Anda di halaman 1dari 14

TRANSISI URBANISASI DI INDONESIA

(Tinjauan Empiris Teori Transisi Demografi)

Chotib

ABSTRAK

Bahwa untuk menjawab wacana pembangunan kota berbasis pertanian


transmigrasi,
perlu mengetahui adanya fenomena empiris tentang teori transisi demografi terkait
dengan aspek pengembangan urban di Indonesia yang kemungkinan akan
menggulir
secara alami tanpa dapat diregulasi dengan kebijakan instan atau pembangunan
infrastruktur yang tergesa-gesa. Pertimbangannya yaitu transisi urbanisasi ini akan
berlangsung sepanjang waktu bahkan terjadi di belahan dunia manapun.

Pengalaman observasi dalam proses belajar-mengajar dengan analisa studi literatur


mewarnai analisis dalam penyajian kajian ini. Pada akhirnya tulisan ini mengerucut
pada pengertian bahwa apapun alasannya proses urbanisasi dan perkembangan
daerah perkotaan di Indonesia pada hakekatnya mencerminkan kondisi serta
perkembangan ekonomi wilayah (regional) maupun nasional. Terlepas dari implikasi
negatif yang selalu menyertai dalam proses pembangunan seperti polusi,
kepadatan
lalu lintas, masalah perumahan, kriminalitas dan sebagainya, kecenderungan
urbanisasi merupakan gejala yang wajar dan alamiah yang tidak dapat dihindari.

Kata Kunci :Pertumbuhan Ekonomi, Migrasi, Urbanisasi, Teori Demografi

1. Pendahuluan

Penduduk dunia saat ini telah mencapai lebih dari 6 miliar, dimana di antara
jumlah tersebut, 80 persen tinggal di negara-negara berkembang. Proyeksi yang
dibuat
oleh United Nations (UN) memperlihatkan bahwa penduduk dunia akan meningkat
dari
6,1 miliar menjadi 7,8 miliar antara tahun tahun 2000 dan 2025. Pangsa
peningkatan
tersebut 90 persen diantaranya disumbang oleh penduduk perkotaan di negara-
negara
berkembang (Brockerhoff, 2000). Bahkan menjelang tahun 2020, mayoritas
penduduk
negara-negara berkembang akan tinggal di wilayah yang dikatakan sebagai wilayah
perkotaan.
1
Sementara itu, UN (2001) memproyeksikan bahwa penduduk perkotaan di
negara-negara berkembang terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,4
persen
per tahun. Angka ini merupakan dua kali lipat angka pertumbuhan penduduk total
negara-negara berkembang pada umumnya, yakni sekitar 1,2 persen. Meski
penduduk
perkotaan di negara-negara maju juga meningkat dengan angka pertumbuhan yang
lebih
besar daripada angka pertumbuhan penduduk totalnya, dan juga angka
urbanisasinya
jauh lebih besar daripada negara-negara berkembang, pertumbuhan perkotaan di
negara-
negara berkembang tetap lebih cepat disertai dengan meningkatnya penduduk
perkotaan
secara absolut.
Pada 30 tahun mendatang, penduduk perkotaan di negara-negara
berkembang
diproyeksikan meningkat dua kali lipat, dari sekitar 2 miliar di tahun 2000 menjadi
sekitar 4 miliar menjelang tahun 2030. Sebaliknya penduduk perkotaan di negara-
negara maju diproyeksikan hanya bertambah dari 900 juta di tahun 2000 menjadi 1
miliar di tahun 2030. Sementara itu angka urbanisasi di negara-negara maju saat
ini
sudah mencapai 75 persen.
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduknya, jumlah kota-kota besar di
negara-negara berkembang juga akan meningkat secara substansial. Di tahun 2000
terdapat 388 kota di dunia dengan 1 juta atau lebih penduduknya. Namun
menjelang
tahun 2015 diperkirakan akan terdapat 554 kota, lebih dari dua per tiga di
antaranya
(426 kota) akan terdapat di negara-negara berkembang.
United Nations juga memperkenalkan istilah “megacities” untuk menjelaskan
kota-kota dengan jumlah penduduk 8 juta orang atau lebih. Institusi ini juga
memperkenalkan ambang batas (treshold) untuk status megacity sebesar 10 juta
penduduk. Saat ini, ada sekitar 17 megacity yang terdaftar di UN, dengan 4 di
antaranya terletak di negara-negara berkembang. Menjelang 2015, menurut
proyeksi
yang dibuat oleh UN tersebut, diperkirakan akan terdapat 21 kota-kota yang
memiliki
paling sedikit 10 juta penduduk yang tinggal di kota-kota tersebut. (Lihat Tabel 1).

