Anda di halaman 1dari 16

Permainan/ Child's Play (Kaulinan Budak): SORODOT

GAPLOK
oleh: McDeeck    

KEKAYAAN ragam permainan anak jaman dahulu sangat memancing jiwa sportif, membangkitkan
gairah, sekaligus berolah raga. Salah satu permainan yang cukup dikenal di Jawa Barat adalah
SORODOT GAPLOK. Permainan ini menggunakan batu sebagai alat permainan. Jumlah pemain adalah
genap, jadi minimal ada dua orang untuk bermain secara bergantian. Bisa juga menyertakan lebih
banyak pemain, namun terbagi dalam dua tim. Cara bermain, disepakati satu garis untuk memasang
batu secara berdiri. Lantas ada satu garis pada jarak tertentu untuk pemain lawan melemparkan batu
Biasanya berjarak 3 - 5 meter. Pemain yang memasang batu secara berdiri adalah pemain/tim yang
berjaga. Sedangkan pemain/tim yang melempar batu adalah yang bermain. Tim pemain akan berdiri
berjajar di garis lempar untuk melemparkan batu miliknya untuk menjatuhkan batu lawan. Ada yang
dalam satu lemparan bisa langsung menjatuhkan batu lawan, ada juga yang lemparannya terlalu
dekat atau terlalu jauh, sehingga harus melempar dari posisi jatuh batunya. Jika jaraknya dekat,
lemparan dilakukan secara ngolong, yaitu posisi setengah berjongkok dan batu dilemparkan lewat
kolong kaki. Jika jaraknya cukup jauh, batu dikolongkan namun ke arah atas, lalu ditangkap, kemudian
dilemparkan seperti biasa. Jika semua batu lawan sudah jatuh, dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu
menjatuhkan batu lawan dengan menggunakan kaki. Batu diletakkan di atas kaki, lalu melangkah
seraya berusaha membenturkan batu ke batu lawan. Biasanya pada jarak terntentu, langkah terhenti,
sehingga batu meluncur datar. Inilah yang disebut sorodot (meluncur) dan batu yang saling menubruk
batu seolah sedang saling menampar (gaplok).
Olimpiade "Sorodot Gaplok"

"Sorodot Gaplok"
Ada di Olimpiade

MASIH ingat dengan istilah egrang, sorodot gaplok, toktak, atau


mengbal? Ya, itu adalah beberapa jenis permainan tradisional khas Jawa
Barat yang kini semakin langka dimainkan.

Egrang atau jajangkungan, jenis permainan dengan menggunakan bambu


yang mengharuskan peserta untuk berjalan dengan ketinggian pijakan
tertentu. Sorodot gaplok, jenis permainan menggunakan batu yang harus
dilontarkan dengan menggunakan kaki. Toktak, permainan mirip badminton
tapi alat yang digunakan terbuat dari kayu, dan mengbal atau sejenis
futsal mini.

Sungguh suatu hal yang menggembirakan, karena permainan itu kini masuk
olimpiade. Memang sih, bukan tingkat dunia, tapi paling tidak kaulinan
urang Sunda itu mulai dilirik para elite.

Dengan tujuan ingin melestarikan permainan tradisional atau kaulinan


urang Sunda, Universitas Padjadjaran menggelar Olimpiade Olah Raga
Tradisional, Sabtu (1/11) di kampus Unpad, Jln. Dipati Ukur Bandung.
Sekitar 1.277 peserta yang terdiri atas dosen, mahasiswa, staf, dan
karyawan Unpad, bertanding dalam cabang permainan tradisional ini.

Rektor Unpad Ganjar Kurnia yang juga turut serta sebagai peserta grand
prix egrang menuturkan, permainan tradisional sebenarnya memiliki
makna lebih dari sekadar olah raga. Sebab untuk bisa melakukan
kaulinan tradisional ini dituntut kreativitas terutama dalam membuat
alat permainan.

"Ke depan akan terus kita kembangkan dengan berbagai jenis permainan
lainnya. Minimal kita bekerja sama dengan pemda sehingga kabupaten
kota juga mengirimkan kontingennya. Kalau dilombakan pasti bisa
bertahan," katanya seraya menambahkan kegiatan ini merupakan bagian
dari rangkaian Dies Natalis ke-51 Unpad.

Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Lex Laksamana yang hadir dalam
kesempatan tersebut, juga berharap ke depan ajang seperti ini bisa
dilakukan di semua daerah di Jawa Barat. Bahkan bukan tidak mungkin
bisa menjadi salah satu ajang wisata budaya Jawa Barat.

Dona, salah seorang peserta olimpiade, mengaku, cukup antusias


mengikuti kegiatan ini. Terlebih selama ini, kata Dona yang mahasiswa
Fakultas Hukum Unpad ini, dirinya tidak pernah tahu kalau ada
permainan menarik seperti ini di Jawa Barat.

Senada dengan Dona, mahasiswa Unpad lainnya Ega mengaku antusias dan
bangga bisa menjadi bagian dari upaya pelestarian budaya lokal Sunda.
Ke depan, kata Ega, sosialisasi mengenai permainan tradisional ini
harus dilakukan terutama kepada generasi muda. Sebab saat ini, kata
dia sudah banyak generasi muda yang berangsur melupakan permainan
tradisional. (Nuryani/"PR")***
Jul 27, '09 10:03 PM
Sorodot Gaplok for everyone
Urang sunda asli mah pasti tahu 2 kata yang jadi judul diatas. 
Sorodot = Jatuh (tepatnya kurang hafal juga..bukan asli Sunda buhun..hehe)
Gaplok = ditampar (bhs. sunda kasar)
Jadi lengkapnya : Jenis permainan rakyat yang menggunakan batu (nah lho..!)
Iya. Sorodot gaplok ini salah satu permainan rakyat yg biasa dimainkan tahun 1985 lah..soalnya saya lahir tak jauh dari
tahun itu. 
Permainan sederhana yg bisa dimainkan oleh 2 orang, 4 orang atau 8 orang...atau lebih. Modalnya cuma sepasang kaki,
sepasang tangan, dan batu berukuran tebal dan besar. Cukup untuk dibawa oleh tangan dan di ayun oleh kaki ^_^
Pagi tadi anak-anak kota bermain ini. Saya yakin anak-anak itu pasti dulunya berasal dari kampung, dan terpaksa sekolah di
kota. Jadi masih bisa main sorodot gaplok.
Caranya :
1. Siapkan dua pasang lawan tanding ( 2 lawan 2, 4 lawan 4 atau lebih)
2. Suit ( tentukan yg duluan main)
3. Yg kalah (A) siapkan batu di garis yg sudah dibuat di tanah
4. Yg main duluan (B) siap2 membidik batu yg dipasang ditanah dari jarak yg sudah ditentukan
5. Batu yg dilempar B, jatuh tak jauh dari batu tim A. Jongkok dan lempar batu yg dipasang. Kalau jatuh maka naik ke tahap
berikutnya.
6. Simpan batu Tim B di kaki, ayun dan bidik kembali batu tim A yg sudah jatuh.
7. Sepertinya memang harus melihat permainan ini. Kalau dijelaskan malah bingung (saya maksudnya yg jadi bingung,
hehe)
Lomba Engrang dan Sorodot Gaplok di UNPAD…
Engrang?? Sorodot Gaplok??, istilah ini sudah lama tidak saya dengar dan sudah lebih dari 20 tahun tidak saya mainkan.

Engrang dan Sorodot Gaplok, mengingatkan saya kembali ke masa kanak-kanak sekitar tahun 80-an dimana saya masih

bersekolah di SD. Ketika selesai pulang sekolah, saya dan teman-teman sebaya disekitar rumah hampir setiap hari

mempunyai ”ritual” penting yang waktu itu dirasakan sangat seru dan menyenangkan yaitu bermain Sorodot

Gaplok. Sedangkan engrang, walaupun lebih jarang dimainkan, cukup memberi kesan mendalam karena permainan ini

mampu menghadirkan tarikan adrenalin bagi saya dan teman-teman waktu itu, bukan karena tingginya pijakan engrang

sehingga membutuhkan keberanian untuk memainkannya, tetapi  masih terasa saat-saat dimana detak jantung semakin

cepat dan kepanikan luar biasa terasa ketika pemilik kayu yang kita gunakan untuk membuat engrang berteriak dan berlari

mengejar saat mengetahui kayu-kayu untuk membangun rumahnya mendadak berkurang satu demi satu.

