Anda di halaman 1dari 7

PRAKTIKUM MK.

DASAR-DASAR BISNIS

PENGEMBANGAN BUDIDAYA TANAMAN OBAT (HERBAL) SEBAGAI KOMODITI AGRIBISNIS


BERDASARKAN ASPEK BISNIS DAN EKONOMI

Oleh :

Kelompok 5

Anggota Kelompok :

Deno Yudha R (H24090018), Muhamad Fathonny K (H24090113), Fety Nurlia M. (H24090005),


Wildanur A. (H24090122), Eka Intina Wati (H24070101)

Program Keahlian Manajemen Agribisnis

Direktorat Program Diploma, Institut Pertanian Bogor

Dosen Praktikum : Nilai

Hari / Tanggal : 18 September 2010

Praktikum : Dasar-dasar Bisnis

Ruang :

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Akhir-akhir ini penggunaan tanaman obat di Indonesia semakin meningkat, sedangkan usaha
budidaya tanaman obat masih sangat terbatas. Banyak pula jenis tanaman berpotensi obat
yang tumbuh di kawasan tropis ini belum dimanfaatkan secara optimal. Masyarakat Indonesia
memiliki hubungan yang erat dengan hutan dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka
memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemanfaatan tanaman obat.

Di Indonesia, tanaman obat merupakan salah satu komponen penting dalam pengobatan, yang
berupa ramuan jamu tradisional dan telah digunakan sejak ratusan tahun yang lalu. Tanaman
obat telah berabad-abad didayagunakan oleh bangsa Indonesia dalam bentuk jamu untuk
memecahkan berbagai masalah kesehatan yang dihadapinya dan merupakan kekayaan budaya
bangsa Indonesia yang perlu dipelihara dan dilestarikan.
Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, sebagian besar tinggal di pedesaan
dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal). Pada umumnya mereka
mempunyai kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan tradisional dalam pengelolaan
sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya dan dalam hal ini dikembangkan secara turun
temurun. Kearifan tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki
oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang
berkenan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari.

Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pengembangan tanaman obat di Indonesia
yang dapat digunakan sebagai komoditi agribisnis dan menjelaskan potensi serta peluang
komoditi tanaman obat berdasarkan aspek bisnis dan ekonomi

Manfaat Penulisan

Dengan adanya tulisan ini, masyarakat diharapkan dapat lebih mengenal komoditi tanaman
obat. Masyarakat dapat mengolah sendiri obat-obatan dari tanaman yang tersedia luas di
alam area Indonesia. Indonesia dengan luas wilayah yang sangat luas dengan beragam
sumberdaya, diharapkan dapat menjadi sentral penghasil tanaman obat.

Selanjutnya, masyarakat dapat menjadikan tanaman obat sebagai komoditi agribisnis.


Tanaman obat dapat dijadikan salah satu bisnis yang prospektif dari segi ekonomi dan
kemanusiaan.

PEMBAHASAN

Komoditas Tanaman Obat

Komoditas Tanaman Obat unggulan versi Badan POM (2001) telah ditetapkan seperti
sambilito, pegagan, jati belanda, tempuyung, temulawak, daun ungu, cabe jawa, sanrego,
pasak bumi, pace, daun jinten, kencur, dan teknologi budidayanya untuk sebagian komoditas
sudah tersedia. Beberapa contoh obat tradisional berasal dari tanaman obat asli Indonesia
yang dikemukakan dengan menggunakan bahasa ilmu kedokteran moderen agar dapat
dipahami oleh kalangan dokter yang nantinya diharapkan menjadikan cikal bakal suatu Obat
tradisional.

Untuk Pelayanan Kesehatan Formal:

1) Obat Tradisional sebagai imunomodulator: Phyllanthus niruri L,

2) Obat Tradisional untuk pengobatan Hiperkolesterolemia dan hipertrigli seridemia :


Sechium edule,

3) Obat Tradisional untuk pengobatan kanker: Fam cruciferae, Solanum nigrum, Catharanthus
roseus/Vinca rosea, Aloe vera L, Allium sativum L., Curcuma longa L., Nigella sativa L.,
Morinda citrifolia L., Andrographis paniculata Ness., Gynura procumbens Merr,

4) Obat alami sebagai terapi imun dan terapi adjuvan pada infeksi HIV/AIDS,

5) Obat Tradisional untuk pengobatan hiperurisemia dan artritis Gout,

6) Obat bahan alam untuk pengobatan hemoroid.


Pemanfaatan tanaman obat Indonesia diduga akan terus berlangsung mengingat eratnya
keterikatan bangsa Indonesia pada tradisi kebudayaannya dalam memakai jamu. Di samping
itu, beberapa bahan baku jamu telah menjadi komoditas ekspor yang handal untuk menambah
devisa negara. Sayangnya meningkatnya pemanfaatan tanaman obat sebagai komoditas ekspor
belum diikuti dengan pembudidayaan yang rasional dan pelestarian plasma nutfahnya.
Kenyataan ini akan memaksa perlunya suatu kesadaran terhadap pemanfaatan sumber daya
alam hayati secara lebih hati-hati dan lebih optimal dan lebih didasarkan pada kesadaran
bahwa alam merupakan stok bahan baku obat-obatan yang potensial.

Bisnis Tanaman Obat

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian mencatat bahwa Indonesia


memiliki ketergantungan yang besar terhadap bahan baku dan obat konvensional impor senilai
US$160 juta per tahun. Padahal tren global ”back to nature” menunjukkan pertanaman pesat,
termasuk di Indonesia. Jamu sebagai produk tanaman obat khas Indonesia memiliki arti
strategis di bidang kesehatan.

Masih dari sumber yang sama, berdasarkan prospek pengembangan dan tren investasi ke
depan, lima komoditas tanaman obat yang potensial untuk dikembangkan adalah temulawak,
kunyit, kencur, jahe dan purwoceng. Keempat jenis tanaman rimpang-rimpangan tersebut
paling banyak digunakan dalam produk jamu karena diklaim sebagai penyembuh berbagai
penyakit.

Produk setengah jadi dari temulawak, kunyit, kencur dan jahe adalah simplisia, pati, minyak,
ekstrak. Sementara produk industrinya adalah makanan/minuman, kosmetika, sirup, instan,
bedak, tablet dan kapsul. Produk setengah jadi purwoceng adalah simplisia dan ekstrak,
produk industri dalam bentuk jamu seduh, minuman kesehatan, pil atau tablet/kapsul.

Mungkin banyak petani di Tanah Air yang sebenarnya juga menanam jenis tanaman obat di
lahan mereka. Namun untuk digarap sungguh-sungguh menjadi bisnis mungkin masih langka.
Tidak adanya pemahaman tentang potensi bisnis yang dimiliki oleh komoditi merupakan salah
satu penyebab. Apalagi untuk mengolahnya menjadi produk industri.

Ambil salah satu contoh tanaman obat, yaitu kunyit atau dengan nama latin Curcuma
domestica Val. Usaha budidaya tanaman kunyit skala besar (komersial) atau yang dilakukan
secara intensif, di Indonesia belum ada dan sebagian besar petani cenderung menanam
tanaman ini sebagai tanaman sampingan saja.

Kunyit merupakan tanaman obat berupa semak dan bersifat tahunan (perenial) yang tersebar
di seluruh daerah tropis. Dewasa ini rata-rata kebutuhan bahan baku kunyit untuk industri
kosmetik/jamu tradisional yang ada di Indonesia antara sekitar 1,5-6 ton/bulan. Tingkat
kebutuhan pasar dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan persentase peningkatan 10-
25% per tahunnya. Kebutuhan lebih tinggi pada saat menjelang hari-hari besar/hari raya.
Permintaan kebutuhan industri di atas sebagian besar berasal dari pasokan para petani.
Melihat dari kebutuhan rata-rata industri jamu dan kosmetik yang ada di dalam negeri, suplai
dan permintaan terhadap kunyit tidak seimbang, apalagi memenuhi permintaan pasar luar
negeri.

Sementara kebutuhan kunyit dunia hingga saat ini mencapai ratusan ribu ton/tahun. Sebagian
kecil dari jumlah tersebut dipenuhi oleh negara India, Haiti, Srilanka, Cina, dan negara
lainnya. Di Indonesia kini sudah selayaknya dibudidayakan tanaman ini, terutama dengan
sistem monokultur/tumpang sari sehingga produksi yang dicapai lebih cepat dan tinggi, agar
kebutuhan minimal dalam negeri terpenuhi secara optimal. Walaupun di daerah Jawa Tengah
kini sudah diupayakan sistem penanaman tersebut, juga diperhitungkan dari sudut
produktivitas dan jalur tata niaganya, namun luas lahan tanam yang ada belum maksimal
untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri yang mencapai ratusan ribu ton/ha-nya.
Indonesia sebenarnya mulai mengekspor kunyit. Negara yang dituju antara lain Asia (Malaysia,
Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Jepang), Amerika, dan Eropa (Jerman Barat dan Belanda).

Dari segi jalur tata niaga, kunyit tergolong efisien, karena dari petani langsung disalurkan ke
pedagang pengumpul, lalu ke pabrik/pedagang besar. Maka harga yang diterima petani
mencapai 70% dari harga tingkat pabrik, dimana 30% merupakan marjin tata niaga yang terdiri
atas 12% marjin biaya dan 18% merupakan marjin keuntungan. Berdasarkan kondisi ini, tata
niaga kunyit bisa ditingkatkan lagi, karena marjin terbesar berada pada keuntungan
pedagang. Peluang agribisnis kunyit di Indonesia dapat dikembangkan. Kenyataan ini
dilandaskan pada tingkat produktivitas, jalur tata niaga, dan kebutuhan kunyit dari berbagai
industri yang membutuhkannya.

Peluang Bisnis

Indonesia adalah negara tropis yang sangat cocok untuk pengembangan budidaya dan
pengolahan tanaman obat. Beberapa jenis tanaman tropis yang berkhasiat obat dan banyak
digunakan untuk perawatan natural hanya bisa tumbuh di iklim tropis seperti Indonesia.
Dengan melihat potensi sumberdaya alam, maka sangat terbuka luas kesempatan untuk
mengembangkan agribisnis di bidang tanaman obat. Didukung dengan pengembangan dan
peningkatan mutu produk, maka kita optimis bahwa agribisnis tanaman obat memiliki prospek
yang sangat menguntungkan.

Kawasan hutan Indonesia yang luasnya 120,35 juta hektar menyimpan kekayaan hayati yang
sangat tinggi nilainya. Salah satu jenis hasil hutanbukan kayu yang berpotensi memberikan
manfaat ekonomi tinggi adalah tanaman obat. Tanaman obat memiliki peluang yang sangat
besar untuk dikembangkan, baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun sebagai
bahan baku industri obat dan kosmetika. Industri obat dan kosmetika dalam negeri,
memerlukan pasokan bahan baku tanaman obat dalam kapasitas yang sangat besar. Oleh
karena itu budidaya dan pengelolaan tanaman obat memiliki prospek yang sangat bagus. K
ekayaan jenis tanaman obat yang terdapat di kawasan hutan Indonesia kurang lebih ada 1.260
jenis tanaman, dimana 180 jenis diantarannya telah dieksploitasi dalam jumlah besar untuk
bahanbaku industri obat tradisional. Penyebaran jenis tanaman obat tertinggi berada di hutan
tropika dataran rendah, sekitar 772 jenis (45,82%) dari jumlah total jenis tanaman obat.
Sedangkan yang terrendah berada di hutan rawa, sebanyak 8 jenis (0,47%).

Budidaya Tanaman Obat dalam Konsep Bioregion

Budidaya tanaman obat adalah merupakan salah point sasaran kegiatan konservasi
keanekaragaman hayati dalam periode 5 tahun (2005 – 2009) yang disertai dengan kebijakan
pembangunan konservasi keanekaragaman hayati untuk mengembangkan jaringan sistem
kawasan ekosistem esensial dan pendekatan pengelolaannya melalui konsep bioregion.

Bioregion adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam; yang tidak ditentukan oleh
batasan politik dan administratif tetapi dibatasi oleh batasan geografik, komunitas manusia
serta sistem ekologi. Dalam suatu cakupan bioregion, terdapat mozaik lahan dengan fungsi
konservasi maupun budi daya yang terikat satu sama lain secara ekologis. Dengan demikian
pengelolaannya merupakan pendekatan integratif dalam pengelolaan keseluruhan bentang
alam yang terikat secara ekologis yang menyandarkan dirinya pada tiga komponen yaitu: (1)
komponen ekonomi yang mendukung usaha pendayagunaan keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan dalam matriks kawasan budi daya, dengan pengembangan budidaya jenis-jenis
unggulan setempat (2) Komponen ekologi yang terdiri atas kawasan-kawasan ekosistem alam
yang saling berhubungan satu sama lain melalui koridor, baik habitat alami maupun semi
alami dan (3) Komponen sosial budaya yang dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat lokal
dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya alam
serta memberikan peluang bagi pemenuhan kebutuhan sosial/budaya secara lintas generasi.
Konsep bioregion dari sudut pandang sumberdaya biofarmaka dan pengetahuan tradisional
masyarakat lokal merupakan ikatan yang sangat erat untuk keberlanjutan pengembangan
budidaya biofarmaka (tanaman berkhasiat obat). Sebagai contoh setiap region hutan
mengandung keanekaragaman jenis tanaman obat yang tinggi dan spesifik, dan berguna untuk
mengobati penyakit dan menjaga kesehatan masyarakat setempat. Dengan melibatkan
informan pangkal (tokoh adat, pemerintah, agama), informan pokok (ahli pengobatan
tradisional) dan pelengkap (anggota masyarakat biasa yang memiliki pengetahuan mengenai
tanaman obat) kita dapat mengetahui macam biofarmaka yang esensial diperlukan oleh etnis
setempat untuk menjaga kesehatannya.

Analisis Ekonomi Budidaya Tanaman Obat

Potensi produksi buah tanaman obat yang ditanam di kebun secara permanen dan dipelihara
intensif, bila populasi tanaman tanaman obat per hektar antara 250–400 pohon dengan
potensi produktivitas 150–300 buah/pohon/tahun, dan berat per buah rata-rata 160 gram,
maka dapat dihasilkan/tingkat produksi per hektar mencapai 6–19 ton buah tanaman obat.
Pada panen raya tanaman obat, harga tanaman obat rata-rata mencapai Rp. 750,- sampai Rp.
5.000,- per kg. Maka kita dapat menghitung berapa rupiah besar penghasilan yang didapat
dalam 1 hektar per tahun. Tentunya setelah dikurangi biaya-biaya produksi yang dikeluarkan,
seperti: pembibitan, pemeliharaan, pemupukan, panen/pascapanen, dan lain-lain.