2
Teknologi kedokteran seperti penemuan antibiotika dan imunisasi
memberikan Tabel 1.
Jumlah Megacity di Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan
implikasi pada menurunnya angka kematian bayi (sebagai indikator angka
Kota-kota dengan 10 juta atau lebih penduduk: 1950, 1975, 2001, dan
kematian). 2015
Angka kematian bayi turunpenduduk
(Jumlah dari 145 dalam
per 1000 kelahiran pada tahun 1971 menjadi
jutaan)
71 per
1000 kelahiran pada tahun 1990. Angka ini juga terus menurun menjadi 51 per
1950 1975 2001 2015
1000 Kota KotaPend. KotaPend. Kota
kelahiran Pend. Pend.
New pada
York tahun 12,3
1995. (BPS, 1997). Tokyo26,5
Tokyo19,8 Tokyo 27,2
1 Indikator lain dari revolusi kematian adalah
New York15,9 meningkatnya
Sao Paulo18,3 Dhakaangka harapan
2 22,8
hidup Shanghai11,4 Mexico City18,3 Mumbai 22,6
3 Mexico City10,7 New York16,8 Sao Paulo
penduduk.
4 Pada tahun 1971 angka
Sao Paolo10,3
harapan hidup
Mumbai16,5
diketahui sebesar
Delhi
45,7.
21,2
Kemudian
5 20,9
Los Angeles13,3 Mexico 20,4
6
meningkat menjadi 59,8 pada tahun 1990. Dan terus meningkat menjadi 64,4 padaCity
tahun 1995. (BPS, 1997). New York
Jakarta
Dua revolusi ini, revolusi fertilitas dan revolusi mortalitas, mengakibatkan
Kolkata
Indonesia akan telah menyelesaikan transisi vital (transisi fertilitas Karachi dan mortalitas)
7 Kolkata 13,3 17,9
pada
8 Dhaka 13,2
Lagos
17,3
tahun
9 2005. Setelah tahun 2005 Indonesia Delhi akan memasuki 13,0 era pascatransisi
16,7 vital
yang
10 Shanghai 12,8 16,2
11
secara teknis disebut era NRR (net reproduction Buenosrate) lebih
12,1 kecil daripada 16,0
1. Era ini
Aires
adalah era yang ditandai dengan kondisi kelahiran Jakarta
dan kematian yang mirip dengan
yang kini dialami oleh negara maju.
12 Istilah “transisi vital” sampai sekarang masih relatif jarang
11,4 Los dipergunakan
14,5
dalam Angeles
berbagai kepustakaan demografi. Pada mulanya, tahun 1920-an oleh Thompson
Shanghai
13 Osaka 11,0 Buenos 13,6
dan14 Beijing 10,8 Aires 13,2
tahun 1940-an oleh Notostein, muncul ide mengenai “transisiMetro demografi”, yang
menggambarkan proses perubahan fertilitas dan mortalitas. Pada Manilatahun 1970-an
15
Zelinsky mengritik penggunaan istilah “transisi Rio dedemografi”
10,8 ini.
Beijing 12,6
Pertumbuhan jumlah penduduk tidak Jeneiro hanya
Karachi
disebabkan Rio de perubahan
oleh
Jeneiro
dalam
16 Metro 10,4 Cairo 11,7
17
fertilitas dan mortalitas, tetapi juga perubahan Manila 10,1 Istanbul
dalam migrasi. 11,5
Karena dalam
kepustakaan demografi sudah dikenal istilah statistik vital, yang mengacu pada
Osaka
kelahiran, kematian, dan perkawinan, maka Zelinsky mengatakan Tianjin bahwa diskusi
18 11,5
yang
19 11,4
telah
20 terjadi selama itu lebih tepat disebut dengan “transisi vital”. Diskusi 11,0“transisi
21
demografi” baru akan lengkap bila diskusi transisi vital disertai dengan 10,3 diskusi
340,5
transisi
mobilitas.
Total12,3 68,1 238,6
Sumber: Population
Teori transisiReports (2003) pada hakekatnya ingin memperlihatkan dampak
demografi
kemajuan dalam pembangunan ekonomi pada penurunan fertilitas dan mortalitas.
Teori
2.
ini Revisi
mencobaTeorimenerangkan
Transisi Demografi
mengapa suatu masyarakat mengalami perubahan dari
angka
fertilitas dan akibat
Sebagai mortalitas yang tinggi
kemajuan ke angka
teknologi, fertilitas
Indonesia dan mortalitas
mengalami revolusiyang rendah.
kelahiran,
Teori
yaitu ini berupaya memperlihatkan
keberhasilan pemerintah dalam bahwa kemajuan
menurunkan dalam
angka pembangunan
kelahiran denganekonomi
cepat,
mempunyai sumbangan
melebihi kecepatan pentingangka
penurunan dalamkelahiran
transisi fertilitas
di negaradan mortalitas.
maju sekalipun. Angka
Jumlah
kelahiran totalanak yang
(TFR) makin
turun dari kecil, pendidikan
5,6 pada periodeyang makin menjadi
1967-1970 meningkat,3,3 pada
pendapatan
periode
yang meningkat,
1986-1989. Angkadan ini globalisasi
terus menuruninformasi
menjadimendorong
2,8 pada terjadinya peningkatan
periode 1991-1994 dan 2,3
aspek
pada periode 1996-1999 (BPS, 2003).
ketiga dalam demografi: mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk ini tidak saja
dalam
lingkup internal (mobilitas dalam negeri), tetapi juga mobilitas internasional.
3
4
Menurut Ananta dan Chotib (2002), berdasarkan pengalaman negara-negara
maju, pembangunan ekonomi biasanya memperlihatkan tahapan yang berbeda,
yang
memiliki karakteristik demografis berbeda pula. Pada tahap awal pembangunan
misalnya, angka kelahiran dan kematian terlihat lebih tinggi. Mereka biasanya
menghadapi surplus tenaga kerja muda dan tak terdidik. Modal perekonomian dan
tenaga kerja terdidik masih amat langka. Untuk mengatasi persoalan ini,
dilakukanlah
pengiriman tenaga kerja yang ada (tak terdidik) ke luar negeri. Pada saat yang
bersamaan, mereka juga menerima modal dan tenaga kerja terdidik dari luar
negeri.
Sejalan dengan kemajuan pembangunan ekonomi, jumlah tenaga kerja tak
terdidik makin menurun dan jumlah tenaga kerja terdidik terlihat makin meningkat.
Ekspor barang-barang yang semula diproduksi dengan orientasi pada padat karya
kini
digantikan oleh ekspor barang-barang yang diproduksi dengan orientasi padat
modal
dan tenaga kerja terdidik. Bahkan, negara ini mampu menanamkan modalnya ke
luar
negeri. Negara ini akan mencapai tahap titik balik manakala pengiriman tenaga
kerja
tak terdidiknya dihentikan dan mulai mengirimkan modalnya ke luar negeri.
Setelah melewati tahap titik balik, pengiriman modal dan tenaga kerja terdidik
sudah makin intensif. Ekspor barang-barang yang berorientasi pada padat modal
juga
makin dominan. Pada tahap ini, angka kelahiran dan kematian biasanya sudah
amat
rendah. Mereka sudah menyelesaikan tahap transisi vitalnya (transisi kelahiran dan
kematian) dalam proses tahapan transisi demografi. Penduduk juga terlihat makin
menua sementara jumlah tenaga kerja muda terlihat makin berkurang. Terlebih lagi
jumlah tenaga kerja tak terdidik yang biasanya mau melakukan pekerjaan 3 B (Bau,
Berbahaya, dan Berat) juga makin langka.
Zelinsky (1971) mencoba melihat kaitan tahapan dalam pembangunan
ekonomi
dengan besaran dan tipe mobilitas penduduk. Ia membuat lima tahap transisi
mobilitas:
masyarakat tradisional pra modern (premodern traditional society), masyarakat
transisi
awal (early transitional society), masyarakat transisi akhir (late transitional society),
masyarakat maju (advanced society), dan masyarakat supermaju masa depan
(future
superadvanced society).
Skeldon (1990) kemudian menyempurnakan pemikiran Zelinsky di atas dengan
menganalisis pola migrasi penduduk di negara-negara sedang berkembang.
Olehnya,
transisi mobilitas dikembangkan menjadi tujuh tahap, yaitu (1) masyarakat
pratransisi
(pre-transitional society), (2) masyarakat transisi awal (early transitional society),
3.
(3)Transisi Urbanisasi: Tinjauan Empiris
masyarakat transisi menengah (intermediate transitional society), (4) masyarakat
transisi akhir (late transitional society), (5) masyarakat mulai maju, (6) masyarakat
Bersandar pada konsep yang disampaikan oleh Zelinsky dan Skeldon di atas,
maju lanjut, dan (7) masyarakat maju super.
maka sebagai bagian dari fenomena demografi, proses urbanisasi pada hakekatnya
juga
mengikuti tahap-tahapan perkembangan transisi demografi. Pada sisi lain,
urbanisasi
juga merupakan salah satu indikator dari tingkat kemajuan ekonomi suatu negara
atau
wilayah. Chotib (2002), memperlihatkan korelasi yang positif antara tingkat
urbanisasi 5
dan tingkat pembangunan ekonomi di berbagai negara di dunia.
Secara nasional, Indonesia sudah memasuki tahap keempat transisi mobilitas 1.
Namun ada beberapa propinsi yang kini telah masuk tahap kelima, yaitu dikenal
sebagai
“masyarakat mulai maju”. Ciri utamanya adalah angka urbanisasi yang telah
mencapai
50 persen, dan penurunan mobilitas dari perdesaan ke perkotaan. Pada tahap ini
mulai
terjadi “suburbanisasi” dan “dekonsentrasi” penduduk perkotaan, atau terjadinya
peningkatan mobilitas penduduk dari kota besar ke daerah pinggiran dan
penyebaran
penduduk perkotaan yang semakin luas2.
Seperti terlihat pada Tabel 2, angka urbanisasi yang telah mencapai 50 persen
atau lebih di tahun 2000 ini antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Banten,
dan Kalimantan Timur. Jika dilihat dari angka urbanisasinya, propinsi-propinsi ini
cenderung masuk tahap kelima transisi mobilitas. Namun, patut disadari bahwa
proses
urbanisasi yang terjadi di negara-negara maju amat berlainan dengan urbanisasi di
negara-negara berkembang. Tabel 2.
Angka Urbanisasi Menurut Propinsi di Indonesia: 1980, 1990, 1995 dan 2000

