Anda di halaman 1dari 5

Kiai Haji 

Noer Alie (lahir di Kp. Ujungmalang (sekarang


menjadi Ujung harapan), Kewedanaan Bekasi,
Kabupaten Meester Cornelis (Babelan), Keresidenan
Batavia,  pada 15 Juli 1914; meninggal di Bekasi, Jawa
Barat pada tahun 1992) adalah pahlawan nasional
Indonesia yang berasal dari Jawa Barat dan juga
seorang ulama.

Ia adalah putera dari Anwar bin Layu dan Maimunah


binti Tarbin. Ia mendapatkan pendidika agama dari
beberapa guru agama di sekitar Bekasi. Pada
tahun 1934, ia menunaikan ibadah haji dan
memperdalam ilmu agama di Mekkah dan selama 6
tahun bermukim disana.

Siapa yang tak kenal puisi Karawang-Bekasi karya


Chairil Anwar? Tapi adakah yang tahu mengapa ia
menciptakan puisi yang melegenda itu? Mungkin tak
banyak yang menduga jika Chairil terinpsirasi oleh
seorang warga Bekasi asli bernama KH Noer Alie.

Hingga kini, nama KH Noer Alie memang belum dikenal luas di pentas nasional.
Bahkan, di kalangan masyarakat Bekasi pun, masih ada yang belum mengenalnya.
Namun, jika ia bisa menginspirasi seorang Chairil Anwar, pasti ada suatu
keistimewaan yang dimilikinya.

Ya, KH Noer Alie memiliki jejak perjuangan yang tak kelah heroiknya dengan
pahlawan nasional lain semisal Soekarno, Hatta, Agus Salim, Natsir dan lainnya.
Tercatat, dari sekian banyak pertempuran antara KH Noer Alie dan masyarakat
Bekasi dengan penjajah, ada dua perlawanan yang melegenda.

Pertama, Pertempuran Sasak Kapuk. Pertempuran sengit itu meletus pada 29


November 1945, antara pasukan KH Noer Alie dengan Sekutu – Inggris di Pondok
Ungu. Pasukan rakyat KH Noer Alie mendesak pasukan Sekutu dengan serangan
mendadak. Melihat pasukan Sekutu terdesak, mulai timbul rasa takabur pada
pasukannya, sehingga ketika pasukan Sekutu mulai berbalik setelah sekitar satu jam
terdesak, pasukan rakyat berbalik terdesak sampai jembatan Sasak Kapuk, Pondok
Ungu, Bekasi.

Melihat kondisi pasukannya yang kocar-kacir, KH Noer Alie memerintahkan untuk


mundur. Tapi, sebagian pasukannya masih tetap bertahan, sehingga sekitar tiga
puluh orang pasukan Laskar Rakyat gugur dalam pertempuran tersebut.
Kedua, Peristiwa Rawa Gede. Untuk menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia
masih eksis, KH Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di
Tanjung Karekok, Rawa Gede, dan Karawang, untuk membuat bendera merah –
putih ukuran kecil terbuat dari kertas.

Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk
dengan tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa di tengah – tengah kekuasaan
Belanda, masih ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan.

Aksi heroik tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira pemasangan


bendera merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI. Belanda langsung mencari Mayor
Lukas Kustaryo. Karena tidak ditemukan, mereka marah dan membantai sekitar 400
orang warga sekitar Rawa Gede.

Pembantaian yang terkenal dalam laporan De Exceseen Nota Belanda itu, di satu sisi
mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun disisi lain para para petinggi Belanda
dan Indonesia tersadar bahwa di sekitar Karawang, Cikampek, Bekasi dan Jakarta
masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan citra Belanda kian terpuruk, karena telah
melakukan pembunuhan keji terhadap penduduk yang tidak bedosa.

Siapa sebenarnya KH Noer Alie?

Ia lahir di Desa Ujung Malang, Babelan, Bekasi pada 15 Juli 1914. Noer Alie adalah
anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan Anwar bin Layu dan Maimunah
binti Tarbin. Tanda-tanda kepahlawanannya sudah terlihat sejak kecil. Suatu saat, ia
pernah ditanya, apa cita-citanya di dunia. “Ingin membangun perkampungan surga,”
jawab Noer Alie kecil.

Ia memiliki semangat belajar yang tinggi. Di usianya yang masih di bawah lima
tahun, ia telah mampu menghapal surat –surat pendek dalam Al-Qur’an yang
diajarkan oleh kedua orangtua dan kakaknya. Pada usia tujuh tahun, Noer Alie
mengaji pada guru Maksum di kampung Ujung Malang Bulak. Pelajaran yang
diberikan oleh gurunya lebih dititikberakan pada pengenalan dan mengeja huruf
Arab, menyimak, menghafal dan membaca Juz-amma serta menghafal dasar – dasar
Rukun Islam, Rukun Iman, tarikh para nabi, akhlak dan fikih.