Prospek pemasaran tanaman obat di dalam negeri diperkirakan makin baik. Hal ini antara lain
disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan semakin banyaknya konsumen menyadari
pentingnya kecukupan gizi dari buah-buahan. Pada tahun 1993 Indonesia baru andil 0,4 % dari
total nilai impor dunia buah tropis. Bila pada tahun 1989 tingkat konsumsi buah-buahan per
kapita penduduk Indonesia hanya mencapai 22,92 kg/tahun, maka untuk mencapai kecukupan
gizi yang sesuai dengan anjuran FAO menargetkan rata-rata 60 kg per kapita per tahun. Salah
satu jenis buah potensial yang mudah dibudidayakan untuk mendukung pencapaian target
tersebut adalah tanaman obat. Perkiraan permintaan setiap tahun semakin meningkat,
peningkatan permintaan tersebut adalah sebesar 6,1 %/tahun (1995–2000), 6,5 %/tahun (2000–
2005), 6,8 %/tahun (2005–2010), dan mencapai 8,9 %/tahun (2010 - 2015). Jelaslah bahwa
prospek usahatani (agribisnis) tanaman obat amat cerah bila dikelola secara intensif dan
komersial, baik dalam bentuk kultur perkebunan, pekarangan, maupun Tabulampot.

Agribisnis Tanaman Obat

Jika kita tinjau pencapaian komoditas agribisnis produk berbahan baku tanaman obat ini
terlihat sangat prospektif dan tangguh. Komoditas ini sangat tahan terhadap gangguan krisis
moneter karena basis harga pemasarannya dalam dolar Amerika. Dalam kondisi saat ini harga
jual yang tinggi (dalam rupiah) menjadikan produk berbasis sumberdaya alam ini sebagai
penghasil devisa yang cukup besar.

Menurut data dari Sekretariat Convention on Biological Diversity, pasar global obat herbal
pada tahun 2000 mencapai US$ 43 milyar. WHO mencatat pada tahun 2000 pasar obat herbal
yang tergolong besar adalah sebagai berikut: Cina (US$ 5 milyar); Eropa barat (US$ 6,6
milyar); Amerika Serikat (US$ 3 milyar); Jepang (US$ 2 milyar) dan Kanada (US$1 milyar).
Demikian pula pasar Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun (tahun 2001 sebesar
Rp. 1,3 trilyun dan tahun 2002 naik menjadi Rp. 1,5 trilyun), di Malaysia nilai perdagangan
produk herbal tahun 2000 mencapai US$1,2 miliar, dengan tren pasar meningkat 13% per
tahun.

Kecenderungan masyarakat dunia yang memprioritaskan produk yang ekologis dibandingkan


dengan produk yang kimiawi, menyebabkan permintaan akan obat bahan alami juga akan
terus meningkat. Nilai obat modern yang berasal dari ekstrak tanaman tropis di dunia pada
tahun 1985 mencapai US$ 43 milyar, 25% obat modern tersebut bahan bakunya berasal dari
tumbuh-tanaman obat. Sedangkan nilai jual obat tradisional pada tahun 1992 di dunia
mencapai US$ 8 milyar.

Untuk kawasan Asia, dalam hal ini Cina berdasar data terakhir tahun 2000, ada 11.146 jenis
biofarmaka yang dimanfaatkan pada industri TCM (Tradisional China Medicine) dengan
memanfaatkan area seluas 760.000 hektar dengan total output 8.500.000 metrik ton dan
secara rutin pembudidayakan sekitar 200 jenis biofarmaka utama sepanjang tahun. Dengan
kurang lebih 1200 industri dan 600 di antaranya memiliki kebun terintegrasi dengan pabrik
China dapat meraup omset US$ 5 milyar (domestik) dan US$ satu milyar (ekspor).

Di pasar domestik, rimpang temulawak (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan rimpang jahe
(Zingiber officinale Roxb.) merupakan dua jenis biofarmaka budidaya yang banyak dipasok
oleh petani untuk industri obat tradisional, baik industri besar maupun menengah, yaitu rata-
rata 310.870 kg/tahun dan 272.854 kg/tahun. Jenis-jenis biofarmaka yang diminta oleh
negara-negara industri farmasi, seperti tapak dara (Catharanthus roseus),kina (Chinchona
spp), kecubung (Datura metel), pule pandak (Rauwolfia serpentina) dan valerian (Valeriana
officinalis) umumnya dapat tumbuh di Indonesia dan tidak membutuhkan persyaratan yang
spesifik untuk tumbuhnya (Maxmillian, 2007). Dari data dan angka di atas menunjukkan bahwa
prospek ke depan komoditas ini masih terbuka lebar pemasarannya.

Karakteristik Tanaman Obat

Tanaman obat secara umum memiliki khasiat yang baik bagi kesehatan. Indonesia diwarisi
dengan alamnya yang sangat luas dan didalamnya terdapat berbagai macam tanaman,
termasuk tanaman obat. Seperti tanaman pada umumnya, tanaman obat memiliki
kertergantungan pada iklim.

Tanaman obat terdiri dari berbagai jenis yang setiap jenisnya memiliki karakteristik masing-
masing. Contohnya adalah buah delima. Tanaman delima berupa perdu atau pohon kecil
dengan tinggi 25 m. Batang berkayu, ranting bersegi, percabangan banyak, lemah, berduri
pada ketiak daunnya, cokelat ketika masih muda, dan hijau kotor setelah tua. Daunnya
bertangkai berbentuk bulat telur memanjang, mengkilat dan berukuran kecil. Bunga 1-5
kuntum, muncul di ujung percabangan dan di ketiak daun teratas, berwarna merah atau putih
kekuningan, tapi ada juga berwarna ungu kehitaman. Buahnya berbentuk bulat dengan
diameter 512 cm, warnanya merah mengkilap, kekuningan, putih, coklat kemerah-merahan
atau ungu kehitaman, bijinya banyak, kecil-kecil, bentuknya bulat panjang, keras, tersusun
tidak beraturan, warnanya merah, merah jambu, atau putih, rasanya asam manis segar.
Tumbuhan ini berbuah sepanjang tahun.

Pome atau delima sering ditanam sebagai tanaman hias, tanaman obat, atau karena buahnya
yang dapat dimakan. Buah delima dapat dimakan dalam keadaan segar, sebagai campuran
rujak buah, salad buah, jus atau sari buah. Untuk membuat jus delima sebaiknya diminum
dengan bijinya karena di dalam biji banyak terkandung senyawa polifenol.

Kesimpulan

Prospek yang besar dalam agribisnis komoditas tumbuhan obat di Indonesia tidak dapat hanya
mengandalkan dari pengambilam langsung tumbuhan obat di hutan alam, namun harus
diimbangi dengan kegiatan budidaya tumbuhan obat terutama tumbuhan obat yang memiliki
intensitas tinggi dalam pemakaiannya.

Dengan strategi yang jitu, tanaman obat dapat dijadikan bisnis yang prospektif seiring dengan
budidaya tanaman obat itu sendiri. Alam sudah menyediakan dan manusia tinggal mengolah
sedemikian rupa demi memenuhi kebutuhan hidup.
Saran

Perlu adanya sosialisasi mengenai tanaman obat dan cara pengembangannya di seluruh
lapisan masyarakat.

Daftar Pustaka

[Anonim]. 2007. Hidup Sehat dengan Memetik Manfaat Buah Pome.


http://bisnisukm.com/hidup-sehat-dengan-memetik-manfaat-buah-pome.html . [Diakses
tanggal 19 September 2010].
[Herlina]. 2010. PENGEMBANGAN BUDIDAYA TUMBUHAN OBAT (HERBAL) SEBAGAI KOMODITAS
AGRIBISNIS BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM KONSEP BIOREGION.
http://uripsontoso.wordpress.com/2010/04/02/pengembangan-budidaya-tumbuhan-obat-
herbal-sebagai-komoditas-agribisnis-berbasis-kearifan-lokal-dalam-konsep-bioregion . [Diakses
tanggal 17 September 2010]

Supriadi, dkk.  2001.  Tumbuhan Obat Indonesia Penggunaan dan Khasiatnya.

Edisi Pertama.  Pustaka Populer Obor. Tangerang.

Anda mungkin juga menyukai