Propinsi 1961 1971 1980 1990 1995 2000


DI Aceh 8,4 8.94 15.81 20.54 27.99
Sumatra Utara 17,2 25.45 35.48 41.09 42.64
Sumatra Barat 17,0 12.71 20.22 25.06 28.93
Riau 13,3 27.12 31.67 34.36 43.30
Jambi 29,1 12.65 21.41 27.16 28.33
Sumatra Selatan 27,0 27.37 29.34 30.31 34.46
Bengkulu 11,7 9.43 20.37 25.71 29.42
Lampung 9,8 12.47 12.44 15.71 21.23
Bangka Belitung - - - - 43.02
Sumatera 17,08
DKI Jakarta 100,0
Jawa Barat 12,4
Jawa Tengah 10,7
DI Yogyakarta 15,09 16,3
Jawa Timur 14,5
93.36 99.62 100.00 100.00
Banten -
21.02 34.51 42.69 50.31
Jawa 18,0
18.74 26.98 31.90 40.19
Bali 9,8
22.08 44.42 58.05 57.64
NTB 8,1
19.60 27.43 32.06 40.88
NTT 5,6
- - - 52.17
Timor Timur -

15,57
14.71 26.43 34.31 49.74
14.07 17.12 18.85 35.08
7.51 11.39 13.88 15.46
- 7.79 9.51 -

Kal. Barat 11,0 16.77 19.96 21.66 26.39

1
Penetapan tahapan ini berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan oleh Skeldon (1990). Ciri utama dari
tahap ini adalah adanya megacity (diperlihatkan oleh Firman, 1996) dan peningkatan arus migrasi
internasional. Penetapan tahapan ini juga masih dapat diperdebatkan mengingat ciri-ciri ini tidak
selalu sama di tiap daerah di Indonesia.
2 Kepustakaan lain bahkan menjelaskan fenomena ini dengan istilah “desentralisasi”.

6
Kal. Selatan 12,4 10.30 17.56 22.47 28.14
Kal. Tengah 26,7 21.35 27.06 29.96 36.22
Kal. Timur 39,2 39.84 48.78 50.22 57.75
Kalimantan 20,35
18,65

Sul. Utara19,5 16.76 22.78 26.28 36.64


Sul. Tengah5,7 8.95 16.43 21.87 19.98
Sul. Selatan18,2 18.08 24.53 28.27 29.62
Sul. Tenggara6,3 9.34 17.02 22.38 21.05
Gorontalo- - - - 25.53
Sulawesi15,1816,1
Maluku13,3
Maluku Utara-
Irian Jaya16,3 10.84 18.97 24.57 25.22
Pulau-pulau lain4,73 - - - 30.71
Indonesia14,817,4 20.22 23.97 25.76 24.90
Sumber: BPS (1997); BPS (2001); Takahashi (2003)

22.27 30.90 35.91 42.43

Proses pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat di negara-negara


berkembang tidak diikuti dengan kecepatan yang sebanding oleh pertumbuhan
industrialisasi sebagaimana yang terjadi di negara-negara Eropa. Para ahli
menyebut
fenomena ini sebagai “urbanisasi berlebih” (over-urbanization), “urbanisasi semu”
(pseudo urbanization), atau “hiper-urbanisasi” (hyper-urbanization), untuk
menggambarkan tingkat urbanisasi yang terjadi terlalu tinggi di atas tingkat
industrialisasi yang dicapai oleh evolusi suatu masyarakat (McGee, 1985).
Walau demikian, fenomena ini dapat diatasi dengan melakukan upaya
rekayasa
urbanisasi, yaitu suatu upaya untuk mempercepat terjadinya proses urbanisasi
pada
daerah-daerah perdesaan (pinggiran) sehingga diharapkan dapat menciptakan
pertumbuhan kota-kota kecil baru sebagai daerah penyangga yang akan dapat
“mengerem” arus migrasi penduduk dari perdesaan ke perkotaan.
Pada sisi lain, angka pertumbuhan penduduk telah turun dari 2,3 % per tahun
pada periode 1971-1980 ke 1,97% per tahun pada periode 1980-1990. Saat ini
(1990-
2000) angka tersebut menurun lagi menjadi 1,35% dan akan menjadi 1,23% pada
tahun
2000-2005 dan 0,68% pada tahun 2015-2020 (Ananta dan Anwar, 1995).
Penurunan
tersebut mengikuti “Skenario Terpilih” dari proyeksi yang disiapkan oleh Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Meski angka pertumbuhan penduduk secara nasional sudah cukup rendah
(Lihat
Tabel 3), namun ternyata angka pertumbuhan penduduk wilayah perkotaan di
Indonesia
jauh di atas rata-rata pertumbuhan nasionalnya (meskipun dengan kecenderungan
yang
menurun pula). Hal ini terlihat pada Tabel 4 yang memperlihatkan rata-rata
pertumbuhan penduduk perkotaan menurut propinsi di Indonesia yang juga dapat
dibandingkan dengan Tabel 3.
7
Tabel 3.
Angka Pertumbuhan Penduduk Per Tahun
Menurut Propinsi di Indonesia: 1961-1971; 1971-1980; 1980-1990; dan 1990-
2000