Cukup surprise ketika pagi ini saya melihat Website Unpad dan disitu terdapat informasi mengenai Jadwal

Rangkaian Kegiatan Dies Natalis Unpad ke-51 dan tercantum adanya kegitan Olimpiade Olah Raga Tradisional Unpad

(OOTPad) dengan Engrang dan Sorodot Gaplok sebagai dua diantara sekian cabang olah raga yang dipertandingkannya

selain Rampak Gerak, Badminton Toklak dan Mengbal. Dua cabang olah raga terakhir kadang-kadang masih saya lakukan

sesekali sampai saat ini, bersama teman, keponakan-keponakan atau saudara.

 Engrang dan Sorodot Gaplok menjadi dua hal yang sangat menarik bagi saya saat membacanya, bukan saja karena

teringat kembali masa-masa kecil saya dulu, tetapi teringat pula akan nasib pemainan tradisional tersebut saat ini yang

keberadaannya sudah sangat langka dimainakan terutama oleh anak-anak kecil di perkotaan. Bahkan saya sendiri pun

sudah lupa bagaimana permainan ini dimainkan.

Mengutip dari Wikipedia, Sorodot gaplok nyaéta ampir sarua jeungéngklé, ngan batuna dibawa ku suku bari leumpang

gancang terus sarua ditajongkeun kana batu séjén anu ditangtungkeun. Sorodot Gaplok mirip dengan engkle (nah ini juga

permainan tradisional semacam sonlah, apa itu sonlah atau engkle? nanti kita bahas lagi di lain waktu), hanya saja batu

tersebut di bawa menggunakan kaki sambil berjalan cepat dan dilemparkan ke batu lain yang ditegakkan.

Sedangkan engrang adalah permainan terbuat dari kayu atau bambu yang ditengahnya terdapat pijakan kaki. Orang yang

menggunakan engrang harus menaiki kayu tersebut dengan memijak pijakan engrang serta memegang ujung atas

engrang, lalu berjalan. Dibutuhkan keseimbangan untuk berjalan diatas engrang ini.

Mudah-mudahan dengan penyelenggaraan Olimpiade Olah Raga Tradisional Unpad (OOTPad) ini, permainan-permainan
tradisional semacam itu dapat kembali dikenal oleh masyarakat dan dapat dilestarikan karena merupakan salah satu

kekayaan tradisi Indonesia serta bersaing dengan permainan-permainan lain saat ini. Hayu urang ngiringan ah….
Menjaga Perepet Jengkol Tak Punah
11 Agustus 2010 - 13:53 WIB

Sorodot Gap Lop

Bambang Prasethyo

Anak-anak sekarang mungkin tidak mengenal permainan egrang, kelom batok, rorodaan, engkle, sondah, sorodot gaplok,
perepet jengkol, gatrik, gasing, atau bedil jepret. Semua jenis permainan tradisional tersebut mulai dilupakan dan tersisih
oleh permainan modern, Play Station, bahkan game internet.
 
Dinas Budaya dan Pariwisata Jawa Barat menggelar Alimpaido, olimpiade berbagai jenis mainan anak. ”Mudah-mudahan
ajang Alimpaido dapat terus bergulir dan menjadi sarana konservasi budaya dan beragam permainan rakyat Jabar,” kata
Kepala Disbudpar Jabar, Herdiwan. (*)
Sorodot Gaplok
KEKAYAAN ragam permainan anak jaman dahulu sangat memancing jiwa sportif, membangkitkan gairah, sekaligus berolah
raga. Salah satu permainan yang cukup dikenal di Jawa Barat adalah SORODOT GAPLOK. Permainan ini menggunakan batu
sebagai alat permainan. Jumlah pemain adalah genap, jadi minimal ada dua orang untuk bermain secara bergantian. Bisa
juga menyertakan lebih banyak pemain, namun terbagi dalam dua tim. Cara bermain, disepakati satu garis untuk
memasang batu secara berdiri. Lantas ada satu garis pada jarak tertentu untuk pemain lawan melemparkan batu Biasanya
berjarak 3 - 5 meter. Pemain yang memasang batu secara berdiri adalah pemain/tim yang berjaga. Sedangkan pemain/tim
yang melempar batu adalah yang bermain. Tim pemain akan berdiri berjajar di garis lempar untuk melemparkan batu
miliknya untuk menjatuhkan batu lawan. Ada yang dalam satu lemparan bisa langsung menjatuhkan batu lawan, ada juga
yang lemparannya terlalu dekat atau terlalu jauh, sehingga harus melempar dari posisi jatuh batunya. Jika jaraknya dekat,
lemparan dilakukan secara ngolong, yaitu posisi setengah berjongkok dan batu dilemparkan lewat kolong kaki. Jika
jaraknya cukup jauh, batu dikolongkan namun ke arah atas, lalu ditangkap, kemudian dilemparkan seperti biasa. Jika
semua batu lawan sudah jatuh, dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menjatuhkan batu lawan dengan menggunakan
kaki. Batu diletakkan di atas kaki, lalu melangkah seraya berusaha membenturkan batu ke batu lawan. Biasanya pada jarak
terntentu, langkah terhenti, sehingga batu meluncur datar. Inilah yang disebut sorodot (meluncur) dan batu yang saling
menubruk batu seolah sedang saling menampar (gaplok).
Apa Kabar “Kaulinan” baheula?
Posted on 4 Oktober 2010 by visit
Kamarana kaulinan baheula? sampai sekarang pertayaan itu susah terjawab.