Dua tahun kemudian, Noer Alie kecil mendapat guru baru bernama Mughni, masih di
Ujung Malang. Ia mendapatkan pelajaran-pelajaran alfiah atau tata bahasa Arab, Al-
Qur’an, tajwid, nahwu, tauhid dan fiqih.

Saat beranjak remaja, Noer Alie pindah ke Klender. Ia mondok di sebuah pesantren
dan menuntut ilmu pada guru Marzuki. Noer Alie remaja mempelajari kitab kuning
(kitab Islam Klasik ) sebagai inti pendidikan. Di samping itu, ia juga belajar cara
menunggang kuda dan berburu bajing, hewan pemakan buah kelapa yang dianggap
sebagai hama.

Ketika usianya 20 tahun, ia pergi ke Mekkah. Di sana, ia menuntut ilmu di Madrasah


Darul Ulum. Semangat belajarnya yang tinggi membuat ia berguru pada beberapa
ulama di lingkungan Masjidil Haram, antara lain pada Syeikh Alie Al-Maliki (hadits);
Syeikh Umar Hamdan (kutubusittah: hadits yang diriwayatkan oleh enam perawi:
Buchori, Tarmizi, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah ); Syeikh Ahmad Fatoni (fikih,
dengan kitab Iqna sebagai acuan); Syeikh Mohamad Amin al-Quthbi (ilmu nahwu,
qawati/sastra ), badi’/mengarang, tauhid dan mantiq/ ilmu logika yang mengandung
filsafah Yunani, dengan kitab Asmuni sebagai acuan); Syeikh Abdul Zalil (ilmu
politik); Syeikh Umar Atturki dan Syeikh Ibnu Arabi (hadits dan ulumul Qur’an).

Selama di negeri orang, ia aktif berorganisasi. Salah satunya, dengan menjadi


anggota pelajar Islam dari Jepang, sebagai Ketua Persatuan Pelajar Betawi (PBB),
dan aktif di Perhimpunan Pelajar – Pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah
Indonesia (Pertindo) dan Perhimpunan Pelajar Indonesai Melayu (Perindom).

Noer Alie muda memutuskan kembali ke Tanah Air pada 1939 setelah mendapat
kabar negerinya ditindas kaum penjajah. Sebuah pesan penting disampaikan Syeikh
Alie Al – Maliki padanya. “ Ingat, jika bekerja jangan jadi penghulu (pegawai
pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridho dunia akhirat.” Pesan itu
terus terngiang di benaknya hingga tiba di Indonesia.

Ulama Pejuang

Setibanya di Tanah Air, Noer Alie membuat gebrakan dengan mendirikan madrasah.
Suami Siti Rahmah binti Mughni itu lalu menghimpun kekuatan umat, di antaranya
membangun jalan tembus Ujung Malang – Teluk Pucung pada 1941.

Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu – waktu bangsa Indonesia harus bertempur
secara fisik, Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu prajurit),
Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung. Salah seorang santrinya,
Marzuki Alam, dipersilakan mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (Peta).

Saat Rapat Ikada digelar pada pada 19 September 1945 di Monas, Noer Alie datang
dengan mengendarai delman. Nama Noer Alie kian dikenal di kalangan pejuang saat
Bung Tomo meneriakkan namanya beberapa kali dalam siaran radionya di Surabaya,
Jawa Timur.

Pada bulan November 1945, KH Noer Alie membentuk Laskar Rakyat. Seluruh badal
(pasukan) dan santrinya diperintahkan menghentikan proses belajar-mengajar untuk
mendukung perjuangan. Ia kemudian mengeluarkan fatwa: “Wajib hukumnya
berjuang melawan penjajah.” Dalam waktu singkat, Laskar Rakyat berhasil
menghimpun sekitar 200 orang yang merupakan gabungan para santri dan pemuda
sekitar Babelan, Tarumajaya, Cilincing, Muaragembong. Mereka dilatih mental oleh
KH Noer Alie dan secara fisik dilatih dasar-dasar kemiliteran oleh Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) Bekasi dan Jatinegara.

Akhir 1945, dibentuk kesatuan bersenjata yang berafiliasi kepada partai politik. Saat
itu, Abu GhozAlie sebagai komandan resimen Hizbullah Bekasi (badan pejuangan
Partai Majelis Sjuro Muslimin Indonesia/ Masjumi) menunjuk KH Noer Alie sebagai
komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi.