Propinsi1961-1971 1971-1980 1980-1990 1990-2000


DI Aceh2.14 2.93 2.721,67
Sumatra Utara2.95 2.60 2.061,17
Sumatra Barat1.90 2.21 1.620,57
Riau2.92 3.11 4.313,79
Jambi3.09 4.07 3.381,80
Sumatra Selatan2.20 3.32 3.092,15
Bengkulu2.51 4.39 4.381,83
Lampung5.29 5.77 2.651,05
DKI Jakarta4.46 3.93 2.410,16
Jawa Barat2.09 2.66 2.572,17
Jawa Tengah1.76 1.64 1.180,82
DI Yogyakarta1.07 1.10 0.570,68
Jawa Timur1.59 1.49 1.080,63
Bali1.77 1.69 1.181,22
NTB2.02 2.36 2.151,31
NTT1.57 1.95 1.791,92
Timor Timur- - 3.02
Kal. Barat2.51 2.31 2.681,53
Kal. Selatan3.56 3.43 3.882,67
Kal. Tengah1.45 2.16 2.321,40
Kal. Timur2.94 5.73 4.422,74
Sul. Utara2.78 2.31 1.601,35
Sul. Tengah2.83 3.86 2.871,97
Sul. Selatan1.40 1.74 1.421,14
Sul. Tenggara2.49 3.09 3.662,86
Maluku3.31 2.88 2.780,65
Irian Jaya- 2.67 3.412,60
Indonesia2.10 2.32 1.971,35
Sumber: BPS (1991); BPS (2001)

8
Tabel 4.
Angka Pertumbuhan Penduduk Per Tahun Daerah Perkotaan
Menurut Propinsi di Indonesia: 1980-1990 dan 1990-1995

Propinsi 1980-1990 1990-1995


DI Aceh 8.75 7.92
Sumatra Utara 5.51 4.65
Sumatra Barat 6.44 6.02
Riau 5.93 5.07
Jambi 8.99 8.27
Sumatra Selatan 3.87 3.36
Bengkulu 12.74 8.57
Lampung 2.64 6.93
DKI Jakarta 3.09 2.06
Jawa Barat 7.78 6.51
Jawa Tengah 4.93 4.22
DI Yogyakarta 7.86 5.52
Jawa Timur 4.54 4.00
Bali 7.29 6.24
NTB 4.17 3.56
NTT 6.12 5.94
Timor Timur - 6.52
Kal. Barat 4.45 4.09
Kal. Selatan 9.58 8.32
Kal. Tengah 4.78 4.28
Kal. Timur 6.55 4.89
Sul. Utara 4.76 4.28
Sul. Tengah 9.31 8.56
Sul. Selatan 4.56 4.53
Sul. Tenggara 10.06 9.11
Maluku 8.71 7.79
Irian Jaya 5.23 4.83
Indonesia 5.37 4.76
Sumber: BPS (1997)

Rata-rata pertumbuhan penduduk tersebut di atas juga ternyata di atas rata-


rata
pertumbuhan penduduk perkotaan yang diperkirakan oleh United Nations (1995).
Perkiraan ini didasarkan atas kecenderungan pertumbuhan penduduk wilayah
perkotaan
di Indonesia mulai tahun 1950. Dari perkiraan tersebut terlihat bahwa pada
awalnya
9
pertumbuhan penduduk perkotaan mengalami kenaikan hingga tahun sembilan
puluhan,
kemudian turun kembali pada periode-periode selanjutnya.
Menurunnya angka pertumbuhan di perkotaan lebih disebabkan oleh
menurunnya angka kelahiran di daerah tersebut dan hal ini serentak terjadi pula di
daerah perdesaan. Hal ini terlihat juga bahwa angka pertumbuhan di daerah
perdesaan
terlihat semakin negatif (Lihat Tabel 5).
Tabel 5.
Perkiraan Angka Pertumbuhan Penduduk
Perkotaan dan Perdesaan Di Indonesia: 1950-2025

