Anda di halaman 1dari 3

A.

Monumen Paccekke
Desa Paccekke merupaka salah satu desa dari 54 Desa/Kelurahan yang ada di
Kabupaten Barru, berada di daerah pegunungan dengan ketinggian dari permukaan laut 350
meter. Sebutan Paccekke pada awalnya diberikan oleh pedagang dari Manado Sulawesi Utara
yang datang berdagang, ketika mereka bermalam di Paccekke mereka tidak bisa tidur karena
kedinginan, sehingga mereka menyebut Paccekke (bahasa bugis) yang berarti dingin. Sejak
saat itu nama Paccekke dipakai sampai sekarang yang memang sesuai dengan artinya yaitu
daerah yang dingin karena dikelilingi oleh hutan dan pegunungan yang berbentuk mangkuk
besar.
Paccekke sebuah nama perkampungan di Kabupaten Barru yang sarat yang luasnya
2445 hektar dengan nilai-nilai pejuangan, dan telah ikut memainkan peranan dalam panggung
sejarah mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan. Pada tanggal
20 sampai dengan 22 Januari 1947, pejuang menggelar Konperensi Paccekke yang dipimpin
oleh Andi Mattalatta bersama Andi Sapada, yang dihadiri oleh delapan kelaskaran yaitu KRIS
Muda Mandar, BPRI Suppa, BPRI Enrekang, BP Ganggawa, Gapis Soppeng, KRIS, Harimau
Indonesia, dan Benteng Makassar.
Atas semangat peserta konperensi, Paccekke dipimpin Mayor Andi Mattalatta dan
Mayor M. Saleh Lahade mengambil keputusan membentuk Tentara Republik Indonesia
Sulawesi Devisi Hasanuddin yang merupakan awal terbentuknya Tentara Nasional Indonesia
untuk wilayah Sulawesi. Untuk mengenang peristiwa tersebut, dibangun sebuah monumen
yang diberi nama Monumen Paccekke, dan hampir setiap tahun diadakan napak tilas
Garongkong - Paccekke maupun upacara peringatan yang diadakan oleh TNI.
Pada monumen Pacceke terdapat empat resimen, masing-masing Resimen I
Paccekke, Resimen II PKR Luwuk, Resimen III Bajeng Makassar Selatan, dan Resimen IV
PKR Kolaka Kendari, melakukan konferensi yang mencetuskan lahirnya TRI Devisi
Hasanuddin. Terukir pada monumen tersebut surat perintah (mandat) Panglima Besar TRI
Jenderal Soedirman, yang masih ditulis dalam ejaan lama, menugaskan Mayjen A. Mattalatta
melaksanakan konferensi tersebut.
Resimen ini adalah bentuk penghargaan untuk para pahlawan yang telah berperang
melawan belanda. Disekitar dusun pacekke juga pernah di dapatkan bekas peluru dari perang
yang pernah terjadi, dan juga semua alat perang dikumpulkan di dalam satu tempat atau peti
(yaitu markas besar tentara) yang berada di depan monumen. Di monumen juga masih ada
senjata asli hasil peperangan yang dipajang (semacam sniper).

B. Masjid Tertua di Barru (Masjid Lailatul Qadr)


Masjid Lailatul Qadr terletak di Desa Lalabata, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten
Barru, Sulawesi Selatan. Masjid ini merupakan masjid tertua di Kabupaten Barru, yang
dibangun pada tahun 1626 H. atau akhir masa pemerintahan Raja Tanete IX Petta Pallase'-
Lase'e, yang juga merupakan Raja Tanete pertama yang memeluk agama Islam.
Pada suatu hari, semua raja termasuk Raja Petta Pallase'-Lase'e mendapatkan
perintah untuk berangkat dan berkumpul di Gowa, Sulawesi Selatan. Pada saat
dikumpulnya raja-raja di Gowa, ada seorang khalifah atau ulama yang bernama Puang
Rijoleng yang diutus oleh raja ke Tanete untuk menyebarkana agama Islam. tetapi Raja
Petta Pallase'-Lase'e menanggapi bahwa dirinya tidak bisa merima padahal pada saat itu
ulama menyampaikan dua kalimat syahadat dan pada saat itu mulai tersebar luar ajaran
agama Islam khususnya di Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru.
Di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat sosok waliyullah terkenal
yang bernama K.H. Abdurrahman Ambo. Diantara karomah beliau yang menakjubkan
adalah bertemunya beliau dengan Malam Lailatul Qadr, peristiwa agung ini terjadi pada
salah satu malam penghujung bulan ramadhan tahun 1939 M, di Masjid Jami’ Adda’wah,
Mangkoso, Barru.
Dari banyak kisah warga maupun dari guru-guru di lingkungan Pondok Pesantren
Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Mangkoso yang dituturkan secara turun-temurun,
peristiwa tersebut menimbulkan kepanikan. Pasalnya, banyak warga yang bedagang melihat
langit malam yang gelap gulita tiba-tiba saja berubah menjadi terang layaknya sudah pagi,
ada juga yang mendeskripsikan seperti cahaya dari kobaran api yang sangat besar.
Kisah Lailatul Qadr, oleh beberapa kalangan memang diyakini sebagai momentum
terkabulnya keinginan yang dapat mengubah takdir di masa depan. Sang guru Ambo Dalle
kemudian menyampaikan permohonan agar ilmunya membawa berkah kepada seluruh
santri dan masyarakat di Mangkoso. Versi lainnya, Guru Ambo Dalle meminta agar setiap
angkatan santri menghasilkan tiga ulama besar.
Dari kejadian malam lailatul qadr itulah yang akhinya masyarakat Kecamatan Tanete
Rilau, Kabupaten Barru mengiktiarkan untuk memberi nama masjid tersebut dengan Masjid
Lailatul Qadr yang hingga saat ini Masjid tersebut masih berdiri kokoh. Namun, dengan
seiring berjalannya waktu bentuk masjid Lailatul Qadr tersebut berubah karena direnovasi
oleh Masyarakat setempat.

C. Makam Raja Raja Tanete Pancana


Dalam sejarah nama We Tenri Olle kurang populer dilembaran literatur dan hanya
didominasi oleh ibunya, Colliq Pujie. Padahal Datu We Tenri Olle juga memiliki kontribusi
yang sangat besar bagi masyarakat Tanete dan dunia pada umumnya. Siti Aisyah atau kerap
disapa Datu We Tenri Olle dikampungnya hanya dikenal lewat makam megah berwarna putih,
dengan bangunan bergaya arsitektur barat berbentuk kubah. Makam tersebut tepatnya berada
di Jln. pancaitana Desa Pancana Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru berjarak 17 km
dari pusat kota Barru dan 86 km dari Kota Makassar.
We Tenri olle wafat pada tahun 1919, di Desa Pancana Tanette Rilau, yang juga
kampung kelahirannya. Masa kekuasaan We Tenri Olle terbilang cukup lama yaitu 55 tahun,
yakni sejak 1855 - 1910. Nisan makam Datu Tenri Olle yang dipenuhi seni kaligrafi dengan
bunyi Inskripsi sebagai berikut: ‫ َو َال َأْق َو ى َعلَى الَّن اِر الَج ِح ْيمَفَهْب لِي َتْو َب ًة َو اْغ ِف ْر‬# ‫ِإلِهي َلْس ُت ِلْلِفْر َدْو ِس َأْهًال‬
‫ َفِإَّنَك َغاْفُر الَّذ ْنِب الَعِظ ْيِم‬# ‫ ُذ ُنْو بِي‬Artinya: Wahai Tuhan! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat
dalam neraka Jahim. Maka beritahu aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku,
sesungguhnya engkau Maha pengampun dosa yang besar.
Bagian kaki nisan, terdapat aksara: Ri eppa' Syawal sanatan albaa'i 1328 ri aksera
oktabire, ri taung 1910 nallinrung iyawaee datueE ri Tanete matinroe ri akuasana ri bola
sadana ri Pancana, Artinya: Pada tanggal empat syawal tahun al Ba'i 1328 Hijeriah, pada
tanggal sembilan oktober 1910, inilah raja Tanete yang wafat di rumah istananya di pancana.
Aisyah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya bernama La Tunampare'
alias To Apatorang yang bergelar Arung Urung dan ibunya bernama Colliq Poedjie yang
bergelar Arung Pancana. Kedua orang tua Aisyah adalah bangsawan, diketahui dari gelar
Arung di depan namanya. Kakak laki-lakinya bernama La Makkawaru dan adiknya bernama I
Gading. Setelah ayahnya meninggal, Aisyah dan keluarganya tinggal di rumah kakeknya,
yang bernama La Rumpang di Tanete.
Pada saat itu sedang terjadi perselisihan antara Belanda dan Raja Tanette yang
bernama La Patau. Akibat perselisihan itu, Belanda dengan kekuasaannya menurunkan tahta
La Patau dan mengasingkannya keluar dari Sulawesi Selatan pada tahun 1840. Sebagai
pengganti raja yang berikutnya Belanda mengangkat La Rumpang Megga Matinro Eri
Moetiara, yakni kakek Aisyah.

Anda mungkin juga menyukai