Setelah Agresi Militer Pertama Belanda pada 1947, KH Noerl Alie mengadakan
musyawarah darurat di Karawang. Itu dilakukan karena ia tidak rela melihat
negerinya terus dijajah. Hasil musyawarah itu memutuskan untuk mengirim KH Noer
Alie bersama lima orang rekannya menemui Panglima Besar Jenderal Soedirman di
Jogjakarta.

Sesampai di Jogjakarta, rombongan KH Noer Alie diterima oleh Letnan Jenderal


Oerip Soemohadjo karena Jenderal Soedirman tidak berada di tempat. KH Noer Alie
diminta untuk melakukan perlawanan secara bergerilya. Ia kemudian mendirikan
Hizbullah - Sabilillah pusat dengan nama Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah ( MPHS )
yang diketuai langsung oleh dirinya.

Pada 10 Januari 1948, Mohammad Moe’min, Wakil Residen Jakarta dari pihak
Republik Indonesia, mengangkat KH Noer Alie sebagai Koordinator (Pejabat Bupati)
Kabupaten Jatinegara. Namun jabatan pemerintahan yang seharusnya dimulai pada
15 Januari 1948 tidak berlangsung lama, karena pada 17 Januari 1948 terjadi
Perjanjian Renville yang mengharuskan tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke
Jawa Tengah dan Banten. KH Noer Alie memilih hijrah ke Banten dengan membawa
100 orang pasukan dari Kompi Syukur.

Ketika perlawanan bersenjata mulai mereda, pada 1949 KH Noer Alie memilih
berjuang di lapangan sipil. Ia diminta membantu Muhammad Natsir sebagai anggota
delegasi Republik Indonesia Serikat di Indonesia dalam konperensi Indonesia –
Belanda.

Dalam kesempatan tersebut, KH Noer Alie sempat membahas kelanjutan perjuangan


dengan tokoh – tokoh nasional di Jakarta, seperti Muhammad Natsir, Mr. Yusuf
Wibisono, Mr. Muhammad Roem, Muhammad Syafe;I dan KH Rojiun, dan kemudian
ia diminta untuk menyalurkan aspirasi polotiknya, bergabung dalam partai Masjumi.

Pada Januari 1950, KH Noer Alie bersama teman – teman dan anak buahnya, seperti
R. Supardi, Madnuin Hasibuan, Namin, Taminudin, Marzuki Hidayat, Marzuki Urmani,
Nurhasan Ibnuhajar, A. Sirad, Hasan Syahroni dan Masturo membentuk Panitia
Amanat Rakyat. Pada 17 Januari 1950, Panitia Amanat Rakyat itu kemudian
menghimpun sekitar 25.000 rakyat Bekasi dan Cikarang di Alun – Alun Bekasi.
Mereka mendeklarasikan resolusi yang menyatakan penyerahan kekuasaan
pemerintah Federal kepada Republik Indonesia. Pengembalian seluruh Jawa Barat
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dan KH Noer Alie bersama Lukas Kustaryo menuntut agar nama kabupaten
Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Tuntutan tersebut diterima oleh
Perdana Menteri Mohammad Natsir, sehingga pada 15 Agustus 1950 terbentuklah
Kabupaten Bekasi di Jatinegara, serta selanjutnya dimasukkan ke dalam wilayah
Provinsi Jawa Barat.

Ulama Kharismatik

KH Noer Alie dikenal dengan sebutan “Engkong Kiai.” Jika ia berjalan, tidak ada
seorang pun, baik pejalan kaki atau pun yang memakai kendaraan, yang berani
mendahuluinya. Mereka lebih cenderung untuk memilih jalan lain atau melompati
got sebagai jalan pintas apabila terpaksa harus mendahului Engkong Kiai.

Pada zamannya, tidak ada akses jalan yang rusak di sekitar desa, karena apabila
terjadi kerusakan jalan dan diketahui oleh KH Noer Alie, aparat pemerintah akan
langsung buru – buru memperbaikinya, mengingat besarnya jasa beliau terhadap
pembangunan, terutama di wilayah Bekasi.

Salah satu karya fenomenal yang berhasil diwujudkan oleh KH Noer Alie adalah
pembangunan dan pembukaan akses jalan secara besar – besaran di sekitar Desa
Ujungharapan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi. Semua warga
dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan tanahnya jika yang meminta KH Noer
Alie. Ia pun tak segan untuk turun langsung bergotong-royong bersama warga
membangun jalan seperti saat pelebaran Gang Perintis pada 1980.

Jasa-jasanya itulah yang akhirnya membuat ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional


dan bintang Maha Putra Adipradana oleh pemerintah Republik Indonesia pada 2006.
Penghargaan lainnya adalah dengan menjadikan nama “Singa Karawang-Bekasi” itu
sebagai nama jalan di sepanjang Kalimalang menuju Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai