenal dengan
nama Buitenzorg yang diambil dari nama salah satu spesies palem. Namun setelah
pemerintahan Belanda kembali pada tahun 1903, terbit Undang-Undang Desentralisasi
yang menggantikan sistem pemerintahan tradisional dengan sistem administrasi
pemerintahan modern, yang menghasilkan Gemeente Buitenzorg. Pada tahun 1925,
terbentuklah provinsi Jawa Barat (provincie West Java) yang terdiri dari 5 karesidenan,
18 kabupaten, dan kotapraja (stadsgemeente). Buitenzorg menjadi salah satu
stadsgemeente.
Pada akhirnya masuk pada jaman kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1950,
Buitenzorg menjadi Kota Besar Bogor yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 16 tahun 1950. Tapi nama pemerintahan berubah lagi
menjadi Kota Praja Bogor, sesuai Undang-Undang nomor 1 tahun 1957. Berlanjut pada
tahun 1965, Kota Praja Bogor berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor
sesuai Undang-Undang nomor 18 tahun 1965 dan Undang-Undang nomor 5 tahun
1974. Hingga akhirnya ditetapkan sampai sekarang sebagai Kota Bogor sesuai dengan
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999.
22
disebut dengan “Bhagasi”. Ketika Belanda menjajah Indonesia dan Bekasi dikuasai
oleh Belanda, nama nya akhirnya diganti dengan nama “Bacassie”. Namun nama
“Bacassie” tersebut lebih familiar dengan sebuat Bekasi sehingga nama Kota ini
akhirnya menjadi “Bekasi” hingga saat ini. Kota yang satu ini masuk dalam catatan
sejarah Republik Indonesia karena di sinilah berkumpulnya para pejuang hingga titik
darah penghabisan untuk melawan penjajah, jadi tidak salah jika Kota Bekasi akhirnya
dijuluki dengan Kota Patriot.
Sejarah Kota Bekasi setelah masa kemerdekaan, berdasarkan UU Nomor 14 Tahun
1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi dengan wilayah yang terdiri dari 4 kewedanaan,
13 kecamatan (termasuk Kecamatan Cibarusah) dan 95 desa. Angka-angka tersebut
ternyata di ungkapkan dengan simbolis dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan
motto “Swatantra Wibawa Mukti”. Pemimpin Bekasi juga sudah banyak berganti,
namun pada akhirnya tanggal 20 April 1982, Menteri Dalam Negeri meresmikan Kota
Administrasi Bekasi. Walikota yang pertama menjabat adalah H. Soedjono (1982 -
1988). Lalu pada tahun 1988 tersebut beliau digantikan oleh Drs. Andi Sukardi hingga
tahun 1991, masa jabatan (1988 - 1991), kemudian diganti lagi oleh Bapak Drs. H.
Khailani AR hingga tahun (1991 – 1997).
Kota yang menjadi perbincangan ini merupakan Kota bersejarah yang memiliki
seribu cerita yang tidak akan habis meskipun ditelan masa. Kota yang satu ini terus
berkembang hingga menjadi Kota besar dengan pertumbuhan penduduk yang cukup
tinggi sehingga berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Roda perekonomian
masyarakat Bekasi memang meningkat seiring berjalan nya waktu karena ada banyak
pembangunan yang di alokasikan pemerintah pada Kota bersejarah ini. Kota ini
akhirnya berkembang menjadi Madya berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1996 dengan segala perkembangan yang signifikan.
23
Makassar adalah anggota dari etnik Makassar. Nama Ujung Pandang sendiri adalah
nama sebuah kampung dalam wilayah Kota Makassar. Bermula di dekat benteng Ujung
Pandang sekarang ini, membujurlah suatu tanjung yang ditumbuhi rumpun-rumpun
pandan. Sekarang Tanjung ini tidak ada lagi. Nama Ujung Pandang mulai dikenal pada
masa pemerintahan Raja Gowa ke-X, Tunipalangga yang pada tahun 1545 mendirikan
benteng Ujung Pandang sebagai kelengkapan benteng-benteng kerajaan Gowa yang
sudah ada sebelumnya, antara lain Barombong, Somba Opu, Panakukang dan benteng-
benteng kecil lainnya.
Beberapa tahun kemudian benteng Ujung Pandang jatuh ke tangan Belanda, usai
perang Makassar, dengan di setujuinya Perjanjian Bungaya tahun 1667, benteng itu
diserahkan. Kemudian Speelmen mengubah namanya menjadi Fort Rotterdam.
Bangunan-bangunan bermotif Gowa di Fort Rotterdam perlahan-lahan diganti dengan
bangunan gaya barat seperti yang dapat kita saksikan sekarang.
Pergantian nama Kota Makassar berubah menjadi Ujung Pandang terjadi pada
tanggal 31 Agustus 1971, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1971. Kala
itu Kota Makassar di mekarkan dari 21 kilometer persegi menjadi 115,87 Kilometer
persegi, terdiri dari 11 wilayah kecamatan dan 62 lingkungan dengan penduduk sekitar
700 ribu jiwa. Pemekaran ini mengadopsi sebagian dari wilayah tiga kabupaten yakni
Kabupaten Maros, Gowa dan Pangkajene Kepulauan.
Sebagai “kompensasinya” nama Makassar diubah menjadi Ujung Pandang.
Tentang kejadian bersejarah tersebut, Walikota Makassar H.M.Daeng Patompo (alm)
berkilah “terpaksa” menyetujui perubahan, demi perluasan wilayah kota. Sebab Bupati
Gowa Kolonel K.S. Mas’ud dan Bupati Maros Kolonel H.M. Kasim DM menentang
keras pemekaran tersebut. Untunglah pertentangan itu dapat diredam setelah
Pangkowilhan III Letjen TNI Kemal Idris menjadi penengah, Walhasil Kedua Bupati
daerah tersebut, mau menyerahkan sebagian wilayahnya asalkan nama Makassar di
ganti.
Sejak awal proses perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang, telah
mendapat protes dari kalangan masyarakat. Beberapa kalangan budayawan, seniman,
sejarawan, pemerhati hukum dan pebisinis. Bahkan ketika itu sempat didekalarasikan
Petisi Makassar oleh Prof.Dr.Andi Zainal Abidin Farid SH, Prof.Dr.Mattulada dan
24
Drs.H.D.Mangemba, dari deklarasi petisi Makassar inilah polemik tentang nama terus
mengalir dalam bentuk seminar, lokakarya dan sebagainya.
Seiring perubahan dan pengembalian nama Makassar, maka nama Ujung Pandang
kini tinggal kenangan dan selanjutnya semua elemen masyarakat kota mulai dari para
budayawan, pemerintah serta masyarakat kemudian mengadakan penelurusan dan
pengkajian sejarah Makassar, hasilnya Pemerintah Daerah Nomor 1 Tahun 2000,
menetapkan Hari jadi Kota Makassar, tanggal 9 Nopember 1607. Untuk pertama kali
Hari Jadi Kota Makassar ke 393, diperingati pada tanggal 9 November 2000. Nama
Makasar berasal dari sebuah kata dalam bahasa Makassar “mangkasara” yang berarti
yang menampakkan diri atau yang bersifat terbuka.
25
pribumi Hollandia kehilangan sebagian besar hasil kebunnya. Bahkan babi dan ayam
piaraan diambil serdadu Jepang secara paksa.
Hollandia yang merupakan basis pertahanan Jepang setelah Wewak dan Teluk
Hansa di PNG, merasakan pemboman yang dahsyat pada bulan Maret-April 1944.
Serbuan Sekutu ke Hollandia ini menandai berakhirnya pendudukan Jepang atas
Hollandia dan puncaknya tanggal 22 April 1944 armada Sekutu yang begitu besar
jumlahnya mendekati Pantai Hollandia. Tidak kurang 215 kapal perang didukung kira-
kira 800 pesawat terbang membayangi kesatuan-kesatuan sekutu yang mendarat dari
dua arah. Dari Teluk Tanah Merah (Depapre) dan Teluk Humboldt (Pantai Hamadi).
Operasi ini diberi sandi “reckless” dipimpin Jenderal Douglas Mac Arthur dibantu
Laksamana D. E. Barbey dan Letnan Jenderal R. L. Eichelherger dari atas kapal induk
Nashville. Pukul 10.00 pagi tanggal 22 April 1944 Jenderal Douglas Mac Arthur
mendarat di Pantai Hamadi.
Bala tentara Jepang di Hollandia ternyata tak berdaya menghadapi serbuan sekutu.
Laksamana Endu dari armada VIII-IX Jepang yang baru saja ditempatkan di Hollandia,
tidak berkutik menghadapi serbuan sekutu. Akhirnya Endu dan pasukannya
menyingkir ke hutan sekitar Hollandia dan diperkirakan melakukan harakiri. Sejumlah
prajurit zeni kemudian dikerahkan oleh sekutu untuk memperkuat pangkalannya di
Sentani. Para tenaga tambahan yang adalah tenaga insinyur teknik ini sekaligus
merupakan tenaga teknisi yang berbasis di landasan bekas pangkalan militer Jepang.
Tugas utama mereka adalah membuat landasan baru yang lebih luas agar bisa didarati
oleh pesawat pengebom B-29 Superfortress. Merekalah yang memegang peranan
penting dalam pembuatan landasan pesawat serta jalan-jalan raya di sekitarnya; hasil
kerja mereka itu sampai saat ini masih tetap dipergunakan.
Dalam proses pembuatan landasan serta jalan raya ini, pasukan Sekutu bekerja
ekstra keras dengan terlebih dahulu meratakan sisi-sisi pegunungan di sekitar areal
tersebut. Setelah itu, jembatan-jembatan serta pipa-pipa pembuang air didirikan di
sepanjang sungai. Kemudian, untuk membuat jalan raya, rawa-rawa ditimbun dengan
kerikil dan batu-batu. Hanya dalam waktu semalam, Hollandia bermetamorfosis dari
sebuah kampung yang sunyi sepi menjadi sebuah kota berpopulasi 250.000 manusia–
jumlah yang sepertiga lebih banyak dari total jumlah penduduk Papua saat itu.
26
Hollandia kemudian menjadi salah satu markas militer terhebat selama PD II dan
sebagian besar komando untuk wilayah Pasifik Barat Daya dioperasikan dari
Hollandia. Sekutu menjadikan Hollandia sebagai Basis G, dilengkapi dengan sembilan
galangan kapal (dock), fasilitas militer, rumah sakit, gudang, toko, dan tempat hiburan.
Peninggalan sekutu hingga kini dapat dilihat dari bangunan dan toponim. Bangunan
tinggalan sekutu berupa rumah bulat di Ifar Gunung, Abepura, APO, dan Sentani.
Bangunan rumah sakit di Dok II, tangki minyak di Depare. Toponim peninggalan
sekutu di antaranya Base-G, Skyline, APO, Hawai, Entrop, dan Dok I sampai IX.
Pada 1944-1945, Papua diperintah oleh sekutu. Komandan sekutu membawahi para
pejabat Belanda yang disebut NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tugas
NICA berkaitan dengan urusan-urusan sipil. NICA terdiri dari SONICA (Senior
Officer NICA) yang disamakan kedudukannya dengan residen dan CONICA
(Commanding Officer NICA), yang disamakan kedudukannya dengan asisten residen.
Dalam membangun fisik Kota Hollandia, Belanda tinggal melanjutkan pekerjaan
yang telah dirintis oleh tentara Jepang dan sekutu. Gubernur Nugini Belanda
mempekerjakan tukang bangunan dari pulau Biak dan penduduk sekitar Jayapura. Saat
ini peninggalan Belanda dapat terlihat dari bangunan dan toponim, seperti Rumah Sakit
Dok II, Angkasa, Abepura, Gedung DPRP, Kantor Gubernur Dok II. Toponim di
antaranya Kampkei, Vim, Klofkamp, Holtekamp, Kampwolker, Kampcina, dan
Polimak.
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pertumbuhan dan perkembangan kota pada prisipnya menggambarkan proses
berkembangnya suatu kota. Sebagai pusat komunitas sosial dan budaya, kota menempati
kedudukan penting dalam dinamika kebudayaan di Indonesia. Hubungan interaktif dan
dinamis antara keduanya pada dasarnya tidak bisa dipisahkan. Dinamika kehidupan kota
pada hakekatnya mempengaruhi dinamika kebudayaan dan begitu pula sebaliknya.
Perkembangan kota pada saat ini menunjukkan kemajuan yang pesat sejalan
dengan bertambahnya jumlah penduduk serta semakin besarnya volume kegiatan
pembangunan pada berbagai sektor. Hal ini menyebabkan semakin bertambah dan
berkembangnya sarana dan prasarana pendukung yang selalu menuntut adanya perubahan-
perubahan yang mengarah pada kualitas dan kuantitasnya. Pertumbuhan penduduk dan
peningkatan aktivitas kota di Indonesia menyebabkan banyak berkembangnya kawasan
komersial. Salah satu sektor yang perlu diperhatikan untuk mengantisipasi perkembangan
kawasan komersial ini adalah penanganan masalah transportasi. Hal ini karena transportasi
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dan memegang peranan yang sangat
strategis dalam perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah maupun pemerataan hasil-
hasil pembangunan yang ada.
