Anda di halaman 1dari 36

SEJARAH PERKEMBANGAN KOTA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Geografi Perkotaan

Disusun Oleh :

KELOMPOK 2

Auliya Ramadhani Guswara 1402617020


Dwi Indriani 1402617021
Handika Obi Nugroho 1402617078
Lathifa Mia Zulfani 1402617081
Pratiwi DigdaWijaya 1402617026

Dosen Pengampu: Dra. Dwi Sukanti Lestariningsih, M.Si.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah dengan judul Sejarah Perkembangan Kota ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Geografi Perkotaan. Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah kami menyampaikan rasa hormat
dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan
dan dorongan kepada kami dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, terutama kepada:

1. Dra. Dwi Sukanti Lestariningsih, M.Si., selaku Dosen Mata Kuliah Geografi Perkotaan,
Program Studi Pendidikan Geografi Universitas Negeri Jakarta.
2. Teman-teman Mahasiswa yang telah memberikan bantuan dan saran dalam penyusunan
laporan ini.
3. Pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, atas semua bantuannya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik bentuk, isi,
maupun penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai
pihak, kami terima dengan tangan terbuka. Semoga kehadiran makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 26 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

2.1 Sejarah Terbentuknya Kota 3

2.2 Faktor-Faktor Pembentuk Kota 7

2.3 Periode Pertumbuhan Kota 8

2.3.1 Kota Zaman Kuno 8

2.3.2 Kota Zaman Pertengahan 8

2.3.3 Kota Zaman Modern 10

2.4 Perkembangan Kota di Indonesia 14

2.4.1 Kota Sebelum Tahun 1400-an 15

2.4.2 Kota Antara Tahun 1400-1700-an 15

2.4.3 Kota Antara Tahun 1700-1900-an 17

2.4.4 Kota Setelah Tahun 1900-Sekarang 18

2.4.5 Sebaran Perkembangan Kota di Indonesia 20

a) Perkembangan Kota Jakarta 20

b) Perkembangan Kota Bogor 21

c) Perkembangan Kota Bekasi 22

d) Perkembangan Kota Makassar 23

iii
e) Perkembangan Kota Jayapura 25

BAB III PENUTUP 26

3.1 Kesimpulan 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 28

a) Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan di Jawa 28


b) Karakteristik Struktur Kota Dan Pengaruhnya Terhadap
Pola Pergerakan di Kota Medan 29
c) Sejarah Perkotaan: Sebuah Tinjauan Historiografis Dan Tematis 30
d) Pengaruh Kolonialisme Pada Morfologi Ruang Kota Jawa
Periode 1600-1942 31
e) Tinjauan Perencanaan Kota Abad Pertengahan 32

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kota merupakan pusat berbagai aktivitas ekonomi, perdagangan maupun pendidikan,
sehingga memberikan konsekuensi bahwa sebagian besar kegiatan manusia berada di
perkotaan, bahkan menjadikan semakin banyaknya pendatang yang menambah permasalahan-
permasalahan kota sehingga menjadi makin kompleks. Kota merupakan suatu sistem jaringan
kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata
ekonomi yang heterogen dan bercorak materialistis atau dapat pula diartikan sebagai bentang
budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejalagejala
pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan
materialistis dibandingkan dengan daerah dibelakangnya (Bintarto, 1977).
Kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang
mendominasi tata ruang dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan
warganya secara mandiri yang merupakan kompleksitas aspek fisik dan sosial. Keduanya
mempunyai sifat yang dinamis sehingga dapat mengalami perubahan dengan cepat yang
menimbulkan permasalahan baik bagi warga perkotaan dan pemerintah yang mengelola kota.
Seiring perkembangan jaman kota menjadi suatu pusat dari berbagai kegiatan yang
memiliki bangunan infrastruktur yang lebih maju dibandingkan dengan wilayah desa. Banyak
penduduk dari desa yang melakukan perpindahan menuju kota dengan berbagai alasan, seperti
untuk mencari lapangan pekerjaan. Kondisi sosial yang demikian membuat kota semakin
menjadi tujuan utama bagi warga perdesaan. Setiap individu berharap mendapatkan
penghidupan yang lebih layak apabila berada di kota, tetapi kota tidak menjamin hal tersebut.
Pertambahan penduduk yang meningkat dengan pesat ini menimbulkan berbagai permasalahan
perkotaan.
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan perumahan beserta
kelengkapan utilitas dan fasilitas meningkat pula sehingga ketersediaan lahan terbuka semakin
berkurang berbanding terbalik dengan pertambahan penduduk. Kepadatan jumlah penduduk
yang tinggi di wilayah perkotaan membuat penambahan lokasi permukiman menjadi tidak
terkendali dan tidak tertata dengan baik. Adanya tindakan demikian mengakibatkan pengaruh
pada kualitas hidup.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
a) Bagaimana sejarah terbentuknya kota?
b) Apa faktor-faktor pembentuk kota?
c) Bagaimana pertumbuhan kota di zaman kuno, pertengahan, dan zaman modern?
d) Seperti apa perkembangan kota di Indonesia sebelum tahun 1400-an hingga kini?

1.3 Tujuan Penulisan


Dari rumusan masalah diatas, tujuan penulisan dari makalah ini yaitu :
a) Mengetahui sejarah terbentuknya kota.
b) Mengetahui faktor-faktor pembentuk kota.
c) Menjelaskan pertumbuhan kota di zaman kuno, zaman pertengahan, dan zaman modern.
d) Menjelaskan serta menggambarkan perkembangan kota di Indonesia mulai dari sebelum
tahun 1400-an hingga saat ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Terbentuknya Kota


Terbentuknya sebuah kota yang berada di suatu negara biasanya bervariasi, tetapi memiliki
inti yang sama. Terbentuknya kota juga bisa dikatakan dengan diawali sebuah tempat
pertemuan antara penduduk sebuah desa dengan penduduk di sekitar desa itu baik untuk
transaksi keperluan hidup, tempat pengumpulan barang, atau tukar menukar barang. Lama-
kelamaan ada yang bermukim di sekitar tempat itu dan kemudian pemukiman itu menjadi
semakin besar. Berdatangan pula penduduk dari daerah sekitar ke tempat itu yang kemudian
membentuk sebuah kota atau bahkan menjadi kota besar. Perubahan ini kemudian membentuk
beberapa aspek untuk kehidupan kota yang lain dengan suatu perencanaan pada lahan kosong
dimana lahan kosong ini dibangun dengan tujuan tertentu seperti untuk membangun kota
industri, kota sebagai pusat pemerintahan, atau kota dagang.
Kota merupakan hasil peradaban manusia dimana peradaban ini mengalami sejarah
pertumbuhan, perkembangan kemudian menjadi kota besar kemudian kota ini yang
menunjukkan pula dinamika masyarakat/manusia. Sebagai gambaran, di Indonesia dahulu
pernah terdapat kerajaan seperti Kerajaan Majapahit serta Kerajaan Sriwijaya, kerajaan ini
dahulunya memiliki pusat pemerintahan yang sekaligus sebagai kota/kota besar. Setelah masa
kejayaan itu berangsur surut, memudar atau bahkan ada yang secara tiba-tiba hancur atau
runtuh oleh peristiwa sejarah seperti perang atau bencana alam sehingga menyebabkan suatu
kota yang terbentuk dari masa kerajaan itu menjadi hilang.
Kota dapat terbentuk sejak terjadinya kerumunan tempat tinggal manusia yang relatif padat
pada suatu kawasan tertentu dibanding dengan kawasan disekitarnya. Kawasan yang disebut
kota penduduknya bukan bermata pencaharian yang berkaitan langsung dengan alam,
melainkan di bidang pemerintahan, industri, dan jasa sehingga lebih menunjukkan bahwa kota
terbentuk melalui suatu proses. Tipe kota terbagi atas kota kuno, kota pra-industri, kota
industri, kota modern, kota post-modern, kota global, dan kosmopolitan. Kota Kuno
merupakan pengertian kota yang paling sederhana. Di kota kuno ini didapati pada gua-gua, di
lembah-lembah atau tempat berlindung, beberapa jalur tepi sungai yang letaknya strategis
dimana menjadi cikal bakal terbentuknya kota. Ciri utama kota ini adalah mata pencaharian
penduduknya non-agraris dan penduduknya memiliki pekerjaan dan kebutuhan yang relatif