Saat ini “kaulinan” alias permainan Tradisional sudah sangat jarang kita lihat dan temui,
lihat saja anak2 sekarang lebih suka main game konsol dan berbagai macam permainan yg
serba digital.

Mungkin anak-anak sekarang tidak pernah tau apa itu gatrik, Sorodot Gaplok, ngadu
muncang, ucing sumput, dodokaran, sondlah, galah jidar dan lain-lainya.

Sorodot Gaplok :

Permainan ini menggunakan batu sebagai alat permainan. Jumlah pemain adalah genap,
jadi minimal ada dua orang untuk bermain secara bergantian. Bisa juga menyertakan lebih
banyak pemain, namun terbagi dalam dua tim. Cara bermain, disepakati satu garis untuk
memasang batu secara berdiri. Lantas ada satu garis pada jarak tertentu untuk pemain
lawan melemparkan batu Biasanya berjarak 3 – 5 meter. Pemain yang memasang batu
secara berdiri adalah pemain/tim yang berjaga. Sedangkan pemain/tim yang melempar
batu adalah yang bermain. Tim pemain akan berdiri berjajar di garis lempar untuk
melemparkan batu miliknya untuk menjatuhkan batu lawan. Ada yang dalam satu
lemparan bisa langsung menjatuhkan batu lawan, ada juga yang lemparannya terlalu dekat
atau terlalu jauh, sehingga harus melempar dari posisi jatuh batunya. Jika jaraknya dekat,
lemparan dilakukan secara ngolong, yaitu posisi setengah berjongkok dan batu
dilemparkan lewat kolong kaki. Jika jaraknya cukup jauh, batu dikolongkan namun ke arah
atas, lalu ditangkap, kemudian dilemparkan seperti biasa. Jika semua batu lawan sudah
jatuh, dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menjatuhkan batu lawan dengan
menggunakan kaki. Batu diletakkan di atas kaki, lalu melangkah sambil berusaha
membenturkan batu ke batu lawan. Biasanya pada jarak terntentu, langkah terhenti,
sehingga batu meluncur datar. Inilah yang disebut sorodot (meluncur) dan Gaplok !! batu
yang saling menubruk batu seolah sedang saling menampar.
Alimpaido, Pesta Permainan Tradisional Jawa Barat
MINGGU, 08 AGUSTUS 2010 | 18:00 WIB
Besar Kecil Normal

Alimpaido. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO Interaktif, Bandung--Pebi Imaulana Soleh langsung berlari dengan egrang ketika kibasan bendera
diangkat. Empat rekannya pun melesat ke tempatnya masing-masing. Aldi Cahya dan Pahala
Simamora bersiap menaiki rorodaan. Sedangkan Herdian menyiapkan gasing bambu di arena pangal.
Nun di ujung lintasan lomba berjarak sekitar 100 meter itu, Galih Putra berkonsentrasi penuh untuk
menjatuhkan gelas plastik dengan bedil jepret.

Dalam hitungan menit, para siswa Sekolah dasar dan Sekolah Menengah Pertama asal Kabupaten
Sukabumi itu akhirnya mempecundangi tim asal Kabupaten Ciamis di babak final. Mereka keluar
sebagai juara pertama Alimpaido tahun ini. Pesta permainan rakyat yang digelar semarak di pelataran
Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Jalan Dipati Ukur, Bandung, itu berlangsung 7-8 Agustus.

Peserta tahun ini tak hanya berdatangan dari 26 kota dan kabupaten di Jawa Barat, tapi juga diikuti
mahasiswa asal Papua, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, dan Lampung, yang sedah kuliah di Bandung.
Tim mahasiswa asal Malaysia juga ikut menjajal permainan yang beberapa diantaranya seperti egrang,
kelom batok, dan gasing hampir mirip di negaranya. "Permainan ini menarik dan bikin senang, di
Malaysia jarang ada acara seperti ini," kata Muhammad Arif, mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran asal Kota Baru, Kelantan. 

Alimpaido mempertandingkan 9 permainan tradisional yang umum dikenal di Jawa Barat, yaitu
egrang, kelom batok, rorodaan, engkle atau sondah, sorodot gaplok, perepet jengkol, gatrik, gasing,
dan bedil jepret. Dalam perlombaan dengan berbagai rintangan itu, seluruh permainan yang alatnya
terbuat dari kayu, bambu, batok kelapa, dan batu tersebut dilakukan secara estafet. Seorang anggota
tim boleh memainkan dua sampai tiga permainan.

Egrang yang terbuat dari sepasang bambu setinggi kira-kira 2,5 meter, dimainkan dengan cara diinjak
pada bagian alas kakinya lalu dipakai berjalan atau berlari. Begitu pula kelom batok yang terbuat dari
belahan tempurung kelapa. Agar tak jatuh, pemain harus memegang seutas tali yang mengikat batok. 

Adapun rorodaan yang berbentuk seperti mobil-mobilan kecil sederhana dari kayu, dimainkan dengan
cara dinaiki lalu didorong oleh orang dibelakang pemain. Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf
sempat mencoba permainan ini saat pembukaan acara.

Engkle atau sondah yang biasa dimainkan anak-anak perempuan, mengharuskan pemain melompati
petak-petak seperti bentuk pesawat. Sedangkan sorodot gaplok adalah permainan membawa batu
dengan telapak kaki bagian atas lalu dibenturkan ke batu lain yang berdiri sejauh dua meter lebih agar
jatuh. 

Alimpaido yang merupakan peseletan dari olimpiade, kata Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Jawa
Barat Herdiwan, digelar sejak tahun lalu untuk melestarikan budaya lokal agar tak semakin tergeser
permainan modern. Lomba tersebut rencananya akan dikembangkan dengan lebih banyak
mengundang peserta dari berbagai daerah. “Diupayakan bisa naik ke tataran nasional,” ujarnya saat
penutupan acara, Minggu (8/8). 

Sejumlah peserta lomba kepada Tempo mengakui, hanya segelintir permainan tradisional yang
sesekali mereka mainkan di kampung. Sebagian karena teman-temannya lebih suka menonton televisi
atau menyewa game play station. “Yang masih ada kelereng, sondah, bebedilan, dan layangan,” kata
Asep Nurjana, anak Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, di sela lomba.

Seluruh anggota tim juara Alimpaido asal Sukabumi bahkan pada awalnya tak mengerti sama sekali
cara memainkan gasing, gatrik, dan bedil jepret. “Mereka cuma tahu dari buku nama-nama permainan
tradisional tapi nggak tahu cara mainnya,” kata pelatih tim Agustian Faisal di Bandung, Minggu (8/8).
Staf honorer Dinas Budaya, Pariwisata, dan Olahraga Kabupaten Sukabumi itu memerlukan waktu
hampir lima bulan untuk melatih timnya. 

Agar permainan anak-anak kampung itu tak punah, Beni Gunawan seorang guru SD Giri Jaya Cianjur,
memakai jam olahraganya untuk mengenalkan sondah, egrang, bebentengan, gatrik, pangal atau
gasing, bedil jepret, dampu, perepet jengkol, serta oray-orayan kepada pada murid. “Buat anak SD
yang penting tubuhnya harus gerak,” ujarnya. 

Selain itu, beberapa permainan tradisional juga memiliki arti atau nilai perilaku tertentu. Menurut
Mohamad Zaini Alif, pendiri komunitas Hong yang mengenalkan permainan anak-anak tradisional ke
masyarakat, sejumlah permainan tak hanya melatih ketangkasan dan kekuatan fisik. “Seperti egrang
dan kelom batok, itu menyadarkan anak pentingnya keseimbangan hidup dan berpegang ke Yang
Diatas,” ujarnya. 

Dari hasil penelitianya, tercatat ada 125 permainan tradisional yang tersebar di seluruh Jawa Barat.
Beberapa ada yang dikenal umum seperti yang dilombakan dalam Alimpaido, selebihnya khas daerah
tertentu. “Memang banyak yang sudah nyaris punah, diantaranya karena kesulitan bahan dan tempat
bermain,” katanya.
 
ANWAR SISWADI  
SELAMATKAN BANGSA DENGAN KEARIFAN LOKAL
 
(Diskominfo/Bag. Humas Subang )
Kebudayaan nenek moyang perlu dilestarikan oleh generasi muda. Karena dalam budaya tradisional memiliki nilai
kearifan lokal yang baik untuk menjadi benteng dampak negatif dari perkembangan teknologi. Hal tersebut
merupakan sambutan Wakil Bupati Subang, Ojang Sohandi pada kesempatan membuka kegiatan Festival Budaya
dan Olahraga Tradisional tahun 2010 yang dilaksanakan pada Selasa (13/7) di Alun-alun Cijambe Subang. 

Banyak nilai-nilai lokal yang mulai dilirik kembali dalam rangka membentengi pengaruh buruk globalisasi.
Diantaranya dengan menghidupkan kembali budaya lokal melalui kesenian, permainan tradisional dan ajaran-
ajaran tradisional. Diantaranya ialah, program “Back to Nature” dan “Go to Green” merupakan salah satu karya
dari kearifan lokal mulai digali. Selanjutnya dalam permainan tradisional banyak nilai-nilai positif yang bisa
ditampilkan diantaranya semangat kebersamaan. Karena umumnya dalam permainan tradisional sebagian besa
melibatkan peserta dalam jumlah banyak. Seperti gatrik dan sorodot gaplok. Sehingga tumbuh kembang individu
secara sosial lebih baik daripada permainan anak-anak modern yang cenderung individual. “Adalah tanggung
jawab kita untuk menjaga eksistensi kekayaan budaya supaya bisa memberikan manfaat dan pengaruh positif,”
tegas Wakil Bupati. 

Sedangkan Panitia penyelenggara, dalam laporannya yang disampaikan oleh Iim, S.Sos, kagiatan yang bertemakan
"Melalui Revitalisasi Kearifan Budaya Lokal & Olahraga Tradisional Kita Sukseskan DMGR" ini bertujuan untuk
melestarikan pelaksanaann budaya daerah yang semakin ditinggalkan khususnya generasi muda. Manumbuhkan
rasa bangga generasi muda pada kebudayaan daerah. Adapun kegiatan ini mengambil tema 

Hal senada disampaikan oleh Kepala Staf Kodim 0605/Subang, Mayor Arm Ahmad Janto yang hadir sebagai
undangan yang mengungkapkan rasa bangganya atas diselenggarakan kegiatan festival ini. Selaku masyarakat dan
anggota TNI, dirinya sangan mengapresiasi kegiatan festival kebudayan dan olahraga tradisional sebagai upaya
menjaga kekayaan budaya bangsa untuk menjiwai masyarakat dengan kearifan lokalnya. "Jangan sampai kekayaan
budaya Indonesia yang di Subang diambil oleh 'orang lain'. Maka dari itu harus dipelihara. Lebih jauhnya
diterapkan selagi bisa dilakukan," komentar Ahmad Janto. 

Dalam festival yang melibatkan masyarakat secara langsung ini menampilkan olah permainan tradisional
diantaranya: jajangkungan, bebeletokan (tembakan dari bambu), perepet jengkol, sorodot gaplok, gatrik dan
momobilan. Ditampilkan pula helaran kesenian daerah dan alimpaido (kaulinan urang lembur) dan pameran
kuliner yang diikuti oleh para seniman/seniwati dari 8 desa di Kecamatan Cijambe.  ()
JELANG LIBUR SEKOLAH, BANDUNG GELAR FESTIVAL
PERMAINAN TRADISIONAL
Wednesday, 23 June 2010 15:19 | Written by Administrator |    |   | 

Waktu libur sekolah seringnya diisi siswa dengan mengunjungi berbagai tempat wisata. Siswa SLTP se-Kota Bandung
kini punya alternatif untuk mengisi liburan kali ini. Pasalnya, Bandung menggelar Festival Kaulinan Barudak atau
Festival Permainan Anak.