Perjalanan sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa semenjak awal kelahiran kota-
kota maritim dan agraris atau kota-kota perdagangan pada masa kolonial, sampai masa
terbentuknya kota-kota modern pasca kemerdekaan, kota-kota di Indonesia secara dinamis
telah memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja
sebagai pusat politik, ekonomi dan pemerintahan, tetapi juga sebagai tempat
berlangsungnya proses transformasi dan konfigurasi berbagai unsur kebudayaan luar dan
local di Indonesia. Banyak hal yang dapat dikaji mengenai kota dalam kaitannya dengan
berbagai aspek kehidupan, sebab kota merupakan sebuah jaringan yang saling berkaitan
dalam dinamika sejarah.
28
DAFTAR PUSTAKA
Rapoport, Amos. (1988). Asal Usul Terbentuknya Kota, dalam buku Pengantar Perencanaan Kota,
Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 38-82.
Damayanti, Rully. Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan Di Jawa.
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra.
Pasaribu D., Daud Jeluddin. Karakteristik Struktur Kota dan Pengaruhnya Terhadap Pola
Pergerakan di Kota Medan. Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Sunaryo, dkk. (2014). Pengaruh Kolonialisme Pada Morfologi Ruang Kota Jawa Periode 1600-
1942. Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan 3. Jurusan Teknik Arsitektur dan
Perencanaan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Ariyadi, Bayu (2014). Analisis Pola Morfologi Dan Interaksi Spasial Perkotaan Di Kota
Yogyakarta Dengan Wahana Citra Landsat.
Makkelo, Ilham, D. (2017). “Sejarah Perkotaan: Sebuah Tinjauan Historiografis dan Tematis,”
dalam Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, Vol 12 No. 2: 83-101. Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Nas, Peter J.M., Marlies de Groot dan Michelle Schut. (2011). “Introduction: Variety of Symbols,”
dalam Peter J.M. Nas (ed.) Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture, pp.
7-25. Leiden University Press.
29
Lensa Budaya, Vol. 12, No. 2, Oktober 2017.
83 - 101 Edisiof
Lensa Budaya: Journal Khusus Persembahan
Cultural Sciences, 12 Untuk
(2), OktEdward
2017 L Poelinggomang
Artikel 3 ISSN: 0126 - 351X
SEJARAH PERKOTAAN:
SEBUAH TINJAUAN HISTORIOGRAFIS DAN TEMATIS
Abstrak
Perkembangan kota sejak awal abad ke-20 ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat
dengan kompleksitas elemen dan permasalahan perkotaan yang muncul. Kota tidak sesederhana
pada waktu dulu lagi. Kompleksitas dalam berbagai bidang memerlukan metode dan pisau analisa
yang bisa menelusuri dan mengungkapkan bagian-bagian atau strukturnya hingga pada yang
terkecil, dan juga menampilkan makna dibalik apa yang mudah terlihat karenanya tuntutannya
bisa berupa menghadirkan relasi struktural yang kadang rumit. Salah satu perhatian saya disini
adalah untuk mencoba memberi perhatian pada persoalan perkotaan dan masyakatnya yang
semakin kompleks dengan masuk melalui konsep modernitas. Modern, modernisasi, modernism,
dan juga modernitas adalah konsep sejarah yang menjadi alat baca dalam mengurai kompleksitas
itu dalam rentang waktu yang ada. Makna modernitas ini merupakan usaha untuk menjelaskan
lebih beragam atas kenyataan sejarah perkotaan di Indonesia.
Abstract
The growth of cities since the beginning of the 20th century has experienced rapid complexity of
their elements and problems. Cities are not as simple as they used to be. Complexity in various
fields requires methods and analytical knifes that can trace and expose parts and structures of urban
areas to their smallest details and also to show their meanings to reveal structural relations which
usually are complicated. One of my focus here is to pay attention to urban problems and their
inhabitants that increasingly becoming more complex, through the concept of modernity. Modern,
modernization, modernism and modernity are historcal concepts that being used to read and to
unravel the complexity in different periods. My using of the concept of modernity is an effort to
explain in various ways the complex reality of urban history in Indonesia.
Author correspondence
Email: ilhamdaengmakkelo@gmail.com
Available online at http://journal.unhas.ac.id/index.php/jlb1
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
84
2
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
jarah Indonesia. Kota dapat disebut seba- Dalam tulisan ini, saya akan mencoba
gai sebuah kesatuan yang secara sah ber- membuat pemetaan terhadap kajian ten-
diri sendiri, dan patut menjadi bidang ka- tang sejarah perkotaan yang semakin
jian yang tersendiri pula. marak belakangan ini. Pengelompakannya
Persoalannya sesungguhnya bukan berdasarkecendrungan-kecendrungan
pada memungkinkan atau tidaknya kota tema kajian sejarah kota dengan tetap
sebagai perhatian utama. Kalau soal ini memperhatikan juga periodisasi penu-
sudah tidak diragukan lagi, bahkan jauh lisannnya. Saya akan memetakannya
dari sekarang di sekitar tahun 1980-an dalam kelompok-kelompok utama yang
pada sebuah pertemuan sejarah di Den- masing-masing kelompok utama tersebut
pasar, Kuntowijoyo sudah dengan tegas terdiri lagi dari beberapa pembagian yang
menyatakan kekayaan kemungkinan memiliki kemiripan secara tematis.
dalam menulis sejarah perkotaan. Dan
betul, bahwa kekayaan akan data dan PERIODISASI
sumber sejarah mengenai perkotaan se- Kota-kota berdasarkan periodisasi hanya
makin lama semakin beragam dan dalam sekedar memberi kemudahan dalam
berbagai bentuk. Penelusuran data dan penentuan temporal dari penelitian-
sumber sejarah memang menjadi peker- penelitian atas sejarah kota itu sendiri.
jaan para sejarawan dan kadang tidak Pengelompokan berdasarkan temporal ini
perlu kita meragukan itu lagi. Persoa- memang menjadi kekhasan tersendiri
lannya sekarang bagaimana kekayaan dan dalam penulisan sejarah kota di Indone-
kemungkinan data-data yang diperoleh itu sia. Sudah jamak kita membaca pengklasi-
mampu ditampilkan dalam sebuah analisa fikasian seperti ini, dan itu menjadi ke-
dan cara berfikir baru. Tidak dalam kon- cenderungan juga dalam penelitian kota-
teks semata menjejer data-data itu dalam kota di Indonesia. Hal ini akan memper-
urutan kronologikal semata seperti yang mudah dalam penentuan fokus perhatian
kadang terlihat dalam sejarah konven- dalam bingkai waktu dengan anggapan
sional. Kemampuan interpretasi untuk ada karakter masing-masing dari
menghasilkan penggambaran yang kuat pengelompokan ini. Tentu saja akanada
atas dinamika perkotaan menjadi tantan- banyak kota yang mungkin saja melewati
gan tersendiri. Kekuatan imajinasi seo- semua periodisasi kota itu, namun tetap
rang penulis atau peneliti memegang saja demi kepentingan mempermudah
peran penting dalam usaha membaca fokus penelitian, maka dalam penelitian di
peristiwa-peristiwa yang dicermatinya. lapangan banyak sejarawan memfokuskan
Dan tentu saja kekuatan imajinasi itu perhatiannya pada salah satunya saja.
perlu diperkuat dengan bantuan alat anal-
isis yang memadai. Semakin ‘canggihnya’ Kota Prasejarah
pisau analisis, paradigma, teori, atau Pemukiman-pemukiman awal yang men-
apapun namanya akan berimplikasi kuat jadi cikal bakal terbentuknya sebuah ko-
terhadap kedalaman interpretasi kita ter- munitas tertentu telah menjadi perhatian
hadap fenomena yang dicermati. Kekua- tersendiri bagi beberapa sejarawan, na-
taan data yang sering dipertunjukkan oleh mun lebih khusus para arkeolog untuk
para penulis sejarah akan sangat berguna mengungkapkan kota-kota prasejarah
jika ditunjang oleh imajinasi kritis. tersebut. Diyakini bahwa dalam masa per-
Hingga saat ini kita sudah mulai mulaansejarah pemukiman di Indonesia,
bisa membaca dan memetakan kajian, telah terbentuk semacam kota-kota awal
penelitian, atau tulisan-tulisan dari sejara- tempat berkumpul dan beraktifitas bagi
wan atau kajian yang bernuansa sejarah. para penduduknya. Pada kota-kota prase-
85
3
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
86
4
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
dan selanjutnya juga disebut dengan era larij. Rasanya inilah kesan pertama yang
kolonial dan seterusnya era modern. kita akan temui jika membaca tulisan-
Di satu sisi, citra kota tradisional tulisan sejarah berlatar belakang kota ko-
sesungguhnya tidak berbatas waktu, mis- lonial. Selain itu, kota-kota karesidenan
alkan saja di Surakarta meskipun di abad dijaman sebelum perang banyak menun-
ke-19, kekuasaan Hindia Belanda telah jukkan aktivitas sosial dan kultural yang
berlaku disini, namun aktivitas dan kek- menandainya sebagai sebuah kota kolo-
hasan kota tradisional Surakarta tetap ber- nial. Intinya bahwa kajian dalam kategori
langsung dengan segala macam ritual dan ini adalah memperkuat peran dan he-
kebiasaannya. Kraton Surakarta sebagai gemoni pemerintah kolonial dalam berba-
perwujudan kota tetap menampakkan gai bidang. Pembahasannya pasti jelas
aura tradisionalnya tanpa banyak terpen- akan selalu dihubung-hubungkan dengan
garuh dengan keriuhan aktivitas kolonial. apa yang kita sebuat dengan situasi atau
Seperti diperlihatkan oleh Darsiti Soerat- konsep kolonial itu sendiri.
man dalam tulisannya tentang kehidupan Kajian kota kolonial misalnya kita
dunia keraton Surakarta tahun 1830-1939. bisa lihat dalam tulisan Karyono, yang
Diterangkannya bahwa simbolisasi ke- melihat bagaimana perkembangan kota
hidupan kraton tetap berjalan dengan ca- kolonial di Salatiga. Dalam pemba-
ranya sendiri, baik itu upacara, etiket dan hasannya dikhususkan dalam melihat
kekuasaan dalam berbagai kegiatan kera- pembangunan kota ini sejak terbitnya Un-
ton. Begitupun gambaran tentang gaya dang-Undang Desentralisasi dan berdir-
hidup raja-raja, yang tetap melanggengkan inya Gemeente Salatiga pada tanggal 1
kebiasaan lama baik dalam sistem perkaw- Juli 1917. Jelas karena perhatiannya pada
inan, permainan serta hiburan dan lain- kota kolonial, maka perhatiannya pula
nya. Jelas dalam konteks ini, kraton dili- pada kebijakan-kebijakan pemerintah ko-
hat dalam citra tradisionalnya yang tetap lonial dalam pembangunan kota. Seperti
kuat dengan simbolisasi perkotaan secara bagaimana penataan administrasi pemer-
umum. intahan kota, sistem perekonomian, per-
Penggambaran dan penulisan kota- bankan, peternakan, serta memberi juga
kota tradisional di Indonesia memperlihat- gambaran tentang keadaan sosial politik
kan kemiripan satu dan yang lainnya. di periode penelitiannya. Pembahasannya
Kota selalu digambarkan dengan istana pula mengenai berbagai aspek perkemban-
atau keratonnya, yang kemudian terdiri gan kota Salatiga, seperti di bidang pen-
dari infrastruktur lainnya seperti adanya didikan, pasar, transportasi, kesehatan,
alun-alun atau lapangan besar (kalau di agama, pariwisata dan kebudayaan, dan
Jawa ada alun-alun utara dan selatan), lainnya. Persoalan dari tulisan-tulisan ten-
ketersediaan tempat ibadah, adanya pasar tang sejarah kota kolonial adalah umum-
atau bandar dagang, pemukiman pen- nya kajian yang ada adalah memberi gam-
duduk, dan sistem pertahanan. Beberapa baran atas hampir semua aspek ke-
elemen-elemen ini lah yang seolah men- hidupan, makanya tidak ada satu aspek
jadi wajib dijelaskan atau diikuti oleh para yang dibahas secara mendalam, sehingga
penulis-penulis tentang sejarah kota tra- pengungkapan tiap aspeknya hanya yang
disional. umum-umum saja.
Meski demikian, sebagai perkec-
Kota Kolonial ualian ada juga sebagian kecil yang menu-
Kota kolonial ditandai dengan benteng lis aspek-aspek tertentu pada masa kolo-
dan barak, perkantoran, rumah-rumah, nial, misalnya kajian Susanto T. Handoko
gedung societeit, rumah ibadah vrijmetse- mengenai kriminalitas di Semarang tahun
87
5
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
1906-1942. Perhatiannya memang pada dan bangunan di kota Medan sejak tahun
aspek kriminalitas dalam berbagai bentuk 1870 hingga invasi Jepang. Dengan latar
dan dalam beberapa periode di masa kolo- belakang keberhasilan perkebunan,
nial Belanda. Seperti krimininalitas yang masyarakat kosmopolit juga terbentuk dan
terjadi pada masa awal terbentuknya Ge- ini juga mempengaruhi pendirian ban-
meente Semarang, kriminalitas pada masa gunan-bangunan di ruang perkotaan.
depresi ekonomi, kriminalitas masa akhir Adanya kantor-kantor perkebunan, bank,
pemerintahan Kolonial Hindia Belanda perusahaan asuransi, pertokoan, rumah
dan lebih khusus juga tentang pengungka- sakit, sekolah-sekolah, klenteng-klenteng,
pan berbagai bentuk aksi pencurian di masjid, jembatan, dan hotel adalah buah
kota ini. dari aktivitas ekonomi ini.
Namun secara umum, penulisan Salah satu ciri khas kota modern
tentang sejarah kota kolonial selama ini adalah pembagian pemukiman yang ke-
memiliki kecenderungan yang sama dari banyakan berdasarkan atas kelas sosial.
segi pola dan tematisnya. Misalkan meng- Terlihat makin tergesernya penghuni kota
gambarkan tentang pemerintahan kota yang lama oleh penghuni baru yang me-
kolonial, fasilitas perumahan dan perkan- nempati bagian-bagian kota strategis. Ban-
toran, transportasi dan komunikasi, perda- gunan fisik kota juga mengalami peruba-
gangan, sarana pendidikan dan kesehatan, han sesuai dengan pergeseran kelas itu.
pengadaan air bersih maupun mobilitas Dalam kota modern, pembagian pen-
sosial. Penggambaran yang sifatnya duduk berdasarkan kelas sosial dengan
deskriptif semata, kadang mengurangi mobilitas sosial yang lebih lentur, juga
bobot analisa terhadap kondisi yang ter- ditinggalkannya cara berproduksi manusia
jadi pada kota-kota ini. Kajian tentang oleh mesin yang memproduksi barang-
sejarah kota kolonial juga sering lebih barang secara massal dengan pelayanan
cenderung memperhatikan peran utama dan kualitas yang baik, organisasi pro-
pihak colonial sebagai penggerak sejarah duksi dipegang oleh unit-unit ekonomi
termasuk dalam pembangunan perkotaan yang cenderung besar dan lebih rasional.
dan mengenyampingkan sumbangsih dan Hal lain yang mengemuka dalam
peranan orang lokal dalam perkembangan pembahasan tentang kota modern adalah
itu. tema urbanisasi. Berbagai dinamika dan
problematika urbanisasi ini menjadi
Kota Modern bagian tak terpisahkan dari ide-ide kemod-
Beberapa penulis juga mencoba menulis ernan pada sebuah kota. Kemajuan se-
kemodernan sebuah kota dalam perspektif buah kota akan selalu seiring dengan
sejarah. Misalnya Dias Pradadimara yang pesatnya perkembangan penduduk perko-
melihat penggunaan ruang kota Makassar taan. Pembahasan tentang sejarah kota
dengan simbol-simbol modern. Kota ini pada aspek modern tidak semata-mata
kemudian menjadi kota kosmopolitan pada hal-hal yang dianggap baru dan pem-
dengan datangnya orang dari berbagai bangunan fisik modernisasinya, tetapi
penjuru Asia dan Eropa. Pembangunan- juga pada permasalahan sosial dari mod-
pembangunan tenaga listrik, pipa saluran ernisasi itu sendiri. Persoalan sosial itu
air, dan fasilitas-fasilitas lainnya menjadi- seperti kemiskinan, kriminalitas, prosti-
kan Makassar memiliki wajah modern tusi, aborsi, dan tuntutan-tuntutan pelaya-
dan kosmopolitan. Pada tahun 1938 nan pendidikan dan kesehatan.
Makassar disebut sebagai kota yang paling
diterangi di Hindia Belanda. Kajian se-
rupa dilakukan oleh Dirk Buiskool sejarah
88
6
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
89
7
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
90
8
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
adalah tempat penggodokan dan juga pe- dalam Rancangan Undang-Undang Per-
masok sebagian dari kebutuhan kader- encanaan Kota (1938) yang kemudian
kader PKI untuk pekerjaan-pekerjaan la- ditetapkan tahun 1948. Kajian sejenis ini
pangan. Tulisan lain dari Purnawan dilakukan juga oleh Pratiwo yang menje-
Basundoro membahas kota Surabaya se- laskan tentang perencanaan dan pemban-
bagai lahan persemaian gerakan Partai gunan kota Semarang. Peletak dasar dan
Komunis Indonesia. Sedangkan misalkan perencanaan kota Semarang adalah Tho-
oleh Didi Kwartanada membahas di- mas Karsten, yang merencanakan kota
namika kaum pengusaha Pribumi Muslim lebih berdasarkan pembagian kelas sosial
yang tergabung dalam Kemadjoean Eko- ketimbang segregasi rasial. Pembangunan
nomi Indonesia (KEI). KEI adalah sebuah perumahan elit di bagian selatan kota dan
organisasi ekonimi yang paling kuat se- banyaknya perumahan murah merupakan
lama periode pendudukan Jepang yang bukti fisik dari prinsip-prinsip Karsten.
ironisnya justru mengalami kemunduran Catatan terpenting atas perencanaan kota
setelah jatuhnya Jepang. Kajian di bidang Semarang adalah bahwa pada masa Orde
politik misalkan juga yang dilakukan oleh Baru, pembangunan didasarkan pada ke-
Pujo Semedi tentang aktifitas kepanduan sempatan untuk mendapatkan keuntun-
di Indonesia awal abad ke-20. Organisasi gan, bukan untuk memperbaiki kualitas
kepanduan sepanjang rangkaian abad ke- hidup. Daerah-daerah kumuh berada di
20 di Indonesia lahir sebagai sikap atas kawasan mewah dilupakan oleh roda
jawaban politk di Indonesia dan tidak da- modernisasi.
pat dipisahkan dari organisasi politik, Kajian serupa dilakukan oleh
apakah itu milik pemerintah, agen-agen Zulqayyim atas kota Bukittinggi, yang
negara, atau partai-partai politik. menandaskan bahwa banyak fasilitas yang
ada di kota ini masih merupakan pening-
Perencanaan Kota dan Perumahan galan masa kolonial. Perencanaan kota
Kajian tentang perencanaan kota dan juga menyesuaikan pada landskap yang secara
pembangunan perumahan di Indonesia alamiah bergelombang dengan elemen-
umumnya memfokuskan waktu peneli- elemen utama yang terbangun di daerah
tiannya sejak awal abad ke-20 hingga perbukitan yang tinggi. Termasuk juga
sekarang. Hal ini memang berkaitan erat kajian Reza D. Dienaputra yang melihat
bahwa perencanaan spasial dan penataan perencanaan kota Bandung. Fokusnya
perumahan mulai diatur berdasarkan un- ketika Gubernur Jenderal van Limburg
dang-undang sejak tahun 1903, ketika saat Stirum menggagas untuk memindahkan
itu dimulainya pemberlakuan Undang- ibukota dari Batavia ke Bandung. Gedung
undang Desentralisasi. Kajian seperti ini Sate yang besar dibangun sebagai rumah
salah satunya dilakukan oleh Pauline van kementerian pada tahun 1924. Pembuatan
Roosmalen yang menganalisa bagiamana jalur kereta api, jalan-jalan dibangun un-
sejarah tentang perencanaan kota di Indo- tuk menghubungkannya dengan daerah
nesia secara umum. Memperhatikan perkebunan, demikian pula jalur udara
usaha awal pemerintah kotapraja dalam dan radio dibangun. Pemerintah saat itu
melakukan perencanaan pembangunan pula membangun perumahan untuk pen-
perkotaannya. Termasuk ketika pada ta- duduk pribumi, dan tentu saja
hun 1921 usaha lebih sistematis atas per- memisahkan pula dengan perumahan
encanaan ruang diajukan. Pada tahun itu- orang Cina dan juga orang Eropa. Ini
lah Thomas Karsten mempresentasikan adalah beberapa pembahasan tentang kota
paper inspiratifnya ‘Indian Town Plan- yang lokus utama pembahasannya adalah
ning’. Gagasan itu yang dielaborasikan ke pada perencanaan dan juga pembangunan
91
9
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
perumahan, yang memang sangat jelas muncul golongan atau kelompok tertentu
terlihat sudah dilakukan dan bahkan lebih yang menjadi penggerak bagi kemajuan
terencana pada masa kolonial Belanda. sosial-ekonomi kota. Misalnya kajian Clif-
Satu kajian penting tentang perencanaan ford Geertz dalam dua bukunya (Clifford
kota adalah melalui kajian Christopher Geertz, Peddlers and Princes: Social Develop-
Silver dalam tulisannya Planning the ment and Economic Change in Two Indone-
Megacity: Jakarta in the Twentieth Century, sian Town (Chicago: The University of
yang memberi penggambaran bagaimana Chicago Press: 1963), dan buku yang lain
penyusunan dan pelaksanaan perenca- The Social History of an Indonesian Town
naan pada kota besar seperti Jakarta. (Cambridge, Mass: The MIT Prous,
1965)) yang jelas memperlihatkan bagai-
EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA mana transformasi sosial dan masyarakat
Salah satu perhatian dari banyak peneli- di kota.Mengenai aspek perubahan sosial,
tian tentang sejarah kota adalah pada salah satu hal yang juga terus diperhatikan
aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Trans- adalah problem sosial. Termasuk didalam-
formasi dalam bidang ini adalah perhatian nya masalah kepadatan penduduk, mobili-
tersendiri. Sesungguhnya persoalan men- tas horizontal, dan heterogenitas yang da-
genai soal ini sangatlah luas, meski pat menyebabkan timbulnya masalah
pengelompokan sederhana seperti di- sosial. Diantara masalah itu adalah dis-
bawah ini berdasar pada penelusuran tuli- paritas dan pemisahan pemukiman secara
san-tulisan mengenai soal ekonomi, sosial, ekonomis dan sosial, ketimpangan demo-
dan budaya pada sejarah perkotaan. grafis, dan masalah lingkungan fisik,
sosial, dan psikologis. Salah satu persoa-
Kota dan Perubahan Sosial lan yang bisa digali adalah permasalahan
Pembahasan mengenai perubahan sosial perkampungan dengan ciri slumnya, lain-
juga mengemuka dalam penulisan sejarah nya adalah kemiskinan, sampah, banjir
perkotaan. Bagaimana transformasi sosial dan lainnya. Soal lain adalah kekerasan di
berlangsung bisa digali dan diterangkan perkotaan, prostitusi, pengangguran,
dengan berbagai analisa. Selain transfor- pengedaran obat terlarang dan seba-
masinya, juga perhatian pada sistem sosial gainya. Bambang Purwanto melakukan
di kota. Kota sebagai sebuah sistem sosial kajian tentang kekerasan di Kotagede
menunjukkan kekayaan yang tak pernah Yogyakarta. Dia berangkat dari penentan-
habis sebagai bidang kajian. Kegiatan gan terhadap mitos bahwa Yogyakarta,
masyarakat kota seperti kegiatan domes- berkebalikan dengan di Solo, adalah kota
tik, agama, politis, dan hubungan antar yang damai, dimana kekerasan hanya di-
warga secara struktural antara lembaga- lakukan oleh orang luar. Ini dibuktikan
lembaga masyarakat, hubungan kategori- pada akhir periode kolonial dan jaman
kal antara kelompok-kelompok etnis, Jepang dimana penduduk Kotagede mulai
status dan kelas, dan bahkan hubungan kehilangan solidaritas sosial, kesabaran,
personal antara sesama warga kota men- dan tidak terkontrol. Akibatnya mereka
jadi bahan kajian tersendiri. Secara me- cenderung menjadi brutal. Cukup banyak
todologis bahan utamanya adalah ban- yang dipukuli bahkan dibunuh karena di-
yaknya tulisan-tulisan di surat kabar, ma- curigai atau dituduh mencuri makanan,
jalah, dan buku-buku sastra. Juga ke- pakaian dan termasuk barang-barang yang
mungkinan mengadakan penggalian sum- tidak berharga. Soal kekerasan juga dikaji
ber melalui sejarah lisan menjadi sangat oleh Aminuddin Kasdi di kota Surabaya,
membantu. dengan munculnya kelompok bersenjata
Dalam kajian perkotaan, akan seperti Polisi Istimewa, Badan Keamanan
92
10
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
93
11
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
94
12
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
95
13
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
alun kota di Malang dan juga makna pada soal hal yang dinamis, tidak pasti, dan
gedung Societeit Concordia. Tema lainnya berubah dalam hubungan politik, sosial,
seperti simbolisme etnis China dengan ekonomi, dan bahkan budaya. Dalam
perhatian pada restaurant dan makanan kompleksitas hubungan inilah etnisitas
China. Juga bagaimana citra kota Palem- menjadi bagain penting dalam menga-
bang terbangun atas sejarah pengeboran nalisa persoalan yang berhubungan den-
minyak di wilayah Plaju sejak masa colo- gan sejarah perkotaan.
nial Belanda. Dan seperti apa bangunan Satu kajian etnisitas dan hubun-
ibadah, khususnya gereaja menjadi bagian gannya dengan perkotaan misalnya se-
penting dari pembangunan simbolisasi mentara ini dilakukan oleh Tanjung
kota Manado. (2011), yang melihat bagaimana pengaruh
perubahan ekonomi dan politik terhadap
Etnisitas dan Perkotaan munculnya kesadaran identitas etnis di
Soaletnisitas sesungguhnya bukan hal perkotaan Sumatera, dan ini juga di-
baru dalam hubungannya dengan realitas hubungkan dengan bagaimana perumaba-
perkotaan, mungkin etnisitas sudah men- han dominasi politik dan juga penguasaan
jadi bagian tak terpisahkan tumbuhnya atas ruang kota. Sebagai suatu kajian se-
banyak kota-kota, termasuk di Indonesia. jarah, maka penelitian ini tetap memper-
Persoalannya dalam waktu yang lama ka- hatikan suatu proses waktu dan juga
jian atas persoalan etnisitas hanya semata rezim turut mempengaruhi terhadap kesa-
dimaknai sebagai suatu elemen pertumbu- daran etnis hingga pengaruhnya pada ben-
han perkotaan, tanpa belum melihat per- tuk dan penataan ruang kota. Dalam kon-
soalan etnisitas atau kesukuan dalam teks ini persoalan etnisitas dilihat lebih
hubungan dengan perkotaan dalam hal- jauh tidak semata-mata sebagai suatu vari-
hal yang kompleks dan bervariasi, atau able perkembangan kota. Tapi etnisitas
menggunakan pendekatan-pendekatan misalnya dimaknai sebagai suatu persoa-
interdisiplin yang lebih luas. Ataukah mis- lan perbedaan budaya dan dalam proses
alnya melihat persoalan etnisitas di perko- identifikasinya selalu melibatkan proses
taan dengan menghubungkan pada per- dialektika antara persamaan dan perbe-
soalan-persoalan sosial, ekonomi, perkem- daan. Etnisitas adalah sesuatu yang di-
bangan ruang kota, kekerasan, lahirnya miliki bersama, seperti budaya yang dipro-
budaya dan seni, atau perkembangan ar- duksi dan direproduksi dalam proses in-
sitektur perkotaan. Misalnya seperti yang teraksi, serta etnisitas sebagai sebuah iden-
dilakukan oleh Hannerz (1983) pada kota- tifikasi baik secara kolektif maupun indi-
kota di Afrika. Namun akhir-akhir ini per- vidu yang dieksternalisasi dalam interaksi
soalan etnisitas juga sudah jauh lebih sosial dan kategorisasi terhadap orang
maju dipergunakan sebagai kerangka pikir lain, dan diinternalisasi ke dalam identifi-
dalam mengungkapkan berbagai realitas kasi perorangan. Berdasar asumsi-asumsi
perkotaan. Situasi ini lahir karena kesada- dasar inilah yang dikembangkan untuk
ran bahwa ruang dan etnisitas, termasuk melihat lebih komplek tema etnisitas dan
identitas saling mempengaruhi atau jalin hubungannya dengan sejarah perkotaan.
menjalin. Kesukuan adalah merupakan
fenomena yang adaptif dan dalam mere- Kehidupan Sehari-hari dan Gaya Hidup
spon situasi yang berubah batasan-batasan Tema perkotaan tentang gaya hidup
kolektivitasnya dapat meluas, bahkan masyarakatnya memang merupakan sum-
orang atau sebahagian orang dapat keluar bangsih terbaru para peneliti sejarah.
dan masuk dalam lebih dari satu komuni- Gaya hidup masyarakat urban dapat dili-
tas. Dengan demikian soal etnisitas adalah hat dari fermorma budaya seperti dalam
96
14
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
berpakaian tetapi juga dari orientasi kul- makanan dan cara penyajian, tata ruang
tural masyarakat terhadap munculnya tempat tinggal, dan pola pengasuhan
lembaga-lembaga sosial baru yang anak.
memiliki asosiasi dengan gaya hidup mod- Perhatian pada pakaian, mode
ern yang rasional. Ratna Nurhajarini meli- pakaian, dan gaya berpakain menjadi per-
hat di Yogyakarta adanya perubahan gaya hatian tersendiri dalam melihat karakter-
berpakaian tidak saja berhubungan den- istik kehidupan di perkotaan. Seperti yang
gan kemodernan, tetapi juga menggam- dilakukan oleh Dwi Ratna (2010) yang
barkan transisi dalam memahami diri, membahas tentang gaya pakaian perem-
masyarakat, dan negara. Pakaian juga puan di kota Yogyakarta pada periode
mencerminkan sejarah, hubungan kekua- awal abad ke-20. Menurut Ratna, ber-
saan, perbedaan pandangan sosial politik pakaian bukan sekedar memenuhi kebutu-
dan religi, serta menunjukkan adanya han biologis untuk melindungi tubuh dari
persebaran komoditi dagang dan ide- panas, dingin, dan gangguan binatang,
idenya.perempuan juga berkaitan dengan tetapi juga terkait dengan adat istiadat,
kosmopolitanisme gaya hidup perkotaan pandangan hidup, peristiwa, kedudukan
yang membutuhkan representasi- atau staus, dan juga identitas. Terlihat
representasi, dan perempuan adalah adanya transformasi gaya berpakaiandi
subyek yang dapat membawakan repre- Yogyakarta selama periode ini, dimana
sentasi atau simbol kosmopolitanisme itu. pada awalnya kota Yogyakarta telah men-
Fenomena citra perempuan dalam iklan, jadi kiblat dalam tata cara berpakaian
dalam kontes kecantikan dan sebagainya menurut adat Jawa, yakni tradisi kraton,
melahirkan asosiasi perempuan dengan namun mengalami perubahan mengikuti
produk-produk dan juga gaya hidup kos- perubahan dan masuknya ide-ide kema-
mopolit. juan yang baru. Kesempatan dan peluang
Dalam kategori ini, bisa dimasuk- bagi perempuan dalam mengekspresikan
kan juga tentang kajian atau penulisan diri juga bertambah dan bahkan
sejarah perempuan yang sering disebut- cenderung menampilkan kesan yang ke-
sebut belum mendapat perhatian luas oleh barat-baratan.
para penulis dan peneliti sejarah.
Karenanya kajian Mutiah Amini men- CATATAN AKHIR:
genai kehidupan perempuan di kota Sura- ASA PENULISAN SEJARAH KOTA:
baya menjadi sesuatu yang penting. MODERNITAS PERKOTAAN
Dalam tulisan ini diungkapkan bagaimana Kota-kota di Indonesia bagaimanapun
perempuan Surabaya dalam realita ke- merupakan perwujudan kompleksitas ber-
hidupan yang sedang berubah, dengan bagai bidang; sosial, politik, ekonomi,
beberapa topik perhatian seperti per-nyai-- maupun kebudayaan yang terus bergerak
an dan prostitusi, pernikahan dini hingga dan juga merespon perubahan zaman.
monogami, dari Sekolah Rakyat dan Se- Kota-kota di Indonesia bergerak menuju
kolah Kartini, tentang aktivitas domestik sebuah identitas baru meninggalkan iden-
dan dunia kerja, serta tentang arena sosial titas lamanya secara terus menerus. Pe-
budaya dan arena politik. Pengungkapan rubahan ini hasil dari aplikasi modernisasi
lebih jauh tentang gaya hidup perempuan yang mulai bergulir sejak awal abad ke-20.
yang semakin terbuka, yang melihat ten- Kosmopolitanisme yang mengasosiasikan
tang bagaimana mode pakaian dan perhi- diripada benda-benda simbol modernitas
asan, pemilihan tata rambut dan tata rias telah menjadi orientasi baru masyarakat
wajah, tentang olahraga, pemeliharaan perkotaan. Pembangunan infrastruktur
kesehatan, dan hiburan, hingga jenis dan fisik kota pun disesuaikan untuk me-
97
15
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
98
16
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
tual dan teoritis yang memadai, bahkan suk melalui konsep modernitas. Modern,
cenderung hanya mendeskripsikan atau modernisasi, modernism, dan juga moder-
menggambarkan suasana dan kondisi nitas adalah suatu konsep sejarah dan
yang ada pada obyek kajiannya. Kedua, menjadi alat baca dalam mengurai kom-
Usaha yang lebih maju dari kondisi itu pleksitas itu dalam rentang waktu yang
adalah beberapa tulisan telah mencoba ada. Harapan kapan makna modernitas
melangkah dari hanya mendeskripsikan, ini merupakan usaha untuk menjelaskan
tapi telah mengungkapkan kompleksitas lebih beragam atas kenyataan sejarah per-
pada objek yang dikajinya, misalkan kotaan di Indonesia.
struktur masyarakat dan kota yang kom-
pleks atau relasi-relasi yang saling berkait, DAFTAR PUSTAKA
namun itu semua juga dibangun dengan Kota Prasejarah
masih minim mempergunakan asumsi- Claude Guillot. 2005. Lobu Tua. Sejarah
asumsi dasar teoretis dari suatu pendeka- Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor
tan atau paradigma. Ketiga, usaha yang Indonesia.
lebih menggembirakan adalah munculnya
Claude Guillot. 2008. Barus Seribu Tahun
tema-tema tentang sejarah kota yang lebih
yang Lalu, Jakarta: KPG.
kreatif, misalkan soal simbolisme perko-
taan, identitas kota, gender dan perko- Irfan Mahmud. 2009. Kota Kuno Palopo.
taan, budaya popular perkotaan, ke- Tinjauan Prasejarah Perkotaan.
hidupan sehari-hari warga kota, dan lain- Makassar.
lain. Menariknya bahwa bukan saja tema
yang menjadi lebih beragam dan kreatif, Kota Tradisional
tetapi penelitian sejarah atas tema-tema Darsiti Soeratman. 2000. Kehidupan Dunia
ini telah mempergunakan pendekatan- Keraton Surakarta 1830-1939. Yogya-
pendekatan teoretis, dan sarat dengan karta: Yayasan Untuk Indonesia.
konsep-konsep interdisiplin, seperti teori-
Inajati Adrisijanti. 2000. Arkeologi Perko-
teori antropologi, sosiologi, ekonomi,
taan Mataram Islam. Yogyakarta:
politik, lingkungan, hingga pendekatan
ilmu arsitektur. Penerbit Jendela,
Perkembangan kota sejak awal
abad ke-20 hingga saat ini telah men- Kota Kolonial
galami perkembangan yang sangat pesat F. de Haan, Oud Batavia, Batavia: Kolff,
dengan kompleksitas elemen dan perma- 1922-1923.
salahan perkotaan yang muncul. Kota ti- Karyono. 2002. “ Kota Salatiga: Studi ten-
dak sesederhana pada waktu dulu lagi, tang Perkembangan Kota Kolonial
tapi kompleksitas dalam berbagai bidang 1917-1942”. Yogyakarta: Tesis
memerlukan metode dan pisau analisa
Magister Ilmu Sejarah, Program
yang bisa menelusuri dan mengungkapkan
Pascasarjana Universitas Gadjah
bagian-bagian atau strukturnya hingga
Mada. Susanto T. Handoko. 2002.
pada yang terkecil, dan juga menampilkan
makna dibalik apa yang mudah terlihat. “Kriminalitas di Semarang 1906-
Karenanya tuntutannya bisa berupa 1942. Suatu masalah sosial perko-
menghadirkan relasi struktural yang ka- taan pada masa kolonial”. Yogya-
dang rumit. Salah satu perhatian saya dis- karta: Tesis Magister Ilmu Sejarah,
ini adalah untuk mencoba memberi per- Program Pascasarjana Universitas
hatian pada persoalan kota dan masyakat- Gadjah Mada.
nya yang semakin kompleks dengan ma- E.A. Sutjipto Tjiptoatmojo. 1983. Kota-
99
17
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
100
18
Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), Okt 2017
Budaya Perkotaan
Kees Grijns and Peter J.M. Nas (eds.).
2000. Jakarta-Batavia: Socio-cultural
essays, Leiden: KITLV Press.
Djoko Soekiman. 2000. Kebudayaan Indis
dan Gaya Hidup Masyarakat Pendu-
101
19