3
heterogen. Di kawasan kota kuno ini juga dapat ditemui prasarana dan sarana umum serta
beberapa pusat pemerintahan yang hidup dengan nilai-nilai tertentu. Pada kota kuno ini,
kotanya mulai terbentuk pada tahap pastoral/tahap menetap. Tahap-tahap perkembangan
manusia sendiri dimulai dari hunting and fishing, pastoral, agricultural, handicraft, dan
industrial.
1. Kota Praindustri
Kota Praindustri merupakan kota yang lebih berkembang dari kota kuno dimana kota ini
telah memiliki ciri seperti tahap agricultural yang menonjol sehingga penduduk mulai
mengenal teknik bertanam yang baik. Perpindahan penduduk juga mulai terlihat,
kebutuhan dikota semakin beragam dengan berdatangannya kelompok masyarakat ke kota
maka pemukiman dikota semakin menonjol serta pembangunan fisik dan prasarana kota
pada kota ini menjadi lebih teratur dan meluas. Pola perkotaan di kota pra-industri memiliki
gejala yang biasa ditemui 4 pusat kegiatan seperti pusat pemerintahan, ruang publik
(tempat masyarakat berinteraksi), tempat beribadah, pasar tradisional (tempat distribusi
barang dari desa ke kota atau sebaliknya), dan tempat pemenuhan barang-barang
kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat desa dan kota. Keempat pusat kegiatan ini letaknya
relatif berdekatan dan itu merupakan kegiatan pokok dari suatu kota praindustri. Pada masa
ini status seseorang didasarkan pada keturunan/ascribed status, seseorang yang dilahirkan
dari kelompok bangsawan, serta merta ia memiliki status sebagai bangsawan. Dikarenakan
status dan strata sangat kuat dipertahankan oleh masing-masing kelompok strata maka pola
pemukiman masyarakat kota pra-industri ini cenderung berkelompok-kelompok
(pengelompokan berdasarkan status, etnis/suku bangsa, dan ragam pekerjaan).
2. Kota Industri
Kota Industri merupakan kota yang lebih berkembang dari kota pra-industri. Kelahiran
dunia industri di kota ini memerlukan banyak tenaga kerja baik tenaga terampil tingkat
atas, menengah, maupun kasar. Teknologi mulai berkembang dan pusat-pusat industri yang
bertebaran di kota, sehingga lebih menunjukkan adanya surplus kapital pada masyakarat
dan mereka memiliki kemampuan dalam pengumpulan modal untuk mendirikan suatu
industri. Kota industri lahir karena masyarakat kota memiliki surplus tertentu dimana
surplus ini tidak hanya surplus kapital tetapi juga teknologi, sumber daya manusia, dan
manusia. Pola pemukiman di kota industri ini tidak memiliki keteraturan sehingga

4
menyebabkan penataan kota berjalan lambat. Pada kota ini kegiatan industri sangat
menonjol, sistem kemasyarakatan agraris berubah menjadi industris. Sistem ekonomi
natural berganti menjadi kapital dan pada masa perubahan yang drastis ini menyebabkan
kota mengalami kekacauan fisik dan manajemen.
3. Kota Modern
Terbentuk setelah adanya masa industrialisasi pada abad 17. Adanya pengaruh ini
menyebabkan munculnya semangat revolusi industri dan menumbangkan kekuasaan raja
yang absolut. Kemenangan rakyat/penduduk atas raja ini menandai perhatian teknologi dan
ilmu pengetahuan untuk kepentingan rakyat banyak. Sistem pemerintahan pada masa ini
berubah dari sistem kekuasaan absolut ke bentuk baru yang lebih berpihak pada rakyat
seperti sistem demokrasi, sistem pemerintahan republik, atau federal. Pada kota ini, sisi
negatif pada masa kota industri diatasi dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan etika. Kota
Post-Modern modernisasinya lebih berkembang lebih lanjut dimana teknologi dan ilmu
pengetahuan diartikan kembali. Masyarakat lebih menghargai nilai pluraritas, munculnya
ide-ide baru, teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang lebih canggih, beragam, dan
digunakan untuk kegiatan seolah diluar pikiran masyarakat awam sebelumnya. Kota post-
modern memiliki tingkat globalisasi yang tinggi, interaksi dan kerja sama yang saling
menguntungkan dapat terjadi dengan kota yang lain dan kota post-modern ini diisi dengan
era informasi, jasa, dan pelayanan. Kebutuhan hidup dipenuhi secara teknologis dan
komputerisasi yang canggih.
4. Kota Global
Kota Global bisa dikatakan merupakan suatu kota dimana masyarakatnya memiliki
kebiasaan untuk melakukan relasi dengan kota lain antarnegara. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pesat di dunia berakibat semakin pesatnya perkembangan
teknologi dan penemuan-penemuan dalam berbagai bidang dan skala yang diperkenalkan
pada dunia. Kota global memiliki kekuatan politik, menduduki posisi nasional dan
internasional, perdagangan dunia, dan organisasi perusahaan tingkat dunia. Aktivitas
tertentu mewarnai kota di bidang sosial dan ekonomi yang menunjukkan status sebagai
pusat-pusat aktivitas yang profesional dan potensi kota yang satu sering berdampak pada
kota yang lain diantara dua negara atau lebih. Ciri kota global yaitu sebagian
masyarakatnya dalam pemenuhan kebutuhan tidak selalu berorientasi pada kotanya sendiri.

5
Masyarakat ini juga harus siap menerima kedatangan orang asing dengan segala potensi
yang dimiliki kota itu, jadi interaksi yang bersifat timbal balik dibutuhkan untuk mencapai
status sebagai kota global.
5. Kota Kosmopolitan
Kota Kosmopolitan merupakan kota yang masyakaratnya memiliki pandangan alam secara
utuh menyeluruh. Kota kosmopolitan terbentuk dengan prasyarat tertentu, yaitu
penduduknya mampu menghargai dan menghormati keanekaragaman alam beserta isinya.
Masyarakat kosmopolitan akan menjaga secara seimbang antara keperntingan dirinya
dengan kepentingan msyarakat. Ada kecenderungan masyarakat kosmopolitan merupakan
kelompok bangsawan baru, dimana kelompok ini memiliki tujuan hidup yang mapan serta
menjaga citra. Gejala kosmopolitan tampak pada dominasi individu-individu penduduk
kota yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi dan pemilikan industri berskala
besar. Teknologi di era ini berkembang lebih jauh dan kota ini adalah kota dengan
kebutuhan desain yang bersifat neo-universal (modernisme yang disentuh dengan seni
modern). Budaya dan seni lokal yang bersifat agraris-religius di masa ini akan ditinggalkan
apabila tidak disertai inovasi atau dijaga keasliannya. Kosmopolitan sendiri merupakan
akomodasi peradaban dari post-modernisme yang tumbuh secara linier, liar, dan tak
terkendali. Kota ini merupakan kota masa depan yang masih merupakan impian, dimana
kota berusaha ditata secara sempurna. Namun, pada awalnya kota ini masih dihantui
dengan masalah kesenjangan sosial ekonomi antar negara satu dengan yang lain, antara
kota satu dengan yang lain.
Kota juga mampu dikatakan sebagai suatu tempat pertemuan yang berorientasi keluar.
Sebelum kota menjadi tempat pemukiman yang tetap, awalnya sebagai suatu tempat orang
pulang-balik untuk berjumpa secara teratur sehingga memiliki kemudian menimbulkan daya
tarik para penghuni yang ada diluar kota untuk mengadakan kontrak, memberi dorongan untuk
kegiatan rohaniah dan perdagangan, serta kegiatan lain yang memiliki dinamika yang berbeda
dengan keadaan di desa. Kota juga sebagai pusat pemerintahan pada umumnya banyak
dijumpai pada zaman sebelum revolusi industri. Kebanyakan kota ini merupakan kota lama
bekas kerajaan yang mampu bertahan sebagai ibukota sampai pada zaman modern, kemudian
pada zaman modern, kota menjadi pusat industri, produksi, dan jasa. Pada dasarnya kota
terbentuk karena diikuti dengan kepadatan penduduknya. Penyebab kepadatan penduduk

6
terjadi karena ada aktivitas tertentu yang menyebabkan orang-orang berdatangan. Kota dapat
dipandang sebagai suatu gaya hidup, kota juga memungkinkan penduduknya berkontak
dengan orang asing, mengalami aneka perubahan yang pesat, dan perubahan mobilitas sosial.
Kota sendiri baru akan muncul ketika terdapat suatu kelebihan yang berada di daerah
pedalaman, tetapi terbentuknya menjadi sebuah kota yang “baru” haruslah mengalami
perkembangan teknologi untuk menghasilkan sarana transportasi. Setelah kota baru itu berdiri,
barulah kota itu mampu memberikan jasanya kepada wilayah yang lain.

2.2 Faktor-Faktor Pembentuk Kota


Dalam konteks ruang, kota merupakan suatu sistem yang tidak berdiri sendiri. Secara
internal kota merupakan satu kesatuan sistem kegiatan fungsional didalamnya, sementara
secara eksternal, kota dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya (Pontoh, 2009:5). Struktur kota
adalah tatanan beberapa bagian yang menyusun suatu kota yang menunjukkan keterkaitan
antar bagian. Penjabaran struktur kota membentuk pola kota yang menginformasikan antara
lain kesesuaian lahan, kependudukan, guna lahan, sistem transportasi dan sebagainya, dimana
kesemuanya berkaitan satu sama lain.
Unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota menurut Doxiadis dalam Pontoh (2009)
terbagi menjadi 4 unsur,antara lain :
1. Individu manusia (Antropos) dan Masyarakat (Society)
Di kota besar dengan kepadatan tinggi, terdapat perbedaan komposisi umur dan jenis
kelamin, dalam struktur pekerjaan, dalam pembagian tenaga buruh dan struktur sosial. Hal
ini memaksa manusia untuk mengembangkan karakteristik yang berbeda sebagai
individual, kelompok, unit dan komunitas.
2. Ruang kehidupan (Shells)
Ruang kehidupan dari perumahan perkotaan memiliki banyak karakteristik meskipun
ukurannya bervariasi. Semakin besar ukuran perumahan, semakin internasional
karakteristiknya; sementara semakin kecil ukurannya semakin dipengaruhi oleh faktor-
faktor lokal.

7
3. Jaringan (Network)
Salah satu cara paling mendasar untuk menggambarkan struktur permukiman adalah
berhubungan dengan jaringan dan terutama sistem sirkulasi – jalur transportasi dan titik-
titik pertemuan (nodal point).
4. Alam (Nature)
Keadaan permukiman perkotaan berbeda dengan permukiman pedesaan. Lansekap yang
ada biasanya lebih luas dan berlokasi di daerah dataran, dekat dengan danau, sungai atau
laut dan dekat dengan rute transportasi.
Unsur pembentuk struktur tata ruang kota dapat pula dipahami secara persepsional.
Menurut Lynch dalam Pontoh (2009) melihat adanya lima unsur pembentuk citra kota, yaitu
path (jalanan), edge (perbatasan), district (kawasan), node (simpangan), dan landmark
(tengeran).

2.3 Periode Pertumbuhan Kota


2.3.1 Kota Zaman Kuno
Banyak kota kuno berkembang di tepi-tepi kumpulan air (danau dan sungai) yang
dapat menyokong kehidupan. Pada masa 3000 tahun sebelum Masehi, telah muncul
peradaban di lembah Mesopotamia (dataran di antara sungai Tigris dan Efrat) di Timur
Tengah, di tepi Sungai Nil, Mesir, dan di lembah Sungai Indus. Selain itu, peradaban juga
muncul di lembah Sungai Kuning. Perkembangan pertanian menghantarkan manusia pada
pendirian kota-kota pertama di dunia. Kawasan tersebut merupakan pusat perdagangan,
pabrik, dan kekuatan politik yang hampir tidak menghasilkan pangan dengan sumber daya
sendiri.

2.3.2 Kota Zaman Pertengahan


Dua peradaban besar (Yunani Kuno dan Romawi Kuno) sebelumnya mengajarkan
beberapa konsep perancangan kota, diantaranya adalah sistem zoning, public parks, public
goods, dan estetika bangunan. Pada zaman ini diajarkan konsep-konsep lanjutan seperti
konsep public service, hal ini ditandai dengan didirikannya beberapa rumah sakit gratis.
Jalan-jalan tidak ada yang berlubang. Begitu pula dengan public place dan public service
lainnya yang sangat diperhatikan. Environment for landscape berubah menjadi

8
environment for people. Tidak berbeda dengan dua peradaban sebelumnya, estetika
bangunan juga dipelihara meskipun tidak semegah arsitektur Yunani Kuno dan Romawi
Kuno. Pada zaman ini mulai muncul seni sehingga kota lebih artistik, tokoh perancang
yang terkenal antara lain Leonardo da Vinci dan Michelangelo. Zaman ini juga mulai
dikenal beberapa konsep pembiayaan pembangunan yang adil dengan menarik pajak
kepada masyarakat dan mendistribusikannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk
pembangunan, penyediaan public service dan public goods. Perancangan kota tidak hanya
berkembang secara fisik tetapi juga non-fisik, terutama dalam bidang government dan
finance.
Zaman abad pertengahan berakhir yang ditandai dengan perkembangan Islam di
Eropa (jatuhnya Kota Kontatinopel) dan penemuan bubuk mesiu dari China, dimulailah
zaman Eropa baru yang dikenal dengan zaman Renaissance. Awal periode ini dimulai di
kota-kota Italia, seperti Venesia, Genoa, dan Florence sejak runtuhnya ajaran feodalism
pada abad ke-14 Masehi dan menyebabkan semakin kecil jumlah anggota dewan gereja,
kastil, dan penguasa sistem pertanian yang otonom. Kekuatan penguasa kota tergeser oleh
komunitas para bangsawan dan para pedagang, hal ini mengakibatkan sistem perdagangan
antar kota berkembang begitu pesat. Selain itu berkembang pula kota-kota dengan pusat-
pusat tertentu, seperti pusat militer, pertambangan, dan judi.
Pembangunan kota zaman Renaissance dikembangkan dengan perencanaan
sismatis yang ideal, dengan perhitungan matematika rasional, sehingga menimbulkan
gerak yang statis. Manusia menjadi patokan dan ukuran proporsi bangunan. Pada periode
ini ditemukan pertama kali metode gambar dengan menggunakan perspektif. Selain itu
dikembangkan konstruksi segi lima sisi atau pontagram yang dibatasi oleh titik-titik
potong, menunjukkan proporsi Polongan Kencana, dikonstruksikan sebagai bintang.
Denah Kota Palmolova yang dirancang oleh arsitek Scamozzi (1552-1616) yang
dibuat dengan skema berbentuk bintang segi sembilan yang betul-betul simetris
mempunyai banyak kelebihan. Skema sama sekali tidak berubah walaupun telah
mengalami perkembangan selama ratusan tahun, hal ini disebabkan karena skema dasar
yang ideal, sehingga dalam perkembangannya skema ini tetap aktual.
Zaman abad pertengahan, pembuatan bangunan suci dan bangunan umum betul-
betul dipisahkan. Pada zaman Renaissance pembangunan bangunan umum sama

9
pentingnya dengan pembangunan istana. Kekayaan milik keluarga dijadikan barang
pameran untuk mendapatkan popularitas. Gaya Renaissance yang menekankan
kesederhanaan yang seimbang adalah gaya arsitektur yang dibuat menurut teori bahwa
badan bangunan harus berbentuk kubus melebar. Menempatkan halaman/taman di bagian
tengah bangunan, bentuk luar bangunan dibuat dengan aturan yang sesuai dengan tuntutan
keseluruhan. Zaman Renaissance, manusia dianggap mampu mengelola alam semesta dan
manusia dapat menguasainya hanya dengan ilmu pengetahuan. Semakin banyak orang
yang menguasai bidang keilmuan mendorong timbul terjadinya revolusi industri.

2.3.3 Kota Zaman Modern


Pada sejarah perkembangan Kota Modern yang di mulai pada tahun 1960 dimana
pembangunan monumen dan bangunan berskala besar sebagai representasi pembentukan
bangsa baru dan ciri khas bangsa. Dan muncul kota Mega Urban yang terdiri dari sub
sistem-sistem yang saling bergantung, terlokalisir yang terdiri atas pusat-pusat kota,
metropolitan, daerah-daerah perluasan dan didalamnya terdapat berbagai macam bentuk
daerah yang bersifat alami, pertanian rekreasi yang dilintasi oleh jalan arteri. Dilanjutkan
pada tahun 1970-1980 dimana dilakukannya urbanisasi secara besar-besaran, dan proyek
yang dilakukan pada perumahan rakyat, serta penggusuran kaki lima. Hingga pada tahun
1990 pemerintah memberikan kesempatan kepada pihak swasta seingga terjadi penyebaran
kota secara pesat yaitu rencana pembangunan kota baru, kota satelit.
Reaksi terhadap permukiman pekerja dan permukiman satelit yang direncanakan,
dan terus dilanjutkan melalui konsepsi Garden City sebagai suatu inovasi untuk
memecahkan masalah permukiman kota-kota yang padat industri, dicetuskan pertama kali
oleh seorang reformis kemasyarakatan Bangsa Inggris, Ebenezer Howard.
Dasar falsafah Howard tentang kota baru adalah bahwa bagian-bagian dari kota
harus merupakan suatu organisme yang berkaitan satu sama lain serta ada pembatasan
fungsional, sehingga setiap perkembangan mempunyai kaitan dengan perkembangan kota
tersebut secara keseluruhan. Atas dasar falsafah inilah kemudian ia mengembangkan ide
Garden City yang prinsipnya mengembalikan manusia pada lingkungan permukiman yang
manusiawi, mengembalikan hubungan erat antara manusia dan lingkungan, meningkatkan
kualitas kehidupan secara bermasyarakat dan ekonomis.

10
Secara konseptual, ide Garden City ini didasarkan pada kenyataan yang perlu
diperbaiki, yaitu suatu kehidupan yang sudah dianggap tidak manusiawi di kota besar yang
mengutamakan kegiatan kerjanya di bidang industri. Keadaan permukiman pekerja pabrik-
pabrik khususnya, dilukiskan sebagai suatu lingkungan yang telah mengalami degradasi
drastis di segala bidang kehidupan dan penghidupan, yaitu degradasi kemasyarakatan dan
moral, degradasi lingkungan fisik dan degradasi kehidupan ekonomi. Keadaan inilah yang
kemudian dilihat oleh Ebenezer Howard sebagai suatu hal yang makin memperbesar
degradasi tersebut. Konsepsi Garden City bertitik tolak dari reaksi terhadap kemerosotan
kualitas dan kondisi kehidupan di kota besar akibat revolusi industri, maka untuk
mengembalikan lingkungan kehidupan baru yang dapat mengurangi kemerosotan
kehidupan di kota dan meyerap kegiatan usaha kota besar tersebut ke lingkungan baru di
sekitar kota besar. Dari pengertian kota yang dimasud dengan kota modern, maka kota
modern adalah kota yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Kota modern tempat hidup yang nyaman.
Hidup dikota modern menjadi impian semua orang, kota modern mampu menyuguhkan
daya tarik yang luar biasa. Sehingga banyak sekali orang tertarik untuk tinggal dan
hidup dikota modern. Kota modern sendiri memiliki standart kenyamanan yang tinggi,
dengan definisi nyaman yang berbeda – beda antara setiap orang. Tetapi kenyamanan
dapat dirasakan bersama apabila dalam segi layanannya sudah maksimal dan
menyeluruh. Dibawah ini beberapa persepsi nyaman yang mampu didefinisikan.
 Fasilitas yang baik dan lengkap.
Manusia modern memilih kota sebagai tempat tinggal, tempat hidup dan tempat
bekerja salah satunya dengan melihat fasilitas yang ada didalam kota tersebut,
infrastruktur yang melimpah dan mencukupi semua kebutuhan masyarakat
merupakan kenyamanan tersendiri bagi masyarakat tertentu. Fasilitas umum yang
memang dirancang dan dibentuk oleh pemerintah secara seragam dan menyebar
merupakan kebutuhan masyarakat yang mampu dipenuhi oleh pemerintah. Bentuk
kebutuhan – kebutuhan bersama ini dapat mendorong kelengkapan fasilitas suatu
kota. Kota modern mengunggulkan fasilitas lengkap dan perawatan yang baik
menjadi daya tarik tersendiri untuk orang bertempat tinggal dan hidup dikota itu.
Fasilitas yang lengkap tidak hanya pengaruh dari pemerintah, tetapi swasta dan

11
para ekonomian berperan dalam memenuhi fasilitas yang dibutuhkan karena
kepentingan yang berbeda – beda.
 Pekerjaan yang bergengsi.
Pada daerah perkotaan yang modern saat ini, memiliki area pekerjaan yang dekat
menjadi konsen tersendiri. Pekerjaan yang dekat dapat menimbulkan rasa aman
dan rasa tertarik terhadap kawasan tersebut, karena selain dapat mengefesienkan
waktu pekerjaan yang dekat juga dapat menimbulkan rasa semangat dan dapat
membawa keluarga untuk tinggal ditempat tersebut. Kota modern memberikan
gradasi pekerjaan yang berbeda – beda, sehingga terkadang kota memberikan
pekerjaan yang dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi dibanding desa atau
daerah semi kota. Perbedaan berdasarkan gengsi inilah yang menarik penduduk
untuk bekerja dikota, apalagi perbedaan gengsi ini mempengaruhi perbedaan
pendapatan yang signifikan. Sehingga orang – orang desa melakukan urbanisasi
yang malah akan membebani kota dalam kouta kota. Sebaiknya kota memang
harus menyediakan pekerjaan yang mempunyai gengsi tinggi, tetapi kota juga
harus mampu mengontrol urbanisasi.
 Terdepan dalam segala hal.
Kota selalu up to date terhadap teknologi terbaru, tetapi kota juga menerima info
terdepan baik positif ataupun negatif, hal ini yang membuat kota ditempatkan
sebagai tujuan nomor satu bagi barang – barang negatif ataupun nomer satu dalam
menerima infomasi. Kota memang seharusnya mutakhir terhadap apapun, tetapi
pada hakikat nya haruslah ada filter yang mampu membatasi kemutakhiran kota
ini. Kota ideal ataupun kota modern memiliki semua ini merupakan daya tarik dan
kekuatan yang dapat menjadi hal yang positif dan negatif. Dalam
perkembangannya kota menjadi wadah untuk semua kegiatan yang modern, baik
itu yang privat dan non privat. Secara khusus kota modern haruslah memiliki
teknologi yang mutakhir, fasilitas yang terbaru dan telengkap, visual yang artistic
dan memiliki daya jual, serta memiliki kerangka ilmu ekonomi terbaik dalam
penerapanya.

12
b) Paradigma kota modern sebagai kota nyaman.
Kota yang nyaman memiliki banyak pandangan terhadapnya, termasuk juga kota
modern, banyak sekali yang beranggapan kota modern adalah kota yang nyaman. Tapi
hl ini harus melalui pembuktian terlebih dahulu, sedangkan kota yang nyaman adalah
kota modern itu juga harus melalui pembuktian yang akurat terlebih dahulu juga.
 Kota dengan sejarah rupawan.
Sejarah kota merupakan investasi tersendiri dalam menentukan bentukan kota
maupun menentukan budaya kota itu. Sejarah yang baik dapat mencerminkan
tatanan kota yang baik berdasrkan hirarki maupun berdasarkan kehidupan kota
tersebut. Sejarah yang kurang menguntungan akan memberi akibat terhadap
kurang harmonisnya susunan bentukan kota serta kurang hidupnya suasana kota
secara menyeluruh.
 Gaya hidup sebagai tri sula kota
Mengandalkan gaya hidup sebagai ujung tombak untuk menghadapi tantangan
globalisasi merupakan paradigma yang dibuat untuk kota modern. Karena gaya
hidup mampu menyumbangkan bentukan – bentukan kota yang membentuk suatu
kesatuan baru sebagai hasil pengembangan budaya. Yang pada hakikatnya dapat
di manfaatkan untuk kota modern menghadapi era globalisasi baik dari segi
ekonomi maupun sosial hingga fisik yang menjadi hal penting dalam susunan kota
modern.
 Kota modern sebagai kota ideal.
Kota modern dipandang sebagai kota yang maju dan mampu memenuhi kebutuhan
hidup orang banyak, terutama kualitas kehidupan yang mumpuni menjadi hal
wajib pada kota modern. Kota ideal adalah kota yang mampu menyelaraskan
sosial, fisik, dan ekonomi berbalut dengan budaya dan sejarah yang dimiliki oleh
kota tersebut.
 Masyarakat Sejahtera dalam finansial
Kota modern harus didukung oleh masyarakat yang sejahtera dalam financial,
walaupun tidak semua masyarakat golongan keatas, tetapi setidaknya kota modern
mampu mengangkat masyarakat nya menjadi masyarakat kelas elit walaupun tidak

13
mapan. Artinya walaupun masyarakat nya kelas bawah, tetapi kota tersebut tetap
menyediakan fasilitas kelas satu untuk masyarakat.
 Kota terdepan dalam pelayanan
Kota modern harus menyediakan pelayanan dan selalu mengedepankan layanan
nya guna menarik para human urban untuk tinggal dan menetap pada kota modern
itu. Pelayanan- pelayanan yang dikedepan kan adalah pelayanan – pelayanan
umum yang mampu memenuhi kebutuhan para pengguna kota atau masyarakat
umum.
 Visual kota mengundang pesona
Kota yang ideal dan modern dapat dilihat dari fisiknya, secara visual kota terlihat
tertata. Secara kenyamanan dapat dirasakan langsung dan tidak perlu melihat
dengan cara - cara yang lain lagi. Karena visual dan pesona telah merubah rasa
ketidaknyamanan menjadi sesuatu yang lebih menarik dan mengundang.

2.4 Perkembangan Kota di Indonesia


Perkembangan kota di Indonesia ini dapat digeneralisasikan menjadi tingkatan atau tahap
pembangunan kota, antara lain Kota Indonesia Awal, Kota Indische, Kota Kolonial, dan Kota
Modern (J.M. Nas, 1986). Kota Indonesia Awal ini adalah kota–kota yang masih mempunyai
struktur yang jelas mengenai aturan–aturan kosmologis dan pola sosio kultural yang
direfleksikannya, kota ini terdapat pada masa kerajaan, seperti Sriwijaya, Kutai, Majapahit,
Demak, ataupun Mataram Islam. Indonesia pada awalnya mempunyai 2 tipe, yaitu kota
pedalaman dengan karakter tradisional dan religius dengan basis aktivitas pertanian dan kota
pantai yang berbasis pada aktivitas perdagangan. Kota yang termasuk dalam jenis ini antara
lain Demak, Gresik, Surakarta, dan Yogyakarta.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Pratomo, 2002), kota di Indonesia pada masa pra sejarah
bermula dari adanya kota–kota istana, kota–kota pusat keagamaan, dan kota–kota pelabuhan.
Kota–kota tersebut memiliki ciri sendiri–sendiri, sebagai pusat keagamaan misalnya, memiliki
susunan spasial yang berkisar di sekitar makam–makam raja, bangunan suci berupa candi,
stupa, masjid dan lain-lain, Kota pelabuhan yang kemudian berkembang menjadi kota
perdagangan memiliki susunan spasial yang membatasi pemukiman penduduknya, seperti
pemukiman penguasa pelabuhan dan pemukiman para pedagang asing yang diberi nama sesuai

14
menurut negara asal 3 pedagang tersebut seperti Kampung Arab, Kampung Melayu, Kampung
Pecinan, dan lain–lain.

2.4.1 Kota Sebelum Tahun 1400-an (Kota Prasejarah)


Pemukiman-pemukiman awal yang menjadi cikal bakal terbentuknya sebuah
komunitas tertentu telah menjadi perhatian tersendiri bagi beberapa sejarawan, namun
lebih khusus para arkeolog untuk mengungkapkan kota-kota prasejarah tersebut. Diyakini
bahwa dalam masa permulaansejarah pemukiman di Indonesia, telah terbentuk semacam
kota-kota awal tempat berkumpul dan beraktifitas bagi para penduduknya. Pada kota-kota
umumnya ditemukan situs pemukiman berkelompok dan belum ada penyebaran
infrastruktur secara lebih luas. Berbagai fasilitas perkotaan itu menyatu dalam satu tempat
tertentu saja.
Kota prasejarah dalam pengertian luas merupakan perwujudan kota-kota besar awal
dunia, kita bisa menyebut kota Mesopotamia, Baghdad, Yunani, Romawi, termasuk
penemuan kota prasejarah terbaru yakni di Provadia-Solnitsata yang berlokasi di dekat
resor Varna di tepi Laut Hitam, atau kebesaran kota Prasejarah Mohenjo Daro dan Harappa
di lembah sungai Indus yang memiliki penataan kota yang hebat. Untuk kasus di Indonesia,
beberapa pemukiman awal sudah sering dikategorikan sebagai kota prasejarah Indonesia
atau kadang disebut juga dengan kota kuno. Beberapa diantaranya yang bisa disebut seperti
Kota Demak yang telah memperlihatkan elemenelemen kota; pintu gerbang pabean,
jaringan jalan, benteng, alun-alun, taman kerajaan, pemukiman, makam kerajaan, dan
sebagainya. Seperti juga kota kuno Cirebon yang memiliki struktur kota yang mirip,
termasuk kota Banten Lama, maupun Gresik.

2.4.2 Kota Antara Tahun 1400-1700-an


Begitu banyak kota-kota di Indonesia hingga hari ini yang merupakan warisan kota
tradisional. Arti kota tradisional secara umum sering diartikan adalah kota pusat kerajaan-
kerajaan awal di Nusantara atau ibukota kerajaan yang ada hingga datangnya kekuatan
Barat atau tepatnya sebelum pengaruh dan kekuasaan kolonial berlangsung. Umumnya
kota-kota tradisional itu adalah pusat kerajaan-kerajaan di masa lalu. Banyak diantara kota
tersebut yang dibangun dengan pertimbangan magis-religius atau makro-kosmos dan

15
kepercayaan setempat.Ada kota tradisional yang dibangun berdasar garis imajiner
kepercayaan tradisional, ada yang berdasar mata angin, atau atas dasar yang lain. Pola sosio
kultural terlihat jelas dalam penataan pemukimannya, misalnya di sekitar istana atau kraton
dapat dibangun rumah para bangsawan, pejabat kerajaan, dan juga abdi dalem, tempat
ibadah, dan pasar. Kadang-kadang kraton juga merupakan benteng dengan tembok yang
melingkar, lengkap dengan lapangan dan tempat ibadah. Bahkan kota-kota di Jawa Tengah,
Yogyakarta, maupun Surakarta menunjukkan pola yang sama di masa lampau.
Kota tradisional ditandai dengan pembagian spatial yang jelas berdasarkan status
sosial dan dekatnya kedudukan pemukim dengan istana. Pembagian pemukiman sudah
sangat jelas nampak dalam kota-kota tradisional, demikian juga pemolaan secara kultural,
misalnya tampak dalam pembagian dua pemukiman Hindu dan Budha di zaman Majapahit.
Dalam kota tradisional terdapat simbol-simbol dari kekuasaan raja, diwujudkan dalam
bangunan fisik, upacara-upacara, dan hak-hak istimewa lainnya. Kraton atau istana juga
merupakan perwujudan dari birokrasi tradisional yang mengatur kekuasaan ekonomi dan
sosial, tempat surplus produksi dibagikan kepada pembantu-pembantu raja. Jika datangnya
era pengaruh bangsa Barat sebagai batas akhir kota-kota tradisional, sesungguhnya
sebelumnya juga merupakan periode yang memperkenalkan kemajuan pada kota-kota
tradisional itu, yakni di masa sejak adanya pengaruh Islam. Periode pengaruh Islam secara
luas ini sesungguhnya merupakan masa transisi dari dunia tradisional ke situasi baru yang
bisa disebut dunia baru dan selanjutnya juga disebut dengan era kolonial dan seterusnya
era modern.
Di satu sisi, citra kota tradisional sesungguhnya tidak berbatas waktu, misalkan saja
di Surakarta meskipun di abad ke-19, kekuasaan Hindia Belanda telah berlaku disini,
namun aktivitas dan kekhasan kota tradisional Surakarta tetap berlangsung dengan segala
macam ritual dan kebiasaannya. Kraton Surakarta sebagai perwujudan kota tetap
menampakkan aura tradisionalnya tanpa banyak terpengaruh dengan keriuhan aktivitas
kolonial. Seperti diperlihatkan oleh Darsiti Soeratman dalam tulisannya tentang kehidupan
dunia keraton Surakarta tahun 1830-1939. Diterangkannya bahwa simbolisasi kehidupan
kraton tetap berjalan dengan caranya sendiri, baik itu upacara, etiket dan kekuasaan dalam
berbagai kegiatan keraton. Begitupun gambaran tentang gaya hidup raja-raja, yang tetap
melanggengkan kebiasaan lama baik dalam sistem perkawinan, permainan serta hiburan

16
dan lainnya. Jelas dalam konteks ini, kraton dilihat dalam citra tradisionalnya yang tetap
kuat dengan simbolisasi perkotaan secara umum. Penggambaran dan penulisan kotakota
tradisional di Indonesia memperlihatkan kemiripan satu dan yang lainnya. Kota selalu
digambarkan dengan istana atau keratonnya, yang kemudian terdiri dari infrastruktur
lainnya seperti adanya alun-alun atau lapangan besar (kalau di Jawa ada alun-alun utara
dan selatan), ketersediaan tempat ibadah, adanya pasar atau bandar dagang, pemukiman
penduduk, dan sistem pertahanan. Beberapa elemen-elemen ini lah yang seolah menjadi
wajib dijelaskan atau diikuti oleh para penulis-penulis tentang sejarah kota tradisional.

2.4.3 Kota Antara Tahun 1700-1900-an


Pada masa Pemerintah Kolonial (1700-1900) pertumbuhan perkotaan lebih efektif
dirangsang dengan menggunakan faktor politis/administrasi ketimbang dengan faktor
kegiatan perdagangan. Kota di Indonesia memiliki tiga karakter yaitu, permukiman
nelayan, permukiman industri manufaktur dan pertambangan dan permukiman pariwisata.
Jika ditelusuri sebelum kedatangan Portugis dan Belanda, di Indonesia hampir tidak ada
satu kota atau bekas kota yang berarti. Namun, yang ada adalah kota pantai atau bandar
sebagai pusat lalu lintas perdagangan terbatas, seperti Palembang (pada masa Kerajaan
Sriwijaya), Barus di pantai Barat Sumatera, Tanjung Perak di Surabaya. Sementara itu, di
pusat-pusat kerjaan Nusantara juga masih dapat kita jumpai bekas kota yang terbentuk
dengan kegiatan sebagai pusat pemerintahan, seperti Yogyakarta, Solo dan kota kecil
lainnya di Bali.
Menurut Marbun 1994, pertumbuhan kota di Indonesia melalui sejarah yang cukup
panjang. Kota-kota di Indonesia saat ini bukan merupakan bentukan atau warisan dari
zaman keemasan kerajaan Nusantara terdahulu, tetapi merupakan bentuk dan kreasi sejarah
dan faktor kebetulan yang kemudian diteruskan dan dibina penjajah Belanda selama 350
tahun. Pada mulanya kota-kota di Indonesia terbentuk akibat faktor-faktor, yaitu sebagai
pusat pemerintahan kolonial, sebagai pusat niaga dan sebagai pelabuhan serta terminal
untuk memasok berbagai bahan kepentingan pemerintah kolonial.
Pada beberapa kota pelabuhan yang strategis, terjadi konsentrasi koloni yang cukup
besar sehingga koloni pos dagang berkembang menjadi kota dengan benteng keliling
seperti dibangun di Semarang akhir abad 1716, Surabaya di awal abad 1917. Penataan kota

17
yang dikelilingi benteng ini mirip dengan kota-kota Eropa abad pertengahan. Pada kota
Surakarta (1745) dan Yogyakarta (1756) kota benteng ditujukan untuk kepentingan
keraton.
Diawal abad 19, dapat dikatakan merupakan abad perubahan, banyak peristiwa
besar yang akan berdampak pada perubahan struktur perkotaan :
1. Jalan Raya Pos dibangun menghubungkan kota-kota di utara Jawa, dari
Banten, Semarang, Surabaya hingga ujung timur Jawa.
2. Perubahan sistem administrasi politik-ekonomi.
3. Culture Steelsel.
4. Agrarische Wet & Zuiker Wet.
Pusat administrasi koloni yang semula berpusat di benteng kota digantikan dengan
elemen kantor dan rumah administratur kota. Perkembangan kota dapat dikatakan matang
pada akhir abad 19, dimana terjadi perubahan yang membuat konsentrasi ekonomi di
perkotaan sedemikian menonjol. Liberalisasi ekonomi di Eropa telah mendorong kebijakan
ekonomi kolonial berubah, penghapusan Cultur Steelsel dan penetapan Agrarische Wet &
Zuiker Wet menarik banyak pengusaha swasta Eropa menanamkan modalnya di perkotaan
khususnya di Pulau Jawa. Pengembangan usaha yang paling menonjol adalah perkebunan
dengan komoditas utama gula, kopi dan teh. Kota-kota pedalaman seperti Bandung,
Yogyakarta, Malang tumbuh pesat menjadi kota pengumpul hasil produksi dari
hinterlandnya. Sementara kota-kota pesisir dengan pelabuhan besar berkembang menjadi
kota perdagangan. Jaringan infrastruktur baru berupa jalan kereta api muncul sebagai
penghubung antara kota pengumpul di pedalaman dengan kota dagang di pesisir. Elemen-
elemen fungsi perkotaan yang sangat berkembang pada masa ini adalah kantor dagang,
bank, stasiun, kantor pos dan telegraf. Pada periode ini terdapat tiga karakter kota yang
spesifik secara bentuk dan strukturnya : kota pusat ganda, kota pusat tunggal, dan kota
kawasan militer.

2.4.4 Kota Setelah Tahun 1900-Sekarang


Pertumbuhan penduduk dan ekonomi perkotaan pada masa ini sungguh pesat dan
berakibat pada urbanisasi di beberapa wlayah, terutama kota-kota besar dan strategis.
Kapasitas daya dukung kota dengan segera dilampaui dan timbul permasalahan seperti

18
kurangnya lahan untuk permukiman, pemeliharaan dan perbaikan sarana prasarana
perkotaan dan kesehatan perkotaan. Sementara itu secara umum sistem Residensi yang
sentralistis tidak memungkinkan untuk melakukan intervensi terhadap masalah perkotaan
yang mendasar semacam itu – selain itu juga karena tidak adanya sumber daya manusia
dan keuangan yang memadai. Karena banyaknya tekanan, Pemerintah Hindia Belanda
memutuskan untuk mendesentralisasi administrasi untuk menghadapi perubahan sosial-
ekonomi dan demografi yang terjadi, selain itu juga menyesuaiakan skala permasalahan di
tingkat lokal. Penetapan Peraturan Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada tahun 1903
dan disusul pembentukan Dewan Peraturan Daerah (Lokaal Radenordonnantie) pada tahun
1905 memberikan kerangka hukum yang diperlukan. Tugas dan tanggungjawab
Departemen Pekerjaan Umum (Burgerlijke Openbare Werken) dan Departemen Dalam
Negeri (Binnenlands Bestuur) pada periode ini diserahkan kepada pejabat setempat.
Bentuk dan struktur pusat kota yang sudah muncul sebelumnya tidak berubah pada periode
ini, secara umum pusat kota awal tetap menjadi titik sentral perkembangan kawasan-
kawasan baru. Paling mencolok dalam periode ini adalah pembukaan kawasan baru di
pinggiran kota, baik untuk kepentingan area permukiman atau perkantoran.
Akhirnya kota-kota di Indonesia mengalami babak baru pada periode keempat
(abad 19 – 20) yang ditandai oleh pengaruh Eropa. Apalagi setelah adanya perjanjian Wina
dan dengan dibukan Terusan Suez. Eksistensi dan perkembangan kota pada periode ini atas
dasar inisiatif, pengaruh, dan campur tangan orang-orang asing kolonial seperti misalnya
Batavia. Sejak tahun 1817 atau akhir zaman Napoleon dan zaman intermid Inggris, kota-
kota di Jawa mulai berkembang dan bertambah besar. Pertumbuhan ini ditandai dengan
timbulnya lingkungan rumah-rumah mewah dihuni oleh orang-orang Eropa atau pedagang
Cina kaya. Di sekitarnya tumbuh kampung-kampung komersial dengan toko-toko, tempat
kerja yang sekaligus menjadi tempat tinggal pedagang-pedagan Cina atau pedagang asing
lainnya. Di dalam struktur kota pada periode ini, terjadilah percampuran budaya Eropa,
Cina, dan pribumi termasuk di dalamnya percampuran arsitektur wajah kota.
Sebelum perang, kota-kota di Indonesia khususnya kota-kota yang dikategorikan
sebagai kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar
telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat. Namun, sejak awal dekade 1950-
an perkembangan penduduk memperlihatkan kadar yang lebih tajam. Berdasarkan tinjauan

19
statistik, Indonesia pernah melampaui angka taksiran penduduk di daerah perkotaan yang
diproyeksikan akan mencapai 9,1% pada tahun 1960. Kenyataannya berdasarkan sensus
penduduk 1961, dengan memakai kriteria sama justru menunjukkan angkat 15,6%.
Pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu sepuluh tahun rata-rata besarnya 3% per tahun.
Hingga awal tahun 1969 pun masih ditandai oleh masalah perkembangan penduduk
perkotaan. Masalah utama kota adalah menyangkut tidak seimbangnya perkembangan
penduduk kota dengan tersedianya perumahan, prasarana utilitas umum dan fasilitas
pelayanan. Kekurangan lahan pun menjadi masalah pokok pada perkembangan kota hingga
kini. Perkembangan wilayah terbangun secara sporadis di pinggiran dalam atau luar kota
merupakan fenomena yang terjadi pada kebanyakan kota-kota besar. Lingkungan
perumahan pada di bagian tengah kota atau kampung merupakan masalah perumahan yang
juga mendapat perhatian khusus.
Kini, hampir semua kota di Indonesia telah menemukan kedewasaannya.
Pemerintahan kolonial meletakkan infrastruktur dan struktur yang relatif lengkap, elemen-
elemen kota telah sepenuhnya berfungsi. Kota-kota dengan infrastruktur lengkap dan
kondisi geografis mendukung sepenuhnya berkembang menjadi kota-kota besar Jawa
(Jakarta, Semarang, Surabaya), sedangkan kota-kota dengan fungsi khusus sebagai kota
pendidikan, militer dan administrasi berkembang menjadi kota-kota menengah (Bandung,
Jogja, Solo, Malang).

2.4.5 Sebaran Perkembangan Kota di Indonesia


a) Perkembangan Kota Jakarta
 Sunda Kelapa
Sejak abad ke-10, Jakarta dikenal dengan sebutan Pelabuhan Sunda Kelapa
yang terkenal sebagai pusat perdagangan karena letaknya yang sangat strategis.
Pada tanggal 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara
Portugis dan Kerajaan Pajajaran (Hindu). Raja Pakuan Pajajaran melakukan
perjanjian tersebut guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi
ancaman Kerajaan Demak (Islam). Namun perjanjian itu sia-sia karena Portugis
tidak membantu Pajajaran, tetapi Portugis malah ingin menguasai Pelabuhan
Sunda Kelapa.

20
 Jayakarta
Kerajaan Demak (Islam) mempunyai misi ingin menguasai Sunda Kelapa
di bawah pimpinan Fatahillah/Fadilah Khan/Faletehan, panglima perang asal
Gujarat (India). Pada tanggal 22 Juni 1527 Sunda Kelapa Jatuh ke tangan Kerajaan
Demak. Tanggal 22 Juni dijadikan sebagai kelahiran kota Jakarta. Nama Sunda
Kelapa diganti menjadi Jayakarta oleh Fatahillah yang artinya kemenangan
berjaya. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten,
Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten.
 Batavia
Pada tahun 1619, Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen (J. P.
Coen) menyerbu Jakarta sehingga orang Banten serta etnis Arab dan Tionghoa
mengundurkan diri ke daerah Kesultanan Banten. Setelah berhasil dikuasai
Belanda, nama Jayakarta diganti menjadi Batavia oleh Gubernur Jendral J. P.
Coen. Setelah kepemimpinan J. P. Coen, Batavia selanjutnya dipimpin oleh
Jacques Speex, Daendels, Raffles,dan Van den Bosch, yang membangun Jakarta
dengan beberapa bangunan yang masih berdiri sampai sekarang seperti Lapangan
Monas, Stasiun Kota, dsb.
 Jakarta
Pada bulan September 1945 Pemerintah Kota Jakarta diberi nama
Pemerintahan Nasional Kota Jakarta dengan dipimpin oleh seorang walikota.
Setelah itu, wilayah Jakarta mengalami penambahan yaitu Kepulauan Seribu,
Cengkareng, Kebayoran (Kebon Jeruk, Kebayoran Ilir, dan Kebayoran Udik), dan
sebagian Bekasi (Pulogadung dan Cilincing). UU No. 10 Tahun 1964 Daerah
Khusus Ibukota Raya dinyatakan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia
dengan nama Jakarta.

b) Perkembangan Kota Bogor


Sebagai kota yang tergabung dalam Provinsi Jawa Barat, Kota Bogor memiliki luas
118,50 km² (dulu 21,56 km²). Pada tahun 1746, Pemerintahan Hindia Belanda
menggabungkan sembilan distrik (Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk,
Sindang Barang, Balubur, Dramaga, dan Kampung Baru) ke dalam satu pemerintahan

21
yang disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzorg. Di kawasan tersebut, dibangun
juga sebuah Istana Gubernur Jenderal, dan dalam perkembangannya nama Buitenzorg
dipakai untuk menunjuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung,
Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede.
Buitenzorg berarti “tanpa kecemasan” atau “aman tenteram”.
Pada saat Hindia Belanda bangkrut, pada abad ke-19, wilayah Nusantara termasuk
Bogor dikuasai oleh Inggris yang kemudian merenovasi Istana Bogor, serta
membangun tanah di sekitarnya menjadi Kebun Raya (Botanical Garden). Di bawah
komando Inggris, Bogor ditata menjadi tempat peristirahatan yang dikenal dengan
nama Buitenzorg yang diambil dari nama salah satu spesies palem. Namun setelah
pemerintahan Belanda kembali pada tahun 1903, terbit Undang-Undang Desentralisasi
yang menggantikan sistem pemerintahan tradisional dengan sistem administrasi
pemerintahan modern, yang menghasilkan Gemeente Buitenzorg. Pada tahun 1925,
terbentuklah provinsi Jawa Barat (provincie West Java) yang terdiri dari 5 karesidenan,
18 kabupaten, dan kotapraja (stadsgemeente). Buitenzorg menjadi salah satu
stadsgemeente.
Pada akhirnya masuk pada jaman kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1950,
Buitenzorg menjadi Kota Besar Bogor yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 16 tahun 1950. Tapi nama pemerintahan berubah lagi
menjadi Kota Praja Bogor, sesuai Undang-Undang nomor 1 tahun 1957. Berlanjut pada
tahun 1965, Kota Praja Bogor berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor
sesuai Undang-Undang nomor 18 tahun 1965 dan Undang-Undang nomor 5 tahun
1974. Hingga akhirnya ditetapkan sampai sekarang sebagai Kota Bogor sesuai dengan
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999.

c) Perkembangan Kota Bekasi


Kota Bekasi awalnya memiliki nama Chandrabhaga, yang berarti Chandra adalah
“Bulan”, sedangkan Bhaga memiliki makna “Bagian”. Kajian secara etimologis
tersebut menyatakan bahwa makna kata dari ChandraBhaga adalah bagian dari bulan.
Setelah bernama ChandraBhaga, ternyata nama nya di ubah menjadi Bhagasasi, tetapi
karena pengucapan nya yang sulit akhirnya seiring berjalan nya waktu membuat nya

22
disebut dengan “Bhagasi”. Ketika Belanda menjajah Indonesia dan Bekasi dikuasai
oleh Belanda, nama nya akhirnya diganti dengan nama “Bacassie”. Namun nama
“Bacassie” tersebut lebih familiar dengan sebuat Bekasi sehingga nama Kota ini
akhirnya menjadi “Bekasi” hingga saat ini. Kota yang satu ini masuk dalam catatan
sejarah Republik Indonesia karena di sinilah berkumpulnya para pejuang hingga titik
darah penghabisan untuk melawan penjajah, jadi tidak salah jika Kota Bekasi akhirnya
dijuluki dengan Kota Patriot.
Sejarah Kota Bekasi setelah masa kemerdekaan, berdasarkan UU Nomor 14 Tahun
1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi dengan wilayah yang terdiri dari 4 kewedanaan,
13 kecamatan (termasuk Kecamatan Cibarusah) dan 95 desa. Angka-angka tersebut
ternyata di ungkapkan dengan simbolis dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan
motto “Swatantra Wibawa Mukti”. Pemimpin Bekasi juga sudah banyak berganti,
namun pada akhirnya tanggal 20 April 1982, Menteri Dalam Negeri meresmikan Kota
Administrasi Bekasi. Walikota yang pertama menjabat adalah H. Soedjono (1982 -
1988). Lalu pada tahun 1988 tersebut beliau digantikan oleh Drs. Andi Sukardi hingga
tahun 1991, masa jabatan (1988 - 1991), kemudian diganti lagi oleh Bapak Drs. H.
Khailani AR hingga tahun (1991 – 1997).
Kota yang menjadi perbincangan ini merupakan Kota bersejarah yang memiliki
seribu cerita yang tidak akan habis meskipun ditelan masa. Kota yang satu ini terus
berkembang hingga menjadi Kota besar dengan pertumbuhan penduduk yang cukup
tinggi sehingga berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Roda perekonomian
masyarakat Bekasi memang meningkat seiring berjalan nya waktu karena ada banyak
pembangunan yang di alokasikan pemerintah pada Kota bersejarah ini. Kota ini
akhirnya berkembang menjadi Madya berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1996 dengan segala perkembangan yang signifikan.

d) Perkembangan Kota Makassar


Sejarah Ujung Pandang di mulai dari penggunaan nama Ujung Pandang untuk Kota
Makassar dan dipakai dari kira-kira tahun 1950-an sampai tahun 2000. Alasan untuk
mengganti nama Makassar menjadi Ujung Pandang adalah alasan politik, antara lain
karena Makassar adalah nama sebuah suku bangsa padahal tidak semua penduduk kota

23
Makassar adalah anggota dari etnik Makassar. Nama Ujung Pandang sendiri adalah
nama sebuah kampung dalam wilayah Kota Makassar. Bermula di dekat benteng Ujung
Pandang sekarang ini, membujurlah suatu tanjung yang ditumbuhi rumpun-rumpun
pandan. Sekarang Tanjung ini tidak ada lagi. Nama Ujung Pandang mulai dikenal pada
masa pemerintahan Raja Gowa ke-X, Tunipalangga yang pada tahun 1545 mendirikan
benteng Ujung Pandang sebagai kelengkapan benteng-benteng kerajaan Gowa yang
sudah ada sebelumnya, antara lain Barombong, Somba Opu, Panakukang dan benteng-
benteng kecil lainnya.
Beberapa tahun kemudian benteng Ujung Pandang jatuh ke tangan Belanda, usai
perang Makassar, dengan di setujuinya Perjanjian Bungaya tahun 1667, benteng itu
diserahkan. Kemudian Speelmen mengubah namanya menjadi Fort Rotterdam.
Bangunan-bangunan bermotif Gowa di Fort Rotterdam perlahan-lahan diganti dengan
bangunan gaya barat seperti yang dapat kita saksikan sekarang.
Pergantian nama Kota Makassar berubah menjadi Ujung Pandang terjadi pada
tanggal 31 Agustus 1971, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1971. Kala
itu Kota Makassar di mekarkan dari 21 kilometer persegi menjadi 115,87 Kilometer
persegi, terdiri dari 11 wilayah kecamatan dan 62 lingkungan dengan penduduk sekitar
700 ribu jiwa. Pemekaran ini mengadopsi sebagian dari wilayah tiga kabupaten yakni
Kabupaten Maros, Gowa dan Pangkajene Kepulauan.
Sebagai “kompensasinya” nama Makassar diubah menjadi Ujung Pandang.
Tentang kejadian bersejarah tersebut, Walikota Makassar H.M.Daeng Patompo (alm)
berkilah “terpaksa” menyetujui perubahan, demi perluasan wilayah kota. Sebab Bupati
Gowa Kolonel K.S. Mas’ud dan Bupati Maros Kolonel H.M. Kasim DM menentang
keras pemekaran tersebut. Untunglah pertentangan itu dapat diredam setelah
Pangkowilhan III Letjen TNI Kemal Idris menjadi penengah, Walhasil Kedua Bupati
daerah tersebut, mau menyerahkan sebagian wilayahnya asalkan nama Makassar di
ganti.
Sejak awal proses perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang, telah
mendapat protes dari kalangan masyarakat. Beberapa kalangan budayawan, seniman,
sejarawan, pemerhati hukum dan pebisinis. Bahkan ketika itu sempat didekalarasikan
Petisi Makassar oleh Prof.Dr.Andi Zainal Abidin Farid SH, Prof.Dr.Mattulada dan

24
Drs.H.D.Mangemba, dari deklarasi petisi Makassar inilah polemik tentang nama terus
mengalir dalam bentuk seminar, lokakarya dan sebagainya.
Seiring perubahan dan pengembalian nama Makassar, maka nama Ujung Pandang
kini tinggal kenangan dan selanjutnya semua elemen masyarakat kota mulai dari para
budayawan, pemerintah serta masyarakat kemudian mengadakan penelurusan dan
pengkajian sejarah Makassar, hasilnya Pemerintah Daerah Nomor 1 Tahun 2000,
menetapkan Hari jadi Kota Makassar, tanggal 9 Nopember 1607. Untuk pertama kali
Hari Jadi Kota Makassar ke 393, diperingati pada tanggal 9 November 2000. Nama
Makasar berasal dari sebuah kata dalam bahasa Makassar “mangkasara” yang berarti
yang menampakkan diri atau yang bersifat terbuka.

e) Perkembangan Kota Jayapura


Sejak pertama kali Kapten Infanteri FJP Sachse mendarat di Teluk Youtefa pada 7
Maret 1910 memberi nama Hollandia. Nama ini terus bertahan selama Belanda masih
memerintah di wilayah Nederlands Nieuw Guinea hingga 1963. Setelahnya, namanya
menjadi Kota Baru dan sebagai penghargaa kepada Presiden Sukarno, nama ibukota
Provinsi Irian Barat berubah lagi menjadi Sukarnopura. Sejak tumbangnya rezim Orde
Lama (Orla), Presiden Soeharto meresmikan kota Jayapura yang berarti kota
kemenangan pasca Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Padahal nama
Sukarnopura sendiri diganti setelah peristiwa G 30 S PKI 1965 sehingga nama itu pun
hilang dan Kota Jayapura bertahan sampai sekarang. Arti Jayapura sendiri mirip
dengan nama kota Jaipur di negara bagian Rajastan di India, sesuai dengan bahasa
Sansekerta berarti kemenangan dan pura artinya kota.

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pertumbuhan dan perkembangan kota pada prisipnya menggambarkan proses
berkembangnya suatu kota. Sebagai pusat komunitas sosial dan budaya, kota menempati
kedudukan penting dalam dinamika kebudayaan di Indonesia. Hubungan interaktif dan
dinamis antara keduanya pada dasarnya tidak bisa dipisahkan. Dinamika kehidupan kota
pada hakekatnya mempengaruhi dinamika kebudayaan dan begitu pula sebaliknya.
Perkembangan kota pada saat ini menunjukkan kemajuan yang pesat sejalan
dengan bertambahnya jumlah penduduk serta semakin besarnya volume kegiatan
pembangunan pada berbagai sektor. Hal ini menyebabkan semakin bertambah dan
berkembangnya sarana dan prasarana pendukung yang selalu menuntut adanya perubahan-
perubahan yang mengarah pada kualitas dan kuantitasnya. Pertumbuhan penduduk dan
peningkatan aktivitas kota di Indonesia menyebabkan banyak berkembangnya kawasan
komersial. Salah satu sektor yang perlu diperhatikan untuk mengantisipasi perkembangan
kawasan komersial ini adalah penanganan masalah transportasi. Hal ini karena transportasi
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dan memegang peranan yang sangat
strategis dalam perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah maupun pemerataan hasil-
hasil pembangunan yang ada.
Perjalanan sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa semenjak awal kelahiran kota-
kota maritim dan agraris atau kota-kota perdagangan pada masa kolonial, sampai masa
terbentuknya kota-kota modern pasca kemerdekaan, kota-kota di Indonesia secara dinamis
telah memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja
sebagai pusat politik, ekonomi dan pemerintahan, tetapi juga sebagai tempat
berlangsungnya proses transformasi dan konfigurasi berbagai unsur kebudayaan luar dan
local di Indonesia. Banyak hal yang dapat dikaji mengenai kota dalam kaitannya dengan
berbagai aspek kehidupan, sebab kota merupakan sebuah jaringan yang saling berkaitan
dalam dinamika sejarah.

26
DAFTAR PUSTAKA

Rapoport, Amos. (1988). Asal Usul Terbentuknya Kota, dalam buku Pengantar Perencanaan Kota,
Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 38-82.

Harry, Kossa. Proses Terbentuknya Kota. Diakses melalui elib.unikom.ac.id. Cirebon.

Damayanti, Rully. Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan Di Jawa.
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra.

Pasaribu D., Daud Jeluddin. Karakteristik Struktur Kota dan Pengaruhnya Terhadap Pola
Pergerakan di Kota Medan. Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sunaryo, dkk. (2014). Pengaruh Kolonialisme Pada Morfologi Ruang Kota Jawa Periode 1600-
1942. Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan 3. Jurusan Teknik Arsitektur dan
Perencanaan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Ariyadi, Bayu (2014). Analisis Pola Morfologi Dan Interaksi Spasial Perkotaan Di Kota
Yogyakarta Dengan Wahana Citra Landsat.

Makkelo, Ilham, D. (2017). “Sejarah Perkotaan: Sebuah Tinjauan Historiografis dan Tematis,”
dalam Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, Vol 12 No. 2: 83-101. Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Nas, Peter J.M., Marlies de Groot dan Michelle Schut. (2011). “Introduction: Variety of Symbols,”
dalam Peter J.M. Nas (ed.) Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture, pp.
7-25. Leiden University Press.

Lestariningsih D. (2010). Tinjauan Perencanaan Kota Abad Pertengahan. Teodolita Vol.12,


No.14 1., Juni 2010:13-21

27
LAMPIRAN

Artikel 1

KAWASAN “PUSAT KOTA” DALAM PERKEMBANGAN SEJARAH


PERKOTAAN DI JAWA

Rully Damayanti
Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur,
Universitas Kristen Petra
Handinoto
Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur,
Universitas Kristen Petra

ABSTRAK

Pengertian ‘pusat kota’ pada kota-kota di Jawa terus berubah sesuai dengan perkembangan
jaman. Keadaan sosial politik, termasuk sistim pemerintahan, letak geografis, serta sejarah masa
lalu sebuah kota sangat berpengaruh pada kawasan yang disebut sebagai ‘pusat kota’. Setelah th.
1980 an dengan adanya perpindahan industri skala kecil dan menengah dari negara maju ke negara
berkembang yang sebagian besar bertempat di pinggiran kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta,
Surabaya dan Semarang, maka kesenjangan jarak antara pusat dan pinggiran ini makin tipis.
Majunya transportasi mengurangi kesenjangan antara pusat dan pinggiran kota tersebut. Karena
panjang jalan yang tidak seimbang dengan jumlah kendaraan pada abad 21, di kota-kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang, maka timbullah lagi kesenjangan antara pusat
dan pinggiran kota.

Kata Kunci: Pusat Kota, Sejarah perkembangan kota di Jawa.

28
Artikel 2

KARAKTERISTIK STRUKTUR KOTA DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA


PERGERAKAN DI KOTA MEDAN

Daniel S Pasaribu¹, Jeluddin Daud ²


¹ Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara,
² Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara,
Jl. Perpustakaan No. 1 Kampus USU Medan

ABSTRAK

Transportasi selalu menjadi masalah yang dihadapi oleh kota-kota besar. Usaha pemerintah
dalam memecahkan masalah transportasi dapat dilakukan melalui pemecahan sektoral, dengan
meningkatkan kapasitas jaringan jalan ,pembangunan jaringan jalan baru, rekayasa manajemen
lalu lintas dan pengaturan transportasi angkutan umum, kemudian dilakukan secara komprehensif
melalui pendekatan struktur tata ruang kota terpadu. Struktur kota yang efisien akan
mengakomodasikan pusat dan sub pusat kota sedemikian rupa sehingga mampu mengurangi
ketergantungan kawasan kota hanya pada satu kawasan pusat atau dapat disimpulkan struktur kota
yang baik akan mampu menyebarkan pola pergerakan secara merata di seluruh kawasan, tidak
terpusat pada pusat kota. Hal ini secara langsung dapat mengurangi persoalan transportasi, antara
lain kemacetan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur kota Medan kemudian
menjelaskan pengaruhnya terhadap pola pergerakan. Jenis penelitian deskriptif, digunakan analisis
deskriptif melalui analisis pencarian fakta berdasarkan sumber data sekunder yang berasal dari
instansi terkait yang sesuai dengan referensi yang ada. Hasil penelitian ini menyimpulkan struktur
tata ruang kota Medan yang diarahkan berpola multiple nuclei (pola berpusat banyak) dengan
jaringan jalan pola gradual/grid dengan faktor perdagangan yang menjadi faktor utama dari
struktur kota yang mempengaruhi pola pergerakan di kota Medan.

Kata Kunci : Struktur kota, grid, pola pergerakan, multiple nuclei.

29
Artikel 3

SEJARAH PERKOTAAN:
SEBUAH TINJAUAN HISTORIOGRAFIS DAN TEMATIS

Ilham Daeng Makkelo


Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Hasanuddin
Lensa Budaya, Vol. 12, No. 2, Oktober 2017.
Edisi Khusus Persembahan Untuk Edward L Poelinggomang
ISSN: 0126 - 351X

Abstrak

Perkembangan kota sejak awal abad ke-20 ini telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat dengan kompleksitas elemen dan permasalahan perkotaan yang muncul. Kota tidak
sesederhana pada waktu dulu lagi. Kompleksitas dalam berbagai bidang memerlukan metode dan
pisau analisa yang bisa menelusuri dan mengungkapkan bagian-bagian atau strukturnya hingga
pada yang terkecil, dan juga menampilkan makna dibalik apa yang mudah terlihat karenanya
tuntutannya bisa berupa menghadirkan relasi struktural yang kadang rumit. Salah satu perhatian
saya disini adalah untuk mencoba memberi perhatian pada persoalan perkotaan dan masyakatnya
yang semakin kompleks dengan masuk melalui konsep modernitas. Modern, modernisasi,
modernism, dan juga modernitas adalah konsep sejarah yang menjadi alat baca dalam mengurai
kompleksitas itu dalam rentang waktu yang ada. Makna modernitas ini merupakan usaha untuk
menjelaskan lebih beragam atas kenyataan sejarah perkotaan di Indonesia.

Kata Kunci : sejarah, perkotaan, historiografi, moderenitas

30
Artikel 4

PENGARUH KOLONIALISME PADA MORFOLOGI RUANG KOTA JAWA


PERIODE 1600-1942

¹Rony Gunawan Sunaryo, ²Nindyo Soewarno, ³Ikaputra dan Bakti Setiawan


Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan
22-23 Agustus 2014, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No.2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta

ABSTRAK

Penjelasan tentang pengaruh kolonialisme terhadap pembentukan perkotaan Jawa selama ini
lebih banyak menekankan pada aspek sosial, ekonomi dan politik, antara lain karena pendekatan
studi yang condong pada kesejarahan. Kajian-kajian spasial yang menekankan pembentukan
perkotaan Jawa, terutama pada periode lahir, tumbuh dan berkembangnya kota sangat penting
sebagai latar pengetahuan pengetahuan praktek dan pengajaran perencanaan dan perancangan
perkotaan di Indonesia. Pendekatan praktek maupun pengajaran arsitektur dan perencanaan kota
yang deterministik menggunakan preseden perkotaan yang memiliki latar sejarah dan budaya yang
berbeda dapat mengarahkan pada perkembangan perkotaan yang tidak kenal jati dirinya.
Pendekatan tipomorfologi yang diperkaya dengan kajian historis dalam penelitian ini mencoba
mendapatkan penjelasan yang sederhana tapi tetap komprehensif mengenai peran kolonialisme
dalam morfologi perkotaan Jawa.

Kata Kunci : Tipomorfologi, kolonialisme, kota Jawa.

31
Artikel 5

TINJAUAN PERENCANAAN KOTA ABAD PERTENGAHAN

Dwi Jati Lestariningsih


Teodolita Vol.12, No.14 1., Juni 2010:13-21

Abstrak
Karakter Kota Abad Pertengahan merupakan proses pertumbuhan kota dari peradaban yang
tidak aman kepada peradaban baru. Pada kota-kota awal Abad Pertengahan kebanyakan kota
tumbuh tidak terencana (organic growth), contohnya kota Cesky Krumlov. Selanjutnya pada
pertengahan Abad Pertengahan kondisi kota-kota menjadi tidak aman, sehingga dibangun
benteng-benteng sebagai pertahanan, sehingga tumbuh menjadi kota benteng. Perencanaan kota
baru pada akhir Abad Pertengahan menggunakan pola grid iron pada lahan kosong contohnya kota
Monpazier. Market square dan gereja merupakan ciri khas Kota Abad Pertengahan. Perencanaan
kota Abad Pertengahan dipengaruhi oleh kondisi social, ekonomi dan politik. Bangunan-bangunan
Kota Abad Pertengahan dibangun dengan skala manusia, sehingga lebih manusiawi. Terjadi
kebangkitan ekonomi di masa Abad Pertengahan, ditandai dengan banyaknya kegiatan
perdagangan. Akibatnya adalah, square mengalami perubahan fungsi dari simbol kekuasaan pada
masa Yunani dan Romawi menjadi pusat kegiatan ekonomi di Kota Abad Pertengahan.

Kata Kunci: kota, Abad Pertengahan

32

Anda mungkin juga menyukai