PerkodePerkotaanPerdesaan
1950-19553.321.45
1955-19603.731.85
1960-19653.721.85
1965-19703.892.03
1970-19754.921.85
1975-19804.881.42
1980-19855.331.02
1985-19904.910.53
1990-19954.490.11
1995-20004.08-0.11
2000-20053.57-0.37
2005-20102.98-0.66
2010-20152.60-0.69
2015-20202.22-0.68
2020-20252.00-0.80
Catatan: Tidak termasuk Propinsi Timor-Timur
Sumber: United Nations (1995)

Menurunnya angka pertumbuhan penduduk baik secara nasional maupun


regional, diikuti pula oleh penurunan pertumbuhan penduduk pada tingkat sub-
regional.
Secara umum, pertumbuhan penduduk di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung, Medan, Semarang, Makassar, Padang, Pekanbaru, Bandar Lampung
mengalami penurunan yang cukup signifikan sejak periode 1961-1971 hingga
periode
terakhir 1990-2000. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 6 di bawah ini yang
memperlihatkan kecenderungan penurunan pertumbuhan penduduk di beberapa
kota
besar di Indonesia.

10
DalamTabel
kaitan
6. Pertumbuhan
ini peran regulasi
Penduduk
ketransmigrasian
di BeberapadiKotaIndonesia,
di Indonesia:
harus mampu
menunjukkan revitalisasi yang positif. Utamanya dalam rekruitmen calon
tarnsmigran
Kota (Propinsi) 1961-71 1971-80 1980-90 1990-2000
harus “melihat” kepentingan pengembangan daerah tujuan. Apa dan bagaimana
Penduduk > 1.000.000
tujuan
Jakarta (DKI Jakarta)*
(kebijakan) pengembangan daerah 4.46dengan3.93 dukungan penempatan
2.41 penduduk
0.16
Surabaya (Jawa Timur)
hendaknya 4.49 2.95 2.05 0.43
Bandung (Jawa Barat)
disesuaikan dengan SDM yang ada. 2.15 Sisi positif
2.20 dari peran penempatan
3.47 transmigrasi
0.41
Medan (Sumatera Utara)
dalam mendukung pembentukan suatu wilayah
2.90 8.88** kota (urban),
2.30 antara lain
0.97 mampu
Semarang (Jawa Tengah)
mengurangi kekumuhan perkotaan 2.57 itu sendiri,
5.12**yaitu dengan
2.00 penataan permukiman
0.75
Palembang (Sumsel)
penduduk yang relatif proporsional 2.09sesuai dengan
3.36 embrio daerah penyangga
3.78 2.42 kota
Makassar (Sulawesi Sel.)
di 1.26 5.52** 2.91 1.51
tingkat daerah setara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi regional.
Tetapi apapun alasannya proses urbanisasi dan perkembangan daerah
perkotaan
di Indonesia pada hakekatnya mencerminkan kondisi serta perkembangan ekonomi
Penduduk:
wilayah 500.000-1
(regional) juta nasional. Terlepas dari implikasi negatif yang selalu
maupun
Padang (Sumatera
menyertai Barat)pembangunan
dalam proses 3.20 seperti
10.35**polusi, kepadatan
2.76 lalu1.24
lintas,
Pekanbaru (Riau)
masalah 7.51 2.79 7.91** 3.99
Bandarlampung
perumahan, (Lampung)
kriminalitas, kekumuhan
4.08 dan sebagainya,
4.00 kecenderungan
8.40** urbanisasi
1.61
Bogor (Jawagejala
merupakan Barat)yang wajar dan2.45alamiah 2.60
yang tidak dapat
0.94 dihindari.
10.97**
Malang (Jawa Timur) ini sejalan 2.17
Kecenderungan dengan perkembangan
2.13 sosial-ekonomi
3.12 masyarakat
0.78
Banjarmasin (Kalsel)
baik pada tingkat regional, nasional
2.81 maupun global. Persoalan
3.38 2.36 yang lebih
1.05 mendasar
Samarinda (Kaltim)
di 7.12 7.44 4.40 2.59
masa depan adalah bagaimana kita menyikapi perkembangan dan dinamika
masyarakat
dengan arif dan bijaksana tanpa harus mengorbankan pihak yang selama ini sudah
Keterangan: * Merupakan aglomerasi dari 5 kota di DKI Jakarta
menjadi **korban.
Akibat perluasan wilayah kota
Sumber: Takahashi (2003)