Festival yang dipusatkan di kawasan alun-alun Ujung Berung Kota Bandung ini menyajikan setidaknya enam jenis
permainan anak yang cukup terkenal. Para siswa bisa mencoba memainkan Engrang, Rorodaan, Sorodot Gaplok,
Panggal, serta Bedil Jepret dan Perepet Jengkol dalam festival ini.

Festival ini dimulai dengan lari marathon 0,5 kilometer dengan jajangkungan atau engrangyang merupakan permainan
bocah pasundan jaman dahulu. Engrang dibuat dengan membuat jajangkung dari bambu sepanjang dua meter yang
diberi pijakan dengan ketinggian 50 sentimeter dari tanah. Selain marathon, ratusan peserta juga mengikuti lari pendek
jajangkungan menempuh jarak 60 hingga 100 meter.

Permainan rorodaan yang menggunakan kayu sebagai kendaraan di tampilkan juga dalam festifal ini. Ada juga
permainan yang dilombakan yakni sorodot gaplok. Permainan ini hanya menggunakan media 2 buah  batu pipih dan
salah satunya dipakai untuk kojo atau yang akan ditembakkan ke batu lainnya. Sorodot gaplok dipercaya mampu
melatih kekompakan dan ketepatan dalam melempar batu.

Kadisbudpar Kota Kandung Priyatna menyatakan festival yang menyajikan permainan tradisional khas anak-
anak pasundan ini digelar untuk memelihara dan mengembangkan seni permaianan tradisional. Menurutnya, hal itu
jarang jarang ditemui dalam permainan anak masa kini. (YC/RAN-Bandung)
Disela-sela makan siang dengan teman kantor, iseng-iseng kita bernostalgia tentang masa kanak-kanak yang dipenuhi dengan berbagai
macam permainan tradisional lengkap dengan lagu-lagu yang mengiringi permainan tersebut.
Lucunya, lagu-lagu yang dinyanyikan, liriknya banyak yang beda meski irama dan permainannya sama. Kesimpulan awal sih, mungkin
karena tempat asal saya da teman juga yang berbeda.
Walhasil, tadinya mau bernostalgia, jadi ketawa-ketawa denger liriknya yang aneh-aneh banget.
Kami berdua sama-sama lahir tahun 1974, jadi mungkin masa kanak-kanak kami tidak jauh berbeda, lain sekali dengan sekarang.
Seingat saya, jamannya saya SD, pada waktu istirahat, lorong sekolah dan lapangan yang dahulu rasanya amat luas dipenuhi oleh anak-
anak yang bermain, entah itu galah asin, gatrik, boy-boyan, sorodot gaplok, bebentengan, sondah, loncat tinggi, bekel dan lain
sebagainya. Anak SD sekarang masih banyak yang ngikutin permainan gitu ga ya?

Sambil coba-coba mengingat semua permainan di atas, mari kita coba review satu-persatu, bagi yang mau nambahin atau mengurangi
dipersilakan:

Sorodot gaplok
Nah, untuk permainan yang satu ini, setiap pemain perlu 2 buah batu kali yang ukurannya kira-kira 5 x 7 cm. Batu pertama diletakkan
dengan posisi berdiri dengan jarak sekitar 2-3 meteran di muka setiap pemain. BAtu yang kedua diletakkan di atas telapak kaki kanan
pemain, tepat di ujung kelima jari yang agak dilengkungkan ke atas untuk menahan batu tersebut.
Dari jarak 3 meter yang telah ditentukan, pemain mulai melangkahkan kaki kiri ke depan. lalu kaki kanan, sambil diayun lalu batu yang
ada di atas telapak kaki dilemparkan sampai mengenai batu yang ada di depannya hingga batu tersebut jatuh tergeletak.
Jadi, kita harus bisa mengira-ngira sejauh mana kaki kita harus melangkah, dan dengan kekuatan sebesar apa hingga batu yang
terlempar dari kaki kita mampu menjatuhkan batu yang diincar.
Alimpaido Munculkan Nilai Kejujuran
DI zaman modern seperti sekarang, mencari kejujuran seperti mencari sebatang jarum di tumpukan
jerami. Kalaupun ada, kejujuran sangat tipis jaraknya dengan ketidakjujuran. 