Penurunan pertumbuhan penduduk kota-kota besar tersebut ternyata diikuti


oleh
peningkatan pertumbuhan penduduk yang cepat di wilayah-wilayah sekitar kota
tersebut. Fenomena ini yang dikenal sebagai “urban sprawls”. Hal ini misalnya
terlihat
pada wilayah metropolitan Jabodetabek yang mengalami pertumbuhan penduduk
yang
cepat di beberapa kota di sekitar wilayah Jakarta (sebagai daerah inti), seperti di
Tangerang, Bekasi dan Depok. Daerah kota/kabupaten di pinggiran Jakarta ini
umumnya mengalami peningkatan penduduk tiga kali lipat dalam kurun waktu 10
tahun (Takahashi, 2003).

4. Tantangan di Masa Depan

Dari uraian di atas nyatalah bahwa penduduk makin mengkota. Meningkatnya


proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan dapat berarti bahwa penduduk
berbondong-bondong pindah dari perdesaan ke perkotaan, atau pembangunan
daerah
makin pesat yang pada gilirannya mengubah suatu daerah dari berciri perdesaan
menjadi ciri perkotaan. Sementara itu daerah yang saat ini sudah menjadi wilayah
perkotaan akan menjadi daerah metropolitan.

11
12
DAFTAR PUSTAKA

Ananta, Aris dan Chotib. 2002. “Dampak Mobilitas Tenaga Kerja Internasional
terhadap Sendi Sosial, Ekonomi, dan Politik di Asia Tenggara: Sebuah Gagasan
untuk Kajian Lebih Lanjut”. Dalam Tukiran, et. al. Mobilitas Penduduk
Indonesia: Tinjauan Lintas Displin. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Ananta, Aris and Evi Nurvidya Anwar, 1995. Projection of Indonesian Population and
Labor Force: 1995-2025. Population Projection Series no. 5. Jakarta:
Demographic Institute Faculty of Economics University of Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 1988. Klasifikasi Urban-Rural Berdasarkan PODES-SE 1986.
Jakarta.
------. 1997. Perpindahan Penduduk dan Urbanisasi di Indonesia: Hasil Survei
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995. Jakarta.
------. 2000. Kriteria Desa Perkotaan 2000: Penjelasan Ringkas. (Draft Sangat
Sementara). Jakarta.
------. 2001. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2000. Seri L2.2 Jakarta.
------. 2003. Estimasi Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi. Hasil Sensus Penduduk 2000.
Jakarta.
Brockerhoff, Martin P. 2000. “An Urbanizing World”. Population Bulletin. Vol. 55,
no. 3. Washington DC: Population Reference Bureau.
Chotib. 2002. “Urbanisasi Tidak Selalu Berkonotasi Negatif”. Warta Demografi, no.
4/32: 55-63.
Firman, Tommy. 1996. “Pola Urbanisasi di Indonesia: Kajian Data Sensus Penduduk
1980 dan 1990”. Dalam Aris Ananta dan Chotib. Mobilitas Penduduk di
Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi FEUI dan Kantor Menteri Negara
Kependudukan/BKKBN.
McGee, Terry G. 1981. “Southeast Asian Urbanization: Three Decades of Change”.
Prisma, 51: 3-16.
Population Reports. 2003. Meeting the Urban Challenge. Series M, No. 16.
Skeldon, Ronald. 1990. Population Mobility in Developing Countries. London:
Belhaven Press.
Takahashi, Muneo. 2003. “Urbanization and Population Distribution Changes in the
Age of Decentralization: A Comparative Study between Indonesia and Japan”.
In TA Legowo and Muneo Takahashi. Regional Autonomy and Socio-Economic
Development in Indonesia – A Multidimensional Analysis. Chiba: Institute of
Developing Economies Japan External Trade Organization.
United Nations (UN). 1995. World Population Prospects: The 1994 revision. New
York.
------. 2001. World Urbanization Prospects: The 2001 revision. New York.

13
Zelinsky. 1971. “The Hypothesis of the Mobility Transition”. Geographical Review,
61:
165-89.

14

Anda mungkin juga menyukai