Namun pada Lomba Kaulinan Urang Lembur atau Alimpaido yang digelar Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Jabar, nilai kejujuran dimunculkan kembali, sekalipun pada pelaksanaannya terbilang agak
sulit. Nilai kejujuran itu muncul ketika peserta Alimpaido terjatuh saat mengikuti lomba jajangkungan
(egrang), kelom batok, rorodaan (momobilan), sondah (engkle), dan sorodot gaplok (bengka). 

Ketika terjatuh, peserta harus mengucapkan kata "bit" atau "cup". Kedua kata itu ibarat pisau tajam yang
membuat takut para peserta, sehingga mereka harus bertindak hati-hati saat mengikuti lomba, apakah
berjalan menggunakan jajangkungan, kelom batok, rorodaan, sondah, maupun sorodot gaplok. Jika
terjatuh, peserta harus kembali ke garis start (mimiti) untuk mengulang perlombaan dari awal.
Sebelumnya, peserta harus mengucapkan kata bit dan cup ini di hadapan wasit untuk bisa memulai
permainan sampai garis finis (rengse).

"Jika tidak, mereka akan didiskualifikasi oleh wasit," ungkap Muh. Zaeni Alif dari Komunitas Hong saat
ditemui di sela-sela Alimpaido di pelataran Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (MPRJB), Jln. Dipati
Ukur Bandung, Jumat (30/10).

Menurut Zaeni, kaulinan urang lembur atau permainan tradisional rakyat memiliki nilai-nilai kejujuran
yang sangat kental. Sangat berbeda dengan permainan modern yang berkembang saat ini. Namun
sayang, kaulinan urang lembur banyak ditinggalkan generasi sekarang, sehingga tak heran jika nilai-nilai
kejujuran pun hilang. Terlebih, permainan tradisional ini banyak dihilangkan dalam kurikulum pendidikan
di Indonesia.

"Diakui atau tidak, anak-anak sekarang seperti tidak mengenal kejujuran. Jika dibiarkan, akan menjadi
masalah besar," katanya.

Beruntung Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar tanggap dengan masalah ini. Agar nilai kejujuran
senantiasa terjaga dan berlaku di masyarakat, maka digelarlah Alimpaido. 

"Tujuan awalnya ingin melestarikan seni budaya tradisional Jawa Barat, khususnya kaulinan urang
lembur yang sudah mulai tidak dikenal masyarakat," ungkap Kepala Disparbud Jabar, Herdiwan Iing
Suranta kepada wartawan, kemarin. 

Namun di balik itu, lanjutnya, nilai-nilai kejujuran yang sudah mulai pudar diangkat. Tak heran jika dalam
pelaksanaannya jarang sekali ada protes dari para peserta, karena sebelumnya mereka mendapat
pengertian kata bit atau cup dalam permainan tersebut.

Herdiwan pun berharap Alimpaido tidak hanya memunculkan permainan tradisional rakyat, tapi juga
berbagai kesenian dan kebudayaan tradisional rakyat Jabar yang langka. 

"Kekayaan seni dan budaya Jabar sangat banyak, namun tidak semuanya dikenal atau diketahui
masyarakat, seperti sejumlah permainan tradisional rakyat," ujarnya.

Berdasarkan hasil penelitian Muh. Zaeni dari Komunitas Hong, ada sekitar 200 jenis permainan
tradisional rakyat Jabar. Lima permainan tradisional yang dilombakan dianggap mewakili 200 jenis
permainan rakyat itu.

"Kelima permainan ini sudah dikenal masyarakat dan banyak terdapat di daerah dengan nama yang
berbeda," ungkap Zaeni. 

Alimpaido diikuti 24 kabupaten/kota se-Jabar, kecuali Kab. Purwkarta dan Kota Banjar. Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata Jabar, Jero Wacik beserta delegasi International Conference on The Coalition
of Cities Against Discrimination, dan Wagub Jabar akan menyaksikan babak final Alimpaido, Sabtu
(31/10) ini. Pada kesempatan itu, akan digelar pula helaran Kemilau Nusantara 2009 dan launching
Alimpaido. (kiki kurnia/"GM")**

Anda mungkin juga menyukai